You are on page 1of 2

Review Mata Kuliah Kontinuitas dan Transformasi Budaya

Nama : Muhamad Septia Andi Akbarsyah

NPM : 1506684546

Bahan Bacaan : Rudyansjah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan,


Bab1 dan Bab 3.

Buku yang berjudul “Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan” karya Bapak


Tony Rudyansjah pada bab 1 menjelaskan tentang ketertarikannya mengenai
kajian sejarah yang dihubungkan dengan tindakan sosial. Pada bab 1 membahas
mengenai beberapa konsep-konsep dan teori yang dikemukakan oleh beberapa
ahli. Selain itu pada bab ini beliau juga membahas mengenai metode penelitian
yang ia lakukan dengan obyek berupa kelompok sosial yang ada di dalam bekas
wilayah kesultanan Wolio, Sulawesi Tenggara. Kelompok tersebut diantaranya,
kaomu, walaka, papara. Pak Tony mencoba untuk memahami peristiwa dan
tindakan dalam sejarah kelompok sosial tersebut, serta pengaruh dari kesadaran
mereka akan sejarah dalam mengkonstruksikan kekuasaan yang mereka jalani
dalam kehidupan sehari-harinya. Lalu beliau berusaha untuk memberi gambaran
lanskap budaya tentang kekuasaan yang berpengaruh terhadap pemahaman
berbagai peristiwa tindakan yang terjadi dalam sosial budaya dan sejarah
kelompok-kelompok tersebut. Beliau mengatakan bahwa kekuasaan itu bersifat
constructive atau muncul secara terus menerus dalam tindakan pelakunya.
Kelompok kaomu terdiri dari kelompok sultan yang dipilih dan memiliki
kedudukan penting dalam struktur pemerintahan kesultanan, kelompok walaka
digolongkan sebagai elit penguasa, kelompok papara digolongkan sebagai rakyat
biasa atau orang kebanyakan, dan sebenarnya pada zaman dahulu ada satu
kelompok lagi namun ini sudah dihapus sejak tahun 1906, yaitu golongan budak
dan sekarang sudah berubah status menjadi kelompok papara atau rakyat biasa.
Kategori-kategori ini adalah sebagai bentuk skema awal untuk menggambarkan
relasi-relasi yang terjadi pada masyarakat yang ada di pulau Butan tersebut.

Dalam penelitiannya, Pak Tony menggunakan metode penelitian lapangan


dan penelitian naskah-naskah sejarah. Beliau mengatakan bahwa penggunaan
naskah sejarah itu digunakan untuk mendukung data hasil wawancara dan
observasi yaitu untuk memahami sebuah kekuasaan tersebut dapat dibangun dan
dikonstruksikan. Lalu penelitian langsung di lapangan berguna untuk memberikan
sebuah pemahaman yang baru mengenai suatu proses saling mempengaruhi
mengenai konsep kekuasaan di salah satu pihak dengan tindakan yang terjadi di
masa kini dari kelompok-kelompok sosial tersebut.
Pada pembahasan selanjutnya, Pak Tony menjelaskan mengenai beberapa
masalah dalam metodologis kajian antropologi dan kajian sejarah. Permasalahan
muncul ketika secara tradisional antropologi membahas isu sejarah dalam konteks
diakronik dan sinkronik yang dikotomik secara teoritis. Para antropolog sosial
budaya beranggapan bahwa sejarah dalam antropologi itu biasanya masuk dalam
konteks diakronik yang berarti merupakan sesuatu yang statis, sedangkan
biasanya antropologi itu berorientasi pada dinamika yang bergerak dan juga
mengalami perubahan. Dalam antropologi itu, sinkronik ini muncul karena
pengaruh dari fungsionalismenya Radcliffe Brown. Selain itu, terdapat aliran
evolusionisme dan difusionisme dalam membahas isu sejarah. Tetapi aliran ini
memiliki kekurangan juga, yaitu jika evolusionisme sering terperangkap dalam
menjelaskan pranata sosial ke dalam kerangka tahap-tahapan yang progresif,
sedangkan kekurangan difusionisme yaitu cenderung mencari penjelasan
mengenai pranata sosial yang ada di masyarakat dalam konteks memperlihatkan
pengaruh dan relasi dari faktor-faktor eksternal.

Pada bab selanjutnya, penulis menceritakan bahwa beliau telah dua kali
datang ke wilayah itu. Kedatangan pertama pada tahun 1992 dan yang kedua pada
tahun 2007. Pada kedatangannya yang kedua, penulis melihat ketidaklaziman
yang terjadi di wilayah bekas kesultanan Wolio ini. Hal tersebut didasari oleh
peran kelompok sosial yang sudah berbeda dari masa kesultanan. Kelaziman
budaya terjadi saat mayoritas kelompok sosial walaka menjadi calon ketua
pemerintahan dan kelompok sosial kaomu menjadi calon wakil ketua
pemerintahan. Padahal posisi ini jika dilihat berdasarkan budaya dan sejarahnya
posisi kaomu lebih tinggi jika dibandingkan posisi walaka. Setelah melakukan
wawancara, penulis menuturkan bahwa banyak yang menyebutkan bahwa
kelompok sosial kaomu dan walaka tidak terdapat perbedaan, malah lebih parah
lagi ada yang mengatakan bahwa posisi walaka lebih tinggi posisinya daripada
kaomu. Dari sini terlihat bahwa kelompok-kelompok sosial yang ada dalam
kebudayaan masyarakat Buton, Sulawesi Tenggara penuh dengan kontradiksi dan
ambiguitas

You might also like