Professional Documents
Culture Documents
LANDASAN TEORI
2) Jalan Kolektor
Jalan Kolektor merupakan jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi.
3) Jalan Lokal
Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.
b. Klasifikasi menurut kelas jalan
Pada SNI tentang Teknik Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997,
kelas jalan dijelaskan sebagai berikut :
1) Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalulintas, dinyataan dalam muatan sumbu terberat (MST)
dalam satuan ton.
2) Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan
klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel 2.1
Gambar 2.1 Damaja, Damija dan Dawasja dilingkungan jalan antar kota
2.2.1 Pengertian
dengan kelengkapan dan data dasar yang ada atau tersedia dari hasil survey lapangan
dan telah dianalisis, serta mengacu kepad ketentuan yang berlaku.
Yang menjadi dasar perencanaan geometrik adalah gerakan dan ukuran
kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan gerak kendaraannya, dan
karakteristik lalulintas. Hal-hal tersebut haruslah menjadi bahan dalam pertimbangan
perencanaan agar perencanaan yang bertujuan untuk mendapatkan keamanan,
kenyamanan serta efisiensi waktu dan biaya dalam berlalulintas dapat tercapai.
Untuk kondisi medan medan yang sulit, kecepatan rencana (Vr) suatu segmen
jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari
20km/jam.
Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi
pada saat pengemudi pada saat mengemudi sedemikian rupa, sehingga jika
pengemudi melihat suatu halangan yang membahayakan, pengemudi dapat
melakukan sesuatu (antisipasi) untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman.
(Shirley L.Hendarsin, 2000). Jarak pandangan terdiri dari :
a. Jarak pandang henti (Jh)
Jarak pandang henti adalah jarak yang diperlukan oleh pengemudi kendaran
untuk menghentikan kendarannya. Guna memberikan keamanan pada pengemudi
kendaraan, maka disetiap panjang jalan harus memiliki jarak pandang henti
minimum.
Jarak pandang henti minimum adalah jarak minimum yang diperlukan oleh
setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat
adanya halangan didepan. Setiap titik sepanjang jalan harus memenuhi ketentuan
Jh.
Jh diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm
dan tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan jala. Jh terdiri atas dua elemen
jarak, yaitu :
1) Jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang di tempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai
saat pengemudi menginjak rem.
2) Jarak pengereman (Jhm) adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan sejak pegemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.
14
Keterangan :
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kendaraan yang
hendakmendahului dan membawa kendaraannya yang hendak
membelok ke lajur kanan.
15
a. Jalur lalu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas
kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan.
Batas jalur lalu lintas dapat berupa:
1) Median
2) Bahu
3) Trotoar
4) Pulau jalan
5) Separator.
b. Jalur lalu lintas dapat terdiri dari berbagai berbagai lajur
c. Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa tipe (1) 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 TB)
1) 1 jalur-2 lajur-l arah (2/1 TB)
2) 2 jalur-4 1ajur-2 arah (4/2 B)
3) 2 jalur-n lajur-2 arah (n12 B), di mana n = jumlah lajur.
Keterangan: TB = tidak terbagi.
B = terbagi
d. Lebar Jalur
1) Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur peruntukannya.
Tabel 2.7 menunjukkan lebar jalur dan bahu jalan sesuai VLHR-nya.
16
2.3.2 Lajur
a. Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur
jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai
kendaraan rencana.
b. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang dalam hal ini
dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan seperti ditetapkan dalam Tabel 2.7
c. Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan tingkat
kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh nilai
rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0.80.
d. Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pads alinemen lurus
memerlukan, kemiringan melintang normal sebagai berikut :
- 2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton
- 4-5% untuk perkerasan kerikil.
VLHR Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar
(smp/hr) Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu
(m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m)
< 3.000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0
3.000-
7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,5 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0
10.000
10.001-
7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - -
25.000
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997; 16)
a. Bahu jalan adalah bagian jalan yang terletak di tepi jalur lalu lintas dan harus
diperkeras (lihat gambar 2.7).
Fungsi bahu jalan adalah sebagai berikut:
1) Lajur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, dan atau tempat parker
darurat;
2) Ruang bebas samping bagi lalu lintas; dan
3) Penyangga sampai untuk kestabilan perkerasan jalur lalu lintas.
b. Kemiringan bahu jalan normal antara 3 - 5%
c. Lebar bahu jalan dapat dilihat dalam tabel 2.7
2.3.4 Median
a. Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur
lalu lintas yang berlawanan arah.
b. Fungsi median adalah untuk:
1) Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah
2) Tempat tunggu penyeberang jalan
3) Penempatan fasilitas jalan
4) Tempat prasarana kerja sementara
5) Penghijauan
6) Tempat berhenti darurat (jika cukup luas)
7) Cadangan lajur (jika cukup luas)
8) Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah yang berlawanan.
c. Jalan 2 arah dengan 4 lajur atau lebih perlu dilengkapi median.
