Professional Documents
Culture Documents
Oleh
Tim Penyusun :
Liyanovitasari A. Amali
Mitlan Duko
Penyunting:
Ns. Fadli Syamsuddin, Sp.Kep.MB
LAPORAN PENDAHULUAN
HEMODIALISA
A. Konsep Dasar Hemodialisa
1. Definsi
Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui
dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi
kedalam tubuh pasien, (Baradero, Dayrit dan siswadi, 2009 dalam Amali, 2018).
Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat
toksik lainnya melalui membran semi permeable sebagai pemisah antara darah
dan cairan dialisat yang sengaja dibuat dalam dialiser (Hudak dan Gallo 1996
dalam Wijaya dan Putri, 2013).
2. Tujuan
1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan
asam urat
2) Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding
antara darah dan bagian cairan.
3) Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh
4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh,
(Wijaya dan Putri, 2013).
3. Prinsip Hemodialisis
Prinsip-prinsip dasar yang digunakan saat proses hemodialisis ada 2, yaitu
dialisis dan ultrafiltrasi (konveksi). Dialisis adalah suatu proses dimana komposisi
zat terlarut dari satu larutan diubah menjadi larutan lain melalui membran
semipermiabel. Molekul-molekul air dan zat-zat terlarut dengan berat molekul
rendah dalam kedua larutan dapat melewati poripori membran dan bercampur
sementara molekul zat terlarut yang lebih besar tidak dapat melewati barier
membran semipermiabel. Proses penggeseran (eliminasi) zat-zat terlarut (toksin
uremia) dan air melalui membran semipermiabel atau dializer berhubungan
dengan prose difusi dan ultrafiltrasi (konveksi).
a. Difusi
Dihubungkan dengan pergeseran partikel-partikel dari daerah konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah oleh tenaga yang ditimbulkan oleh perbedaan
konsentrasi zat-zat terlarut dikedua sisi membran dialysis, difusi menyebabkan
pergeseran urea, kreatinin dan asam urat dari darah klien ke larutan dialisat
b. Osmosa
Mengangkut pergeseran cairan lewat membran semi permiabel dari daerah
yang kadar partikel-partikel rendah ke daerah yang kadar partikel lebih tinggi.
c. Ultrafiltrasi
Terdiri dari pergeseran cairan lewat membran semi permeabel dampak dari
bertambahnya tekanan yang dideviasikan secara buatan. Proses ultrafiltrasi ini
terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik.
Hemo = darah Dialisis = memisahkan dari yang lain, (Wijaya dan Putri, 2013).
a. Ultrafiltrasi hidrostatik
a) Transmembrane pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut didalamnya
berpindah dari darah ke dialisat melalui membran semipermiabel adalah
akibat perbedaan tekanan hidrostatik antara kompertemen darah dan
kompartemen dialisat. Kecepatan ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan
tekanan yang melewati membran.
b) Koefisien ultrafiltrasi (KUf)
Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi
tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah cairan
(ml/jam) yang berpindah melewati membran per mmHg perbedaan
tekanan (pressure gradient) atau perbedaan TMP yang melewati
membran.
b. Ultrafiltrasi osmotik
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran
semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel
dibanding “A” maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding
konsentrasi larutan “A”. Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke
“B” melalui membran dan sekaligus akan membawa zat -zat terlarut
didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel terhadap membran, akhirnya
konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.
4. Indikasi
Adapun indikasi untuk pasien yang dapat melakukan terapi cuci
darah/hemodialisis ini antara lain :
1) Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus <5 ml)
2) Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila
terdapat indikasi:
a. Hiperkalemia (K+ darah >6 meq/l)
b. Asidosis
c. Kegagalan terapi konservatif
d. Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam (ureum >200 mg%, kreatinin
serum > 6 mEq/l
e. Kelebihan cairan
f. Mual dan muntah hebat
3) Intoksikasi obat dan zat kimia
4) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat
5) Sindrom hepatorenal dengan criteria :
a. K+ pH darah <7,10 asidosis
b. Oliguria/anuria > 5 hr
c. GFR < 5 ml/I pada GGK
d. Ureum darah > 200 mg/dl
5. Kotraindikasi
1) Hipertensi berat (TD >200 / 100 mmHg)
2) Hipotensi (TD < 100 mmHg)
3) Adanya perdarahan hebat
4) Demam tinggi, (Wijaya dan Putri.2013).
