You are on page 1of 53

MENGENAL KLASIFIKASI ANGGARAN PADA SISTEM KEUANGAN

NEGARA

Kita sebagai PNS apalagi yang berkecimpung dalam perencanaan anggaran, sangat
penting untuk mengetahui bagaimana sistem penganggaran yang berlaku pada
sistem keuangan negara pemerintah RI. Tidak hanya itu, bagi Anda yang sering
menyusun proposal yang nantinya akan diajukan untuk masuk dalam struktur
DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) sangat perlu untuk mengetahui
mengenai hal ini.
Klasifikasi anggaran merupakan pengelompokan anggaran berdasarkan organisasi,
fungsi, dan jenis belanja (ekonomi). Pengelompokan tersebut memiliki tujuan
untuk melihat besaran alokasi anggaran menurut organisasi K/L, tugas-fungsi
pemerintah, dan belanja K/L. Klasifikasi anggaran terbagi ke dalam 3 jenis yakni
klasifikasi menurut organisasi, klasifikasi menurut fungsi dan klasifikasi menurut
ekonomi. Penyusunan belanja negara dalam APBN dirinci menurut klasifikasi
organisasi, klasifikasi fungsi, dan klasifikasi ekonomi.
A. Klasifikasi Menurut Organisasi
Klasifikasi anggaran menurut organisasi merupakan pengelompokan alokasi
anggaran belanja sesuai dengan struktur organisasi K/L. Klasifikasi anggaran
belanja berdasarkan organisasi menurut K/L disebut Bagian Anggaran (BA).
Bagian anggaran merupakan kelompok anggaran menurut nomenklatur K/L, oleh
karenanya setiap K/L mempunyai kode bagian anggaran tersendiri. Sebagai contoh
kode BA untuk LIPI adalah 079. Kode BA ini tersusun atas 3 digit angka. Adapun
kode unit eselon 1 untuk LIPI adalah 01, sehingga jika digabung menjadi 079.01.
B. Klasifikasi Menurut Fungsi
Klasifikasi anggaran menurut fungsi, merinci anggaran belanja menurut fungsi dan
sub fungsi. Fungsi itu sendiri memiliki pengertian perwujudan tugas
kepemerintahan di bidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai
tujuan pembangunan nasional. Subfungsi merupakan penjabaran lebih lanjut dari
fungsi. Klasifikasi anggaran menurut fungsi yang berlaku saat ini ada 11 (sebelas)
fungsi yaitu:
1. Pelayanan umum [01];
2. Pertahanan [02];
3. Ketertiban dan Keamanan [03];
4. Ekonomi [04];
5. Lingkungan Hidup [05];
6. Perumahan dan fasilitas umum [06];
7. Kesehatan [07];
8. Pariwisata [08];
9. Agama [09];
10.Pendidikan dan Kebudayaan [10];
11.Perlindungan sosial [11].
Penggunaan fungsi dan subfungsi disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi
masing-masing K/L. Penggunaanya dikaitkan dengan kegiatan (merupakan
penjabaran program) yang dilaksanakan, sehingga suatu program dapat
menggunakan lebih dari satu fungsi. Untuk mengetahui fungsi dan subfungsi ini
kita bisa mengeceknya dalam dokumen DIPA satker masing-masing atau bisa
ditanyakan langsung melalui unit yang menangani keuangan pada satker masing-
masing. Kode-kode ini biasanya tercantum dalam proposal-proposal yang akan
diajukan dalam program/kegiatan yang ada pembiayaanya melalui DIPA.
C. Klasifikasi Menurut Ekonomi (Jenis Belanja)
Jenis belanja dalam klasifikasi belanja digunakan dalam dokumen anggaran baik
dalam proses penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, dan
pertanggungjawaban/pelaporan anggaran. Adapun klasifikasi anggaran menurut
jenis belanja terdapat 8 jenis yaitu:
1. Belanja Pegawai
Belanja pegawai adalah kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang
diberikan kepada pegawai pemerintah (pejabat negara, PNS, dan pegawai yang
dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS) yang bertugas di dalam
maupun di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan,
kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal dan/atau kegiatan
yang mempunyai output dalam kategori belanja barang.
2. Belanja Barang
Yaitu pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai
untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak
dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual
kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja barang dapat dibedakan
menjadi Belanja Barang (Operasional dan Non Operasional), belanja jasa, belanja
pemeliharaan, serta belanja perjalanan dinas.
3. Belanja Modal
Yaitu pengeluaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah
nilai aset tetap dan aset lainnya yang memberikan manfaat lebih dari satu periode
akuntansi (biasanya 1 tahun periode) serta melebihi batas minimal kapitalisasi aset
tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Mengenai batas minimal nilai kapitalisasi Untuk pengadaan peralatan dan mesin
adalah batas minimal harga pasar per unit barang sebesar Rp. 300.000 dan untuk
bangunan minimal sebesar Rp. 10.000.000.
Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu
satuan kerja atau dipergunakan oleh masyarakat/publik namun tercapat dalam
registrasi aset K/L terkait serta bukan untuk dijual.
Mengenai belanja modal, detailnya saya akan coba bahas dalam tulisan yang
selanjutnya.
4. Bunga Utang
Yaitu pembayaran yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang, baik
utang dalam negeri maupun utang luar negeri yang dihitung berdasarkan jaminan.
Jenis belanja ini khusus digunakan dalam kegiatan dari bagian anggaran BUN
(Bendahara Umum Negara).
5. Belanja Subsidi
Yaitu alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang
memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa untuk
memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat
dijangkau oleh masyarakat. Contohnya adalah belaja subsidi untuk BBM. Jenis
belanja ini khusus digunakan dalam kegiatan dari bagian anggaran BUN.
6. Belanja Bantuan Sosial (Bansos)
Yaitu transfer uang atau barang yang diberikan oleh Pemerintah Pusat/Daerah
kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Belanja bantuan sosial diberikan dalam bentuk uang, barang, dan jasa.
7. Belanja Hibah
Merupakan belanja pemerintah pusat kepada pemerintah negara lain, organisasi
internasional, dan pemerintah daerah yang bersifat sukarela, tidak wajib, tidak
mengikat, dan tidak perlu dibayar kembali serta tidak terus menerus dan dilakukan
dengan naskah perjanjian antara pemberi hibah dan penerima hibah dengan
pengalihan hak dalam bentuk uang, barang, atau jasa.
8. Belanja Lain-lain
Pengeluaran negara untuk pembayaran atas kewajiban pemerintah yang tidak
termasuk dalam kategori belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja
pembayaran utang, belanja subsidi, belanja hibah, dan belanja bantuan sosial serta
bersifat mendesak dan tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Demikian sekilas mengenai klasifikasi anggaran yang berlaku dalam sistem
keuangan negara RI. Semoga bermanfaat.
Sumber dan referensi:
1. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.02/2011 tentang
Klasifikasi Anggaran
2. Modul Kelas Reguler: Perencanaan dan Penganggaran. Edisi 05. PPAKP
Kementerian Keuangan RI. Tahun 2012
3. Tabel referensi aplikasi RKAKL-DIPA 2012.
Sumber gambar:
http://perencanaanku.files.wordpress.com/2012/01/44600_anggaran-belanja-
romy.jpg

PENYUSUNAN RKA-KL
Posted on Desember 30, 2013 by rafynang
BAB 1
KLASIFIKASI ANGGARAN

Salah satu dokumen penganggaran adalah RKA-KL yang terdiri dari rencana kerja
K/L dan anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja dimaksud.
Pada bagian rencana kerja berisikan informasi mengenai visi, misi, tujuan,
kebijakan, program, hasil yang diharapkan, kegiatan, serta output yang diharapkan.
Sedangkan pada bagian anggaran berisikan informasi mengenai biaya untuk
masing-masing program dan kegiatan untuk tahun yang direncanakan yang dirinci
menurut jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya, serta sumber dan
sasaran pendapatan K/L.
Penyusunan RKA-KL merupakan bagian dari proses penganggaran atau
penyusunan APBN. Secara singkat proses penganggaran dapat diuraikan berikut
ini:
K/L menyusun Renja K/L untuk tahun anggaran yang sedang disusun dengan
mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif [1]yang
ditetapkan dalam Surat Edaran Bersama antara Menteri Negara PPN/Kepala
Bappenas dengan Menteri Keuangan. Renja K/L memuat kebijakan, program, dan
kegiatan yang dilengkapi dengan sasaran kinerja, alokasi anggaran yang berasal
dari pagu indikatif, dan prakiraan maju untuk tahun anggaran berkutnya;
Renja K/L ditelaah dan ditetapkan oleh Kementerian PPN/Bappenas berkoordinasi
dengan Kementerian Keuangan;
K/L menyesuaikan Renja K/L menjadi RKA-KL atau menyusun RKA-KL setelah
menerima Surat Edaran Menteri Keuangan tentang pagu sementara. Pagu
sementara merupakan dasar K/L mengalokasikan anggaran dalam
program/kegiatan;
RKA-KL yang telah disesuaikan tersebut dibahas oleh K/L bersama-sama dengan
DPR (Komisis terkait di DPR);
RKA-KL hasil pembahasan tersebut dijadikan bahan penelaahan oleh Kementerian
PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran.
Kementerian Perencanaan menelaah kesesuaian antara RKA-KL hasil pembahasan
dengan RKP. Kementerian Keuangan menelaah RKA-KL hasil pembahasan
dengan pagu sementara, prakiraan maju yang telah disetujui tahun sebelumnya,
dan standar biaya yang telah ditetapkan;
Seluruh RKA-KL hasil pembahasan atau yang telah disepakai oleh DPR kemudian
dihimpun menjadi Himpunan RKA-KL yang merupakan lampiran tak terpisahkan
dari Nota Keuangan dan RAPBN dan selanjutnya diajukan Pemerintah kepada
DPR untuk dibahas dan ditetapkan menjadi UU APBN;
Kementerian Keuangan bersama K/L melakukan penyesuaian RKA-KL sepanjang
hasil pembahasan RAPBN antara Pemerintah dan DPR menyebabkan adanya
perubahan;
RKA-KL yang telah disepakati DPR ditetapkan dalam Peraturan Presiden
(Perpres) tentang Rincian ABPP. Rincian ABPP tersebut dirinci menurut
organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja.
Perpres tentang Rincian ABPP menjadi dasar K/L untuk menyusun konsep DIPA;
Konsep DIPA ditelaah dan disahkan oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat
Jenderal Perbendaharaan.
Penyusunan RKA-KL seperti tersebut di atas menggunakan pendekatan
penganggaran terpadu, KPJM, dan PBK sebagaimana dibahas pada Lampiran I.
Selain menggunakan ketiga pendekatan penganggaran dimaksud, dokumen RKA-
KL dirinci dalam klasifikasi menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja.

