You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dari perkembangan pengetahuan tentang geologi sejak dahulu, manusia


ingin mengetahuai bagaimana terbentuknya batuan yang mempunyai beraneka
jenis bentuk, struktur, tekstur, warna yang berbeda untuk setiap jenisnya, dan
bagaimana terbentunya gunung api, perlapisan bumi atau lapisan-lapisan bumi,
gempa, tanah longsor dan lain sebagainya. Selain itu, bagaimana menentukan
jurus dan kemiringan batuan serta menentukan posisi pada peta. Bagi para
mahasiswa geologi dan geofisika yang mengkaji tetang kandungan dan
perkembangan bumi secara fisik, pengkajian secara teori mengenai identifikasi
batuan, menentukan strike dan dip serta menentukan posisi pada peta tidaklah
cukup hanya di lakukan dilaboratorium saja.
Sebagai ibukota provinsi yang sedang berkembang pesat, Kota Kendari
ternyata dekat dengan lajur sumber gempa bumi. Hal tersebut mempunyai risiko
tinggi terhadap bahaya goncangan gempa. Tingkat bahaya goncangan gempa
bumi ini tidak semata-mata berasal dari kedekatan dengan sumbernya, namun juga
ditentukan oleh sifat fisik lahannya sendiri yang mempunyai faktor penentu
terhadap besarnya bahaya goncangan tanah. Pemahaman terhadap karakteristik
lahan merupakan salah satu upaya untuk memperkecil risiko bahaya gempa, perlu
dilakukan di wilayah ini.
Bentang alam daerah Kendari dan sekitarnya merupakan cekungan, tempat
material rombakan pegunungan di sekitarnya diendapkan. Kondisi fisik lahan
yang umumnya disusun oleh tanah lunak sangat berisiko mengalami goncangan
kuat bila terjadi gempa bumi karena akan terjadi penguatan pada lapisan lunak
tersebut.
Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan umumnya penduduk Kota Kendari tinggal
di daerah yang rentan terhadap bahaya goncangan tanah, yang tersusun oleh
litologi yang belum terkonsolidasi dengan baik.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam praktikum lapangan geologi
struktur adalah sebagai berikut:
1. bagaimana bentuk kekar yang ada dilapangan ?
2. bagaimana arah penyebaran data singkapan ?
3. bagaimana cara menganalisa kekar dengan menggunakn metode diagram
kipas atau metode diagram batang ?
4. bagaiman cara mengolah data lipatan ?

1.3 MAKSUD DAN TUJUAN


Maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam praktikum lapangan
Pengamatan Struktur Geologi, dan Morfologi Sungai di daerah Sekitar Aliran
Sungai jalan Lasolo yaitu :
1. Untuk melihat secara langsung bentuk kekar (joint) di lapangan.
2. Untuk mengetahui arah penyebaran, stratigrafi, dan formasi
3. Untuk menganalisa kekar dengan menggunakan Metode Diagram batang
atau Metode Diagram Kipas.
4. Untuk mengetahui cara mengolah data lipatan.

1.4 MANFAAT
Manfaat yang ingin dicapai dalam praktikum lapangan geologi struktur
adalah sebagai berikut:
1. Agar mahasiswa dapat melihat secara langsung bentuk kekar (joint) di
lapangan.
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui arah penyebaran, stratigrafi, dan
formasi.
3. Agar mahasiswa dapat menganalisa kekar dengn menggunakan metode
diagram kipas dan metode diagram batang.
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui cara mengolah data lipatan.
1.5 WAKTU, TEMPAT, DAN KESAMPAIAN DAERAH

a) Waktu

Praktikum lapangan ini dilaksanakan pada hari Minggu, 24


Mei2015 pukul 08.00-14.00 WITA.
b) Tempat

Praktikum lapangan ini dilaksanakan di sepanjang aliran sungai


Lasolo, jalan Lasolo Kota Lama, Kecamatan Kendari Barat, Kota
Kendari, Sulawesi Tenggara.
c) Kesampaian Daerah

Lokasi penelitian yang bertempat di sepanjang aliran sungai jalan


Lasolo ini ditempuh dengan pemakaian total waktu selama 30 menit,
yang terhitung dari depan jalan Lasolo, tepat di depan gerbang Rumah
Sakit Santa Ana yang dijadikan Psebagai titik tolak keberangkatan ke
lokasi penelitian.

