You are on page 1of 11

ASUHAN KEPERAWATAN dengan FRAKTUR VERTEBRA (LUMBAL)

A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya
juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi,
dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. (Brunner and
Suddarth, 2001).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung pada
sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa
laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn, E.
Doengoes, 1999).
Fraktur adalah deformasi atau dekontinuitas dari tulang oleh tenaga yang melebihi
kekuatan tulang. (http://www.medicastore.com/med/detail=patah;tulang/).
Dari ketiga pengertian diatas penulis menyimpulkan fraktur lumbal adalah kerusakan
pada tulang belakang berakibat trauma, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang
disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan.

B. Etiologi
Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai
berikut :
1. Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut
terjadi pada saat benturan dengan benda keras.
2. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat
mengakibatkan dislokasi atau fraktur.
3. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu
lintas dan sebagainya.
4. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan
penyakit tulang atau melemahnya tulang.
5. Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan “Body Mekanik” yang salah seperti
mengangkat benda berat.

C. Patofisiologi
1. Perjalanan Penyakit
Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus vertebra yang
saling berdekatan. Diantaranya korpus vertebra mulai dari vertebra sevikalis kedua
sampai vertebra sakralis terdapat discus intervertebralis. Discus-discus ini membentuk
sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus pulposus ditengah dan annulus fibrosus di
sekelilingnya. Nucleus pulposus merupakan rongga intervertebralis yang terdiri dari
lapisan tulang rawan dalam sifatnya semigelatin, mengandung berkas-berkas serabut
kolagen, sel – sel jaringan penyambung dan sel-sel tulang rawan.
Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang
berdekatan, selain itu juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara
discus dan pembuluh-pembuluh kapiler.
Apabila kontuinitas tulang terputus, hal tersebut akan mempengaruhi berbagai
bagian struktur yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh darah. Akibat yang
terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe, dan luas fraktur. Pada
umumnya terjadi edema pada jaringan lunak, terjadi perdarahan pada otot dan
persendian, ada dislokasi atau pergeseran tulang, ruptur tendon, putus persyarafan,
kerusakan pembuluh darah dan perubahan bentuk tulang dan deformitas. Bila terjadi
patah tulang, maka sel – sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat
patah dan kedalaman jaringan lunak disekitar tulang tersebut dan biasanya juga
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur.
2. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekkan
deformitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas yang bisa diketahui dengan ekstermitas normal.
c. Terjadi pemendekan tulang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah
tempat fraktur.
d. Saat ekstermitas diperiksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat
gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
3. Proses Penyembuhan Tulang
a. Tahap Hematoma, Pada tahap terjadi fraktur, terjadi kerusakan pada kanalis Havers
sehingga masuk ke area fraktur setelah 24 jam terbenutk bekuan darah dan fibrin
yang masuk ke area fraktur, terbenuklah hematoma kemudian berkembang menjadi
jaringan granulasi.
b. Tahap Poliferasi, Pada aerea fraktur periosteum, endosteum dan sumsum mensuplai sel
yang berubah menjadi fibrin kartilago, kartilago hialin dan jaringan panjang.
c. Tahap Formiasi Kalus atau Prakalus, Jaringan granulasi berubah menjadi prakalus.
Prakalus mencapai ukuran maksimal pada 14 sampai 21 hari setelah injuri.
d. Tahap Osifikasi kalus, Pemberian osifikasi kalus eksternal (antara periosteum dan
korteks), kalus internal (medulla) dan kalus intermediet pada minggu ke-3 sampai
dengan minggu ke-10 kalus menutupi lubang.
e. Tahap consolidasi, Dengan aktivitas osteoblasi dan osteoklas, kalus mengalami proses
tulang sesuai dengan hasilnya.
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :
a. Usia klien
b. Immobilisasi
c. Tipe fraktur dan area fraktur
d. Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih cepat sembuh dibandingkan dengan
tulang kompak.
e. Keadaan gizi klien
f. Asupan darah dan hormon – hormon pertumbuhan yang memadai
g. Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang
h. Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan lebih lama.
i. Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.
4. Komplikasi
a. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
b. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal
union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara
fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk
sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
c. Non union
Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
d. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama
dari proses penyembuhan fraktur.
e. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada
saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate,
paku pada fraktur.
f. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih
tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan
membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang
memsaok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
g. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika
tidak ditangani segera.
h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan
gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan
penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi.
C. Jenis Fraktur
Adapun klasifikasi menurut Brunner and Suddarth, 2001 adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan garis patah yang terdapat pada tulang, fraktur dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Fraktur komplet adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran.
b. Fraktur tidak komplet adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah
tulang.
2. Berdasarkan robekan yang terdapat pada kulit, fraktur dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Fraktur tertutup (fraktur simple) adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya
kulit.
b. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/ kompleks) adalah fraktur dengan luka pada kulit
atau membran mukosa sampai patahan tulang.
3. Berdasarkan sesuai pergeseran anatomis fragmen tulang dibedakan menjadi tulang
bergeser dan fraktur tidak bergeser.
4. Berbagai jenis khusus fraktur adalah sebagai berikut :
a. Greenstick adalah fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya
membengkok.
b. Transversal adalah fraktur sepanjang garis tengah tulang.
c. Oblik adalah fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
d. Spiral adalah fraktur memuntir seputar batang tulang.
e. Kominutif adalah fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
f. Depresi adalah fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam.
g. Kompresi adalah fraktur di mana tulang mengalami kompresi.
h. Patologik adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit.
i. Avulsi adalah tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada perlekatannya.

D. Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
2. Konservatif
Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dapat
berlangsung lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti disektomi dengan
peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus spinosus vertebra; tujuan
peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus detektif, menstabilkan tulang
belakang dan mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat lamina untuk
memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan
radiks. Microdiskectomy atau percutaeneus diskectomy untuk menggambarkan
penggunaan operasi dengan mikroskop, melihat potongan yang mengganggu dan
menekan akar syaraf.

E. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur


1. Pengkajian Keperawatan
Merupakan tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan dilakukan secara
sistematika mencakup aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual. Langkah awal dari
pengkajian ini adalah pengumpuln data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
klien dan keluarga, observasi pemeriksaan fisik, konsultasi dengan anggota tim kesehatan
lainnya dan meninjau kembali catatan medis ataupun catatan keperawatan. Pengkajian
fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien fraktur menurut Brunner and
Suddarth, 2002 adalah sebagai berikut :
a. Data demografi/ identitas klien
Antara lain nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan alamat
klien.
b. Keluhan utama
Adanya nyeri dan sakit pada daerah punggung
c. Riwayat kesehatan keluarga
Untuk menentukan hubungan genetik perlu diidentifikasi misalnya adanya predisposisi
seperti arthritis, spondilitis ankilosis, gout/ pirai (terdapat pada fraktur psikologis).
d. Riwayat spiritual
Apakah agama yang dianut, nilai-nilai spiritual dalam keluarga dan bagaimana dalam
menjalankannya.
e. Aktivitas kegiatan sehari-hari
Identifikasi pekerjaan klien dan aktivitasnya sehari-hari, kebiasaan membawa benda-
benda berat yang dapat menimbulkan strain otot dan jenis utama lainnya. Orang yang
kurang aktivitas mengakibatkan tonus otot menurun. Fraktur atau trauma dapat timbul
pada orang yang suka berolah raga dan hockey dapat menimbulkan nyeri sendi pada
tangan.
f. Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran tinggi badan
2) Pengukuran tanda-tanda vital
3) Integritas tulang, deformitas tulang belakang
4) Kelainan bentuk pada dada
5) Adakah kelainan bunyi pada paru-paru, seperti ronkhi basah atau kering, sonor
atau vesikuler, apakah ada dahak atau tidak, bila ada bagaimana warna dan
produktivitasnya.
6) Kardiovaskuler: sirkulasi perifer yaitu frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian
kapiler, warna kulit dan temperatur kulit.
7) Abdomen tegang atau lemas, turgor kulit, bising usus, pembesaran hati atau tidak,
apakah limpa membesar atau tidak.
8) Eliminasi: terjadinya perubahan eliminasi fekal dan pola berkemih karena adanya
immobilisasi.
9) Aktivitas adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur
10) Apakah ada nyeri, kaji kekuatan otot, apakah ada kelainan bentuk tulang dan
keadaan tonus otot.
g. Tes Diagnostik
Pada klien dengan trauma tulang belakang, biasanya dilakukan beberapa tes
diagnostik untuk menunjang diagnosa medis, yaitu :
1) Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada
tulang belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan
patologis lain seperti tumor, osteomielitis.
2) Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang
terkena.
3) Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram
terbatas.
4) Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi
adanya darah.
5) Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung
diagnosa awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki
posterior.
6) CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi
discus intervetebralis.
7) MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya
perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi
discus.
8) Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan “penyempitan” dari
ruang discus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 untuk klien dengan
gangguan tulang belakang, yaitu :
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi
saraf: spasme otomatis.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot;
kerusakan neuromuscular.
c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan
status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.
d. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensori dan mobilitas
permanen.
f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
g. Konstipasi berhubungan dengan efek kerusakan spinalis
h. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi

3. Perencanaan keperawatan
Perencanaan keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 adalah sebagai
berikut :
a. Diagnosa keperawatan I
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi
saraf: spasme otomatis.
Tujuan : Nyeri hilang atau terkonrol
Kriteria hasil :
1. Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
2. Klien dapat mengungkapkan yang dapat menghilangkan
3. Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik seperti
keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri.
Rencana tindakan :
1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lama serangan, faktor pencetus atau
memperberat. Minta klien untuk mendapatkan skala nyeri 1 – 10.
Rasional : Membantu menentukan intervensi dan memberikan dasar untuk
perbandingan dan evaluasi terhadap terapi.
2) Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan klien dalam posisi semi
fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi; posisi
telentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10° - 30° atau pada posisi lateral.
Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan klien untuk
menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan
intervertebralis.
3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan
Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan
spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan pada struktur
sekitar discus intervertebralis yang terkena.
4) Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah
dijangkau atau diraih klien.
Rasional : Menurunkan resiko peregangan saat meraih
5). Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
Rasional : Memfokuskan perhatian klien dan membantu menurunkan tegangan otot
dan meningkatkan proses penyembuhan.
6). Instruksikan atau anjurkan klien untuk melakukan mekanisme tubuh atau gerakan
yang tepat.
Rasional : Menghilangkan stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut.
7) Berikan kesempatan untuk berbicara atau mendengarkan masalah klien
Rasional : Berbicara dapat menurunkan strees atau rasa takut selama dalam
keadaan sakit dan dirawat.
8) Berikan tempat tidur ortopedik atau letakan papan dibawah kasur atau matras.
Rasional : Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal yang menurunkan
spasme.
9) Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan otot seperti Diazepam (Valium)
Rasional : Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot;
kerusakan neuromuscular.
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria hasil :
1. Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan
pengobatan individu.
2. Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin
3. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit
atau kompensasi.
Rencana tindakan :
1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik.
Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur,
aktivitas yang kurang berhati-hati akan meningkatkan kerusakan
spinal.
2) Catat respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan aktivitas yang
disesuaikan dengan klien.
Rasional : Immobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka
rangsangan. Aktivitas pengalihan dapat membantu dalam
memfokuskan perhatian dan meningkatkan koping dengan
batasan tersebut.
3) Bantu klien untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif dan pasif
Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki
mekanika tubuh.
4) Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian bawah dan lutut
Rasional : Stimulasi sir vena atau arus balik vena menurunkan keadaan vena
yang statis dan kemungkinan terbentuknya trombus.
5) Bantu klien dalam melakukan ambulasi progresif
Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi yang khusus, tapi biasanya
berkembang dengan lambat sesuai toleransi.
c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan
status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.
Tujuan : Adaptasi klien efektif
Kriteria hasil :
1. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat diatasi.
2. Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping
3. Mendemonstrasikan pemecahan masalah
Rencana tindakan :
1) Kaji tingkat anxietas pasien.
Rasional : Membantu mengidentifikasi dalam keadaan sekarang
2) Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur
Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan atas
pengetahuan.
3) Berikan pasien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya
Rasional : Meningkatkan koping yang sedang dihadapi
4) Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh.
Rasional : Memberikan perhatian terhadap klien, tanggung jawab untuk
meningkatkan penyembuhan.
5) Cara perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit.
Rasional : Orang terdekat keluarga secara tanpa sadar memungkinkan untuk
mempertahankan sesuatu yang dapat klien lakukan.
6) Rujuk pada kelompok pelayanan sosial, konselor finansial, psikoterapi dan
sebagainya.
Rasional : Memberikan dukungan untuk beradaptasi pada perubahan dan
memberikan sumber – sumber untuk mengatasi masalah.
d. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat teratasi
Kriteria hasil :
1. Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi
2. Mempertahankan posisi fungsional
3. Meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
4. Menunjukan teknik aktivitas
Rencana tindakan :
1) Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan persepsi pasien
terhadap imobilisasi.
Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan dari persepsi diri tentang
keterbatasan fungsi actual, memerlukan informasi untuk
meningkatkan kemajuan kesehatan.
2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/ rekreasi
Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan
kembali perhatian dan membantu menurunkan isolasi sosial.
3) Intruksikan pasien untuk dibantu dalam rentang gerak aktif dan pasif pada
ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan
tonus otot.
4) Dorong penggunaan latihan isometik tanpa menekuk sendi atau menggerakan
tungkai, dan mempertahankan masa otot.
Rasional : Kontraksi otot isometik tanpa menekuk sendi membantu kekuatan otot
5). Konsul dengan ahli terapi fisik/ okupais, rehabilitasi spesial
Rasional : Berguna dalam membuat akktifitas individual latihan
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensori dan mobilitas
permanen.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas
kulit dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1. Menunjukan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit memudahkan penyembuhan
sesuai indikasi.
2. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/ penyembuhan lesi terjadi
Rencana tindakan :
1) Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan
warna.
Rasional : Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang
mungkin disebabkan oleh alat traksi/ gibs.
2) Masase kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas
kerutan.
3) Ubah posisi dengan sering
4) Gunakan tempat tidur busa, bulu domba, bantal apung atau kasur udara sesuai
indikasi.
f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.
Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan
individu.
Rencana tindakan :
1) Observasi dan catat jumlah frekuensi berkemih
Rasional : Menentukan apakah kandung kemih dikosongkan dan saat kapan
intervensi itu diperlukan.
2) Lakukan palpasi terhadap adanya distensi kandung kemih
Rasional : Menandakan adanya retensi urine
3) Tingkat pemberian cairan
Rasional : Mempertahankan fungsi ginjal
4) Berikan stimulasi terhadap pengosongan urine dengan mengalirkan air hangat
diarea suprapubis.
g. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan disfungsional teratasi.
Kriteria Hasil : Mengungkapkan penerimaan efek penggunaan obat pada fungsi
seksual.
Rencana Tindakan :
1). Kaji informasi pasien tentang saat ini dan biarka pasien menggambarkan masalah
dengan bahasanya sendiri.
Rasional : Menentukan tingkat pengetahuan pasien yang menjadi kebutuhan
2). Diskusikan prognosis untuk disfungsi seksual misalnya impotent atau hasrat
seksual rendah.
Rasional : Impoten diatasi dengan pantangan dari obat, pada kira-kira 25% yang
kembali berfungsi normal adalah lambat, 5 % tetap impotent.

