You are on page 1of 13

BAB I

STATUS MEDIS PASIEN

I. Identitas Pasien

Nama : An. P
Jenis kelamin : Laki - laki
TTL / Usia : Jakarta, 14-04-1997 / 20 tahun
No. RM : 009765xx
Agama : Islam
Alamat : Jl. Serdang Baru XII RT. 017/005

II. Anamnesis

Keluhan utama
Nyeri menelan dan sakit tenggorokan sejak 1 bulan sebelum ke Poli RSIJ Cempaka
Putih. Tidak sedang batuk, pilek dan demam. Tidak sedang mengalami nyeri dada
atau sesak nafas.

Riwayat operasi
Pasien belum pernah dioperasi sebelumnya

Riwayat Alergi

Pasien tidak ada alergi obat, makanan, lateks, plester, dan debu.

Riwayat penyakit penyerta


Pasien tidak memiliki penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung,
penyakit hati, penyakit ginjal. Riwayat keluarga yang pernah mengalami komplikasi
selama operasi disangkal.
Riwayat Psikososial

Kebiasaan minum teh, kopi dan soda jarang, riwayat merokok (-), meminum alcohol
(-). Pasien menggunakan gigi palsu dan tidak ada gigi yang goyang.
Riwayat obat-obatan
Riwayat konsumsi obat antihipertensi, obat pengencer darah, dan yang dikonsumsi
secara rutin disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 132/71 mmHg
Pernapasan : 18 x/ menit
Nadi : 61 x/ menit
Suhu : 36,5o C
Berat badan : 67 kg
Tinggi Badan : 168 cm
IMT : 24 (Normoweight)

Status Generalis

Kepala : Normochepal, rambut hitam

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-).

Hidung : Deviasi septum (-), Sekret (-/-), epistaksis (-/-)

Mulut : Mukosa bibir lembab, Mukosa faring hiperemis (+),Mallampati II

Leher : Pembesaran KGB Leher (-) Pembesaran Tiroid (-)

Thorax
Inspeksi : Simetris. Tidak ada retraksi otot pernapasan, ictus cordis tidak
terlihat.
Palpasi : Vokal Fremitus sama kanan dan kiri. Ictus Cordis Teraba.
Perkusi : Perkusi sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

BJ I dan II Regular. Murmur (-), Gallop (-).

Abdomen
Inspeksi : Supel, distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (-)

Ekstremitas

Atas : Akral Hangat, CRT < 2 detik. Edema (-/-)

Bawah : Akral Hangat, CRT < 2 detik. Edema (-/-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi
Hematologi Rutin Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin 14.1 13.2-17.3 g/dL
Jumlah Leukosit 9.08 3.80-10.60 103/µL
Jumlah trombosit 273 150-440 103/µL
Faal Hemostasis
Masa Perdarahan 2.30 1.00 – 3.00 Menit
Masa Pembekuan 4.00 4.00 – 6.00 Menit
Masa Protombin (PT)
Pasien 10.5 9.3 – 11.4 Detik
Kontrol 10.0 10.0 Detik

APTT
Pasien 37.2 31.0 – 47.0
Kontrol 34.0
RADIOLOGI
Thorax :
Cor & Aorta baik
Sinus dan diafragma baik
Vascularisasi paru-paru baik
Tidak tampak spesifik aktif atau pneumonia
Kesan: Cor & Pulmo baik

B. Assesmen Pra Anestesi

Diagnosa Pre Operasi : Tonsilitis Kronis

Status ASA : ASA I

Tindakan Pembedahan : Tonsilektomi

Jenis Anestesi : General Anestesi dengan menggunakan ETT No. 7.5

C. ASESSMENT PRA INDUKSI DAN PENATALAKSANAAN ANESTESI


 Pra anestesi/Pra Operatif
 Dilakukan assesmen pre anestesi kepada pasien
 Dilakukan pemeriksaan kembali identitas pasien, persetujuan operasi,
lembaran konsultasi anestesi, obat-obatan dan alat-alat uang diperlukan
 Jalur intravena sudah terpasang diruangan
 Mengganti pakaian pasien dengan pakaian operasi
 Pasien dibaringkan di meja operasi dengan posisi terlentang
 Manset tekanan darah terpasang di tangan kiri, pulseoxymeter terpasang di
digiti II manus sinistra, elektroda EKG terpasang.

