You are on page 1of 11

AJARAN HIDUP ORANG JAWA DALAM SERAT WEDHATAMA

Dedy Setyawan1
Sunoto2
Karkono2
Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5, 65145 Malang
E-mail: dedy.setyawan92@gmail.com

ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan (1) ajaran tata laku
manusia dengan Tuhan yang terdapat dalam Serat Wedhatama dan (2) ajaran tata
laku antar manusia dalam Serat Wedhatama. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan semiotik dengan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa Serat Wedhatama mengandung empat ajaran tata laku
antara manusia dengan Tuhan yaitu (1) Sembah Raga, (2) Sembah Cipta, (3)
Sembah Jiwa, (4) Sembah Rasa, dan tiga tata laku antar manusia yaitu (1)
memahami ilmu, (2) memahami tiga perkara, dan (3) memaafkan.

Kata Kunci:ajaran Jawa, ajaran hidup, Serat Wedhatama.

ABSTRACT: The purpose of this research are describing (1) the life teaching
between human and God in Serat Wedhatama, and (2) the life teaching between
peoples. This research use semiotic approach and the descriptive qualitative
research design. This research show that in Serat Wedhatama contains four life
teaching between Human and God (1) Sembah Raga, (2) Sembah Cipta, (3)
Sembah Jiwa, (4) Sembah Rasa, and three life teaching between peoples (1) have
knowledge, (2) paham triprakara, dan (3) forgiveness.

Keyword: Javanese teaching, life teaching, Serat Wedhatama.

Falsafah ajaran orang Jawa yang berisifat religius, nondoktrinier atau


dogmatis, toleran, akomodatif, optimistik, pada dasarnya terangkum dalam istilah
memayu hayuning bawana. Memayu hayuning bawana merupakan sebuah konsep
yang banyak dipegang oleh orang Jawa. Secara etimologi memayu hayuning
bawana berarti ‘mempercantik indahnya alam’. Akan tetapi, secara spiritual
konsep ini berisi tentang tata laku kehidupan orang Jawa dalam menjaga
kelangsungan hidup dengan tata laku antarmanusia, alam, dan Tuhan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Endraswara (2013:16) memayu hayuning bawana adalah
ihwal space culture dan spiritual culture. Bawana tidak lagi hanya jagad beserta
isinya namun bawana adalah kosmologi Jawa yang dipandang sebagai jagad
rame.
Salah satu naskah yang banyak dikenal berisi ajaran luhur, yang
memberikan ajaran hubungan manusia dengan sesamanya, dengan alam, dan
dengan Tuhan adalah Serat Wedhatama. Serat Wedhatama adalah salah satu serat
yang banyak dijadikan sebagai bahan pengajaran ajaran-ajaran hidup orang Jawa.
Soenardi (1928:7) mengatakan bahwa Serat Wedhatama punika sampun kaloka,
1
Dedy Setyawan adalah mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM). Artikel ini diangkat dari
skripsinya di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang , 2015
2
Sunoto dan Karkono adalah dosen Fakultas Sastra di Universitas Negeri Malang
2

ingkang sampun tepang isinipun. Meh saben kaum mangertos suraosipun,


SeratWedhatama punikakalebet satunggiling pustaka tataran inggil, sarta isi
kawruh luhur ing babngelmi kebatosan Jawi (Serat Wedhatama merupakan serat
yang sudah mapan dan jelas isinya. Hampir setiap kaum telah mengetahuinya.
Serat Wedhatama itu termasuk salah satu pustaka tinggi, serta berisi pengetahuan
luhur dalam hal ilmu kebatinan Jawa).
Ajaran yang terdapat dalam naskah-naskah lama kini semakin hilang. Hal
ini karena tidak banyak masyarakat yang mau mempelajarinya, apalagi
mengulasnya. Memang sudah ada beberapa ulasan-ulasan mengenai naskah-
naskah lama, namun tak banyak jumlahnya. Kurangnya perhatian terhadap sastra
lama jelas menghambat penyebaran aspek-aspek kebudayaan lokal yang
terkandung di dalamnya, yang sesungguhnya sangat kaya dengan nilai-nilai
(Ratna, 2010:36). Oleh karena itu, analisis naskah-naskah lama sebagai
pengungkapan nilai-nilai ajaran hidup orang Jawa penting dilakukan khususnya
dalam Serat Wedhatama.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini
adalah mendeskripsikan ajaran tata laku antara manusia dengan Tuhan dan tata
laku antarmanusia. Diharapka penelitian ini bisa membantu para pembaca untuk
menggali lebih dalam isi Serat Wedhatama ini. Selain itu, penelitian ini bisa
dijadikan sebuah bahan perenungan sebagai pedoman dalam berkehidupan.

METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik dengan jenis penelitian
kualitatif deskriptif. Pendekatan dan jenis penelitian tersebut dipilih karena data
yang menjadi fokus analisis adalah data verbal. Analisis data pun difokuskan pada
kedalaman isi dalam data. Menurut Ratna (2010:47) metode kualitatif
memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan
konteks keberadaannya. Metode deskriptif analitis dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Mula-mula
data dideskripsikan, dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya,
kemudian dianalisis, bahkan juga diperbandingkan (Ratna, 2010:53). Data yang
telah diperoleh dianalisis dengan menghubungkan interpretasi data dengan teori
yang ada.
Sumber data primer adalah Serat Wedhatama karya Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Aryo Mangkunagara IV. Sumber data berupa Serat Wedhatama
yang diterbitkan oleh Java Institut di Surakarta tahun 1928 dengan judul Serat-
Serat Anggita Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunagara IV
halaman 109—131 yang terdiri atas 5 pupuh yaitu: pangkur 14 bait, sinom 18
bait, pucung 15 bait, dan gambuh 25 bait. Sumber data sekunder adalah Nginjen
Wedharing Wedhatama yang ditulis oleh Raden Mas Soenardi dan diterbitkan
oleh Dewan Pengurus Sekretarian Kerjasama Kepercayaan (SKK) Dati I Jawa
Timur pada tahun 1928. Data berupa kutipan kata, klausa, kalimat dan paragraf
3

yang diduga mengandung ajaran hidup dalam tata laku antarmanusia, dan tata
laku manusia dengan Tuhan, dalam pupuh Serat Wedhatama.
Peneliti sebagai instrumen utama pengumpulan data dan dibantu dengan
instrumen penelitian berupa indikator pengumpulan data. Data yang tidak sesuai
dengan indikator nantinya hanya dilampirkan. Tidak semua bagian dari Serat
Wedhatama akan dijadikan sebagai data dalam penelitian ini. Hal tersebut
dilakukan untuk menghindari pembahasan yang meluas dan keluar dari tujuan
penelitian.
Data dikumpulkan dengan membaca kemudian mencatat setiap bagian dari
Serat Wedhatama yang memiliki salah satu indikator yang ditentukan. Indikator-
indikator tersebut berupa dua aspek utama mengenai ajaran tata laku manusia
dengan Tuhan dan tata laku antar manusia. Aspek pertama yaitu tata laku antara
manusia dengan Tuhan berupa catur sembah yang terdiri atas empat indikator,
yaitu (1) sembah raga, (2) sembah cipta, (3) sembah jiwa, dan (4) sembah rasa.
Aspek kedua yaitu ajaran tata laku antarmanusia yang terdiri atas tiga sub
aspek yaitu (1) memahami ilmu, (2) memahami tiga perkara, dan (3) memaafkan.
Sub aspek pertama yaitu memahami ilmu, sub aspek ini terdiri atas empat
indikator berupa (1) pengendalian diri, (2) tidak asal bicara, (3) selalu berkata
baik, dan (4) suka mengalah. Sub aspek ketiga yaitu memahamu tiga perkara yang
terdiri atas tiga indikator (1) lila, (2) narima, dan (3) legawa. Sub aspek terakhir
berupa saling memaafkan, sub aspek ini terdiri atas (1) saling memaafkan dan (2)
saling menasihati. Dari indikator-indikator tersebut akan dihasilkan data yang
berupa kutipan-kutipan frasa, klausa, atau kalimat yang mengandung unsur-unsur
ajaran masyarakat Jawa.
Analisis data dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah
reduksi dan kodefikasi data. Reduksi data dilakukan dengan memepertimbangkan
kesesuaian data dengan tujuan penelitian. Setelah kegiatan reduksi data kodefikasi
dilakukan. Tahap selanjutnya adalah klasifikasi data berdasarkan keseragaman
dan kesesuaian data dengan fokus penelitian. Interpretasi data dilakukan dengan
menghubungkan hasil klasifikasi dengan aspek semantik dan isi dalam Serat
Wedhatama. Pemeriksaan keabsahan temuan dilakukan dengan (1) diskusi
bersama teman sejawat, (2) diskusi dengan ahli, dan (3) dihubungkan dengan
teori-teori yang relevan. Pemeriksaan keabsahan data ini untuk memperoleh data
yang valid mengenai ajaran masyarakat Jawa dalam Serat Wedhatama.