4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. (Drs. Nasrul Effendi, 2000).
Ada tiga fase dalam tindakan keperawatan, yaitu :
1. Fase Persiapan
Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan
menginterpretasikan rencana, persiapan klien dan lingkungan.
2. Fase Intervensi
Merupakan puncak dari implementasi yang berorientasi pada tujuan dan fokus pada
pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi fisik,
psikologis, sosial dan spiritual. Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan
kewenangan dan tanggung jawab secara professional, yaitu :
a. Secara Mandiri (Independen)
Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien dalam
mengatasi masalahnya atau menanggapi reaksi karena adanya stressor (penyakit),
misalnya :
1) Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari – hari
2) Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus
3) Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya secara
wajar.
4) Menciptakan lingkungan terapeutik
b. Saling ketergantungan/ kolaborasi (Interdependen)
Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerja sama sesama tim perawatan atau
kesehatan lainnya seperti dokter, fisiotherapy, analisis kesehatan, dsb.
c. Rujukan/ Ketergantungan
Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya
dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisiotherapi, dsb.
Pada penatalaksanaanya tindakan keperawatan dilakukan secara :
1). Langsung : Ditangani sendiri oleh perawat
2). Delegasi : Diserahkan kepada orang lain/ perawat lain yang dapat dipercaya
3. Fase Dokumentasi
Merupakan terminasi antara perawat dan klien. Setelah implementasi dilakukan
dokumentasi terhadap implementasi yang dilakukan. Ada tiga sistem pencatatan yang
digunakan :
a. Sources Oriented Record
b. Problem Oriented Record
c. Computer Assisted Record

5. Evaluasi Keperawatan
Adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan
yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Teknik penilaian yang didapat dari
beberapa cara, yaitu :
1. Wawancara : Dilakukan pada klien dan keluarga
2. Pengamatan : Pengamatan klien terhadap sikap, pelaksanaan, hasil yang dicapai dan
perubahan tingkah laku klien.
Jenis evaluasi ada dua macam, yaitu :
a. Evaluasi Formatif
Evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.
b. Evaluasi Sumatif
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada saat
tertentu berdasarkan tujuan rekapitulasi dari hasil yang direncanakan pada tahap
perencanaan. Ada tiga alternatif yang dapat dipergunakan oleh perawat dalam
memutuskan/ menilai :
1) Tujuan tercapai : Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian : Jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari
standar dan kriteria yang telah ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai : Jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan
sama sekali dan akan timbul masalah baru.

You might also like