2.1. Klasifikasi Menurut Organisasi


Klasifikasi organisasi merupakan pengelompokan alokasi anggaran belanja sesuai
dengan struktur organisasi Kementerian Negara/Lembaga (K/L). Yang dimaksud
organisasi adalah K/L yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu
berdasarkan UUD 1945 dan peraturan perundangan yang berlaku. Suatu K/L bisa
terdiri dari unit-unit organisasi (Unit Eselon I) yang merupakan bagian dari suatu
K/L. Dan sutau unit organisasi bisa didukung oleh satuan kerja (Satker) yang
bertanggungjawab melaksanakan kegiatan dari program unit eselon I atau
kebijakan Pemerintah dan berfungsi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.
Klasifikasi anggaran belanja berdasarkan organisasi menurut K/L disebut Bagian
Anggaran (BA). BA dilihat dari apa yang dikelola dapat dikelompokkan dalam 2
(dua) jenis. Pertama, Bagian Anggaran K/L yang selanjutnya disebut BA-KL
adalah kelompok anggaran yang dikuasakan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga
selaku Pengguna Anggaran. Kedua, Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara,
yang selanjutnya disebut BA-BUN adalah kelompok anggaran yang dikelola oleh
Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal.
Suatu K/L dapat diusulkan sebagai BA apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
Pada prinsipnya sebuah BA diberikan kepada organisasi atau lembaga negara yang
dibentuk untuk melaksanakan salah satu fungsi pemerintahan atau melaksanakan
tugas khusus dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden;
Dasar hukum pembentukannya (berupa UU, PP, Perpres) yang menyatakan bahwa
pimpinan organisasi atau lembaga berkenaan ditetapkan sebagai Pengguna
Anggaran;
Pengguna Anggaran merupakan pejabat setingkat menteri/Pimpinan Lembaga
Pemerintahan Non Kementerian (LPNK);
Unit kesekretariatan yang dibentuk untuk membantu pelaksanaan tugas-tugas
lembaga dimaksud setingkat eselon I dan memiliki entitas yang lengkap (unit
perencanaan, pelaksana, pengawasan, pelaporan dan akuntansi) serta telah ada
penetapan dari Kantor MENPAN;
Struktur organisasi yang telah ditetapkan sudah ada pejabat yang definitif;
Sumber dana untuk membiayai pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang menjadi
tanggung jawabnya seluruhnya/sebagian berasal dari APBN;
Usulan sebagai BA mendapat persetujuan dari K/L induknya termasuk pengalihan
anggaran yang dialokasikan dari K/L yang bersangkutan.
Selanjutnya yang dimaksud dengan unit organisasi pada K/L sebagaimana uraian
tersebut di atas adalah Unit Eselon I yang bertanggung jawab atas pencapaian
sasaran program/hasil (outcome) dan pengkoordinasian atas pelaksanaan kegiatan
oleh satuan kerja. Dalam hal ini yang bertanggung jawab terhadap suatu program
kebanyakan Unit Eselon IA.
Dalam kaitannya dengan tanggung jawab suatu program teknis, K/L dan Unit
Eselon IA-nya dikelompokkan dengan aturan umum sebagai berikut :
Kelompok Lembaga Tinggi Negara dapat menggunakan lebih dari 1 (satu)
program teknis sesuai dengan lingkup kewenangannya;
Kelompok Kementerian untuk setiap 1 (satu) unit Eselon IA yang bersifat
pelayanan eksternal akan menggunakan 1 (satu) Program Teknis;
Kelompok Kementerian Negara dan Kementerian Koordinator menggunakan 1
(satu) Program Teknis untuk seluruh unit Eselon IA-nya;
Kelompok Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dan Lembaga Non-
Struktural menggunakan 1 (satu) Program Teknis untuk Lembaganya.
Sedangkan satuan kerja pada unit organisasi K/L adalah satker baik di kantor pusat
maupun kantor daerah atau satuan kerja yang memperoleh penugasan dari unit
organisasi K/L. Suatu satker ditetapkan sebagai Kuasa Penguna Anggaran dalam
rangka pengelolaan anggaran.
Suatu K/L dalam rangka pengelolaan anggaran dapat mengusulkan satker baru
sebagai KPA untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan
anggaran yang berasal dari kantor pusat K/L apabila memenuhi (seluruh/salah
satu) kriteria sebagai berikut:
Memiliki unit-unit yang lengkap sebagai suatu entitas (unit perencanaan,
pelaksana, pengawasan, pelaporan dan akuntansi);(merupakan syarat wajib)
Lokasi satker yang bersangkutan berada pada propinsi/kabupaten/kota yang
berbeda dengan kantor pusatnya;
Karakteristik tugas/kegiatan yang ditangani bersifat kompleks/spesifik dan berbeda
dengan kantor pusatnya;
Volume kegiatan dan anggaran yang dikelola relatif besar.
Adanya penugasan secara khusus dari Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna
Anggaran Eselon I satker yang bersangkutan.
Sedangkan usulan Bagian Anggaran dan satuan kerja K/L dapat dilakukan dengan
tata cara sebagai berikut:
Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Anggaran I, II dan III
menganalisis/menilai usulan permintaan Bagian Anggaran atau Satuan Kerja
sebagai KPA dari K/L berdasarkan kriteria tersebut di atas.
Apabila berdasarkan hasil penilaian usulan tersebut di anggap memenuhi
persyaratan dan dapat dipertimbangkan untuk disetujui, maka Direktorat Anggaran
I,II dan III menyampaikan nota rekomendasi serta meminta kode Bagian Anggaran
atau Satuan Kerja sebagai KPA kepada Direktorat Sistem Penganggaran.
Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Anggaran I, II dan III
memberitahukan persetujuan/penolakan atas usulan dimaksud kepada K/L yang
bersangkutan.

2.2. Klasifikasi Menurut Fungsi


Klasifikasi anggaran menurut fungsi merinci anggaran belanja menurut fungsi dan
sub fungsi sebagai berikut:
Fungsi
Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu yang
dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Klasifikasi
fungsi dibagi dalam 11 (sebelas) fungsi.
Subfungsi
Sub fungsi merupakan penjabaran lebih lanjut dari fungsi dan terinci ke dalam 79
(tujuh puluh sembilan) sub fungsi.
Penggunaan fungsi dan sub fungsi disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi
masing-masing K/L. Penggunaannya dikaitkan dengan kegiatan yang
dilaksanakan, sehingga suatu program dapat menggunakan lebih dari satu fungsi.
Selanjutnya fungsi dan sub-fungsi dijabarkan lebih lanjut dalam program/kegiatan.
Program adalah penjabaran kebijakan K/L di bidang tertentu yang dilaksanakan
dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan
sumber daya yang disediakan untuk mecapai hasil yang terukur sesuai dengan
misinya yang dilaksanakan instansi atau masyarakat dalam koordinasi K/L yang
bersangkutan. Dengan demikian, rumusan program harus secara jelas
menunjukkan keterkaitan dengan kebijakan yang mendasarinya, memiliki sasaran
kinerja yang jelas dan terukur untuk mendukung upaya pencapaian tujuan
kebijakan yang bersangkutan.
Sedangkan kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau
beberapa satuan kerja sebagai bagaian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu
program yang terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang
berupa personil (sumber daya manusia), barang, modal termasuk peralatan dan
teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya
tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam
bentuk barang/jasa.
Program/kegiatan yang digunakan dalam penyusunan RKA-KL mulai tahun 2011
adalah hasil restrukturisasi program/kegiatan dan tertuang dalam RPJMN 2010-
2014.

2.3. Klasifikasi Ekonomi (Jenis Belanja)


Jenis belanja dalam klasifikasi belanja digunakan dalam dokumen penganggaran
baik dalam proses penyusunan anggaran, pelaksanan anggaran, dan
pertangungjawaban/pelaporan anggaran. Namun penggunaan jenis belanja dalam
dokumen tersebut mempunyai tujuan berbeda. Dalam kaitan proses penyusunan
anggaran tujuan penggunaan jenis belanja ini dimaksudkan untuk mengetahui
pendistribusian alokasi anggaran kedalam jenis–jenis belanja.
Dalam penyusunan anggaran (RKA-KL) penggunaan jenis belanja mengacu pada
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai Bagan Akun Standar (BAS) dengan
penjelasan teknis pada Buletin Teknis Komite Standar Akuntansi Pemerintah
(KSAP).
Jenis-jenis belanja yang digunakan dalam penyusunan RKA-KL adalah berikut:
Belanja Pegawai
Belanja Pegawai adalah kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang
diberikan kepada pegawai pemerintah (pejabat negara, pegawai negeri sipil, dan
pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS) yang
bertugas di dalam maupun di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah
dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal
dan/atau kegiatan yang mempunyai output dalam kategori belanja barang.
Belanja Barang
Belanja Barang yaitu pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa
yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun
yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan
atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Dalam pengertian belanja
tersebut termasuk honorarium yang diberikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan
untuk menghasilkan barang/jasa. Belanja Barang dapat dibedakan menjadi Belanja
Barang (Operasional dan Non Operasional) dan Jasa, Belanja Pemeliharaan, serta
Belanja Perjalanan Dinas.
Belanja Modal
Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka
memperoleh atau menambah asset tetap dan asset lainnya yang member manfaat
lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi asset
tetap atau asset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut
dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan
untuk dijual.
Belanja Modal meliputi :
Belanja Modal Tanah.
Seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk pengadaan/pembelian/
pembebasan/penyelesaian, balik nama, pengosongan, penimbunan, perataan,
pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah serta pengeluaran – pengeluaran lain
yang bersifat administratif sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas
tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi sampai tanah tersebut siap
digunakan/pakai.
Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan mesin yang digunakan dalam
pelaksanaan kegiatan antara lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya
instalasi, serta biaya langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan
sampai peralatan dan mesin tersebut siap digunakan. Dalam belanja ini termasuk
biaya untuk penambahan dan penggantian yang meningkatkan masa manfaat dan
efisiensi peralatan dan mesin.
Pengadaan peralatan kantor yang dialokasikan pada Kegiatan 0002 apabila masuk
dalam nilai kapitalisasi maka dialokasikan pada belanja modal.
Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Pengeluaran untuk memperoleh gedung dan bangunan secara kontraktual sampai
dengan gedung dan bangunan siap digunakan meliputi biaya pembelian atau biaya
konstruksi, termasuk biaya pengurusan IMB, notaris dan pajak (kontraktual).
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Pengeluaran untuk memperoleh jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan sampai
siap pakai meliputi biaya perolehan atau biaya kontruksi dan biaya-biaya lain yang
dikeluarkan sampai jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan tersebut siap pakai.
Dalam belanja ini termasuk biaya untuk penambahan dan penggantian yang
meningkatkan masa manfaat dan efisiensi jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan.
Belanja Modal Pemeliharaan yang dikapitalisasi
Pengeluaran-pengeluaran yang termasuk dalam kriteria ini :
1). Pengeluaran pemeliharaan/perbaikan yang nilai kerusakan bangunan
sesuai standar biaya umum.
2). Pemeliharaan/perawatan gedung/kantor, yang nilainya memenuhi syarat
kapitalisasi suatu aset sesuai dengan peraturan menteri keuangan tentang
kapitalisasi.
3). Pengeluaran untuk pemeliharaan/perbaikan untuk mempertahankan jalan
dan jembatan, irigasi dan jaringan agar berada dalam kondisi normal yang nilainya
memenuhi nilai kapitalisasi sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah dalam
hal ini menteri keuangan.
4). Pengeluaran untuk pemeliharaan aset tetap selain gedung dan bangunan,
peralatan dan mesin serta jalan, irigasi dan jaringan agar berada dalam kondisi
normal termasuk pemeliharaan tempat ibadah, bangunan bersejarah seperti candi,
bangunan peninggalan Belanda, Jepang yang belum diubah posisinya, kondisi
bangunan/Bangunan Keraton/Puri bekas kerajaan, bangunan cagar alam, cagar
budaya, makam yang memiliki nilai sejarah yang nilainya memenuhi nilai
kapitalisasi sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini menteri
keuangan.

Belanja Modal Fisik Lainnya


Pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk
pengadaan/pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan
dalam perkiraan kriteria belanja modal Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan
Bangunan, Jaringan (Jalan, Irigasi dan lain-lain). Termasuk dalam belanja modal
ini : kontrak sewa beli (leasehold), pengadaan/pembelian barang-barang kesenian
(art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang untuk museum, serta
hewan ternak selain untuk dijual dan diserahkan kepada masyarakat, buku-buku
dan jurnal ilmiah.
Bunga Utang
Bunga yaitu pembayaran yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang
(principal outstanding), baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri yang
dihitung berdasarkan posisi pinjaman. Jenis belanja ini khusus digunakan dalam
kegiatan dari Bagian Anggaran BUN.
Subsidi
Subsidi yaitu alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang
memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa untuk
memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat
dijangkau oleh masyarakat. Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran
subsidi kepada perusahaan negara dan perusahaan swasta. Jenis belanja ini khusus
digunakan dalam kegiatan dari Bagian Anggaran BUN.
Bantuan sosial
Bantuan sosial yaitu transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat
guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat
langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan
termasuk didalamnya bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan
dan keagamaan.
Yang termasuk bantuan sosial adalah :
Bantuan Kompensasi Sosial
Transfer dalam bentuk uang, barang atau jasa yang diberikan kepada
masyarakat, sebagai dampak dari adanya kenaikan harga BBM.
Bantuan kepada Lembaga Pendidikan dan Peribadatan
Transfer dalam bentuk uang, barang atau jasa yang diberikan kepada lembaga
pendidikan dan atau lembaga keagamaan.
Bantuan kepada Lembaga Sosial lainnya
Transfer dalam bentuk uang, barang atau jasa yang diberikan lembaga sosial
lainnya.
Hibah
Hibah adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa kepada
pemerintah atau pemerintah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan
organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya,
bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus.
Belanja lain-lain
Belanja lain-lain yaitu pengeluaran/belanja pemerintah pusat yang tidak dapat
diklasifikasikan ke dalam jenis belanja pada butir 1 (satu) sampai dengan 8
(delapan) tersebut di atas.

