You are on page 1of 108

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

STUDI PERBANDINGAN PEMIKIRAN PROF. DR. NURCHOLISH


MADJID DAN PROF. DR. ALI MUSTAFA YAQUB

Oleh :

Muhamad Irpan
NIM: 1111044100006

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2016 M
PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA
(Studi Perbandingan Pemikiran Prof.Dr.Nurcholish Madjid dan Prof.Dr.Ali
Mustafa Yaqub)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Muhamad Irpan
NIM: 1111044100006

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2016 M

i
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyaakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memeperoleh gelar Strata Satu (S1) Program Studi

Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai denga ketentuan yang berlaku di Program Studi Hukum Keluarga

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya aau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 9 November 2016

Muhamad Irpan

iv
ABSTRAK

MUHAMAD IRPAN. NIM: 1111044100006. Perkawinan Beda Agama di


Indonesia (Studi Perbandingan Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid dan
Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub). Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/
2016 M. xiii + 94 halaman.
Perkawinan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia, sehingga
adanya permasalahan dalam perkawinan, seperti prakek perkawinan beda agama yang
belum bisa diterima oleh masyarakat, haruslah dikaji dan diteliti untuk mencapai
kesimpulan hukum dari status kebolehannya yang masih bernilai ambigu. Dalam
upaya mengetengahkan permasalahan ini, maka meneliti pemikiran para ahli yang
pemikirannya sangat berpengaruh dalam perkembangan persepsi masyarakat, yakni
Nurcholish Madjid dan Ali Musafa Yaqub yang diharapkan mampu menuntun untuk
menemukan titik temu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dialektika perdebatan pemikiran
Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub, yakni dengan cara meneliti konsep
pemikirannya dan metode istinbat yang digunakan. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif yang termasuk jenis penelitian normatif yang bersifat
deskriptif analitis. Data-data dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data studi
kepustakaan dengan menggunakan pendekatan komparatif.
Dari hasil penelitian ini, kesimpulan yang didapat dari pemikiran Nurcholish
ialah bahwa menurutnya segala bentuk perkawinan beda agama adalah boleh,
sepanjang yang melakukan adalah laki-laki dan perempuan, hal ini termasuk
diantaranya perkawinan atas perempuan muslim dan laki-laki non-muslim, yang
didasari dari argumentasi akan tidak adanya larangan yang sarih, sehingga beliau
berijtihad dan menghukuminya boleh, sementara Ali menghukumi semua jenis
perkawinan beda agama adalah dilarang, hal ini termasuk diantaranya perkawinan
dengan perempuan ahli kitab, karena menurutnya perempuan ahli kitab yang
dimaksud al-Maidah ayat 5 hanyalah terbatas pada keturunan bani israil dizaman
dahulu, sehingga konteks Indonesia sekarang, perkawinan tersebut tidak dapat
dibenarkan.

Kata Kunci : Perkawinan Beda Agama, Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub
Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag.

v
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Dzat yang maha kuasa dengan

segala konsep nilai-Nya dan yang maha benar dengan segala logika hukum-Nya, juga

tidak pernah putus rahmat dan kasih saying-Nya kepada kita semua. Ia-lah yang telah

memperkenankan penulis untuk beraktivitas sebagai seorang muslim dan mahasiswa

dengan sebaik-baik proses, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas

akhir ini.

Lalu, sebagai seorang insan sudah sepatutnya kita berkaca, mengikuti dan

menjadikan Rasulullah Muhammad saw sebagai satu-satunya panutan, beliaulah

sebaik-baik insan. Rakanda yang kepadanya sudah sangat harus dan selalu kita

curahkan shalawat serta salam. Karena beliau pulalah yang telah berjuang

mereformasi sistem peradaban dunia, sehingga menjadikan bumi tempat yang

semakin mapan dan nyaman untuk kita beribadah dan beramal soleh.

Alhamdulillah atas karunia Allah yang telah diberikan, dan tentunya dengan

berbagai kotribusi dari segala pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini, khususnya kepada Ayahanda tercinta Abdurahman,S.Hi dan Ibunda tercinta

Srimulyati, serta adik-adik kandung penulis (Siti Sarah, Hafidz Ramdhani, Nur

Azizah, Ahmad Furqon, dan Lutfi Maulana) yang senantiasa membantu dan

mendoakan, serta memberikan masukan-masukan dalam menghadapai segala

kesulitan dan tantangan yang dialami, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun

dalam menyelesaikan masa studi jenjang Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri

vi
Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa

memberikan keberkahan dan kebahagiaan kepada kita. Amin!

Selain itu, Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak

lainnya yang juga turut membantu, memberikan motivasi dan pengaruh positif selama

masa studi ini. Oleh sebab itu, terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, sekaligus Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan

waktunya untuk memberikan pelayanan akademik, memberikan motivasi, dan

memberikan masukan-masukan dalam penyusunan skripsi ini dari awal

hingga akhirnya dapat terselesaikan;

4. Dr. A. Juaini Syukri, Lc, MA., Dosen Penasehat Akademik yang telah

memberikan arahan-arahan semasa studi;

5. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta, segenap dosen, karyawan, dan staff yang telah

banyak membantu dan memberikann pencerahan, serta menyediakan fasilitas-

fasilitas yang memudahkan penulis menjalani studi sampai akhirnya dapat

menyelesaikan skripsi ini;

vii
6. Para pustakawan di Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan pelayanan dan menyediakan referensi bagi penulis, mulai

dalam pemenuhan tugas-tugas perkkuliahan sampai pada proses penyelesaian

skripsi ini;

7. Kawan-kawan di Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum

Keluarga angkatan 2011, dan kawan-kawan program double degree pogram

studi Ilmu Hukum konsentrasi Kelembagaan Negara angkatan 2013, yang

telah bersama-sama berjuang dalam memperluas kelimuan dan wawasan

dengan belajar bersama dan berdiskusi;

8. Keluarga Besar Korps Alumni HMI (KAHMI) Cabang Ciputat, yang telah

banyak membantu penulis selama menjalani masa studi, dan memberikan

pembelajaran kedewasaan dalam berorganisasi khususnya di HMI;

9. Keluarga Besar HMI Cab. Ciputat, khususnya kepengurusan periode 2016-

2017 dan Keluarga Besar HMI Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum,

khususnya kepengurusan periode 2015-2016, yang telah sama-sama berjuang

dan belajar dalam kematangan berorganisasi, serta memperluas jaringan

dalam berkomunikasi dan berdiskusi, sehingga penulis menjadi semakin

pecaya diri mengasah kemampuan soft skill sebagai upaya kemajuan;

10. Keluarga Besar Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam

(LKBHMI) Ciputat, Lembaga Kajian Mahasiswa Ahwal Syakhsiyyah (El-

Kamasy), Himpunan Mahasiswa Bogor (HIMABO) Jakarta, KOMPAK,

FAHAM 11, dan organisasi eksternal lainnya yang penulis ikuti selama

viii
menjalani studi, terima kasih karena berorganisasi telah memicu penulis untuk

menjadi lebih kritis dan mempertajam daya nalar, serta menjadi diantara

alasan akan kecintaan penulis dalam berdiskusi;

11. Keluarga Besar DEMA FSH dan HMPS Hukum Keluarga, yang juga telah

memberikan pengalaman dalam berorganisasi dengan baik dilingkungan

kampus, sehingga penulis dapat belajar cara mengelola sistem dengan baik;

12. Rekan-rekan kost White House dan kost H. Subuh, serta rekan-rekan

seperjuangan lainnya yang telah menemani dan memberi motivasi kepada

penulis untuk terus berjuang menyelesaikan studi.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh pihak

yang turut serta dalam memberikan dukungan, dan motivasi bagi penulis dalam

menjalani masa studi hingga dapa menyelesaikan skripsi ini, yang tentunya tidak

dapat penulis tuliskan satu-persatu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua.

Jakarta, 9 November 2016

Penulis

Muhamad Irpan

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv
ABSTRAK ………………………………….……….………………..................... v
KATA PENGANTAR ..…………………………….……………………….......... vi
DAFTAR ISI …………………………..……………………………….................. x
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………….…………………..………...… 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………..... 7
D. Tujuan dan Manfaat ……………………………………..……...... 7
E. Tinjauan (review) ………………………………………..……...... 8
F. Kerangka Teori ……….……......……………………….……..…..11
G. Metode Penelitian ………………………..………………..…..…..13
H. Sistematika Penulisan …………………...…………..………….....17

BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDOESIA


A. Pengertian Perkawinan Beda Agama ……………...……….…...... 19
B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan …...........................………...... 25
C. Regulasi Perkawinan Beda Agama di Indonesia …........................ 32
D. Pandangan Ulama Klasik tentang Perkawinan Beda Agama .......... 37

BAB III BIOGRAFI SOSIAL INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID


DAN ALI MUSTAFA YAQUB
A. Nurcholish Madjid ….........................................……..…………... 43
1. Biografi Sosial ........................................................................... 43
2. Karya-karya Intelektual ............................................................. 45
3. Aktifitas ..................................................................................... 47
4. Pemikiran .................................................................................. 48
5. Metode Istinbat ..........................................................................55
B. Ali Mustafa Yaqub .......................................................................... 57
1. Biografi Sosial ........................................................................... 57
2. Karya-karya Intelekual .............................................................. 60
3. Aktifitas ..................................................................................... 63
4. Pemikiran .................................................................................. 64
5. Metode Istinbat ..........................................................................68

x
BAB IV DISKURSUS PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID DAN ALI
MUSTAFA YAQUB TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Perbandingan Pemikiran Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub
.......................................................................................................... 73
B. Perbandingan Metode Istinbat Hukum Nurcholish Madjid dan Ali
Mustafa Yaqub ................................................................................ 80

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………........…..... 85
B. Saran ………………….……………………………....................... 87

DAFTAR PUSTAKA …..………………………….……………………..…......... 89

xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini menggunakan


transliterasi dari keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI No. 158 tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987. Secara garis besar
uraiannya adalah sebagai berikut:

No ARAB INDONESIA No ARAB INDONESIA

1. ‫ا‬ ‘ 16. ‫ط‬ Th’

2. ‫ب‬ B 17. ‫ظ‬ Dh

3. ‫ت‬ T 18. ‫ع‬ ‘

4. ‫ث‬ Ts 19. ‫غ‬ Gh

5. ‫ج‬ J 20. ‫ف‬ F

6. ‫ح‬ H 21. ‫ق‬ Q

7. ‫خ‬ Kh 22. ‫ك‬ K

8. ‫د‬ D 23. ‫ل‬ L

9. ‫ذ‬ Dh 24. ‫م‬ M

10. ‫ر‬ R 25. ‫ن‬ N

11. ‫ز‬ Z 26. ‫و‬ W

12. ‫س‬ S 27. ‫ه‬ H

13. ‫ش‬ Sy 28. ‫ء‬ ‘

xii
14. ‫ص‬ Sh 29. ‫ى‬ Y

15. ‫ض‬ Dh

xiii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat,

dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi

utama bagi pembentukan negara dan bangsa.1 Mengingat pentingnya peranan

hidup bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh

negara. Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara

seorang pria dan wanita yang kemudian dijelaskan dalam pasal 1 Undang-Undang

No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi bahwa “perkawinan ialah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2

Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi

semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar

dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam

kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran3, perkawinan

1
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga,. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 31
2
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentqng Perkawinan, (Jakarta:
CV Akademika Pressindo, 1986), h. 64.
3
Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran
adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
2

sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan

(agama) yang berbeda.

Perkawinan beda agama adalah salah satu bentuk permasalahan yang

sering kali muncul di tengah masyarakat, selain karena masyarakat belum bisa

menerima sepenuhnya, perkawinan tersebut juga seringkali menghadapi masalah-

masalah di kemudian hari.

Terkait perkawinan beda agama konteks keindonesiaan, maka tidak bisa

dikesampingkan mengenai pemikiran Prof.Dr.Nurcholish Madjid. Cak Nur

(sapaan akrabnya) berlandaskan pada pemaknaan konsep Islam ad-din, dan at-

tauhid menyatakan konsep kesatuan kebenaran dalam jantung tiap-tiap agama.

Cak Nur menyatakan setiap ketundukan agama yang benar adalah sikap pasrah

(al-Islam) kepada Tuhan yang maha esa (at-tauhid).4 Dengan kata lain,

mengesakan Allah dan sikap pasrah kepadanya adalah peran besar setiap agama

yang benar. Namun, manifestasi dari pesan-pesan dasar itu beragam sesuai

kebutuhan tempat dan zaman.5

Pemikiran Cak Nur tersebut bermuara pada pendapat adanya titik temu

antar agama yang berkembang di dunia. Konsep titik temu merupakan ide atau

prinsip yang sama, yakni ajaran bersama antar umat yang beragama berdasar pada

berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang
dimaksudkan di sini.
4
Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish
Madjid “muda” (Bandung: Mizan, 1992) h.182
5
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992) h.437
3

Al-Qur’an surah al-Imran ayat 64. Dalam ayat ini, menurut Cak Nur mengandung

pelajaran bahwa Allah SWT memerintahkan agar Muhammad saw mengajak

komunitas keagamaan yang lain, khususnya penganut kitab suci (Ahl al-kitab)

untuk bersatu dalam titik pertemuan. Sebuah pelajaran yang menegaskan bahwa

titik pertemuan antar agama-agama adalah prinsip ketuhanan yang maha esa.6

Sebagai seorang pemikir dan ilmuan, Cak Nur seringkali juga dianggap

sebagai tokoh penyebar paham pluralisme dan toleransi antar agama, hal ini

didasarkan pada kajian keilmuan beliau serta karya-karya tulisnya yang selalu

bernuansa toleransi antar manusia dalam konteks Indonesia. Kemudian juga

fakta-fakta tersebut yang akhirnya menghantarkan beliau untuk mendiskusikan

sampai akhirnya menerbitkan buku yang berjudul “Fiqh Lintas Agama :

Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis”7 yang dituliskannya bersama beberapa

penulis lainnya. Lalu yang menarik perhatian penulis dalam konten buku

karangan beliau tersebut ialah karena beliau juga membahas tentang perkawinan

beda agama, dimana beliau dalam karyanya tersebut menjelaskan bahwa

pentingnya inklusifitas para pemeluk agama.8

6
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h.7
7
Buku karya Nurcholish Madjid bersama rekan-rekannya ini diterbitkan di Jakarta oleh
Paramadina pada tahun 2003 dengan jumlah halaman 274, yang dituliskan dengan tujuan sebagai
pedoman warga negara Indonesia dalam upaya untuk menciptakan nuansa toleransi antar umat
beragama dan menghindari terjadinya disintegasi bangsa.
8
Nurcholis Madjid. Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta: Paramadina, 2004) h.164
4

Berdasarkan pada pandangan Cak Nur yang inklusif mengenai hubungan

antar agama, sehingga Cak Nur membolehkan perkawinan antar agama. hal ini

berdasar pada pernyataan Cak Nur yang menyatakan bahwa secara teologis

perkawinan beda agama antar laki-laki muslim dengan perempuan perempuan

non-muslim adalah sah menurut Islam.9

Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda

agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima, hal ini juga didasarinya

pada pasal 2 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang

menysaratkan perkwinan untuk dilangsungkan sesuai ketentuan agama, sementara

agama-agama yang dalam hal ini Islam pada umumnya melarang terjadinya

praktek tersebut, Diantara ilmuan sekaligus ulama yang melarang praktek

perkawinan beda agama adalah Prof.Dr.Ali Mustafa Yaqub.

Sebagai salah seorang ulama Hadist yang terkenal dan keilmuannya telah

diakui tidak hanya di Indonesia tapi juga oleh beberapa negara di dunia, hal ini

terbukti dari keaktfian beliau dalam mengikuti atau menghadiri undangan-

undangan kegiatan keislaman tingkat internasional. Lalu sebagai seseorang yang

menggeluti bidang hadis yang mana diketahui bahwa hadis merupakan diantara

sumber hukum Islam, maka beliaupun jarang sekali absen dalam memberikan

penjelasan dan pandangannya tentang konsep dari hukum Islam, salah satu

diantaranya ialah tentang hukum perkawinan beda agama, yang kemudian

9
Pendapat Nurcholish Madjid dalam Ahmad Nurcholish, Memoir Cintaku: Pengalaman
Empiris Perkawinan Beda Agama cet-1, (Yogyakarta: LkiS, 2004) h.iii
5

pandangannya tersebut telah beliau tuliskan juga dalam bukunya yang berjudul

“Nikah Beda Agama dalam al-Qur’an dan Hadits”10. Dalam buku tersebut jelas

beliau memaparkan bahwa perkawinan beda agama pada umumnya adalah

dilarang menurut syariat ajaran islam. Kendati demikian, beliau memaparkan

bahwa perkawinan beda agama yang dimaksud sekurangnya terbagi dalam dua

kategori. Pertama, perkawinan antara muslim dengan non-muslim (musyrik), dan

kedua pekawinan antara muslim dan non-muslim (ahli kitab).

