Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Muhamad Irpan
NIM: 1111044100006
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Muhamad Irpan
NIM: 1111044100006
i
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memeperoleh gelar Strata Satu (S1) Program Studi
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya aau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
Jakarta.
Muhamad Irpan
iv
ABSTRAK
Kata Kunci : Perkawinan Beda Agama, Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub
Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Dzat yang maha kuasa dengan
segala konsep nilai-Nya dan yang maha benar dengan segala logika hukum-Nya, juga
tidak pernah putus rahmat dan kasih saying-Nya kepada kita semua. Ia-lah yang telah
akhir ini.
Lalu, sebagai seorang insan sudah sepatutnya kita berkaca, mengikuti dan
sebaik-baik insan. Rakanda yang kepadanya sudah sangat harus dan selalu kita
curahkan shalawat serta salam. Karena beliau pulalah yang telah berjuang
semakin mapan dan nyaman untuk kita beribadah dan beramal soleh.
Alhamdulillah atas karunia Allah yang telah diberikan, dan tentunya dengan
berbagai kotribusi dari segala pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
Srimulyati, serta adik-adik kandung penulis (Siti Sarah, Hafidz Ramdhani, Nur
Azizah, Ahmad Furqon, dan Lutfi Maulana) yang senantiasa membantu dan
kesulitan dan tantangan yang dialami, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun
dalam menyelesaikan masa studi jenjang Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri
vi
Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
Selain itu, Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
lainnya yang juga turut membantu, memberikan motivasi dan pengaruh positif selama
masa studi ini. Oleh sebab itu, terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas
4. Dr. A. Juaini Syukri, Lc, MA., Dosen Penasehat Akademik yang telah
5. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, segenap dosen, karyawan, dan staff yang telah
vii
6. Para pustakawan di Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang
skripsi ini;
8. Keluarga Besar Korps Alumni HMI (KAHMI) Cabang Ciputat, yang telah
2017 dan Keluarga Besar HMI Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum,
10. Keluarga Besar Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam
FAHAM 11, dan organisasi eksternal lainnya yang penulis ikuti selama
viii
menjalani studi, terima kasih karena berorganisasi telah memicu penulis untuk
menjadi lebih kritis dan mempertajam daya nalar, serta menjadi diantara
11. Keluarga Besar DEMA FSH dan HMPS Hukum Keluarga, yang juga telah
kampus, sehingga penulis dapat belajar cara mengelola sistem dengan baik;
12. Rekan-rekan kost White House dan kost H. Subuh, serta rekan-rekan
yang turut serta dalam memberikan dukungan, dan motivasi bagi penulis dalam
menjalani masa studi hingga dapa menyelesaikan skripsi ini, yang tentunya tidak
dapat penulis tuliskan satu-persatu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua.
Penulis
Muhamad Irpan
ix
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………….…………………..………...… 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………..... 7
D. Tujuan dan Manfaat ……………………………………..……...... 7
E. Tinjauan (review) ………………………………………..……...... 8
F. Kerangka Teori ……….……......……………………….……..…..11
G. Metode Penelitian ………………………..………………..…..…..13
H. Sistematika Penulisan …………………...…………..………….....17
x
BAB IV DISKURSUS PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID DAN ALI
MUSTAFA YAQUB TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Perbandingan Pemikiran Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub
.......................................................................................................... 73
B. Perbandingan Metode Istinbat Hukum Nurcholish Madjid dan Ali
Mustafa Yaqub ................................................................................ 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………........…..... 85
B. Saran ………………….……………………………....................... 87
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
xii
14. ص Sh 29. ى Y
15. ض Dh
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
seorang pria dan wanita yang kemudian dijelaskan dalam pasal 1 Undang-Undang
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi bahwa “perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
1
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga,. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 31
2
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentqng Perkawinan, (Jakarta:
CV Akademika Pressindo, 1986), h. 64.
3
Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran
adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
2
sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan
sering kali muncul di tengah masyarakat, selain karena masyarakat belum bisa
(sapaan akrabnya) berlandaskan pada pemaknaan konsep Islam ad-din, dan at-
Cak Nur menyatakan setiap ketundukan agama yang benar adalah sikap pasrah
(al-Islam) kepada Tuhan yang maha esa (at-tauhid).4 Dengan kata lain,
mengesakan Allah dan sikap pasrah kepadanya adalah peran besar setiap agama
yang benar. Namun, manifestasi dari pesan-pesan dasar itu beragam sesuai
Pemikiran Cak Nur tersebut bermuara pada pendapat adanya titik temu
antar agama yang berkembang di dunia. Konsep titik temu merupakan ide atau
prinsip yang sama, yakni ajaran bersama antar umat yang beragama berdasar pada
berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang
dimaksudkan di sini.
4
Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish
Madjid “muda” (Bandung: Mizan, 1992) h.182
5
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992) h.437
3
Al-Qur’an surah al-Imran ayat 64. Dalam ayat ini, menurut Cak Nur mengandung
komunitas keagamaan yang lain, khususnya penganut kitab suci (Ahl al-kitab)
untuk bersatu dalam titik pertemuan. Sebuah pelajaran yang menegaskan bahwa
titik pertemuan antar agama-agama adalah prinsip ketuhanan yang maha esa.6
Sebagai seorang pemikir dan ilmuan, Cak Nur seringkali juga dianggap
sebagai tokoh penyebar paham pluralisme dan toleransi antar agama, hal ini
didasarkan pada kajian keilmuan beliau serta karya-karya tulisnya yang selalu
penulis lainnya. Lalu yang menarik perhatian penulis dalam konten buku
karangan beliau tersebut ialah karena beliau juga membahas tentang perkawinan
6
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h.7
7
Buku karya Nurcholish Madjid bersama rekan-rekannya ini diterbitkan di Jakarta oleh
Paramadina pada tahun 2003 dengan jumlah halaman 274, yang dituliskan dengan tujuan sebagai
pedoman warga negara Indonesia dalam upaya untuk menciptakan nuansa toleransi antar umat
beragama dan menghindari terjadinya disintegasi bangsa.
8
Nurcholis Madjid. Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta: Paramadina, 2004) h.164
4
antar agama, sehingga Cak Nur membolehkan perkawinan antar agama. hal ini
berdasar pada pernyataan Cak Nur yang menyatakan bahwa secara teologis
agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima, hal ini juga didasarinya
pada pasal 2 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang
agama-agama yang dalam hal ini Islam pada umumnya melarang terjadinya
Sebagai salah seorang ulama Hadist yang terkenal dan keilmuannya telah
diakui tidak hanya di Indonesia tapi juga oleh beberapa negara di dunia, hal ini
menggeluti bidang hadis yang mana diketahui bahwa hadis merupakan diantara
sumber hukum Islam, maka beliaupun jarang sekali absen dalam memberikan
penjelasan dan pandangannya tentang konsep dari hukum Islam, salah satu
9
Pendapat Nurcholish Madjid dalam Ahmad Nurcholish, Memoir Cintaku: Pengalaman
Empiris Perkawinan Beda Agama cet-1, (Yogyakarta: LkiS, 2004) h.iii
5
pandangannya tersebut telah beliau tuliskan juga dalam bukunya yang berjudul
“Nikah Beda Agama dalam al-Qur’an dan Hadits”10. Dalam buku tersebut jelas
bahwa perkawinan beda agama yang dimaksud sekurangnya terbagi dalam dua
kitab) terdapat dua kategori juga. Pertama, perkawinana laki-laki muslim dengan
peempuan ahli kitab, dan kedua perkawinan laki-laki ahli kitab dengan
berbeda.11
Lalu buku Fiqh Lintas Agama karangan Cak Nur dan rekannya juga yang
telah memicu Ali Mustafa Yaqub untuk menuliskan buku Nikah Beda Agama
dalam Al-Quran dan Hadis, sebagai bentuk kritik dan bantahan atas argumentasi
dalam buku tersebut. Bantahan dan kritik tersebut begitu jelas, karenanya hampir
bisa dikatakan keberadaan buku karangan Ali Mustafa Yaqub itu untuk meng-
counter paham dan pemikiran Cak Nur tentang perkawinan beda agama.
10
Buku karya Ali Mustafa Yaqub ini diterbitkan di Jakarta oleh Pustaka Firdaus pada tahun
2005 dengan jumlah halaman 66, yang dituliskan dengan tujuan sebagai pedoman umat, dan untuk
meng-counter segala bentuk pemikiran yang dianggap menyimpang, seperti CLD KHI yang disusun
oleh Musdah Mulia dan Fiqh Lintas Agama oleh Nucholish Madjid dkk.
11
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Al-Qur‟an dan Hadis, (Jakarta :Pustaka
Firdaus, 2005) h.27
6
B. Identifikasi Masalah
dengan tema yang dibahas. Ragam masalah yang muncul pada narasi latar
di Indonesia?
agama di Indonesia?
