You are on page 1of 30

“LAPORAN PENDAHULUAN HEMODIALISA”

Oleh
Tim Penyusun :
Liyanovitasari A. Amali
Mitlan Duko
Penyunting:
Ns. Fadli Syamsuddin, Sp.Kep.MB
LAPORAN PENDAHULUAN
HEMODIALISA
A. Konsep Dasar Hemodialisa
1. Definsi
Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui
dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi
kedalam tubuh pasien, (Baradero, Dayrit dan siswadi, 2009 dalam Amali, 2018).
Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat
toksik lainnya melalui membran semi permeable sebagai pemisah antara darah
dan cairan dialisat yang sengaja dibuat dalam dialiser (Hudak dan Gallo 1996
dalam Wijaya dan Putri, 2013).

2. Tujuan
1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan
asam urat
2) Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding
antara darah dan bagian cairan.
3) Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh
4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh,
(Wijaya dan Putri, 2013).

3. Prinsip Hemodialisis
Prinsip-prinsip dasar yang digunakan saat proses hemodialisis ada 2, yaitu
dialisis dan ultrafiltrasi (konveksi). Dialisis adalah suatu proses dimana komposisi
zat terlarut dari satu larutan diubah menjadi larutan lain melalui membran
semipermiabel. Molekul-molekul air dan zat-zat terlarut dengan berat molekul
rendah dalam kedua larutan dapat melewati poripori membran dan bercampur
sementara molekul zat terlarut yang lebih besar tidak dapat melewati barier
membran semipermiabel. Proses penggeseran (eliminasi) zat-zat terlarut (toksin
uremia) dan air melalui membran semipermiabel atau dializer berhubungan
dengan prose difusi dan ultrafiltrasi (konveksi).
a. Difusi
Dihubungkan dengan pergeseran partikel-partikel dari daerah konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah oleh tenaga yang ditimbulkan oleh perbedaan
konsentrasi zat-zat terlarut dikedua sisi membran dialysis, difusi menyebabkan
pergeseran urea, kreatinin dan asam urat dari darah klien ke larutan dialisat
b. Osmosa
Mengangkut pergeseran cairan lewat membran semi permiabel dari daerah
yang kadar partikel-partikel rendah ke daerah yang kadar partikel lebih tinggi.
c. Ultrafiltrasi
Terdiri dari pergeseran cairan lewat membran semi permeabel dampak dari
bertambahnya tekanan yang dideviasikan secara buatan. Proses ultrafiltrasi ini
terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik.
Hemo = darah Dialisis = memisahkan dari yang lain, (Wijaya dan Putri, 2013).
a. Ultrafiltrasi hidrostatik
a) Transmembrane pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut didalamnya
berpindah dari darah ke dialisat melalui membran semipermiabel adalah
akibat perbedaan tekanan hidrostatik antara kompertemen darah dan
kompartemen dialisat. Kecepatan ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan
tekanan yang melewati membran.
b) Koefisien ultrafiltrasi (KUf)
Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi
tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah cairan
(ml/jam) yang berpindah melewati membran per mmHg perbedaan
tekanan (pressure gradient) atau perbedaan TMP yang melewati
membran.
b. Ultrafiltrasi osmotik
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran
semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel
dibanding “A” maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding
konsentrasi larutan “A”. Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke
“B” melalui membran dan sekaligus akan membawa zat -zat terlarut
didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel terhadap membran, akhirnya
konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.

4. Indikasi
Adapun indikasi untuk pasien yang dapat melakukan terapi cuci
darah/hemodialisis ini antara lain :
1) Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus <5 ml)
2) Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila
terdapat indikasi:
a. Hiperkalemia (K+ darah >6 meq/l)
b. Asidosis
c. Kegagalan terapi konservatif
d. Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam (ureum >200 mg%, kreatinin
serum > 6 mEq/l
e. Kelebihan cairan
f. Mual dan muntah hebat
3) Intoksikasi obat dan zat kimia
4) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat
5) Sindrom hepatorenal dengan criteria :
a. K+ pH darah <7,10 asidosis
b. Oliguria/anuria > 5 hr
c. GFR < 5 ml/I pada GGK
d. Ureum darah > 200 mg/dl

