You are on page 1of 12

REFERAT

PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS (SCBA)

Oleh :

Jundi Abyan 201410330311088

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdarahan saluran cerna bagian atas (didefinisikan sebagai perdarahan

yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal.

Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit

ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) (yang disebabkan oleh H. Pylori atau

penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau alkohol). Secara

umum penyebab SCBA yang sering ditemukan yaitu ulkus peptikum, gastritis

erosif, varises esofagus, dan ruptur mukosa esofagogastrika. Semua keadaan ini

meliputi sampai 90 persen dari semua kasus perdarahan gastrointestinalatas dengan

ditemukannya suatu lesi yang pasti.

Berdasarkan hasil penelitian di Jakarta didapati bahwa jumlah kematian

akibat perdarahan saluran cerna atas berkisar 26%. Insiden perdarahan SCBA dua

kali lebih sering pada pria dari pada wanita dalam seluruh tingkatan usia; tetapi

jumlah angka kematian tetap sama pada kedua jenis kelamin. Angka kematian

meningkat pada .usia yang lebih tua (>60 tahun) pada pria dan wanita.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang

serumen obsturan baik mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,

manifestasi klinis, diagnosis, pencegahan dan penatalaksanaannya.


1.3 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan

pemahaman penulis maupun pembaca mengenai perdarahan saluran cerna bagian

atas.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah

dalam lumen saluran cerna dimana saja, mulai dari esofagus sampai dengan

duodenum di daerah ligamentum Treitz. Sebagian besar perdarahan saluran cerna

bagian atas dapat terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer

disease) (yang disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi

non-steroid (OAINS) atau alkohol). Perdarahan SCBA termasuk salah satu

kegawatan daruratan yang banyak ditemukan di rumah sakit seluruh dunia dan

merupakan salah satu indikasi perawatan di rumah sakit dan banyak menimbulkan

kematian bila tidak ditangani dengan baik.

2.2 Epidemiologi

Perdarahan SCBA merupakan perdarahan yang berasal dari esofagus

sampai ligamentum of Treitz. Insidens perdarahan SCBA bervariasi mulai dari 48-

160 kasus per 100.000 populasi, insidens tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia

Lebih dari 60% perdarahan SCBA disebabkan oleh perdarahan ulkus peptikum,

perdarahan varises esofagus hanya sekitar 6%. Etiologi lain adalah malformasi

arteriovenosa, Mallory-Weiss tear, gastritis, dan duodenitis. Di Indonesia, sekitar

70% penyebab SCBA adalah ruptur varises esofagus. Namun, dengan perbaikan

manajemen penyakit hepar kronik dan peningkatan populasi lanjut usia, proporsi

perdarahan ulkus peptikum diperkirakan bertambah. Data studi retrospektif di RS

Cipto Mangunkusumo tahun 2001-2005 dari 4154 pasien yang menjalani


endoskopi, diketahui bahwa 807 (19,4%) pasien mengalami perdarahan SCBA.

Penyebab perdarahan SCBA antara lain: 380 pasien (33,4%) ruptur varises

esofagus, 225 pasien (26,9%) perdarahan ulkus peptikum, dan 219 pasien (26,2%)

gastritis erosif.

2.3 Etiologi

Terdapat perbedaan distribusi penyebab perdarahan saluran cerna bagian

atas (SCBA) di Indonesia dengan laporan pustaka Barat. Penyebab terbanyak di

Indonesia adalah perdarahan varises karena sirosis hati (65%), sedangkan di negara

Eropa dan Amerika adalah perdarahan non variceal karena ulkus peptikum (60%).8

Penyebab lain yang jarang meliputi, Malory Weiss tears, duodenitis erosive, ulkus

dielafoy (salah satu tipe malformasi vaskuler), neoplasma, aortoenteric fistula,

GAVE (gastric antral vascular ectasia) dan gastropathy prolapse.

2.4 Patofisiogi

Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam

proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa


mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi

sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel

makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa juga

mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang

melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH

netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai vaskular

ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga

berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut

atau kronik dapat terjadi dengan adanya dekstruksi mekanisme-mekanisme

protektif tersebut.

Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang sehingga

rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna. OAINS dan obat antiplatelet

dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk oleh

prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang menyebabkan

meningkatnya perlukaan mukosa gaster. Infeksi Helicobacter pylori yang

predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam lambung dengan

konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan menstimulasi

sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan sekresi lambung.

Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang

berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam dan isi minuman berakohol selain

alkohol juga merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan perlukaan mukosa

saluran cerna. Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada terapi radiasi dan

kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya

kemampuan regenerasi sel. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diabetes


mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid pada perdarahan SCBA dan

menjadi faktor risiko perdarahan SCBA. Pada pasien DM terjadi perubahan

mikrovaskuler salah satunya adalah penurunan prostasiklin yang berfungsi

mempertahankan mukosa lambung sehingga mudah terjadi perdarahan.

Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi ulkus peptikum. Merokok

merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum. Merokok

memicu kekambuhan, menghambat proses penyembuhan dan respon terapi

sehingga memperparah komplikasi ulkus kearah perforasi.

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik yang sering terjadi adalah adanya hematemesis (muntah

darah segar dan atau disertai hematin/ hitam) yang kemudian dilanjutkan dengan

timbulnya melena. Hal ini terutama pada kasus dengan sumber perdarahan di

esofagus dan gaster. Sumber perdarahan di duodenum relatif lebih sering

bermanifestasi dalam bentuk melena atau tidak jarang dalam bentuk hematochezia.

Hal ini banyak dipengaruhi oleh jumlah darah yang keluar persatuan waktu dan

fungsi pilorus. Terkumpulnya darah dalam volume banyak dalam waktu singkat

akan menimbulkan refleks muntah sebelum komponen darah tersebut bercampur

dengan asam lambung (sehingga muntah darah segar). Hal ini berbeda dengan

perdarahan yang memberi kesempatan darah yang keluar terpapar lengklap dengan

asam lambung sehingga membentuk hematin hitam. Perdarahan yang masif,

terutama yang berasal dari duodenum, kadang tidak terpapar asam lambung dan

keluar peranum dalam bentuk darah segar (hematochezia) atau merah hati (maroon

stool)
2.7 Diagnosis

Diagnosis perdarahan SCBA dibuat berdasarkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, inspeksi dengan pemasangan nasogastric tube (NGT),

pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan endoskopi, radionuclide scanning,

radiografi barium kontras.

2.8 Tatalaksana

Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) merekomendasikan

pendekatan multidisiplin melibatkan internis/gastroenterologis, radiologis

intervensi, dan bedah/bedah digestif.

Tatalaksana Awal

Penilaian status hemodinamik dan resusitasi dilakukan paling awal.

Resusitasi meliputi pemberian cairan intravena, pemberian oksigen, koreksi

koagulopati, dan transfuse darah bila dibutuhkan. Batas transfusi darah adalah jika

Hb ≤7,0 g/dL, lebih tinggi apabila perdarahan masih berlanjut atau perdarahan

masif atau adanya komorbid seperti penyakit jantung koroner, hemodinamik tidak

stabil, dan lanjut usia. Hemoglobin minimal untuk endoskopi adalah 8 g/dL, namun

jika akan dilakukan terapi endoskopi, hemoglobin disarankan 10 g/dL dan

hemodinamik stabil. Pemakaian selang nasogastrik untuk diagnosis, prognosis,

visualisasi, atau terapi tidak direkomendasikan. Selang nasogastric dapat dipasang

untuk menilai perdarahan yang sedang berlangsung pada hemodinamik tidak stabil;

tujuan pemasangan adalah untuk mencegah aspirasi, dekompresi lambung, dan

evaluasi perdarahan. Tindakan kumbah lambung dengan es tidak

direkomendasikan. Terapi pra-endoskopi dengan proton pump inhibitor (PPI)


direkomendasikan pada perdarahan ulkus peptikum; PPI dapat dengan cepat

menetralkan asam lambung. pH in vitro di atas dapat mendukung pembentukan

dan stabilitas bekuan. Lingkungan asam dapat menghambat agregasi trombosit dan

koagulasi plasma, juga menyebabkan lisis bekuan. ACG (American College_ of

Gastroenterology) merekomendasikan pemberian PPI bolus 80 mg diikuti dengan

infus 8 mg/jam untuk mengurangi tingkat stigmata dan mengurangi terapi

endoskopi. Meskipun begitu PPI tidak menurunkan angka perdarahan ulang,

pembedahan, dan kematian.3 Jika endoskopi ditunda dan tidak dapat dilakukan,

terapi PPI intravena direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lebih lanjut.