4. Apa yang dimaksud dengan terminologi ahli kitab dan musyrik dalam
Al-Qur’an?
6. Apa yang menjadi dasar Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub
utama, yaitu:
Mustafa Yaqub”
agama?
Adapun manfaat yang hendak diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Indonesia.
Kajian perkawinan beda agama sudah kita ketahui bersama bahwa telah
banyak sekali kajian dan karya baik yang dipublikasi maupun yang menjadi
konsumsi pribadi. Sehingga peneliti hanya akan membahas kajian terdahulu yang
ada kaitan atau hubungannya dengan pemikiran atau pandangan Ali Mustafa
9
Yaqub ataupun Nurcholis Madjid yang menjadi objek kajian utama dalam skripsi
ini.
Madjid antara lain: Skripsi oleh Yulia Sandra Yani yang berjudul “Moral dan
konsep moral dan kaitannya dengan Iman menurut Cak Nur. Kemudian Skripsi
perkawinan beda agama hanya dari sudut pandang Cak Nur tanpa
Ali yang berjudul “Islam Kultural : Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid
menurut Pemikiran Nurcholish Madjid”,15 skripsi oleh Mufid Ali yang berjudul
12
Yulia Sandra Yani, Moral dan Iman dalam Pandangan Nurcholish Madjid, Skripsi pada
tahun 2009 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
13
Syahrudin A, Analisis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Perkawinan Beda
Agama, Skripsi pada tahun 2009 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
14
Jamiludi Ali, Islam Kultural : Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Thesis pada
tahun 1970-1998” tahun 2010 di Universitas Indonesia.
15
M.Subkhan, Toleransi Beragama menurut Pemikiran Nurcholish Madjid, Skripsi pada
tahun 2011 di Institut Agama Islam Negeri Wali Songo.
16
Mufid Ali, Sistem Pendidikan Pesanten Menurut Nurcholish Madjid, Skripsi pada tahun
2011 di Institut Agama Islam Negeri Purwokerto.
10
Pemikiran Nucholis Madjid)”,17 dan skripsi oleh Hendri Gunawan yang berjudul
kesemuanya itu tidak sama sekali menyinggung tentang perkawinan beda agama
skripsi oleh Muliyani Sari yang berjudul “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub dan
agama.
berupa skripsi maupun thesis, maka jelaslah bahwa penelitian yang akan diteliti
dan kaji ini belum pernah dibahas atau diteliti sebelumnya. Sehingga hal ini
17
Agus Kuntartianto, Upaya Membangun Masyarakat Religius (Studi atas Pemikiran
Nucholis Madjid), Skripsi tahun 2013 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
18
Hendri Gunawan, Toleransi Beragama menurut Pandangan Hamka dan Nurcholish
Madjid, Skripsi tahun 2015 di Universitas Muhammadiyah Surakarta
19
Muhammad Husnul Mubarok, Pemikiran Ali Mustafa Yaqub tentang Arah Kiblat, Skripsi
tahun 2015 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakata.
20
Riki Efendi, Pemikiran dan aktifitas Dakwah Prof.Dr.KH.Ali Mustafa Yaqub,MA, Skripsi
tahun 2009 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
21
Muliyani Sari, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub dan Ahmad Lutfi Fathullah dalam Bidang
Hadis di Indonesia, Skripsi tahun 2012 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
11
kemudian menjadi layak dan patut untuk diteliti sebagai sumbangsih pemikiran
F. Kerangka Teori
Hukum Islam datang sebagai rahmat bagi manusia dan seluruh alam,
tidaklah menjadi rahmat, kecuali apabila hukum Islam itu benar-benar dapat
22
Amir Mualim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam VI, (Yogyakarta: UII
Press, 2001), h. 127
23
Hasbi Ashsiddqieqy, Falsafah Hukum Islam cet-VI, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.
178
12
masalahat itu, ialah: jal-bul manfa‟ah wadaf „ul madharah yang artinya menarik
yang mutlak.25 Kemudian maslahah sendiri terdiri dari tiga macam, yaitu:
memiliki arti, apabila satu dari lima itu tidak ada. Dan segala usaha
ibadah, orang sedang sakit atau dalam perjalanan jauh (musafir) dalam
24
Hasbi Ashsiddqieqy, Falsafah Hukum Islam cet-VI, h. 329
25
Al-Shatibi, Al-Muwafaqat Vol.II, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t.), h. 25.
13
G. Metode Penelitian
kewajaran, ditinjau dari penelitian dan situasi penelitian.27 Dan metode adalah
penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu
diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah-
sebagai berikut:
26
Wahidul Kahhar, Efektifitas Al-Mulslah dalam Penetapan Hukum Syara, (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2003), h. 15
27
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1980), h. 63
28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 6
14
1. Jenis Penelitian
pendekatan deskriptif analisis. Analisis ini akan digunakan dalam usaha mencari
sudah ada. Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan eliti terhadap suatu
Nurcholis Madjid dan Ali Mustafa Yaqub tentang perkawinan beda agama.
2. Sumber Data
Sumber data31 dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah buku “Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadis
perkawinan beda agama serta buku “Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis dan Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
29
Penelitian Kualitatif yaitu jenis data dan analisis data yang digunakan bersifat naratif
dalam bentuk pernyataan yang menggunakan penalaran. Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian,
(Jakarta: Buku Ajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010), h. 26.
30
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h.116
31
Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data diperoleh. Suharsimi
Arikunto, Prosedur Penelitian: Suata Pendekatan Praktek, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002), h. 107
15
UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan sumber lainnya seperti buku-buku,
surat kabar, kamus, majalah, hasil penelitian, jurnal, artikel, internet dan lain
barang tertulis.32
4. Analisis Data
ingin dicapai, maka dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah tersedia
dari berbagai sumber yaitu pengamatan, dokumentasi dan data yang diperoleh
dari pustaka dengan mengadakan reduksi data, yaitu data-data yang diperoleh dari
kepustakaan yang dirangkum dengan memilih hal-hal yang pokok serta disusun
lebih sistematis sehingga mudah dikendaliakan. Maka dalam hal ini penulis
32
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Cet. Ke-12 (Jakarta:
2002) h. 135
33
Analisis data adalah suatu proses penyederhanaan kedalam bentuk yang lebih mudah
untuk dibaca dan di interpretasikan Hadi, Metodologi Research, h 37.
16
menyusun secara logis dan sistematis. Untuk menarik hasil dan kesimpulan dari
dapat dibuat konsep atau abstraksi teoritisnya sehingga dapat menyusun kategoi
daya pediksinya.35
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah tahun 2012.36
34
Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, h.140
35
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997) h.139
36
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan
Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).
17
H. Sistematika Penulisan
masalah yang dibagi dalam 5 (lima) bab, dan setiap bab berisikan beberapa sub-
sub bab. Penyusunan yang seperti ini dimaksudkan agar dapat menguraikan setiap
yang sesuai dengan ketentuan hukum islam dan ketentuan peraturan perundang-
Ali Mustafa Yaqub, dimulai dari latar belakang keluarga, latar belakang
Ali Mustafa Yaqub tentang perkawinan beda agama serta metode istinbat hukum
BAB II
1. Pengertian Perkawinan
tiga aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli
(syar‟i) dan makna fiqhi (hukum).1 Pembahasan lebih lanjut hendak mencoba
dari sudut pandang makna lughawi dan makna fiqhi (hukum). Sedangkan dari sudut
pandang ushuli (syar‟i), akan dititik beratkan pada hal-hal yang bertalian erat dengan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut
kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata
digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan
1
Lihat Abdur-Rahman Al-Juzairi, al-Fiqh „alal-Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut-Lubnan: Dar
al-Fikr, 1990) h.2
2
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, (Rajawali press, Jakarta
2005) h.41
3
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat cet-3, (Jakarta: Kencana, 2008), h.7
20
dari istilah yang digunakan al-Qur,’an dan hadits, perkawinan lazin diistilahkan
dengan sebutan an-nikah atau at-tazwij. Secara literer, nikah (kawin) artinya
bersetubuh dan akad sekaligus (al-wath‟ wa al-„aqad) yang lazim diistilahkan dengan
diformulasikan para ulama fiqih, terdapat berbagai rumusan yang satu sama lain
berbeda-beda. Jangankan atara mazhab fiqih yang berbeda aliran politik dan mazhab
teologisnya, antara mazhab fiqih yang sama aliran teologis dan aliran politiknyapun
tidak jarang diwarnai perbedaan. Perhatikan misalnya ta‟rif nikah yang diberikan oleh
empat mazhab (Hanafiah, Syafi’iah, Malikiah, dan Hanabilah), yang aliran politiknya
lazim dianggap sama-sama Sunni dan aliran mazhab teologisnya sama-sama dalam
berbeda semisal Khawarij, Syi’ah dan lain sebagainya. Karenanya, hampir mustahil
kita bisa mempertemukan berbagai definisi nikah atau perkawinan itu dalam satu
4
Muhamad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia telaah Syariah dan Qanun.