5. Kotraindikasi
1) Hipertensi berat (TD >200 / 100 mmHg)
2) Hipotensi (TD < 100 mmHg)
3) Adanya perdarahan hebat
4) Demam tinggi, (Wijaya dan Putri.2013).
6. Akses Sirkulasi darah pasien
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis,
fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis
darurat dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara.
Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk
pemakaian segera dan sementara (Barnett & Pinikaha, 2007 dalam Hermawati,
2017).
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung
(anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan
antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4
sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan (Brruner & Suddart,
2011). Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan
segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum
berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh
darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer.
Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang
sudah didialisis (Barnett & Pinikaha, 2007 dalam Hermawati, 2017).
Tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri
atau vena dari materia gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan lumen sebagai
tempat penusukan jarum dialisis. Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien
sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula (Brunner & Suddart, 2008 dalam
Hermawati, 2017).
Hemodialisme akan efektif jika dialisme dilakukan sekitar 2-6 jam/minggu
pada pasien baru, sedangkan pada pasien yang sudah stabil dan menjalani kronik
hemodialisa sekitar 6 – 18 jam /minggu. Untuk mendapatkan aliran darah yang
besar ( sekitar 200 -300 cc/menit) selama 2-5 jam sangatlah sulit. Biasannya pada
pasien akut kita lakukan pada vena vemoralis, sehingga dapat diperoleh aliran
darah yang besar. Pada pasien dengan program HD berkala yaitu 2 -3 kali/minggu
harus disiapkan penyambungan pembuluha darah arteri dan vena. Ada 2 macam
cara :
a. Pintas (shunt) eksternal Kanula khusus yang mengalirkan darah arteri
langsung ke vena yang berdekatan. Kanula arteri dan vena dihubungan
dengan konektor sehingga pada saat dialisa konektor dibuka lalu kanula arteri
dihubungkan ke slang yang mengalirkan darah ke ginjal buatan dan kanula
vena untuk memasukkan darah kembali ketubuh penderita. Komplikasi yang
sering terjadi, seperti pembekuan darah infeksi, oleh karena itu pemakaian
pintas ini biasanya dibatasi lama pamakaiannya, paling lama 6 bulan. Hal ini
jarang dilakukan lagi.
b. Fistula Arteriovenisa Interna Fistula Arteriovenisa Interna pertama kali dibuat
oleh Brescia dan Cimino pada tahun 1966 yaitu menghubungan arteri dan
vena yang berdekatan dengan cara operatif, biasanya dilakukan pada daerah
tangan. Aliran dan tekanan darah dalam vena akan meningkat sehingga
menyebabkan pelebaran lumen vena dan arterialisasi vena secara perlahan-
lahan. Dengan demikian memudahkan penusukan pembuluh darah sesuai
dengan yang diharapkan.
c. Antikoagulan Selama hemodialisa berlangsung diperlukan antikoagulan agar
tidak terjadi pembekuan darah, yang biasanya digunakan heparin. Pemakaian
heparin ini dikenal dengan heparinisasi, macam heparinisasi :
a) Heparinisasi sistemik Digunakan pada hemodialisa kronik yang stabil.
Bolus heparin 1000 – 5000 unit tiap jam. Pada jam terakhir tidak
diberikan lagi.
b) Heparinisasi regional (sedang haid) bolus heparin tetap diberikAN
sebanyak 1000 – 5000 unit, selanjutnya diinfuskan sebelum ginjal buatan
dan protamine sulfat, sesudah ginjal buatan, sebelum darah masuk
kedalam tubuh penderita. Jadi heparin diberikan pada sirkulasi
ekstrakorporeal saja
c) Heparinisasi minimal Diberikan hanya 500 unit saja pada awal tusukan
karena penderita cenderung berdarah selanjutnya tidak diberikan lagi.
7. Komplikasi
Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir
stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan
yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis
saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat
hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (Agarwal & Light, 2010 dalam Pratiwi, 2014).
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam, dan menggigil (Bieber & Himmelfarb, 2013 dalam Pratiwi, 2014)
Tabel 1. Komplikasi Akut Hemodialisis
Komplikasi Penyebab
1. Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,
infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
2. Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak
adekuat
3. Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
4. Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
5. Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
6. Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
7. Dialysis disequilibirium Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral.
8. Masalah pada dialisat Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat
Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal
9. Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus,
gejala neurologi, aritmia
10. Kontaminasi bakteri/ Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi
endotoksin dari dialisat maupun sirkuti air
b. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy,
Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan,
infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease (Bieber & Himmelfarb,
2013).

8. Penatalaksanaan
Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya
memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit
ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan
kehidupan pasien yang gagal ginjal (Anita, 2012 dalam Hermawati, 2017).
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap
dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan predictor yang penting untuk
terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2
gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi.
Asupan kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan,
karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak
dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah
urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120
mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium
akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum.
Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi
kenaikan berat badan yang besar (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2006 dalam Hermawati, 2017).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui
ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung,
antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk
memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek
toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010 dalam
Hermawati, 2017).

9. Peralatan Hemodialisa
1) Dialiser (Dialyzer)
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan
kompartemen darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik
dan tipe membrane yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah.
Semua factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu pada
kemampuannya membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa (klirens).
a. Fungsi :
a) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan
asam urat.
b) Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding
antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif
dalam arus darah dan tekanan negative (penghisap) dalam
kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
c) Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
d) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh,
(Haryono, 2012).
b. Karakteristik Dialiser
Banyak aspek dari dialiser dapat mempengaruhi efektivitas tindakan
hemodialisis, kenyamanan dan keamanan pasien. Hal ini termasuk
Biokompatibiliti (seberapa cocok membran dengan tubuh manusia), luas
permukaan membran, batas berat molekul (ukuran solut yang dapat melewati
membrane). Koefisien ultrafiltrasi dan klirens (kecepatan keluarnya solut),
(Cahyaningsih,2008).
2) Dialisat atau cairan dialisis
a. Tujuan Dialisat
Dialisat adalah cairan yang membantu mengeluarkan sampah uremik
seperti ureum dan kreatinin dan kelebihan elektrolit seperti sodium dan
kalium, dari dalam darah pasien. Dialisat juga dapat mengganti substansi
yang dibutuhkan tubuh seperti kalsium dan bikarbonat yang membantu
menjaga keseimbangan pH tubuh.
b. Komposisi dialisat
Ada dua konsentrat dialisat : acid dan bikarbonat
a) Konsentrat acid mempunyai jumlah yang diinginkan dari sodium
chloride, calcium chloride, magnesium chloride, calcium chloride,
glucose chloride, dan asam asetat. Asam asetat ini ditambahkan untuk
menurunkan pH dialisat.
b) Konsentrat bikarbonat mempunyai kandungan sodium bikarbonat,
(Cahyaningsih, 2008).
Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama
dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan
bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu
besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien
minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi
pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk dialisat
harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh
pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, tetapi dapat
dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
Sistem pemberian dialisat. Unit pemberian tunggal memberikan dialisat
untuk satu pasien : system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk
20 unit pasien. Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan
alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat air.
(Haryono, 2012).
3) Asesoris peralatan
Peranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi
pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk
pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan
tekanan, udara, dan kebocoran darah. (Haryono, 2012 : 96).
10. Prosedur Pelaksanaan Hemodialisis
1) Tahap persiapan
a. Mesin sudah siap pakai
b. Alat lengkap (set HD)
a) Dialyzer
b) Av blood line
c) Av vistula
d) Cairan dialisat pekat
e) Infuse set
f) Spuit 1 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc
g) Kassa steril
h) Hanschoen steril
i) Pinset, dock, klem steril
j) Gunting dan plester
c. Obat-obatan
a) Lidocain
b) Alcohol
c) Betadin
d) Heparin
e) Kalmetason
f) Anti histamine & Nacl 0,9%
d. ADM
a) informed consent
b) Formulir hemodialisis dan travelling dialysis
2) Tahap pelaksanaan
a. Penjelasan pada klien dan keluarga
b. Timbang berat badan
c. Atur posisi, observasi TTV
d. Siapkan sirkulasi mesin
e. Persiapkan tindakan steril pada daerah punksi
f. Lakukan penurunan vena (out let dan in let) dengan AV fistula fiksasi
kemudian tutup dengan kasa steril
g. Berikan bolus heparin dosis awal, Heparin 5000 Ui encerkan 1 cc menjadi
10 cc dengan NaCl
h. Memulai HD:
a) Hubungkan sirkulasi mesin dengan klien
b) Jalankan pompa darah dengan 26 ± 100 ml/’ sampai sirkulasi darah
terisi semua
c) Cairan priming ditampung Ukur jumlahnya.
d) Hubungkan selang-selang untuk semua monitor
e) Pompa heparin dijalankan
f) Catat keluhan dan masalah sebelum hemodialisis
3) Tahap penghentian
a. Siapkan alat yang dibutuhkan
b. Ukur TTV
c. 5 menit pre hemodialisis berakhir 26 diturunkan sekitar 100 cc/l, UFR:0
d. Blood pump stop
e. Ujung ABL di klem, jarum dicabut, bekas tusukan intel ditekan dengan
kassa steril yang diberi betadin.
f. Hubungkan dengan ujung ABL dengan infuse set
g. Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan didorong NaCL 0,9% (± 50.100
cc)
h. Setelah outlet dicabut, bekas punksi outlet dengan kassa steril + betadin
i. Ukur TTV
j. Timbang berat badan, (Wijaya dan Putri, 2013).