HASIL
Dimensi ketuhanan merupakan dimensi vertikal dalam ajaran
masyarakat Jawa. Dimensi vertikal atau ketuhanan mencakup ranah hubungan
masyarakat Jawa terhadap Tuhan. Tata laku manusia dengan Tuhan, di dalam
Serat Wedhatama berupa langkah-langkah yang harus ditempuh manusia untuk
medekatkan diri dengan Tuhannya. Pada gambuh pupuh pertama, disebutkan
sêmbah catur supaya lumuntur, dhingin raga cipta jiwa rasa kaki, ing kono lamun
4

kêtêmu, tôndha nugrahaning Manon. Pernyataan-pernyataan tersebut berisi


informasi mengenai empat jenis sembah yang harus dilakukan oleh manusia, yaitu
sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Keempat sembah itu dalam Serat Wedhatama
dikenal dengan catur sembah.
Sembah raga dalam Serat Wedhatama mengacu pada aktivitas ragawi
seperti solat, sembahyang, puja, dan misa. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan
dengan memanfaatkan air sebagai sarana penyucian diri, baik sebelum, saat atau
sesudah kegiatan sembah raga dilangsungkan. Hal ini tampak pada contoh
aktivitas yang muncul dalam Serat Wedhatama berupa nyantrik. Dalam konteks
masyarakat Jawa dan Serat Wedhatama istilah nyantrik dimaknai sebagai kegiatan
pembelajaran melalui pengabdian terhadap tokoh masyarakat.
Sembah kedua dalam Serat Wedhatama adalah sembah cipta. Sembah
cipta mengacu pada aktivitas batin berupa pengendalian diri. Sembah cipta juga
dikenal sebagai sembah kalbu karena menyangkut kalbu atau batin seseorang.
Aktivitas pada sembah ini berupa pengendalian diri melalui pancaindriya.
Pengendalian panca indra merupakan pengendalian agar terhindar dari sifat
angkara murka atau rajas tamas.
Menjalankan sembah cipta harus disertai rasa heneng, artinya jasmani
tidak sedang gelisah. Hening, yaitu kenyamanan (lêrêming pamikiran) dan
ketenangan dalam batin. Eling, yaitu ingat akan kekuatan diluar alam pikiran.
Ilanging rasa tumlawung, yaitu hilangnya rasa keinginan macam-macam (nafsu
duniawi). Serta dilakukan dengan tertata, teliti dan keteguhan hati, hingga pada
akhirnya dapat membuka mata batin.
Sembah ketiga dalam Serat Wedhatama adalah sembah jiwa. Sembah jiwa
mengacu pada aktivitas ke-jiwa-an atau atman. Aktivitas pada sembah ini berupa
pengendalian diri dengan selalu eling lan awas atau ingat dan waspada. Dalam
menjalankan laku pada sembah jiwa perihal yang diingat (eling) dan diwaspada
(awas) adalah adanya keberadaan alam-alam lain atau yang biasa disebut dengan
triloka (tiga alam). Dengan selalu ingat dan waspada maka seseorang itu akan
mampu menjadikan triloka (jagad gedhe) tergulung dalam jiwa (jagad cilik).
Sembah terakhir dalam Serat Wedhatama adalah sembah rasa. Sembah
rasa adalah sembah yang mengacu pada rasa (raos). Rasa dalam bahasa Kawi
berarti makna inti (pathining têgês) yang berarti inti dari sembah. Sembah ini
merukan hasil dari ketiga sembah sebelumnya yang membawa insan menuju
kepada ketajaman batin. Dengan terbukanya mata batin akan menjadikan pribadi
manunggal menjadi satu wujud. Dengan manunggal menjadi satu wujud terasa
pertanda alam tanpa lagi petunjuk, segalanya merupakan pertanda hingga
memahami hakikat dari sangkan paraning dumadi yaitu hubungan asal-usul dan
tujuan suatu kejadian.
Dimensi horisontal dalam ajaran masyarakat Jawa merupakan
hubungan sosio-kultural yang saling terkait antara manusia dengan manusia
lainnya. Manusia adalah homo socius yang tidak bisa terlepas dengan manusia
5