Kemudian, mengenai perkawinan kaum muslim dengan non-muslim (ahli

kitab) terdapat dua kategori juga. Pertama, perkawinana laki-laki muslim dengan

peempuan ahli kitab, dan kedua perkawinan laki-laki ahli kitab dengan

perempuan muslimah. Kedua kategori ini memiliki konsekuensi hukum yang

berbeda.11

Lalu buku Fiqh Lintas Agama karangan Cak Nur dan rekannya juga yang

telah memicu Ali Mustafa Yaqub untuk menuliskan buku Nikah Beda Agama

dalam Al-Quran dan Hadis, sebagai bentuk kritik dan bantahan atas argumentasi

dalam buku tersebut. Bantahan dan kritik tersebut begitu jelas, karenanya hampir

bisa dikatakan keberadaan buku karangan Ali Mustafa Yaqub itu untuk meng-

counter paham dan pemikiran Cak Nur tentang perkawinan beda agama.

10
Buku karya Ali Mustafa Yaqub ini diterbitkan di Jakarta oleh Pustaka Firdaus pada tahun
2005 dengan jumlah halaman 66, yang dituliskan dengan tujuan sebagai pedoman umat, dan untuk
meng-counter segala bentuk pemikiran yang dianggap menyimpang, seperti CLD KHI yang disusun
oleh Musdah Mulia dan Fiqh Lintas Agama oleh Nucholish Madjid dkk.
11
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Al-Qur‟an dan Hadis, (Jakarta :Pustaka
Firdaus, 2005) h.27
6

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah kumpulan masalah-masalah yang berkaitan

dengan tema yang dibahas. Ragam masalah yang muncul pada narasi latar

belakang diatas akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Bagaimana Islam memandang perkawinan beda agama?

2. Bagaiamana kedudukan hukum perkawinan beda agama yang terjadi

di Indonesia?

3. Apa yang melatar belakangi kurang diterimanya perkawinan beda

agama di Indonesia?

4. Apa yang dimaksud dengan terminologi ahli kitab dan musyrik dalam

Al-Qur’an?

5. Bagaimana Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub memandang

perkawinan beda agama baik secara filosofis maupun yuridis?

6. Apa yang menjadi dasar Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub

dalam menentukan arah pemikirannya?

7. Bagaimana metode penetapan hukum yang dilakukan Nurcholish

Madjid dan Ali Mustafa Yaqub?

8. Adakah kontradiksi antara makna filosofis dari perkawinan dengan

doktrin ulama-ulama Islam terdahulu?


7

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas hingga menyebabkan

pokok permasalahan tidak terarah, maka penulis membatasi pada permasalahan

utama, yaitu:

“Hukum perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan yang berbeda

Agama (muslim dengan non-muslim) menurut Nurcholis Madjid dan Ali

Mustafa Yaqub”

Untuk lebih memperjelas penelitian, maka perlu dirumuskan pokok

permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana hukum perkawinan beda agama yang dilangsungkan oleh

seorang muslim dengan non-muslim menurut Ali Mustafa Yaqub

maupun Nurcholis Madjid?

2. Bagaimana metode istinbat hukum yang digunakan oleh Nurcholish

Madjid dan Ali Mustafa Yaqub dalam menghukumi perkawinan beda

agama?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami pemikiran Ali Mustafa Yaqub

maupun Nucholis Madjid tentang hukum perkawinan beda agama

antara muslim dan non-muslim dalam konteks Indonesia.


8

2. Untuk mengetahui metode istinbat hukum yang digunakan oleh

Nurcholish Madjid dalam menghukumi perkawinan beda agama.

Adapun manfaat yang hendak diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Sebagai sumbangsih pemikiran kepada semua kalangan masyarakat

untuk menambah wawasan pengetahuan hukum agar ilmu tersebut

tetap hidup dan berkembang khususnya yang berkaitan dengan hukum

perkawinan beda agama di Indonesia.

2. Sebagai sumbangsih pemikiran terhadap para sivitas akademika agar

memperkaya wawasan serta pengetahuan hukum khususnya terkait

dengan hukum perkawinan beda agama di Indonesia.

3. Dan untuk pribadi sendiri, penelitian ini merupakan suatu pengajaran

berharga dalam melakukan suatu telaah terhadap suatu pemikiran

tentang hukum perkawinan beda agama, dan status/kedudukannya di

Indonesia.

E. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu

Kajian perkawinan beda agama sudah kita ketahui bersama bahwa telah

banyak sekali kajian dan karya baik yang dipublikasi maupun yang menjadi

konsumsi pribadi. Sehingga peneliti hanya akan membahas kajian terdahulu yang

ada kaitan atau hubungannya dengan pemikiran atau pandangan Ali Mustafa
9

Yaqub ataupun Nurcholis Madjid yang menjadi objek kajian utama dalam skripsi

ini.

Diantara karya skripsi yang mengkaji tentang pemikiran Nurcholish

Madjid antara lain: Skripsi oleh Yulia Sandra Yani yang berjudul “Moral dan

Iman dalam Pandangan Nurcholish Madjid”.12 Karya ini mencoba meneliti

konsep moral dan kaitannya dengan Iman menurut Cak Nur. Kemudian Skripsi

oleh Syahrudin A yang berjudul “Analisis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid

tentang Perkawinan Beda Agama”.13 Yang mencoba membaha tentang

perkawinan beda agama hanya dari sudut pandang Cak Nur tanpa

mengkomparasikannya dengan pemikiran ilmuan lain. Lalu thesis oleh Jamiludi

Ali yang berjudul “Islam Kultural : Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid

tahun 1970-1998”,14 skripsi oleh M.Subkhan yang berjudul “Toleransi Beragama

menurut Pemikiran Nurcholish Madjid”,15 skripsi oleh Mufid Ali yang berjudul

“Sistem Pendidikan Pesanten Menurut Nurcholish Madjid”,16 skripsi oleh Agus

Kuntartianto yang berjudul “Upaya Membangun Masyarakat Religius (Studi atas

12
Yulia Sandra Yani, Moral dan Iman dalam Pandangan Nurcholish Madjid, Skripsi pada
tahun 2009 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
13
Syahrudin A, Analisis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Perkawinan Beda
Agama, Skripsi pada tahun 2009 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
14
Jamiludi Ali, Islam Kultural : Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Thesis pada
tahun 1970-1998” tahun 2010 di Universitas Indonesia.
15
M.Subkhan, Toleransi Beragama menurut Pemikiran Nurcholish Madjid, Skripsi pada
tahun 2011 di Institut Agama Islam Negeri Wali Songo.
16
Mufid Ali, Sistem Pendidikan Pesanten Menurut Nurcholish Madjid, Skripsi pada tahun
2011 di Institut Agama Islam Negeri Purwokerto.
10

Pemikiran Nucholis Madjid)”,17 dan skripsi oleh Hendri Gunawan yang berjudul

“Toleransi Beragama menurut Pandangan Hamka dan Nurcholish Madjid”,18 yang

kesemuanya itu tidak sama sekali menyinggung tentang perkawinan beda agama

pemikiran Cak Nur.

Adapun karya-karya tentang pemikiran Ali antara lain: skripsi oleh

Muhammad Husnul Mubarok yang berjudul “Pemikiran Ali Mustafa Yaqub

tentang Arah Kiblat”,19kemudian skripsi oleh Riki Efendi yang berjudul

“Pemikiran dan aktifitas Dakwah Prof.Dr.KH.Ali Mustafa Yaqub,MA”,20 dan

skripsi oleh Muliyani Sari yang berjudul “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub dan

Ahmad Lutfi Fathullah dalam Bidang Hadis di Indonesia”,21 yang

kesemuanyabelum ada yang membahas pemikiran Ali tentang perkawinan beda

agama.

Jika melihat dari kajian-kajian terdahulu yang dipapakan di atas baik

berupa skripsi maupun thesis, maka jelaslah bahwa penelitian yang akan diteliti

dan kaji ini belum pernah dibahas atau diteliti sebelumnya. Sehingga hal ini

17
Agus Kuntartianto, Upaya Membangun Masyarakat Religius (Studi atas Pemikiran
Nucholis Madjid), Skripsi tahun 2013 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
18
Hendri Gunawan, Toleransi Beragama menurut Pandangan Hamka dan Nurcholish
Madjid, Skripsi tahun 2015 di Universitas Muhammadiyah Surakarta
19
Muhammad Husnul Mubarok, Pemikiran Ali Mustafa Yaqub tentang Arah Kiblat, Skripsi
tahun 2015 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakata.
20
Riki Efendi, Pemikiran dan aktifitas Dakwah Prof.Dr.KH.Ali Mustafa Yaqub,MA, Skripsi
tahun 2009 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
21
Muliyani Sari, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub dan Ahmad Lutfi Fathullah dalam Bidang
Hadis di Indonesia, Skripsi tahun 2012 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
11

kemudian menjadi layak dan patut untuk diteliti sebagai sumbangsih pemikiran

dan karya untuk halayak umum.

F. Kerangka Teori

Perkawinan merupakan bagian kajian hukum keluarga (al-ahwal asy-

syakhsiyyah) yang termasuk dalam ahkam muamalah karena melibatkan akad,

sekaligus masuk dalam kategori ibadah karena perkawinan merupakan wujud

penghambaan manusia terhadap tuhannya. Artinya, dalam sistem keluarga

muslim, perkawinan harus dilihat dari sudut pandang norma-norma hukum

keagamaan seklaigus mengindahkan adanya sistem perilaku dan perubahan sosial

dalam masyarakat. Aspek muamalah dalam perkawinan memberi ruang ijtihad

bagi ulama untuk memberikan jawaban hukum yang responsif terhadap

perubahan sosial. Sejalan dengan pemikiran bahwa perubahan massa merupakan

diantara faktor-faktor yang menuntut adanya perubahan hukum.22

Hukum Islam datang sebagai rahmat bagi manusia dan seluruh alam,

tidaklah menjadi rahmat, kecuali apabila hukum Islam itu benar-benar dapat

mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia.23

Kita mengetahui bahwasanya segala syari‟at yang berkembang di dunia

ini bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia, dan yang dimaksud dengan

22
Amir Mualim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam VI, (Yogyakarta: UII
Press, 2001), h. 127
23
Hasbi Ashsiddqieqy, Falsafah Hukum Islam cet-VI, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.
178
12

masalahat itu, ialah: jal-bul manfa‟ah wadaf „ul madharah yang artinya menarik

kemanfaatan dan menolak kemadharatan.24 Menurut Shatibi, maslahah adalah

yang membicaakan substansi kehidupan manusia, dan pencapaian apa yang

dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian

yang mutlak.25 Kemudian maslahah sendiri terdiri dari tiga macam, yaitu:

1. Maslahah Dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan

kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan

seperti ini ada lima, yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa,

memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Semua

itu disebut al-mashalih al khomsah. Kehidupan manusia tidak

memiliki arti, apabila satu dari lima itu tidak ada. Dan segala usaha

yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima

prinsip tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat dharuri.

2. Maslahah Hajiyah, yaitu maslahah yang dibutuhkan dalam bidang

ibadah, orang sedang sakit atau dalam perjalanan jauh (musafir) dalam

bulan ramadhan, diberi keringanan oleh syariat untuk tidak berpuasa

dengan kewajiban mengganti puasa yang ditinggalkan itu pada hari-

hari yang lain setelah ia sembuh atau setelah kembali dari

perjalanannya. Semua ini disyaratkan oleh Allah SWT untuk

mendukung kebutuhan dasar al-maslahah al-khomsah di atas.

24
Hasbi Ashsiddqieqy, Falsafah Hukum Islam cet-VI, h. 329
25
Al-Shatibi, Al-Muwafaqat Vol.II, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t.), h. 25.
13

3. Maslahah Tahsiniyah, ialah maslahah yang kebutuhan hidup manusia

kepadanya tidak sampai tingkat dharui, juga tidak sampai tingkat

hajiyah, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka

memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.26

G. Metode Penelitian

Metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan

tertentu, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa dengan menggunakan

teknik tertentu. Cara utama ini dipergunakan setelah peneliti memperhitungkan

kewajaran, ditinjau dari penelitian dan situasi penelitian.27 Dan metode adalah

proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan

penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu

gejala untuk merambah pengetahuan manusia.28 Jadi metode penelitian dapat

diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah-

masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.

Dalam penelitian skiripsi ini penulis menggunakan metode penulisan

sebagai berikut:

26
Wahidul Kahhar, Efektifitas Al-Mulslah dalam Penetapan Hukum Syara, (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2003), h. 15
27
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1980), h. 63
28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 6
14

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian kualitatif29.

Lalu pendekatan-pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah

pendekatan deskriptif analisis. Analisis ini akan digunakan dalam usaha mencari

dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menafsirkan data yang

sudah ada. Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan eliti terhadap suatu

obyek penelitian,30 yakni dengan menekankan pada karya dan argumentasi

Nurcholis Madjid dan Ali Mustafa Yaqub tentang perkawinan beda agama.

Pendekatan ini dimaksudkan untuk menelaah, mengkritik, serta diharpakan dapat

memberi solusi terkait dengan perkawinan beda agama.

2. Sumber Data

Sumber data31 dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi sumber data

primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah buku “Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadis

karangan Ali Mustafa Yaqub” dan argumentasi-argumentasi beliau terkait

perkawinan beda agama serta buku “Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat

Inklusif-Pluralis dan Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan” karangan Nurcholis Madjid”,

29
Penelitian Kualitatif yaitu jenis data dan analisis data yang digunakan bersifat naratif
dalam bentuk pernyataan yang menggunakan penalaran. Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian,
(Jakarta: Buku Ajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010), h. 26.
30
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h.116
31
Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data diperoleh. Suharsimi
Arikunto, Prosedur Penelitian: Suata Pendekatan Praktek, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002), h. 107
15

karya-karya dan argumentasi beliau tentang perkawinan beda agama. Sedangkan

sumber data sekunder diperoleh terdiri dari peraturan perundang-undangan yakni

UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan sumber lainnya seperti buku-buku,

surat kabar, kamus, majalah, hasil penelitian, jurnal, artikel, internet dan lain

sebagainya yang dapat memberikan penjelasan data-data primer.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

dengan Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca,

mempelajari serta menganalisa dengan metode dokumentasi atau studi

dokumentasi. Dokumentasi, dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-

barang tertulis.32

4. Analisis Data

Analisis data33 yang digunakan berdasarkan pada tujuan penelitian yang

ingin dicapai, maka dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah tersedia

dari berbagai sumber yaitu pengamatan, dokumentasi dan data yang diperoleh

dari pustaka dengan mengadakan reduksi data, yaitu data-data yang diperoleh dari

kepustakaan yang dirangkum dengan memilih hal-hal yang pokok serta disusun

lebih sistematis sehingga mudah dikendaliakan. Maka dalam hal ini penulis

menggunakan analisa data kualitatif, dimana data dianalisa dengan metode

32
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Cet. Ke-12 (Jakarta:
2002) h. 135
33
Analisis data adalah suatu proses penyederhanaan kedalam bentuk yang lebih mudah
untuk dibaca dan di interpretasikan Hadi, Metodologi Research, h 37.
16

deskriptif, dengan cara mengidentifikasi, menyusun dan mengolah, menguraikan

secara sistematis, kemudian dilakukan analisa dengan menjabarkan,

menginterpretasikan dengan penafsiran sistematis, sosiologis, historis dan

menyusun secara logis dan sistematis. Untuk menarik hasil dan kesimpulan dari

penelitian inin. Penulis akan menyajikan dengan menggunakan metode deduktif.34

Metode selanjutnya adalah dengan menggunakan analisis komparatif,

yaitu peneliti menganalisis dengan menggunakan logika perbandinga. Komparasi

yang dibuat menggunakan komparasi fakta-fakta replikatif. Kompaasi faktaa-faka

dapat dibuat konsep atau abstraksi teoritisnya sehingga dapat menyusun kategoi

teoritis pula. Komparasi juga dapat menghasilkan generalisasi. Fungsi

generalisasi adalah untuk membantu memperluas terapan teorinya, mempeluas

daya pediksinya.35

5. Pedoman Penulisan Data

Dalam penulisan data ini, penulis berpedoman pada ketentuan penulisan

skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah tahun 2012.36

34
Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, h.140
35
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997) h.139
36
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan
Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).
17

H. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini, peneliti membahas lalu menguraikan

masalah yang dibagi dalam 5 (lima) bab, dan setiap bab berisikan beberapa sub-

sub bab. Penyusunan yang seperti ini dimaksudkan agar dapat menguraikan setiap

permasalahan dengan baik dan terperinci. Adapun sistematika yang dimaksud

adalah sebagai berikut:

Pertama, membahas latar belakang permasalahan, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan (Review)

kajian terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan

Kedua, membahas tentang konsep perkawinan beda agama pada umumnya

yang sesuai dengan ketentuan hukum islam dan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia yang mencakup uraian tentang pengertian

perkawinan, syarat sah perkawinan, pengertian perkawinan beda agama serta

regulasi dan tata hukum di Indonesia.