1.6 ALAT DAN BAHAN

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum lapangan ini yaitu:

Tabel 1. Tabel Alat dan Bahan Praktikum Lapangan Geologi Struktur


No Alat dan Bahan Kegunaan
1 Kompas Geologi (Brunton) Untuk menentukan Strike dan Dip
2 GPS Untuk menentukan koordinat posisi/ lokasi
pengambilan data
3 Pulpen dan Buku (Alat Tulis) Untuk menulis data hasil penelitian
4 Kapur tulis Untuk menandai sampel pengamatan
5 Pensil dan penghapus Untuk menggambar penampakan alam lokasi
penelitian
6 Peta Tofografi Untuk memplot posisi yang didapat dari GPS
7 Papan Komputer Untuk membantu pengukuran Strike dan Dip
8 Kamera Digital/ HP Untuk mengambil gambar sampel/ singkapan
batuan beserta Struktur Geologinya

1.7 PENELITIAN TERDAHULU

1. Surono,2013. Geologi lengan tenggara Sulawesi.


2. Armstrong F. sompotan, 2012. Geologi struktur Sulawesi.
BAB II
GEOLOGI REGIONAL

2.1 GEOMORFOLOGI REGIONAL

Pulau Sulawesi, yang mempunyai luas sekitar 172.000 km2 (van


Bammelen, 1949), dikelilingi oleh laut yang cukup dalam. Sebagian besar
daratannya dibentuk oleh pegunungan yang ketinggiannya mencapai 3.440 m
(Gunung Latimojong). Pulau Sulawesi berbentuk huruf “K” dengan empat lengan:
Lengan Timur memanjang Timur Laut-Barat Daya, Lengan Utara memanjang
Barat-Timur dengan ujung Baratnya membelok ke arah Utara-Selatan, Lengan
Tenggara memanjang Barat Laut-Tenggara, dan Lengan Selatan membujur Utara-
Selatan. Keempat lengan tersebut bertemu pada bagian tengah Sulawesi.

Sebagian besar lengan Utaranya bersambung dengan Lengan Selatan


melalui bagian Tengah Sulawesi yang merupakan pegunungan dan dibentuk oleh
batuan gunung api. Di ujung Timur Lengan Utara terdapat beberapa gunung api
aktif, di antaranya Gunung Lokon, Gunung Soputan, dan Gunung Sempu.
Rangkaian gunung api aktif ini menerus sampai ke Sangihe. Lengan Timur
merupakan rangkaian pegunungan yang dibentuk oleh batuan ofiolit. Pertemuan
antara Lengan Timur dan bagian Tengah Sulawesi disusun oleh batuan Malihan,
sementara Lengan Tenggara dibentuk oleh batuan Malihan dan batuan ofiolit.
Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya merupakan pertemuan tiga lempeng
yang aktif bertabrakan. Akibat tektonik aktif ini, Pulau Sulawesi dan daerah
sekitarnya dipotong oleh sesar regional yang masih aktif sampai sekarang.
Kenampakan morfologi di kawasan ini merupakan cerminan sistem sesar regional
yang memotong pulau ini serta batuan penyusunnya. Bagian tengah Sulawesi,
Lengan Tenggara, dan Lengan Selatan dipotong oleh sesar regional yang
umumnya berarah Timur Laut-Barat Daya (Gambar 2.1.1). Sesar yang masih aktif
sampai saat ini umumnya merupakan sesar geser mengiri.
2.1.1 Morfologi

Van Bemmelen (1949) membagi Lengan Tenggara Sulawesi menjadi


tiga bagian: ujung Utara, bagian Tengah, dan ujung Selatan (Gambar 2.1.2).
Ujung Utara mulai dari Palopo sampai Teluk Tolo; dibentuk oleh batuan
ofiolit. Bagian tengah, yang merupakan bagian yang paling lebar (sampai
162,5 km), didominasi oleh batuan malihan dan batuan sedimen
Mesozoikum. Ujung Selatan Lengan Tenggara merupakan bagian relatif lebih
landau; batuan penyusunnya didominasi oleh batuan sedimen Tersier.

2.1.1.1 Ujung Utara

Ujung Utara Lengan Tenggara Sulawesi mempunyai ciri khas


dengan munculnya Kompleks Danau Malili yang terdiri atas Danau Matano,
Danau Towuti, dan tiga danau kecil di sekitarnya (Danau Mahalano, Danau
Lantoa, dan Danau Masapi; Gambar 2.1.3). Pembentukan kelima danau ini
diduga akibat Sistem Sesar Matano, yang telah diketahui sebagai sesar geser
mengiri (Ahmad, 1977). Perbedaan dari ketinggian dari kelima danau itu
memungkinkan air dari suatu danau mengalir ke danau yang terletak lebih
rendah. Danau Matano dihubungkan dengan Danau Mahalano oleh Sungai
Petes
yang kemudian dialirkan ke Danau Towuti oleh Sungai Tominanga.
Demikian juga Danau Lantoa dihubungkan dengan Danau Towuti oleh
sungai kecil. Kemudian Danau Towuti dan Danau Masapi dialirkan ke Teluk
Bone dan Sungai Larona. Kelima danau itu dikelilingi perbukitan dengan
ketinggian 500-700 m di atas permukaan laut (dpl). Luas, ketinggian, dan
kedalaman kelima danau itu bervariasi.
Kedalaman maksimum Danau Matano 590 m, padahal danau itu
terletak di ketinggian 382 dpl. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian dasar
Danau Matano berada di bawah permukaan laut. Ujung utara dipisahkan
dengan bagian tengah Lengan Tenggara oleh Pegunungan Tangeroruwaki
yang memanjang hampir Barat-Timur (Gambar 2.1.3)
2.1.1.2 Bagian Tengah