lainnya. Konsep Jawa lama mengedepankan harmonisasi antara kedua hubungan


laku kepada Tuhan dan laku sesama manusia. Maka hubungan antar manusiapun
memiliki laku tersendiri yang harus berjalan beriringan dengan laku kepada
Tuhan. Harmonisasi antara kedua laku tersebut akan memunculkan keselamatan
dan kebahagiaan hidup bagi orang Jawa atau sering disebut dengan memayu
hayuning bawana. Harmonisasi dalam hubungan antarmanusia dalam Serat
Wedhatama berupa (1) memahami ilmu, (2) paham akan tiga perkara, dan (3)
maaf memaafkan.
Laku pertama dalam Serat Wedhatama adalah memahami ilmu.
Memahami ilmu sebagai tata laku antarmanusia dilihat dari aspek ajar, yaitu
saling ingat-mengingatkan. Saling mengingatkan akan membawa manusia
menjadi tahu akan kemampuan dan dayanya. Dengan demikian manusia akan
mampu mengendalikan diri dan menjaga harmonisasi dalam hubungan
antarmanusia.
Laku kedua dalam Serat Wedhatama adalah memahami ilmu. Ilmu yang
dimaksud adalah catur sembah yang ilmu membawa seseorang menuju laku tiga
perkara, yakni lila (kerelaan), narima (penerimaan), dan legawa (keikhlasan).
Ketiga perkara itu merupakan laku antarmanusia yang menghasilkan sikap empati
dan tenggang rasa. Sikap ini mampu menjadikan seseorang memahami perasaan
diri sendiri maupun orang lain serta turut menjaganya.
Laku terakhir dalam Serat Wedhatama adalah Saling memaafkan. Saling
memaafkan merupakan sifat yang dibawa orang yang bisa mengendalikan ego
dengan pemahaman ilmu dan rasa empati. Tanpa mengedepankan ego, seseorang
selalu penuh ajaran cinta kasih, selalu bisa memaafkan meski menemui ada yang
“sisip” (tidak mengenakan hati), serta tetap sabar dan saling mengingatkan.

PEMBAHASAN
Bagian ini berisi pembahasan tentang (1) ajaran hidup antara manusia
dengan Tuhan dalam Serat Wedhatama dan (2) ajaran hidup antar manusia dalam
Serat Wedhatama.

Ajaran Hidup Antara Manusia dengan Tuhan


Dalam Serat Wedhatama terdapat dua ajaran tata laku, yakni tata laku
antara manusia dengan Tuhan (dimensi vertikal) dan tata laku antar manusia
(dimensi horisontal). Kedua tata laku tersebut berjalan beriringan dan saling
mengisi satu sama lain. Tata laku tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.
Dimensi ketuhanan merupakan dimensi vertikal dalam ajaran masyarakat
Jawa. Dimensi vertikal atau ketuhanan mencakup ranah hubungan masyarakat
Jawa terhadap Tuhan. Menurut Sunoto (2012:51) masyarakat Jawa beranggapan
bahwa hubungan dengan Tuhan merupakan dimensi vertikal karena masyarakat
Jawa menganggap bahwa kedudukan Tuhan berada di langit (atas) dan
masyarakat di bumi (bawah).
6