(Jakarta: Lentera Hati, 2015) h. 18.
5
Abdur-Rahman Al-Juzairi, al-Fiqh „alal-Madzahib al-Arba‟ah, h.2-3
21
semua pihak. Namun sungguhpun demikian, betapapun sulit dan apapun alasannya,
kita tetap penting mengenali definisi nikah atau perkawinan ini sebagai pijakan bagi
pembahasan selanjutnya. Lagi pula perbedaan yang ada pada masing-masing definisi
perkawinan itu pada umumnya bahkan secara keseluruhannya tidak dalam bentuk
Atas dasar ini maka berbagai perbedaan yang ada seputar masalah perkawinan
bukan suatu hal yang mustahil manakala di masa-masa mandatang justru akan
berpenduduk muslim untuk saling mengadopsi hukum perkawinan yang lebih baik
dan lebih adil. Penganutan paham secara ketat dan kaku kepada mazhab tertentu
(taklid buta) yang pernah melanda dunia Islam dalam masa yang sangat panjang,
dewasa ini mulai beralih sedikit demi sedikit menuju ke arah talfik mazhab yang
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk
dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Oang yang berkeinginan
melakukan perkawinan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan non-
fisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berpuasa. Orang berpuasa akan
6
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.44
7
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.45
22
memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu
perzinaan.8
dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan Membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa“. Pengertian perkawinan
sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu
Perkawinan lintas agama sangat lumrah terjadi, praktek ini bahkan telah
terjadi sejak zaman dahulu, karena kebutuhan akan adanya interaksi dan komunikasi
antar manusia yang bahkan berbeda agama sekalipun inilah yang memungkinkan hal
itu terjadi. Dalam konteks Islam jika menelaah sejumlah ayat al-Qur’an, maka
dapatlah disimpulkan bahwa dilihat dari sudut pandang agama dalam konteks Islam,
ada lima (5) macam perkawinan sepanjang sejarah umat manusia, yaitu:
8
Zainudin Ali, Hukum Pedata Islam di Indonesia cet-3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.7
9
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan,( Bandung: Alumni, 1978), h. 9.
23
dan terutama antara nabi Luth dengan istrinya. Nabi Nuh dan nabi Luth
sementara masing-masing istrinya, baik istri nabi Nuh maupun istri nabi
munafik.
Firaun yang bukan saja kafir musyrik melainkan juga pernah menobatkan
itu, dan masih akan terus berlangsung hingga sekarang dan mendatang.
perkawinan yang paling ideal dan paling banyak tejadi dikalangan sesama
24
“ummatan muslimatan” atau umat islam, mulai dari kebanyakan para nabi,
para wali, oang-orang yang benar (ash-shiddiqin) dan para pahlawan (al-
agama lain yang mementingkan perkawinan dalam satu atap agama. Inilah
wania Yahudiah dari suku al-Mada’in, Utsman bin Affan yang menikahi
masuk Islam ditangan Utsman, Yasir Arafat dengan Suha dan lain-lain;
Rukun, yaitu sesuatu ysng mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), dan itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
membasuh muka untuk dan takbiratul ihram unuk shalat atau adanya calon pengantin
ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu
tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau
fuqaha. Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang
termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam
menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang syarat. Bisa jadi sebagian
ulama menyebutnya sebagai rukun dan ulama lainnya menyebutnya sebagai syarat.12
1. Rukun Perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas :13
10
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 97-100.
11
M.A. Tihami, Fikih Munakahat ,(Jakarta: Rajawali press, 2009) h.12
12
Amiur Nuraddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia cet-3, (Jakarta: Kencana,) h.60.
13
Lihat Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1,( Bandung, Pustaka setia, 1999)
h. 64-68. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat cet-3,( Jakarta, Kencana 2008), h. 46-47
26
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita. Akad nikah akan dianggap
c. Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya
Imam Malik mengatakan bahwa rukun perkawinan itu ada lima macam, yaitu :
b. Mahar
Imam Syafi’i berkata bahwa rukun perkawinan itu ada lima macam, yaitu :
c. Wali
14
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat Cet-3, h. 47-48
27
Menurut ulama Hanafiyah, rukun perkawinan itu hanya ijab dan qabul saja
(yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki).
Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun itu ada empat, yaitu :
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu adalah empat, karena calon
pengantin laki-laki dan calon pengantin permpuan digabung menjadi satu rukun
Rukun perkawinan :
b. Adanya wali
Lalu dalam konteks wali secara spesifik para ulama berbeda pendapat dalam
15
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.72
16
Lihat Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), h.
36
17
Lihat Zakiah Daadjat, Ilmu Fiqh II, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.48
28
a. Malik berpendapat bahwa perkawinan tidak sah kecuali dengan wali dan
itu merupakan syarat sah, dalam riwayat Asyhab darinya dan Syafi’i juga
menyatakan demikian
“disyaratkan adanya wali pada gadis dan tidak disyaratkan adanya wali
pada janda”
adalah sunah bukan wajib. Hali itu kaena diriwayatkan darinya, bahwa
dia berpendapat adanya hak warisan antara suami istri tanpa wali, dan
18
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2 Terjemah Bahasa Indonesia,(Jakarta, Pustaka azam :
2007), h. 14-15
29
Lalu syarat perkawinan juga merupakan syarat yang bertalian dengan rukun-rukun
perkawinan, yaitu syarat-syaat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul.20
Syarat suami
Syarat istri
a. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak
c. Jelas orangnya
Syarat wali
a. Laki-laki
b. Baligh
c. Waras akalnya
d. Tidak dipaksa
19
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat cet-3, h. 49
20
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h.13
30
e. Adil
Syarat saksi
a. Laki-laki
b. Baligh
c. Waras akalnya
d. Adil
dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi,
Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku disaat perkawinan itu
dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan
itu tidak sah. Jadi dalam konteks Indonesia jika tidak mnegikuti aturan Undang-
21
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.34-35
31
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berarti tidak sah menurut
perundangan, kalau tidak menurut hukum agama berarti tidak sah menurut agama,
begitu pula kalau tidak menurut tata tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat.
Sahnya suatu perkawinan telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
berlaku.
luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
menurut tata cara masing-masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai
22
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.35
23
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.36
32
perkawinan.24
Perkawinan beda agama terjadi apabila seorang pria dengan seorang wanita
dan seorang wanita beragama Kristen atau sebaliknya. Hal demikian pernah diatur
hukum islam yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati
Islam. Artinya perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan kaidah
perkawinan seorang laki-laki bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas
24
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Maju,
2003), h.88
25
Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 82
26
Lihat Inpres No.1 tahun 1990 tentang Kompilasi Hukum Islam
33
masing berarti perkawinan itu tidak sah. Perkawinan di Kantor Catatan Sipil tanpa
dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah.
Perkawinan yang dilakukan oleh Hukum Adat atau oleh aliran kepercayaan yang
bukan agama dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang diakui pemerintah
berarti tidak sah. Dengan demikian, perkawinan yang sah menurut agama yaitu
perkawinan yang dilakukan menurut tata cara yang berlaku dalam agama masing-
masing.
ada suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan
campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh
(GHR) adalah suatu peraturan perkawinan yang dibuat oleh pemerintah Hindia
Hindia Belanda Stb. 1898 No. 158. Pada pasal 1 GHR disebutkan perkawinan
27
FXS. PurwaharSanto, Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis, (Yogyakarta: Aktualita Media Cetak, 1992), h. 5
34
perkawinan antara seorang WNI dengan seorang bangsa Belanda atau Eropa lainnya
sekalipun telah menjadi WNI serta memeluk agama Islam. Begitu pula perkawinan
antara seorang Indonesia dengan seorang Tionghoa atau bangsa Timur lainnya yang
tidak memeluk agama Islam sekalipun telah menjadi WNI. Sementara itu, pasal 7
ayat (2) disebutkan bahwa “Perbedaan agama, bangsa, atau asal sama sekali bukanlah
hukum yang berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk
perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang
berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan
antar tempat termasuk di dalam GHR; kedua, kelompok yang berpendirian “sempit”
yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak
termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas
setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang
termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam
GHR.29
1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat
28
FXS. PurwaharSanto, Perkawinan Campuran Antar Agama, h. 10-13.
29
FXS. PurwaharSanto, Perkawinan Campuran Antar Agama,h. 16
35
golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang
luaslah yang banyak didukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut O.S. Eoh,
ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga
di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar
golongan.30
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
Dari ketentuan pasal 57 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158)
sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena
Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara
Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga
negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan
30
Budha. O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), h.118-125.
