Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
The global initiative for asthma (GINA) menyatakan bahwa penyakit
asma merupakan masalah yang cukup dekat dengan masyarakat karena jumlah
populasi asma meningkat, ditemukan sebanyak 300 juta jiwa menderita asma
dan di prediksi akan meningkat menjadi 400 juta jiwa pada tahun 2025 di
seluruh dunia jumlah ini bisa saja bertambah karena penyakit asma bersifat
underdiagnosed buruknya kualitas udara dan adanya perubahan pola hidup
masyarakat menjadi penyebab meningkatnya penyakit asma (Kemenkes,
2015). Pernyataan ini didukung oleh WHO dalam penelitiannya
memperkirakan 235 juta orang menderita asma. WHO juga menyebutkan lima
penyakit paru utama sebesar 17,4% dari seluruh kematian di dunia masing-
masing penyakit infeksi paru 7,2%, PPOK (penyakit paru obstruktif kronik)
4,8%, tuberculosis paru 3,0%, kanker paru/trakea/bronkus 2,1%, dan asma
0,3%. Asma bukan hanya masalah kesehatan masyarakat untuk negara yang
berpenghasilan tinggi, asma terjadi di semua negara terlepas dari tingkat
perkembangan. Kematian asma terjadi lebih dari 80 % di negara–negara
berkembang atau berpenghasilan rendah dan menengah kebawah. Asma
kurang terdiagnosis menciptakan beban besar bagi individu dan keluarga dan
dapat membatasi aktivitas untuk seumur hidup penderita. 1 dari 4 orang
penderita asma dewasa tidak bekerja dan kehilangan hari kerja selama lebih
dari 6 hari karena asma mencapai 19,2%, sementara 1 dari 3 anak yang
menderita asma absen sekolah karena kekambuhan asma (WHO, 2011).
Data terbaru dari Pusat AS dari Center for disease control and
prevention (CDC) menunjukkan bahwa jumlah orang yang terdiagnosis
dengan asma meningkat 4,3 juta pada tahun 2001-2009. Pada tahun 2009,
terdapat 479.300 kasus rawat inap, 1,2 juta kasus rawat jalan, 1,9 juta kasus
gawat darurat, dan 3.388 kematian yang berhubungan dengan asma (CDC,
2013). Prevalensi penduduk di indonesia yang terdiagnosa penyakit asma
2
mengalami kenaikan sebesar 1%. Berdasarkan data dari Riskesdas pada tahun
2007 didapatkan hasil 3,5% dengan menggunakan teknik wawancara diagnosa
oleh tenaga kesehatan. Sedangkan pada tahun 2013 didapatkan hasil menjadi
4,5% dengan melalui wawancara semua umur berdasarkan gejala yang timbul
dari semua jumlah penduduk (Riskesdas, 2013).
Oksigen merupakan kebutuhan dasar paling vital dalam kebutuhan
manusia. Pemenuhan kebutuhan oksigen adalah bagian pertama dari
kebutuhan fisiologis menurut Hirarki Maslow, karena Oksigen salah satu
kebutuhan vital untuk kehidupan kita.
Konsumsi oksigen yang cukup akan membuat organ tubuh berfungsi
dengan optimal, jika tubuh menyerap oksigen dengan kandungan yang rendah
dapat menyebabkan kemungkinan tubuh mengidap penyakit kronis. Sel-sel
tubuh yang kekurangan oksigen juga dapat menyebabkan perasaan kurang
nyaman, takut atau sakit. Oksigen sangat berperan dalam proses metabolisme
tubuh. Kebutuhan oksigen dalam tubuh harus terpenuhi karena apabila
kekurangan oksigen dalam waktu yang lama, akan terjadi kematian. Pada
orang yang sehat sistem pernafasan dapat menyediakan kadar oksigen yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, akan tetapi pada kondisi sakit
tertentu, proses oksigenasi tersebut dapat terhambat sehingga mengganggu
pemenuhan kebutuhan oksigen tubuh (Tarwoto & Wartonah, 2006). Oksigen
sangat dibutuhkan oleh manusia, karena sepanjang hidupnya semua manusia
harus memasukkan oksigen ke dalam tubuhnya secara terus-menerus dan tidak
boleh berhenti. Sel-sel tubuh akan rusak atau mati bila tidak mendapatkan
oksigen dalam jangka waktu tertentu. Sel otak akan mati atau rusak bila tidak
mendapatkan oksigen selama 3-4 menit (Slamet & Sri, 2007).