Morfologi bagian Tengah Lengan Tenggara Sulawesi didominasi oleh


pegunungan yang umumnya memanjang hampir sejajar berarah bawah laut-
tenggara. Pegungan itu di antaranya adalah Pegunungan Mengkoka,
Pegunungan Tangkelamboke, dan Pegunungan Matarombeo (Gambar 2.1.3
dan 2.1.4). Morfologi bagian tengah ini sangat kasar dengan kemiringan
lereng yang tajam. Puncak tertinggi pada rangkaian Pegunungan Mengkoka
adalah Gunung Mengkoka yang mempunyai ketinggian 2790 m dpl.
Pegunungan Tangkelamboke mempunyai puncak Gunung Tangkelamboke
(1500 m dpl). Sedangkan pegunungan Matarombeo berpuncak di Barat Laut
desa Wawonlondae dengan ketinggian 1551 m dpl.
2.1.1.3 Ujung Selatan

Ujung Selatan Lengan Tenggara Sulawesi didominasi oleh morfologi


dataran dan perbukitan (Gambar 2.1.3 dan 2.1.4). Pada beberapa bagian
muncul pegunungan, seperti Pegunungan Rumbia dan Pegunungan Mendoke.
Pada umumnya dataran ini merupakan dataran alluvium yang luas di kanan
kiri sungai sedangkan morfologi pebukitan terdiri atas pebukitan rendah dan
pebukitan tinggi. Pebukitan rendah jauh lebih luas dibandingkan dengan
pebukitan tinggi.

2.1.2 Satuan Morfologi

Setidaknya ada lima satuan morfologi yang dapat dibedakan dari citra
IFSAR di bagian tengah dan ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi, yakni
satuan pegunungan, pebukitan tinggi, pebukitan rendah, dataran rendah, dan
karst (2.1.4)
2.1.2.1 Satuan Pegunungan

Satuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan


ini (gambar 2.1.4) terdiri atas pegunungan Mengkoka, Pegunungan Mendoke,
dan Pegunungan Rumbia Yang terpisah di ujung Selatan Lengan Tenggara.

2.1.2.2 Satuan Pebukitan Tinggi

Satuan morfologi pebukitan tinggi menempati bagian selatan Lengan


Tenggara, terutama di selatan Kendari (Gambar 2.1.4). Satuan ini terdiri atas
bukit-bukit yang mencapai ketinggian 500 m dpl dengan morfologi kasar.
Batuan penyusun morfologi ini berupa batuan sedimen klastika Mesozoikum
dan Tersier.

2.1.2.3 Satuan Pebukitan Rendah

Satuan morfologi pebukitan rendah melampar luas di utara Kendari


dan ujung Selatan Lengan Tenggara (Gambar 2.1.4). Satuan ini terdiri atas
bukit kecil dan rendah dengan morfologi yang bergelombang. Batuan
penyusun satuan ini terutama batuan sedimen klaastika Mesozoikum dan
Tersier.

2.1.2.4 Satuan Dataran

Satuan morfologi dataran rendah dijumpai dibagian tengah ujung


selatan Lengan Tenggara (Gambar 2.1.4). Tepi selatan Dataran Wawotobi
dan Dataran Sampara berbatasan langsung dengan satuan morfologi
pegunungan. Penyebaran satuan dataran rendah ini tampak sangat
dipengaruhi oleh sesar geser mengiri (Sesar Kolaka dan Sistem Sesar
Konaweha). Kedua sistem sesar ini diduga masih aktif, yang ditunjukkan
oleh adanya torehan pada endapan alluvial dalam kedua dataran tersebut
(Surono.dkk.,1997). Sehingga sangat mungkin kedua dataran ini terus
mengalami penurunan. Akibat dari penurunan ini tentu berdampak buruk
pada dataran tersebut, di antaranya pemukiman dan pertanian di kedua
dataran itu akan mengalami banjir yang semakin parah setiap tahunnya.
Dataran Langkowala yang melampar luas di ujung Selatan Lengan
Tenggara, merupakan dataran rendah. Batuan penyusunnya terdiri atas
batupasir kuarsa dan konglomerat kuarsa Formasi Langkuwala. Dalam
dataran ini mengalir sungai-sungai yang pada musim hujan berair melimpah
sedang pada musim kemarau kering. Hal ini mungkin disebabkan batupasir
dan konglomerat sebagai dasar sungai masih lepas, sehingga air dengan
mudah merembes masuk ke dalam tanah. Sungai tersebut di antaranya Sungai
Langkowala dan Sungai Tinaggea.