6. Akses Sirkulasi darah pasien
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis,
fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis
darurat dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara.
Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk
pemakaian segera dan sementara (Barnett & Pinikaha, 2007 dalam Hermawati,
2017).
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung
(anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan
antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4
sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan (Brruner & Suddart,
2011). Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan
segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum
berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh
darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer.
Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang
sudah didialisis (Barnett & Pinikaha, 2007 dalam Hermawati, 2017).
Tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri
atau vena dari materia gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan lumen sebagai
tempat penusukan jarum dialisis. Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien
sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula (Brunner & Suddart, 2008 dalam
Hermawati, 2017).
Hemodialisme akan efektif jika dialisme dilakukan sekitar 2-6 jam/minggu
pada pasien baru, sedangkan pada pasien yang sudah stabil dan menjalani kronik
hemodialisa sekitar 6 – 18 jam /minggu. Untuk mendapatkan aliran darah yang
besar ( sekitar 200 -300 cc/menit) selama 2-5 jam sangatlah sulit. Biasannya pada
pasien akut kita lakukan pada vena vemoralis, sehingga dapat diperoleh aliran
darah yang besar. Pada pasien dengan program HD berkala yaitu 2 -3 kali/minggu
harus disiapkan penyambungan pembuluha darah arteri dan vena. Ada 2 macam
cara :
a. Pintas (shunt) eksternal Kanula khusus yang mengalirkan darah arteri
langsung ke vena yang berdekatan. Kanula arteri dan vena dihubungan
dengan konektor sehingga pada saat dialisa konektor dibuka lalu kanula arteri
dihubungkan ke slang yang mengalirkan darah ke ginjal buatan dan kanula
vena untuk memasukkan darah kembali ketubuh penderita. Komplikasi yang
sering terjadi, seperti pembekuan darah infeksi, oleh karena itu pemakaian
pintas ini biasanya dibatasi lama pamakaiannya, paling lama 6 bulan. Hal ini
jarang dilakukan lagi.
b. Fistula Arteriovenisa Interna Fistula Arteriovenisa Interna pertama kali dibuat
oleh Brescia dan Cimino pada tahun 1966 yaitu menghubungan arteri dan
vena yang berdekatan dengan cara operatif, biasanya dilakukan pada daerah
tangan. Aliran dan tekanan darah dalam vena akan meningkat sehingga
menyebabkan pelebaran lumen vena dan arterialisasi vena secara perlahan-
lahan. Dengan demikian memudahkan penusukan pembuluh darah sesuai
dengan yang diharapkan.
c. Antikoagulan Selama hemodialisa berlangsung diperlukan antikoagulan agar
tidak terjadi pembekuan darah, yang biasanya digunakan heparin. Pemakaian
heparin ini dikenal dengan heparinisasi, macam heparinisasi :
a) Heparinisasi sistemik Digunakan pada hemodialisa kronik yang stabil.
Bolus heparin 1000 – 5000 unit tiap jam. Pada jam terakhir tidak
diberikan lagi.
b) Heparinisasi regional (sedang haid) bolus heparin tetap diberikAN
sebanyak 1000 – 5000 unit, selanjutnya diinfuskan sebelum ginjal buatan
dan protamine sulfat, sesudah ginjal buatan, sebelum darah masuk
kedalam tubuh penderita. Jadi heparin diberikan pada sirkulasi
ekstrakorporeal saja
c) Heparinisasi minimal Diberikan hanya 500 unit saja pada awal tusukan
karena penderita cenderung berdarah selanjutnya tidak diberikan lagi.
7. Komplikasi
Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir
stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan
yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis
saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat
hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (Agarwal & Light, 2010 dalam Pratiwi, 2014).