BAB 2
Pengalokasian Anggaran Kegiatan

Penyusunan RKA-KL disamping membahas materi klasifikasi anggaran juga


membahas materi pegalokasaian anggaran kegiatan. Alokasi angggaran
kegiatan merupakan akumulasi dari seluruh biaya yang dibutuhkan untuk
menghasilkan output kegiatan yang direncanakan. Penyusunan anggaran biaya
suatu output kegiatan yang tertuang dalam RKA-KL juga mengacu pada peraturan-
peraturan yang mengatur secara khusus. Peraturan dimaksud meliputi peraturan
tentang: Bagan Akun Standar (BAS); sumber dana kegiatan; jenis satker yang
melaksanakan kegiatan; dan perspektif pengalokasian anggarannya. Integrasi
peraturan tersebut dalam pengalokasian anggaran biaya output kegiatan dalam
penyusunan RKA-KL diatur sebagaimana mekanisme di bawah ini.

2.1. Penghitungan Alokasi Belanja Pegawai pada Satker

Pengalokasian gaji dan tunjangan pegawai supaya lebih realistis dengan kebutuhan
maka, pengalokasian dilakukan dengan berbasis data (based on data) dan
menggunakan aplikasi untuk menghitung alokasi Belanja Pegawai pada Output
Kegiatan Pelayanan Perkantoran. Masing-masing Satker berkewajiban mengisi
data-data pegawai yang ada seperti nama, tanggal lahir, gaji pokok, dan tunjangan.
Selanjutnya aplikasi akan menghitung secara otomatis berapa alokasi belanja
pegawai dan tunjangan dari Satker tersebut.
Sedangkan pengalokasian akun belanja yang termasuk dalam Belanja Pegawai
mengikuti aturan sebagai berikut:
Honorarium
Honorarium mengajar Guru Tidak Tetap;
Honorarium kelebihan jam mengajar Guru Tetap dan Guru Tidak Tetap;
Honorarium ujian dinas;
Honorarium mengajar, disediakan antara lain untuk tenaga pengajar luar biasa di
lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional atau di luar Kementerian Pendidikan
Nasional yang tarifnya telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
Uang Lembur
Penyediaan dana untuk uang lembur tahun 2011 berdasarkan tarif yang ditetapkan
Menteri Keuangan, dengan perhitungan maksimal 100% dari alokasi uang lembur
tahun 2010.
Vakasi
Vakasi adalah penyediaan dana untuk imbalan bagi penguji atau pemeriksa
kertas/jawaban ujian.
Lain-lain
Yang termasuk dalam belanja pegawai lain-lain adalah:
Belanja pegawai untuk Dharma siswa/mahasiswa asing;
Belanja pegawai untuk Tunjangan Ikatan Dinas (TID);
Tunjangan selisih penghasilan (khusus BPPT);
Tunjangan lainnya yang besaran tarifnya telah mendapatkan persetujuan Menteri
Keuangan.
Uang Lauk Pauk TNI/POLRI
Uang Lauk Pauk bagi anggota TNI/Polri dihitung per hari per anggota.
Uang Makan PNS
Pengeluaran untuk uang makan PNS per hari kerja per PNS dan dihitung maksimal
22 hari setiap bulan.
Bagi PNS yang sebelumnya sudah menerima uang makan yang tidak berdasarkan
keputusan Menteri Keuangan, dengan adanya uang makan ini maka pemberian
uang makan tersebut dihentikan.
Pembayaran uang makan termasuk untuk PNS yang diperbantukan/ dipekerjakan,
sepanjang tidak dibayarkan oleh instansi asal.

2.2. Penerapan Bagan Akun Standar


Penyelarasan norma anggaran dan norma akuntansi dalam rangka sinkronisasi
perencanaan anggaran melalui penyusunan RKA-KL dan pelaksanaan anggaran
melalui penyusunan laporan keuangan dengan memakai norma Bagan Akun
Standar. Penyempurnaan dilakukan secara terus menerus dalam rangka
meningkatkan akuntabilitas dan transparansi proses penganggaran. Secara umum
penerapan Bagan Akun Standar diatur sebagai berikut:
Belanja Bantuan Sosial
Dalam rangka meningkatkan good governance terhadap penggunaan jenis belanja
Bantuan Sosial, maka Informasi mengenai siapa penerima manfaat (beneficiaries)
dan dampak resiko sosial apa yang akan dapat diatasi, diuraikan secara jelas dalam
penyusunan KAK/TOR sebagai dokumen pendukung RKA-KL yang
bersangkutan.
Belanja Barang
Belanja Barang yaitu pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa
yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun
yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan
atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Dalam pengertian belanja
tersebut termasuk honorarium yang diberikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan
untuk menghasilkan barang/jasa. Belanja Barang dapat dibedakan menjadi Belanja
Barang (Operasional dan Non Operasional) dan Jasa, Belanja Pemeliharaan, serta
Belanja Perjalanan Dinas. Akun-akun yang termasuk Belanja Barang terdiri dari :
Belanja Barang Operasional
Pengeluaran-pengeluaran yang termasuk dalam kriteria ini adalah belanja barang
operasional, antara lain :
1). keperluan sehari-hari perkantoran;
2). pengadaan/penggantian inventaris kantor yang nilainya dibawah kapitalisasi;
3). pengadaan bahan makanan;
4). penambah daya tahan tubuh;
5). belanja barang lainnya yang secara langsung menunjang operasional
Kementerian Negara/Lembaga;
6). Pengadaan pakaian seragam dinas;
7). Honorarium pejabat pembuat komitmen yang dimasukkan dalam kelompok
akun Belanja Barang Operasional (5211), yaitu honor yang terkait dengan
operasional satker (akun 521115).
Belanja Barang Non Operasional
Pengeluaran yang digunakan untuk membiayai kegiatan non operasional dalam
rangka pelaksanaan suatu kegiatan satuan kerja.
Pengeluaran-pengeluaran yang termasuk dalam kriteria ini, antara lain :
1). Belanja Bahan
2). Belanja Barang transito
3). Honor yang terkait dengan output
Penggunaan Akun Honor Yang Terkait dengan Output Kegiatan dimaksud harus
benar-benar selektif dan dapat dialokasikan untuk kegiatan sepanjang :
1). pelaksanaannya memerlukan pembentukan panitia/tim/kelompok kerja.
2). mempunyai keluaran (output) jelas dan terukur.
3). sifatnya koordinatif dengan mengikutsertakan satker/organisasi lain.
4). sifatnya temporer sehingga pelaksanaannya perlu diprioritaskan atau diluar
jam kerja.
5). merupakan perangkapan fungsi atau tugas tertentu kepada PNS disamping
tugas pokoknya sehari-hari.
6). bukan operasional yang dapat diselesaikan secara internal satker
Belanja barang lainnya yang secara langsung menunjang kegiatan non operasional.
Belanja Jasa
Pengeluaran-pengeluaran untuk langganan daya dan jasa (listrik, telepon, gas, dan
air), jasa pos dan giro, jasa konsultan, sewa , jasa profesi dan jasa lainnya.
Belanja Pemeliharaan
Belanja Pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk
mempertahankan aset tetap atau aset tetap lainnya yang sudah ada ke dalam
kondisi normal tanpa memperhatikan besar kecilnya jumlah belanja. Belanja
Pemeliharaan meliputi antara lain pemeliharaan tanah, pemeliharaan gedung dan
bangunan kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor dinas, perbaikan peralatan dan
sarana gedung, jalan, jaringan irigasi, peralatan mesin, dan lain-lain sarana yang
berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
Belanja Perjalanan Dinas
Pengeluaran-pengeluaran untuk perjalanan dinas. Belanja perjalanan terdiri dari
Belanja Perjalanan Biasa, Belanja Perjalanan Tetap dan Belanja Perjalanan
Lainnya.
Penerapan konsep nilai perolehan (full costing) pada jenis belanja:
Belanja Barang
Pada penyusunan RKA-KL dengan menggunakan konsep full costing, berarti
seluruh biaya yang diperlukan untuk pengadaan barang/jasa dimasukkan sebagai
nilai perolehan barang/jasa dimaksud. Namun demikian akun belanja yang
digunakan harus sesuai dengan peruntukannya sebagaiaman BAS.
Bantuan Sosial
Suatu output yang dihasilkan kegiatan dalam rangka bantuan kepada lembaga
pendidikan dan/atau peribadatan pengalokasian anggarannya dimasukkan dalam 2
(dua) jenis belanja yaitu Belanja Barang (termasuk biaya honorarium pelaksanan
kegiatan dengan kode Akun kode 521213 sebagaimana uraian pada Belanja Barang
tersebut di atas) dan Belanja Bantuan Sosial untuk menampung besaran alokasi
bantuan yang diberikan (Akun Belanja Bantuan Sosial Lembaga Pendidikan atau
Akun Belanja Bantuan Sosial Lembaga Pendidikan).
Penerapan konsep kapitalisasi
Konsep kapitalisasi dalam penyusunan RKA-KL terkait dengan jenis Belanja
Modal. Untuk mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan sebagai belanja
modal atau tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset tetap lainnya
dan kriteria kapitalisasi aset tetap.
Aset tetap mempunyai ciri–ciri/karakteristik sebagai berikut: berwujud, akan
menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun,
nilainya material (diatas nilai kapitalisasi). Sedangkan ciri-ciri aset tetap lainnya
adalah tidak berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun, nilainya relatif material (diatas nilai kapitalisasi).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu belanja dapat
dikategorikan sebagai belanja modal jika :
Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset tetap
lainnya yang demikian menambah aset pemerintah;
Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset
tetap lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah;
Perolehan aset tetap tersebut dimaksudkan untuk dipakai dalam operasional
pemerintahan, bukan untuk dijual atau diserahkan ke masyarakat.