2.1.2.5 Satuan Karst

Satuan morfologi karst melampar di beberapa tempat secara terpisah.


Satuan ini dicirikan pebukitan kecil dengan sungai di bawah permukaan
tanah. Sebagian besar batuan penyusun satuan morfologi ini didominasi oleh
batugamping berumur Paleogen dan selebihnya batugamping Mesozoikum.
Batugamping ini merupakan bagian Formasi Tampakura, Formasi Laonti,
Formasi Tamborasi, dan bagian atas dari Formasi Meluhu. Sebagian dari
batugamping penyusun satuan morfologi ini sudah terubah menjadi marmer.
Perubahan ini erat hubungannya dengan pensesar-naikkan ofiolit ke atas
kepingan benua. Di sekitar Kendari batugamping terubah tersebut ditambang
untuk bahan bangunan (Surono.2012).

2.2 STRUKTUR REGIONAL

Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya merupakan kawasan pertemuan tiga


lempeng yang aktif saling bertubrukan. Akibat dari proses ini kawasan ini
mempunyai struktur yang rumit dan banyak di antaranya masih dalam keadaan
aktif. Struktur yang terbentuk mempunyai berbagai skala (regional dan lokal),
meliputi penunjaman dan zona tumbukan, sesar naik, sesar dan lipatan. Struktur
geologi berskala regional yang berkembang di Sulawesi dan kawasan sekitarnya
adalah Parit Sulawesi Utara (North Sulawesi Trench), Sistem Sesar Palu-Koro,
Sesar Naik Batui, Sesar Naik Poso, Sesar Walanae, dan pemekaran Samudra di
Selat Makassar.
Pada umumnya struktur regional itu sangat berhubungan dengan gerakan
ke Barat dari beberapa kepingan benua. Akibat dorongan ke arah Barat dari
kepingan benua Banggai-Sula terbentuklah sesar geser mengiri, di antaranya
Sistem Sesar Palu-Koro yang berhubungan dengan beberapa sesar di bagian
Timur Sulawesi termasuk sesar Matano, sesar Lawanopo, dan sesar Kolaka. Di
ujung Utara Sesar Palu-Koro terbentuklah subduksi Parit Sulawesi Utara.

2.2.1 Parit Sulawesi Utara

Parit Sulawesi Utara yang memanjang barat-timur (Gambar), merupakan


zona Benioff, tempat Kerak Laut Sulawesi menunjam di bawah Lengan Utara
Sulawesi mulai pada akhir Paleogen (Fitch, 1970; Katili, 1971; Cardwell & Isack,
1978; Hamilton, 1979; McCaffrey dkk., 1983). Subduksi ini mencapai puncaknya
pada Neogen. Namun demikian, hasil analisis seismologi menunjukkan bahwa
Parit Sulawesi Utara ini sudah menyurut aktifitasnya (MvCaffrey dkk., 1983;
Kertapati dkk., 1992). Simandjuntak (1988; dalam Darman & Sidi, 2000)
menduga bagian timur parit ini menunjukkan gejala aktif kembali ditandai
aktivitas vulkanisme di ujung timur dan daerah sekitar Lengan Utara.

2.2.2 Sistem Sesar Palu-Koro

Nama Sesar Palu-Koro diusulkan pertama kali oleh Sarasin & Sarasin
(1901) yang kemudian diulangioleh Rutten (1927). Sistem sesar ini menoreh
mulai ujung utara Selat Makassar, melalui Kota Paludan menerus sampai Teluk
Bone (Gambar 3.1). Hasil pemetaan geologi yang dilakukan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi (sekarang menjadi Pusat Survei Geologi) menunjukkan
bahwasistem sesar ini berhubungan juga dengan Sesar Matano dan Sesar
Lawanopo (Simandjuntak dkk., 1993a, b, c, d; Rusmana, dkk., 1993; Sukamto,
1975a; Rusmana dkk., 1993).
Gerakan horizontal dan vertikal Sesar Palu-Koro telah dianalisis oleh
beberapa penulis. Van Bemmelem(1970) dan Katili (1978) setuju bahwa bagian
utara sesar ini didominasi oleh gerakan vertikal, sedangkan bagian selatannya oleh
gerakan horizontal mengiri.
Gambar 3.1. Struktur regional Sulawesi dan daerah sekitarnya.
Disederhanakan dari Silver dick. (1983) dan Rehahult dkk. (l991)