2.4.2 Tikungan
Dimana :
Rmin = Jari-jari minimum
Vr = Kecepatan rencana
emax = elevasi maksimum (ditetapkan 10%)
f = Koofisien gesek (f=0,14 s/d 0,24 )
sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan pada
kecepatan rencana (Vr). Nilai superelevasi maksimum ditetapkan 10%.
Dimana :
∆ = sudut tikungan atau sudut tangent (derajat)
Tc = Jarak Tc ke PI (m)
R = Jari-jari (m)
Lc = Panjang tikungan (m)
Ec = Jarak P1 ke lengkung peralihan
b. Tikungan Spiral-Circle-Spiral
Bentuk tikungan ini digunakan pada daerah-daerah perbukitan atau
pegunungan, karena tikungan jenis ini memiliki lengkung peralihan yang
memungkinkan perubahan menikung tidak secara mendadak dan tikungan
tersebut menjadi aman.
23
𝐿 = 𝐿′ + 2. 𝐿𝑠 ............................................................................... (2.11)
∆
𝐿= . 2. 𝜋. 𝑅 ....................................................................(2.12)
360
Keterangan :
Xs = absis titik SC pada garis tangen, jarak titik TS ke SC.
Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus pada garis tangent
Ls = Panjang lengkung peralihan
Ts = Jarak titik TS ke P1
TS = Titik peralihan bagian lurus ke bagian berbentuk spiral.
SC = Titik peralihan bagian spiral ke bagian berbentuk lingkaran.
Es = Jarak dari PI ke lingkaran.
R = Jari-jari lingkaran.
p = Pergeseran tangen terhadap spiral.
k = Absis dari “p” pada garis tangen spiral.
∆ = Sudut tikungan atau sudut tangen.
θs = Sudut lengkung spiral.
c. Tikungan Spiral-Spiral
Lengkung horizontal berbentuk Spiral-Spiral adalah lengkung tanpa busur
lingkaran. Bentuk tikungan ini digunakan pada keadaan yang sangat tajam.
Rumus perhitungan tikungannya yaitu :
𝜃𝑠
𝐿𝑠 = ×𝑅 ....................................................................(2.14)
28,648
25
1
𝑇𝑠 = 𝑅 + 𝑃 . 𝑡𝑔 2∆ + 𝐾 ................................................................... (2.15)
(𝑅+𝑃)
𝐸𝑠 = 1 −𝑅 ....................................................................(2.16)
cos ∆
2
𝐿 = 2. 𝐿𝑠 ................................................................... (2.17)
.
.
Gambar 2.12 Diagram superelevasi Full circle
27
Besarnya pelebaran pada tikungan secara analitis dapat dihitung menggunakan rumus
berikut :
2
B= 𝑅𝑐 − 64 + 1,25 + 64 − 𝑅𝑐 − 64 + 1,25 − 1,25 …….…… (2.18)
0,105 𝑉
Z = …...……………………………………………………… (2.19)
𝑅
Bt = 𝑛 𝐵 + 𝐶 + 𝑍 ………………………………...……………………… (2.20)
∆b = 𝐵𝑡 − 𝐵𝑛 ……...……………………………………………………… (2.21)
29
Tabel 2.13 Pelebaran ditikungan untuk lebar jalur 20,50 m, 2 arah atau 1 arah
110 0,7
100 0,8
90 0,8
80 1,0
70 1,0
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997; 33)
30
Tabel 2.14 Pelebaran ditikungan untuk lebar jalur 2x3.00m, 2 arah atau 1 arah
110 1,3
100 1,4
90 1,4
80 1,6
70 1,7
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997; 34)
31
Keterangan :
B = Lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan ditikungan pada
lajur sebelah dalam
Rc = Radiuslajur sebelah dalam - ½ lebar perkerasan + ½ lebar
kendaraan.