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam, dan menggigil (Bieber & Himmelfarb, 2013 dalam Pratiwi, 2014)
Tabel 1. Komplikasi Akut Hemodialisis
Komplikasi Penyebab
1. Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,
infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
2. Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak
adekuat
3. Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
4. Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
5. Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
6. Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
7. Dialysis disequilibirium Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral.
8. Masalah pada dialisat Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat
Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal
9. Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus,
gejala neurologi, aritmia
10. Kontaminasi bakteri/ Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi
endotoksin dari dialisat maupun sirkuti air
b. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy,
Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan,
infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease (Bieber & Himmelfarb,
2013).
8. Penatalaksanaan
Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya
memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit
ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan
kehidupan pasien yang gagal ginjal (Anita, 2012 dalam Hermawati, 2017).
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap
dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan predictor yang penting untuk
terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2
gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi.
Asupan kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan,
karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak
dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah
urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120
mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium
akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum.
Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi
kenaikan berat badan yang besar (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2006 dalam Hermawati, 2017).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui
ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung,
antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk
memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek
toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010 dalam
Hermawati, 2017).
9. Peralatan Hemodialisa
1) Dialiser (Dialyzer)
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan
kompartemen darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik
dan tipe membrane yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah.
Semua factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu pada
kemampuannya membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa (klirens).
a. Fungsi :
a) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan
asam urat.
b) Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding
antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif
dalam arus darah dan tekanan negative (penghisap) dalam
kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
c) Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
d) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh,
(Haryono, 2012).
b. Karakteristik Dialiser
Banyak aspek dari dialiser dapat mempengaruhi efektivitas tindakan
hemodialisis, kenyamanan dan keamanan pasien. Hal ini termasuk
Biokompatibiliti (seberapa cocok membran dengan tubuh manusia), luas
permukaan membran, batas berat molekul (ukuran solut yang dapat melewati
membrane). Koefisien ultrafiltrasi dan klirens (kecepatan keluarnya solut),
(Cahyaningsih,2008).
2) Dialisat atau cairan dialisis
a. Tujuan Dialisat
Dialisat adalah cairan yang membantu mengeluarkan sampah uremik
seperti ureum dan kreatinin dan kelebihan elektrolit seperti sodium dan
kalium, dari dalam darah pasien. Dialisat juga dapat mengganti substansi
yang dibutuhkan tubuh seperti kalsium dan bikarbonat yang membantu
menjaga keseimbangan pH tubuh.
b. Komposisi dialisat
Ada dua konsentrat dialisat : acid dan bikarbonat
a) Konsentrat acid mempunyai jumlah yang diinginkan dari sodium
chloride, calcium chloride, magnesium chloride, calcium chloride,
glucose chloride, dan asam asetat. Asam asetat ini ditambahkan untuk
menurunkan pH dialisat.
b) Konsentrat bikarbonat mempunyai kandungan sodium bikarbonat,
(Cahyaningsih, 2008).
Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama
dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan
bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu
besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien
minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi
pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk dialisat
harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh
pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, tetapi dapat
dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
Sistem pemberian dialisat. Unit pemberian tunggal memberikan dialisat
untuk satu pasien : system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk
20 unit pasien. Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan
alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat air.
(Haryono, 2012).
3) Asesoris peralatan
Peranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi
pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk
pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan
tekanan, udara, dan kebocoran darah. (Haryono, 2012 : 96).
10. Prosedur Pelaksanaan Hemodialisis
1) Tahap persiapan
a. Mesin sudah siap pakai
b. Alat lengkap (set HD)
a) Dialyzer
b) Av blood line
c) Av vistula
d) Cairan dialisat pekat
e) Infuse set
f) Spuit 1 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc
g) Kassa steril
h) Hanschoen steril
i) Pinset, dock, klem steril
j) Gunting dan plester
c. Obat-obatan
a) Lidocain
b) Alcohol
c) Betadin
d) Heparin
e) Kalmetason
f) Anti histamine & Nacl 0,9%
d. ADM
a) informed consent
b) Formulir hemodialisis dan travelling dialysis
2) Tahap pelaksanaan
a. Penjelasan pada klien dan keluarga
b. Timbang berat badan
c. Atur posisi, observasi TTV
d. Siapkan sirkulasi mesin
e. Persiapkan tindakan steril pada daerah punksi
f. Lakukan penurunan vena (out let dan in let) dengan AV fistula fiksasi
kemudian tutup dengan kasa steril
g. Berikan bolus heparin dosis awal, Heparin 5000 Ui encerkan 1 cc menjadi
10 cc dengan NaCl
h. Memulai HD:
a) Hubungkan sirkulasi mesin dengan klien
b) Jalankan pompa darah dengan 26 ± 100 ml/’ sampai sirkulasi darah
terisi semua
c) Cairan priming ditampung Ukur jumlahnya.