11. Dosis dan adekuasi


Kecukupan dialysis ditentukan berdasarkan kriteria klinis dan atas dasar
formula Kxt/V, seperti yang direkomendasikan oleh KDOQL, K adalah Kliren
urea dari dialiser, t adalah lama dialysis dan V adalah volume distribusi urea
(Rocco et al., 2015).
Dosis Hemodialisis merupakan jumlah bersihan fraksi urea dalam satu sesi
dialysis yang dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien, fungsi ginjal sisa, asupan
protein dan makanan, derajat anabolisme atau katabolisme, dan adanya
komorbid. Kecukupan (Adequacy) dialysis menjadi target dosis dialysis saat ini
dipakai juga URR (%Urea Reduction Rate) atau besarnya penurunan ureum
dalam persen. URR = 100% x (1-(ureum sebelum/ ureum sesudah dialysis)).
Pada hemodialisis yang dilakukan 3 kali seminggu dianjurkan target URR setiap
kali hemodialisa adalah diatas 65%.
Untuk setiap sesi dialysis, status fisiologis pasien harus dinilai sehingga
resep dialysis dapat disejajarkan dengan tujuan setiap terapinya (Sari, 2017).
1. Menghitung Adekuasi Hemodialisis
a. Rumus Logaritma Natural Kt/V
RRU dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar urea
predialisis dibagi kadar urea pasca dialisis. RRU adalah prosentase dari urea yang
dapat dibersihkan dalam sekali tindakan hemodialisis. RRU merupakan cara
paling sederhana dan praktis untuk menilai adekuasi hemodialisis, tetapi tidak
dapat dipakai untuk merencanakan dosis hemodialisis.
Kt pada Kt/V urea adalah jumlah bersihan urea dari plasma per satuan
waktu dan V merupakan volume distribusi dari urea dalam satuan liter.K adalah
klearensi dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari KoA dializer serta kecepatan
aliran darah dan kecepatan aliran dialisat, t adalah waktu tindakan hemodialisis
dalam satuan menit. Kt/V akan bernilai lebih dari 1,2 saat evaluasi menandakan
bahwa sudah mencukup syarat normal. Kt/V menjadi metode pilihan untuk
mengukur dosis dialisis yang diberikan karena lebih akurat menunjukkan
penghilangan urea, bisa dipakai untuk mengkaji status nutrisi pasien dengan
memungkinkan perhitungan angka katabolisme protein yang dinormalisir, dan
bisa dipakai untuk peresepan dialisis untuk penderita yang memiliki fungsi renal
residual.5,20. Dalam menggunakan rumus ini diasumsikan bahwa konsep yang
dipakai adalah model single-pool urea kinetik. Cara ini merupakan
penyederhanaan dari perhitungan Model Kinetic Ureum (MKU), dimana Kt
merupakan jumlah bersihan ureadari plasma dan V merupakan volume distribusi
dari urea. K dalam satuan L/menit,diperhitungkan dari KoA dializer serta
kecepatan aliran darah dan kecepatan alirandialisat, t adalah waktu tindakan HD
dalam satuan me nit, sedangkan V dalam satuanliter. Rumus yang dianjurkan oleh
NKF-DOQI adalah generasi kedua yang dikemukakanoleh Daugirdas.
Kt/V = -Ln (R - 0,008 x t) + (4 - 3,5 x R) x UF/W

Dimana :
a. Ln adalah logaritma natural.
b. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis
c. t adalah lama waktu dialisis dalam jam.
d. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
e. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.
Penghitungan dilakukan sesuai dengan Rumus Linier Daugirdas yang lebih
sederhana berupa:
Kt/V=2,2 – 3,3 (R-0,03) - UF/W)
Dimana :
a. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis.
b. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
c. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kilogram.
d. Re-evaluasi dari data NCDS menunjukkan bahwa Kt/V kurang dari 0,8
dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas, sedangkan Kt/V1,0-1,2
dihubungkan dengan mortalitas yang rendah. Batasan minimal Kt/V ialah
lebih dari 1,2 untuk penderita yang menjalani hemodialisis 3 kali seminggu.
Sedangkan untuk kelompok penderita diabetes, Collins menganjurkan
menaikkan Kt/V menjadi 1,4.Hemodialisis 2 kali seminggu hanya dilakukan
untuk sementara dan hanya untuk penderita yang masih mempunyai klirensia
> 5 ml/menit.
b. Rumus-rumus sebelumnya :
1. Kt/V = Ln(BUN sebelum HD/BUN sesudah HD) (Gotch,1985)
2. Kt/V = 0,04 PRU-1,2 (Jindal,1987)
BUN sebelum HD – BUN sesudahHD
3. Kt/V = (Barth, 1988)
BUN mid
4. Kt/V = -ln(R-0,008t)- UF/W) (Daugirdas, 1989)
5. Kt/V = -ln(R-0,03-UF/W) (Manahan, 1989)
6. Kt/V = 0,026PRU-0,46 (Dugirdas, 1990)
7. Kt/V = 0,023PRU-0,284 (Basile,1990)
8. Kt/V = 0,062PRU-2,97 (Kerr, 1993)
PRU=Percent Reduction Urea = (BUN sebelum HD-BUN sesudah HD) x
100/BUNsebelum HD

c. Rasio Reduksi Urea (RRU).


