You are on page 1of 17

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN OPEN FRAKTUR

1.1 Konsep Teoritis Open Fraktur


1.1.1 Definisi
Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Demikian pula menurut
Sjamsuhidayat (2005), fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jarian tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa. Sementara Doenges (2000) memberikan batasan, fraktur adalah
pemisahan atau patahnya tualang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Sedangkan fraktur
menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Berdasarkan batasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh,yang
biasanya disesbabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan
jenis dan luasnya trauma.
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia
luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within
(dari dalam), atau from without (dari luar).
Fraktur Compound (terbuka) adalah fraktur yang menyebabkan robeknya
kulit (Corwin,2001).
Fraktur terbuka karena itegritas kulit robek atau terbuka dan ujung tulang
menonjol sampai menembus kulit ( Reeves,2001).

1.1.2 Etiologi
Fraktur disesbabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002). Umumnya
fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya frekuensi
terjadi pada umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,
pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur
daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insisden
osteoporosis yang terkait degan perubahan hormone pada menepouse (Reeves,
2001).
1.1.3 Klasifikasi
Pada fraktur terbuka terdapat klasifikasi berdasarkan derajat luka antara lain :
Derajat I:
1. Luka < 1 cm
2. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
3. Fraktur sederhana, tranversal, atau kominutif ringan
4. Kontaminasi minimal

Derajat II :

1. Luka > 1 cm
2. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulsi
3. Fraktur kominutif sedang
4. Kontaminasi sedang

Derajat III :

Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas:

1. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat


laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat ukuran luka.
2. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar kontaminasi
masif.
3. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.

1.1.4 Gejala Klinis


Manifestasi klinis fraktur adalah Nyeri(pain), hilangnya nyeri (Fungsiolesa),
deformitas, pemendekan ekstermitas, kripitasi, pembengkakan local, dan
perubahan warna (Smeltzer,2002). Gejala umum fraktur adalah rasa sakit,
pembengkakan dan kelainan bentuk ( Reeves,2001).
1. Nyeri terus-menurus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antarfragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun meraba) ekstermitas
yang bisadiketahui dengan membandingkan ekstermitas normal.
Ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada intergritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebernarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2
inchi).
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan keruakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
1.1.5 Ptofisiologi
Fraktur dapat terjadi akibat trauma langsung dan tak langsung serta kondisi
patologis, setelah terjadi fraktur dapat mengakibatkan diskontinuitas tulang
dan pergeseran fragmen tulang. Pergeseran fragmen tulang otomatis
menimbulkan adanya nyeri. Diskontinuitas tulang dapat berakibat perubahan
jaringan sekitar lalu terjadi pergeseran fragmen tulang kemudian terjadi
deformitas dan gangguan fungsi yang berujung gangguan imobilitas fisik.
Perubahan jaringan sekitar juga dapat menyebabkan laserasi kulit dimana
terjadi kerusakan integritas kulit jika sampai menyebabkan putus vena/arteri
akan terjadi perdarahan lalu kehilangan volume cairan yang berujung syok
hipovolemik. Selain laserasi kulit juga berakibat ke spasme otot yang
meningkatkan tekanan kapiler terjadi pelepasan histamin, protein plasma
hilang maka terjadi edema yang menyebabkan penekanan pembuluh darah
dan dapat terjadi penurunan perfusi jaringan. Diskotinuitas akibat terjadinya
fraktur dapat mengakibatkan terjadi kerusakan fragmen tulang yang
selanjutnya dapat mengakibatkan tekanan sesama tulang lebih tinggi daripada
kapiler kemudian terjadi reaksi stres pasien dimana terjadi pelepasan
katekolamin yang memobilisasi asam lemak bergabung dengan trombosit
maka terjadilah emboli yang akan menyumbat pembuluh darah.
1.1.6 Pathway
1.1.7 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2000), pemeriksaan diagnostik untuk fraktur terbuka,
yaitu:
1. Pemeriksaan rontgen: menetukan lokasi/luasnya fraktur trauma.
2. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI :memperlihatkan fraktur juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun, pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ respon stress
normal setelah trauma.
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kliners ginjal.
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfuse
multiple, atau cedera hati.
1.1.8 Penatalaksanaan
Menurut mansjoer (2000), fraktur biasanya menyertai trauma. Itu sangat
penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan nafas (airway), proses
pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) apakah terjadi syok atau
tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadinya kecelakaan penting
dinyatakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, meningkat golden,
period 1-6 jam, bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar.
Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cepat, singkat dan lengkap,
kemudian lakukan foto radiologi. Pemasangan bidai dilakukan untuk
mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih pada
jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.
Tindakan pada foto fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin,
penundaan waktu dapat mengakibatkan komplikasi infeksi, waktu yang
optimal untuk bertindak sebelum 6-7 jam (golden period). Berikan antibiotic
untuk kuman gram positif dan negative dengan dosis tinggi. Lakukan
pemeriksaan kultur dan resistensi kuman dari dasar luka fraktur terbuka.
Teknik debrimen adalah sebagai berikut:
a) Lakukan narcosis umum atau anastesi lokal bila luka ringan atau kecil.
b) Bila luka cukup luas, pasang dulu torniket (pompa atau esmard)
c) Cuci seluruh esktremitas selama 5-10 menit, kemudian lakukan pencukuran,
lalu diirigasi dengan cairan NaCl steril atau air matang 5-10 menit sampai
bersih.
d) Lakukan tidakan desinfeksi dan pemasangan dulu.

2.1 Anamnesis

a) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.

b) Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang


menjadi faktor presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain
itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko
untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image).
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur.
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
3.1 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
1) Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
1. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a. Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
b. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
d. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
f. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
g. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
i. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru
1. Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
2. Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3. Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
4. Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
k. Jantung
1. Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
2. Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
3. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l. Abdomen

1. Inspeksi

Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

2. Palpasi

Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

3. Perkusi

Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

4. Auskultasi

Peristaltik usus normal 20 kali/menit.

2) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
1. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah:

(1)Look (inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan


seperti bekas operasi).

(b) Cape au lait spot (birth mark).

(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.

(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal


yang tidak biasa (abnormal).

(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

(2) Feel (palpasi)

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita


diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.

Yang perlu dicatat adalah:

(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban


kulit.

(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau


oedema terutama disekitar persendian.

(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3


proksimal,tengah, atau distal).

(d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan


yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

(3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)


Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

4.1 Diagnosis Keperawatan


Adapun diagnosis keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah
sebagai berikut:
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran
darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan thrombus).
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah,
emboli, perubahan membrane alveolar/kapiler (intertistial, edema paru,
kongesti).
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup).
6. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, trauma jaringan lunak, prosedur invasive/traksi tulang).
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informas, keterbatasan kognotif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang
ada. (Doengoes, 2000).
4.2 Intervensi
4.3 Evaluasi
1. Nyeri berkurang atau hilang.
2. Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer.
3. Pertukaran gas adekuat.
4. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
5. Infeksi tidak terjadi.
6. Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyekit yang dialami.
Daftar Pustaka

http://www.scribe.com/doc/312847265/Askep-Fraktur-Terbuka

You might also like