Ketiga, membahas Biografi dan Pemikiran dari Nurcholish Madjid dan

Ali Mustafa Yaqub, dimulai dari latar belakang keluarga, latar belakang

pendidikan, karya-karya beliau, corak pemikiran dan pemikirannya tentang

perkawinan beda agama.

Keempat, menganalisa perbandingan pemikiran Nurcholish Madjid dan

Ali Mustafa Yaqub tentang perkawinan beda agama serta metode istinbat hukum

dan pandangan hukumnya.


18

Kelima, kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan

sebelumnya. Serta saran-saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini.


19

BAB II

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

A. Pengertian Perkawina Beda Agama

1. Pengertian Perkawinan

Abdur-Rahman Al-Juzairi menyatakan kata kawin (nikah) dapat didekati dari

tiga aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli

(syar‟i) dan makna fiqhi (hukum).1 Pembahasan lebih lanjut hendak mencoba

menjabarkan dari masing-masing pengertian yang baru saja disebutkan. Terutama

dari sudut pandang makna lughawi dan makna fiqhi (hukum). Sedangkan dari sudut

pandang ushuli (syar‟i), akan dititik beratkan pada hal-hal yang bertalian erat dengan

pendekatan filsafat hukum.2

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut

bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan

kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata

nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan dan

digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan

untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.3

1
Lihat Abdur-Rahman Al-Juzairi, al-Fiqh „alal-Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut-Lubnan: Dar
al-Fikr, 1990) h.2
2
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, (Rajawali press, Jakarta
2005) h.41
3
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat cet-3, (Jakarta: Kencana, 2008), h.7
20

Dalam literatur Islam, yang sesungguhnya semata-mata merupakan keturunan

dari istilah yang digunakan al-Qur,’an dan hadits, perkawinan lazin diistilahkan

dengan sebutan an-nikah atau at-tazwij. Secara literer, nikah (kawin) artinya

berkumpul atau berhimpun (adh-dhamm wa al-jam‟), di samping juga berarti

bersetubuh dan akad sekaligus (al-wath‟ wa al-„aqad) yang lazim diistilahkan dengan

ungkapan akad pernikahan/akad perkawinan („aqd an-nikah au „aqd at-tazwij).4

Adapun yang dimaksud dengan nikah dalam konteks syar‟i seperti

diformulasikan para ulama fiqih, terdapat berbagai rumusan yang satu sama lain

berbeda-beda. Jangankan atara mazhab fiqih yang berbeda aliran politik dan mazhab

teologisnya, antara mazhab fiqih yang sama aliran teologis dan aliran politiknyapun

tidak jarang diwarnai perbedaan. Perhatikan misalnya ta‟rif nikah yang diberikan oleh

empat mazhab (Hanafiah, Syafi’iah, Malikiah, dan Hanabilah), yang aliran politiknya

lazim dianggap sama-sama Sunni dan aliran mazhab teologisnya sama-sama dalam

lingkungan Ahlus-Sunnah Wal-jama‟ah (Asy‟ariyah/Maturidiyah), toh berlainan juga

dalam memberikan definisi perkawinan.5

Apalagi dihubungkan dengan para fuqaha yang beraliran politik teologis

berbeda semisal Khawarij, Syi’ah dan lain sebagainya. Karenanya, hampir mustahil

kita bisa mempertemukan berbagai definisi nikah atau perkawinan itu dalam satu

rumusan yang benar-benar representatif, apalagi lengkap sempurna memuaskan

4
Muhamad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia telaah Syariah dan Qanun.
(Jakarta: Lentera Hati, 2015) h. 18.
5
Abdur-Rahman Al-Juzairi, al-Fiqh „alal-Madzahib al-Arba‟ah, h.2-3
21

semua pihak. Namun sungguhpun demikian, betapapun sulit dan apapun alasannya,

kita tetap penting mengenali definisi nikah atau perkawinan ini sebagai pijakan bagi

pembahasan selanjutnya. Lagi pula perbedaan yang ada pada masing-masing definisi

perkawinan itu pada umumnya bahkan secara keseluruhannya tidak dalam bentuk

yang konfontatif melainkan perbedaan dalam hal-hal yang bersifat keberagaman.6

Atas dasar ini maka berbagai perbedaan yang ada seputar masalah perkawinan

bukan suatu hal yang mustahil manakala di masa-masa mandatang justru akan

memberikan sumbangsih positif bagi masing-masing negara Islam/negara

berpenduduk muslim untuk saling mengadopsi hukum perkawinan yang lebih baik

dan lebih adil. Penganutan paham secara ketat dan kaku kepada mazhab tertentu

(taklid buta) yang pernah melanda dunia Islam dalam masa yang sangat panjang,

dewasa ini mulai beralih sedikit demi sedikit menuju ke arah talfik mazhab yang

kooperatif. Setidak-tidaknya dalam bidang-bidang hukum tertentu.7

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk

segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik

dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Oang yang berkeinginan

melakukan perkawinan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan non-

fisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berpuasa. Orang berpuasa akan

6
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.44
7
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.45
22

memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu

perzinaan.8

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan Membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa“. Pengertian perkawinan

menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukan hanya

sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu

perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu

perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan

kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.9

2. Perkawinan Beda Agama

Perkawinan lintas agama sangat lumrah terjadi, praktek ini bahkan telah

terjadi sejak zaman dahulu, karena kebutuhan akan adanya interaksi dan komunikasi

antar manusia yang bahkan berbeda agama sekalipun inilah yang memungkinkan hal

itu terjadi. Dalam konteks Islam jika menelaah sejumlah ayat al-Qur’an, maka

dapatlah disimpulkan bahwa dilihat dari sudut pandang agama dalam konteks Islam,

ada lima (5) macam perkawinan sepanjang sejarah umat manusia, yaitu:

a. Pekawinan antara laki-laki mukmin dengan perempuan kafirah (non-

muslim), diantara contohnya ialah perkawinan nabi Nuh dengan istrinya

8
Zainudin Ali, Hukum Pedata Islam di Indonesia cet-3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.7
9
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan,( Bandung: Alumni, 1978), h. 9.
23

dan terutama antara nabi Luth dengan istrinya. Nabi Nuh dan nabi Luth

keduanya adalah muslimin-mukminan yang amat sangat taat dan saleh;

sementara masing-masing istrinya, baik istri nabi Nuh maupun istri nabi

Luth, keduanya tergolong ke dalam deretan orang-orang kafir, fasik dan

munafik.

b. Perkawinan antara perempuan muslimah-mukminah dengan laki-laki kafir

(non-muslim), di antara contohnya ialah kasus Siti Aisyah yanhg dikawini

Firaun yang bukan saja kafir musyrik melainkan juga pernah menobatkan

dirinya sebagai tuhan, bahkan klaim tuhan tertinggi. Perkawinan Aisyah

dan Firaun dipastikan bukan perkawinan yang dilakukan atas kamauan

Aisyah, melainkan atas keterpaksaan dan dipaksanya Aisyah untuk

dijadikan istri Firaun semata-mata demi menyelamatkan keluarga terutama

orangtuanya dari siksaan Firaun sekiranya Aisyah tidak mau (menolak)

untuk dijadikan istri Firaun.

c. Perkawinan antara pria kafir (non-muslim) dengan perempuan kafirah

(non-muslim) seperti halnya perkawinan antara Abu Lahab/Abu Jahal

dengan istrinya (Ummu Jamil); dan perkawinan umumnya para laki-laki

kafir dengan perempuan kafir lain tentunya dipastikan sangat banyak

jumlahnya, serta dianggap sangat lumrah perkawinan sesama kafir seperti

itu, dan masih akan terus berlangsung hingga sekarang dan mendatang.

d. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan muslimah, inilah

perkawinan yang paling ideal dan paling banyak tejadi dikalangan sesama
24

“ummatan muslimatan” atau umat islam, mulai dari kebanyakan para nabi,

para wali, oang-orang yang benar (ash-shiddiqin) dan para pahlawan (al-

syuhada) dan orang-orang saleh, sebagaimana juga terjadi pada

kebanyakan pasangan perkawinan yang dilakukan oleh pemeluk-pemeluk

agama Islam (muslim-muslimah). Umumnya masyarakat banyak

membuktikan bahwa kesamaan agama dalam suatu perkawinan pada

dasarnya dan dalam kenyataannya bukanlah menajdi dominasi apalagi

monopoli kaum muslim-muslimah; melainkan juga sudah menjadi tradisi

yang umum berlaku dihampir semua perkawinan masyarakat agama-

agama lain yang mementingkan perkawinan dalam satu atap agama. Inilah

pula jenis perkawinan yang keberlangsungan rumah tangganya tidak

menjadi/dijadikan buah bibir.

e. Perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan non-

muslimah sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang sahabat besar nabi

Muhammad saw, diantaranya Hudzaifah bin al-Yaman yang menikahi

wania Yahudiah dari suku al-Mada’in, Utsman bin Affan yang menikahi

Nashraniyah (Na’ilah binti al-Farafishah al-Kalbiyyah) yang kemudian

masuk Islam ditangan Utsman, Yasir Arafat dengan Suha dan lain-lain;

terutama Perkawinan antara Muslimah dengan laki-laki non-muslim yang


25

perdebatan hukumnya sampai sekarang ini masih tetap bergulir atau

digulirkan di tengah-tengah masyarakat.10

B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun, yaitu sesuatu ysng mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu

pekerjaan (ibadah), dan itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti

membasuh muka untuk dan takbiratul ihram unuk shalat atau adanya calon pengantin

laki-laki/perempuan dalam perkawinan. Sementara syarat yaitu sesuatu yang mesti

ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu

tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau

menurut Islam calon pengantin laki-laki itu harus beragama Islam.11

Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius diantara kalangan

fuqaha. Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang

termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam

menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang syarat. Bisa jadi sebagian

ulama menyebutnya sebagai rukun dan ulama lainnya menyebutnya sebagai syarat.12

1. Rukun Perkawinan

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas :13

10
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 97-100.
11
M.A. Tihami, Fikih Munakahat ,(Jakarta: Rajawali press, 2009) h.12
12
Amiur Nuraddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia cet-3, (Jakarta: Kencana,) h.60.
13
Lihat Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1,( Bandung, Pustaka setia, 1999)
h. 64-68. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat cet-3,( Jakarta, Kencana 2008), h. 46-47
26

a. Adanya calon suami dan istri yang melakukan perkawinan.

b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita. Akad nikah akan dianggap

sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang menikahannya,

c. Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua

orang saksi yang menyaksikan akad nikah tesebut

d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya

dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin pria.

Tentang jumlah rukun ini, para ulama berbeda pendapat :

Imam Malik mengatakan bahwa rukun perkawinan itu ada lima macam, yaitu :

a. Wali dari pihak perempuan

b. Mahar

c. Calon pengantin laki-laki

d. Calon pengantin perempuan

e. Sighat akad perkawinan.14

Imam Syafi’i berkata bahwa rukun perkawinan itu ada lima macam, yaitu :

a. Calon pengantin laki-laki

b. Calon pengantin perempuan

c. Wali

d. Dua orang saksi

e. Sighat akad nikah.15

14
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat Cet-3, h. 47-48
27

Menurut ulama Hanafiyah, rukun perkawinan itu hanya ijab dan qabul saja

(yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki).

Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun itu ada empat, yaitu :

a. Sighat (ijab dan qabul)

b. Calon pengantin laki-laki

c. Calon pengantin perempuan

d. Wali dari pihak calon pengantin permpuan.16

Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu adalah empat, karena calon

pengantin laki-laki dan calon pengantin permpuan digabung menjadi satu rukun

seperti terlihat dibawah ini.

Rukun perkawinan :

a. Dua orang yang saling melakukakn akad perkawinan, yakni mempelai

laki-laki dan mempelai permepuan.

b. Adanya wali

c. Adanya dua orang saksi

d. Dilakukan dengan sighat tertentu.17

Lalu dalam konteks wali secara spesifik para ulama berbeda pendapat dalam

keharusan adanya wali yakni:

15
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.72
16
Lihat Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), h.
36
17
Lihat Zakiah Daadjat, Ilmu Fiqh II, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.48
28

a. Malik berpendapat bahwa perkawinan tidak sah kecuali dengan wali dan

itu merupakan syarat sah, dalam riwayat Asyhab darinya dan Syafi’i juga

menyatakan demikian

b. Abu Hanifah, Zufar, Sya’bi dan Az-Zuhri mengatakan bahwa jika

seorang wanita melakukan akad perkawinan tanpa walinya, sedangkan

calon suaminya setara dengannya, maka dibolehkan.

c. Sedangkan Daud membedakan antara gadis dan janda, dia berkata

“disyaratkan adanya wali pada gadis dan tidak disyaratkan adanya wali

pada janda”

d. Berdasarkan riwayat Ibnu Al Qasim dari Malik tentang perwalian

terdapat pendapat keempat, yaitu bahwa disyaratkannya wali dalam nikah

adalah sunah bukan wajib. Hali itu kaena diriwayatkan darinya, bahwa

dia berpendapat adanya hak warisan antara suami istri tanpa wali, dan

boleh bagi seorang wanita yang tidak memiliki kemuliaan untuk

mewakilkan kepada seorang laki-laki dalam menikahkannya. Dia juga

mensunahkan agar seorang janda mengajukan kepada walinya untuk

menikahkannya. Seolah-olah menurutnya wali itu termasuk

kesempurnaan bukan rukun. Berbeda dengan ungkapan ulama Bghdad

yang termasuk pengikut Malik (yaitu mereka mengatakan bahwa wali

termasuk rukun bukan syarat kesempurnaan)18

18
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2 Terjemah Bahasa Indonesia,(Jakarta, Pustaka azam :
2007), h. 14-15
29

2. Syarat Sah Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar dasar bagi sahnya perkawinan.19

Lalu syarat perkawinan juga merupakan syarat yang bertalian dengan rukun-rukun

perkawinan, yaitu syarat-syaat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul.20

Syarat suami

a. Bukan mahram dari calon istri

b. Tidak terpaksa atas kemauan sendiri

c. Orangnya tertentu, jelas orangnya

d. Tidak sedang ihram.

Syarat istri

a. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak

sedang dalam iddah

b. Merdeka atas kamauan sendiri

c. Jelas orangnya

d. Tidak sedang dalam berihram

Syarat wali

a. Laki-laki

b. Baligh

c. Waras akalnya

d. Tidak dipaksa

19
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat cet-3, h. 49
20
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h.13
30

e. Adil

f. Tidak sedang dalam ihram

Syarat saksi

a. Laki-laki

b. Baligh

c. Waras akalnya

d. Adil

e. Dapat mendengar dan melihat

f. Bebas tidak dipaksa

g. Tidak sedang dalam berihram

h. Memahami bahasa yang digunakan dalam ijab kabul.

Syarat-syarat sighat : hendakanya dilakukan dengan bahasa yang dapat

dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi,

shigat hendakanya menggunakan ucapan yang menunjukkan waktu akad

dan saksi. Shigat hendaknya mempergunakan waktu lampau, atau salah

seorang mempergunakan kalimat yang menunjukkan waktu lampau sedang

lainnya dengan menunjukkan waktu yang akan datang.21

Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku disaat perkawinan itu

dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan

itu tidak sah. Jadi dalam konteks Indonesia jika tidak mnegikuti aturan Undang-

21
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.34-35
31

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berarti tidak sah menurut

perundangan, kalau tidak menurut hukum agama berarti tidak sah menurut agama,

begitu pula kalau tidak menurut tata tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat.