Cara lain untuk mengukur adekuasi hemodialisis adalah dengan mengukur
RRU. Rumus yang dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut :
RRU (%) = 100 x (1-Ct/Co)

Keterangan : Ct adalah BUN setelah hemodialisis dan Co adalah BUN sebelum


hemodialisis.
Cara ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran
AHD. Banyak dipakai untuk kepentingan epidemiologi, dan merupakan prediktor
terbaik untuk mortalitas penderita HD reguler. Kelemahan cara ini karena tidak
memperhitungkan faktor ultrafiltrasi, protein catabolic rate (PCR) dan sisa klirens
yang masih ada. Cara ini juga tidak dapat dipakai untuk merencanakan dosis HD.
NKF-DOQI memakai batasan bahwa HD harus dilakukan dengan RRU > 65%.
Dalam sebuah penelitian dengan menggunakan RRU untuk mengukur dosis
dialisis, telah ditunjukkanbahwa penderita yang menerima RRU ³60% memiliki
mortalitas yang lebih rendah dari yang menerima RRU 50%.

d. Cara alternatif untuk menilai AHD.


a) Percent Reduction Urea (PRU).
Perhitungan Kt/V dengan menggunakan PRU tidak dianjurkan oleh NKF-
DOQI karena dapat menyebabkan penyimpangan sampai 20%. Jika batasan
kesalahan terhadap MKU yang dapat ditoleransi sampai 5%, maka rumus dari
Jindal hanya akurat untuk Kt/V=0,9-1,1. Sedangkan untuk rumus dari Basile
hanya akurat untuk Kt/V= 0,6 sampai 1,3.
b) Total Dialysate Collection.
Pengumpulan dialisat total, sebenarnya cara ini dapat menjadi standar baku
pengukuran HD, akan tetapi pengumpulan dialisat yang mencapai 90-150 liter
tidak praktis.
c) Waktu tindakan HD.
Waktu tindakan HD dapat dipakai sebagai pengukur AHD, independen dari
Kt/V ataupun RRU. Makin lama tindakan HD, klirens dari molekul yang lebih
besar dari urea diperkirakan akan lebih baik. Juga akan terjadi intravaskuler
euvolemia yang lebih baik dimana hal ini akan mengurangi komplikasi
kardiovaskuler. Meskipun data penunjang secara klinis belum lengkap, lama
HD yang dianjurkan minimal adalah 2,5jam.
d) Urea removal indek (URI).
Adalah indek pembersihan dari urea merupakan cara baru untuk
mengukurAHD, dan masih sangat sedikit pengalaman klinis dalam
penggunaannya.
Waktu tindakan hemodialisis dapat dipakai sebagai pengukur analisis
hemodialisis, independen dari Kt/V ataupun RRU. Semakin lama tindakan
hemodialisis, klirens dari molekul yang lebih besar dari ureum diperkirakan akan
lebih baik. Selain itu juga akan mengakibatkan terjadinya intravaskuler
euvolemia yang lebih baik dan dapat mengurangi komplikasi
kardiovaskuler.Hemodialisis dianggap adekuat, jika :
1. Morbiditas / mortalitas menurun jangka pendek / panjang
2. Pelaksanaan secara rutin
3. Kualitas hidup baik
4. Parameter :
Kt/v: 0,7 – 1,2
URR: 55 – 75% (rata-rata 65%)
a. Dosis adekuasi hemodialisis adalah sebagai berikut :
1. Setiap pasien diberi catatan program perkembangan dari awal hemodialisis
2. Penentukan Kt/v, dosis HD (Delivery Dose)
3. Target Kt/v 1,2; URR 65% dengan HD 3 kali per minggu selama 4 jam
atau HD 2 kali per mingguselama 4 hingga 5 jam
4. Kt/v URR setiap bulan
b. Untuk peritoneal dialisis :
1. Nilai Clearance
2. Target Kt/v minimal 1,7 per minggu
3. Target Creatinin Clearance 60L per minggu padahigh average. Sedangkan
pada low average50L per minggu
c. Ketika hemodialisis berlangsung, dilakukan pemantauan sebagai berikut:
1) Pengukuran Kt/v total mingguan Creatinin Clearance tiap 4minggu
setelah dialisis
2) Pengukuran Creatinin Clearance dan Kt/v, residual function harus diulang
tiap 2 bulan pada APD dan tiap 4 – 6 bulan pada CAPD, bila :
a. Volume urine menurun tajam
b. Overload cairan
c. Perburukan uremia secara klinis / biokemis.