2.3. Penyusunan KK RKA-KL pada Satker Perwakilan R.I. di Luar Negeri

Berkenaan dengan penyusunan RKA-KL pada Satker Perwakilan R.I. di Luar


Negeri secara khusus mengikuti aturan sebagai berikut:
Penetapan Kurs Valuta Asing.
Valuta yang dipergunakan dalam perhitungan RKA-KL adalah US Dollar (USD).
Nilai Kurs USD terhadap Rupiah yang dipergunakan dalam perhitungan alokasi
adalah kurs yang dipakai dalam asumsi APBN pada tahun yang direncanakan.
Belanja Pegawai
2. Pengalokasian menurut Jenis Belanja
1). Pengaturan mengenai penganggaran belanja pegawai bagi pejabat dinas
LN pada perwakilan RI di LN baik untuk komponen maupun besarannya
mengikuti peraturan perundangan yang berlaku.
2). Alokasi Belanja Pegawai pada Perwakilan RI di luar negeri termasuk
alokasi anggaran untuk gaji lokal staf. Penuangan alokasi anggaran dalam RKA-
KL untuk gaji lokal staf menggunakan Akun belanja Belanja Lokal Staf (kode
511149).
3). Gaji Home Staff pada Perwakilan RI di LN termasuk Atase Teknis dan
Atase Pertahanan didasarkan pada payroll bulan Maret tahun berjalan. Tunjangan
Penghidupan Luar Negeri (TPLN) terdiri dari tunjangan pokok dan tunjangan
keluarga. Tunjangan Pokok merupakan perkalian antara Angka Dasar Tunjangan
Luar Negeri (ADTLN) dengan prosentase Angka Pokok Tunjangan Luar Negeri
(APTLN) masing-masing Home Staff. Tunjangan Keluarga terdiri dari tunjangan
isteri (15% kali tunjangan pokok) dan tunjangan anak (10% kali tunjangan pokok)
yang besarannya mengikuti ketentuan yang berlaku, dengan jumlah anak yang
dapat diberikan tunjangan anaknya maksimal 2 anak sesuai dengan ketentuan
pemberian tunjangan anak bagi PNS;
4). Untuk menghitung selisih F-B (lowongan formasi) Home Staff didasarkan
pada angka rata-rata TPLN. Khusus apabila terjadi kekosongan Kepala Perwakilan
maka perhitungan F-B-nya mengggunakan Angka Dasar Tunjangan Luar Negeri
(ADTLN) X Angka Pokok Tunjangan Luar Negeri (APTLN) dengan asumsi 1 istri
2 anak;
5). Alokasi anggaran Tunjangan Lain-Lain Home Staff dihitung maksimum
40% dari alokasi Gaji Luar Negeri/TPLN Home Staff dengan perhitungan
Tunjangan Sewa Rumah 25% dari TPLN (kecuali beberapa Perwakilan yang
ditetapkan tersendiri) dan Tunjangan Restitusi Pengobatan 15% dari TPLN;
Belanja Barang
1). Alokasi anggaran untuk sewa gedung didasarkan atas kontrak sewa
gedung yang berlaku;
2). Alokasi anggaran biaya representasi untuk Duta Besar dihitung
maksimum 20% dari Tunjangan Pokok X 12 bulan. Sedangkan untuk home
staff lainnya dihitung maksimum 10% dari gaji pokok X 12 bulan;
3). Perjalanan Dinas pada Perwakilan RI di LN termasuk Atase Teknis dan
Atase Pertahanan maksimum terdiri dari :
a). Perjalanan dinas wilayah
b). Perjalanan dinas multilateral
c). Perjalanan dinas akreditasi
d). Perjalanan dinas kurir
Anggaran perjalanan dinas pada Perwakilan RI di LN disediakan hanya untuk jenis
perjalanan dinas yang ada pada Perwakilan RI bersangkutan, dan dihitung menurut
jumlah pejabat yang melakukan perjalanan dinas, serta frekuensi perjalanan yang
akan dilakukan. Besarnya tarif uang harian perjalanan dinas luar negeri diatur oleh
Menteri Keuangan.
4). Ketentuan lain-lain.
a). Alokasi anggaran untuk Perwakilan RI di LN termasuk Atase Teknis
maupun Atase Pertahanan dilakukan sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor
108 Tahun 2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Organisasi Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri;
b). Alokasi Belanja Pegawai pada Perwakilan RI di luar negeri termasuk
alokasi anggaran untuk gaji local staff. Besaran gaji local staff dimaksud mengacu
pada :
Alokasi anggaran pada masing-masing Perwakilan R.I di luar negeri dengan
besaran take home pay maksimum sebesar 43% dari ADTLN;
Kebutuhan local staff pada masing-masing Perwakilan RI di luar negeri dengan
jumlah maksimal tidak boleh melebihi formasi terakhir untuk masing-masing
Perwakilan RI di luar negeri yang ditetapkan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi;
Peraturan ketenagakerjaan pemerintah setempat termasuk persyaratan kontrak dan
asuransi.
c). Pengaturan anggaran Perwakilan RI di luar negeri termasuk Atase Teknis
dan Atase Pertahanan yang tidak diatur atau menyimpang dari peraturan Menteri
Keuangan ini mengikuti ketentuan yang ditetapkan Menteri Luar Negeri setelah
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
Hal-hal lainnya yang tidak diatur secara khusus, pengalokasian anggaran
mengikuti ketentuan yang berlaku secara umum dalam Penyusunan RKA-
KL 2011.

2.4. Pengalokasian Anggaran dengan Sumber Dana Pinjaman – Hibah Luar


Negeri (PHLN)

Pengalokasian anggaran kegiatan yang bersumber dari dana PHLN secara umum
mengacu PP No. 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan dan/atau Penerimaan
Hibah serta Penerusan Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri. Secara khusus
pengalokasian tersebut mengacu kepada ketentuan yang tercantum dalam Naskah
Perjanjian Pinjaman Hibah Luar Negeri (NPPHLN) masing-masing. Ketentuan
umum dan khusus pengalokasian anggaran kegiatan dimaksud dalam rangka
penyusunan RKA-KL di-integrasikan dan diatur dengan mekanisme di bawah ini.
Pengalokasian PHLN dan Rupiah Murni Pendamping (RMP) dalam RKA-KL
mengikuti ketentuan sebagai berikut :
Mencantumkan akun belanja sesuai dengan transaksi-transaksi yang dibiayai
dengan NPPHLN yaitu disesuaikan dengan kategori-kategori pembiayaan yang
diperbolehkan oleh lender.
Mencantumkan kode kantor bayar sebagai berikut:
Mencantumkan kode KPPN Khusus Jakarta VI (140) untuk transaksi-transaksi
PHLN dalam valuta asing dan tata cara penarikannya menggunakan mekanisme
pembayaran langsung (direct payment) dan letter of credit.
Mencantumkan kode KPPN sesuai dengan lokasi kegiatan dimana proyek-proyek
yang dibiayai dengan PHLN dilaksanakan dan tata cara penarikannya
menggunakan makanisme rekening khusus.
Mencantumkan sumber dana sesuai dengan NPPHLN yaitu sumber dana berupa
Pinjaman luar negeri atau hibah luar negeri.
Mencantumkan tata cara penarikan PHLN sesuai dengan tata cara penarikan PHLN
yang diatur dalam NPPHLN atau dokumen lain yang telah disetujui oleh lender,
misalnya dokumen Project Administration Memorandum (PAM). Tata cara
penarikan PHLN yang masih diperbolehkan adalah:
Mekanisme Rekening Khusus (Special Account) yaitu tata cara penarikan PHLN
dengan menggunakan dana initial deposit yang bersifat revolving fund yang
ditempatkan pada Bank Indonesia atau Bank Pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan. Tata cara ini dapat dipergunakan bagi proyek-proyek yang
dibiayai dengan PHLN yang berlokasi di daerah.
Mekanisme Pembayaran Langsung (Direct Payment) yaitu tata cara penarikan
PHLN dengan cara mangajukan aplikasi penarikan dana secara langsung melalui
KPPN Khusus Jakarta VI.
c. Mekanisme Letter of Credit yaitu tata cara penarikan PHLN dengan
menggunakan LC Bank Indonesia. Khusus PHLN yang penarikannya melalui tata
cara L/C, perlu diperhatikan nilai kontrak pekerjaan secara keseluruhan. Hal ini
berkaitan dengan pembukaan rekening L/C oleh Bank Indonesia.
Mencantumkan kode register PHLN sesuai dengan kode register yang diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
Mencantumkan persentase/porsi pembiayaan yang dibiayai lender sesuai dengan
NPPHLN atau dokumen lain yang telah disetujui oleh lender. Misalnya:
a. Kategori civil work 60% artinya persentase yang dibiayai oleh PHLN adalah
sebesar 60% dikalikan besaran nilai kegiatan/proyek, sedangkan sisanya sebesar
40% merupakan beban rupiah murni pendamping ditambah dengan besaran pajak
(PPN).
Khusus untuk PLN komersial/fasilitas kredit ekspor pengalokasian dalam RKA-
KL dicantumkan maksimal sebesar 85% dari nilai kontrak (contract agreement).
Sementara sisanya sebesar 15% dialokasikan sebagai rupiah murni pendamping
(RMP) sebagai uang muka.
7. Mencantumkan cara menghitung besarnya porsi PHLN yang dibiayai
oleh lender dengan mengacu pada buku petunjuk pengadaan barang
jasa (procurement guidelines) masing-masing lender dan ketentuan perpajakan dan
bea masuk yang berlaku.
Pengalokasian anggaran kegiatan yang bersumber dana dari PHLN juga harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Mencantumkan dana pendamping yang bersumber dari luar APBN, antara lain
dari APBD, anggaran BUMN atau dari kontribusi masyarakat, dengan didukung
dokumen yang sah dari pemberi dana pendamping, maka setelah mencantumkan
dana pendamping dimaksud dalam RKA-KL selanjutnya pada KK RKA-KL
diberi kode “E” sehingga besaran dana pendamping tidak menambah pagu.
Dalam hal terdapat kegiatan yang belum terselesaikan dalam tahun anggaran yang
bersangkutan dan dilanjutkan pada tahun berikutnya, maka penyediaan dana PHLN
dan pendampingnya menjadi prioritas sesuai dengan Annual Work Plan yang
ditandatangani oleh donor/lender.
Dalam hal pemanfaatan suatu pinjaman luar negeri yang dialokasikan dalam
beberapa tahun anggaran maka penyediaan pagu pinjaman luar negeri pada setiap
tahun anggaran dan dana pendampingnya menjadi prioritas.
Untuk menghindari terjadinya penolakan oleh lender pada saat pengajuan aplikasi
penarikan dana, maka dalam mengalokasikan PHLN dalam RKA-KL harus
memperhatikan closing date, sisa pagu pinjaman, kategori dan persentase/porsi
pembiayaan atas kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan PHLN.

Pemahaman NPPHLN
Untuk menghindari terjadinya pengalokasian dana yang mengakibatkan
pembayaran ineligible, perlu dipahami hal-hal sebagai berikut :
Isi/materi dari NPPHLN;
Staff Appraisal Report (SAR);
Project Administration Memorandum (PAM);
Butir-butir pada angka e1 sampai dengan e9;
Ketentuan lainnya yang terkait dengan NPPHLN dan pelaksanaan kegiatan yang
dananya bersumber dari PHLN.
2.4.5. Pengalokasian Anggaran dengan Sumber Dana Pinjaman Dalam Negeri
(PDN)

Dalam rangka pengalokasian kegiatan-kegiatan yang dananya bersumber dari


pinjaman dalam negeri maka tata cara penuangan dalam RKA-KL mengikuti
ketentuan dalam peraturan perundangan yang berlaku tentang pinjaman dalam
negeri.

2.3.6. Pengalokasian Anggaran dengan Sumber Dana Hibah Dalam Negeri


(HDN)

Dalam rangka pengalokasian kegiatan-kegiatan yang dananya bersumber dari


hibah dalam negeri maka tata cara penuangan dalam RKA-KL mengikuti
ketentuan dalam peraturan perundangan yang berlaku tentang hibah dalam negeri.