Dalam dimensi vertikal terdapat empat ajaran dalam Serat Wedhatama,


yakni (1) sembah raga, (2) sembah cipta, (3) sembah jiwa, dan (4) sembah rasa
yang disebut dengan catur sembah. Keempat sembah tersebut dilakukan secara
beruntun mulai tahapan penyucian tertentu. Tahapan penyucian itu ibarat
penyucian diri sebelum memasuki tempat sakral. Pada gambuh pupuh pertama,
menyebutkan samêngko ingsun tutur, sêmbah catur supaya lumuntur, dhingin
raga cipta jiwa rasa kaki, ing kono lamun kêtêmu, tôndha nugrahaning Manon
yang berarti kelak saya bertutur, empat sembah supaya dilakukan, pertama raga,
cipta, jiwa dan rasa. Di situlah akan bertemu, pertanda anugerah Tuhan.
Sembah raga adalah laku yang menempati urutan pertama. Sembah raga
merupakan kegiatan penyucian diri yang paling awal, sembah ini menurut
Endraswara (2013:89) berupa upacara keagamaan. Oleh karena itu sembah ini
berupa penyucian secara ragawi. Sembah ini dilakukan dengan nyantrik dan
bersuci. Pada masyarakat Jawa, tahapan pertama seseorang dalam menjalani suatu
ilmu yaitu dengan magang, atau nyantrik dalam istilah Jawa. Nyantrik dalam
kamus bausastra Jawa berarti ngabdi marang pandhita (mengabdi pada pandhita).
Pada awal ajaran catur sembah sebelum beranjak pada sembah yang lain,
seseorang harus nyantrik terlebih dahulu, dengan memperdalam sembah raga.
Tahapan kedua dalam konsep sembah raga dengan bersuci, yaitu
menyuciakan diri dengan menggunakan air. Bersuci yang sudah biasa adalah
bersuci lima waktu. Laku ini dilakukan dengan bersuci menggunakan air. dalam
agama Islam berupa wudhu, dalam agama Hindu berupa tirta pabersihan, dalam
agama Katolik berupa pembabtisan. Semua bentuk bersuci ini menggunakan
sarana air sebagai bentuk pensucian. Hal tersebut dikarenakan air yang mengalir
mampu membawa kotoran pergi dan menghilangkan semua noda, itulah alasan
penggunaan air menjadi sarana penyucian diri.
Sembah cipta atau yang bisa disebut dengan sembah kalbu adalah laku
yang menempati urutan kedua. Sembah ini berupa penyucian dengan cara
menahan nafsu dan pikiran. Sembah ini dilakukan dengan mengendalikan nafsu
dan pikiran. Endraswara (2013:90) mengungkapkan bahwa sembah cipta
merupakan sarana latihan konsentrasi pikiran dan fokus pada objek yang pasti dan
menghentikan berbagai prasangka.
Tahapan pertama dalam melakukan sembah cipta adalah bersuci dengan
cara menahan hawa nafsu. Mengurangi hawa nafsu, bukan berarti menghilangkan
hawa nafsu dengan meninggalkan segala kewajiban yang ada. Melainkan hawa
nafsu yang dihilangkan adalah nafsu angkara murka (ardaning kalbu).
Mengurangi angkara murka (ardaning kalbu) itulah yang dinamakan dengan
bersuci tanpa air.
Pada tahapan kedua adalah pengendalian pikiran. Pengendalian pikiran
(manah) tersebut, merupakan jalan dari budi dan memiliki bentuk yang disebut
7

pancadriya. Pancadriya atau Panca Bhudindriya dalam agama hindu (Sadnyana,


2014) merupakan sarana yang “dialiri rasa” yaitu rasa ragawi (wadhag) yaitu:
(1) cakswindriya, ialah indria yang menyebabkan orang dapat melihat, (2)
srotendriya, ialah indria yang menyebabkan orang dapat mendengar, (3)
ghranendriya, ialah indria yang menyebabkan orang dapat mencium, (4)
jihwendriya, ialah indria yang menyebabkan orang dapat merasakan rasa, dan (5)
twakindriya, ialah indria pada kulit.
Sembah yang menempati urutan ketiga adalah sembah jiwa. Sembah ini
merupakan bentuk sembah yang berpusat pada jiwa (atman). Sembah ini
merupakan sembah yang diperuntukkan kepada Hyang Suksma, atau jiwa (atman
dalam agama hindu). Disebutkan dalam Serat Wedhatama pada gambuh, pupuh
ke-16 bahwa sekarang akan diajarkan sembah yang ketiga (samêngko kang
tinutur, sêmbah katri), sembah yang diperuntukan kepada Hyang Suksma (sayêkti
katur, mring Hyang Suksma). Sembah ini bisa dikatakan sebagai laku dalam
membersihkan jiwa, yang berangkat dari kebutuhan batin bukan kebutuhan
materi. Sembah ini dilakukan dengan cara ingat dan waspada (eling lan awas)
dengan menjaga keteraturan yang tepat serta kesadaran diri agar selalu bertindak
hati-hati. Endraswara (2013:90) mengatakan bahwa sembah jiwa adalah perja-
lanan menuju poin utama dari usaha keras dalam mistis, yaitu melepas
kehidupannya dari kebutuhan hidupnya dan meraih penyatuan kembali dengan
kehidupan yang sesungguhnya.
Dengan sersikap eling lan awas seseorang akan meraih penyatuan kembali
dengan kehidupan sesungguhnya atau manunggaling kawula lan gusti yaitu
bersatunya antara mikrokosmos dan makrokosmos. Menurut Endraswara
(2013:50) ketika jagad besar tergulung jagad kecil, maka akan sesuai dengan
konsep mengenai dunia (jagad/bawana) masyarakat Jawa bahwa manusia adalah
replika Tuhan atau “model dari jagad gedhe (makrokosmos) berdiri sebagai
manusia selaku jagad cilik (mikrokosmos)”. Artinya, seperti ‘tuhan’ yang bisa
mengetahui segala hal, manusia yang telah mampu menggulung jagad besar dalam
dirinya ia akan merasakan seisi alam tanpa harus pergi melihat langsung alam itu.
Urutan terakhir atau keempat adalah sembah rasa. Sembah dalam tahapan
terakhir catur sembah ini merupakan bentuk sembah yang secara rohani bersifat
abstrak, tidak dapat dijelaskan secara indrawi. Sejatinya sembah rasa adalah
terbukanya mata batin.
Sembah rasa merupakan sembah yang terletak pada rasa atau perasaan
(raos) jadi yang melakukan sembah adalah rasa, yaitu kepekaan dalam jiwa
seseorang. Bukan dengan serius (methênthêng) melakukan semedi, tapa brata,
atau sujud rukuk setiap waktu. Bukan juga mengheningkan cipta, menyepi atau
sebagainya, melainkan merupakan rangkaian dari ketiga sembah sebelumnya.
Sembah rasa dilakukan dengan cara memahami sebab-akibat. Memahami
sebab-akibat artinya, mengetahui dan paham akan asal muasal keberadaan, tahu
akan akibat dari segala tingkah polah, dan memahami alasan akan adanya suatu
8