36
antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut
undang-undang ini.
bukanlah soal perbedaan agama itu sendiri, tetapi soal tanggung jawab negara dalam
melindungi dan menjamin hak-hak warganya. Adapun yang dipersoalkan adalah soal
relasi vertikal dalam hubungan antara negara dan warga negara, bukan soal relasi
horisontal yang menyangkut hubungan di antara warga negara yang beragam agama,
dikategorisasikan ke dalam dua yakni perkawinan antara muslim dengan musyrik dan
muslim dengan ahli kitab yang keduanya berimplikasi hukum yang berbeda.
Pada umumnya ulama klasik sepakat bahwa perkawinan beda agama antara
laki-laki muslim dengan Perempuan ahli kitab (yahudi dan nashrani) adalah boleh
atau diperbolehkan dalam syariat Islam. Hal ini dilandasi pada firman firman Allah
SWT :
31
Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish , Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen
Keagamaan, dan Analisis Kebijakan (Jakarta: KOMNAS HAM bekerja sama dengan ICRP, 2005), h.
7.
37
“Artinya : pada hari ini dihalalkan bagimu segala hal yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi
mereka. (Dan dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga
kehomatan diantara perempuan-perempuan yang beriman dan permpuan yang
menjaga kehormatan diantara oang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu,
apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud
berzina, bukan untuk menjadikannya perempuan piaraan. Siapa yang kafi sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal mereka dan di
akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (al-Maidah : 5).”
Umar, Usman, Thalhah, Hudzaifah, Salman, Jabir, dan beberapa sahabat lainnya.
kitab. Bahkan diantara mereka ada yang mempraktekannya, seperti sahabat Thalhah
dan Hudzaifah, sementara tidak ada satupun sahabat Nabi yang menentangnya.
ijma‟ sahabat. Dalam hal ini ibnu al-Mundzir mengatakan bahwa jika ada riwayat
38
dari ulama salaf yang mengharamkan pernikahan tersebut di atas, maka riwayat itu
Adapun sahabat Umar yang menyuruh beberapa sahabat yang lain agar
menceraikan istri-istri mereka yang ahli kitab, maka hal itu dipahami sebagai suatu
menjadi fitnah bagi umat Islam. Atas dasar inilah, Umar mencegah mereka untuk
menikahi ahli kitab, tetapi hal itu bukan berarti beliau mengharamkannya, maksud
fitnah disini adalah perilaku mereka itu akan ditiru oleh anak buahnya karena mereka
para pemimpin, sehingga nanti wanita-wanita Islam tidak ada yang menikahinya.33
yang melarangnya secara mutlak pun ada. Bahkan dalam konteks Indonesia Majelis
baik ahli kitab maupun selainnya. Hal demikian berlandaskan pada firman Allah swt
32
Lihat: Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni Juz
IX, (Saudi Arabia, Dar Alam al-Kutub, 1997), h. 545.
33
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Al-Qur‟an dan Hadits, h. 29-30
39
yang berbunyi :
Disamping itu mereka juga mengacu pada perkataan Abdullah bin Umar
bahwa tidak ada kemusyrikan yang lebih besar daripada perempuan yang meyakini
bahwa Isa bin Maryam adalah Tuhannya. Dengan demikian, perkawinan lelaki
muslim dengan wanita non-muslim secara sepenuhnya haram, karena ahli kitab itu
kategori kaum musyrikin. Sementara menurut Ibnu Abbas, hukum perkawinan dalam
al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10 di atas dimana laki-laki muslim
haram menikahi wanita non-muslim telah dihapus (mansukh) oleh surah al-Maidah
ayat 5 yang membolehkan laki-laki muslim mengawini wanita ahli kitab. Karenanya
haram dan diantara ulama klasik tesebut tidak tedapat perdebatan terkait hal ini.
Meskipun surah al-Mumtahanah ayat 10 telah di nasakh oleh surah al-Maidah ayat 5,
namun karena ayat tersebut tidak menjelaskan tentang perkawinan antara laki-laki
34
Lihat Ibn Qudamah, Al-Mughni Juz IX, h. 545.
41
Pendapat seperti ini muncul karena anggapan bahwa tidak ada nash yang mengatur
secara jelas perkawinan seperti ini, meskipun tidak ada yang memperbolehkan
perkawinan seperti itu. Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan
yang sharih.35
35
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama cet-3, h.163
43
BAB III
MUSTAFA YAQUB
A. Nurcholish Madjid
1. Biografi Sosial
keluarga yang sederhana, „alim serta saleh. Ayahnya Abdul Madjid seorang petani
di desa kecil tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan salah seorang santri kesayangan
Kiyai Hasyim Asy‟ari.1 Abdul Madjid dikenal sebagai kiyai yang lahir dari rahim
NU, termasuk orang yang melawan arus utama, dan tidak masuk dalam jaringan
ulama NU serta menolak bergabung dengan partai NU. Dia justru bergabung dan
menjadi pendukung setia partai Masyumi yang merupakan ibu kandung partai NU
diambil oleh Abdul Madjid ini berpengaruh tidak hanya terhadap dirinya, tapi juga
terhadap Cak Nur. Pengaruh pandangan Masyumi yang modernis lewat ayahnya
1
Lihat Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia :
Pemikiran dan Aksi Politik, (Bandung: Zaman wacana mulia, 1998) h.122
2
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia : Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish
Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurahman Wahid, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 72
44
akan tetapi karena dia berasal dari keluarga NU yang Masyumi, maka dia tidak
studinya dengan masuk ke IAIN Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) dan
mengambil Fakultas Adab jurusan Sastra Arab, hingga akhirnya lulus dengan
yang sedang mencari peserta yang tepat untuk program seminar dan lokakarya di
3
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Atikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer,( Jakarta: Paramadina 1998), h.271
4
Lihat Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia :
Pemikiran dan Aksi Politik, h.123
5
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, h.271
6
Lihat Budi Hendianto, 50 Tokoh Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme
dan Liberalisme Agama, (Jakarta : Hujjah Press, 2007), h.64
45
tersebut, Cak Nur meminta kembali kepada Leonard Binder agar ia dapat kembali
lagi dengan status mahasiswa, hingga pada bulan Maret 1978, Cak Nur kembali
dibidang kajian keislaman (di bawah bimbingannya) daripada kajian ilmu politik
(di bawah bimbinga Leonard Binder) yang sejak awal direncanakan Cak Nur.7
cumlaude tahun 1984, dengan judul disertasi “Ibn Taymiya on Kalam and
Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam).8
Cak Nur meninggal pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati
meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada
negara.9
2. Karya-kaya Intelektual
Dalam karya-karya tulis yang telah dipublikasikan oleh Cak Nur jelas
sekali dapat kita lihat bagaimana cara pandang Cak Nur tentang suatu fenomena
7
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h.85
8
Lihat Budhy Munawarrahman, Pengantar Ensiklopedi Nurcholish Madjid,
9
http://www.biografitokohblogspot.com diunduh pada tanggal 10 oktober 216 pukul 17.00
wib
46
bernada pluralis dan toleran. Lalu diantara banyaknya karya yang telah Cak Nur
Indonesia (1997)
13) Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer (1998)
3. Aktifitas
1) Bidang Organisasi
(ICMI) (1995-1998)
2) Bidang Akademik
10
Lihat Budhy Munawarrahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. iv
11
Lihat Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia :
Pemikiran dan Aksi Politik, h.125
48
4. Pemikiran
a. Corak Pemikiran
Keislaman ia dianggap menjadi bagian dari titk temu antara keduanya. Hal ini
dikarenakan fakta bahwa Cak Nur berlatar belakang keluarga NU dan semasa
Nur lebih banyak mendapat pendidikan Islam modern, mulai dari pesantren
dimulai ketika ia menjadi mahasiswa UIN Jakarta, khususnya ketika menjadi ketua
12
Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid diunduh pada 3 Oktober 2016 pukul
10.45 wib
13
Budhy Munawarrahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h.vi
49
klasik abad pertengahan yang begitu luas dan kaya langsung di bawah bimbingan
komitmen keislamannya kuat seperti KH. Agus Salim dan Bung Hatta. Namun
demikian, di antara sekian banyak tokoh yang paling merasa berhutang budi ialah
kepada Buya Hamka. Lebih dari itu, “....beliau (Hamka) adalah tempat saya
masalah duniawi, dan hal ini mengarah kepada kecerdasan atau rasio. Kemudian,
rasional kepada suatu benda atau masalah yang telah menjadi sakral, tabu, dan
rasional akan sesuatu, maka sesuatu tersebut harus bebas dari jubah ketabuan dan
14
Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia :
Pemikiran dan Aksi Politik, h.128
15
Cak Nur sangat berterima kasih kepada Hamka karena tradisi menulisnya semakin
berkembang tatkala ia bertempat tinggal di Mesjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru Jakarta. Sebuah
bilik di masjid tersebut yang sengaja disediakan Hamka untuk tempat tinggal perantau muda ini. Dedy,
Zaman Bau Islam, h.129
50
kesakralan. Sehingga untuk kembali kepada prinsip tauhid misalnya, kita harus
mantap untuk tidak mentabukan sesuatu. Tuhan-lah yang tabu dan sakral, dan
karenanya tak mungkin dimengerti oleh manusia dengan rasionya. Artinya, dengan
menampilkan Islam secra inklusif, dalam rangka untuk lebih mengaktualkan nilai-
nilai keislaman masa modern. Ciri mendasar teologi inklusif adalah penegasan
bahwa Islam adalah agama terbuka, dan penolakan ekslusifisme dan absolutisme.
