You are on page 1of 11

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam suatu negara atau daerah, pada umumnya ukuran yang dipakai

untuk menilai baik buruknya keadaan pelayanan kebidanan (maternity care)

ialah kematian maternal (maternity mortality rate) dan kematian perinatal

(perinatal mortality rate). Kematian maternal ialah kematian seorang wanita

waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab

apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk

mengakhiri kehamilan (Wiknjosastro, 2007).

Untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI), Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia (Kemenkes RI) telah mencanangkan Making Pregnancy

Safer (MPS), antara lain terimplementasi dalam program Jampersal untuk

menjamin semua persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan dan oleh tenaga

kesehatan terlatih serta penyediaan pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar

(PONED) dan pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif (PONEK)

untuk menjamin semua komplikasi obstetrik dapat tertangani dengan optimal

(Nurul Aeni, 2013).

Penurunan AKI menjadi salah satu indikator untuk menilai derajat

kesehatan. Target global SDGs (Suitainable Development Goals) adalah

penurunan AKI menjadi 70 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2

2030. Mengacu dari kondisi saat ini, potensi untuk mencapai target SDGs untuk

menurunkan AKI adalah off track, artinya diperlukan kerja keras dan sungguh-

sungguh untuk mencapainya (Kemenkes RI, 2014).

Meskipun banyak upaya yang telah dilakukan, angka kematian ibu masih

tinggi. Pada tahun 2015 tercatat ada 305 ibu meninggal per 100 ribu orang atau

angka absolut sebesar 4.999. Angka tersebut menurun jika dibandingkan pada

tahun 2016 angka kematian ibu sebesar 4.912 dan menurun lagi dibandingkan

tahun 2017 yang mencapai 3.597 (Kemenkes RI, 2017). Provinsi Jawa Barat

melaporkan, bahwa jumlah kasus kematian ibu melahirkan karena kehamilan,

persalinan, dan nifas meningkat dari 748 kasus pada tahun 2014 menjadi 823

kasus ditahun 2015 dan mengalami penurunan tahun 2016 sebanyak 780 kasus.

(Dinkes Jabar, 2017). Sementara itu di Kabupaten Kuningan pada tahun 2016

terdapat kematian ibu sebanyak 24 kasus dan mengalami peningkatan tahun

2017 sebanyak 28 kasus. (Dinkes Kab. Kuningan, 2017). Di wilayah Puskesmas

Jalaksana pada tahun 2016 terdapat kematian ibu sebanyak 1 kasus dan pada

tahun 2017, tidak terdapat kematian ibu (Profil Puskesmas Jalaksana, 2017).

Penyebab tingginya AKI di Indonesia adalah perdarahan, hipertensi,

infeksi dan penyebab lain (penyebab tidak langsung kematian ibu, seperti

penyakit kanker, jantung, ginjal, tuberkulosis atau penyakit lain yang diderita

ibu). Gambar 1. menjelaskan penyebab kematian ibu masih tetap sama selama

tahun 2010 - tahun 2013 (Kemenkes RI, 2014)


3

Sumber : Direktorat Kesehatan Ibu, 2010-2013


Gambar 1. Penyebab Kematian Ibu Tahun 2010-2013

Perdarahan postpartum menjadi penyebab utama kematian ibu di

Indonesia. Gambar 1. menjelaskan penyebab kematian ibu karena perdarahan

postpartum pada tahun 2010 sebanyak 35,1%, mengalami penurunan sampai

dengan tahun 2012 sebanyak 30,1% dan terjadi kenaikan lagi pada tahun 2013

yaitu sebanyak 30,3% (Kemenkes RI, 2014). Peristiwa yang dapat menimbulkan

perdarahan adalah gangguan pelepasan plasenta, atonia uteri postpartum dan

perlukaan jalan lahir. Perdarahan akibat luasnya luka jalan lahir merupakan

penyebab kedua perdarahan post partum setelah atonia uteri (Wiknjosastro,

2010). Perdarahan yang banyak dapat terjadi karena ruptur perineum yang

dialami selama proses melahirkan baik yang normal maupun dengan tindakan

(Oxorn, 2010).
4

Ruptur adalah robekan atau koyaknya jaringan secara paksa sedangkan

perineum adalah bagian yang terletak antara vulva dan anus panjangnya rata-rata

4 cm. Jadi ruptur perineum adalah robeknya jaringan yang terletak antara vulva

dan anus yang terjadi pada saat persalinan (Prawirohardjo, 2010).