keadaan. Dengan memahami suatu hubungan asal-usul dan tujuan suatu kejadian
(sangkan paraning dumadi) maka, seseorang harus mengetahui, mengerti, dan
awas akan hal yang benar dan palsu.
Seseorang harus paham dan mengerti serta waspada akan hal-hal yang
salah dan palsu. Jika sudah memahami mana yang salah, maka jangan diterjang,
sekalipun tahu akan resiko yang mungkin akan dialami. Itulah yang dimaksud
dengan ilmu dasar dalam batin. Jika tidak berbuat salah maka bersihlah hatinya.
Hanya dengan hati yang bersih maka dapat terbukalah tabir alam gaib. Dengan
terbukanya tabir maka rasa hidup itu bisa terwujud (rasaning urip) yaitu dengan
manunggal menjadi satu wujud (krana momor pamoring sawujud).
Kemanunggalan (Endraswara, 2013:78) diyakini oleh para praktisi kejawen
sebagai pembuka rahasia dan penerimaan inspirasi, kekuatan mistik yang lebih
sakti dalam kehidupan sehari-hari.

Ajaran Hidup Antarmanusia


Tidak hanya dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan yang terdapat
dalam Serat Wedhatama. Ajaran berupa laku dalam hubungan antarmanusia juga
terdapat dalam Serat ini. Kedua laku tersebut menjadi satu hal yaitu harmonisasi
hubungan keselamatan dan kebahagian orang Jawa. Harmonisasi antara kedua
laku tersebut akan memunculkan keselamatan dan kebahagiaan hidup bagi orang
Jawa atau sering disebut dengan memayu hayuning bawana.
Memayu hayuning bawana sebagai konsep harmonisasi antarmanusia
dalam Serat Wedhatama memiliki tiga tahapan. Tahapan pertama adalah
memahami ilmu, kedua berupa paham akan tiga perkara (tri prakara), dan yang
ketiga adalah saling memaafkan. Ketiganya merupakan laku yang harus dilakukan
sebagai penyeimbang laku kepada Tuhan.
Tahapan pertama adalah memahami ilmu. Memahami ilmu merupakan
bagian dari laku antarmanusia, karena berimplikasi pada sikap seseorang yang
memahami ilmu. Memahami ilmu merupakan dasar dari laku antarmanusia.
Serat Wedhatama menjabarkan bahwa mrih tan kêmba kakêmbênging
pambudi yang berarti jangan ragu dalam menuntut ilmu (pambudi ‘budi’ bisa
diartikan sebagai ajaran atau ilmu). Menuntut ilmu merupakan sebuah kewajiban
bagi insan manusia. Regweda (I 164.64) mengatakan bahwa Agama dan Ilmu
pengetahuan sama-sama alat untuk mendekati kebenaran yang merupakan sifat
kuasa Tuhan. Bhagawad Gita (IV.39) mengatakan bahwa dengan memiliki Ilmu
Pengetahuan ia akan menemui kedamaian abadi.
Ilmu pengetahuan bagi manusia untuk dijadikan landasan dan kompas
yang dapat menopang dan mengarahkan langlahnya didalam melaksanakan
karma, bhakti, dan raja marga. Dengan memahami ilmu pengetahuan, manusia
dapat bekerja lebih efektif dan efisien, dibandingkan dengan mereka yang dungu
dan sedikit ilmu pengetahuan (Gamabali, 2015). Oleh karena itu, dalam Serat
Wedhatama memahami ilmu adalah awal dari kelangsungan hidup manusia.
9