2.3.7. Pengalokasian Anggaran dengan Sumber Dana PNBP

Penyusunan RKA-KL untuk kegiatan yang alokasi dananya bersumber dari PNBP
(bukan satker BLU) diatur sebagai berikut :
Nomenklatur kegiatan yang digunakan mengacu pada tabel referensi dalam
Aplikasi RKA-KL;
Honor pengelola kegiatan PNBP (honor atasan langsung bendahara, bendahara dan
anggota sekretariat) menggunakan akun belanja barang operasional yaitu honor
yang terkait dengan operasional satker (akun 521115), sedangkan honor kegiatan
non operasional yang bersumber dari PNBP masuk dalam akun honor yang terkait
dengan output kegiatan (akun 521213).
Penuangan kegiatan dan besaran anggarannya dalam RKA-KL mengacu pada:
PP tentang jenis dan tarif PNBP masing-masing K/L;
Keputusan Menteri Keuangan/Surat Menteri Keuangan tentang Persetujuan
Penggunaan Sebagian Dana yang berasal dari PNBP; dan
Pagu penggunaan PNBP.
Penggunaan dana yang bersumber dari PNBP difokuskan untuk kegiatan dalam
rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

2.3.8. Penyusunan RKA-KL untuk Satker Badan Layanan Umum (BLU)

Penyusunan RKA-KL untuk kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh satker


BLU, disamping mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
44/PMK.05/2009 tentang Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) serta Pelaksanaan
Anggaran BLU, juga mengacu pada PMK tentang Petunjuk Penyusunan dan
Penelaahan RKA-KL tahun berkenaan.
Dalam rangka penyusunan RKA-KL satker BLU agar memperhatikan hal–hal
sebagai berikut :
Satker BLU menyusun RBA tahunan dengan mengacu kepada strategi bisnis;
RBA BLU memuat seluruh program, kegiatan, anggaran penerimaan/pendapatan,
anggaran pengeluaran/belanja, estimasi saldo awal dan estimasi saldo akhir kas
BLU;
RBA disusun berdasarkan :
Basis kinerja dan perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya; dan
Kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari
layanannya.
Satker BLU yang telah mampu menyusun standar biaya menurut jenis layanannya
berdasarkan perhitungan akuntansi biaya maka penyusunan RBA-nya mengunakan
standar biaya tersebut, sedangkan untuk satker BLU yang belum mampu menyusun
standar biaya, RBA disusun berdasarkan Standar Biaya Umum (SBU);
Pagu dana pada ikhtisar RBA pada komponen PNBP dan Rupiah Murni (RM)
harus sama dengan alokasi anggaran pada pagu sementara.
2.9. Anggaran Responsif Gender

Pengarusutamaan gender dalam konteks pembangunan nasional mengacu pada


Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional, dan implementasi pengarusutamaan gender (PUG) dalam
penyusunan anggaran dalam dokumen RKA-KL dikenal dengan Anggaran
Responsif Gender (ARG). Integrasi ARG dalam dokumen RKA-KL telah dimulai
pada tahun anggaran 2010 untuk 7 (tujuh) K/L sebagai uji coba (pilot). Hal ini
sejalan dengan kesepakatan pada tingkat global/dunia.
Berdasarkan konsep tersebut di atas maka, yang disebut dengan ARG adalah
anggaran yang memberi/mengakomodasi terhadap 2 (dua) hal:
Keadilan bagi perempuan dan laki-laki (dengan mempertimbangkan peran dan
hubungan gendernya) dalam memperoleh akses, manfaat (dari program
pembangunan), berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan
mempunyai kontrol terhadap sumber-sumber daya;
Kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki terhadap kesempatan/peluang dalam
memilih dan menikmati hasil pembangunan.
2.10. Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Pengalokasian anggaran dalam RKA-KL untuk kegiatan-kegiatan K/L yang
dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) melalui mekanisme DK
dan TP, disamping mengacu pada PMK No.156/PMK.07/2008 tentang Pedoman
Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan, juga mengacu pada
PMK tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL Tahun 2011.
Pengalokasian anggaran dalam rangka penyusunan RKA-KL 2011 dengan
menggunakan mekanisme DK/TP perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Program dan kegiatan yang didanai tertuang dalam RKA-KL, dan sepenuhnya dari
APBN melalui RKA-KL/DIPA;
K/L tidak diperkenankan mensyaratkan dana pendamping;
Pembebanan APBD hanya digunakan untuk mendanai urusan daerah yang
disinergikan dengan program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan dan/atau
ditugaskan;
Dana DK dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang Pemerintah melalui
K/L kepada Gubernur;
Dana TP dilaksanakan setelah adanya penugasan wewenang Pemerintah melalui
K/L kepada Gubernur/Bupati/Walikota;
Untuk mendukung pelaksanaan program dan kegiatan, K/L juga harus
memperhitungkan kebutuhan anggaran:
Biaya penyusunan dan pengiriman laporan oleh SKPD;
Biaya operasional dan pemeliharaan atas hasil pelaksanaan kegiatan yang belum
dihibahkan;
Honorarium pejabat pengelola keuangan dana dekonsentrasi dan/atau dana tugas
pembantuan;dan
Biaya lainnya dalam rangka pencapaian target pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi
dan tugas pembantuan.
Pengalokasian dana DK dan TP memperhatikan kemampuan keuangan negara,
keseimbangan pendanaan di daerah (besarnya transfer ke daerah dan kemampuan
keuangan daerah), dan kebutuhan pembangunan di daerah;
Karakteristik DK
Sifat kegiatan non-fisik yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang tidak
menambah aset tetap. Kegiatan non-fisik, antara lain berupa: sinkronisasi dan
koordinasi perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis, pelatihan, penyuluhan,
supervisi, penelitian dan survei, pembinaan dan pengawasan, serta pengendalian.
Karakteristik TP
Sifat kegiatan fisik, yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang menambah
aset tetap. Kegiatan fisik, antara lain pengadaan tanah, bangunan, peralatan dan
mesin, jalan, irigasi dan jaringan, serta dapat berupa kegiatan yang bersifat fisik
lainnya. Sedangkan kegiatan bersifat fisik lainnya, antara lain pengadaan barang
habis pakai, seperti obat-obatan, vaksin, pengadaan bibit dan pupuk, atau
sejenisnya, termasuk barang bansos yang diserahkan kepada masyarakat, serta
pemberdayaan masyarakat.
Pengalokasian Dana Penunjang
Sebagian kecil dana DK/TP dapat dialokasikan sebagai dana penunjang untuk
pelaksanaan tugas administratif dan/atau pengadaan input berupa barang habis
pakai dan/atau aset tetap;
Penentuan besarnya alokasi dana penunjang harus memperhatikan asas kepatutan,
kewajaran, ekonomis, dan efisiensi, serta disesuaikan dengan karakteristik kegiatan
masing-masing K/L.

2.11. Penggunaan Hasil Monitoring Evaluasi dalam Pengalokasian Anggaran

Sebagaimana diamanatkan dalam PP 21/2004 bahwa Menteri Keuangan cq. Ditjen


Anggaran memiliki tugas untuk menyusun pedoman yang mendukung
pemanfaatan sumber daya secara efisien. Selanjutnya setiap K/L mempunyai
kewajiban untuk melakukan monitoring dan evaluasi atas kinerja yang telah
dicapai. Monitoring dimaksud dilakukan melalui penelitian dan kajian atas
pelaksanaan suatu program/kegiatan pada tahun berkenaan dan/atau hasil evaluasi
yang dilaksanakan oleh K/L atas pelaksanaan program/kegiatan pada tahun
sebelumnya. Hasil monitoring dan evaluasi tersebut akan digunakan sebagai alat
untuk perbaikan perencanaan tahun yang direncanakan.
Perbedaan Belanja Pegawai, Belanja Barang/Jasa, dan Belanja Modal Dana BOS
September 07, 2017 Laporan BOS
Pada artikel berikut ini saya akan membagikan informasi tentang Perbedaan
Belanja Pegawai, Belanja Barang/Jasa, dan Belanja Modal Dana BOS. Sebagai
seorang bendahara, tentunya anda akan disibukan dengan kegiatan pengelolaan
dana BOS sekolah.

Dalam penggunaannya, anda tentu akan menemukan beberapa istilah seperti


belanja pegawai, belanja barang/jasa, serta belanja modal dalam setiap penggunaan
dana BOS tersebut. Dalam prakteknya di lapangan, masih banyak sekali bendahara
sekolah yang mesih mengalami kesalahan atau bahkan belum mengerti cara
mengklasifikasikan pengeluaran dana BOS berdasarkan ketika jenis pengeluaran
tersebut.

Berikut ini akan saya paparkan apa saja perbedaan tentang


belanja pegawai, belanja barang/jasa, serta belanja modal.

Belanja Pegawai
Belanja pegawai adalah pembelanjaan yang dikeluarkan untuk pegawai (guru atau
tenaga kependidikan) baik berupa uang atau barang. Pembiayaan jenis belanja ini
biasanya seperti gaji guru honor, insentif tidak rutin seperti insentif penerimaan
siswa baru, pengelolaan dana BOS, dan sejenisnya.

Belanja Barang/Jasa

Belanja Barang/Jasa adalah pembelanjaan yang dikeluarkan untuk membeli atau


mengadakan barang atau jasa yang habis pakai. Maksudnya adalah barang atau
jasa tersebut tidak memiliki masa manfaat yang panjang. Biasanya masa
manfaatnya kurang dari satu tahun.

Artinya barang/jasa tersebut merupakan habis pakai. Misalnya pengadaan ATK,


biaya pulsa internet, biaya listrik dan langganan air, upah tukang, dan sejenisnya.

Belanja Modal

Belanja Modal adalah pembelanjaan yang dikeluarkan dalam rangka untuk


menambah aset tetap yang memiliki masa manfaat dalam periode tertentu atau
jangka panjang. Artinya barang yang dibeli tersebut tidak akan cepar rusak jika
digunakan.