e) Mengukur KT/V yang Diberikan


Secara individual semestinya kita harus selalu merencanakan dosis HD
yangakan dilakukan dalam setiap tindakan HD, adapun target minimal yang
ditentukan untuk Kt/V =1,2 atau setara dengan RRU ³65% (NKF- DOQI).
Dalam merencanakan dosis HD sebaiknya diperhitungkan Kt/V 1,3 atau
setara dengan RRU 70%, karena terdapatnya hal-hal yang berpengaruh :
1. Yang dilakukan lebih rendah dari yang direncanakan .
a. Aliran darah sebenarnya lebih lambat dari yang tertera dipanel.
b. Aliran darah dilambatkan karena alasan tertentu.
c. Resirkulasi.
d. Waktu tindakan HD yang sesungguhnya lebih pendek dari yang
direncanakan.
e. KoA dializer lebih rendah dari yang tertera dalam spesifikasi pabrik.
f. V penderita lebih besar dari pada yang tertera dalam normogram.
2. Yang dilakukan lebih tinggi dibanding yang direncanakan.
a. Blood urea-nitrogen (BUN) paska-HD lebih rendah karena tidak
tepatnyapengambilan sample seperti resirkulasi kardiopulmonari.
b. V dari penderita lebih kecil dari pada yang tertera dalam normogram.
c. Dializer lebih efisien, waktu tindakan HD lebih panjang.
Pada umumnya kita akan memberikan jumlah dialisis maksimum yang bisa
diterima penderita dalam waktu tertentu. Idealnya memakai dializer dengan nilai
KoAtinggi untuk seluruh penderita, bahkan untuk penderita kecil dan untuk
wanita.Pemakaian dializer KoA tinggi dan penggunaan larutan dialisis bikarbonat
tidak akanmengakibatkan peningkatan efek samping.
Dializer KoA tinggi biasanya relatif lebih mahal.Di beberapa tempat dimana
pemakaian ulang tidak tersedia, dan biaya yang tinggi melemahkan pemakaian
dialyzer ini.Juga dibeberapa tempat yang masih menggunakan larutan dialisis
asetat, pemakaian dializer KoA tinggi bisa meningkatkan efek samping.Terlepas
dari biaya, dializer KoA tinggi (KoA >700) perlu dipakai pada pasien besar,
terutama penderita pria yang besar yang padanya V yang ditafsirkan >45 liter.
Pada penderita besar dialysis selama 4 jam, memakai dializer KoA rendah,
walaupun kecepatan aliran darah tinggi tidaklah mungkin memadai.11 Dializer
KoA tinggi juga perlu dipakai dalam dialysis singkat (<3,5 jam). Kecepatan aliran
darah yang tinggi dan menggunakan dialiser KoA rendah tidak akan memberikan
dialisis yang memadai.
Pemakaian kecepatan aliran darah yang tinggi, dialiser KoA tinggi, dan
durasi dialisis pendek bisa memberikan penghilangan ureum yang memadai tetapi
tidak selalumenjamin klearensi yang memuaskan dari bahan berat molekul yang
lebih besar, karena penghilangan bahan ini tidak meningkat dengan kecepatan
aliran darah yang tinggi. Pada saat ini banyak pusat dialisis yang memakai dializer
besar dengan membran fluks tinggi, yang memiliki klearensi molekul tengah yang
lebih tinggi dari pada dialiser yang lama. Beberapa pusat dialisis masih
mendukung pendekatan dialysis yang lama dan lambat dengan memakai dializer
KoA rendah serta kecepatan arus darah relatif rendah, dan lama dialisis 4 jam atau
lebih dan memberikan Kt/V ³1,0.
Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa perlunya pemberian dosis HD
yang maksimum agar tercapai target AHD, seperti penelitian Port FK dkk
melaporkan bahwa penderita dengan RRU >75% dibanding RRU 70-75%
mempunyai resiko relatif lebih rendah daripada RRU 70-75% pada penderia berat
badan rendah dan sedang. Wood HF dkk membandingkan membran high-flux dan
membran low-flux polysulfone, mendapatkan bahwa membran high-flux
menurunkan resiko mortalitas pada penderita non diabetetes.
2. Penggunaan 2 Dializer Paralel Atau Seri Meningkatkan AHD.
Terjadinya peningkatan mortalitas dan morbiditas penderita HD reguler
padasaat ini masih menjadi masalah.Dari penelitian dilaporkan bahwa salah satu
penyebabmortalitas yang tinggi dan tidak produktifnya penderita tersebut karena
tindakan HDyang tidak adekuat. Seperti pada penelitian Ifudu dkk mendapatkan
bahwa dosishemodialisis standard pada penderita dengan berat badan lebih dari
68,2 kg tidakmendapatkan hasil yang adekuat. Penelitian Wolfe dkk mengenai
luas permukaantubuh, dosis HD dan mortalitas mendapatkan luas permukaan
tubuh berhubungandengan mortalitas serta berkorelasi langsung dengan dosis HD.
Menyatakan bahwadosis HD yang diberikan merupakan keadaan individual.
Penelitian Kuhlmannmelaporkan bahwa penderita dengan volume distribusi urea
>42,0 liter atau luaspermukaan tubuh >2,0 m2 merupakan pasien yang
mempunyai risiko dosis hemodialysis yang tidak adekuat. Penelitian Salahudeen
dkk pada penderita HD berat badan lebihmendapatkan hasil Kt/V lebih rendah
dan berpengaruh negatif terhadap survival.Penelitian Elangovan dkk melaporkan
bahwa walaupun menggunakan dializer yangluas, kec epatan aliran darah dan
aliran dialisat yang tinggi penderita berat badan ³80kg atau volume distribusi urea
>46 liter tidak satupun yang mencapai Kt/V 1,45 setaradengan RRU >70%,
penelitian tersebut menganjurkan perlu terobosan HD pada penderita berat badan
besar.
Oleh karena hal tersebut berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan
AHD.Telah diketahui bahwa untuk meningkatkan AHD dapat dilakukan dengan
memperlama waktu dialisis, meningkatkan kecepatan aliran darah dan atau aliran
dialisat,meningkatkan luas permukaan membran dializer dengan memakai dializer
KoA tinggi.
Akhir-akhir ini meningkatkan AHD dapat dilakukan dengan meningkatkan
luas permukaan membran dializer dengan memakai memakai 2 dializer yang
dihubungkan secara paralel atau secara seri.
Ari dalam penelitiannya melaporkan bahwa penggunaan 2 coil dializer
secara seri dapat mempersingkat lama waktu HD.
Nolph dkk penelitiannya menggunakan 2 dializer paralel mendapatkan total
klearens berat molekul rendah (ureum) yang menurun, menyimpulkan terdapatnya
efikasi dialisis.
Sridhar dkk penelitian pada penderita berat badan ³95 kg membandingkan
penggunaan 2 dializer paralel dan dializer tunggal melaporkan 2 dializer paralel
dapat meningkatkan Kt/V.
Powers dkk menggunakan 2 dializer dihubungkan secara paralel pada
penderita dengan berat badan besar mendapatkan RRU meningkat bermakna.
Denninson menggunakan 2 dializer yang dihubungkan secara seri untuk
meningkatkan AHD mendapatkan perbaikan RRU dari 52% menjadi 64%, dan
menyimpulkan bahwa 2 dializer seri tersebut dapat meningkatkan RRU 23 %.
Fritz dkk membandingkan 2 dializer yang dihubungkan secara paralel dan 2
dializer yang dihubungkan secara seri mendapatkan bahwa Kt/V dan RRU dari
penderita tersebut tidak mempunyak perbedaan yang bermakna dan juga
melaporkan 83% penderta mendapatkan target adekuasi hemodialisis dari 2
dializer yangdihubungkan secara paralel ataupun 2 dializer yang dihubungkan
secara seri.
Pada penelitian lainnya dikatakan tidak ada perbedaan 2 dializer seri dan 2
dializer paralel, tetapi 2 dializer seri mempunyai keuntungan lebih praktis dan
mudah dalam pelaksanaanya. Gerhartd dkk. Penelitiannya membandingkan 2
dializer paralel dan 2 dializer seri, pada 167 penderita masing-masing 112
penderita menggunakan 2 dializer paralel dan 55 penderita menggunakan 2
dializer seri menyimpulkan bahwa efektifitas kedua alat tersebut hampir sama,
tetapi hubungan seri lebih mempunyai keuntungan praktis.
12. Durasi Hemodialisis
Waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu,
tiap hemodialisa dilakukan 4-5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu.
Hemodialisa idealnya dilakukan 10-15 jam/minggu dengan memerlukan QB 200-
300 mL/menit. Sedangkan merurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan
waktu 3-5 jam dan dilakukuan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2-3 hari
diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi.
Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah
merah rusak dalam proses hemodialisa, (Nuari dan Widyati, 2017)

