Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengeringan pinang kering merupakan proses pengurangan air yang terkandung dalamsuatu
bahan. Pada proses pengeringan pinang, air menguap karena terjadinya perbedaan tekanan uap
pada udara pengering dengan bahan yang dikeringkan, sehingga terjadinya penguapan air pada
bahan yang dikeringkan. Pengeringan bijian piang berguna untuk memperlama umur simpan,
mempermudah pengemasan dan untuk mempermudah proses pengolahan selanjutnya.
Penanganan pascapanen yang dilakukan para petani khususnya padaproses pengeringan biji-
bijian pinang masih dilakukan dengan menggunakan lantai jemur dengan sumber energi dari
sinar matahari. Secara ekonomis, cara pengeringan dengan penjemuran ini memang murah.
Namun demikian, banyak keterbatasan yang menyertainya seperti membutuhkan lahan
luas, memerlukan banyak tenaga kerja, sangat tergantung pada cuaca, banyak terjadi kehilangan,
mudah terkontaminasi kotoran, temperatur dan kelembaban tidak bisa dikendalikan, dan lain-
lain. Keterbatasan-keterbatasan tersebut telah mengakibatkan biji-bijian yang dikeringkan
menjadi menurun baik kualitas maupun kuantitasnya. Kondisi iklim di daerah tropis yang
memiliki kelembaban cukup tinggi, memberikan permasalahan tersendiri dalam proses
penanganan hasil pertanian. Penanganan bahan hasil pertanian dalam hal ini komoditas bijian
yang memiliki kadar air tinggi setelah proses pemanenan merupakan persoalan yang serius untuk
negara-negara didaerah tropis. Kadar air yang tinggi akan memacu respirasi bijian yang tinggi,
sebagai akibatnya kualitas dan kuantitas bijian pinang akan menurun. Kadar air dalam bahan
pinang ikut menentukan kesegaran daya awet bahan tersebut, kadar air yang tinggi
menyebabkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan
terjadi perubahan pada bahan pinang (Winarto,1997).
Kondisi tersebut masih diperparah dengan tidak menentunya waktu pengeringan pinang
atau penjemuran. Kondisi dimana cuaca tidak menentu dan waktu pemanenan yang pada
umumnya jatuh pada saat musim hujan memberikan masalah tersendiri. Lahan penjemuran yang
terbatas tidak sebanding dengan hasil panen yang didapat ketika musim panen, sehingga proses
penjemuran tidak bisa dilakukan sekaligus. Sebagai akibatnya maka bahan tersebut akan mudah
terserang jamur, serangga busuk dan rusak akibat dari keterlambatan dalam pengeringan.
Kondisi semacam ini telah menuntut untuk dapat dilakukannya proses pengeringan secara cepat,
dan hal ini hanya dapat dipenuhi dengan penerapan proses pengeringan secara mekanis
menggunakan peralatan atau mesin pengering (mechanical dryer) dengan metode operasional
yang murah dan efisien. Penelitian atau rancangan pengeringan mekanis untuk komoditas bijian
sudah banyak diteliti dan dikembangkan. Akan tetapi, konstruksi yang rumit, biaya konstruksi
dan operasional yang tinggi menjadikan para petani kecil dan menengah masih enggan untuk
menggunakan alat pengeringan mekanis. Kondisi dari permaslahan tersebut memunculkan
gagasan untuk medesain silo gedhek (anyaman bambu) sebagai penerapan teknologi tepat guna
untuk pengeringan secara mekanis biji – bijian hasil pertanian dengan biaya operasional yang
lebihekonomis dan memberikan hasil pengeringan yang baik. Bahan pembuatannya merupakan
bahan lokal sehingga mudah didapat, harganya terjangkau, operasionalnya mudah, tetap dapat
dijalankan saat hujan (tidak tergantung cuaca), bisa digunakan untuk berbagai macam biji-bijian,
mudah dikembangkan dan dimodifikasi. Perancangan dan uji coba silo anyaman bambu pernah
diteliti dan dikaji oleh Rohman (2015), akan tetapi kinerja dari alat yang belum maksimal maka
perlu dilakukannya perbaikan. Pada penelitian ini dilakukan inovasi guna memperbaiki
perancangan alat pengering sebelumnya. Sehingga diharapkan alat pengering silo anyaman
bambu dapat memberikan solusi terhadap masalah pengeringan terutama komoditas bijian
pinang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengeringan
Pengeringan mempunyai pengertian yaitu aplikasi pemanasan melalui kondisi yang teratur,
sehingga dapat menghilangkan sebagian besar air dalam suatu bahan dengan cara diuapkan.