Memahami ilmu merupakan bagian dari laku antarmanusia, karena


berimplikasi pada sikap seseorang yang memahami ilmu. Memahami ilmu melihat
tata laku antarmanusia dari aspek ajar, yaitu saling ingat-mengingatkan. Saling
mengingatkan akan membawa manusia menjadi tahu akan kemampuan dan
dayanya. Memahami ilmu merupakan dasar dari laku antarmanusia. Serat
Wedhatama menggunakan sebab akibat dalam penjabarannya. Orang yang
memahami ilmu, tidak seperti orang yang mengisap ampas tebu (asêpa lir sêpah
samun) jika dalam pertemuan lagaknya (gonyak-ganyuk) memalukan.
Manusia dalam yang tidak memahami ilmu dalam Serat Wedhatama
dijabarkan akan suka mengunggulkan diri (gugu karsaning priyangga), berbicara
tanpa dipikir panjang hanya omong kosong, tak mau dianggap bodoh (lumuh
ingaran balilu). Akibat tidak memahami ilmu, manusia bisa menjadi suka
menggembor-gemborkan omongan. sebagaimana pepatah tong kosong nyaring
bunyinya, manusia tanpa ilmu bagai tong yang berbunyi nyaring tanpa guna.
Tahapan kedua dalam laku antar manusia adalah paham akan tiga perkara
(tri prakara). Bagi ksatria tanah Jawa; Dahulu yang dijadikan pegangan adalah
tiga hal (triprakara) dengan kata kunci “Lila, Trima dan Legawa” (Muljono,
2012). Tiga perkara dalam Serat Wedhatama yaitu Lila, Narima, dan Legawa
yang terangkum dalam Serat Wedhatama pada pucung, pupuh ke 10—11 yang
berbunyi jika satria tanah Jawa, dahulu yang dijalankan ada tiga perkara, rela bila
kehilangan tanpa menyesal, menerima jika dijelek-jelekan (disindir/dihina), tidak
mudah sakit hati, ketiga lapang dada pasrah kepada Bathara.
Perkara pertama adalah lila yang berarti rela. Lila tidak hanya sekedar rela,
melainkan disertai rasa ikhlas dalam merelakan sesuatu. Sepeti halnya yang
terdapat dalam Serat Wedhatama pupuh ke-5 pangkur bahagia disebut bodoh,
gembira jika dihina (bungah ingaran cubluk, sukèng tyas yèn dèn ina). Ungkapan
itu menandakan bahwa seseorang itu harus selalu ‘gembira’ sekalipun dihina.
Itulah yang yang disebut dengan kerelaan (ikhlas) atau lila dalam Serat
Wedhatama. Lila tidak hanya rela dalam mendapat penghinaan, namun juga rela
dalam kehilangan. Dalam Serat Wedhatama dikatakan rela bila kehilangan tanpa
menyesal. Artinya setiap kehilangan yang dialami selalu disertai dengan rasa
ikhlas tanpa penyesalan.
Perkara kedua adalah narima (kata kerja) yang berarti menerima. Dalam
masyarakat Jawa narima juga bisa disebut nriman (kata sifat) yang artinya, orang
yang memiliki sifat menerima keadaan dan segala sesuatu dengan ikhlas. Apapun
yang dialami seseorang baik ataupun buruk orang yang selalu ikhlas menerimanya
itulah yang disebut dengan memiliki sifat nriman. Dalam Serat wedhatama,
gambuh pupuh ke-26 menerima dengan ikhlas atau yang biasa dikenal dengan
nriman itu adalah orang yang paham akan sangkan paraning dumadi, atau alasan
(penciptaan) dan sebab-akibat. Sehingga akan selalu menerima apapun yang
diberikan (nrima ing pandum).
10