Dengan pluralisme, kita ingin menumbuhkan suatu sikap kejiwaan yang melihat
adanya kemungkinan orang lain itu benar. Ini penting sekali(menurut Cak Nur)
dalam agama kita. Ketika dalam agama disebutkan bahwa manusia itu diciptakan
dalam keadaan fitrah (suci, sacred), maka setiap orang pada dasarnya suci dan
benar. Potensi untuk benar adalah primer. Inklusivisme, dengan demikian adalah
16
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Jakarta: Paramadina,
2000), h. 229
51
suatu kemanusiaan universal yang dalam Al-Qur‟an, surah ar-Rum ayat 30,17
terminologi kafir ke dalam beberapa kategori. Hal ini lazim dilakukan karena Al-
dalam arti Tuhan (sebagai sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaan-
seperti berikut :
bawa.
17
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyak manusia tidak mengetahui.” (Q.S. ar-Rum: 30)
18
Nurcholish Madjid, Sekapur Sirih dalam Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta:
Kompas, 2001), h.xiii
19
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2003), h.156
52
ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah
Orang-orang muslim pun dapat masuk dalam kategori ini (lihat: al-
7) Kafir ahli kitab, yakni non muslim yang percaya kepada nabi dan
20
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h. 157
53
langsung. Hal ini senada dengan firman Tuhan dalam surah al-Maidah ayat 5
terdahulu, Cak Nur berpendapat bahwa perkawinan beda agama antara laki-laki
dengan seorang musyrik, maka menurut Cak Nur tidak benar jika kategori
Nur tidaklah adil, karena menurutnya jika seorang muslim melakukan perbuatan
sebaliknya apabila seorang itu dikatakan musyrik maka sudah jelas ia adalah
pelaku syirik.
Hal ini karena seorang muslim menurut Cak Nur bisa saja melakukan
perbuatan syirik dan memang kenyataannya ada namun mereka tidak dapat
disebut sebagai kaum musyrik. Sebab sebagai konsekuensi jika salah seorang
mereka batal dengan sendirinya dan wajib untuk cerai, namun dewasa ini
21
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.158-159
54
Dari apa yang dikemukakan Cak Nur, maka dapat disimpulkan bahwa
muslim baik dari golongan ahli kitab maupun agama lainnya itu adalah
ini karena Cak Nur berpandangan bahwa tidak ada larangan yang sharih
ada justru bersumber dari hadits yang tidak begitu jelas kedudukannya, yakni
sabda Rasul SAW, “kami menikahi wanita-wanita ahli kitab dan laki-laki ahli
kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (muslimah)”. Khalifah Umar bin
Khattab dalam sebuah pesannya, “seorang muslim menikahi wanita nasrani, akan
tetapi wanita nasrani tidak boleh menikahi wanita muslimah”. Namun setelah
diteliti, hadis yang disebutkan diatas dikomentari oleh Shudqi Jamil al-„Aththar
sebagai hadis yang tidak shahih. Hadis tersebut tergolong hadis mawquf yaitu
hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan al-Imam al-
dinikahi laki-laki non-muslim, maka mereka akan pindah agama. Dan umat Islam
pada saat itu membutuhkan kuantitas dan sejumlah penganut yang setia.22
22
Lihat Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an,
dikomentari Shudqi Jamil al-Atthar (Beirut: Dar al-Fikr, 2001) jilid II h.465
55
konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar
saat ini, sehingga perkawinan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.
Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat
agama secara lebih luas diperbolehkan, apapun agama dan kepercayaannya itu.23
perkawinan beda agama ialah dengan menggunakan metode tafsir. Cak Nur
kontekstual, sehingga penafsiran Cak Nur sedikit bernada liberal. Lalu diantara
dasar hukum yang digunakan Cak Nur untuk menafsirkan dan menemukan
hukum perkawinan beda agama adalah QS al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah
ayat 5.
yang agak liberal, yakni menafsirkan kata musyrik dalam ayat tersebut dan
yang tidak mempunyai kitab suci (menyembah berhala). Lalu surah al-Maidah
23
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.164
56
perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Ayat ini
dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman. Ayat ini dapat disebut
muslim dengan laki-laki non-muslim tidak ada yang melarang secara jelas maka
Cak Nur berpandangan bahwa hal tersebut adalah masuk kepada wilayah ijtihadi,
sehingga Cak Nur menghukuminya boleh. Hal ini merujuk pada semangat yang
dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai oang yang akan bersama-Nya di
surga nanti.25 Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menyebutkan agar perbedaan
jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang lainnya saling
mengenal.26 Dan perkawinan antar beda agama dapat dijadikan salah satu raung,
yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat.
24
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.162
25
Q.S. al-Baqarah ayat 62
26
Q.S al-Hujurat ayat 13
57
rentannya hubungan antar agama saat ini, perkawinan beda agama justru dapat
masing pemeluk agama. Bermula dari ikata tali kasih dan tali sayang, kita rajut
dengan orang musyrik, lalu membuka jalan perkawinan dengan ahli kitab
merupakan sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya kita
harus melihat agama lain bukan sebagai kelas kedua, dan bukan pula ahl al-
dzimmah dalam arti menekan mereka, melainkan sebagai warga negara yang
setara.27
1. Biografi Sosial
Ali Mustafa Yaqub (selanjutnya akan dipanggil Ali saja), lahir pada
Batang, Jawa Tengah. Ali hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama
dan berkecukupan, masa kecil Ali tiap hari sesudah belajar di Sekolah Rakyat
27
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.164-165
28
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2003), h. 143
58
yang ada di Jawa Tengah, Selain itu beliau juga sangat aktif dalam proses belajar
mengajar nilai-nilai agama disebuah pondok pesantren yang didirkan oleh beliau
bernama Zulaikha, beliau adalah seorang Ibu rumah tangga yang juga dikenal
beliau memiliki tujuh orang anak, namun dua diantaranya meninggal dunia, salah
satu dari anak beliau yang bernama Ahmad Dahlan Nuri Yaqub mengikuti
29
Riki Efendi, Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA,
(Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.35
30
Ni‟ma Diana Cholidah, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian
Hadis Kontemporer di Indonesia, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011), h. 11
31
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetik menurut al-
Quran dan Hadis, (Jakarta : Pustaka Firdaus, Januari 2003), cet. 2, h.349
59
Di tahun 1976 Ali menuntut ilmu lagi untuk mendapatkan gelar Strata
Satu (S1) di Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad bin Saud, Riyadh,
Saudi Arabia sampai tamat dengan mendapatkan ijazah License (LC), 1980.
Kemudian masih di kota yang sama beliau melanjutkan kembali pendidikan Strata
Dua (S2) di Universitas King Saud, Jurusan Tafsir dan Hadis dan mendapat gelar
Master pada tahun 1985 dan di tahun itu pula beliau pulang ke Indonesia..32
Nizam Hyderadab India di bawah bimbingan Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou
yang juga Guru Besar Fiqh Islam dan Ushl Fiqh Universitas Kuwait dan Direktur
Hasan Hitou adalah orang yang berperan penting dalam studi S3 Ali dan pada
(1969-1971)
32
Yogi Sulaeman, Analisa Wacana Kritis Dai Komersial dalam Buku Setan Berkalung Sorban
Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.38
33
Ni‟ma Diana C., Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis
Kontemporer di Indonesia, h.14
60
(S3, 2005-2008)
2. Karya-karya Intelektual
waktu juga menghasilkan rezeki, banyak tulisan beliau yang dimuat di koran dan
terinspirasi dari hadis-hadis Nabi Saw. menurutnya menulis hadis Nabi Saw. kita
34
Riki Efendi, Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., h.43
35
Ali Mustafa , Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran
dan Hadis, h.348
61
13) Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadis (2005)
20) Kriteria Halal dan Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetik
26) Kiblat Menurut al-Qur‟an dan Hadis; Kritik Atas Fatwa MUI No.