Hasil studi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bandung,

yang melakukan penelitian dari tahun 2009 – 2010 pada beberapa Propinsi di

Indonesia didapatkan bahwa satu dari lima ibu bersalin yang mengalami ruptur

perineum akan meninggal dunia dengan persen (21,74 %) (Wulandari, 2016).

Menurut Weber dari Universitas Pittsburgh School of Medicine (2003)

dalam Nursaidah (2017), menyatakan belum ada konsensus untuk angka ideal

terjadinya ruptur perineum tapi menurut fakta bahwa ruptur perineum yang

terjadi lebih dari 20% tidak dapat dibenarkan. Menurut beberapa penelitian

ditemukan bahwa angka kejadian ruptur perineum lebih rendah dari 10% dapat

menghasilkan output yang lebih baik untuk ibu dan bayi.

Ruptur perineum adalah perlukaan jalan lahir yang terjadi pada saat

kelahiran bayi baik menggunakan alat maupun tidak menggunakan alat

(Manuaba, 2010). Laserasi perineum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

faktor maternal, faktor janin dan faktor penolong. Faktor maternal meliputi umur

ibu, partus presipitatus, mengejan terlalu kuat, perineum yang rapuh dan oedem,

paritas, kesempitan panggul dan Chepalo Pelvic Disproposional (CPD),

kelenturan vagina, varikosa pada pelvis maupun jaringan parut pada perineum

dan vagina, persalinan dengan tindakan seperti ekstraksi vakum, ekstraksi


5

forcep, versi ekstraksi dan embriotomi. Faktor janin meliputi kepala janin besar,

berat bayi lahir, presentasi defleksi, letak sungsang dengan after coming head,

distosia bahu, kelainan kongenital. Faktor penolong meliputi cara memimpin

mengejan, cara berkomunikasi dengan ibu, keterampilan menahan perineum

pada saat ekspulsi kepala, anjuran posisi meneran dan episiotomi (Ibrahim,

1996; Mochtar, 1998; Winkjosastro, 2006 dalam Wulandari, 2016).

Umur merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ruptur perineum.

Ruptur perineum dialami oleh 85% wanita yang melahirkan pervaginam. Pada

golongan umur 25-30 tahun yaitu 24% sedang pada ibu bersalin usia 32-39

tahun sebesar 62% (Sarwono, 2014). Menurut Saifuddin (2007), interval umur

menurut identifikasi kebidanan adalah umur reproduksi yang sehat dan aman

adalah umur 20 – 35 tahun. Kehamilan pada umur < 20 tahun dan di atas 35

tahun dapat menyebabkan risiko. Menurut Siswosudarmo (2008) dalam

Wulandari (2016), umur < 20 tahun atau > 35 tahun merupakan faktor risiko

terjadinya perdarahan pasca persalinan yang dapat mengakibatkan kematian

maternal. Hal ini dikarenakan pada usia < 20 tahun fungsi reproduksi seorang

wanita belum berkembang dengan sempurna. Sedangkan pada usia > 35 tahun

fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan

fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan terjadinya komplikasi pasca

persalinan terutama perdarahan akan lebih besar. Berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Hastuti (2016) tentang hubungan antara umur, paritas,

aktivitas fisik trimester III dan berat badan lahir dengan kejadian ruptur
6

perineum di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu, menunjukkan ada hubungan

positif antara umur dengan kejadian ruptur perineum, secara statistik signifikan.