Sahnya suatu perkawinan telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan sebagai berikut:22

1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing

agamanya dan kepercayaannya;

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Lebih lanjut pada penjelasannya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di

luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan

Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;

2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing –masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.23

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan jelas terlihat bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menentukan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan

kepercayaannya masing-masing pemeluknya. Setelah perkawinan dilangsungkan

menurut tata cara masing-masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai

22
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.35
23
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.36
32

menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat

perkawinan.24

C. Regulasi Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Perkawinan beda agama terjadi apabila seorang pria dengan seorang wanita

yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap

mempertahankan agamanya masing-masing. Misalnya, seorang pria beragama Islam

dan seorang wanita beragama Kristen atau sebaliknya. Hal demikian pernah diatur

dan dimasukkan dalam kategori perkawinan campuran beda agama.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyatakan perkawinan menurut

hukum islam yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.25

Menurut Pasal 4 perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

Islam. Artinya perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan kaidah

hukum islam yang berlaku.26

Dalam Ordonansi Perkawinan Kristen Pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa

perkawinan seorang laki-laki bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas

permohonan kedua suami-isteri dapat dilaksanakan dengan memperlakukan

24
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Maju,
2003), h.88
25
Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 82
26
Lihat Inpres No.1 tahun 1990 tentang Kompilasi Hukum Islam
33

ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan ketentuan-ketentuan peraturan

penyelenggaraan Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen.27

Apabila perkawinan tidak dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-

masing berarti perkawinan itu tidak sah. Perkawinan di Kantor Catatan Sipil tanpa

dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah.

Perkawinan yang dilakukan oleh Hukum Adat atau oleh aliran kepercayaan yang

bukan agama dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang diakui pemerintah

berarti tidak sah. Dengan demikian, perkawinan yang sah menurut agama yaitu

perkawinan yang dilakukan menurut tata cara yang berlaku dalam agama masing-

masing.

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah

ada suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan

campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh

pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde

Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana

dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158. Regeling Of de Gemengde Huwelijken

(GHR) adalah suatu peraturan perkawinan yang dibuat oleh pemerintah Hindia

Belanda tentang perkawinan campuran yang termuat dalam Lembaran Negara

Hindia Belanda Stb. 1898 No. 158. Pada pasal 1 GHR disebutkan perkawinan

campuran adalah perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada

27
FXS. PurwaharSanto, Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis, (Yogyakarta: Aktualita Media Cetak, 1992), h. 5
34

hukum yang berlainan. Kemudian dalam penjelasannya dikemukakan contoh

perkawinan antara seorang WNI dengan seorang bangsa Belanda atau Eropa lainnya

sekalipun telah menjadi WNI serta memeluk agama Islam. Begitu pula perkawinan

antara seorang Indonesia dengan seorang Tionghoa atau bangsa Timur lainnya yang

tidak memeluk agama Islam sekalipun telah menjadi WNI. Sementara itu, pasal 7

ayat (2) disebutkan bahwa “Perbedaan agama, bangsa, atau asal sama sekali bukanlah

menjadi halangan untuk perkawinan”.28

Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan

Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada

hukum yang berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk

perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang

berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan

antar tempat termasuk di dalam GHR; kedua, kelompok yang berpendirian “sempit”

yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak

termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas

setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang

termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam

GHR.29

Sudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada pasal

1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat

28
FXS. PurwaharSanto, Perkawinan Campuran Antar Agama, h. 10-13.
29
FXS. PurwaharSanto, Perkawinan Campuran Antar Agama,h. 16
35

disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio,

golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang

luaslah yang banyak didukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut O.S. Eoh,

semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak

ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga

di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar

golongan.30

Rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan

rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang

berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini

ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Dari ketentuan pasal 57 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158)

sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena

ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara

Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga

negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan

30
Budha. O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), h.118-125.
36

antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut

undang-undang ini.

Hal yang signifikan di dalam memahami persoalan perkawinan beda agama

bukanlah soal perbedaan agama itu sendiri, tetapi soal tanggung jawab negara dalam

melindungi dan menjamin hak-hak warganya. Adapun yang dipersoalkan adalah soal

relasi vertikal dalam hubungan antara negara dan warga negara, bukan soal relasi

horisontal yang menyangkut hubungan di antara warga negara yang beragam agama,

kepercayaan dan beragam penafsirannya.31

D. Pandangan Ulama Klasik tentang Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama pada prinsipnya adalah tidak dianjurkan bahkan

dilarang, meskipun demikian dalam konteksnya perkawinan jenis ini

dikategorisasikan ke dalam dua yakni perkawinan antara muslim dengan musyrik dan

muslim dengan ahli kitab yang keduanya berimplikasi hukum yang berbeda.

1. Perkawinan Laki-laki Muslim dengan Perempuan non-Muslim

Pada umumnya ulama klasik sepakat bahwa perkawinan beda agama antara

laki-laki muslim dengan Perempuan ahli kitab (yahudi dan nashrani) adalah boleh

atau diperbolehkan dalam syariat Islam. Hal ini dilandasi pada firman firman Allah

SWT :

31
Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish , Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen
Keagamaan, dan Analisis Kebijakan (Jakarta: KOMNAS HAM bekerja sama dengan ICRP, 2005), h.
7.
37

“Artinya : pada hari ini dihalalkan bagimu segala hal yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi
mereka. (Dan dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga
kehomatan diantara perempuan-perempuan yang beriman dan permpuan yang
menjaga kehormatan diantara oang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu,
apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud
berzina, bukan untuk menjadikannya perempuan piaraan. Siapa yang kafi sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal mereka dan di
akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (al-Maidah : 5).”

Beberapa sahabat senior yang berpandangan seperti itu diantaranya adalah

Umar, Usman, Thalhah, Hudzaifah, Salman, Jabir, dan beberapa sahabat lainnya.

Semua menunjukkan atas dibolehkannya laki-laki muslim menikahi perempuan ahli

kitab. Bahkan diantara mereka ada yang mempraktekannya, seperti sahabat Thalhah

dan Hudzaifah, sementara tidak ada satupun sahabat Nabi yang menentangnya.

Dengan demikian, dibolehkannya melakukakan perkawinan ini sudah merupakan

ijma‟ sahabat. Dalam hal ini ibnu al-Mundzir mengatakan bahwa jika ada riwayat
38

dari ulama salaf yang mengharamkan pernikahan tersebut di atas, maka riwayat itu

dinilai tidak shahih.32

Adapun sahabat Umar yang menyuruh beberapa sahabat yang lain agar

menceraikan istri-istri mereka yang ahli kitab, maka hal itu dipahami sebagai suatu

kekhawatiran beliau. Sebagai Khalifah, beliau khawatir perilaku mereka akan

menjadi fitnah bagi umat Islam. Atas dasar inilah, Umar mencegah mereka untuk

menikahi ahli kitab, tetapi hal itu bukan berarti beliau mengharamkannya, maksud

fitnah disini adalah perilaku mereka itu akan ditiru oleh anak buahnya karena mereka

para pemimpin, sehingga nanti wanita-wanita Islam tidak ada yang menikahinya.33

Meskipun banyak diantara ulama yang membolehkannya, akan tetapi ulama

yang melarangnya secara mutlak pun ada. Bahkan dalam konteks Indonesia Majelis

Ulama Indonesia (MUI) telah memfatwakan pada Fatwa MUI No.04/MUNAS

VII/MUI/8/2005 bahwa haram hukumnya perkawinan antar muslim dan non-muslim

baik ahli kitab maupun selainnya. Hal demikian berlandaskan pada firman Allah swt

32
Lihat: Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni Juz
IX, (Saudi Arabia, Dar Alam al-Kutub, 1997), h. 545.
33
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Al-Qur‟an dan Hadits, h. 29-30
39

“Artinya : dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sampai mereka


beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik, walaupun dia menaik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sampai mereka
beriman. Sungguh hamba sahaya laki-laki lebih beriman lebih baik dari laki-laki
musyrik walaupun mereka menarik hatimu. Mereka mengajaka ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.(al-Baqarah :
221)

Lalu selain itu, diterangkan-Nya juga dalam surat al-Mumtahanah ayat 10

yang berbunyi :

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah


kepadamu permpuan-perempuan yang beriman, maka hendaknya kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang itu tiada hala pula bagi mereka.
Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang mereka bayar. Dan tiada
dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan permpuan-perempuan kafir.
Dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar. Demikian hukum Allah
yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha mengetahui lagi maha
bijaksana”. (al-Mumtahanah : 10)
40

Disamping itu mereka juga mengacu pada perkataan Abdullah bin Umar

bahwa tidak ada kemusyrikan yang lebih besar daripada perempuan yang meyakini

bahwa Isa bin Maryam adalah Tuhannya. Dengan demikian, perkawinan lelaki

muslim dengan wanita non-muslim secara sepenuhnya haram, karena ahli kitab itu

kategori kaum musyrikin. Sementara menurut Ibnu Abbas, hukum perkawinan dalam

al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10 di atas dimana laki-laki muslim

haram menikahi wanita non-muslim telah dihapus (mansukh) oleh surah al-Maidah

ayat 5 yang membolehkan laki-laki muslim mengawini wanita ahli kitab. Karenanya

yang berlaku adalah hukum dibolehkannya perkawinan laki-laki muslim dengan

perempuan ahli kitab.34

2. Perkawinan Laki-laki non-Muslim dengan Perempuan Muslimah

Sementara perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan muslim

diperdebatkan tentang hukum kebolehannya, maka perkawinan laki-laki non-muslim

dengan perempuan muslim dalam pandangan ulama secara umum menghukuminya

haram dan diantara ulama klasik tesebut tidak tedapat perdebatan terkait hal ini.

Meskipun surah al-Mumtahanah ayat 10 telah di nasakh oleh surah al-Maidah ayat 5,

namun karena ayat tersebut tidak menjelaskan tentang perkawinan antara laki-laki

non-muslim dengan perempuan muslim, sehingga para ulama beranggapan bahwa

yang diperbolehkan hanyalah perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan

non-muslim tapi tidak sebaliknya.

34
Lihat Ibn Qudamah, Al-Mughni Juz IX, h. 545.
41

Meski demikian, bukan berarti tidak ada yang memperdebatkannya dan

berpandangan berbeda. Semisal Cak Nur, diantara ilmuan yang membolehkan

terjadinya perkawinan antara laki-laki non-muslim dengan perempuan muslim.

Pendapat seperti ini muncul karena anggapan bahwa tidak ada nash yang mengatur

secara jelas perkawinan seperti ini, meskipun tidak ada yang memperbolehkan

perkawinan seperti itu. Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan

yang sharih.35

35
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama cet-3, h.163
43

BAB III

BIOGRAFI SOSIAL INTELEKUAL NURCHOLISH MADJID DAN ALI

MUSTAFA YAQUB

A. Nurcholish Madjid

1. Biografi Sosial

Nurcholish Madjid (selanjutnya dipanggil Cak Nur seperti panggilan

akrabnya), lahir pada tanggal 17 Mei 1939 di Mojoanyar Jombang, ditengah

keluarga yang sederhana, „alim serta saleh. Ayahnya Abdul Madjid seorang petani

di desa kecil tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan salah seorang santri kesayangan

Kiyai Hasyim Asy‟ari.1 Abdul Madjid dikenal sebagai kiyai yang lahir dari rahim

NU, termasuk orang yang melawan arus utama, dan tidak masuk dalam jaringan

ulama NU serta menolak bergabung dengan partai NU. Dia justru bergabung dan

menjadi pendukung setia partai Masyumi yang merupakan ibu kandung partai NU

sebelum akhirnya berpisah mengambil jalannya masing-masing.2 Sikap yang

diambil oleh Abdul Madjid ini berpengaruh tidak hanya terhadap dirinya, tapi juga

terhadap Cak Nur. Pengaruh pandangan Masyumi yang modernis lewat ayahnya

1
Lihat Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia :
Pemikiran dan Aksi Politik, (Bandung: Zaman wacana mulia, 1998) h.122
2
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia : Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish
Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurahman Wahid, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 72
44

masuk secara sadar ke dalam kehidupan keluarga, dan selanjutnya menyublim ke

dalam pemikiran Cak Nur Kecil.3

Cak Nur mendapatkan pendidikan dasar (SR) di Mojoanyar bersamaan

dengan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar, Jombang. Kemudian melanjutkan

pendidikan (tingkat menengah SMP) di Pesantrren Darul Ulum, Rejoso, Jombang,

akan tetapi karena dia berasal dari keluarga NU yang Masyumi, maka dia tidak

betah di Pesantren yang afiliansi politiknya adalah NU ini.4 Sehingga diapun

pindah ke pesantren yang modernis, yaitu KMI (Kulliyatul Mu‟allimin al-

Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo.5

Setelah dinyatakan lulus dari Gontor, Cak Nur kemudian melanjutkan

studinya dengan masuk ke IAIN Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) dan

mengambil Fakultas Adab jurusan Sastra Arab, hingga akhirnya lulus dengan

menyandang gelar lulusan terbaik pada tahun 1968.6

Selanjutnya pada tahun 1973, setelah kelulusannya dari IAIN, nasib

mujur menghampirinya seiring kedatangan Fazlur Rahman dan Leonard Binder

yang sedang mencari peserta yang tepat untuk program seminar dan lokakarya di

University of Chicago yang didanai Ford Fondation. Selesai mengikuti program

3
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Atikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer,( Jakarta: Paramadina 1998), h.271
4
Lihat Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia :
Pemikiran dan Aksi Politik, h.123
5
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, h.271
6
Lihat Budi Hendianto, 50 Tokoh Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme
dan Liberalisme Agama, (Jakarta : Hujjah Press, 2007), h.64
45

tersebut, Cak Nur meminta kembali kepada Leonard Binder agar ia dapat kembali

lagi dengan status mahasiswa, hingga pada bulan Maret 1978, Cak Nur kembali

lagi ke Amerika Serikat mengambil program pasca sarjana di University of

Chicago. Di sini Fazlur Rahman mengajaknya untuk mengambil penelitian

dibidang kajian keislaman (di bawah bimbingannya) daripada kajian ilmu politik

(di bawah bimbinga Leonard Binder) yang sejak awal direncanakan Cak Nur.7

Cak Nur menamatkan kuliah di University of Chicago dengan predikat

cumlaude tahun 1984, dengan judul disertasi “Ibn Taymiya on Kalam and

Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam” (Ibnu Taymiyah dalam

Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam).8

Cak Nur meninggal pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati

yang dideritanya. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata

meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada

negara.9

2. Karya-kaya Intelektual

Dalam karya-karya tulis yang telah dipublikasikan oleh Cak Nur jelas

sekali dapat kita lihat bagaimana cara pandang Cak Nur tentang suatu fenomena

sosial yang menimpa bangsa Indonesia. Sehingga tulisa-tulisannya pun selalu

7
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h.85
8
Lihat Budhy Munawarrahman, Pengantar Ensiklopedi Nurcholish Madjid,
9
http://www.biografitokohblogspot.com diunduh pada tanggal 10 oktober 216 pukul 17.00
wib
46

bernada pluralis dan toleran. Lalu diantara banyaknya karya yang telah Cak Nur

torehkan beberapa diantaranya adalah:

1) Modernisasi Ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi (1968)

2) Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP – yang merupakan pedoman bagi

para kader HMI) (1969)

3) The Issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant

point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia (1978)

4) “Islam in Indonesia: challenges and Opportunities” in Cyriac K (1982)

5) Khazanah Intelektual Islam (1982)

6) Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1987)

7) Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992)

8) Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan (1993)

9) Pintu-pintu Menuju Tuhan (1994)

10) Islam Agama Kemanusiaan (1995)

11) Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan relevansi Doktrin

Islam dalam Sejarah (1995)

12) Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Islam di

Indonesia (1997)

13) Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik

Kontemporer (1998)

14) Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (1999)


47

15) Pesan-pesan Taqwa Nurcholish Madjid (2000)

16) Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (2003)10

3. Aktifitas

1) Bidang Organisasi

a) Ketua umum PB HMI (1966-1968 dan 1968-1970)

b) Presiden PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara) 1970

c) Wakil Sekjen IIFSO (International IslamicFederation of Students

Organization) tahun 1969-197111

d) Anggota Dewan Pers (1991-1997)

e) Anggota MPR RI (1992-1997)

f) Anggota Komnas HAM (1993-1998)

g) Anggota Dewan Riset Nasional (1994-1998)

h) Anggota Dewan Penasehat Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia

(ICMI) (1995-1998)

i) Penerima Bintang Mahaputra (1998)

j) Ketua yayasan Wakaf Paramadina (1986-2005)

2) Bidang Akademik

a) Pendiri dan Rektor Universitas Paramadina

b) Guru Besar Pemikiran Islam

10
Lihat Budhy Munawarrahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. iv
11
Lihat Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia :
Pemikiran dan Aksi Politik, h.125
48

c) Dosen di berbagai perguruan tinggi di Indonesia

d) Profesor tamu di Mcgill University Kanada.12

4. Pemikiran

a. Corak Pemikiran

Dalam konteks Indonesia, ketika berbicara paham keislaman, setidaknya

kita bisa mengaktegorisasikannya ke dalam dua, yakni tradisional dan modern.