Z = Kesukaran dalam mengemudi di tikungan
V = Kecepatan (km/jam)
R = Jari-jari tikungan (m)
Bn = Lebar lajur lalulintas
900 ×𝐽
E = 𝑅 1 − 𝑐𝑜𝑠 ………………………………………………….. (2.22)
𝜋𝑅
Keterangan :
Jh = Jarak pandang henti (Jh)
Lt = Panjang tikungan (m)
E = Daerah kebebasan samping (m)
R = Jari-jari tikungan
Keterangan :
E = Daerah kebebasan samping (m)
Jh = Jarak pandang henti (Jh)
Lt = Panjang tikungan (m)
E = Daerah kebebasan samping (m)
R = Jari-jari tikungan
R’ = Jari-jari sumbu lajur
Tabel 2.16 Nilai E (m) untuk Jh>L, Vr (km/jam) dan Jh (m), dimana Jh-Lt = 25m
Tabel 2.17 Nilai E (m) untuk Jh>Lt, VR (km/jam) dan Jh (m), di mana Jh-Lt =50 m.
Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung
vertikal. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa
landai positif (tanjakan), atau landai negative (turunan), atau landai nol (datar).
36
Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung cembung.
Perencanaan alinyemen vertikal yang mengikuti muka tanah asli akan mengurangi
pekerjaan tanah, tetapi mungkin saja akan mengakibatkan jalan itu terlalu banyak
memiliki tikungan. Dengan demikian penarikan alinyemen vertikal sangat
dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan yaitu kondisi tanah dasar, keadaan medan,
fungsi jalan, muka air banjir, muka air tanah, kelandaian yang masih memungkinkan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya :
a. Kelandaian Pada Alinyemen Vertikal
1) Landai Minimum
Berdasarkan kepentingan arus lalu lintas, landai ideal adalah landai datar (0%).
Sebaliknya jika ditinjau dari kepentingan drainase, jalan yang berlandai adalah
jalan yang ideal. Dalam suatu perencanaan disarankan menggunakan :
- Landai datar untuk jalan-jalan yang diatas tanah timbunan yang tidak
mempunyai kereb. Lereng melintang jalan dianggap cukup mengaliri air di
atas badan jalan dan kemudian ke lereng jalan.
- Landai 0,15 % dianjurkan untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan dengaan
medan datar dan mempergunakan kereb. Kelandaian ini cukup membantu
menglirkan air hujan ke saluran pembuangan.
- Landai datar untuk jalan-jalan yang diatas tanah timbunan yang tidak
mempunyai kereb. Lereng melintang jalan dianggap cukup mengaliri air di
atas badan jalan dan kemudian ke lereng jalan.
- Landai 0,15% dianjurkan untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan dengan
medan datar dan mempergunakan kereb. Kelandaian ini cukup membantu
mengalirkan air hujan ke saluran pembuangan.
- Landai minimum sebesar 0,3-0,5 % dianjurkan dipergunakan untuk jalan-jalan
di daerah galian atau jalan yang memakai kereb. Lereng melintang hanya
cukup untuk mengalirkan air hujan yang jatuh diatas badan jalan, sedangkan
landaai jalan dibutuhkan untuk membuat kemiringan dasar saluran samping.
37
2) Landai Maksimum
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum
didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak
dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa
harus menggunakan gigi rendah.
Kelandaian maksimum dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Kelandaian max 3 3 4 5 8 9 10 10
b. Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami
perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan
kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti.
38
Jenis lengkung vertikal dilihat dari segi letak titik perpotongan kedua bagian
lurus (tangen) ada dua yaitu lengkung vertikal cembung dan lengkung vertikal
cekung.
(𝑞2−𝑞𝑙)𝑥 2
Rumus umum : 𝑌 ′ = − ........................................................(2.23)
2.𝐿
𝐴 = 𝑞2 − ql ........................................................(2.25)
Dimana
EV = Penyimpangan kedua dari titik potong kedua tangen
kelengkungan vertikal (Y’ = EV untuk x = ½ L)
L = Panjang lengkung vertical cembung
Didalam perencanaan jalan raya diusahakan agar volume galian (cut) sama
dengan volume timbunan. Dengan mengkombinasikan alinyemen horizontal dan
alinyemen vertikal memungkinkan kita menghitung banyaknya volume galian dan
timbunan.
Untuk mendapatkan volume galian dan timbunan ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, diantaranya :
a. Penentuan stationing
Panjanag horizontal jalan dapat dilakukan dengan membuat titik-titik stationing
(patok-patok km) disepanjang ruas jalan.
Ketentuan umum untuk pemasangan patok-patok tersebut adalah sebagai berikut:
1) Untuk daerah datar dan lurus, jarak antara patok 100 m
2) Untuk daerah bukit, jarak antara patok 50 m
40
Perkerasan kaku merupakan salah satu jenis konstruksi perkerasan jalan yang
menggunakan bahan campuran aggregat dengan semen sebagai bahan pengikatnya.