5/2010 (2011)
62
32) Isbat Ramadhan, Syawal dan Zulhijah Menurut al-Kitab dan Sunnah
pembahasan dalam skripsi ini adalah karya-karya beliau yang sedikit banyak
membahas hukum keluarga Islam, seperti yang tertuang dalam karyanya yang
berjudul Fatwa Fatwa Kontemporer (2002), Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal
(2007), dan Nikah Beda Agama dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Hadis (2005).
63
3. Aktivitas36
1) Bidang Organisasi
Jakarta (1970-2016)
(2005-2010)
(2005-2016)
2016)
(2013-2016)
36
Ali Mustafa, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran
dan Hadis, h.347-348
64
2) Bidang Pendidikan
(1991-1997)
b) Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta
(1998-2016)
(2012-2016)
a. Corak Pemikiran
Ali Mustafa Yaqub adalah sosok ilmuan yang dikenal baik sebagai
pemegang teguh ajaran Islam. Berbeda halnya dengan Cak Nur yang merupakan
seorang ilmuan muslim yang lebih condong ke arah modernis, maka Ali adalah
orang yang dalam pandangan penulis lebih condong ke tradisionalis. Hal ini
didasari juga dari latar belakang pendidikan beliau yang lebih banyak mengkaji
37
Ali Musta Yaqub, Isbat Ramadhan, Syawal dan Zulhijah Menurut al-Kitab dan Sunnah,
(Jakarta : Maktabah Darus-Sunnah, 2013), h.118
65
digelutinyasejak kecil. Gelar doktoral bidang hukum islam yang didapatnya dari
ujian langsung di Mesjid Istiqlal ini yang akhirnya semakin memantapkan Ali
kepadanya.39
muslim.
literatur Islam, mereka yang berada di luar agama Islam (non-muslim) disebut
38
Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou yang juga Guru Besar Fiqh Islam dan Ushl Fiqh
Universitas Kuwait dan Direktur Lembaga Studi Islam International di Frankfrut Jerman. Prof. Dr.
Muhammad Hasan Hitou adalah orang yang berperan penting dalam studi S3 Ali dan pada tahun 2008
Ali mampu menyelesaikan program doktoralnya tersebut pada konsentrasi Hukum Islam, lihat Ni‟ma
Diana C., Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di
Indonesia, h.14
39
Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Musthafa_Ya%27qub diakses pada tanggal 4
oktober 216 pukul 22.00 wib
66
sebagai orang-orang kafir. Khusus mereka yang memeluk agama Nasrani (kristen,
baik Katolik maupun Protestan) dan agama Yahudi, dalam literatur Islam disebut
ahli kitab. Hal ini perlu diketahui, sebab Al-Qur‟an maupun hadis seringkali
menyebutkan terminologi ahli kitab sebagai agama yang memeiliki kitab samawi.
Selain ahli kitab, mereka disebut kaum musyrikin, baik mereka yang beragama
tersebar dalam 9 surah. Secara umum semuanya menunjuk pada dua komunitas,
yaitu kaum Yahudi dan Nasrani. Begitu pula pada masa awal perkembangan
Islam, khususnya masa Rasul SAW dan para sahabatnya, term ahli kitab ditujukan
pada kaum Yahudi dan Nasrani. Selain mereka tidak disebut sebagai ahli kitab.
memperlakukan mereka seperti ahli kitab, tetapi mereka tidak termasuk komunitas
Yahudi dan Nasrani saja. Sekiranya Majusi termasuk ahli kitab, Rasul SAW tidak
40
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.19
41
Lihat Imam Malik bin Anas, al-Muwaththa, (t.t.p.: Dar al-Sya‟b, t.h) h.87
67
ahli kitab.
Menurut Imam al-Syafi‟i (w.204 H), istilah ahli kitab hanya menunjuk
pada orang-orang Yahudi dan nasrani dari keturunan Bani Isra‟il. Alasannya, Nabi
Musa a.s dan Nabi Isa a.s hany diutus kepada Bani Israil dan bukan kepada
Indonesia, tidak termasuk dalam kategori ahli kitab. Selain itu QS al-Maidah ayat
demikian, mereka yang menganut agama Yahudi dan Nasrani selain dari
tetapi ulama telah sepakat akan keharaman perkawinan dengan selalin ahli kitab,
perkawinan trsebut telah jelas dikemukanan oleh Allah dalam firmannya pada
42
Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an, h. 233
68
yakni dengan banyak mengutif dalil-dali yang ada, serta metode yang telah
muslim dengan perempuan ahli kitab, dan kedua perkawinan antara laki-laki ahli
kitab diperbolehkan dalam syari‟at Islam. Pendapat ini mengacu pada firman
Allah SWT dalam surah al-Maidah ayat 5. Di samping itu, beberapa sahabat
senior juga berpendapat seperti itu. Di antara mereka adalah Umar, Usman,
sahabat Thalhah dan sahabat Hudzaifah, sementara tidak ada satupun sahabat
43
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.27
69
perkawinan ini merpukan ijma‟ sahabat. Dalam hal ini, Ibnu al-Mundzir
menceraikan istri-istri mereka yang ahli kitab, menurut Ali maka hal itu
perilaku mereka akan menjadi fitnah bagi umat Islam. Atas dasar inilah Umar
mencegah mereka untuk mengawini perempuan ahli kitab, tetapi hal itu bukan
mereka itu akan ditiru oleh anak buahnya, kaena mereka para pemimpin.
muslim dengan perempuan ahli kitab, maka hal itu karena didasarkan atas
diusung dengan merujuk pada dalil naqli, tetap saja tidak bias menghapus
44
Lihat: Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni Juz IX,
(Saudi Arabia, Dar Alam al-Kutub, 1997), h. 545.
45
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.29-30
46
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.30
70
Yahudi di Indonesia tidak termasuk ahli kitab. Jadi, Fatwa MUI melihat
konteks keindonesiaan.47
para ulama pun bersepakat atas keharamannya. Pendapat ini didasarkan atas
47
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.35
71
Ketiga, hadis Rasul yang diriwayatkan dalam kitab Tafsir al-Tabari dari
tetapi karena maknanya telah diterima dan disepakati oleh kaum muslimin,
disiplin ilmu Hadis, Hadis yang subsatnsinya sudah diterima dan diamalkan
oleh para ulama sepanjang masa, tidak perlu lagi diteliti keshahihan sanadnya.
Keempat,yakni karena adanya Ijma‟ sahabat, hal ini karena tidak ada
48
Mafhum al-Mukhalafah merupakan salah satu metodelogi untuk memahami petunjuk nash
(teks agama). Paa ulama tafsir dan ushul fiqih mendefinisikan terminologi ini sebagai ketetapan
(hukum) yang berlawanan dengan nash (al-manthuq) dan diambil setelah terbukti tidak ada batasan
(kayid) yang jelas dari al-manthuq. Dengan kata lain, ia adalah petunjuk lafadz untuk menetapkan
sesuatu yang tidak disebutkan secara eksplisit oleh nash. Otoritas mafhum al-mukhalafah sebagai
sumber hukum Islam ini disepakati oleh Imam Malik, Imam al-Syafi‟i, dan Imam Ahmad. Hanya
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya saja yang tidak memakianya sebagai dalil. (lihat Ali Mustafa
Yaqub, Nikah Beda Agama, h.41)
49
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h. 41
50
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h. 43 dalam Mahmud al-Thahhan, Taisir
Musthalah al-Hadist, (Beirut: Dar al-Qur‟an al-Karim, 1979), h. 53.