13. Asupan Nutrisi pada pasien Hemodialisis


Ketika ginjal tidak dapat bekerja dengan baik, sampah-sampah sisa hasil
metabolisme dari apa yang dimakan dan diminum akan menumpuk dalam tubuh
karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini mengapa diet khusus penting
dipatuhi pasien.
Tujuan terapi diet dan intervensi nutrisi pada pasien hemodialisa yaitu
untuk mencapai dan menjaga status nutrisi yang baik. Maka dari itu, sangat
penting dilakukan pendidikan tentang prinsip-prinsip terapi diet dan targetnya.
(Cahyaningsih, 2011)
Tabel 2 : Kebutuhan Nutrisi Pasien dengan Hemodialisa
Kebutuhan Nutrisi Jumlah
Asupan Protein 1,2 g/kg BB/hari, bila secara klinis pasien stabil
(setidaknya 50% dari diet protein dengan nilai
biologi tinggi).
Asupan energy 35 kcal/kg BB/hari dengan umur <60 tahun, 30-
35 kcal/kg BB/hari dengan ≥ 60 tahun
Lemak 30% dari total intake energi
Natrium 750-2000 mg/hari
Kalium 70-80 mEq/L
Fosfor 10-17 mg/kg/hari
Calcium ≤ 1000 mg/hari
Magnesium 200-300 mg/hari
Vitamin B1 1,1 – 1,2 mg/hari
Vitamin B2 1,1 – 1,3 mg/hari
Vitamin B5 5 mg/hari
Biotin 30 µg/hari
Niacin 14-16 mg/hari
Vitamin B6 10 mg/hari
Vitamin B12 2,4 µg/hari
Vitamin C 75-90 mg/hari
Asam Folat 1-10 mg/hari
Sumber : Nutritional management ogf renal disease (2004) dalam Cahyaningsih
(2011)

B. Konsep keperawatan
1. Pengkajian
1) Biodata
a. Nama :
b. Umur : Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun
c. Jenis Kelamin :
d. Pekerjaan :
e. Agama :
f. Alamat :
g. Pendidikan :
2) Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Pada pasien GGK yang akan dilakukan hemodialisa biasanya mengeluh
mual, muntah, anorexia, akibat peningkatan ureum darah dan edema
akibat retensi natrium dan cairan.
b. Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu ditanya penyakit-penyakit yang pernah diderita klien sebagai
penyebab terjadinya GGK, seperti DM, glomerulonefritis kronis,
pielonefritis. Selain itu perlu ditanyakan riwayat penggunakan
analgesik yang lama atau menerus.