Contoh belanja modal antara lain adalah pengadaan laptop, printer, buku teks
pelajaran, dan sejenisnya.
Beda Belanja Barang dgn Belanja Modal
SEPTEMBER 15, 2008
tags: apbd, APBN, Bagan Akun Standar (BAS), belanja barang, belanja
modal, korupsi, KPPN, PMK No.91/2007
by syukriy
Pengantar. Perbedaan definisi dan pengertian antara belanja barang dan belanja
modal dalam anggaran pemerintah (APBN dan APBD) bukanlah sesuatu yang
sederhana dan dapat diabaikan begitu saja. Banyak penyimpangan anggaran
terjadi karena kelonggaran dalam pengklasifikasian ini. Pemerintah Pusat selaku
regulator, melalui Departemen Keuangan, kemudian menerbitkan aturan yang
diharapkan dapat menjadi pedoman bagi aparatur pemerintah yang menjadi
pelaksana di lapangan. Apakah aturan ini sudah cukup? Apakah memang
pemahaman para stakeholder sudah seperti yang diharapkan? Berikut dua tulisan
tentang belanja modal, yang salah satunya merupakan Editorial Media Indonesia
tanggal 25 Agustus 2008.
Beda Belanja Barang dgn Belanja Modal
Bendahara Kementerian/Lembaga sering mengeluh karena SPM yang diajukan ke
KPPN tidak bisa cair seluruhnya. Menurut bendahara, tagihan untuk honor tim
tidak bisa dicairkan karena tidak sesuai akunnya. Honor tim pengadaan modal
dalam DIPA masuk ke dalam belanja modal. Sementara menurut pihak KPPN
honor tim harus masuk ke dalam belanja barang. Gara-gara perbedaan persepsi ini
menyebabkan SPM tidak bisa cair.
Sebenarnya dalam PMK No.91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar (BAS)
sudah didefinisikan perbedaan belanja barang dan belanja modal secara jelas.
Belanja barang adalah pengeluran untuk menampung pembelian barang dan jasa
yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun
yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan
atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja ini terdiri belanja
barang dan jasa, belanja pemeliharaan dan belanja perjalanan.
Sedangkan definisi belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang
dugunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dam aset lainnya
yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan
minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset
tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan
kerja bukan untuk dijual.
Pangkal Perbedaan
Dalam penyusunan perencanaan anggaran sudah mengacu pada BAS, sementara
dalam pelaksanaan anggaran masih belum mengacu pada BAS. Inilah pokok awal
terjadinya perbedaan persepsi. Demikian juga dalam penyusunan perencanaan
anggaran berpedoman pada petunjuk penyusunan dan penelahaan RKA-KL yang
mengatur penerapan konsep full costing dalam suatu kegiatan yaitu seluruh biaya
yang menunjang dalam pencapaian output disesuaikan dengan jenis belanjanya. Ini
sejalan dengan norma akuntansi yaitu azas full disclosure untuk masing-masing
jenis belanja. Misalnya, belanja modal tanah menjadi belanja modal tanah, belanja
modal pembebasan tanah, belanja modal pembayaran honor tim tanah, belanja
modal pembuatan sertifikat tanah, belanja modal pengurukan dan pematangan
tanah, belanja modal biaya pengukuran tanah, dan belanja modal perjalanan
pengadaan tanah.
Faktor lain berupa pemahaman pegawai tentang konsep BAS belum utuh,
sementara sosialiasi BAS masih minim. Demikian pula masih banyak pegawai
yang belum mengerti prinsip-prinsip akuntansi yang dipakai dalam BAS. Sehingga
berdampak pada kesalahan dalam menterjemahkan dan menjelaskan kepada
kementerian/lembaga.
Menyadari akan hal tersebut serta untuk memberikan kemudahan dalam
mekanisme pelaksanaan APBN dan penyusunan Laporan Keuangan Kementerian
Negara/Lembaga, maka diterbitkan Perdirjen Perbendaharaan No. PER-
33/PB/2008 tentang pedoman penggunaan AKUN pendapatan, belanja pegawai,
belanja barang dan belanja modal sesuai dengan BAS.
Menurut Perdirjen Perbendaharaan tersebut, suatu belanja dikategorikan sebagai
belanja modal apabila:
pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya
yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas;
pengeluaran tersebut melebihi batasan minimum kapitalisasi aset tetap atau aset
lainnya yang telah ditetapkan pemerintah;
perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual. Sayang tidak dijelaskan
bagaimana cara mengetahui niat bukan untuk dijual atau untuk dijual. Demikian
juga, apakah niatnya cukup dalam hati atau didokumentasikan?
Dalam petunjuk penyusunan dan penelahaan RKA-KL nilai kapitalisasi aset tetap
diatas Rp300.000 per unit. Sedangkan batasan minimal kapitalisasi untuk gedung
dan bangunan, dan jalan, irigasi dan jaringan sebesar Rp10.000.000. Sementara
karakteristik aset lainnya adalah tidak berwujud, akan menambah aset pemerintah,
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, dan nilainya relatif material.
Belanja modal juga mensyaratkan kewajiban untuk menyediakan biaya
pemeliharaan.
Namun demikian perlu diperhatikan, karena ada beberapa belanja pemeliharaan
yang memenuhi persyaratan sebagai belanja modal yaitu apabila (a) pengeluaran
tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas, kualitas, dan
volume aset yang telah dimiliki dan (b) pengeluaran tersebut memenuhi batasan
minimum nilai kapitalisasi aset tetap/aset lainnya.
Untuk lebih jelas, Perdirjen Perbendaharaan tersebut dilengkapi dengan lampiran
yang mencantumkan 23 contoh uraian transaksi belanja yang sering terjadi dan
klasifikasinya, apakah termasuk belanja barang atau belanja modal.
Contohnya overhaul kendaraan dinas termasuk klasifikasi belanja modal. Dengan
penjelasan dan contoh, masihkah terjadi perbedaan persepsi?
Sumber: Departemen Keuangan.
—————————————————————————–
Menggenjot Belanja Modal
(Editorial Media Indonesia, 25 Agustus 2008)
AKHIR pekan ini, seluruh kementerian dan lembaga harus sudah merampungkan
perbaikan komposisi anggaran dalam RAPBN 2009. Itulah tenggat yang diberikan
Wakil Presiden Jusuf Kalla saat mengumpulkan sejumlah menteri pekan lalu.
Wakil Presiden meminta belanja modal dalam RAPBN ditingkatkan dan belanja
barang dibatasi seminimal mungkin. Tujuannya menunjang pertumbuhan ekonomi
yang dipatok 6,2% tahun depan.
Menggenjot belanja modal adalah perkara sangat penting karena meningkatkan
produktivitas perekonomian. Semakin banyak belanja modal semakin tinggi pula
produktivitas perekonomian. Belanja modal berupa infrastruktur jelas berdampak
pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Sebaliknya, belanja barang tidak terlampau mampu menghela pertumbuhan
ekonomi. Belanja barang bahkan menjadi wilayah empuk bagi bersemainya praktik
korupsi melalui penggelembungan harga.
Jelas bahwa untuk mencapai angka pertumbuhan di atas 6%, belanja modal harus
lebih tinggi daripada belanja barang. Selisih di antara kedua belanja itu juga harus
tecermin pada komposisi anggaran.
Namun, justru di situlah letak persoalan. Meskipun belanja modal pada 2009 lebih
besar daripada belanja barang, selisih di antara keduanya tidak terlalu signifikan.
Belanja modal dianggarkan sebesar Rp90,7 triliun, sedangkan belanja barang
Rp76,4 triliun. Hanya berbeda Rp14,3 triliun. Bahkan, belanja modal kali ini lebih
kecil daripada belanja modal di APBN 2008 yang mencapai Rp101 triliun.
Selain itu, anggaran infrastruktur RAPBN 2009 hanya 3%. Terlampau minim
untuk menggerakkan ekonomi dan memacu pertumbuhan. Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Indonesia menyebutkan mestinya anggaran infrastruktur mencapai
6% atau dua kali lipat dari yang dianggarkan.
Permintaan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar belanja modal dalam RAPBN digenjot
untuk menunjang pertumbuhan ekonomi merupakan langkah yang tepat. Akan
tetapi, semua itu belum cukup. Mengapa? Karena belanja modal besar-besaran
tidak akan menolong jika tingkat penyerapan anggaran tidak maksimal.
Itulah yang terjadi ketika sebagian besar pemerintah daerah tidak optimal
membelanjakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) mereka. Itu
terlihat dari tingginya dana APBD 2007 yang tidak terserap, yakni mencapai Rp45
triliun.
Besarnya dana yang tidak terserap itu mencapai 15% dari total APBD 2007 yang
nilainya berkisar Rp300 triliun. Nilai Rp45 triliun ini hampir setara dengan
besarnya pendapatan asli daerah (PAD) dari total seluruh APBD 2007. Ironisnya,
dana itu dibiarkan menganggur dan disimpan di Sertifikat Bank Indonesia, hanya
untuk dinikmati bunganya. Oleh karena itu, adalah bijaksana untuk
mempertimbangkan ulang apakah pemerintah pusat masih perlu memberi kucuran
dana alokasi buat pemerintah daerah yang malas berpikir dan enggan bekerja.
Upaya menggenjot belanja modal jelas harus disertai dengan meningkatnya
kemampuan pemerintah pusat dan daerah menyerap anggaran. Salah satu caranya
adalah dengan mempercepat proses tender untuk proyek-proyek yang dibiayai dari
anggaran belanja modal. Dengan begitu, proyek-proyek itu pun cepat bergulir dan
roda ekonomi bergerak.
Tentu, harus tetap diingatkan bahwa proses tender yang terburu-buru menyimpan
potensi korupsi. Bisakah pemerintah mempercepat proses tender dengan tetap
bersih? Itulah tantangannya.

Belanja Modal Daerah


.
A) PENGERTIAN BELANJA DAERAH
Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan Keputusan
Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal (huruf q) menyebutkan
bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun
anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja
daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Menurut Halim (2003), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh
pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada
masyarakat dan pemerintah diatasnya.
Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua
pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban
daerah.
Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran daerah
adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran bersangkutan
yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah. Sedangkan menurut Abdul Halim
(2002) yang mengemukakan bahwa Belanja daerah merupakan penurunan dalam
manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau
deplesi asset, atau terjadinya utang yang mengakibatkan berkurangnya ekuitas
dana, selain yang berkaitan dengan distribusi kepada para peserta ekiutas dana.
Kemudian menurut Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto (2002) yang
mengemukakan bahwa Belanja daerah adalah penurunan manfaat ekonomis masa
depan atau jasa potensial selama periode pelaporan dalam bentuk arus kas keluar,
atau konsumsi aktiva/ ekuitas neto, selain dari yang berhubungan dengan distribusi
ke entitas ekonomi itu sendiri.
Dan menurut Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri
No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diungkapkan
pengertian belanja daerah yaitu belanja daerah daerah kewajiban pemerintah
daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah
semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode anggaran yang berupa
arus aktiva keluar guna melaksanakan kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab
kepada masyarakat dan pemerintah pusat.

B). Jenis Belanja Daerah


Secara umum Belanja dalam APBD dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu:
a. Belanja Administrasi Umum
Belanja Administrasi Umum adalah semua pengeluaran pemerintah daerah yang
tidak berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik. Belanja administrasi
umum terdiri atas empat jenis, yaitu:
Belanja Pegawai, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk orang/personel
yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau dengan kata lain
merupakan biaya tetap pegawai.
Belanja Barang, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk penyediaan
barang dan jasa yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik.
Belanja Perjalanan Dinas, merupakan pengeluaran pemerintah untuk biaya
perjalanan pegawai dan dewan yang tidak berhubungan secara langsung dengan
pelayanan publik.
Belanja Pemeliharaan, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk
pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan
pelayanan publik.

b. Belanja Operasi, Pemeliharaan sarana dan Prasarana Publik


Belanja ini merupakan semua pengeluaran pemerintah daerah yang berhubungan
dengan aktivitas atau pelayanan publik. Kelompok belanja ini meliputi
1.) Belanja Pegawai
Belanja Pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun
barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai yang
dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas
pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan
pembentukan modal. Contoh Belanja Pegawai adalah gaji dan tunjangan,
honorarium, lembur, kontribusi sosial dan lain-lain yang berhubungan dengan
pegawai.
2.) Belanja Barang
Belanja Barang adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa
yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun
tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau
dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja Barang dapat dibedakan
menjadi Belanja Barang dan Jasa, Belanja Pemeliharaan dan Belanja Perjalanan
Dinas ;
1. Belanja Barang dan Jasa merupakan pengeluaran yang antara lain
dilakukan untuk membiayai keperluan kantor sehari-hari, pengadaan barang yang
habis pakai seperti alat tulis kantor, pengadaan/penggantian inventaris kantor,
langganan daya dan jasa, lain-lain pengeluaran untuk membiayai pekerjaan yang
bersifat non-fisik dan secara langsung menunjang tugas pokok dan fungsi
kementerian/lembaga, pengadaan inventaris kantor yang nilainya tidak memenuhi
syarat nilai kapitalisasi minimum yang diatur oleh pemerintah pusat/daerah dan
pengeluaran jasa non-fisik seperti pengeluaran untuk biaya pelatihan dan
penelitian.
2. Belanja Pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan
untuk mempertahankan aset tetap atau aset lainnya yang sudah ada ke dalam
kondisi normal tanpa memperhatikan besar kecilnya jumlah belanja. Belanja
Pemeliharaan meliputi antara lain pemeliharaan tanah, pemeliharaan gedung dan
bangunan kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor dinas, perbaikan peralatan dan
sarana gedung, jalan, jaringan irigasi, peralatan mesin dan lain-lain sarana yang
berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
3. Belanja Perjalanan Dinas merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk
membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan jabatan.
3.) Belanja Bunga
Belanja Bunga adalah pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga (interest)
atas kewajiban penggunaan pokok utang (principal outstanding) yang dihitung
berdasarkan posisi pinjaman jangka pendek atau jangka panjang.
4.) Belanja Subsidi
Subsidi yaitu alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang
memproduksi, menjual, mengekspor atau mengimpor barang dan jasa untuk
memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat
dijangkau masyarakat. Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran subsidi
kepada masyarakat melalui BUMN/BUMD dan perusahaan swasta. Jadi, Belanja
Subsidi adalah pengeluaran pemerintah yang diberikan kepada
perusahaan/lembaga tertentu yang bertujuan untuk membantu biaya produksi agar
harga jual produk/jasa yang dihasilkan dapat dijangkau oleh masyarakat.
5.) Belanja Hibah
Hibah adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa kepada
pemerintah atau pemerintah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan
organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya,
bersifat tidak wajib dan tidak mengikat serta tidak secara terus menerus.
6.) Bantuan Sosial
Bantuan Sosial adalah transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat
guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat
langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan
termasuk di dalamnya bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan
dan keagamaan. Jadi Belanja Bantuan Sosial adalah pengeluaran pemerintah dalam
bentuk uang/barang atau jasa kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat, yang sifatnya tidak terus-menerus dan selektif.
c. Belanja Modal

Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang menfaatnya


melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan
selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan
pemeliharaan.
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Untuk
mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan sebagai Belanja Modal atau
tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset lainnya dan kriteria
kapitalisasi aset tetap. Aset tetap mempunyai ciri-ciri/karakteristik sebagai berikut :
berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1
tahun, nilainya relatif material. Sedangkan ciri-ciri/karakteristik Aset Lainnya
adalah : tidak berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun, nilainya relatif material. Dari ciri-ciri/karakterisitik
tersebut di atas, diharapkan entitas dapat menetapkan kebijakan akuntansi
mengenai batasan minimal nilai kapitalisasi suatu aset tetap atau aset lainnya
(treshold capitalization), sehingga pejabat/aparat penyusun anggaran dan/atau
penyusun laporan keuangan pemerintah mempunyai pedoman dalam penetapan
belanja modal baik waktu penganggaran maupun pelaporan keuangan pemerintah.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu belanja dapat
dikategorikan sebagai Belanja Modal jika:
(a) pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset
lainnya yang dengan demikian menambah aset pemerintah;
(b) pengeluaran tersebut melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau
aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah;
(c) perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.
2. Konsep Nilai Perolehan
Konsep nilai perolehan sebenarnya tidak hanya berlaku pada aset tetap saja,
melainkan berlaku juga untuk barang persediaan. Belanja Modal meliputi antara
lain: belanja modal untuk perolehan tanah; gedung dan bangunan; peralatan dan
mesin; jalan, irigasi dan jaringan, aset tetap lainnya dan aset lainnya.
Komponen Belanja Modal untuk perolehan aset tetap meliputi harga beli aset tetap
ditambah semua biaya lain yang dikeluarkan sampai aset tetap tersebut siap untuk
digunakan, misalnya biaya transportasi, biaya uji coba dan lain-lain. Demikian juga
pengeluaran untuk belanja perjalanan dan jasa yang terkait dengan perolehan aset
tetap atau aset lainnya, termasuk di dalamnya biaya konsultan perencana,
konsultan pengawas dan pengembangan perangkat lunak (software), harus
ditambahkan pada nilai perolehan.
Komponen-komponen tersebut harus dianggarkan dalam APBN/APBD sebagai
Belanja Modal dan bukan sebagai Belanja Operasional. Tentu harus diperhatikan
nilai kewajaran dan kepatutan dari biaya-biaya lain di luar harga beli aset tetap
tersebut.
Di samping belanja modal untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya, belanja
untuk pengeluaran-pengeluaran sesudah perolehan aset tetap atau aset lainnya
dapat juga dimasukkan sebagai Belanja Modal. Pengeluaran tersebut dapat
dikategorikan sebagai Belanja Modal jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(a) Pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat,
kapasitas, kualitas dan volume aset yang telah dimiliki.
(b) Pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimal nilai kapitalisasi
aset tetap/aset lainnya.
Terkait dengan kriteria pertama di atas, perlu diketahui tentang pengertian berikut
ini:
(a) Pertambahan masa manfaat adalah bertambahnya umur ekonomis yang
diharapkan dari aset tetap yang sudah ada. Misalnya sebuah gedung semula
diperkirakan mempunyai umur ekonomis 10 tahun. Pada tahun ke-7 pemerintah
melakukan renovasi dengan harapan gedung tersebut masih dapat digunakan 8
tahun lagi. Dengan adanya renovasi tersebut maka umur gedung berubah dari 10
tahun menjadi 15 tahun.
(b) Peningkatan kapasitas adalah bertambahnya kapasitas atau kemampuan aset
tetap yang sudah ada. Misalnya, sebuah generator listrik yang mempunyai output
200 KW dilakukan renovasi sehingga kapasitasnya meningkat menjadi 300 KW.
(c) Peningkatan kualitas aset adalah bertambahnya kualitas dari aset tetap yang
sudah ada. Misalnya, jalan yang masih berupa tanah ditingkatkan oleh pemerintah
menjadi jalan aspal.
(d) Pertambahan volume aset adalah bertambahnya jumlah atau satuan ukuran
aset yang sudah ada, misalnya penambahan luas bangunan suatu gedung dari 400
m2 menjadi 500 m2

3. Jaminan Pemeliharaan
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 (Perubahan Keempat), pembayaran
termin terakhir atas penyerahan pekerjaan yang sudah jadi dari Pihak Ketiga, dapat
dilakukan melalui dua (2) cara yaitu:
1.) Pembayaran dilakukan sebesar 95 % (sembilan puluh lima persen) dari nilai
kontrak, sedangkan yang 5 % (lima persen) merupakan retensi selama masa
pemeliharaan.
2.) Pembayaran dilakukan sebesar 100 % (seratus persen) dari nilai kontrak
dan penyedia barang/jasa harus menyerahkan jaminan bank sebesar 5 % (lima
persen) dari nilai kontrak yang diterbitkan oleh Bank Umum atau oleh perusahaan
asuransi yang mempunyai program asuransi kerugian (surety bond) dan
direasuransikan sesuai dengan ketentuan Menteri Keuangan. Penahanan
pembayaran senilai 5 (lima) persen dari nilai kontrak seperti dimaksud dalam
nomor 1 harus diakui sebagai utang retensi, sedangkan jaminan bank untuk
pemeliharaan harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.

Belanja modal dibagi menjadi:


Belanja Publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung
oleh masyarakat umum. Contoh belanja publik yaitu pembangunan jembatan dan
jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans.
Belanja aparatur yaitu belanja yang menfaatnya tidak secara langsung dinikmati
oleh masyarakat akan tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Contoh
belanja aparatur: pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan,
dan pembangunan rumah dinas.
d. Belanja Transfer
Belanja Transfer merupakan pengalihan uang dari pemerintah daerah kepada pihak
ketiga tanpa adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan meupun
keuntungan dari pengalihan uang tersebut. Kelompok belanja ini terdiri atas
pembayaran:
1. Angsuran Pinjaman
2. Dana Bantuan
3. Dana Cadangan
e. Belanja Tak Tersangka
Belanja tak tersangka adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah
untuk membiayai kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian luar biasa.

C). Klasifikasi Belanja Daerah


a.Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa rencana kerja
dan anggaran kementerian negara/lembaga (di tingkat pemerintah pusat) dan
rencana kerja dan anggaran SKPD (di tingkat pemerintah daerah) disusun
berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
Pendekatan prestasi kerja mensyaratkan bahwa kementerian negara/lembaga dan
SKPD harus diukur kinerjanya berdasarkan program/kegiatan yang telah
direncanakan. Oleh karena itu, agar dapat diukur kinerjanya, menurut Pasal 15 ayat
(5) dan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, ditetapkan
bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPR/DPRD) terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan
jenis belanja.
Ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dengan Pasal 14 dan 15 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa di
dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu diuraikan sasaran yang hendak
dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk
mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan
kerja,serta pendapatan yang diperkirakan.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja
Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga juga mengatur
tentang klasifikasi yang lebih detail yang pada prinsipnya merupakan penjabaran
lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003.
b. Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan
Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02, ditetapkan bahwa belanja diklasifikasikan
menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi dan fungsi. Rincian tersebut
merupakan persyaratan minimal yang harus disajikan oleh entitas pelaporan.
Selanjutnya dicontohkan pada Paragraf 39 PSAP 02 klasifikasi belanja menurut
ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi Belanja Operasi,
Belanja Modal dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga.
Belanja Operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum Negara/Daerah
dalam rangka menyelenggarakan operasional pemerintah, sedangkan Belanja
Modal adalah belanja yang dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau
mengadakan barang modal. Belanja Operasi selanjutnya diklasifikasikan lagi
menjadi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial
dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga.
Di samping itu, klasifikasi belanja menurut fungsi dibagi menjadi : pelayanan
umum, pertahanan, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, perlindungan,
lingkungan hidup, perumahan dan pemukiman, kesehatan, pariwisata dan budaya,
agama, pendidikan dan perlindungan sosial. Pengklasifikasian ini mengikuti pola
Government Financial Statistics (GFS) yang diterbitkan oleh International
Monetary Fund (IMF).

c.Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang


Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan klasifikasi
belanja sebagai berikut:
1. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan
kegiatan serta jenis belanja;
2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi
pemerintahan daerah
3. Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari :
(a) klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial
pemerintahan daerah;
(b) klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan
keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara.