Kecepatan gerakan horizontal, yang dianalisis oleh beberapa penulis,


hasilnya berbeda, misalnya Sudradjat (1981, dalam Darman & Sidi, 2000) 2-3,5 mm
sampai 14-17 mm/tahun; Indriastuti (1990, dalam Darman & Sidi, 2000) 1,23 mm/
tahun. Sementara itu, kecepatan gerakan vertikal, yang dihitung berdasarkan
pengangkatan koral, adalah 4,5 mm/tahun (Tjia & Zakaria, 1974), dan 3,4 mm/tahun
(Walpersdoft dkk., 1997; dalam Darman & Sidi, 2000). Sistem Sesar Palu-Koro
walaupun didominasi oleh gerakan horizontal mengiri, juga secara setempat
membentuk tinggian dan rendahan. Bentuk rendahan semacam cekungan dapat
dikenali sebagai Danau Matano, Danau Poso, dan Lembah Palu.

2.2.3 Sesar Naik Batui

Sesar Naik Batui merupakan hasil tumbukan antara Kepingan Benua


Banggai-Sula dengan Lajur Ofiolit Sulawesi Timur (Gambar 3.1 dan 3.2); kepingan
benua tersebut naik terhadap lajur ofiolit. Sesar naik ini menoreh ujung Lengan Timur
Sulawesi sampai Teluk Tolo dan bertemu dengan perpanjangan Sesar Matano, yang
dinamai Sesar Manui oleh Gerrard dick. (1988).
Sesar Naik Batui ini dipotong oleh beberapa sesar geser yang hadir
belakangan, diantaranya Sesar Toili, Ampana, dan Wekuli (Simandjuntak, 1986;
Rusmana dkk., 1993; Surono dkk., 1993). Berdasarkan rekaman seismik sesar naik ini
mengalami pengaktifan kembali (McCaffrey dick., 1983; Kertapati dkk., 1992).
Endapan teras terumbu koral Kuarter yang tersebar mulai Batui sampai ujung Lengan
Timur Sulawesi (Rusmana dkk., 1993; Surono dkk., 1993) menunjukkan bahwa paling
tidak ada tiga kali periode pengangkatan. Besar kemungkinan pengangkatan terumbu
koral tersebut diakibatkan karena kegiatan Sesar Naik Batui.

2.2.4 Sesar Naik Poso

Sesar Naik Poso memanjang utara-selatan, mulai dan Tanjung Peindilisa


di Teluk Tomini sampai Masamba di pantai utara Teluk Bone (Sukamto, 1975a;
Simandjuntak dkk., 1993b; d). Sesar naik ini memisahkan Lajur Malihan Sulawesi
Tengah di bagian timur dengan Lajur Vulkanik Sulawesi Barat di barat (Gambar
3.1).
Berdasarkan hasil rekaman seismik, Kertapati dkk. (1992) menduga saat
ini Sesar Naik Poso dalam keadaan tidak aktif. Namun demikian, gempa yang
terjadi di bagian barat Teluk Tomini beberapa waktu lalu memungkinkan paling
tidak ujung utara sesar tersebut teraktifkan kembali (Darman & Sidi, 2000).

2.2.5 Sesar Walanae

Sesar Walanae, yang berarah hampir utara-selatan, menoreh Lengan Selatan


Sulawesi dan menerus memotong Pulau Selayar yang berada di selatannya
(Sukamto, 1975a; Sukamto, R. & Supriatna, S., 1982; Sukamto, R., 1982; Gambar
3.1). Bahkan Darman & Sidi (2000) menduga sesar ini menerus ke selatan sampai
ke Sesar Naik Flores di utara Pulau Flores. Ke arah utara sesar tersebut mungkin
menerus sampai Selat Makassar dan bersatu dengan rantas (suture)Paternoster-
Lupar.
Sesar Walanae teraktifkan kembali pada Kuarter sehingga membentuk
depresi Walanae yang luas. Namun rekaman seismik tidak menunjukkan keaktifan
sesar ini (Darman & Sidi, 2000).