c. Riwayat Kesehatan Keluarga


Perlu ditanyakan apakah orang tua atau kelauarga lain ada yang
menderita GGK erat kaitannya dengan penyakitketurunannya seperti
GGK akibat DM.
3) Kebutuhan Yang Terganggu
a. Makan/ minum
Biasanya terjadi penurunan nafsu makan sehubungan dengan keluhan
mual muntah akibat peningkatan ureum dalam darah.
b. Eliminasi
Biasanya terjadi ganggutian pengeluaran urine seperti oliguri, anuria,
disuria, dan sebagainya akibat kegagalan ginjal melakukan fungsi
filtrasi, reabsorsi dan sekresi.
c. Aktivitas
Pasien mengalami kelemahan otot, kehilangan tonus dan penurunan
gerak sebagai akibat dari penimbunan ureum dan zat-zat toksik lainnya
dalam jaringan.
d. Istrahat/ tidur
Pasien biasanya mengalami gangguan pola istrahat tidur akibat
keluhan-keluhan sehubungan dengan peningkatan ureum dan zat-zat
toksik seperti mual, muntah, sakit kepala, kram otot dan sebagainya.
4) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : lemah dan penurunan tingkat kesadaran akibat
terjadinya uremia
b. Vital sign : biasanya terjadi hipertensi akibat retensi cairan dan natrium
dari aktivitas sistim rennin
c. BB : Biasanya meningkat akibat oedema
d. Inspeksi
a) Tingkat kesadaran pasien biasanya menurun
b) Biasanya timbul pruritus akibat penimbunan zat-zat toksik pada
kulit
c) Oedema pada tangki, acites, sebagai akibat retensi caira dan natrium
e. Auskultasi
Perlu dilakukan untuk mengetahui edema pulmonary akibat
penumpukan cairan dirongga pleura dan kemungkinan gangguan
jantung (perikarditis) akibat iritasi pada lapisa pericardial oleh toksik
uremik serta pada tingkat yang lebih tinggi dapat terjadi gagal jantung
kongestif.
f. Palpasi
Untuk memastikan oedema pada tungkai dan acietas.
g. Perkusi
Untuk memastikan hasil auskultasi apakah terjadi oedema pulmonar
yang apabila terjadi oedema pulmonary maka akan terdengar redup
pada perkusi.
5) Data psikologis
Pasien biasanya mengalami kecemasan akibat perubahan body image,
perubahan peran baik dikeluarga maupun dimasyarakat. Pasien juga
biasanya merasa sudah tidak berharga lagi karena perubahan peran dan
ketergantungan pada orang lain.
6) Data sosial
Pasien biasanya mengalami penurunan aktivitas sosial akibat penurunan
kondisi kesehatan dan larangan untuk melakukan aktivitas yang berat.
7) Data Penunjang
a. Rontgen foto dan USG yang akan memperlihatkan ginjal yang kecil dan
atropik
b. Laboratorium :
a) BUN dan kreatinin, terjadi peningkatan ureum dan kreatinin dalam
darah
b) Elektrolit dalam darah : terjadi peningkatan kadar kalium dan
penurunan kalium.
2. Diagnosa Dan Intervensi
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
1 Pola nafas tidak efektif Pola nafas efektif 1. Beri O2
b.d Penumpukan cairan dengan criteria : nasal/masker/reservoir sesuai
pada paru a. Klien mengatakan dengan tingkat sesak
a. Asidosis sesak berkurang 2. Atur posisi semi fowler/
b. Anemia b. RR 16-20 x/mnt fowler
c. Hiperkalemia c. Tidak ada 3. Kolaborasi dengan medis
Karakteristik : pernafasan cuping prescript HD
a. Klien mengeluh sesak hidung 4. Lakukan UF didepan bila
b. RR > 30 x/mnt d. Tidak ada tarikan perlu
c. Pernafasan cuping intercostae 5. Atur UFR
hidung e. Nilai BGA Post 6. Kolaborasi dengan medis
d. Tarikan intercostae HD normal dalam pemberian tranfusi
e. Lab BGA menunjukkan f. Nilai Kalium post jika Hb < 7 mg/dl
asidosis (pH > 7,45 dll) HD normal 7. Observasi Sign Vital
f. Hb < 7 mg/dl g. Kadar HB > 7
g. Adanya Ronchi mg/dl
h. Sputum campur darah
2 Gangguan rasa nyaman: a. Kram 1. Anjurkan klien untuk
kram b.d. berkurang/hilang relaksasi, hiperekstensi
a. Hipotensi dengan criteria bagian tubuh yang kram.
b. Keluhan
b. UFR↑/penarikan cairan kram
2. Lakukan distraksi, kaji
di bawah BB kering berkurang
c. Otot yang kram penyebab kram, ukur
c. Kandungan sodium
rileks tekanan darah
pada cairan dialisat
rendah d. Klien nampak 3. Bila disertai hipotensi,
d. Hipokalsemi tenang berikan normal salin;diikuti
e. Tensi dalam batas pemberian larutan hipertonik
normal dianjurkan glukosa 40%
Karakteristik:
Klien mengeluh kram (tidak diberikan pada klien
Otot pada anggota tubuh diabetic)
yang kram nampak tegang 4. Kolaborasi pemberian
Klien nampak kesakitan kalsium iv bila hipokalsemi
Klien nampak gelisah 5. Kolaborasi pemberian
Tensi menurun relaksan oral 2 jam sebelum
dialysis
6. Evaluasi BB kering klien,
atur UF Goal dengan hati-
hati
7. Anjurkan kepada klien untuk
latihan peregangan pada
anggota badan yang serting
kram
8. atur nilai sodium pada cairan
dialisat tidak terlalu rendah.
3 Gangguan rasa nyaman: a. Ekspresi wajah 1. Observasi tanda vital, kaji
nyeri kepala b.d tenang tingkat nyeri
a. Sindroma dis- b. Keluhan sakit 2. Anjurkan relaksasi dan
equilibrium ringan kepala
lakukan distraksi
b. Penggunaan larutan berkurang/hilang
c. Gelisah (-) 3. Turunkan QB sampai batas
dialisat yang
d. Minum kopi minimal (150 ml/mnt)
mengandung asetat
c. Penarikan kafein dari terkendali 4. Ganti dialisat asetat dengan
darah secara mendadak e. Qb minimal bicnat
bagi klien peminum f. Menggunakan 5. Berikan asetaminofen sesuai
kopi dialisat bicnat anjuran
Karakteristik: g. Time dialysis
6. Anjurkan untuk membatasi
terkendali
a. Klien mengeluh sakit kopi sebelum cuci darah
kepala 7. Hentikan dialysis bila sakit
b. Ekspresi wajah nampak
kepala tidak hilang
meringis
c. Nampak gelisah
d. Riwayat peminum kopi
e. QB tinggi
f. Penggunaan dialisat
asetat
g. Time dialysis terlalu
lama
4 Resiko terjadi hipotensi Hipotensi tidak terjadi 1. Monitor tanda vital tiap
b.d. dengan criteria: jam/lebih sering bila perlu
1. Penurunan volume darah a. Tanda vital dalam sebagai deteksi dini
yang berlebihan akibat: batas normal hipotensi
a. Fluktuasi UFR b. Keluhan pusing, 2. Kaji adanya keluhan mual,
b. UFR yang tinggi mual (-)
pusing sebagai deteksi dini
akibat peningkatan BB c. UFR tidak lebih
dari selisih BB per hipotensi
yang tinggi 3. Atur UFR dengan cara: BB
time dialysis < 5%
c. BB kering yang terlalu BB kering sebelum cuci dikurangi BB
rendah d. Mengkonsumsi kering dibagi time dialysis