Ibu dengan riwayat umur ≥35 tahun memiliki logit 2.5 point lebih tinggi

mengalami ruptur perineum dari pada ibu dengan umur <35 tahun (p=0.007)

Menurut Saifuddin (2007), paritas 2-3 merupakan paritas paling aman

ditinjau dari sudut kematian maternal. Klasifikasi paritas meliputi, Primipara

adalah jumlah paritas 1, Multipara adalah jumlah paritas 2-3, Grande multipara

adalah jumlah paritas ≥ 4. Menurut Wiknjosastro (2007), ruptur perineum adalah

robeknya perineum secara spontan, terjadi hampir pada semua persalinan

pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Menurut Bobak

(2006) dalam Wulandari (2016), bahwa pada setiap persalinan jaringan lunak

dan struktur di sekitar perineum mengalami kerusakan. Kerusakan biasanya

terjadi lebih nyata pada wanita primigravida dalam artian wanita yang belum

pernah melahirkan bayi yang viable (nullipara) daripada wanita multigravida

dalam artian wanita yang sudah pernah melahirkan bayi yang viable lebih dari

satu kali (multipara). Nursaidah (2017) dalam penelitiannya tentang pengaruh

berat badan lahir bayi, umur, paritas terhadap ruptur perineum pada ibu bersalin

di RSUD Sidoarjo, menyebutkan bahwa variabel yang paling dominan dalam

mempengaruhi kejadian ruptur perineum adalah paritas ibu. Hal ini dijelaskan

bahwa semakin tinggi paritas ibu maka akan mencegah terjadinya ruptur sebesar

171,79 kali lebih besar dibandingkan ibu dengan paritas rendah. Tidak selalu ibu

dengan paritas sedikit (primipara) mengalami ruptur perineum dan paritas


7

banyak (multipara dan grande multipara) tidak mengalami ruptur perineum,

karena setiap ibu mempunyai tingkat keelastisan perineum yang berbeda-beda.

Hasil uji analisis antara paritas ibu dengan kejadian ruptur perineum di RSUD

Sidoarjo (p value = 0,000) artinya terdapat hubungan yang bermakna antara

paritas dengan ruptur perineum.

Menurut Saifuddin (2008), berat badan janin dapat menyebabkan

terjadinya ruptur perineum, terutama pada janin yang mempunyai berat lebih

dari 4000 gram. Berat bayi baru lahir normal adalah sekitar 2.500 sampai 4000

gram. Menurut Prawirohardjo (2008), BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah) adalah

neonatus dengan berat badan lahir pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram

(sampai 2499 gram). Menurut Cunningham (2010) dalam Wulandari (2016),

pada saat persalinan, laserasi spontan pada perineum dapat terjadi pada saat

kepala dan bahu dilahirkan. Ketika bayi melewati jalan lahir, berat badan bayi

berpengaruh terhadap besarnya penekanan terhadap otot-otot yang berada di

sekitar perineum sehingga perineum menonjol dan meregang sampai kepala dan

seluruh bagian tubuh bayi lahir. Penekanan otot-otot perineum ini sering

menyebabkan rupture perineum. Semakin besar tekanan terhadap perineum

maka semakin besar pula resiko terjadinya ruptur perineum ketika proses

persalinan berlangsung. Penelitian yang dilakukan Wulandari (2016) tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ruptur perineum spontan di

BPM Ny. Natalia Kecamatan Genuk Kota Semarang, hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan ruptur
8

perineum pada persalinan normal. Hasil uji statistik menggunakan uji chi square

didapatkan nilai p=0,043 (α=0,05) dengan Ratio Pravelensi sebesar 1,74.

Berdasarkan hasil data prasurvey di Pelayanan Obstetri Neonatal

Emergensi Dasar (PONED) Jalaksana, jumlah persalinan normal pada bulan

Januari sampai dengan bulan Desember tahun 2016 sebanyak 324 persalinan,

sehingga rata-rata persalinan normal satu bulan sebanyak 27 persalinan. Hasil

observasi rekam medik menunjukkan persalinan normal dengan ruptur perineum

sebanyak 136 (42%) persalinan. Sebagian besar ibu bersalin dengan umur

reproduksi sehat atau tidak risiko (20-35 tahun) sebanyak 196 (60%) dan umur

reproduksi tidak sehat atau risiko (< 20 tahun dan > 35 tahun) sebanyak 128

(40%). Ibu dengan paritas sedikit (primipara) sebanyak 168 (52%) dan paritas

banyak (multipara dan grande multipara) sebanyak 156 (48%). Sedangkan berat

badan bayi lahir lebih dari 2500 gram sebanyak 252 (78%) dan berat badan bayi

lahir kurang dari 2500 gram sebanyak 72 (22%) persalinan.