Namun dalam konteks pemahaman pemikiran Cak Nur memahami nilai-nilai

Keislaman ia dianggap menjadi bagian dari titk temu antara keduanya. Hal ini

dikarenakan fakta bahwa Cak Nur berlatar belakang keluarga NU dan semasa

kecilnya ia banyak menghabiskan waktu dengan mempelajari kitab kuning.

Meskipun demikian jika ditinjau dari pendidikan yang ditempuhya, Cak

Nur lebih banyak mendapat pendidikan Islam modern, mulai dari pesantren

Gontor, IAIN Jakarta dan University of Chicago, yang kemudian membuat

masyarakat berpandangan bahwa Cak Nur adalah seseorang yang menganut

pemikiran Islam yang modern. Karir intelektualnya, sebagai pemikir Muslim,

dimulai ketika ia menjadi mahasiswa UIN Jakarta, khususnya ketika menjadi ketua

Umum PB-HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).13

Intelektualitas Cak Nur semakin terbentuk ketika ia belajar di University

of Chicago, dimana ia secara khusus bisa berjumpa dengan kepustakaan Islam

12
Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid diunduh pada 3 Oktober 2016 pukul
10.45 wib
13
Budhy Munawarrahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h.vi
49

klasik abad pertengahan yang begitu luas dan kaya langsung di bawah bimbingan

ilmuan non-modernis asal Pakistan Prof. Fazlur Rahman, Fazlur Rahman

barangkali disebut sebagai “guru utama” yang penting dalam pematangan

intelektual Nurcholish Madjid.14

Selain kepada Fazlur Rahman, ia tentu saja mengagumi orang-orang

terdekat dalam kehidupannya. Mereka diantaranya adalah ayahnya sendiri

pamannya dan beberapa pejuang nasional yang kapasitas kecendikiaan dan

komitmen keislamannya kuat seperti KH. Agus Salim dan Bung Hatta. Namun

demikian, di antara sekian banyak tokoh yang paling merasa berhutang budi ialah

kepada Buya Hamka. Lebih dari itu, “....beliau (Hamka) adalah tempat saya

berdiskusi dan menyelesaikan problem pribadi....” tulis Cak Nur.15

Cak Nur berpandangan bahwa terdapat konsistensi antara sekularisasi dan

rasionalisasi. Sebab, inti sekularisasi adalah pecahkan dan pahami masalah-

masalah duniawi, dan hal ini mengarah kepada kecerdasan atau rasio. Kemudian,

terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi. Sebab, pendekatan

rasional kepada suatu benda atau masalah yang telah menjadi sakral, tabu, dan

semacamnya tidak mungkin. Sebelum mengadakan pemecahan dan pemahaman

rasional akan sesuatu, maka sesuatu tersebut harus bebas dari jubah ketabuan dan

14
Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia :
Pemikiran dan Aksi Politik, h.128
15
Cak Nur sangat berterima kasih kepada Hamka karena tradisi menulisnya semakin
berkembang tatkala ia bertempat tinggal di Mesjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru Jakarta. Sebuah
bilik di masjid tersebut yang sengaja disediakan Hamka untuk tempat tinggal perantau muda ini. Dedy,
Zaman Bau Islam, h.129
50

kesakralan. Sehingga untuk kembali kepada prinsip tauhid misalnya, kita harus

mantap untuk tidak mentabukan sesuatu. Tuhan-lah yang tabu dan sakral, dan

karenanya tak mungkin dimengerti oleh manusia dengan rasionya. Artinya, dengan

bertitik tolak pada tauhid itu, manusia dapat memecahkan masalah-masalah

kehidupannya dengan mempertaruhkan kemampuan potensial yang ada pada

dirinya sendiri yaitu rasio dan kecerdasan.16

Lalu, corak pemikiran Cak Nur mengarah dan mengusahakan untuk

menampilkan Islam secra inklusif, dalam rangka untuk lebih mengaktualkan nilai-

nilai keislaman masa modern. Ciri mendasar teologi inklusif adalah penegasan

bahwa Islam adalah agama terbuka, dan penolakan ekslusifisme dan absolutisme.

Paradigma terpenting dari teologi inklusif adalah komitmen pada pluralisme.

Dengan pluralisme, kita ingin menumbuhkan suatu sikap kejiwaan yang melihat

adanya kemungkinan orang lain itu benar. Ini penting sekali(menurut Cak Nur)

dalam agama kita. Ketika dalam agama disebutkan bahwa manusia itu diciptakan

dalam keadaan fitrah (suci, sacred), maka setiap orang pada dasarnya suci dan

benar. Potensi untuk benar adalah primer. Inklusivisme, dengan demikian adalah

16
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Jakarta: Paramadina,
2000), h. 229
51

suatu kemanusiaan universal yang dalam Al-Qur‟an, surah ar-Rum ayat 30,17

disebutkan sebagai agama yang benar.18

b. Pemikiran Cak Nur tentang Perkawinan Beda Agama

Cak Nur sebagaimana para ulama terdahulu, mengklasifikasikan

terminologi kafir ke dalam beberapa kategori. Hal ini lazim dilakukan karena Al-

Qur‟an menyebutkan demikian. Sehingga hal ini berdampak pada pandangannya

tentang perkawinan Beda Agama.

Kata kafir yang secara bahasa berarti menutupi, telah terulang

sekurangnya sebanyak 525 kali dalam Al-Qur‟an, semuanya dirujukkan kepada

arti “menutupi” , yaitu menutup-nutupi nikmat dan kebenaran, baik kebenaran

dalam arti Tuhan (sebagai sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaan-

ajaran-Nya yang disampaikan rasul-rasul-Nya.19 Kafir kemudian diklasifikasikan

seperti berikut :

1) Kafir ingkar, yaitu kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap

eksistensi Tuhan, rasul-rasul-Nya dan seluruh ajaran yang mereka

bawa.

17
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyak manusia tidak mengetahui.” (Q.S. ar-Rum: 30)
18
Nurcholish Madjid, Sekapur Sirih dalam Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta:
Kompas, 2001), h.xiii
19
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2003), h.156
52

2) Kafir juhud, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap ajaran-

ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah

kebenaran. Ia tidak jauh berbeda dengan kekafiran ingkar (no 1).

3) Kafir munafik, yaitu kekafiran yang mengakui Tuhan, rasul dan

ajaran-ajarannya dengan lidah tetapi mengingkari dengan hati,

menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran.

4) Kafir syirik, berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan

sesuatu, selain dari-Nya, sebagai semabahan, obyek pemujaan,

dan/atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan, syirik

digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari

kekuasaan Tuhan, juga mengingkari nabi-nabi dan wahyu-Nya.

5) Kafir nikmat, yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan

menggunakan nikmat itu pada hal-hal yang tidak diridhai-Nya.

Orang-orang muslim pun dapat masuk dalam kategori ini (lihat: al-

Naml, 27:40; Ibrahim, 14:7; al-Imran, 3:97).

6) Kafir murtad, yakni kembali menjadi kafir sesudah beriman atau

keluar dari Islam.

7) Kafir ahli kitab, yakni non muslim yang percaya kepada nabi dan

kitab suci yang diwahyukan Tuhan melalui nabi kepada mereka

(yahudi dan kristen).20

20
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h. 157
53

Dari pengklasifikasian ini maka setidaknya kafir jenis Ahli Kitab-lah

yang memiliki konsekuensi hukum terhadap perkawinan beda agama secara

langsung. Hal ini senada dengan firman Tuhan dalam surah al-Maidah ayat 5

yang membolehkan mengawini perempuan ahli kitab. Seperti halnya ulama

terdahulu, Cak Nur berpendapat bahwa perkawinan beda agama antara laki-laki

muslim dengan perempuan ahli kitab adalah boleh.

Kemudian tentang surah al-Baqarah ayat 221 yang melarang menikah

dengan seorang musyrik, maka menurut Cak Nur tidak benar jika kategori

musyrik disandingkann dengan orang non-muslim. Hal demikian menurut Cak

Nur tidaklah adil, karena menurutnya jika seorang muslim melakukan perbuatan

syirik tidak secara langsung menjadikan pelakunya sebagai musyrik, namun

sebaliknya apabila seorang itu dikatakan musyrik maka sudah jelas ia adalah

pelaku syirik.

Hal ini karena seorang muslim menurut Cak Nur bisa saja melakukan

perbuatan syirik dan memang kenyataannya ada namun mereka tidak dapat

disebut sebagai kaum musyrik. Sebab sebagai konsekuensi jika salah seorang

suami-istri dari keluarga muslim sudah disebut musyrik maka perkawinan

mereka batal dengan sendirinya dan wajib untuk cerai, namun dewasa ini

kenyataannya tidak dapat diterima.21

21
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.158-159
54

Dari apa yang dikemukakan Cak Nur, maka dapat disimpulkan bahwa

menurutnya perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan non-

muslim baik dari golongan ahli kitab maupun agama lainnya itu adalah

diperbolehkan. Bahkan untuk perkawinan antar seorang perempuan muslim

dengan laki-laki non-muslim sekalipun, kesemuanya adalah diperbolehkan. Hal

ini karena Cak Nur berpandangan bahwa tidak ada larangan yang sharih

menganai perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Yang

ada justru bersumber dari hadits yang tidak begitu jelas kedudukannya, yakni

sabda Rasul SAW, “kami menikahi wanita-wanita ahli kitab dan laki-laki ahli

kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (muslimah)”. Khalifah Umar bin

Khattab dalam sebuah pesannya, “seorang muslim menikahi wanita nasrani, akan

tetapi wanita nasrani tidak boleh menikahi wanita muslimah”. Namun setelah

diteliti, hadis yang disebutkan diatas dikomentari oleh Shudqi Jamil al-„Aththar

sebagai hadis yang tidak shahih. Hadis tersebut tergolong hadis mawquf yaitu

hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan al-Imam al-

Syafi‟i dalam kitabnya, al-Um. Sedangkan ungkapan Umar bin Khattab

merupakan sebuah ungkapan kekhawatiran apabila wanita-wanita muslim

dinikahi laki-laki non-muslim, maka mereka akan pindah agama. Dan umat Islam

pada saat itu membutuhkan kuantitas dan sejumlah penganut yang setia.22

22
Lihat Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an,
dikomentari Shudqi Jamil al-Atthar (Beirut: Dar al-Fikr, 2001) jilid II h.465
55

Jadi soal perkawinan laki-laki non-muslim dengan perempuan muslim

merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya

konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar

saat ini, sehingga perkawinan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.

Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat

dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa perempuan muslim boleh

melakukan perkawinan dengan laki-laki non-muslim, atau perkawinan beda

agama secara lebih luas diperbolehkan, apapun agama dan kepercayaannya itu.23

5. Metode Istinbat Hukum Cak Nur

Adapun metode yang digunakan Cak Nur dalam menghukumi tentang

perkawinan beda agama ialah dengan menggunakan metode tafsir. Cak Nur

menafsirkan sebuah teks Al-Qur‟an dengan mendasari pemikirannya secara

kontekstual, sehingga penafsiran Cak Nur sedikit bernada liberal. Lalu diantara

dasar hukum yang digunakan Cak Nur untuk menafsirkan dan menemukan

hukum perkawinan beda agama adalah QS al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah

ayat 5.

Cak Nur menafsirkan surah al-Baqarah ayat 221 dengan penafsirannya

yang agak liberal, yakni menafsirkan kata musyrik dalam ayat tersebut dan

mengartikannya sebagai orang-orang musyrik bangsa Arab di zaman Rasul SAW

yang tidak mempunyai kitab suci (menyembah berhala). Lalu surah al-Maidah

23
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.164
56

ayat 5 yang menjadi landasan hukum lainnya, Yang telah membolehkan

perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Ayat ini

merupakan ayat Madinah yang diturunkan setelah ayat melarang perkawinan

dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman. Ayat ini dapat disebut

“ayat revolusi”, karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan bagi

masyrakat muslim pada saat itu, perihal perkawinan dengan non-muslim.24

Sementara untuk pengaturan hukum perkawinan antara perempuan

muslim dengan laki-laki non-muslim tidak ada yang melarang secara jelas maka

Cak Nur berpandangan bahwa hal tersebut adalah masuk kepada wilayah ijtihadi,

sehingga Cak Nur menghukuminya boleh. Hal ini merujuk pada semangat yang

dibawa Al-Qur‟an sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan

sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama samawi

dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai oang yang akan bersama-Nya di

surga nanti.25 Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menyebutkan agar perbedaan

jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang lainnya saling

mengenal.26 Dan perkawinan antar beda agama dapat dijadikan salah satu raung,

yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat.

Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya perkawinan adalah untuk

membangun tali kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (al-rahmah). Di tengah

24
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.162
25
Q.S. al-Baqarah ayat 62
26
Q.S al-Hujurat ayat 13
57

rentannya hubungan antar agama saat ini, perkawinan beda agama justru dapat

dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-

masing pemeluk agama. Bermula dari ikata tali kasih dan tali sayang, kita rajut

kerukunan dan kedamaian.

Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan bukan belenggu.

Dan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Al-Qur‟an sejak larangan perkawinan

dengan orang musyrik, lalu membuka jalan perkawinan dengan ahli kitab

merupakan sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya kita

harus melihat agama lain bukan sebagai kelas kedua, dan bukan pula ahl al-

dzimmah dalam arti menekan mereka, melainkan sebagai warga negara yang

setara.27

B. Ali Mustafa Yaqub

1. Biografi Sosial

Ali Mustafa Yaqub (selanjutnya akan dipanggil Ali saja), lahir pada

tanggal 2 Maret tahun 1952 di desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten

Batang, Jawa Tengah. Ali hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama

dan berkecukupan, masa kecil Ali tiap hari sesudah belajar di Sekolah Rakyat

(SR) di desa tempat kelahirannya.28Ayahnya bernama KH. Mustafa Yaqub, beliau

27
Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.164-165
28
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2003), h. 143
58

adalah seorang muballigh terkemuka pada zamannya dan imam di masjid-masjid

yang ada di Jawa Tengah, Selain itu beliau juga sangat aktif dalam proses belajar

mengajar nilai-nilai agama disebuah pondok pesantren yang didirkan oleh beliau

beserta kakeknya Ali, yang santrinya adalah masyarakat sekitar.29 Ibunya

bernama Zulaikha, beliau adalah seorang Ibu rumah tangga yang juga dikenal

sebagai ustadzah dan ikut membantu perjuangan suaminya (Mustafa Yaqub),

beliau memiliki tujuh orang anak, namun dua diantaranya meninggal dunia, salah

satu dari anak beliau yang bernama Ahmad Dahlan Nuri Yaqub mengikuti

jejeknya dan juga jejek ayah dan kakeknya.30

Setelah lulus SR dan Madrasah Tsanawiyah (MTS) di desa tempat

kelahirannya, Ali melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Seblak Jombang

(1966-1969). Kemudian ia melanjutkan kembali pendidikannya di pondok

pesantren Tebuireng, Jombang dengan rentang waktu tiga tahun 1969-1971.

Selanjutnya pada pertengahan tahun 1972 ia melanjutkan pendidikannya

ketingkat perguruan tinggi yakni Fakultas Syariah Universitas Asy‟ari, Jombang

dan selesai pada tahun 1975.31

29
Riki Efendi, Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA,
(Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.35
30
Ni‟ma Diana Cholidah, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian
Hadis Kontemporer di Indonesia, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011), h. 11
31
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetik menurut al-
Quran dan Hadis, (Jakarta : Pustaka Firdaus, Januari 2003), cet. 2, h.349
59

Di tahun 1976 Ali menuntut ilmu lagi untuk mendapatkan gelar Strata

Satu (S1) di Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad bin Saud, Riyadh,

Saudi Arabia sampai tamat dengan mendapatkan ijazah License (LC), 1980.