d. Sodium cairan dialisat OAH pada wakrtu tidak lebih dari 5% BB
terlalu rendah yang tepat kering
2. Penurunan fungsi e. Menggunakan
4. Anjurkan tidak
vasokonstriksi akibat dialisat bicnat, Na
ditingkatkan, suhu mengkonsumsi OAH
a. Obat anti hipertensi
diturunkan sebelum cuci
(OAH)
f. BB kering 5. Atur pemberian dialisat :
b. Cairan dialisat asetat
terkendali a. Gunakan bicnat hindari
c. Suhu cairan dialisat
terlalu panas asetat
3. Penurunan fungsi jantung b. Tingkatkan nilai sodium
a. Kegagalan c. Turunkan suhu dialisat ke
meningkatkan denyutan 34-36°C
jantung secara tepat 6. Re-evaluasi BB kering
karena penurunan 7. Anjurkan untuk tidak makan
pengisiannya akibat: secara berlebihan saat
memakan β bloker, menjalani HD
neuropati
8. Bila diketahui tensi menurun
otonom uremikum,
ketuaan. dan terdapat keluhan pusing:
b. Ketidak mampuan a. Berikan oksigen lembab
meningkatkan kardiak b. Atur posisi kepala lebih
output karena alas an rendah
lain : penurunan c. Turunkan UFR serendah
kontraktilitas otot mungkin
jantung akibat ketuaan, d. Berikan normal salin 100
hipertensi, cc/lebih
aterosklerosis, e. Berikan larutan hipertonis
kalsifikasi miokardial,
penyakit katup,
amiloidosis dll
4. Sepsis, perdarahan samar,
arritmia, hemolisis,
emboli udara, anafilksis
Karakteristik
a. Klien mengeluh pusing,
mual, kram
b. Tensi menurun
c. UFR tinggi
d. Suhu dialisat rendah
e. Sodium dialisat terlalu
rendah
f. Pemakan asetat dialisat
g. Ureum sangat tinggi
h. Riwayat mengkonsumsi
OAH sebelum dialysis
5 Perubahan pola nutrisi a. Keluhan mual- 1. Monitor BB, kadar ureum,
b.d. muntah, tidak kreatinin, protein total,
1. Pembatasan diet napsu makan albumin, dan elektrolit
2. Mual-muntah berkurang/hilang
sebagai indicator dari
3. Anoreksia b. Protein total dan
albumin dalam adekuasi dialysis, status gizi
4. Penurunan BB kering
batas normal dan respon therafi
5. Gangguan
keseimbangan elektrolit c. BB kering 2. Anjurkan perawatan mulut
Karakteristik: terpelihara untuk mencegah stomatitis,
a. Klien mengeluh mual- membuang bau mulut
muntah, tidak nafsu 3. Berikan makanan porsi kecil
makan tapi sering dalam keadaan
b. BB kering menurun
c. Bau mulut (+) hangat
4. Anjurkan klien untuk
memilih makanan yang
diperbolehkan
5. Berikan makanan dengan
kalori 35 kcal/kgBB/hari
untuk mengimbangi proses
katabolisme dialysis dan
memelihara BB kering
6. Batasi protein 1,2
gr/kgBB/hari dan batasi
fosfat untuk mengurangi
metabolisme dan produk
ureum, kalium, fosfat dan
H+
7. Berikan permen dan
sejenisnya untuk
meningkatkan rasa pada
klien yang tidak menderita
DM
6 Gangguan keseimbangan a. Klien mengatakan 1. Monitor peningkatan tensi,
cairan : overload b.d. bengkak edema perirbital dan
Penurunan fungsi ginjal berkurang/hilang peripheral
b. Klien mengatakan
dalam dalam mengatur 2. Auskultasi paru untuk
sesak berkurang
keseimbangan cairan dan c. Edema (-) mengidentifikasi adanya
elektrolit d. Peningkatan BB cairan dalam paru
interdialitik tidak 3. Ajarkan klien untuk
Karakteristik: lebih dari 5% BB pentingnya pengendalian dan
a. Klien mengeluh kering pengukuran air dan berat
bengkak-bengkak pada e. Pola napas normal, badan untuk mencegah
perut, wajah atau RR Normal
overhidrasi; jumlah air yang
anggota gerak, sesak
diminum = 500 cc + diuresis
b. Anuri/oliguri (+)
c. Hipertensi (+) / hari
d. Peningkatan BB yang 4. Ajarkan klien tentang diet
signifikan rendah sodium untuk
e. Pernapasan pendek- mengontrol edema dan
cepat hipertensi
f. Ronchi (+), edema paru 5. Ajarkan klien agar
peningkatan BB interdialitik
tidak lebih dari 5% BB
kering
6. Berikan oksigen lembab bila
sesak
7. Lakukan UF untuk mencapai
BB kering
8. Lakukan SQHD bila perlu
7 Gangguan rasa aman: a. Karakteristik: 1. Mengkaji tingkat
cemas b.d. b. Perilaku yang tidak kecemasan:
1. Perubahan konsep diri patuh a. Apabila ringan sampai
2. Ancaman fungsi peran c. Penolakan
sedang, dilanjutkan dengan
3. Ketidakpastian d. Cemas
hasil
e. Mudah marah penyelesaian masalah
terafi pengganti ginjal
f. Peningkatan (problem solving)
4. Batasan-batasan diet
obat dan penanganan denyut jantung, b. Apabila berat-panik, kurangi
5. Berkurangnya rasa RR, dan tensi tuntutan-tuntutan pada klien,
kendali diri g. Ketidakmampuan mencegah prosedur yang
berkonsentrasi tidak perlu, gunakan teknik
Karakteristik: focusing dan relaksasi
a. Perilaku yang tidak 2. Mengkaji stressor tertentu
patuh terhadap ancaman-ancaman
b. Penolakan yang tidak spesifik dan
c. Cemas
umum
d. Mudah marah
e. Peningkatan denyut 3. Menunjukkan sikap
jantung, RR, dan tensi pengertian
f. Ketidakmampuan 4. Mempertahankan cara yang
berkonsentrasi santai, tidak mengancam dan
empati
5. Membantu mengidentifikasi
mekanisme koping yang
biasa klien gunakan
6. Identifikasi cara klien
meminimalkan stressor-
stressor yang dihadapinya
7. Berikan umpan balik realistis
terhadap ancaman
nonspesifik yang dihadapi
klien
8. Gali cara-cara klien
mengontrol dirinya
9. Gali konsep diri klien dan
persepsi akan perasaannya
10. Berikan konsistensi terhadap
apa yang kita lakukan
DAFTAR PUSTAKA

Amali. 2018. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Menjalani


Terapi Hemodialisa Pada Pasien Chronic Kidney Disease (Ckd) Di
Ruangan Hemodialisa Di Rsud Dr. M.M Dunda Limboto. Universitas
Muhammadiyah Gorontalo

Cahyaningsih. 2008. Hemodialisis (Cuci darah) Panduan Praktis Perawatan Gagal


Ginjal. Yogyakarta : Mitra Cendekia

Haryono. 2012. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Perkemihan. Yogyakarta :


Rapha Publishing

Hermawati. 2017. Pengaruh Self Management Dietary Counseling Terhadap Self


Care dan Status Cairan Pada Pasein yang Menjalani Hemodialisa di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Pratiwi. 2014. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Depresi Pasien


Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. STIKES’ Aisyah Yogyakarta

Wijaya, dan Putri. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan


Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika

You might also like