2.2.6 Pemekaran Selat Makassar

Selat Makassar diduga terbentuk karena adanya pemekaran yang berarah


hampir utara-selatan di kawasan itu (Katili, 1978; Gambar 3.1). Penelitian profil
seismik refraksi yang memotong selat itu, menunjukkan bahwa tidak ada
pemunculan kerak samudra di bawah runtunan sedimen Tersier (Situmorang,
1983). Beberapa penulis (diantaranya Situmorang, 1983; Simandjuntak, 1999)
menduga pemekaran Selat Makassar diduga mulai Neogen. Hal ini didasarkan
pada kemiripan batuan dasar berumur Kapur dan runtunan sedimen penutupnya
yang berumur Eosen-Oligosen (Hamilton. 1974) di Kalimantan bagian selatan-
timur dan Lengan Selatan Sulawesi bagian barat.
2.3 STRATIGRAFI REGIONAL

Lengan Tenggara Sulawesi termasuk kawasan pertemuan dua , yakni


lempeng benua yang berasal dari Australia dan lempeng samudra dari Pasifik.
Kedua lempeng dari jenis yang berbeda ini bertabrakan dan kemudian ditindih oleh
endapan Molasa Sulawesi.
Di daerah Kendari, batuan dasar secara tidak selaras ditindih oleh formasi
Meluhu berumur Triassic, yang terdiri dari sandstone, shale dan mudstone.
Formasi Meluhu disusun oleh 3 kelompok wilayah, yaitu; wilayah Toronipa
merupakan kelompok yang paling tua, kemudian Watutaluboto dan Tuetue yang
merupakan kelompok termuda. Wilayah Toronipa terdiri dari endapan sungai
meandering dan didominasi oleh sandstone diselingi batuan sandstone
konglomerat, mudstone dan shale.
Formasi Meluhu diberikan oleh Rusmana & Sukarna (1985) kepada satuan
batuan yang terdiri atas batupasir kuarsa, serpih merah, batulanau, dan batulumpur di
bagian bawah; dan perselingan serpih hitam, batupasir, dan batugamping di bagian
atas. Formasi Meluhu menindih takselaras batuan malihan dan ditindih takselaras
oleh satuan batugamping Formasi Tampakura.
Formasi meluhu didominasi oleh batupasir dan konglomerat dengan
sisipan serpih, batulanau dan batulempung. Penampang tegak hasil pengukuran
statigrafi terperinci di tanjung toronipa tersebut. Batupasir belapis baik berfasies
St dan Sp telah ditemukan di beberapa tempat, batu pasir pejal tersingkap baik,
yang diduga merupakan hasil pengendapan grain flow. Secara setempat, batupasir
kerikilan (gh) sering dijumpai di atas permukaan bidang erosi.

2.3 KEKAR

Kekar adalah struktur rekahan pada batuan dimana tidak ada atau relatif
sedikit sekali kemungkinanya terjadi pergeseran. Kekar merupakan salah satu
struktur yang paling umum pada batuan. Kekar adalah jenis struktur batuan dalam
bentuk bidang pecah. Karena sifat bidang ini memisahkan batuan menjadi bagian-
bagian terpisah maka struktur kekar merupakan jalan atau rongga kesarangan
batuan untuk dilalui cairan dari luar beserta materi lain seperti air, gas dan unsur-
unsur lain yang menyertainya. Sifat kesarangan batuan akibat kekar bertalian erat
dengan proses mineralisasi. Atau dapat diartikan lain bahwa mineralisasi dapat
dideteksi dari sifat dan kehadiran kekar dalam batuan.
Proses mineralisasi terutama mineralisasi logam dasar termasuk emas dan
perak maka pertalian kekar sebagai pembawa logam menjadi sangat penting untuk
dianalisis.Analisis kekar baik sebagai individu maupun kelompok dapat dilakukan
dengan cara pemetaan kekar pada batuan. Yaitu memetakan fisik kekar, posisi
kekar, pengelompokan kekar dari tata letak atau pola geografisnya.
Kekar secara genetis sangat bervariasi cara kejadiannnya. Salah satu
proses kejadian kekar yang sangat umum adalah akibat tektonik selama batuan
terbentuk atau sesudah batuan terlitifikasi.Karena kejadian kekar yang akibat
tektonik bertalian pula dengan aktifitas magmatisma dari gunungapi, maka kekar
pada batuan yang kehadirannya pada batuan paling dekat dengan lokasi
gunungapi atau batuan magmatis perlu mendapat perhatian yang lebih rinci.Sifat
keterkaitan antara kekar dengan materi yang melaluinya, baik cairan magma, gas
atau materi lain yang berkaitan secara ecology environment mempunyai ciri khas
seperti filling, retas rekahan dan kehancuran batuan.