Kemudian masih di kota yang sama beliau melanjutkan kembali pendidikan Strata

Dua (S2) di Universitas King Saud, Jurusan Tafsir dan Hadis dan mendapat gelar

Master pada tahun 1985 dan di tahun itu pula beliau pulang ke Indonesia..32

Pada tahun 2005 Ali melanjutkan kembali studi doktoralnya di Universitas

Nizam Hyderadab India di bawah bimbingan Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou

yang juga Guru Besar Fiqh Islam dan Ushl Fiqh Universitas Kuwait dan Direktur

Lembaga Studi Islam International di Frankfrut Jerman. Prof. Dr. Muhammad

Hasan Hitou adalah orang yang berperan penting dalam studi S3 Ali dan pada

tahun 2008 Ali mampu menyelesaikan program doktoralnya tersebut pada

konsentrasi Hukum Islam.33 Secara singkat riwayat pendidikan Ali Mustafa

Yaqub adalah sebagai berikut:

1) Pondok Seblak Jombang 1966-1969)Pesantren Tebuireng, Jombang

(1969-1971)

2) Fakultas Syariah Universitas Hasyim Aasy‟ari, Jombang (1972-1975)

32
Yogi Sulaeman, Analisa Wacana Kritis Dai Komersial dalam Buku Setan Berkalung Sorban
Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.38
33
Ni‟ma Diana C., Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis
Kontemporer di Indonesia, h.14
60

3) Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud,

Riyadh, Saudi Arabia (S1, 1979-1980)

4) Fakultas Pascasarjana Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia,

Spesialisasi Tafsir Hadis (S2, 1980-1985)

5) Universitas Nizamia, Hyderadab India, Spesialisasi Hukum Islam

(S3, 2005-2008)

2. Karya-karya Intelektual

Menulis merupakan kegemaran Ali, selain sebagai pengisi kekosongan

waktu juga menghasilkan rezeki, banyak tulisan beliau yang dimuat di koran dan

di majalah, selain menulis karya-karya umum, banyak tulisan beliau yang

terinspirasi dari hadis-hadis Nabi Saw. menurutnya menulis hadis Nabi Saw. kita

mempunyai dua keuntungan sekaligus yaitu keuntunagan di dunia dan

keuntungan di akhirat.34 Buku-buku beliau antara lain35 :

1) Nasihat Nabi Kepada Pembaca dan Penghapal al-Qur‟an (1990)

2) Imam Bukhari dan Metode Kritik dalam Ilmu Hadis (1991)

3) Kritik Hadis (1995)

4) Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997)

5) Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999)

6) Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Quran dan Hadis (2000)

34
Riki Efendi, Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., h.43
35
Ali Mustafa , Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran
dan Hadis, h.348
61

7) Islam Masa Kini (2001)

8) Fatwa Fatwa Kontemporer (2002)

9) M.M. Azami Pembela Eksistensi Hadis (2002)

10) Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003)

11) Hadis Hadis Bermasalah (2003)

12) Hadis Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003)

13) Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadis (2005)

14) Imam Perempuan (2006)

15) Haji Pengabdi Setan (2006)

16) Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007)

17) Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008)

18) Toleransi Antar Umat Beragama (2008)

19) Mewaspadai Provokator Haji (2009)

20) Kriteria Halal dan Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetik

Menurut al-Qur‟an dan Hadais (2009)

21) Islam di Amerika (2009)

22) Islam Between War and Peace (2009)

23) Kidung Bilik Pesantren (Maktabah Darus Sunnah 2009)

24) Kiblat, Antara Bangunan dan Arah Ka‟Bah (Arab-Indonesia, 2010)

25) 25 Menit Bersama Obama (Maktabah Darus Sunnah, 2010)

26) Kiblat Menurut al-Qur‟an dan Hadis; Kritik Atas Fatwa MUI No.

5/2010 (2011)
62

27) Ramadhan Bersama Ali Mustafa Yaqub (2011)

28) Cerita dari Maroko (2012)

29) Makan Tak Pernah Kenyang (2012)

30) Ijtihad, Terorisme dan Liberalisme (2012)

31) Panduan Amar Makruf Nahi Munkar (2012)

32) Isbat Ramadhan, Syawal dan Zulhijah Menurut al-Kitab dan Sunnah

(Bahasa Indonesia, 2013)

33) Menghafal al-Quran di Amerika Serikat (2013)

34) Cara Benar Memahami Hadis (2014)

35) Setan Berkalung Surban (2014)

36) Titik Temu Wahabi-NU (2015)

Dari sekian banyak karya-karya Ali Mustafa Yaqub, yang menjadi

pembahasan dalam skripsi ini adalah karya-karya beliau yang sedikit banyak

membahas hukum keluarga Islam, seperti yang tertuang dalam karyanya yang

berjudul Fatwa Fatwa Kontemporer (2002), Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal

(2007), dan Nikah Beda Agama dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Hadis (2005).
63

3. Aktivitas36

1) Bidang Organisasi

a) Ketua PPI Riyadh (1980)

b) Direktur Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Jakarta (1970-2016)

c) Anggota Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (1987)

d) Sekjen Pimpinan Pusat Ittihadul Mubalighin (1990-1996)

e) Wakil Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat

(2005-2010)

f) Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI (1997-2010)

g) Imam Besar Masjid Istiqlal (2005-2016)

h) Rais syuriah Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Bidang Fatwa

(2005-2016)

i) Penasihat Syariah Halal Transaction of Omah Amerika Serikat (2010-

2016)

j) Penasihat Darol Uloom New York (2013-2016)

k) Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Imam Masjid (IPIM) Indonesia

(2013-2016)

36
Ali Mustafa, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran
dan Hadis, h.347-348
64

2) Bidang Pendidikan

a) Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah Jakarta

(1991-1997)

b) Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta

(1998-2016)

c) Dosen Institut Al-Quran (ISIQ/PTIQ)

d) Guru Besar Hadis-Ilmu Hadis, Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Agama

Islam Negri (STAIN) Pekalongan Jawa Tengah (2012-2016)

e) Guru Besar Hadis-Ilmu Hadis, Pascasarjana Fakultas Dirasat

Islamiyah Univesitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

(2012-2016)

f) Mendirikan Madrasah Darus-Sunnah 6 Tahun Setingkat dengang SMP

dan SMA (2014)37

4. Pemikiran Ali Mustafa Yaqub

a. Corak Pemikiran

Ali Mustafa Yaqub adalah sosok ilmuan yang dikenal baik sebagai

pemegang teguh ajaran Islam. Berbeda halnya dengan Cak Nur yang merupakan

seorang ilmuan muslim yang lebih condong ke arah modernis, maka Ali adalah

orang yang dalam pandangan penulis lebih condong ke tradisionalis. Hal ini

didasari juga dari latar belakang pendidikan beliau yang lebih banyak mengkaji

37
Ali Musta Yaqub, Isbat Ramadhan, Syawal dan Zulhijah Menurut al-Kitab dan Sunnah,
(Jakarta : Maktabah Darus-Sunnah, 2013), h.118
65

Islam dari dalam seperti studinya di Riyadh atau program doktoralnya di

Universitas Nizam Hyderadab di India.

Sebagai seoang ulama bercorak NU dan bermazhab syafii, Ali

meneruskan pogram doktoralnya yang dibimbing langsung oleh Prof.Dr.

Muhammad Hasan Hitou38 yang membantunya mendalami ilmu yang telah

digelutinyasejak kecil. Gelar doktoral bidang hukum islam yang didapatnya dari

ujian langsung di Mesjid Istiqlal ini yang akhirnya semakin memantapkan Ali

untuk meneruskan tradisi keislaman, sebagaimana yang telah diajarkan leluhurnya

kepadanya.39

b. Pemikiran Ali tentang Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama menurut Ali Mustafa yaqub tidaklah jauh

berbeda dengan pendapat mayoritas ulama klasik. Yang dimaksud adalah

perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama, yaitu antara perkawinan

seorang (laki-laki/perempuan) muslim dengan seorang (laki-laki/permpuan) non-

muslim.

Ali menempatkan non-muslim ke dalam dua kategori berdasarkan pada

literatur Islam, mereka yang berada di luar agama Islam (non-muslim) disebut

38
Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou yang juga Guru Besar Fiqh Islam dan Ushl Fiqh
Universitas Kuwait dan Direktur Lembaga Studi Islam International di Frankfrut Jerman. Prof. Dr.
Muhammad Hasan Hitou adalah orang yang berperan penting dalam studi S3 Ali dan pada tahun 2008
Ali mampu menyelesaikan program doktoralnya tersebut pada konsentrasi Hukum Islam, lihat Ni‟ma
Diana C., Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di
Indonesia, h.14
39
Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Musthafa_Ya%27qub diakses pada tanggal 4
oktober 216 pukul 22.00 wib
66

sebagai orang-orang kafir. Khusus mereka yang memeluk agama Nasrani (kristen,

baik Katolik maupun Protestan) dan agama Yahudi, dalam literatur Islam disebut

ahli kitab. Hal ini perlu diketahui, sebab Al-Qur‟an maupun hadis seringkali

menyebutkan terminologi ahli kitab sebagai agama yang memeiliki kitab samawi.

Selain ahli kitab, mereka disebut kaum musyrikin, baik mereka yang beragama

Majusi, Shabi‟ah, Animisme dan lain-lain.40

Term ahli kitab dalam Al-Qur‟an ditemukan sebanyak 31 kali yang

tersebar dalam 9 surah. Secara umum semuanya menunjuk pada dua komunitas,

yaitu kaum Yahudi dan Nasrani. Begitu pula pada masa awal perkembangan

Islam, khususnya masa Rasul SAW dan para sahabatnya, term ahli kitab ditujukan

pada kaum Yahudi dan Nasrani. Selain mereka tidak disebut sebagai ahli kitab.

Kaum majusi misalnya, meskipun Rasul SAW dalam hadisnya menyuruh

memperlakukan mereka seperti ahli kitab, tetapi mereka tidak termasuk komunitas

ahli kitab. Hal ini dapat dipahami dari sabda beliau:

‫س نؤا علهيم س نة اهل امكتاب‬


Artinya: “Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) seperti perlakuan
terhadap ahli kita” (HR. Malik dari Abdurrahman bin Auf).41

Dengan demikian , cakupan ahli kitab hanya terbatas pada komunitas

Yahudi dan Nasrani saja. Sekiranya Majusi termasuk ahli kitab, Rasul SAW tidak

40
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.19
41
Lihat Imam Malik bin Anas, al-Muwaththa, (t.t.p.: Dar al-Sya‟b, t.h) h.87
67

akan memerintahkan para sahabat untuk memperlakukan mereka seperti halnya

ahli kitab.

Menurut Imam al-Syafi‟i (w.204 H), istilah ahli kitab hanya menunjuk

pada orang-orang Yahudi dan nasrani dari keturunan Bani Isra‟il. Alasannya, Nabi

Musa a.s dan Nabi Isa a.s hany diutus kepada Bani Israil dan bukan kepada

bangsa-bangsa lain. Karenanya, dalam pandangan ini, bangsa-bangsa lain yang

menganut agama Yahudi dan Nasani, begitu pula orang-orang Kristen di

Indonesia, tidak termasuk dalam kategori ahli kitab. Selain itu QS al-Maidah ayat

5 yang menjadi landasan diperbolehkannya melakukan perkawinan dengan

perempuan ahli kitabmemakai redaksi min koblikum (sebelum kamu). Dengan

demikian, mereka yang menganut agama Yahudi dan Nasrani selain dari

keturunan Bani Israil tidak dikategorikan ahli kitab.42

Sehingga tentang perkawinan beda agama, meskipun ada perbedaan

pendapat dalam mengkategorikan seorang ahli kitab (baik Nasrani maupun

Yahudi) yang diperbolehkan melakukan perkawinan dengan seorang muslim, akan

tetapi ulama telah sepakat akan keharaman perkawinan dengan selalin ahli kitab,

baik antara seorang muslim dengan non-muslim perempuan maupun seorang

perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim. Lalu tentang keharaman

perkawinan trsebut telah jelas dikemukanan oleh Allah dalam firmannya pada

surah al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10.

42
Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an, h. 233
68

5. Metode Istinbat Hukum Ali Mustafa Yaqub

Kemudian mengenai metode penemuan atau penetapan hukum yang

dilakukan oleh Ali adalah dengan menggunakan pendekatan normatif doktrinal,

yakni dengan banyak mengutif dalil-dali yang ada, serta metode yang telah

digunakan oleh para ulama sebelumnya dengan senantiasa menghindari pada

kemudharatan. Lalu mengenai penemuan hukum pekawinan kaum muslim dengan

non-muslim (ahli kitab), tedapat dua kategori. Pertama, perkawinan laki-laki

muslim dengan perempuan ahli kitab, dan kedua perkawinan antara laki-laki ahli

kitab dengan perempuan muslimah. Kedua kategori ini memiliki konsekuensi

hukum yang berbeda;43

1) Perkawinan Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab

Para ulama sepakat bahwa perkawinan muslim dengan perempuan ahli

kitab diperbolehkan dalam syari‟at Islam. Pendapat ini mengacu pada firman

Allah SWT dalam surah al-Maidah ayat 5. Di samping itu, beberapa sahabat

senior juga berpendapat seperti itu. Di antara mereka adalah Umar, Usman,

Thalhah, Hudzaifah, Salman, Jabir dan sahabat-sahabat lainnya. Semuanya

menunjukkan atas diperbolehkannya laki-laki muslim mengawini perempuan

ahli kitab. Bahkan diantara mereka ada yang mempraktikkannya, seperti

sahabat Thalhah dan sahabat Hudzaifah, sementara tidak ada satupun sahabat

sahabat NAbi SAW yang menentangnya. Dengan demikian, dibolehkannya

43
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.27
69

perkawinan ini merpukan ijma‟ sahabat. Dalam hal ini, Ibnu al-Mundzir

mengatakan bahwa jika riwayat dari ulama salaf mengharamkan perkawinan

tersebut di atas, maka riwayat itu dinilai tidak shahih.44

Adapun sahabat Umar ra yang menyuruh beberapa sahabat lain agar

menceraikan istri-istri mereka yang ahli kitab, menurut Ali maka hal itu

dipahami sebagai suatu kehawatiran beliau. Sebagai kahlifah, beliau khawatir,

perilaku mereka akan menjadi fitnah bagi umat Islam. Atas dasar inilah Umar

mencegah mereka untuk mengawini perempuan ahli kitab, tetapi hal itu bukan

berarti beliau mengharamkannya. Maksud fitnah disini adalah perilaku

mereka itu akan ditiru oleh anak buahnya, kaena mereka para pemimpin.

Sehingga nanti wanita-wanita Islam tidak ada yang mengawini.45

Sementara itu, Majelis ulama Indonesia (MUI) yang mengeluakan fatwa

pada tanggal 1 juni 1980 tentang haramnya perkawinan antara laki-laki

muslim dengan perempuan ahli kitab, maka hal itu karena didasarkan atas

pertimbangan kemaslahatan yang sifatnya lokal. Meskipun fatwa tersebut

diusung dengan merujuk pada dalil naqli, tetap saja tidak bias menghapus

kebolehan mengawini perempuan ahli kitab sebagaimana disebut dalam surah

al-Maidah ayat 5.46

44
Lihat: Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni Juz IX,
(Saudi Arabia, Dar Alam al-Kutub, 1997), h. 545.
45
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.29-30
46
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.30
70

Menurut Ali Fatwa MUI yang mengharamkan laki-laki muslim

mengawini perempuan non-muslim tadi sebenarnya sejalan dengan pendapat

mazhab syafi‟i, karena seperti disebut sebelumnya, orang-orang Kristen dan

Yahudi di Indonesia tidak termasuk ahli kitab. Jadi, Fatwa MUI melihat

konteks keindonesiaan.47

2) Perkawinan Laki-laki Ahli kitab dengan Peempuan Muslimah

Mengenai Perkawinan laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah,

para ulama pun bersepakat atas keharamannya. Pendapat ini didasarkan atas

dalil-dalil sebagai berikut:

Pertama, QS al-Muamtahanah ayat 10 yang dengan tegas mengharamkan

perkawinan laki-laki kafir dengan perempuan muslimah, atau sebaliknya.

Kedua, dalam QS al-Maidah ayat 5 yang memberikan pemahaman bahwa

Allah hanya membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan

ahli kitab, tdak sebaliknya. Seandainya perkawinan yang kedua ini

diperbolehkan, maka Allah pasti akan menegaskannya. Maka berdasarkan

47
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.35
71

mafhum al-mukhalafah48, perkawinan laki-laki ahli kitab dengan wanita

muslimah itu dilarang oleh syraiat Islam.49

Ketiga, hadis Rasul yang diriwayatkan dalam kitab Tafsir al-Tabari dari

Jabir bin Abdillah bahwa Rasul bersabda:

‫نزت وج نساء اهل امكتاب وال يزتو جون نساءان‬


Artinya: “kami (kaum muslim) menikahi perempuan-perempuan ahli
kitab, tetapi mereka (laki-laki ahli kitab) tidak boleh menikahi
perempuan-perempuan kami.”