d.Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun


2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :
1. Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari
belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.
2. Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan
dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas: pelayanan umum,
ketertiban dan ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas
umum kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial.
Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005,
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi “pertahanan” dan
“agama” karena kedua fungsi tersebut adalah urusan pemerintahan yang
dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan.
3. Klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan
belanja tak langsung. Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria apakah
suatu belanja mempunyai kaitan langsung dengan program/kegiatan atau
tidak. Belanja yang berkaitan langsung dengan program/kegiatan (misalnya
belanja honorarium, belanja barang, belanja modal) diklasifikasikan sebagai
belanja Buletin Teknis Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung,
sedangkan belanja yang tidak secara langsung dengan program/kegiatan (misalnya
gaji dan tunjangan pegawai bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan
keuangan, belanja hibah, dan sebagainya) diklasifikasikan sebagai belanja tidak
langsung.
1. BELANJA MODAL
A. Pengertian Belanja Modal
Belanja modal adalah komponen belanja langsung dalam anggaran pemerintah
yang menghasilkan output berupa aset tetap. Dalam pemanfaatan aset tetap yang
dihasilkan tersebut, ada yang bersinggungan langsung dengan pelayanan publik
atau dipakai oleh masyarakat (seperti jalan, jembatan, trotoar, gedung olah raga,
stadion,jogging track, halte, dan rambu lalu lintas) dan ada yang tidak langsung
dimanfaatkan oleh publik (seperti gedung kantor pemerintahan). Dalam perspektif
kebijakan publik, sebagian besar belanja modal berhubungan dengan pelayanan
publik, sehingga pada setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar.
Namun, tidak selalu belanja modal berhubungan langsung dengan pelayanan
publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang
sepenuhnya dinikmati oleh aparatur (birokrasi) atau satuan kerja yang tidak
berhubungan langsung dengan fungsi pelayanan publik. Sebagai contoh adalah
belanja modal untuk pembangunan kantor Bappeda (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah) atau inspektorat daerah. Oleh karena itu, tidak tepat jika
dikatakan bahwa belanja modal adalah belanja publik, atau sebaliknya, belanja
publik adalah belanja modal. Pengaktegorian ke dalam belanja publik dan belanja
aparatur mengandung bias dari aspek penggunaan makna fungsi (outcome) belanja.
B. Penganggaran Belanja Modal
Pada prinsipnya alokasi belanja modal dibuat untuk menghasilkan aset tetap milik
pemerintah daerah yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah dan atau
masyarakat di daerah bersangkutan. Dalam perspektif penganggaran partisipatif,
keterlibatan masyarakat diharapkan dapat memberikan masukan penting dalam
memilih aset tetap yang akan diperoleh dari pelaksanaan anggaran belanja modal.
Penyediaan fasilitas publik yang sesuai dengan kebutuhan publik merupakan
keniscayaan, bukan suatu pilihan.
Pada kenyataannya, praktik penganggaran belanja modal di pemerintah daerah
cenderung bersinggungan dengan korupsi atau pencarian rente (rent-seeking) oleh
para pembuat keputusan anggaran (budget actors). Setiap tahapan dalam
penganggaran memang memiliki ruang untuk korupsi (Isaksen, 2005), namun
korupsi dalam pengadaan aset tetap atau barang modal, terutama yang memiliki
spesifikasi khusus, termasuk yang paling sering terjadi (Tanzi, 2001).
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penganggaran belanja modal adalah belanja
ikutan setelah aset tetap diperoleh, yakni belanja operasional dan pemeliharaannya
aset tetap bersangkutan. Untuk itu, perlu dilakukan penghitungan yang cermat agar
nantinya tidak membebani anggaran berupa pengurangan atas alokasi anggaran
untuk bidang/sektor lain (trade-off). Dalam ilmu ekonomi, trade-offyang besar
akan menghasilkan kebijakan yang tidak optimal.
2. PERMASALAHAN DAN SOLUSI BIAYA MODAL
Seringkali dalam proses penyusunan anggaran ditemui beberapa permasalahan,
antara lain adanya perbedaan persepsi dalam penyusunan dan pengelompokan
belanja. Perbedaan yang biasa dijumpai adalah dalam menentukan elemen-elemen
biaya yang dimungkinkan dikelompokkan dalam belanja barang dan belanja
modal.
Menurut Permen 13/2006, belanja barang adalah belanja barang dan jasa
digunakan untuk pengeluaran pembelian/pendapatan barang yang nilai manfaatnya
kurang dari 12 bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan
kegiatan pemerintah daerah.
Pembelian/pengadaan barang dan/atau pemakaian jasa mencakup belanja barang
pakai habis, bahan/material , jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan
bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gedung parkir, sewa sarana
mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan
minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-
hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan
pegawai.
Sementara belanja modal, digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam
rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang
mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintah, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan
bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
Struktur belanja modal pun perlu mendapat perhatian khusus, karena tidak semua
belanja modal berefek pada pelayanan publik. Untuk itu, belanja modal perlu
dibedah lebih rinci untuk menemukan belanja modal yang berefek pada pelayanan
publik, misalnya belanja modal infrastruktur.
Struktur belanja pegawai pun perlu dibedah lebih rinci, karena dalam belanja
pegawai, tidak saja untuk pegawai administrasi tapi juga tenaga pendidik dan
tenaga kesehatan yang berefek pada pelayanan masyarakat.Melihat struktur belanja
modal dan belanja pegawai, maka perlu dilakukan redefinisi terhadap belanja
modal dan belanja pegawai, dalam rangka memperoleh analisis keuangan daerah
yang mendukung penyelenggara pemerintah daerah.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, pemerintah pusat terus
menghimbau pemerintah daerah (pemda) agar persentasi belanja modal terus
ditingkatkan sebesar 30 persen. Presentasi itu bahkan lebih tinggi dua persen
daripada target untuk 2013 yaitu 28 persen. Sayangnya, masih banyak pemda yang
merasa kesulitan untuk mencapai target tersebut.
Penambahan presentase belanja modal itu, tidak sulit karena dilaksanakan secara
bertahap. Yaitu mulai dari 24 persen, kemudian 26-27 persen, sehingga pada 2014
tinggal tambah tiga persen. Saat ini sudah ada beberapa daerah yang mencapai 30
persen.
Menurut Mendagri Gunawan Fauzi, kalau ada efisiensi, baik itu dari dana
perjalanan dinas maupun dalam belanja pegawai, maka dana ini bisa dialihkan
untuk belanja modal. Kalau belanja pegawai dapat diturunkan, maka APBD akan
semakin sehat.Memang, kecenderungan dari tahun ke tahun, belanja modal daerah
sudah memperlihatkan peningkatan. Namun, peningkatan tersebut harus
diekselerasi. Upaya ini dianggap lebih memberi dorongan pada sektor ekonomi,
selain lebih bermanfaat bagi daerah ketimbang APBD dihabiskan untuk
pembayaran gaji pegawai pemda.
Cara menambah alokasi belanja modal ialah berhemat pada belanja pegawai dan
belanja barang. Belanja pegawai ditekan dengan tidak merekrut pegawai baru
kecuali guru, dokter, dan perawat. Belanja barang dihemat dengan mengurangi
perjalanan dinas yang tidak perlu.
Mayoritas dana transfer daerah yang diberikan Pemerintah Pusat kepada pemda
digunakan untuk mensejahterakan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal itu terlihat dari
data yang diformulasi oleh Institute for Development of Economics and Finance
(Indef) bahwa pada 2013, rata-rata belanja pegawai untuk pemerintah
Kabupaten/Kota sebesar 49 persen. Padahal rata-rata belanja modalnya hanya 25,3
persen.
Kenyataan tersebut menguatirkan, karena mengindikasikan bahwa dana transfer
daerah yang jumlahnya terus meningkat tidak dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi secara signifikan karena habis untuk belanja pegawai. Sebuah studi
menekankan bahwa pengaruh belanja pemda tidak signifikan mempengaruhi
PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Dengan kata lain, peningkatan dana
transfer ternyata belum mampu mengurangi ketimpangan yang ada.
Sebetulnya pemasukan pemda tidaklah hanya dari dana transfer Pemerintah Pusat,
tetapi juga dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di antaranya adalah pajak yang
dipungut oleh pemda atau retribusi. Juga dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
dan Badan layanan Umum (BLU) seperti Rumah Sakit Umum Daerah. Tapi
masalahnya sangat klasik, yaitu BUMD banyak yang tidak efisien, malah sering
harus nombok. Sedangkan retribusi sudah mulai dipangkas karena menghambat
investasi. Sementara BLU urgensinya ke pelayanan, sehingga income-nya kecil.
Dengan PAD yang kecil itu, Pemda pada umumnya bergantung pada dana transfer
daerah. Namun disayangkan ketika dana tersebut sebagian besar habis untuk
belanja pegawai. Idealnya, proporsi belanja modal ditingkatkan menjadi 35 persen,
sehingga pembangunan di daerah bisa lebih terasa. Sayang, belum ada aturan yang
memberikan punishment bagi yang sedikit mengalokasikan dananya untuk belanja
modal, dan tidak ada bentuk penghargaan terhadap Pemda yang belanja modalnya
tinggi.
Ke depan, harus ada langkah untuk memperbaiki sistem desentralisasi fiskal. Di
antaranya adalah merubah perilaku dan struktur belanja pemda agar kualitas
belanjanya semakin membaik. Pertumbuhan belanja modal per tahun sebaiknya
harus lebih cepat ketimbang belanja pegawai, khususnya di tingkat pemerintah
kabupaten/kota.
Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah,
Jakarta, Salemba Empat.
Analisis investasi (belanja modal) sektor publik-pemerintah daerah
Beda Belanja Pegawai, Belanja Barang/Jasa, dan
Belanja Modal Dana BOS
Diterbitkan February 08, 2018
TAGS
LAPORAN BOS

Beda Belanja Pegawai, Belanja Barang/Jasa, dan Belanja Modal Dana BOS - Dana BOS
pada dasarnya digunakan sebagai pembiayaan operasional sekolah dalam rangka
mensukseskan progran sekolah gratis dan wajib belajar dari pemerintah.

Dalam pelaksanaannya, penggunaan dana BOS harus berpedoman pada petunjuk teknis
(juknis) BOS yang setiap tahun diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tujuannya tentu saja agar penggunaan bisa tepat sasaran sesuai aturan yang berlaku dan
efektif dalam menunjang operasional sekolah.

Secara umum, belanja dari penggunaan dana BOS dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu belanja
pegawai, belanja barang/jasa, dan belanja modal. Ketiganya memiliki perbedaan yang harus
diketahui oleh tim manajemen BOS sekolah, sehingga setiap pengeluaran yang terjadi bisa di
klasifikasikan sesuai jenisnya.

Lalu..

Apa saja perbedaan ketiganya? Simak penjelasannya di bawah ini.

Beda Belanja Pegawai, Belanja Barang/Jasa, dan


Belanja Modal

Belanja Pegawai

Kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai negeri,
pejabat negara, dan pensiunan serta pegawai honorer yang akan diangkat sebagai pegawai
lingkup pemerintahan baik yang bertugas di dalam maupun di luar negeri sebagai imbalan atas
pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam rangka mendukung tugas dan fungsi unit organisasi
pemerintah.

Pembiayaan jenis belanja ini biasanya seperti gaji guru honor, insentif tidak rutin seperti
insentif penerimaan siswa baru, pengelolaan dana BOS, dan sejenisnya seperti :

 Honorarium Panitia Pelaksana Kegiatan


 Honorarium Tim Pengadaan Barang dan Jasa
 Honorarium Operasional Kegiatan
 Honorarium Pegawai Honorer/ Tidak Tetap
 Honorarium Pelaksana Kegiatan
Belanja Barang/Jasa

Pengeluaran untuk pembelian barang dan/atau jasa yang habis pakai untuk memproduksi
barang dan/atau jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang
yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat di luar kriteria belanja
bantuan sosial serta belanja perjalanan.

Jenis pengeluaran terdiri antara lain :


 Belanja keperluan perkantoran;
 Belanja pengadaan bahan makanan;
 Belanja penambah daya tahan tubuh;
 Belanja bahan;
 Belanja pengiriman surat dinas;
 Honor yang terkait dengan operasional Satker;
 Belanja langganan daya dan jasa (ditafsirkan sebagai Listrik, Telepon, dan Air) termasuk
atas rumah dinas yang tidak berpenghuni;
 Belanja biaya pemeliharaan gedung dan bangunan (ditafsirkan sebagai gedung operasional
sehari-hari berikut halaman gedung operasional);
 Belanja biaya pemeliharaan peralatan dan mesin (ditafsirkan sebagai pemeliharaan aset
yang terkait dengan pelaksanaan operasional Satker sehari-hari) tidak termasuk biaya
pemeliharaan yang dikapitalisasi;
 Belanja sewa gedung operasional sehari-hari satuan kerja; dan
 Belanja barang operasional lainnya yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
dasar lainnya.
Belanja Modal

Pengeluaran untuk pembayaran perolehan asset dan/atau menambah nilai asset tetap/asset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan melebihi batas minimal
kapitalisasi asset tetap/asset lainnya yang ditetapkan pemerintah.

Dalam pembukuan nilai perolehan aset dihitung semua pendanaan yang dibutuhkan hingga
asset tersebut tersedia dan siap untuk digunakan. Termasuk biaya operasional panitia
pengadaan barang/jasa yang terkait dengan pengadaan asset berkenaan.

Belanja modal dipergunakan untuk antara lain:

Belanja modal tanah


Seluruh pengeluaran untuk pengadaan/pembelian/pembebasan/ penyelesaian, balik nama,
pengosongan, penimbunan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah serta
pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administratif sehubungan dengan perolehan hak
dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi sampai tanah
tersebut siap digunakan/dipakai.

Belanja modal peralatan dan mesin


Pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan mesin yang digunakan dalam pelaksanaan
kegiatan antara lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya instalasi, serta biaya langsung
lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan sampai peralatan dan mesin tersebut siap
digunakan.

Belanja modal gedung dan bangunan


Pengeluaran untuk memperoleh gedung dan bangunan secara kontraktual sampai dengan
gedung dan bangunan siap digunakan meliputi biaya pembelian atau biaya konstruksi,
termasuk biaya pengurusan IMB, notaris, dan pajak (kontraktual). Dalam belanja ini termasuk
biaya untuk perencanaan dan pengawasan yang terkait dengan perolehan gedung dan
bangunan.
Belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan
Pengeluaran untuk memperoleh jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan sampai siap pakai
meliputi biaya perolehan atau biaya kontruksi dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan sampai
jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan tersebut siap pakai. Dalam belanja ini termasuk biaya
untuk penambahan dan penggantian yang meningkatkan masa manfaat, menambah nilai aset,
dan di atas batas minimal nilai kapitalisasi jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan.

Belanja modal lainnya


Pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk
pengadaan/pembangunan belanja modal lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam
perkiraan kriteria belanja modal Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jaringan
(Jalan, Irigasi dan lain-lain). Termasuk dalam belanja modal ini: kontrak sewa beli (leasehold),
pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan
barang-barang untuk museum, serta hewan ternak, buku-buku dan jurnal ilmiah sepanjang
tidak dimaksudkan untuk dijual dan diserahkan kepada masyarakat. Termasuk dalam belanja
modal ini adalah belanja modal non fisik yang besaran jumlah kuantitasnya dapat
teridentifikasi dan terukur

Demikian artikel mengenai Beda Belanja Pegawai, Belanja Barang/Jasa, dan Belanja Modal
Dana BOS. Semoga bermanfaat.

You might also like