d) Hubungkan selang-selang untuk semua monitor
e) Pompa heparin dijalankan
f) Catat keluhan dan masalah sebelum hemodialisis
3) Tahap penghentian
a. Siapkan alat yang dibutuhkan
b. Ukur TTV
c. 5 menit pre hemodialisis berakhir 26 diturunkan sekitar 100 cc/l, UFR:0
d. Blood pump stop
e. Ujung ABL di klem, jarum dicabut, bekas tusukan intel ditekan dengan
kassa steril yang diberi betadin.
f. Hubungkan dengan ujung ABL dengan infuse set
g. Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan didorong NaCL 0,9% (± 50.100
cc)
h. Setelah outlet dicabut, bekas punksi outlet dengan kassa steril + betadin
i. Ukur TTV
j. Timbang berat badan, (Wijaya dan Putri, 2013).
Dimana :
a. Ln adalah logaritma natural.
b. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis
c. t adalah lama waktu dialisis dalam jam.
d. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
e. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.
Penghitungan dilakukan sesuai dengan Rumus Linier Daugirdas yang lebih
sederhana berupa:
Kt/V=2,2 – 3,3 (R-0,03) - UF/W)
Dimana :
a. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis.
b. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
c. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kilogram.
d. Re-evaluasi dari data NCDS menunjukkan bahwa Kt/V kurang dari 0,8
dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas, sedangkan Kt/V1,0-1,2
dihubungkan dengan mortalitas yang rendah. Batasan minimal Kt/V ialah
lebih dari 1,2 untuk penderita yang menjalani hemodialisis 3 kali seminggu.
Sedangkan untuk kelompok penderita diabetes, Collins menganjurkan
menaikkan Kt/V menjadi 1,4.Hemodialisis 2 kali seminggu hanya dilakukan
untuk sementara dan hanya untuk penderita yang masih mempunyai klirensia
> 5 ml/menit.
b. Rumus-rumus sebelumnya :
1. Kt/V = Ln(BUN sebelum HD/BUN sesudah HD) (Gotch,1985)
2. Kt/V = 0,04 PRU-1,2 (Jindal,1987)
BUN sebelum HD – BUN sesudahHD
3. Kt/V = (Barth, 1988)
BUN mid
4. Kt/V = -ln(R-0,008t)- UF/W) (Daugirdas, 1989)
5. Kt/V = -ln(R-0,03-UF/W) (Manahan, 1989)
6. Kt/V = 0,026PRU-0,46 (Dugirdas, 1990)
7. Kt/V = 0,023PRU-0,284 (Basile,1990)
8. Kt/V = 0,062PRU-2,97 (Kerr, 1993)
PRU=Percent Reduction Urea = (BUN sebelum HD-BUN sesudah HD) x
100/BUNsebelum HD
B. Konsep keperawatan
1. Pengkajian
1) Biodata
a. Nama :
b. Umur : Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun
c. Jenis Kelamin :
d. Pekerjaan :
e. Agama :
f. Alamat :
g. Pendidikan :
2) Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Pada pasien GGK yang akan dilakukan hemodialisa biasanya mengeluh
mual, muntah, anorexia, akibat peningkatan ureum darah dan edema
akibat retensi natrium dan cairan.
b. Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu ditanya penyakit-penyakit yang pernah diderita klien sebagai
penyebab terjadinya GGK, seperti DM, glomerulonefritis kronis,
pielonefritis. Selain itu perlu ditanyakan riwayat penggunakan
analgesik yang lama atau menerus.