A. Klasifikasi Kekar
Secara genetik, kekar terbagi atas:
a. Kekar Gerus (Shear Joint), yaitu kekar yang terjadi akibat stress yang
cenderung mengelincir bidang satu sama lainnya yang berdekatan. Kekar
Gerus memiliki ciri-ciri dilapangan Biasanya bidangnya licin, Memotong
seluruh batuan, Memotong komponen batuan, Bidang rekahnya relatif
kecil, Adanya joint set berpola belah ketupat.
b. Kekar Tarikan (Tensional Joint), yaitu kekar yang terbentuk dengan arah
tegak lurus dari gaya yang cenderung untuk memindahkan batuan (gaya
tension). Kekar Tarikan memiliki ciri-ciri dilapangan biasanya Bidang
kekar tidak rata, Bidang rekahnya relatif lebih besar, Polanya sering tidak
teratur, kalaupun teratur biasanya akan berpola kotak-kotak, Karena
terbuka, maka dapat terisi mineral yang kemudian disebut vein. Kekar
tarikan dapat dibedakan atas: Tension Fracture, yaitu kekar tarik yang
bidang rekahannya searah dengan tegasan dan Release Fracture, yaitu
kekar tarik yang terbentuk akibat hilangnya atau pengurangan tekanan,
orientasinya tegak lurus terhadap gaya utama. Struktur ini biasanya
disebut STYLOLITE. Hal ini terjadi akibat dari stress yang cenderung
untuk membelah dengan cara menekannya pada arah yang berlawanan,
dan akhirnya kedua dindingnya akan saling menjauhi.
c. Kekar Hibrid (Hybrid Joint), yaitu merupakan campuran dari kekar gerus
dan kekar tarikan dan pada umumnya rekahannya terisi oleh mineral
sekunder.( vein )

Klasifikasi Geometris, terbagi atas:


Berdasarkan kedudukan terhadap lapisan batuan.
o Strike joint : jurus kekar dan jurus perlapisan saling sejajar.
o Dip joint : jurus kekar sejajar dengan arah kemiringan lapisan
batuan.
o Diagonal/oblique joint : jurus kekar dan jurus perlapisan batuan
saling memotong.
o Bedding joint : bidang kekar dan bidang lapisan saling sejajar.
Berdasarkan pola kekar.
o Kekar sistematik .
o Kekar tidak sistematik.
Berdasarkan ukuran.
 Master joint
 Major joint
 Kekar minor
 Kekar mikro
Berdasarkan Fracture Mechanics, rekahan dibagi menjadi tiga mode yakni:
Mode 1 atau Ekstension : Pergerakan tegak lurus bidang kekar (
tensile Fracture)
Mode 2 atau Shear Fractures : Gerak geser pararel (sliding) terhadap
bidang kekar dan tegaklurus terhadap ujung kekar.
Shear Fracture atau Mode 3 : Gerak geser pararel terhdap bidang dan
ujung kekar ( tearing mode)
Kekar pada umumnya memiliki unsur-unsur yang membedakan dengan
struktur lainnya yaitu :
 Conjugate shear fracture ; kekar berpasangan yang terjadi akibat gaya
compressive umumnya membentuk sudut lancip terhada arah tegasan
utama.
 Strike dan dip; Arah jurus dari bidang kekar dan susdut yang dibentuk
terhadap bigan horizontal
 Orientasi kekar; arahan umum dari satu set kekar yang ada
 Joint spacing; jarak rata-rata antaar joint diukur tegak lurus joint.

B. Analisis Kekar
Penganalisisan data kekar sangat penting dilakukan dalam
hubungannya dengan menentukan sumbu lipatan dan gaya gaya yang bekerja
pada batuan daerah tersebut. Hubungan antara kekar, sesar ,lipatan
dikemukakan oleh
moody dan Hill (1956). Dalam menganalisis kekar dapat dikerjakan dengan me
nggunakan tiga metode,yaitu:
a. Histogram
b. Diagram kipas
c. Stereografis.

C. Hubungan analisis kekar terhadap sesar dan lipatan


Berdasarkan definisi dari struktur geologi kekar, sesar, dan lipatan
telah menunjukkan bahwa adanya keterkaitan satu dengan yang lain. Misalnya
sesar, sesar ialah kekar yang mengalami pergeseran pada bidangnya, dan
biasanya sesar terbentuk pada daerah lipatan (sinklin maupun antiklin).
Hubungan dari ketiga struktur geologi ini dapat dijelaskan melalui three
stages of deformation yang merupakan sifat deformasi suatu benda terhadap
gaya berdasarkan tingkat elastisitas benda tersebut. Ketiga tingkatan tersebut
adalah :
a. Elastic
Benda dikatakan elasticjika suatu benda dikenai gaya, maka akan
mengalami deformasi, tetapi jika gaya dilepas (hilang), maka benda tersebut
akan kembali lagi pada bentuk dan ukuran semula. batas dimana suatu benda
masih dapat kembali seperti semula jika gaya dilepas, disebut elastic limit.
Maka jika besar gaya yang bekerja melebihi elastic limit, benda tersebut tidak
akan kembali pada bentuk semula, jika gaya hilang.
b. Plastic
Benda dikatakan plastic jika gaya yang bekerja mencapai elastic limit.
Benda yang terkena gaya hanya sebagian yang dapat kembali pada bentuk
semula, jika gaya dihilangkan.
c. Brittle and Ductile
Benda dikatakan brittle, jika benda sudah pecah sebelum gaya yang
bekerja mencapai titik plastis. Benda dikatakan ductile, jika benda
pecah/hancur setelah gaya melewati titik elastic.