Selain itu permasalahan lain pada tahun 2018, yaitu adanya kejadian ruptur

perineum pada ibu bersalin derajat tiga dan empat, sehingga terjadi perdarahan

hebat dan memerlukan penanganan di Rumah Sakit. Hal ini dikarenakan adanya

kerusakan jaringan yang lebih luas bahkan sampai mengenai sphinter ani dan

anus.

Trauma jalan lahir harus mendapatkan perhatian karena dapat

menyebabkan disfungsi organ bagian paling luar sampai alat reproduksi vital,

sebagai sumber perdarahan yang berakibat fatal dan sumber atau jalan masuknya
9

infeksi. Oleh karena itu, setiap trauma jalan lahir memerlukan tindakan yang

cepat dan tepat dengan tujuan melakukan operasi rekontruksi, mengangkat

perdarahan dan sumber infeksi sehingga jiwa penderita dapat diselamatkan

(Manuaba, 2007).

Mengingat banyaknya kasus ruptur perineum terjadi pada persalinan

normal di pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar (PONED) Jalaksana

tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Faktor-

faktor yang berhubungan dengan kejadian ruptur perineum pada persalinan

normal di Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) Jalaksana

Kabupaten Kuningan Tahun 2018”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan

masalah sebagai berikut : ”Faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian

ruptur perineum pada persalinan normal di Pelayanan Obstetri Neonatal

Emergensi Dasar (PONED) Jalaksana Kabupaten Kuningan Tahun 2018 ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ruptur

perineum pada persalinan normal di Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi

Dasar (PONED) Jalaksana Kabupaten Kuningan Tahun 2018.


10

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian ruptur perineum pada persalinan

normal di Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED)

Jalaksana Kabupaten Kuningan Tahun 2018

b. Mengetahui distribusi frekuensi umur ibu bersalin di Pelayanan Obstetri

Neonatal Emergensi Dasar (PONED) Jalaksana Kabupaten Kuningan

Tahun 2018.

c. Mengetahui distribusi frekuensi paritas ibu bersalin di Pelayanan Obstetri

Neonatal Emergensi Dasar (PONED) Jalaksana Kabupaten Kuningan

Tahun 2018.

d. Mengetahui distribusi frekuensi berat badan bayi lahir di Pelayanan

Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) Jalaksana Kabupaten

Kuningan Tahun 2018.

e. Mengetahui hubungan antara umur ibu bersalin dengan kejadian ruptur

perineum pada persalinan normal di Pelayanan Obstetri Neonatal

Emergensi Dasar (PONED) Jalaksana Kabupaten Kuningan Tahun 2018.

f. Mengetahui hubungan antara paritas ibu bersalin dengan kejadian ruptur

perineum pada persalinan normal di Pelayanan Obstetri Neonatal

Emergensi Dasar (PONED) Jalaksana Kabupaten Kuningan Tahun 2018.

g. Mengetahui hubungan antara berat badan bayi lahir dengan kejadian

ruptur perineum pada persalinan normal di Pelayanan Obstetri Neonatal

Emergensi Dasar (PONED) Jalaksana Kabupaten Kuningan Tahun 2018.


11

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu kesehatan reproduksi, khususnya dalam upaya meningkatkan pelayanan

pertolongan persalinan secara optimal dan pencegahan terjadinya komplikasi

ruptur perineum.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan

untuk meningkatkan pengetahuan tentang ruptur perineum dan dapat

dijadikan sebagai bahan rujukan untuk peneliti lain yang sejenis.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

ruptur perineum pada persalinan normal di Pelayanan Obstetri Neonatal

Emergensi Dasar (PONED) Jalaksana Kabupaten Kuningan Tahun 2018.

Penelitian ini dilakukan karena tingginya angka kejadian ruptur perineum yaitu

sebanyak 136 (42%) persalinan, yang menjadi responden dalam penelitian ini

adalah ibu bersalin normal. Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder

yang didapatkan dari data rekam medik ibu bersalin. Analisis dalam penelitian ini

menggunakan analisis univariat dengan distribusi frekuensi dan analisis bivariat

dengan menggunakan uji statistik Chi-Square.

You might also like