 Induksi
 Induksi dilakukan dengan pemberian Propofol 100 mg IV dengan
menggunakan analgetik narkotik jenis Fentanyl 0,1 mg IV
PERHITUNGAN DOSIS
Propofol
Dosis Induksi 2 - 2.5 mg/kg
2 - 2.5 mg x 67 kg = 134 – 167.5 mg

Fentanyl
Dosis sebagai Analgetik Intraoperatif 1 - 3g/kgBB
1 - 3g x 67 kg = 67 - 201g (0.067 – 0.201 mg)
Note: 1 g = 0.001 mg

Muscle relaxan Atracurium diberikan secara IV 30 mg


PERHITUNGAN DOSIS
Atracurium
Dosis untuk intubasi 0.3 - 0.5 mg/kg
0.3 - 0.5 mg x 67 kg = 20.1 – 33.5 mg
Dosis maintenance per bolus 0.1 – 0.2 mg/kg
0.1 – 0.2 mg x 67 kg = 6.7 – 13.4 mg

 Diberikan O2 sebanyak 6 L melalui sungkup selama 5 menit


 Dilakukan pemasangan pipa orotrakeal dengan ETT No.7.5, mulut dibuka dengan
cross finger dan laringoskop, ETT dimasukkan ke dalam trakea, dinilai apakah posisi
ETT sudah benar dengan mendengarkan suara napas menggunakan stetoskop. Cuff
dikembangkan agar ETT terfiksasi. Intubasi berhasil dilakukan. Dipasang OPA. ETT
dan pipa difiksasi dan dihubungkan dengan mesin anestesi.

 Medikasi Selama Operasi


Operasi berlangsung selama 1 jam
 Untuk mempertahankan anestesi digunakan N2O 1 L/menit, O2 1.5 L/menit,
Sevofluran 2 vol %
 Dexamethasone 10 mg
 Ketorolac 30 mg
 Neostigmin 0.1 mg
 Sulfas Atropine 0.5 mg
 Clopedine 50 mg IM
 Perhitungan Kebutuhan Cairan
Berat badan : 67 kg
Lama puasa : 6 jam
Operasi berlangsung selama :1 jam

 Perhitungan Pengganti Cairan


Rumus:
Keb. cairan maintenance  BB: 67 kg
4x10= 40
2x10= 20
1x47 = 47  107 cc
Puasa  Lama puasa x kebutuhan cairan maintenance
6 jam x 107 cc = 642 cc
Stress operasi  Operasi sedang
6cc/kgBB/jam
6cc x 67 kg = 402 cc
1 jam pertama : ½ puasa + keb. cairan maintenance + stress operasi
½ (642cc) + 107 cc + 402 cc = 830 cc
Jumlah cairan yang dibutuhkan = 830 cc

 Monitoring
 Tanda-tanda vital
 Gambaran Elektrokardiografi
 SpO2 dan CO2 setiap 5 menit, kedalaman anestesi, dan perdarahan
 Keadaan Post Operasi dan Perawatan Pasca Anestesi di RR
 Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
 Dilakukan pemeriksaan tanda vital dan SpO2
 Observasi aktivitas motorik, pernapasan, dan kesadaran
Monitoring tanda-tanda vital Aldrette Score

- Kesadaran : Compos Mentis - Aktivitas : mampu mengangkat semua Ekstremitas


- BP : 111/68 mmHg (2)
- HR :80x/menit - Pernapasan : Dapat Bernapas Dalam dan Batuk (2)
- RR : 18x/menit - Sirkulasi : Tekanan Darah ± 20% dari Nilai Pra
- T : 360C Anetesi (2)
- SpO2: 100 % - Kesadaran : bangun ketika dipanggil (1)
- Saturasi O2 : ≥ 92 % dengan udara kamar (2)

Kesan : Baik
Skor : 9/10
TINJAUAN PUSTAKA

A. PREMEDIKASI
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Salah satu
obat-obatan yang sering diberikan yaitu hipnotik-sedatif dan opioid.Akhir-akhir ini
pemberian obat-obatan hipnotik-sedatif dan opioid jarang diberikan sebelum tiba di daerah
preoperatif. Untuk hipnotik-sedatif dapat diberikan diazepam per-oral 10-15 mg, sedangkan
untuk opioid dapat diberikan petidin 50 mg IM.1,2, Pada pasien tidak diberikan premedikasi
sebelum operasi.

B. ANESTESIA UMUM
‒ Induksi Anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan pembedahan.Setelah pasien tidur,
pemeliharaan anestesi dilakukan sampai pembedahan selesai.

Induksi dapat dilakukan melalui intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal.1

1. Induksi Intravena

Obat induksi IV disuntikan dalam kecepatan antara 30 – 60 detik. Selama anestesi


pernapasan, nadi, dan tekanan darah diawasi dan diberikan oksigen. Propofol (recofol,
diprivan) IV menggunakan dosis 2 – 2,5 mg/kgBB. Suntikan propofol sering menyebabkan
nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1mg/kgBB secara IV.1,3
Pada pasien, mendapatkan induksi IV propofol (recofol) dengan dosis 100 mg.

2. Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi dilakukan pada bayi atau anak yang belum terpasang vena atau orang
dewasa yang takut jarum suntik. Induksi inhalasi dikerjakan dengan menggunakan halotan
(Fluotan) atau Sevofluran. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran
N2O : O2 = 2:1, dimulai dengan Halotan 0,5vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan.
Induksi dengan Sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun diberikan
sampai tinggi 8 vol%.Induksi menggunakan enfluran, isofluran atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk sehingga induksi menjadi lama.1

‒ Rumatan Anestesi
1. Intravena
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan cara IV (anestesi IV total), inhalasi atau
campuran. Rumatan anestesi mengacu pada trias anastesi yaitu sedatif, analgesik, dan
relaksan. Rumatan IV misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, Fentanyl 50 - 150
µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesik yang cukup,
sehingga tinggal memberi relaksasi otot. Rumatan IV dapat juga menggunakan dosis opioid
dosis biasa. Bedah lama menggunakan total IV opioid, relaksan dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara O2 atau N2O + O2.1,2

2. Inhalasi
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 perbandingan 2:1
ditambah halotan 0,5 – 2 vol%, enfluran 2 – 4vol%, Isofluran 2 – 4 vol%, atau sevofluran 2 –
4 vol%.1,2 Pada pasien diberikan rumatan anestesi melalui inhalasi sevofluran 2 vol%.

C. PEMBERIAN ANALGETIK
1. Opioid
- Fentanil
Merupakan zat sintetik seperti petidin dgn kekuatan 100x morfin, larut dalam lemak dan
menembus sawar jaringan dengan mudah. efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek
analgesinya. Dosis induksi 50-150 mcg/kg, dosis maintenance 1-3 mcg/kg pada dosis rendah
ini durasi kerja hanya 30 menit sehingga fentanil digunakan saat pembedahan bukan pasca
bedah.1,3

D. PEMBERIAN MUSCLE RELAXAN


Atrakurium merupakan relaksan otot skelet nondepolarisasi.untuk reseptor kolinergik
padd lempeng akhir motorik. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kg, dosis intubasi; IV 0,3-0,5 mg/kg, dan
maintenance IV, 0,1-0,2 mg/kg (10%-50% dari dosis intubasi). Awitan aksi : <3menit, lama
aksi :20-35 menit.1,3 Pada pasien, diberikan atracurium 30 mg IV.
E. TATALAKSANA JALAN NAPAS
Pada keadaan anestesi refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anesthesia harus dipantangkan dari
masukan oral atau dipuasakan selama periode tertentu. Pada pasien dewasa umumnya
dipuasakan 6—8 jam, anak kecil 4—6 jam, dan pada bayi 3—4 jam.1,2,4

F. TONSILEKTOMI
Tonsilektomi bukan prosedur minor karena melibatkan penatalaksanaan jalan nafas
bersama. Pasien yang akan menjalani operasi tonsilektomi pada umumnya berusia muda dan
sehat, walaupun infeksi saluran nafas atas menjadi indikasi utama operasi ini, namun
persentase obstruksi saluran nafas atas, terutama saat tidur (OSA) meningkat akhir – akhir
ini, terutama pada pasien berusia 4 tahun. Pembedahan ini berpotensi mengkontaminasi
saluran nafaas bawah dengan darah. Mortalitas yang berhubungan dengan TA berkisar dari 1:
40.000 sampai 1: 12.000. Evaluasi prabedah untuk operasi TA bergantung pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik awal. Pada beberapa pasien dengan dugaan obstruksi saluran nafas
berat sebaiknya dilakukan elektrokardiografi, ekokardiografi, radiogradi dada, dan fungsi
koagulasi. Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan laboratorium prabedah, imaging &
pemeriksaan fungsi jantung, paru dan hepar.2,5

G. MANAJEMEN ANASTESIA
Masalah utama bagi anastesia untuk tonsilo – adenodektomi adalah jalan nafas
perdarahan. Pembedahan di dalam rongga mulut memungkinkan masuknya darah ke saluran
nafas atau ke esophagus. Tekanan positif jalan nafas selama induksi dapat berguna untuk
mengurangi obstrusi jalan nafas atas. Penggunaan pipa endotrakeal (ETT) dengan balon
(cuff) dapat menurunkan aspirasi jalan nafas. Namun pemakaian balon ETT juga berpotensi
menimbulkan komplikasi di jalan nafas. Untuk mencegah trauma pada mukosa jalan nafas,
pengembangan balon tidak boleh melebihi tekanan 20 – 25 cm H2O. Pada keadaan tertentu
balon ETT dapat dikembangkan melebihi batas ini, misalnya bila tekanan jalan nafas yang
lebih tinggi diperlukan untuk ventilasi paru atau jika terjadi perdarahan secara tiba – tiba.
Akan tetapi pengembangan balon yang melebihi ketentuan tidak boleh berlangsung lama.2