72
adanya kaidah fiqih yang menyebutkan “pada dasarnya dalam masalah far
terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antaa halal dan haram, maka yang
51
Abu al-Fadhl Jalal al-Din Abdurrahman al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa
Furu‟ Fiqh al-Syafi‟iyyah, (Beirut: Dar al-Fikr 1996) h.84
73
BAB IV
yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi.1 Pada
ajaran fikih, dapat dilihat adanya empat garis dari penataan itu yakni: a). Rub‟al-
ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk dengan khaliknya, b).
munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dalam lingkungan keluarga, dan
d). Rub‟al-jinayat, yang pengamanannya dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin
ketentramannya.2
peradaban. Hal ini jelas karena hanya melalui perkawinan yang sesuai dengan aturan
yang berlaku sajalah seorang anak yang sah dengan segala bentuk haknya tanpa
1
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pres, 2009) h. 15
2
Ali Yafie, Pandangan Islam terhadap Kependudukan dan Keluarga Berencana, (Jakarta:
Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdhatul Ulama dan BKKBN, 1982), h. 1
74
Masalahnya tetap aktual, karena hal ini bertalian dengan masalah akidah dan banyak
menimbulkan dampak negatif, baik antara suami, istri, maupun terhadap anak-anak
dari hasil perkawinan beda agama tersebut.3 Sehingga perkawinan ini masih sangat
Cak Nur seperti apa yang telah peneliti paparkan di atas adalah seorang
dengan pandangan ilmuan dan pemikir Islam pada umumnya, Cak Nur dengan cukup
bahwa segala bentuk perkawinan beda agama adalah dibolehkan. 4 Hal ini berlaku
pada semua jenis perkawinan beda agama sepanjang yang melakukan perkawinan
adalah antara laki-laki dan perempuan, jadi perkawinan seperti seorang muslim
dengan seorang non-muslim (ahli kitab ataupun bukan), lalu perempuan muslimah
berpandangan seperti halnya ilmuan dan pemikir Islam terdahulu atau ulama pada
3
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,
(Bandung: Angkasa, 2005), h. 154
4
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2003) h.164
75
umumnya, bahwa perkawinan beda agama adalah hal yang tidak dibenarkan dalam
Islam. Lalu dalam pandangannya Ali menegaskan yang mungkin terjadinya hanyalah
karena jenis perkawinan ini kebolehannya sangat jelas,5 lalu menurutnya tidak ada
dalil-dalil lain yang membolehkan perkawinan beda agama selain jenis tersebut.
ahli kitab itupun Ali masih mengkaji ulangnya, yakni dengan menafsirkan apa yang
pemikirannya dengan konsep ahli kitab yang dimaksud oleh Imam al-Syafi’i dimana
istilah ahli kitab hanya menunjuk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari
keturunan Bani Israi’il. Alasannya karena baik Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus
kepada Bani Israil dan bukan bangsa-bangsa lain.. selain itu pada surah al-Maidah
ayat 5 memakai redaksi min qoblikum (sebelum kamu). Sehingga mereka yang
menganut Yahudi dan Nasrani selain keturunan Bani Israil tidak dikategorikan Ahli
kitab.6 Sehingga dalam konteks keindonesiaan maka ahli kitab yang dimaksud tidak
bisa disandingkan dengan seorang yang beragama Yahudi, Protestan ataupun Katolik
di Indonesia, yang artinya menurut Ali perkawinan beda agama dalam konteks
5
Lihat Q.S. Al-Maidah ayat 5
6
Ali Mustafa Yaqub, Nikah beda Agama, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)h.22-23. Lihat
juga: Ibn Jarir al-Thabari, Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an, h. 233
76
Lalu adapun yang melandasi Cak Nur dalam membolehkan segala bentuk
perkawinan beda agama yakni karena Cak Nur berpandangan surah al-Maidah ayat 5
yang membenarkan praktik perkawinan beda agama dengan perempuan ahli kitab
adalah ayat yang telah me-nasakh ayat-ayat sebelumnya yang melarang pekawinan
beda agama, sehingga ayat ini Cak Nur kategorikan sebagai ayat revolusi, yang
mencoba menyampaikan pesan pada umat manusia bahwa Al-Qur’an sebagai suatu
pedoman dan ajaran nilai-nilai hidup adalah berisikan ajaran pembebasan dan
bukanlah belenggu. Selain itu juga Cak Nur menafsirkan terminologi musyrik dalam
Al-Qur’an yang menurutnya hanya berlaku pada orang-orang pada zaman dahulu
pada bangsa arab. Hal ini diketahui bahwa surah al-Baqarah ayat 221 yang
menjelaskan larangan perkawinan dengan seorang musyrik adalah ayat yang turun
dalam situasi perang, sehingga dipahami mereka yang musyrik adalah mereka yang
Perbedaan yang nyata antara pemikiran Cak Nur dengan Ali ini sangat jelas
agama secara berturut-turut pada surah al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat 5,
akan tetapi keduanya memiliki kesimpulan hukum yang berbeda dengan metode
penafisran pemikiran yang berbeda juga. Hal ini kita ketahui sebagai hal yang lumrah
dalam dunia penelitian dan pemikiran, meskipun demikian hemat peniliti hal tersebut
7
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.161
77
aturan pembenar (hukum yang legal) harus sesegera mungkin muncul ke permukaan.
Terkait teori yang dikemukakan oleh Ali dalam menjelaskan terminologi ahli
kitab yang membatasinya hanya pada golongan ahli kitab terdahulu, hemat peneliti
hal tersebut tidaklah fair, hal ini berangkat dari adigium bahwa Al-qur’an adalah
pedoman hidup (way of lie) bagi seluruh umat manusia, sehingga mendefinisikan ayat
secara parsial dengan konteks tempat, waktu atau kelompok tertentu rasanya kurang
tepat.
Lalu terminologi ahli kitab juga dapat diartikan sebagai orang-orang yang
Nya, sehingga terminologi tersebut tidak terbatas pada Yahudi dan Nasani saja. Hal
demikian senada dengan pendapat Imam Abu Hanifah (w.150 H) dan ulama lain dari
mazhab Hanafi yang menyatakan, siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi,
atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahli kitab, sehingga ahli
kitab menurut mereka tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani semata.8
ahli kitab adalah tetap dapat dibenarkan. Hal ini sesuai dengan asas lex postariori
derogat legi priori9 yang menjadikan pembenar perkawinan dengan perempuan ahli
8
Badran Abu al-Aynayn Badran, al-Alaqah al-Ijtima‟iyyah bainna al-Muslimin Ghair al-
Muslimin (Iskandariah: Mu’assasah Syabah al-Jami’ah, 1984) h.40-41
9
Lex postariori derogat legi priori adalah asas dalam ilmu peraturan perundang-undangan
yang pengartiannya sama dengan konsep nasakh mansukh, dimana adanya ketentuan hukum yang baru
78
kitab yakni al-Maidah ayat 5 adalah ketentuan yang berlaku sekarang bukanlah ayat-
dulu yang memerangi Islam dari bangsa Arab, menurut hemat peneliti hal tersebut
teap lebih baik jika hal tersebut dihindari. Karena terdepat beberapa hikmah ketika
dianataranya yakni karena pada prinsipnya antara seorang muslim dan seorang non-
muslim masing-masing memiliki pandangan hidup (way of life) dan filosofi hidup
yang berbeda. Seorang muslim meyakini akan adanya rukun Iman yang diantaranya:
percaya kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Esa, percaya kepada Nabi-nabi
kitab suci, percaya kepada malaikat-malaikat dan percaya juga pada adanya hari akhir
pendidikan dan penanaman nilai terhadap keturunan (anak) mereka nantinya, karena
menghapuskan ketentuan hukum yang sebelumnya. Lihat Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-
undangan 2, (Jakarta: 2003)
79
keagaman dan kepercayaan masing-masing orang tua, hal demikian dilakukan dengan
dasar untuk mendapat klaim dan pengakuan yang lebi dari sang anak, serta bentuk
Yaqub
Dalam upaya melakukan istinbat hukum, baik Cak Nur maupun Ali
mendasari pemikiran serta penemuan hukum tentang perkawinan beda agama kepada
sumber hukum yang sama, yakni Al-Qur’an sebagaimana disebutkan diatas, akan
tetapi keduanya menggunakan metode tafsir yang berbeda yang akhirnya mengarah
perkawinan beda agama ke dalam tiga, yakni: perkawinan antara muslim dengan
telah mutlak mengharamkan terjadinya praktek perkawinan seperti itu. Ali bertolak
pada fiman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 221, yang Ali maksud dalam
pengertian musyrik adalah seorang non-muslim selain dari kalangan ahli kitab.10
10
Lihat Ali Mustafa Yaqub, Nikah beda Agama, h. 27
80
Sementara menurut Cak Nur ayat ini telah di nasakh oleh al-Maidah ayat 5,11 lalu
lebih dari itu Cak Nur mengartikan terminologi Musyrik pada ayat ini, adalah mereka
yang menyembah berhala dari orang-orang bangsa arab serta memerangi Islam.12
Pendapat Cak Nur ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Abu Ja’far Ibnu
Jarir al-Thabiri13 yakni musyrik adalah orang-orang bangsa Arab yang tidak memiliki
kitab suci. Sehingga menurut Cak Nur selain dari perempuan kategori musyrik itu
Dalam kategori ini, peneliti menilai bahwa redaksi memerangi Islam dan
memiliki kitab suci sebagai upaya untuk menterjemahkan maksud dari musyrik
adalah cukup tepat, sehingga tidak seperti Cak Nur yang membatasi pada bangsa
Arab saja atau Ali yang mengkategorikan semua non-muslim selain ahli kitab. Maka
terminologi musyik dengan begitu lebih dirasa rasional. Meskipun demikian, maksud
dari memerangi Islam adalah hal yang harus diteliti lagi lebih lanjut tentang konsep
dan batasannya, karena boleh jadi upaya atau niat sekecil apapun yang berbeda
dengan apa yang dikehendaki ajaran Islam bisa dikategorikan dengan memerangi
Islam. Sehingga agaknya peneliti pun beranggapan perkawinan seperti in tetap harus
dihindari.