2.4 LIPATAN
Lipatan ditunjukkan sebagai lengkungan atau kumpulan dari lengkungan
pada unsur garis bidang didalam bahan tersebut.

 Kejadian Lipatan
Pembentukan lipatan dapat dapat terjadi melalui proses:
 Bucklingyaitu karena proses penekanan lateral dari suatu bidang planar.
Proses pelengkungan terjadi pada kedua sisi selama terjadi pemendekan.
 Bending, yaitu karena pengaruh gerakan vertikal pada suatu lapisan,
misalnya penurunan lapisan, pergeseran pada jalur gerus, atau pelengseran
suatu masa batuan pada bidang yang tidak rata.

Lipatan dapat terbentuk karena proses/pengaruh :


 Tektonik
 Gaya berat (pelengseran)
 Akibat pengaruh-pengaruh setempat ;
 Kompaksi
 Intrusi batuan beku dalam
 Injeksi garam (diapir)

 Geometri Lipatan
Lipatan dijumpai dalam berbagai bentuk (geometri), yang disebut sebagai
“fold style” dan ukuran. Variasi geometri lipatan terutama tergantung pada sifat
dan keragaman bahan, dan asal kejadian mekanik pada saat proses
perlipatan.Secara umum terdapat “antiform”, bentuk tertutup keatas dan
“synform”, bentuk tertutup kebawah. Suatu antiklin adalah bentuk lipatan dengan
bagian lapisan tertua pada inti (sisi cekung permukaan lipatan) sedangkan sinklin
dengan bagian termuda pada inti.
Pada suatu permukaan (lapisan) lipatan terdapat unsur:
- Bidang simetri
- Bidang poros
- Bidang puncak (crest)
- (Garis) poros (hinge line)
- (Garis) puncak (crestal line)
- (Titik) kulminasi
- (Titik) depresi (sadle)
- Panjang lipatan
- Tinggi lipatan
 Klasifikasi
1. Secara diskriptif atau secara geometris
Klasifikasi ini didasarkan pada kedudukan dari bidang sumbu (axial
plane/surface) dan garis sumbu (fold axis).
Contoh : lipatan tegak, lipatan miring, lipatan menunjam dan sebagainya.
2. Secara morfologi
Klasifikasi ini didasarkan pada bentuk lipatan keseluruhan atau bentuk
penampang/kenampakan denah (plan view).
Contoh : lipatan simetri, lipatan paralel.
3. Mekanisma cara terjadinya
Klasifikasi ini didasarkan pada sifat pelenturan yang terjadi pada proses
perlipatan. Proses ini akan tergantung pada sifat bahan dan perlapisannya,
misalnya sifat perlipatan pada perlapisan batulempung yang sifatnya “ductile” dan
batupasir yang sifatnya “brittle”, akan menimbulkan pengaruh yang berbeda.
Contoh : Flexur, Shear, Flow folding.
Klasifikasi ini juga akan tercermin pada sifat pada klasifikasi morfologi,
misalnya lapisan yang seragam, bersifat” brittle” akan membentuk lipatan yang
paralel.

You might also like

  • NNNNNN
    NNNNNN
    Document26 pages
    NNNNNN
    Yoni Sara
    No ratings yet
  • Oooooo
    Oooooo
    Document3 pages
    Oooooo
    Yoni Sara
    No ratings yet
  • Sssssssss
    Sssssssss
    Document14 pages
    Sssssssss
    Yoni Sara
    100% (1)
  • Yyyyyyyy
    Yyyyyyyy
    Document21 pages
    Yyyyyyyy
    Yoni Sara
    No ratings yet
  • Yyyyyyyy
    Yyyyyyyy
    Document21 pages
    Yyyyyyyy
    Yoni Sara
    No ratings yet
  • ......
    ......
    Document13 pages
    ......
    Yoni Sara
    No ratings yet
  • MMMMMM
    MMMMMM
    Document26 pages
    MMMMMM
    Yoni Sara
    No ratings yet
  • Laporan
    Laporan
    Document31 pages
    Laporan
    Yoni Sara
    No ratings yet