Jika kesulitan intubasi diperkirakan akan terjadi, sebaiknya ahli THT ikut hadir selama
intubasi tersebut. Penggunaan pipa RAE (reverse angle endotrachela) oral untuk intubasi
trakeal dapat memberikan visualisasi lapangan operasi yang lebih baik. Daerah supraglotis
dapat disumpal dengan kasa untuk mengurangi kemungkinan inhalasi darah dan faring. 2

Ahli bedah sering meletakkan kasa di posterior faring selama tindakan untuk mengurangi
mengalirnya darah ke lambung. Di akhir operasi harus dipastikan kassa ini telah diangkat.
Pada akhir pembedahan, tampon harus diangkat dan pipa orogastrik dimasukkan untung
mengosongkan lambung dari darah yang tertelan dan dilakukan pengisapan faring. Ekstubasi
dapat dilakukan saat anestesi “dalam” atau setelah pasien bangun dan reflek potensi jalan
nafas telah pulih. Pada pasien dengan penyakit jalan nafas reaktif termasuk asma, ekstubasi
dilakukan saat pasien teranastesi untuk mengurangi kemungkinan bronkospasme atau
laringospasme. Penggunaan anestesi lokal dan ketamin untuk aplikasi transmukosal pada
daerah pembedahan juga memberikan hasil yang cukup baik. Penggunaan oropharingeal
airway (OPA) setelah pembedahan dapat menyebabkan rusaknya luka operasi dan perdarahan
bila penempatan tidak dilakukan secara hati – hati di garis tengah. Nasal airway dapat sebagai
alternatif.2,5

H. PERAWATAN DAN KOMPLIKASI PASCA BEDAH


Deksametason intravena dapat mengurangi nyeri pascabedah. Pemberian antiemetic
intraoperatif dan pengeluaran darah dari lambung dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian
muntah pascabedah. 2

Perdarahan tonsil pasca bedah adalah komplikasi yang sering terjadi. Jika perlu
dilakukan intubasi ulang, mungkin visualisasi pita suara akan sulit dengan banyaknya darah
disekitar. Darah yang tertelan kelambung juga dapat mengalami regurgitasi, menyebabkan
parsial obstruksi jalan nafas atau aspirasi. Pemberian sedasi sebaiknya tidak terlalu banyak.
Jika perdarahan tidak dapat dikendalikan, pasien harus kembali ke kamar operasi untuk
eksplorasi dan pengendalian perdarahan. Obat – obatan golongan NSAID berhubungan
dengan kejadian perdarahan pasca bedah tonsilektomi. Penggunaan obat untuk analgesia
pascabedah perlu dipertimbangkan dengan hati – hati. Parasetamol intravena (10 –
15mg/kgBB) memberikan analgesia pascabedah yang baik untuk pasien dewasa maupun anak
dengan efek gangguan koagulasi minimal serta tidak berpotesi menimbulkan mual – muntah
atau sedasi. 2

Obstruksi jalan nafas pada periode pascabedah dapat juga terjadi karena tertinggalnya
sumpal faring. Pemantauan 24 jam pascabedah pada anak muda dilakukan berdasarkan data
bahwa obstruksi jalan nafas pada anak berusia kurang dari 4 tahun dapat terjadi sampai 18 –
24 jam pascabedah. Selain usia muda, faktor risiko yang berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas setelah tonsilektomiadalah prematuritas dan infeksi jalan nafas akut. 2

Setelah ekstubasi pasien ditempatkan disatu sisi, dengan posisi sedikit Trendelenburg
dan berikan O2 100%. Dengarkan adanya obstruksi pernapasan sebelum pasien dikirim ke
Post Anestsia Care Unit (PACU). Transport pasien dengan pemberian oksigen. Di PACU,
pasien diberikan oksigen via mask, monitoring tergantung protokol di PACU, dan periksa
apakah faring sudah kering sebelum dipulangkan dari RS.5
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kelima.
2010; pp 29—53.
2. Soenarto RF, Susilo C. Buku Ajar Anestesiologi. Edisi Pertama. Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI. 2012; pp 291—303.
3. Omoiguo, Sota. 2016. Obat-Obatan Anestesia. Jakarta: EGC
4. Harijanto, Eddy. Panduan tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Perhimpunan
Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia. 2009; pp 322—41.
5. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. Fifth Edition. McGraw-Hill. 2013;375-35.

You might also like