Kedua, tentang mengawini perempuan ahli kitab adalah diantara yang telah
jelas dasar hukumnya, yakni surah al-Maidah ayat 5, sehingga bagi Cak Nur
11
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.162
12
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.160-161
13
Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an ta‟wil Ay al-Qur‟an, h.467
81
perkawinan seperti ini sangat jelas kebolehannya. Sementara menurut Ali terminologi
ahli kitab hanya untuk keturunan Bani Israil saja, maka seperti yang telah dikemukan
sebelumnya, bahwa peneliti menyimpulkan pandangan Ali tesebut tidak tepat, Selain
itu untuk menentukan suatu produk hukum, maka penting untuk menelaah suatu
golongan:
didatangkan syariat’”.
segala yang terdapat pada maslahat kepada nash yang mengadung maslahat
itu. Hanya saja mereka itu tidak menghagai maslahat terkecuali ada syahid
disaksikan oleh sesuatu nash atau oleh sesuatu dalil, dan itulah yang mereka
maslahat yang ditetapkan oleh syariat. Maka walaupun tidak disaksikan oleh
sesuatu dalil tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu
82
dalil yang berdiri sendiri dan mereka namakan maslahah mursalah atau
istislah.14
dengan perempuan ahli kitab adalah boleh sebagaimana yang termaktub dalam Q.S.
perempuan ahli kitab bahkan dalam konteks Indonesia. karena, peneliti berpandangan
bahwa ahli kitab adalah mereka-mereka yang memiliki kitab suci seperti
dalam kategori ini Ali mengharamkannya secara mutlak, hal ini didasarinya selain
pada dalil-dalil Al-Qur’an seperti al-Baqarah ayat 221 atau al-Mumtahanah ayat 10,
juga dari dalil lainya seperti hadis yang diriwayatkan Jabir bin Abdillah oleh Ibnu
14
Hasbi Ashiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 335
15
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988), h. 5
16
Lihat Badran, al-Alaqah al-Ijtima‟iyyah bainna al-Muslimin Ghair al-Muslimin, h.40-41
17
Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an ta‟wil Ay al-Qur‟an, h. 378
83
Selain itu juga Ali berlandaskan pada Ijma Sahabat, hal ini karena
dikalangan para sahabat tidak ada yang membolehkannya, sehingga hal tersebut
menjadi konsensus (ijma‟) para sahabat.18 Sementara menurut Cak Nur dikarenakan
tidak adanya larangan yang sarih terkait kategori ini, maka seharusnya perkawinan
semacam ini menjadi wilayah ijtihad dalam upaya untuk menentukan sesuatu ketika
terjadinya kekosongan hukum. Adapun hadis seperti di atas menurut Cak Nur hadis
tersebut tergolong hadis mawquf, yaitu hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir
sehingga dapat dikategorikan sebagai hadis yang tidak sahih. Karena perkawinan
kategori ketiga ini berada pada wilayah ijtihadiyah, maka Cak Nur mencoba
Tentang perkawinan kategori ketiga ini, menurut peneliti bahwa Cak Nur
dinilai terlalu berani dalam menghukumi boleh, meskipun dari metode pencarian
hukum yang Cak Nur lakukan akhirnya menghasilkan bahwa tidak ada larangan yang
sarih, namun hal tersebut harusnya tidak serta-merta menjadi alasan untuk
cukup religius akan sulit menerima tafsiran-tafsiran berani seperti ini, belum lagi
yakni dengan konsep jal-bul manfa‟ah wadaf „ul madharah yang artinya menarik
18
Lihat Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.36-44
19
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h. 164
84
Dari analisis yang peneliti lakukan dan temui secara umum tentang
eksistensi pemikiran kedua tokoh tersebut, yakni pemikiran Ali Mustafa Yaqub yang
tidak lain dipengaruhi oleh lingkungan pesanteren yang cukup kental, dan corak
pemikiran yang bermazhab syafi’iyah, lalu melanjutkan studinya pun dengan latar
pedidikan yang sangat terkait, dan pada akhirnya menguatkan disiplin ilmu yang telah
dipelajarinya sejak dari masa kanak-kanak, yakni dalam bidang ilmu hukum Islam.
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran filsafat baik dari barat maupun timur, kemudian
kehidupan di negara tersebut lebih plural, sehingga tidak dielakkan lagi jika produk
yang beberapa diantaranya menentang pemikiran klasik. Cak Nur juga merupakan
20
Hasbi Ashsiddqieqy, Falsafah Hukum Islam cet-VI, h. 329
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
yang didasari pada firman Allah SWT pada surah al-Maidah ayat 5. Namun
dalam hal ini Ali mengkategorikan terminologi ahli kitab hanyalah pada
Yahudi dan Nasrani keturunan Bani Israil saja sehingga hal ini tidak
terminologi ahli kitab adalah orang-orang yang memiliki kitab suci yang
diturunkan kepada Nabi, sehingga tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani
saja.
menurut Ali perkawinan antara muslim dengan musyrik adalah haram hal
ini didasari pada surah al-Baqarah ayat 221 yang didalamnya menegaskan
musyrik merujuk pada non-muslim selain dari kalangan ahli kitab. Berbeda
dan tidak memiliki kitab suci, serta berupaya untuk memerangi Islam.
tangga dan dikhawatirkan sang istri dan anaknya nanti akan mengikuti
agama suami, selain faktor tersebut juga pelarangan ini didasarkan pada
surah al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarah ayat 221, selain itu juga
terdapat hadis dan ijma yang menguatkan pendapat Ali. Berbeda halnya
dengan Cak Nur yang berpendapat boleh, hal ini karena menurutnya tidak
ada larangan yang sarih terkait perkawinan ini, adapun hadis yang
diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah adalah tidak sahih, sehingga karena
akan merugikan Islam waktu itu, maka dewasa ini menurut Cak Nur hal
dilakukan secara terbuka dan jumlah muslim di dunia sudah cukup banyak.
4. Metode istinbat hukum yang digunakan oleh Cak Nur ialah dengan
mempertahankan tauhid adalah hal yang urgen, hal ini karena perkawinan
keputusan hidup.
B. Saran
khususnya adalah:
2. Untuk para peneliti dan akademisi agar mengkaji lebih dalam lagi tentang
sebagai norma pembenar yang dapat memberikan titik temu dan menjadi
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Anshor, Maria Ulfah dan Sinaga, Martin Lukito. Tafsir Ulang Perkawinan Lintas
Agama:Perspektif Perempuan dan Pluralisme. Jakarta: KAPAL Perempuan,
2004
Ashsiddqieqy, Hasbi. Falsafah Hukum Islam cet-VI. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
90
Baso, Ahmad dan Nurcholish, Ahmad (ed.). Pernikahan Beda Agama: Kesaksian,
Argumen Keagamaan, dan Analisis Kebijakan. Jakarta: KOMNAS HAM
bekerja sama dengan ICRP, 2005.
Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru Islam Indonesia :
Pemikiran dan Aksi Politik. Bandung: Zaman wacana mulia, 1998.
Djalil, Basiq. Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi
Hukum Islam. Jakarta, 2003.
Eoh, Budha O.S. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman Penulisan
Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
Ibn Jarir al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad. Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an,
dikomentari Shudqi Jamil al-Atthar. Beirut: Dar al-Fikr, 2001. jilid II.
______,_____. Sekapur Sirih dalam Sukidi: Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta:
Kompas, 2001.
92
______,_____. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1992.
Mogahed, Dalia dan Esposito, John L. Saatnya Muslim Bicara!, Jakarta: Mizan,
2008.
Mualim, Amir dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam VI. Yogyakarta:
UII Press, 2001.
PUSHAM UII. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: UII Pres, 2008.
Qudamah, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad bin. Al-Mughni Juz IX.
Saudi Arabia: Dar Alam al-Kutub, 1997.
Slamet Abidin dan Aminuddin. Fiqh Munakahat 1. Bandung: Pustaka setia, 1999.
Soedharyo, Soimin. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Sopyan, Yayan, Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakata : Rajawali
Press, 2004.
Yaqub, Ali Mustafa. Nikah Beda Agama dalam Al-Qur‟an dan Hadis. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005.
______,_____. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta : Pustaka Firdaus, cetakan
ke 4, 2008.
______,_____. Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut
al-Quran dan Hadis. Jakarta : PT Pustaka Firdaus, Cetakan ke-2, 2008.
______,_____. Isbat Ramadhan, Syawal dan Zulhijah Menurut al-Kitab dan Sunnah.
Jakarta : Maktabah Darus-Sunnah, 2013.
Yunu, Jarwo, Aspek Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, Jakarta: CV. Insani,
2005.