Menurut al-Tabari, meskipun sanad Hadis tersebut tidak begitu kuat,

tetapi karena maknanya telah diterima dan disepakati oleh kaum muslimin,

maka otoritasnya sebagai dalil (hujjah) dapat dipertanggungjawabkan. Dalam

disiplin ilmu Hadis, Hadis yang subsatnsinya sudah diterima dan diamalkan

oleh para ulama sepanjang masa, tidak perlu lagi diteliti keshahihan sanadnya.

Inilah yang disebut hadis maqbul (diterima) karena faktor-faktor eksternal.50

Keempat,yakni karena adanya Ijma‟ sahabat, hal ini karena tidak ada

satupun diantara sahabat yang membolehkan dan membenarkan perkawinan

antara laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah. Kelima, karena

48
Mafhum al-Mukhalafah merupakan salah satu metodelogi untuk memahami petunjuk nash
(teks agama). Paa ulama tafsir dan ushul fiqih mendefinisikan terminologi ini sebagai ketetapan
(hukum) yang berlawanan dengan nash (al-manthuq) dan diambil setelah terbukti tidak ada batasan
(kayid) yang jelas dari al-manthuq. Dengan kata lain, ia adalah petunjuk lafadz untuk menetapkan
sesuatu yang tidak disebutkan secara eksplisit oleh nash. Otoritas mafhum al-mukhalafah sebagai
sumber hukum Islam ini disepakati oleh Imam Malik, Imam al-Syafi‟i, dan Imam Ahmad. Hanya
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya saja yang tidak memakianya sebagai dalil. (lihat Ali Mustafa
Yaqub, Nikah Beda Agama, h.41)
49
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h. 41
50
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h. 43 dalam Mahmud al-Thahhan, Taisir
Musthalah al-Hadist, (Beirut: Dar al-Qur‟an al-Karim, 1979), h. 53.
72

adanya kaidah fiqih yang menyebutkan “pada dasarnya dalam masalah far

(kemaluan) itu adalah haram” karenanya apabila masalah (farj) wanita

terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antaa halal dan haram, maka yang

dimenangkan adalah hukum yang mengharamkan.51

51
Abu al-Fadhl Jalal al-Din Abdurrahman al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa
Furu‟ Fiqh al-Syafi‟iyyah, (Beirut: Dar al-Fikr 1996) h.84
73

BAB IV

DISKURSUS PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID DAN ALI MUSTAFA

YAQUB TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

A. Perbandingan Pemikiran Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub

Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasullah saw,

yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi.1 Pada

ajaran fikih, dapat dilihat adanya empat garis dari penataan itu yakni: a). Rub‟al-

ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk dengan khaliknya, b).

Rub‟al-muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya

dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, c). Rub‟al-

munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dalam lingkungan keluarga, dan

d). Rub‟al-jinayat, yang pengamanannya dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin

ketentramannya.2

Selain itu, perkawinan juga merupakan upaya yang dilakukan untuk

melanjutkan estafet kehidupan umat manusia dengan menghasilkan para penerus

peradaban. Hal ini jelas karena hanya melalui perkawinan yang sesuai dengan aturan

yang berlaku sajalah seorang anak yang sah dengan segala bentuk haknya tanpa

terkecuali bisa lahir serta tumbuh dan berkembang.

1
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pres, 2009) h. 15
2
Ali Yafie, Pandangan Islam terhadap Kependudukan dan Keluarga Berencana, (Jakarta:
Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdhatul Ulama dan BKKBN, 1982), h. 1
74

Lalu, perkawinan beda agama yang merupakan perkawinan antara laki-laki

muslim dengan perempuan non-muslim dan sebaliknya, banyak terjadi di Indonesia.

Masalahnya tetap aktual, karena hal ini bertalian dengan masalah akidah dan banyak

menimbulkan dampak negatif, baik antara suami, istri, maupun terhadap anak-anak

dari hasil perkawinan beda agama tersebut.3 Sehingga perkawinan ini masih sangat

diperdebatkan tentang kebolehannya.

Cak Nur seperti apa yang telah peneliti paparkan di atas adalah seorang

ilmuan yang membolehkan terjadinya praktik perkawinan beda agama, berbeda

dengan pandangan ilmuan dan pemikir Islam pada umumnya, Cak Nur dengan cukup

berani menginterpretasikan dan melakukan tafsir ayat-ayat Al-Qur’an sehingga Cak

Nur dalam upayanya menterjemahkan kalam Allah, mendapatkan suatu kesimpulan

bahwa segala bentuk perkawinan beda agama adalah dibolehkan. 4 Hal ini berlaku

pada semua jenis perkawinan beda agama sepanjang yang melakukan perkawinan

adalah antara laki-laki dan perempuan, jadi perkawinan seperti seorang muslim

dengan seorang non-muslim (ahli kitab ataupun bukan), lalu perempuan muslimah

dengan laki-laki non-muslim (ahli kitab ataupun bukan) adalah kesemuanya

dibenarkan menurut Cak Nur.

Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ali, Ali

berpandangan seperti halnya ilmuan dan pemikir Islam terdahulu atau ulama pada

3
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,
(Bandung: Angkasa, 2005), h. 154
4
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2003) h.164
75

umumnya, bahwa perkawinan beda agama adalah hal yang tidak dibenarkan dalam

Islam. Lalu dalam pandangannya Ali menegaskan yang mungkin terjadinya hanyalah

perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim (ahli kitab),

karena jenis perkawinan ini kebolehannya sangat jelas,5 lalu menurutnya tidak ada

dalil-dalil lain yang membolehkan perkawinan beda agama selain jenis tersebut.

Selain itu, dalam konteks hukum pembolehan perkawinan dengan perempuan

ahli kitab itupun Ali masih mengkaji ulangnya, yakni dengan menafsirkan apa yang

dimaksud dengan ahli kitab dalam terminologi Al-Qur’an. Ali melandasi

pemikirannya dengan konsep ahli kitab yang dimaksud oleh Imam al-Syafi’i dimana

istilah ahli kitab hanya menunjuk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari

keturunan Bani Israi’il. Alasannya karena baik Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus

kepada Bani Israil dan bukan bangsa-bangsa lain.. selain itu pada surah al-Maidah

ayat 5 memakai redaksi min qoblikum (sebelum kamu). Sehingga mereka yang

menganut Yahudi dan Nasrani selain keturunan Bani Israil tidak dikategorikan Ahli

kitab.6 Sehingga dalam konteks keindonesiaan maka ahli kitab yang dimaksud tidak

bisa disandingkan dengan seorang yang beragama Yahudi, Protestan ataupun Katolik

di Indonesia, yang artinya menurut Ali perkawinan beda agama dalam konteks

Indonesia dilarang sepenuhnya.

5
Lihat Q.S. Al-Maidah ayat 5
6
Ali Mustafa Yaqub, Nikah beda Agama, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)h.22-23. Lihat
juga: Ibn Jarir al-Thabari, Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an, h. 233
76

Lalu adapun yang melandasi Cak Nur dalam membolehkan segala bentuk

perkawinan beda agama yakni karena Cak Nur berpandangan surah al-Maidah ayat 5

yang membenarkan praktik perkawinan beda agama dengan perempuan ahli kitab

adalah ayat yang telah me-nasakh ayat-ayat sebelumnya yang melarang pekawinan

beda agama, sehingga ayat ini Cak Nur kategorikan sebagai ayat revolusi, yang

mencoba menyampaikan pesan pada umat manusia bahwa Al-Qur’an sebagai suatu

pedoman dan ajaran nilai-nilai hidup adalah berisikan ajaran pembebasan dan

bukanlah belenggu. Selain itu juga Cak Nur menafsirkan terminologi musyrik dalam

Al-Qur’an yang menurutnya hanya berlaku pada orang-orang pada zaman dahulu

pada bangsa arab. Hal ini diketahui bahwa surah al-Baqarah ayat 221 yang

menjelaskan larangan perkawinan dengan seorang musyrik adalah ayat yang turun

dalam situasi perang, sehingga dipahami mereka yang musyrik adalah mereka yang

memerangi orang-orang muslim.7

Perbedaan yang nyata antara pemikiran Cak Nur dengan Ali ini sangat jelas

terlihat, meskipun keduanya sama-sama mendasari hukum tentang perkawinan beda

agama secara berturut-turut pada surah al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat 5,

akan tetapi keduanya memiliki kesimpulan hukum yang berbeda dengan metode

penafisran pemikiran yang berbeda juga. Hal ini kita ketahui sebagai hal yang lumrah

dalam dunia penelitian dan pemikiran, meskipun demikian hemat peniliti hal tersebut

7
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.161
77

sangat bertanggungjawab terhadap berkembangnya pandangan masyrakat, sehingga

aturan pembenar (hukum yang legal) harus sesegera mungkin muncul ke permukaan.

Terkait teori yang dikemukakan oleh Ali dalam menjelaskan terminologi ahli

kitab yang membatasinya hanya pada golongan ahli kitab terdahulu, hemat peneliti

hal tersebut tidaklah fair, hal ini berangkat dari adigium bahwa Al-qur’an adalah

pedoman hidup (way of lie) bagi seluruh umat manusia, sehingga mendefinisikan ayat

secara parsial dengan konteks tempat, waktu atau kelompok tertentu rasanya kurang

tepat.

Lalu terminologi ahli kitab juga dapat diartikan sebagai orang-orang yang

mempercayai kitab-kitab suci yang diwahyukan Allah melalui perantara Nabi-nabi-

Nya, sehingga terminologi tersebut tidak terbatas pada Yahudi dan Nasani saja. Hal

demikian senada dengan pendapat Imam Abu Hanifah (w.150 H) dan ulama lain dari

mazhab Hanafi yang menyatakan, siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi,

atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahli kitab, sehingga ahli

kitab menurut mereka tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani semata.8

Bertolak dari pemaparan tersebut, maka peneliti beranggapan apa yang

dituliskan dalam Al-Qur’an dalam kaitannya tentang perkawinan denganperempuan

ahli kitab adalah tetap dapat dibenarkan. Hal ini sesuai dengan asas lex postariori

derogat legi priori9 yang menjadikan pembenar perkawinan dengan perempuan ahli

8
Badran Abu al-Aynayn Badran, al-Alaqah al-Ijtima‟iyyah bainna al-Muslimin Ghair al-
Muslimin (Iskandariah: Mu’assasah Syabah al-Jami’ah, 1984) h.40-41
9
Lex postariori derogat legi priori adalah asas dalam ilmu peraturan perundang-undangan
yang pengartiannya sama dengan konsep nasakh mansukh, dimana adanya ketentuan hukum yang baru
78

kitab yakni al-Maidah ayat 5 adalah ketentuan yang berlaku sekarang bukanlah ayat-

ayat sebelum diturunkannya.

Adapun penjabaran Cak Nur tentang konsepnya mengenai penjelasan

terminologi Musyrik yang hanya ditunjukkan pada orang-orang non-muslim zaman

dulu yang memerangi Islam dari bangsa Arab, menurut hemat peneliti hal tersebut

juga tidak dapat diterima.

Meskipun dibenarkan perkawinan dengan perempuan ahli kitab, akan tetapi

teap lebih baik jika hal tersebut dihindari. Karena terdepat beberapa hikmah ketika

seorang muslim tidak melangsungkan perkawinan dengan seorang non-muslim,

dianataranya yakni karena pada prinsipnya antara seorang muslim dan seorang non-

muslim masing-masing memiliki pandangan hidup (way of life) dan filosofi hidup

yang berbeda. Seorang muslim meyakini akan adanya rukun Iman yang diantaranya:

percaya kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Esa, percaya kepada Nabi-nabi

yang diutus-Nya, percaya pada wahyu-wahyu yang diturunkan-Nya yang berbentuk

kitab suci, percaya kepada malaikat-malaikat dan percaya juga pada adanya hari akhir

(kiamat). Sementara agama lain tentu memiliki jenis-jenis kepercayaaan yang

beberapa diantaranya berbeda.

Kemudian perkawinan beda agama juga dapat berdampak pada pola

pendidikan dan penanaman nilai terhadap keturunan (anak) mereka nantinya, karena

sangat dimungkinkan akan terjadi perseteruan dan upaya doktrinisasi nilai-nilai

menghapuskan ketentuan hukum yang sebelumnya. Lihat Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-
undangan 2, (Jakarta: 2003)
79

keagaman dan kepercayaan masing-masing orang tua, hal demikian dilakukan dengan

dasar untuk mendapat klaim dan pengakuan yang lebi dari sang anak, serta bentuk

legitimasi yang utuh sebagai orang tua.

B. Perbandingan Metode Istinbat Hukum Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa

Yaqub

Dalam upaya melakukan istinbat hukum, baik Cak Nur maupun Ali

mendasari pemikiran serta penemuan hukum tentang perkawinan beda agama kepada

sumber hukum yang sama, yakni Al-Qur’an sebagaimana disebutkan diatas, akan

tetapi keduanya menggunakan metode tafsir yang berbeda yang akhirnya mengarah

pada output hukum yang berbeda juga.

Sebelum pembahasan lebih lanjut, peneliti mencoba mengkategorikan jenis

perkawinan beda agama ke dalam tiga, yakni: perkawinan antara muslim dengan

musyrik, perkawinan antara muslim dengan perempuan ahli kitab,dan perkawinan

antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim.

Pertama, dalam kategori perkawinan antara muslim dengan musyrik, Ali

telah mutlak mengharamkan terjadinya praktek perkawinan seperti itu. Ali bertolak

pada fiman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 221, yang Ali maksud dalam

pengertian musyrik adalah seorang non-muslim selain dari kalangan ahli kitab.10

10
Lihat Ali Mustafa Yaqub, Nikah beda Agama, h. 27
80

Sementara menurut Cak Nur ayat ini telah di nasakh oleh al-Maidah ayat 5,11 lalu

lebih dari itu Cak Nur mengartikan terminologi Musyrik pada ayat ini, adalah mereka

yang menyembah berhala dari orang-orang bangsa arab serta memerangi Islam.12

Pendapat Cak Nur ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Abu Ja’far Ibnu

Jarir al-Thabiri13 yakni musyrik adalah orang-orang bangsa Arab yang tidak memiliki

kitab suci. Sehingga menurut Cak Nur selain dari perempuan kategori musyrik itu

maka boleh dikawini.

Dalam kategori ini, peneliti menilai bahwa redaksi memerangi Islam dan

memiliki kitab suci sebagai upaya untuk menterjemahkan maksud dari musyrik

adalah cukup tepat, sehingga tidak seperti Cak Nur yang membatasi pada bangsa

Arab saja atau Ali yang mengkategorikan semua non-muslim selain ahli kitab. Maka

terminologi musyik dengan begitu lebih dirasa rasional. Meskipun demikian, maksud

dari memerangi Islam adalah hal yang harus diteliti lagi lebih lanjut tentang konsep

dan batasannya, karena boleh jadi upaya atau niat sekecil apapun yang berbeda

dengan apa yang dikehendaki ajaran Islam bisa dikategorikan dengan memerangi

Islam. Sehingga agaknya peneliti pun beranggapan perkawinan seperti in tetap harus

dihindari.

Kedua, tentang mengawini perempuan ahli kitab adalah diantara yang telah

jelas dasar hukumnya, yakni surah al-Maidah ayat 5, sehingga bagi Cak Nur

11
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.162
12
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.160-161
13
Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an ta‟wil Ay al-Qur‟an, h.467
81

perkawinan seperti ini sangat jelas kebolehannya. Sementara menurut Ali terminologi

ahli kitab hanya untuk keturunan Bani Israil saja, maka seperti yang telah dikemukan

sebelumnya, bahwa peneliti menyimpulkan pandangan Ali tesebut tidak tepat, Selain

itu untuk menentukan suatu produk hukum, maka penting untuk menelaah suatu

permasalahan tersebut dengan konsep maslahah. Para fuqaha dalam menghadapi

hubungan maslahah duniawiyah dengan nash-nash syara’ terbagi kepada tiga

golongan:

1. Golongan pertama, hanya berpegang kepada nash saja dan mengambil

dhahirnya tidak melihat kepada sesuatu kemaslahatan yang tersirat di dalam

nash itu. Demikianlah pendirian golongan dhahiriyah, golongan yang menolak

qiyas. Mereka mengatakan : “tak ada kemaslahatan melainkan yang

didatangkan syariat’”.