Perkerasan jalan beton semen atau secara umum disebut perkerasan kaku,
terdiri atas lapisan permukaan (surface) berupa plat (slab) beton semen, lapisan
pondasi bawah (sub base course) berupa sirtu (batu pecah) atau semen tipis dan
lapisan tanah dasar (subgrade) yang sudah dipadatkan.
Dalam konstruksi perkerasan kaku, plat beton sering disebut sebagai lapis
pondasi karena dimungkinkan masih adanya lapisan aspal beton diatasnya yang
berfungsi sebagai lapis permukaan.
Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elastisitas yang tinggi,
akan mendistribusikan beban kebidang tanah dasar yang cukup luas sehingga bagian
terbesar dari kapasitas struktur perkerasan tersebut diperoleh dari plat beton sendiri.
Hal ini berbeda dengan perkerasan lentur dimana kekuatan perkerasan diperoleh dari
tebal lapis pondasi bawah, lapis pondasi dan lapis permukaan.
45
Bila nilai (k) lebih besar dari 140 kPa/mm (14kg/cm3), maka nilai (k)
dianggap sama dengan nilai CBR 50%.
Untuk menentukan modulus reaksi tanah dasar (k) secara yang mewakili suatu
seksi jalan, dipergunakan rumus sebagai berikut :
𝑘 ° = k – 2.S (untuk jalan tol) ……………...................................................... (2.27)
𝑘 ° = k – 1,64.S (untuk jalan arteri) …………....................................... (2.28)
𝑘 ° = k – 1,28.S (untuk jalan kolektor/lokal) …….......................................... (2.29)
Faktor keseragaman (Fk) :
𝑠
Fk = 𝑘− × 100% < 25% (dianjurkan) …………….……………………….. (2.30)
Standar Deviasi :
( 𝑘 2 )−( 𝑘 2 )
S= 𝑛 ……………………………………………...…………. (2.31)
𝑛(𝑛−1)
Keterangan :
k° = Modulus reaksi tanah dasar yang mewakili suatu seksi jalan
𝑘
k- = = modulus reaksi tanah dasar rata-rata dalam suatu seksi jalan
𝑛
48
c. Beton semen
Kekuatan beton semen dinyatakan dalam nilai kuat tarik lentur umur 28 hari,
yang didapat dari hasil pengujian balok dengan pembebanan tiga titik (ASTM C-
78) yang besarnya secara tipikal 3 - 5 Mpa (30 – 50 kg/cm2)
Hubungan antara kuat tekan karakteristik dengan kuat tarik lentur beton dapat
dengan rumus berikut :
fcf = 𝐾 × (𝑓𝑐 ′ )0,05 (dalam Mpa) ……………………………..…… (2.32)
fcf = 3,13 × 𝐾 × (𝑓𝑐 ′ )0,05 (dalam 𝑘𝑔/𝑐𝑚2 ) …...………………… (2.33)
50
Keterangan :
fc’ = Kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2).
fcf = Kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2).
K = Konstanta 0,7 untuk agregat tidak pecah 0,75 untuk agregat pecah.
Bahan beton semen terdiri dari agregat, semen, air, dan bahan tambah jika
diperlukan, dengan spesifikasi sebagai berikut :
1) Agregat
Agregat yang akan dipergunakan untuk perkerasan beton semen harus
sesuai dengan AASHTO M6-97 untuk agregat halus, dan AASHTO M80-87
untuk agregat kasar.
Ukuran maksimum nominal agregat kasar harus dibatasi hingg seperempat
dari tebal perkerasan beton semen. Ukuran nominal agregat kasar yang
didasarkan pada ketebalan perkerasan diperlihatkan pada tabel 2.21
Ukuran maksimum nominal agregat kasar harus dikombinasikan
dengan ukuran yang lebih kecil sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan.
3 37,5 >17,5
(Sumber : Litbang PU, Perkerasan Beton semen untuk jalan dengan lalu lintas Rendah
dan menengah, 2003)
51
2) Semen
Semen yang digunakan untuk pekerjaan beton umumnnya tipe I yang harus
sesuai dengan SNI 15-2049-1994. Semen harus dipilih dan sesuai dengan
lingkungan dimana perkerasan.
3) Air
Air harus bersih terbebas dari segala hal yang dapat merugikan dan dapat
merusak kekuatan, waktu seting atau keawetan beton serta kekuatan beton
serta kekuatan dan keawetan tulangan.