Perkara ketiga adalah legawa yang berarti lapang dada. Dalam Serat
Wedhatama, pucung, pupuh ke-11 mengatakan perkara ketiga adalah lapang dada
pasrah kepada Bathara (tri lêgawa nalôngsa srahing bathara). Lapang dada
merupakan sikap pasrah yang ditunjukan dengan nalôngsa atau berprihatin.
Dalam hubungan antar manusia, sikap lapang dada merupakan sikap yang mau
membantu sesama tanpa adanya pamrih.
Tahapan terakhir dalam laku antarmanusia adalah saling memaafkan.
Saling memaafkan merupakan hal yang sulit dilakukan oleh manusia. Maaf
memaafkan adalah hal yang harus dimiliki dalam laku antar manusia. Dalam
Hindu dikenal ajaran Tat Tvam Asi, filosofi ini berarti “aku adalah engkau, engkau
adalah aku” (Novayana, 2013). Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah
bagaimana kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang
yang di dekat kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti.
Jika ingin kesalahan dimaafkan, maka harus bisa memaafkan kesalahan orang
lain.
Pada gambuh, pupuh ke-27 segala tindak-tanduk, dilakukan dengan
hormat, dan memberi maaf atas kesalahan sesama, selalu menghindari perbuatan
tercela, dan keinginannya berupa kebaikan yang mendamaikan. Orang yang telah
menjalankan laku catur sembah ketika menjalankan hubungan antarmanusia
segala tindak-tanduknya tidak akan dilakukan sembarangan, tidak asal-asalan,
melainkan dengan segala hormat dan penuh dengan kebenaran, dalam
menanggapi kesalahan sesama ia akan mudah memaafkan. Segala hal yang
dilakukan oleh seseorang itu akan selalu berusaha menghindari hal-hal tercela
yang jauh dari kebaikan, karena orang yang menjalankan laku akan selalu
mengharapkan kebaikan dan kedamaian.

SIMPULAN DAN SARAN


Bagian ini berisi tentang simpulan dan saran. Kedua bagian tersebut
masing-masing dijabarkan sebagai berikut ini.

Simpulan
Dimensi ketuhanan merupakan dimensi vertikal dalam ajaran masyarakat
Jawa. Dimensi vertikal atau ketuhanan mencakup ranah hubungan masyarakat
Jawa terhadap Tuhan-nya. Ajaran tata laku dalam dimensi vertikal di Serat
Wedhatama ialah (1) sembah raga,(2) sembah cipta, (3) sembah jiwa, dan (4)
sembah rasa yang disebut dengan catur sembah. Keempat sembah dalam Serat
Wedhatama secara konsep merupakan ajaran tata laku dalam ilmu laku Jawa yang
bersifat universal dan dapat diaplikasikan kedalam berbagai macam agama yang
ada di Indonesia.
11

Hubungan antar manusia merupakan sebuah dimensi horisontal dalam


ajaran masyarakat Jawa. Hubungan manusia adalah hubungan sosio-kultural yang
saling terkait antara manusia dengan manusia lainnya. Hubungan antarmanusia
dalam Serat Wedhatama berupa (1) memahami ilmu, (2) paham akan tiga perkara,
dan (3) maaf memaafkan.

Saran
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sevara praktis sebagai (1) sarana
refleksi diri dalam menjaga harmonisasi hubungan antarmanusia dan manusia
dengan Tuhan dalam kehidupan religi dan sosial, (2) penelitian ini juga
disarankan agar dijadikan sebagai sarana bahan ajaran dalam menjaga hubungan
antarmanusia dalam kehidupan sehari-hari, dan (3) kandungan ajaran dalam Serat
Wedhatama dapat dijadikan sebagai bahan untuk membentuk karakter bangsa.

DAFTAR RUJUKAN
Endraswara, S. 2013. Memayu Hayuning Bawana: Laku Menuju Keselamayan
dan Kebahagiaan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Gamabali, B. C. 2015. Jnana Marga Yoga (Online), (http://cakepane.blog
spot.com/2015/03/jnana-marga-yoga.html), diakses 2 April 2015
Muljono, I. M. 2012. Serat Wedhatama: “Triprakara” Pegangan Ksatria Jawa,
(Online), (http://iwanmuljono.blogspot.com/2012/02/serat-wedhatama-tri
prakara-pegangan_18.html), diakses 7 Maret 2015
Novayana, H. 2013. Tat Twam Asi, (Online), (http://worlddehendra.blog
spot.co.id/ 2013/11/tat-twam-asi.html), diakses 12 Maret 2015
Ratna, N.K. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Sadnyana, I. K. 2014. Panca atau Lima, (Online), (http://www.purasegarasura
baya.org/?p=445), diakses 12 Maret 2015.
Satyadharma, G. 2013. Pengertian Atman dan Sifatnya, (Online).
(http://ajaranagamahindu.blogspot.com/2013/04/pengertian-atman-dan-
sifatnya.html), diakses 14 Maret 2015.
Soenardi, R. M. 1928. Nginjen Wedharing Wedhatama (Soekardji, Ed.). Kediri:
Dewan Pengurus Sekretarian Kerjasama Kepercayaan (SKK) Dati I Jawa
Timur.
Sunoto. 2012. Masyarakat Jawa dalam Terawangan Serat Babad Kediri.
Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas Negeri
Malang.

You might also like