Penghilangan air dalam suatu bahan dengan cara pengeringan mempunyai satuan operasi yang
berbeda dengan dehidrasi. Dehidrasi akan menurunkan aktivitas air yang terkandung dalam
bahan dengan cara mengeluarkan atau menghilangkan air dalam jumlah lebih banyak, sehingga
umur simpan bahan pangan menjadi lebih panjang atau lebih lama (Muarif, 2013).
3. Kelembaban Udara
Kelembaban udara menentukan kadar air akhir bahan pangan setelah dikeringkan. Bahan
pangan yang telah dikeringkan dapat menyerap air dari udara di sekitarnya. Jika udara
disekitar bahan pengering tersebut mengandung uap air tinggi atau lembab, maka kecepatan
penyerapan uap air oleh bahan pangan tersebut akan semakin cepat. Proses penyerapan akan
terhenti sampai kesetimbangan kelembaban nisbi bahan pangan tersebut tercapai.
Kesetimbangan kelembaban nisbi bahan pangan adalah kelembaban pada suhu tertentu
dimana tidak terjadi penguapan air dari bahan pangan ke udara dan tidak terjadi penguapan
air dari bahan pangan ke udara dan tidak terjadi penyerapan uap air dari udara oleh bahan
pangan.
4. Lama Pengeringan
Lama pengeringan menentukan lama kontak bahan dengan panas. Karena sebagian besar
bahan pangan sensitif terhadap panas maka waktu pengeringan yang digunakan harus
maksimum, yaitu kadar air bahan akhir yang diinginkan telah tercapai dengan lama
pengeringan yang pendek. Pengeringan dengan suhu yang tinggi dan waktu yang pendek
dapat lebih menekan kerusakan bahan pangan dibandingkan dengan waktu pengeringan
yang lebih lama dan suhu lebih rendah. Misalnya, jika kita akan mengeringkan kacang-
kacangan, pengeringan dengan pengering rak pada suhu 800C selama 4 jam akan
menghasilkan kacang kering yang mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan
penjemuran selama 2 hari.
c. Gas dialirkan melalui zat padat dengan kecepatan yang cukup untuk memfluidisasikan
hamparan. d. Zat padat seluruhnya dibawah ikut dengan arus gas kecepatan tinggi dan
diangkut secara pneumatic dari piranti pencampuran kepemisah mekanik
2. Pengering Non Adiabatik Dalam pengering non adiabatik, satu-satunya gas yang harus
dikeluarkan ialah uap air atau uap zat pelarut, walaupun kadang-kadang sejumlah kecil “gas
penyapu” (biasanya udara atau nitrogen) dilewatkan juga melalui unit itu. (McCabe,1985).
Pengering-pengering adiabatik dibedakan terutama menurut zat padat yang kontak dengan
permukaan panas atau sumber panas kalor lainnya yang terbagi atas :
a. zat padat dihamparkan diatas suatu permukaan horizontal yang stasioner atau bergerak
lambat. Pemanasan permukaan itu dapat dilakukan dengan listrik atau dengan fluida
perpindahan kalor seperti uap air panas. Pemberian kalor itu dapat pula dilakukan dengan
pemanas radiasi yang ditempatkan diatas zat padat itu.
b. Zat padat itu bergerak diatas permukaan panas, yang biasanya berbentuk silinder, dengan
bantuan pengaduk atau konveyor sekrup (screw konveyor).
c. Zat padat menggelincir dengan gaya gravitasi diatas permukaan panas yang miring atau
dibawa naik bersama permukaan itu selama selang waktu tertentu dan kemudian diluncurkan
lagi ke suatu lokasi yang baru