4) Bahan tambah
Bahan tambah harus sesuai dengan persyaratan ASTM C-494 untuk
waterredrucing dan SNI 03-2496-1991 untuk airentraining.
Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari satu ruas jalan raya
yang menampung lalu lintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda
52
batas lajur, maka jumlah dan koefisien distribusi (C) kendaraan niaga dapat
ditentukan dari lebar perkerasan sesuai dengan tabel 2.22
Tabel 2.22 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan dan koefisien distribusi
(C) kendaraan niaga pada lajur rencana
Lebar Perkerasan Jumla Lajur Kofisien Distribusi (C)
(Lp) (n) 1 Arah 2 Arah
Lp<5,50 m
1 1
5,50 m ≤Lp <8,25 m 1 lajur
0,70 0,50
2 lajur
8,25 m ≤Lp <11,25 m 0,50 0,475
3 lajur
11,25 m ≤Lp <15,00 m - 0,45
4 lajur
15,00 m ≤Lp <18,75 m - 0,425
5 lajur
18,75 m ≤Lp <22,00 m - 0,40
6 lajur
(Sumber : Perencanaam Perkerasan Beton Semen Dep PU, 2002)
Klasifikasi fungsional jalan, pola lalu lintas serta nilai ekonomis jalan yang
bersangkutan, yang dapat ditentukan antara lain dengan metode Benefit Cost Ratio,
Internal Rate of Return, kombinasi dari metode tersebut atau cara lain yang tidak
terlepas dari pola pengembangan wilayah.
Umumnya perkerasan kaku/beton semen dapat direncanakan dengan Umur
Rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun.
Volume lalu lintas akan bertambah sesuai dengan umur rencana atau sampai
tahap dimana kapasitas jalan dicapai dengan factor pertumbuhan lalu lintas y ang
dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut :
53
1+𝑖 𝑈𝑅−1
R= …………………………………………………………... (2.34)
𝑒𝑙𝑜𝑔 (1+𝑖)
Keterangan :
R = Faktor pertumbuhan lalu lintas
I = Laju pertumbuhan lalu lintas perahun (%)
UR = Umur rencana (tahun)
Faktor perumbuhan lalulintas juga dapat ditentukan melalui tabel 2.23
Lalu lintas rencana adalah jumlah komulatif sumbu kendaraan niaga pada
lajur rencana selama umur rencana, meliputi proporsi sumbu serta distribusi beban
pada setiap jenis sumbu kendaraan.
Beban pada suatu jenis sumbu secara tipikal dikelompokkan dalam interval 10
kN (1 ton) bila diambil dari survei beban.
Jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana dihitung dengan rumus berikut :
54
2.8.10 Sambungan
Sambungan susut memanjang dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara
ini, yaitu menggergaji atau membentuk pada saat beton masih dengan kedalaman
sepertiga dari tebal pelat.
Ujung sambungan ini harus tegak lurus terhadap sumbu memanjang jalan dan
tepi perkerasan. Untuk mengurangi beban dinamis, sambungan melintang harus
dipasang dengan kemiringan 1 : 10 searah perputaran jarum jam.
Kedalaman sambungan kurang lebih mencapai seperempat dari tebal pelat
untuk lapis pondasi stabilisasi semen sebagaimana diperlihatkan pada gambar 2.27
dan gambar 2.28
Jarak sambungan susut melintang untuk perkerasan beton bersambung tanpa tulangan
sekitar 4-5 m, sedangkan untuk perkerasan beton bersambung dengan tulangan 8-15
m dan untuk sambungan perkerasan beton menerus dengan tulangan sesuai dengan
kemampuan pelaksanaan.
Sambungan ini harus dilengkapi dengan ruji polos 45 cm , jarak antara ruji 30
cm, lurus dan bebas dari tonjolan tajam yang akan mempengaruhi gerakkan bebas
pada saat pelat beton menyusut.
Setengah panjang ruji polos harus dicat atau dilumuri dengan bahan anti
lengket untuk menjamin tidak ada ikatan dengan beton.
Diameter ruji tergantung pada tebal pelat beton sebagaimana terlihat pada
tabel 2.25. Sambungan pelaksanaan melintang yang tidak direncanakan (darurat)
harus menggunakan batang pengikat berulir, sedangkan pada sambungan yang
direncanakan harus menggunakan batang tulangan polos yang diletakkan di tengah
tebal pelat. Tipikal sambungan pelaksanaan melintang diperlihatkan pada Gambar
2.25. Sambungan pelaksanaan tersebut di atas harus dilengkapi dengan batang
58
pengikat berdiameter 16 mm, panjang 69 cm dan jarak 60 cm, untuk ketebalan pelat
sampai 17 cm.