2. Golongan kedua, berusaha mencari maslahat daripada nash unuk mengetahui

illat-illat nash, maksud dan tujuan-tujuan nash. Golongan ini meng-qiyaskan

segala yang terdapat pada maslahat kepada nash yang mengadung maslahat

itu. Hanya saja mereka itu tidak menghagai maslahat terkecuali ada syahid

tertentu. Jadi maslahat yang mereka i’tibakan hanyalah maslahat yang

disaksikan oleh sesuatu nash atau oleh sesuatu dalil, dan itulah yang mereka

jadikan illat qiyas.

3. Golongan ketiga, menetapkan setiap maslahat yang masuk ke dalam jenis

maslahat yang ditetapkan oleh syariat. Maka walaupun tidak disaksikan oleh

sesuatu dalil tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu
82

dalil yang berdiri sendiri dan mereka namakan maslahah mursalah atau

istislah.14

Sehingga dari konsep maslahah tersebut, maka peneliti mengutif dari

pendapat Masjfuk Zuhdi,15 berpandangan bahwa perkawinan antara laki-laki muslim

dengan perempuan ahli kitab adalah boleh sebagaimana yang termaktub dalam Q.S.

al-Maidah ayat 5 yang menerangkan dihalalkannya laki-laki muslim menikah dengan

perempuan ahli kitab bahkan dalam konteks Indonesia. karena, peneliti berpandangan

bahwa ahli kitab adalah mereka-mereka yang memiliki kitab suci seperti

dikemukakan Imam Hanafi.16 Sehingga melangsungkan perkawinan dengan

perempuan yang meyakini kitab seperti zabur sekalipun dibenarkan.

Ketiga, perkawinan perempuan muslim dengan seorang yang non-muslim,

dalam kategori ini Ali mengharamkannya secara mutlak, hal ini didasarinya selain

pada dalil-dalil Al-Qur’an seperti al-Baqarah ayat 221 atau al-Mumtahanah ayat 10,

juga dari dalil lainya seperti hadis yang diriwayatkan Jabir bin Abdillah oleh Ibnu

Jarir dalam Tafsir al-Tabari bahwa Nabi pernah berkata:17

‫نزت وج نساء اهل امكتاب وال يزتو جون نساءان‬


Artinya: “kami (kaum muslim) menikahi perempuan-perempuan ahli
kitab, tetapi mereka (laki-laki ahli kitab) tidak boleh menikahi perempuan-
perempuan kami.”

14
Hasbi Ashiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 335
15
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988), h. 5
16
Lihat Badran, al-Alaqah al-Ijtima‟iyyah bainna al-Muslimin Ghair al-Muslimin, h.40-41
17
Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an ta‟wil Ay al-Qur‟an, h. 378
83

Selain itu juga Ali berlandaskan pada Ijma Sahabat, hal ini karena

dikalangan para sahabat tidak ada yang membolehkannya, sehingga hal tersebut

menjadi konsensus (ijma‟) para sahabat.18 Sementara menurut Cak Nur dikarenakan

tidak adanya larangan yang sarih terkait kategori ini, maka seharusnya perkawinan

semacam ini menjadi wilayah ijtihad dalam upaya untuk menentukan sesuatu ketika

terjadinya kekosongan hukum. Adapun hadis seperti di atas menurut Cak Nur hadis

tersebut tergolong hadis mawquf, yaitu hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir

sehingga dapat dikategorikan sebagai hadis yang tidak sahih. Karena perkawinan

kategori ketiga ini berada pada wilayah ijtihadiyah, maka Cak Nur mencoba

melakukan ijtihad dan menghukuminya boleh.19

Tentang perkawinan kategori ketiga ini, menurut peneliti bahwa Cak Nur

dinilai terlalu berani dalam menghukumi boleh, meskipun dari metode pencarian

hukum yang Cak Nur lakukan akhirnya menghasilkan bahwa tidak ada larangan yang

sarih, namun hal tersebut harusnya tidak serta-merta menjadi alasan untuk

dibolehkannya perkawinan tersebut. Kehidupan sosio-kultural bangsa Indonesia yang

cukup religius akan sulit menerima tafsiran-tafsiran berani seperti ini, belum lagi

dalam melakukan proses ijtihad haruslah dengan mempertimbangkan kemaslahatan,

yakni dengan konsep jal-bul manfa‟ah wadaf „ul madharah yang artinya menarik

18
Lihat Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.36-44
19
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h. 164
84

kemanfaatan dan menolak kemadharatan.20 Karena dengan menerapkan konsep

maslahat itulah, output hukum akan lebih dapat diterima umat.

Dari analisis yang peneliti lakukan dan temui secara umum tentang

eksistensi pemikiran kedua tokoh tersebut, yakni pemikiran Ali Mustafa Yaqub yang

tidak lain dipengaruhi oleh lingkungan pesanteren yang cukup kental, dan corak

pemikiran yang bermazhab syafi’iyah, lalu melanjutkan studinya pun dengan latar

pedidikan yang sangat terkait, dan pada akhirnya menguatkan disiplin ilmu yang telah

dipelajarinya sejak dari masa kanak-kanak, yakni dalam bidang ilmu hukum Islam.

Lalu pendidikan terakhirnya yang ditamatkannya melalui bimbingan Hasan Hitou

telah menghantarkan Ali sebagai seseorang yang mencoba mengintegrasikan nilai-

nilai ajaran ulama terdahulu dengan konteks keindonesiaan.

Berbeda halnya Nurcholish Madjid dengan pemikirannya yang banyak

dipengaruhi oleh ajaran-ajaran filsafat baik dari barat maupun timur, kemudian

progam dokotralnya yang ia tempuh di Universitas Chicago Amerika Serikat, dimana

kehidupan di negara tersebut lebih plural, sehingga tidak dielakkan lagi jika produk

pemikirannya mengarah pada pemikiran-pemikiran yang berani (anti mainstream),

yang beberapa diantaranya menentang pemikiran klasik. Cak Nur juga merupakan

ikon pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme

telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan, terlebih di saat Indonesia

sedang berjuang dengan problematika-problematika disintegrasi bangsa.

20
Hasbi Ashsiddqieqy, Falsafah Hukum Islam cet-VI, h. 329
85

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, peneliti

dapat menyimpulkan gambaran umumnya sebagai berikut:

1. Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub dalam memberikan

komentarnya terkait perkawinan beda agama bahwa, dari segi persamaan

keduanya sepakat akan kebolehan perkawinan dengan perempuan ahli kitab

yang didasari pada firman Allah SWT pada surah al-Maidah ayat 5. Namun

dalam hal ini Ali mengkategorikan terminologi ahli kitab hanyalah pada

Yahudi dan Nasrani keturunan Bani Israil saja sehingga hal ini tidak

berlaku dalam konteks Indonesia, sedangkan Cak Nur mengatakan bahwa

terminologi ahli kitab adalah orang-orang yang memiliki kitab suci yang

diturunkan kepada Nabi, sehingga tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani

saja.

2. Dari perbedaaan pendapat ke dua tokoh ini dapat disimpulkan bahwa,

menurut Ali perkawinan antara muslim dengan musyrik adalah haram hal

ini didasari pada surah al-Baqarah ayat 221 yang didalamnya menegaskan

tentang larangan mengawini seorang musyrik, yang mana terminologi

musyrik merujuk pada non-muslim selain dari kalangan ahli kitab. Berbeda

halnya dengan pendapat Cak Nur yang mendefinisikan musyrik, bahwa


86

musyrik adalah orang-orang pada bangsa Arab yang menyembah berhala

dan tidak memiliki kitab suci, serta berupaya untuk memerangi Islam.

3. Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim

menurut Ali adalah haram, secara sosio-kultural peran suami sebagai

kepala keluarga sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan rumah

tangga dan dikhawatirkan sang istri dan anaknya nanti akan mengikuti

agama suami, selain faktor tersebut juga pelarangan ini didasarkan pada

surah al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarah ayat 221, selain itu juga

terdapat hadis dan ijma yang menguatkan pendapat Ali. Berbeda halnya

dengan Cak Nur yang berpendapat boleh, hal ini karena menurutnya tidak

ada larangan yang sarih terkait perkawinan ini, adapun hadis yang

diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah adalah tidak sahih, sehingga karena

adanya kekosongan hukum maka proses ijtihad menjadi solusi untuk

menghukumi ini. Lalu adanya kenyataan bahwa dulu umat Islam

jumlahnya sedikit dan perpindahan seorang muslim ke agama yang lain

akan merugikan Islam waktu itu, maka dewasa ini menurut Cak Nur hal

demikian bukanlah lagi masalah karena metode dakwah sudah bisa

dilakukan secara terbuka dan jumlah muslim di dunia sudah cukup banyak.

Dari landasan-landasan itulah Cak Nur berijtihad dan membolehkannya.

4. Metode istinbat hukum yang digunakan oleh Cak Nur ialah dengan

menggunakan metode tafsir ayat secara kontekstual, meskipun Cak Nur

mendasari pemikirannya atas semangat Al-Qur’an yang membawa


87

pembebasan dan bukannya belenggu, akan tetapi tafsirannya ini dinilai

terlalu liberal. Sementara Ali menggunakan konsep maslahah, dimana

mempertahankan tauhid adalah hal yang urgen, hal ini karena perkawinan

beda agama akan berdampak negatif kepada kehidupan ketauhidan seorang

muslim, mengingat keluarga adalah orang terdekat yang sekaligus juga

orang yang akan paling berpengaruh dalam menentukan keputusan-

keputusan hidup.

B. Saran

Saran-saran yang dapat penulis sampaikan dari pemparan pada bab-bab

sebelumnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan peneliti

khususnya adalah:

1. Untuk pemeluk agama Islam (muslim/muslimah) disarankan untuk

berikhtiar terlebih dahulu dalam upaya mencari pasangan yang memiliki

kepercayaan yang sama (sesama muslim), hal ini untuk menghindari

kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi nantinya.

2. Untuk para peneliti dan akademisi agar mengkaji lebih dalam lagi tentang

hukum perkawinan beda agama, khususnya dalam pemikiran Nurcholish

Madjid dan Ali Mustafa Yaqub

3. Himbauan kepada Pemerintah dan Badan Legislator untuk membuat

regulasi atau undang-undang yang tegas tentang ketentuan perkawinan

beda agama, dengan mempertimbangkan kondisi socio-kultural Indonesia


88

yang pluralistik/heterogen serta religius, karena hanya undang-undang

sebagai norma pembenar yang dapat memberikan titik temu dan menjadi

pegangan halayak umum.


89

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentqng Perkawinan,


Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1986. Ed-1

Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Bandung: Alumni, 1987

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

Al-Juzairi, Abdur-Rahman. Al-Fiqh „alal-Madzahib al-Arba‟ah. Beirut-Lubnan: Dar


al-Fikr, 1990.

Al-Shatibi, Al-Muwafaqat vol.II, Kairo: Mustafa Muhammad, t.t.

Al-Suyuti, Abu al-Fadhl Jalal al-Din Abdurrahman. Al-Asybah wa al-Nazhair fi


Qawaid wa Furu‟ Fiqh al-Syafi‟iyyah. Beirut: Dar al-Fikr 1996.

Al-Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah al-Hadist. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim,


1979.

Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1998.

Anshor, Maria Ulfah dan Sinaga, Martin Lukito. Tafsir Ulang Perkawinan Lintas
Agama:Perspektif Perempuan dan Pluralisme. Jakarta: KAPAL Perempuan,
2004

An-Na’im, Abdullahi Ahmed. Dekontruksi Syar.iah, Yogyakarta: LKiS, 2004 Cet-4.

Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka


Cipta, 2010. Ed-Rev, Cet-14.

Ashsiddqieqy, Hasbi. Falsafah Hukum Islam cet-VI. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
90

Asmawi, Mohammad. Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan. Yogyakarta:


Darussalam, 2004. Cet-1.

Badran, Abu al-Aynayn. Al-Alaqah al-Ijtima‟iyyah bainna al-Muslimin Ghair al-


Muslimin. Iskandariah: Mu’assasah Syabah al-Jami’ah, 1984.

Baso, Ahmad dan Nurcholish, Ahmad (ed.). Pernikahan Beda Agama: Kesaksian,
Argumen Keagamaan, dan Analisis Kebijakan. Jakarta: KOMNAS HAM
bekerja sama dengan ICRP, 2005.

Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru Islam Indonesia :
Pemikiran dan Aksi Politik. Bandung: Zaman wacana mulia, 1998.

Djalil, Basiq. Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi
Hukum Islam. Jakarta, 2003.

Eoh, Budha O.S. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman Penulisan
Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.

FXS. Purwaharsanto. Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1


Tahun 1974 tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis. Yogyakarta:
Aktualita Media Cetak, 1992.

Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2008

Greg Barton. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme


Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurahman Wahid.
Jakarta: Paramadina, 1999.
91

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju,


2003.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1980.

Hendianto, Budi. 50 Tokoh Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme,


Pluralisme dan Liberalisme Agama, Jakarta : Hujjah Press, 2007

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2 Terjemahan Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka


azam : 2007

Ibn Jarir al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad. Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an,
dikomentari Shudqi Jamil al-Atthar. Beirut: Dar al-Fikr, 2001. jilid II.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan 2. Jakarta: Rajawali Pres, 2003.

Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer, Jakarta:


UIN Jakarta, 2011.

Kahhar, Wahidul. Efektifitas Al-Mulslah dalam Penetapan Hukum Syara. Jakarta:


UIN Syarif Hidayatullah, 2003.

M.A. Tihami. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali press, 2009.

Madjid, Nurcholis. Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis


Cet-IV. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2004.

______,_____. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial


Politik Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 1998.

______,_____. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Jakarta: Paramadiana, 2003.

______,_____. Sekapur Sirih dalam Sukidi: Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta:
Kompas, 2001.
92

______,_____. Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish


Madjid “muda”. Bandung: Mizan, 1992.

______,_____. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1992.

Meliala, Djaja S. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan.


Bandung: Nuansa Aulia, 2008.

Mogahed, Dalia dan Esposito, John L. Saatnya Muslim Bicara!, Jakarta: Mizan,
2008.

Mualim, Amir dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam VI. Yogyakarta:
UII Press, 2001.

Munawar-Rachman, Budhy. Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Jakarta: Mizan, 2006.

Nurcholish, Ahmad. Memoir Cintaku: Pengalaman Empiris Perkawinan Beda


Agama cet-1. Yogyakarta: LkiS, 2004.

Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Nuraddin, Amiur. Hukum Perdata Islam di Indonesia cet-3. Jakarta: Kencana.

PUSHAM UII. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: UII Pres, 2008.

Qudamah, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad bin. Al-Mughni Juz IX.
Saudi Arabia: Dar Alam al-Kutub, 1997.

Slamet Abidin dan Aminuddin. Fiqh Munakahat 1. Bandung: Pustaka setia, 1999.

Soedharyo, Soimin. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.


93

Sopyan, Yayan, Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

_____,______. Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum


Nasional, Jakarta: RMBooks, 2012 Cet-2.

Sudarto. Metode Penelitian Filsafat. Jakarta: Rajawali Press, 1996.

Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakata : Rajawali
Press, 2004.

___,________. Kawin Beda Agama di Indonesia telaah Syariah dan Qanuniah.


Jakarta: Lentera Hati, 2015.

Yafie, Ali. Pandangan Islam terhadap Kependudukan dan Keluarga Berencana.


Jakarta: Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdhatul Ulama dan BKKBN,
1982.

Yanggo,Chuzaemah Tahido, dan AZ, Anshari, A. Hafiz. Problematika Hukum Islam


Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. Buku Ke-1, Cet-5.

______,_____. Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer. Bandung:


Angkasa, 2005.

Yaqub, Ali Mustafa. Nikah Beda Agama dalam Al-Qur‟an dan Hadis. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005.

______,_____. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta : Pustaka Firdaus, cetakan
ke 4, 2008.

______,_____. Kritik Hadis. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004.


94

______,_____. Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut
al-Quran dan Hadis. Jakarta : PT Pustaka Firdaus, Cetakan ke-2, 2008.

______,_____. Isbat Ramadhan, Syawal dan Zulhijah Menurut al-Kitab dan Sunnah.
Jakarta : Maktabah Darus-Sunnah, 2013.

______,_____. Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Quran dan Hadis. Jakarta :


Pustaka Firdaus, 2000.

______,_____. Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan. Jakarta : Pustaka Firdaus,


2003.

Yunu, Jarwo, Aspek Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, Jakarta: CV. Insani,
2005.

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988.

Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Al-Mizan Publishing House, 2009)

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam

http://www.biografitokoh.com diakses pada tanggal 10 oktober 2016 pukul 17.00 wib

https://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid diakses pada 3 Oktober 2016 pukul


10.45 wib
95

https://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Musthafa_Ya%27qub diakses pada 4 oktober 2016


pukul 22.00 wib

You might also like