Salah satu gangguan oksigenasi adalah asma. Asma merupakan
inflamasi kronis pada jalan nafas yang di tandai hiperresponsivitas jalan nafas
terhadap berbagai rangsangan. Asma ditandai gejala obstruksi jalan nafas yang
bervariasi, dapat sembuh secara spontan atau setelah pemberian obat
bronkodilator (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2013). Di dukung dengan
Digiulio, jackson & Keogh (2014) mengatakan Asma merupakan penyakit
3
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini agar penulis dapat memahami
dan mengaplikasikan Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi pada pasien dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang
utuh dan komprehensif.
2. Tujuan Khusus
5
C. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Keilmuan
Hasil penulisan ini dapat sebagai bahan kajian dalam pengembangan
ilmu yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pada pasien dengan
masalah kebutuhan dasar oksigenasi.
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi Mahasiswa
Karya tulis ilmiah ini memberikan manfaat bagi mahasiswa untuk
memberikan informasi mengenai asuhan keperawatan dengan
masalah kebutuhan oksigenasi.
b. Bagi Rumah Sakit
Sebagai dasar untuk memberikan dan meningkatkan mutu
pemberian asuhan keperawatan dengan kebutuhan oksigenasi.
c. Bagi Institusi
Sebagai bahan referensi dan bahan bacaan dan pembelajaran untuk
memenuhi kebutuhan pembelajaran dan pengetahuan bagi
mahasiswa keperawatan.
6
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Medis
1. Pengertian
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten,
reversibel dimana trakea dan brokhi berespon dalam secara hiperaktif
terhadap stimuli tertentu (Smeltzer & Bare, 2002). Asma adalah suatu
penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan
napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan
maupun sebagai hasil pengobatan (Muttaqin, 2008).
Asma adalah wheezing berulang dan atau batuk persisten dalam
keadaan dimana asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab
lain yang lebih jarang telah disingkirkan (Mansjoer, 2008). Asma adalah
suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang
trakeobronkhial terhadap berbagai jenis rangsangan (Pierce, 2007).
Asma Bronkhial adalah penyakit pernafasan objektif yang ditandai oleh
7
spasme akut otot polos bronkus. Hal ini menyebabkan obstruksi aliran
udara dan penurunan ventilasi alveolus (Elizabeth, 2000).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
Asma merupakan penyempitan jalan napas yang disebabkan karena
hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkhial terhadap stimuli
tertentu.
2. Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu
hal yang yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena
hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap
rangsangan imunologi maupun non imunologi. Adapun rangsangan atau
faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma adalah:
a. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen
atau alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu
binatang.
b. Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen,
seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan
polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan.
c. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002).
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan Asma Bronkhial yaitu :
1) Faktor predisposisi Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jika
8
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada
waktu libur atau cuti.
5. Olah raga atau aktifitas jasmani
Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan Asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas
tersebut.
3. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk,
dispnea, dan wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Asma
biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai
dengan pernapasan lambat,wheezing. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang
dibanding inspirasi, yang mendorong pasien unutk duduk tegak dan
menggunakan setiap otot-otot aksesori pernapasan. Jalan napas yang
tersumbat menyebabkan dispnea. Serangan Asma dapat berlangsung dari 30
menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan. Meskipun
serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih
berat, yang disebut “status asmatikus”, kondisi ini mengancam hidup
(Smeltzer & Bare, 2002).
4. Patofisiologi
Suatu serangan Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus
reversible. Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu
kontraksi otot-otot polos baik saluran napas, pembengkakan membran yang
melapisi bronki, pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-
10
otot bronki dan kelenjar mukusa membesar, sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap
didalam jaringan paru.Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang
sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan
ikatan antigen dengan antibody, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast
(disebut mediator) seperti histamine, bradikinin, dan prostaglandin serta
anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator
ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan
pembentukan mucus yang sangat banyak. Selain itu, reseptor α- dan β-
adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α-
adrenergik dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika
reseptor β- adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan
β-adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat (cAMP).
Stimulasi reseptor α- mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada
peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast
bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β- mengakibatkan peningkatan tingkat
cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabakan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β- adrenergik
terjadi pada individu dengan Asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap
peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos (Smeltzer
& Bare, 2002).
5. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Menurut Long(1996) pengobatan Asma diarahkan terhadap gejala-
gejala yang timbul saat serangan, mengendalikan penyebab spesifik dan
perawatan pemeliharaan keehatan optimal yang umum. Tujuan utama dari
berbagai macam pengobatan adalah pasien segera mengalami relaksasi
bronkus. Terapi awal, yaitu:
1) Memberikan oksigen pernasal
11
d) Kontrol gejala
Hasil Nursing Intervention Classification
a) Manajemen asma : Tentukan status pernafasan, monitoring reaksi
asma, tentukan pemahaman klien/keluarga mengenai penyakit dan
manajemen penanganan asma, ajarkan tehnik yang tepat untuk
menggunakan pengobatan, identifikasi pemicu atau reaksi yang biasa
terjadi, amati pergerakan dada, dan auskultasi suara paru untuk
mengidentidasi adanya gangguan pada pernafasan.
b) Manajemen jalan napas : Posisikan klien memaksimalkan ventilasi,
instruksikan agar dapat melakukan batuk efektif, posisikan untuk
meringankan sesak napas, dan monitor status pernapasan dan
oksigenasi.
c) Monitor pernapasan : Monitor kecepatan irama, kedalaman, dan
kesulitan bernapas, catat pergerakan dada, monitor suara napas
tambahan, monitor saturasi oksigen, monitor kelelahan otot-otot
diafragma, auskultasi suara napas, monitor keluhan sesak napas,
termasuk kegiatan pasien yang meningkatkan atau memperburuk
sesak napas tersebut, dan berikan bantuan terapi napas jika
diperlukan
d) Monitor tanda-tanda vital : monitor tekanan darah, nadi suhu dan
status pernapasan, monitor warna kulit suhu dan kelembapan,
monitor sianosis sentral, monitor clubbing finger, dan dentifiksi
kemungkinan penyebab perubahan tanda-tanda vital
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan yaitu menentukan status
pernapasan, memonitor reaksi asma, menentukan pemahaman
klien/keluarga mengenai penyakit dan manajemen penanganan asma,
mengidentifikasi pemicu atau reaksi yang biasanya terjadi, mengamati
pergerakan dada, mengauskultasi suara paru, memonitor status pernapasan
dan oksigenasi, memonitor kecepatan irama, kedalaman, dan kesulitan
bernapas, memonitor kelelahan otot-otot diafragma, dan memonitor tanda-
tanda vital.
Posisi high fowler merupakan suatu posisi pasien dimana kepala dan
pinggul sudut 90 °, tanpa disertai fleksi dari lutut. (Kozier, 2000). Posisi high
fowler dapat membantu bagi pasien dengan dispnea. Pada posisi ini gravitasi
akan menarik diapragma ke bawah, sehingga membantu pengembangan paru
lebih besar dan juga ventilasi paru. Adapun posisi high fowler menurut Kozier
(2000) yaitu posisi tempat tidur tegak 90°, kepala tersandar pada permukaan
tempat tidur, tangan pasien diletakkan di masing-masing sisi tubuh, kaki lurus
dan berada pada posisi plantar fleksi. Posisi high fowler sangat membantu bagi
klien yang mengalami dyspneu karena menghilangkan tekanan pada
diagfragma yang memungkinkan pertukaran volume lebih besar dari udara
(Barbara, 2009).
E. Kerangka Konsep
Asma Bronkial
Ketidakefektifan Pola
Nafas
Saturasi Oksigen
Meningkat
17
BAB III
METODE STUDI KASUS
Bronkial. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2014). Sampel yang diambil dalam karya
tulis ini yaitu 3 pasien penderita asma.
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh
setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmojo,
2012). Kriteria inklusi dalam penelitian ini, yaitu:
1. Pasien asma bronkial dengan penurunan saturasi oksigen
2. Pasien kooperatif
Kriteria eksklusi adalah kriteria atau ciri-ciri anggota populasi yang
tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmojo, 2012). Kriteria eksklusi
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Penderita asma yang tidak bersedia menjadi responden
2. Penderita asma menderita penurunan kesadaran
D. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti
untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu
objek atau fenomena (Hidayat, 2008). Batasan istilah atau definisi operasional
padakarya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Tabel Definisi Operasional Karya Tulis Ilmiah
Definisi
Variabel Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional
Posisi High Posisi high fowler Standar Dilaksanakan atau
Fowler merupakan suatu Operasional tidak dilaksanakan
posisi pasien dimana Prosedur
kepala dan pinggul
sudut 90 °, tanpa
disertai fleksi dari
lutut. (Kozier,
2000).
19