Untuk ketebalan lebih dari 17 cm, ukuran batang pengikat berdiameter 20
mm, panjang 84 cm dan jarak 60 cm.
j. Perkerasan yang berdekatan dengan bangunan lain atau manhole harus ditebalkan
20% dari ketebalan normal dan berangsur-angsur berkurang sampai ketebalan
normal sepanjang 1,5 meter seperti diperlihatkan pada Gambar 11b.
k. Panel yang tidak persegi empat dan yang mengelilingi manhole harus diberi
tulangan berbentuk anyaman sebesar 0,15% terhadap penampang beton semen
dan dipasang 5 cm di bawah permukaan atas. Tulangan harus dihentikan 7,5 cm
dari sambungan.
Prosedur ini mempertimbangkan ada tidaknya ruji pada sambungan atau bahu
beton. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan dianggap sebagai
perkerasan bersambung yang dipasang ruji.
Data lalu-lintas yang diperlukan adalah jenis sumbu dan distribusi beban serta
jumlah repetisi masing-masing jenis sumbu/kombinasi beban yang diperkirakan
selama umur rencana.
Tebal pelat taksiran dipilih, dan total fatik serta kerusakan erosi dihitung
berdasarkan komposisi lalu lintas selama umur rencana . Jika kerusakkan fatik atau
erosi lebih dari 100%, tebal taksiran dinaikkan dan proses perencanaan di ulangi.
Tebal rencana adalah tebal taksiran yang paling kecil yang mempunyai total
fatik dan atau total kerusakan erosi lebih kecil atau sama dengan 100%.
Pelat dengan betuk tak lazim. Pelat disebut tidak lazim bila perbandingan
antara panjang dengan lebar lebih besar dari 1,25 atau bila pola sambungan
pada pelat tidak benar-benar bebebntuk bujur sangkar atau empat persegi
panjang.
Pelat dengan sambungan tidak sejalur
Pelat berlubang
b. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan
Luas penampang tulangan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
𝜇 .𝐿.𝑀.𝑔.
As = ………………………………………...………………. (2.38)
2.𝑓𝑠
Keterangan :
Keterangan :
Ps = Persentase luas tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap
luas penampang beton (%)
fct = Kuat tarik langsung beton = (0,4-0,5 fct) (kg/cm2 )
fy = Tegangan leleh rencana baja (kg/cm2 )
n = Angka ekivalensi antara baja dan beton (Es/Ec), dapat dilihat
pada tabel
μ = Koefisien gesekan antara baja dan beton dengan lapisan
dibawahnya
Es = Modulus elasitas baja = 2,1x106 (kg/cm2 )
Ec = Modulus elasitas beton = 1485 fc (kg/cm2 )
Keterangan :
Lcr = Jarak teoritis antara retakan.
P = Perbandingan luas tulangan memanjang dengan luas
penampang beton.
𝑓𝑐
Fb = tegangan lekat antara tulangan dengan beton = (1,97 /d)
𝑑
(kg/cm2 )).
u = Aperbandingan keliling terhadap luas tulangan =4/d.
ɛs = koefisien susut beton = (400. 106 ).
fct = kuat tarik langsung beton = (0,4-0,5 fct).
n = angka ekivalensi antara baja dan beton (es/Ec).
Es = midulus elastisitas baja = 2,1 x 106 (kg/cm2 ).
Ec = Modulus elasyisitas beton = 1485 fc (kg/cm2 )
- Jarak retakan teoritis yang dihitung dengan persamaan diatas harus
memberikan hasil antara 150-250 cm.
- Jarak antar tulangan = 100 mm – 225 mm.
- Diameter batang tulangan memanjang berkisar antara 12 mm - 20 mm.