Penilaian risiko untuk stratifikasi pasien, juga dilakukan untuk membantu membuat

keputusan awal seperti saat endoskopi, saat pemulangan, dan tingkat perawatan.3

Tatalaksana Endoskopi

Endoskopi direkomendasikan dalam ≤24 jam; pada pasien risiko tinggi seperti

instabilitas hemodinamik (takikardia, hipotensi) yang menetap setelah resusitasi

atau muntah darah segar, aspirat darah segar pada selang nasogastrik, endoskopi

dilakukan very early dalam ≤12 jam. Di lain pihak, endoskopi early meningkatkan

risiko desaturasi terutama bila dilakukan sebelum resusitasi dan stabilisasi. Pada

pasien dengan status hemodinamik stabil dan tanpa komorbid serius, endoskopi

dapat dilakukan sebelum pasien pulang. Tujuan endoskopi adalah untuk

menghentikan perdarahan aktif dan mencegah perdarahan ulang. ACG

merekomendasikan terapi endoskopi untuk perdarahan aktif memancar atau

merembes atau pembuluh darah visible tanpa perdarahan. Pada bekuan yang

resisten dengan irigasi (bekuan adheren), terapi endoskopi dapat dipertimbangkan


terutama pada pasien risiko tinggi perdarahan ulang. Terapi endoskopi tidak

direkomendasikan untuk ulkus dengan dasar bersih atau bitnik pigmentasi.


BAB III

KESIMPULAN

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah

dalam lumen saluran cerna dimana saja, mulai dari esofagus sampai dengan

duodenum di daerah ligamentum Treitz. Penyebab perdarahan SCBA antara lain:

380 pasien (33,4%) ruptur varises esofagus, 225 pasien (26,9%) perdarahan ulkus

peptikum, dan 219 pasien (26,2%) gastritis erosif. Manifestasi klinik yang sering

terjadi adalah adanya hematemesis (muntah darah segar dan atau disertai hematin/

hitam) yang kemudian dilanjutkan dengan timbulnya melena. Hal ini terutama pada

kasus dengan sumber perdarahan di esofagus dan gaster. Diagnosis perdarahan

SCBA dibuat berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, inspeksi dengan

pemasangan nasogastric tube (NGT), pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan

endoskopi.

Penilaian status hemodinamik dan resusitasi dilakukan paling awal.

Resusitasi meliputi pemberian cairan intravena, pemberian oksigen, koreksi

koagulopati, dan transfuse darah bila dibutuhkan. Pemakaian selang nasogastrik

untuk diagnosis, prognosis, visualisasi, atau terapi tidak direkomendasikan. Selang

nasogastric dapat dipasang untuk menilai perdarahan yang sedang berlangsung

pada hemodinamik tidak stabil; tujuan pemasangan adalah untuk mencegah

aspirasi, dekompresi lambung, dan evaluasi perdarahan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Dubey, S., 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Dalam: Greenberg,

M.I., et al. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg Vol 1. Jakarta:

Penerbit Erlangga, 275.

2. Fadila, M. N. (2015). Hematemesis Melena dikarenakan Gastritis Erosif

dengan Anemia dan Riwayat Gout Arthritis. Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung, 1-5.

3. Almi, D. (2013). Hematemesis Melena Et Causa Gastritis Erosive dengan

Riwayat Penggunaan Obat NSAID Pada Pasien Laki-Laki Lanjut Usia.

Medula, Volum 1, Nomor 1, 72-78.

4. Efendi, J., Waleley, B., & Sugeng, C. (2016). Profil pasien perdarahan

saluran cerna bagian atas yang dirawat di RSUP Prof. Dr. R. D Kandou

Manado periode 2013 – 2015. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2,

1-4.

5. Nugraha, D. A. (2017). Diagnosis dan Tatalaksana Perdarahan Saluran

Cerna Bagian Atas Non-Variseal. CDK-252/ vol. 44 no. 5, 323-327.

You might also like