2. Penulangan melintang
Luas tulangan melintang (As) yang diperlukan pada perkerasan beton
menerus dengan tulangan dihitung dengan menggunakan persamaan (2.38)
68
(𝑅−𝑅 )2
𝑆𝑥 = ………………………………………………………… (2.41)
𝑛−1
𝑌𝑡−𝑌𝑛
𝑅𝑡 = 𝑅 + . 𝑆𝑥 …………………………………………………… (2.42)
𝑆𝑛
𝑌𝑡−𝑌𝑛
𝐾= ……………………………………………………………… (2.43)
𝑆𝑛
Keterangan :
𝑅 = Curah hujan harian rata – rata
Sx = Standar deviasi
𝑅t = Hujan rencana untuk periode ulang T tahun
Yt = Faktor reduksi (table 2.28)
Yn = Angka reduksi rata-rata (table 2.29)
Sn = Angka reduksi standar deviasi (table 2.30)
K = Faktor frequensi (nilai K bisa dilihat pada (tabel 2.28)
Keterangan :
Lo = Jaarak dari titik terjauh kefasilitas drainase (m)
L = Panjang saluran (m)
Nd = koofisien hambatan
S = Kemiringan daerah pengaliran/ kemiringan tanah
V = kecepatan rata-rata aliran dalam saluran (m/dt)
Catatan : Nilai kemiringan saluran (S) disesuaikan dengan kelandaian jalan dengan nilai minimal
= 0,5 %. Untuk nilai nd diambil dari tabel 2.31 dan nilai V diambil dari tabel 2.32.
Kondisi permukaan nd
Keterangan
It = Intensitas hujan (mm/jam)
R24) = Curah hujan harian maksimum (mm)
Tc = Waktu kosentrasi (jam)
72
e. Koofisien pengaliran
Koofisien pengaliran atau koofisien limpasan (C), adalah angka reduksi dari
intensitas hujan, yang besarnya disesuaikan dengan kondisi permukaan,
kemiringan atau kelandaian, jenis tanah dan durasi hujan.
Apabila koofisien pengaliran terdiri lebih dari satu jenis kondisi permukaan
pengaliran, maka rumusnya adalah sebagai berikut :
𝐶1.𝐴1+𝐶2.𝐴2+ ...
Cw = ……………………………………………..……..(2.48)
𝐴1+𝐴2+...
Keterangan :
C1,C2 = Koofisien pengaliran sesuai jenis permukaan
A1, A2 = Luas daerah pengaliran (km2)
Cw = C rata-rata pada daerah pengaliran
f. Debit limpasan
Debit limpasan adalah jumlah pengaliran limpasan yang masuk kedalam
saluran samping, rumus yang digunakan adalah :
𝐶.𝐼𝑡.𝐴
Qr = …………………………………………………………….. (2.49)
3,6
Keterangan :
Q = Debit limpasan (m3 /detik)
C = Koofisien pengaliran (table 2.33)
It = Intensitas hujan selama waktu kosentrasi (mm/jam)
A = Luas daerah pengaliran/ tangkapan (km2 )
𝑉
𝐼2 = 1 …………………………………………...……………… (2.56)
×𝑅 2/3
𝑛
“n” adalah angka kekasaran meaning, nilainya terdapat pada tabel 2.35
2.9.2 Gorong-gorong
Fungsi gorong-gorong adalah mengalirkan air dari sisi jalan ke sisi lainnya.
Untuk itu desainnya harus juga mempertimbangkan faktor hidrolis dan struktur
supaya gorong-gorong dapat berfungsi mengalirkan air dan mempunyai daya dukung
terhadap beban lalu lintas dan timbunan tanah.
Mengingat fungsinya maka gorong-gorong disarankan dibuat dengan tipe konstruksi
yang permanen (pipa/kotak beton, pasangan batu, armco) dan desain umur rencana 10
tahun. Komposisi Gorong-gorong
Bagian utama gorong-gorong terdiri atas:
a. Pipa : kanal air utama.
b. Tembok kepala :
Tembok yang menopang ujung dan lereng jalan.
Tembok penahan yang dipasang bersudut dengan tembok kepala, untuk
menahan bahu dan kemiringan jalan.
77
Baik
No Tipe saluran baik Sedang Jelek
sekali
SALURAN BUATAN
1 Saluran tanah lurus teratur 0,017 0,020 0,023 0,025
2 Saluran tanah yang dibuat dengan excavator 0,023 0,028 0,030 0,040
3 Saluran pada dinding batuan, lurus, teratur 0,020 0,030 0,033 0,035
4 Saluran pada dinding batuan, tidak lurur, tidak teratur 0,035 0,040 0,045 0,045
5 Saluran buatan yang diledakkan, ada tumbuhan 0,025 0,030 0,035 0,040
6 Dasar saluran dari tanah, sisi saluran berbatu 0,028 0,030 0,035 0,035
7 Saluran lengkung, dengan kecepatan aliran rendah 0,020 0,025 0,028 0,030
SALURAN ALAM
8 Bersih, lurus, tidak berpasir dan tidak berlubang 0,025 0,028 0,030 0,033
9 Seperti no.8 namun ada timbunan atau kerikil 0,030 0,033 0,035 0,040
10 Melengkung, bersih, berluabang & berdinding pasar 0,030 0,035 0,040 0,045
11 Seperti no.10, dangkal dan tidak teratur 0,040 0,045 0,050 0,055
12 Seperti no.10, berbatu dan ada tumbuhan 0,035 0,040 0,045 0,050
13 Seperti no.11,sebagian berbatu 0,045 0,050 0,055 0,060
14 Aliran pelan banyak tumbuhan dan berlubang 0,050 0,060 0,070 0,080
15 Banyak tumbuh-tumbuhan 0,075 0,100 0,125 0,150
SALURAN BUATAN, BETON / BATU KALI
16 Saluran pasangan batu, tanpa penyelesaian 0,025 0,030 0,033 0,035
17 Seperti no.16 tapi dengan penyelesaian 0,017 0,020 0,025 0,030
18 Saluran beton 0,014 0,016 0,019 0,021
19 Saluran beton halus dan rata 0,010 0,011 0,012 0,013
20 Saluran beton pracetak dengan acuan baja 0,013 0,014 0,014 0,015
21 Saluran beton pracetak dengan acuan kayu 0,015 0,016 0,016 0,018
(Sumber : Perencanaan sistem drainase jalan Dep PU, 2006 ; 20)
78
c. Apron (dasar) :
Lantai dasar dibuat pada tempat masuk untuk mencegah terjadinya erosi
dan dapat berfungsi sebagai dinding penyekat lumpur.
Bentuk gorong-gorong umumnya tergantung pada tempat yang ada dan tingginya
timbunan.
Penempatan gorong-gorong
1) Ditempatkan melintang jalan yang berfungsi untuk menampung air dari hulu
saluran drainase dan mengalirkannya
2) Harus cukup besar untuk melewatkan debit air secara maksimum dari daerah
pengaliran secara efisien
3) Kemiringan gorong-gorong antara 0,5% – 2% dengan pertimbangan faktor-
faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya pengendapan erosi di tempat air
masuk dan pada bagian pengeluaran
4) Tipe dan bahan gorong-gorong yang permanen dengan disain umur rencana
untuk periode ulang atau kala ulang hujan untuk perencanaan gorong-gorong
disesuaikan dengan fungsi jalan tempat gorong-gorong berlokasi :
Jalan Tol : 25 tahun
Jalan Arteri : 10 tahun
Jalan Kolektor : 7 tahun
Jalan Lokal : 5 tahun
5) Perhitungan dimensi gorong-gorong mengambil asumsi sebagai saluran
terbuka.
6) Dimensi gorong-gorong minimum dengan diameter 80 cm. Kedalaman
gorong-gorong yang aman terhadap permukaan jalan, tergantung tipe dengan
kedalaman minimum 1m – 1,5m dari permukaan jalan.
7) Faktor utama yang mempengaruh kecepatan keluaran adalah kemiringan dan
kekasaran gorong-gorong.
79
b. Kurva S
Kurva S dibuat berdasarkan bobot setiap pekerjaan dan lama waktu yang
diperlukan untuk setiap pekerjaan dari tahap pertama sampai berakhirnya
pekerjaan tersebut. Bobot pekerjaan merupakan persentase yang didapat dari
perbandingan antara harga pekerjaan dengan harga total keseluruhan dari jumlah
harga penawaran.
c. Barcahrt
Diagram barrchart mempunyai hubungan yang erat dengan network planning.
Barchart ditunjukkan dengan diagram batang yang dapat menunjukkan lamanya
waktu pelaksanaan. Disamping itu juga dapat menunjukkan lamanya pemakaian
alat dan bahan-bahan yang diperlukan serta pengaturan hal-hal tersebut tidak
saling mengganggu pelaksanan pekerjaan.
83
Daftar satuan bahan dan upah adalah harga yang dikeluarkan oleh Dinas
Pekerjaan Umum Bina Marga, tempat proyek ini berada karena tidak setiap daerah
memiliki standar yang sama. Penggunaan daftar upah ini juga merupakan pedoman
untuk menghitung rancangan anggaran biaya pekerjaan dan upah yang dipakai
kontraktor. Adapun harga satuan bahan dan upah adalah suatu harga yang termasuk
pajak-pajak.
Rekapitulasi biaya adalah biaya total yang diperlukan setelah menghitung dan
mengalikannya dengan harga satuan yang ada. Dalam rekapitulasi terlampir pokok-
pokok pekerjaan beserta biayanya.