Professional Documents
Culture Documents
115100613111005
1. SEKUENSING
Pengertian Sekuensing DNA
Sekuensing DNA atau pengurutan DNA adalah proses atau teknik penentuan urutan basa
nukleotida pada suatu molekul DNA. Urutan tersebut dikenal sebagai sekuens DNA, yang
merupakan informasi paling mendasar suatu gen atau genom karena mengandung instruksi
yang dibutuhkan untuk pembentukan tubuh makhluk hidup. Sekuensing DNA dapat
dimanfaatkan untuk menentukan identitas maupun fungsi gen atau fragmen DNA lainnya
dengan cara membandingkan sekuens-nya dengan sekuens DNA lain yang sudah diketahui.
Teknik ini digunakan dalam riset dasar biologi maupun berbagai bidang terapan seperti
kedokteran, bioteknologi, forensik, dan antropologi.
Pengertian Hibridasi
Dalam ilmu kimia atom dikenal ada yang namanya hibridisasi. Apa sebenarnya hibridisasi
itu? Hibridisasi dapat didefinisikan sebagai peleburan orbital-orbital dari tingkat energy yang
berbeda menjadi orbital yang orbital yang energinya setingkat. Menentukan hibridisasi dapat
diperoleh dari domain electron dengan melihat PEB dan PEI yang dipromosikan atau
perpindahan elektron diatom pusat yang memiliki jumlah elektron penuh dalam orbital
tersebut, harus dipromosi ke orbital selanjutnya agar diperoleh orbital setengah penuh untuk
mengikat elektron pada ikatannya.
Prinsip Kerja Southern Blotting
Blot Southern merupakan proses perpindahan fragmen DNA yang terpisah secara
elektroforesis dari gel ke membran.Metode ini diambil dari nama penemunya yaitu Edward M.
Southern.Prinsipnya adalah kapilaritas, dimana bufer yang merupakan fase gerak diasumsikan
akan membawa fragmen DNA dari gel ke membran. Karena muatan DNA negatif sedangkan
muatan membran positif maka fragmen DNA akan menempel (blot) pada membran. Membran
yang digunakan pada proses blot southern adalah membran nitroselulosa.
Blot Southern merupakan sebuah metode yang sering digunakan dalam bidang biologi
molekuler untuk menguji keberadaan dari suatu sekuen DNA dalam suatu sampel DNA.
Metode ini ditemukan oleh seorang ahli biologi dari Inggris yang bernama Edward M.
Southern, yang mengembangkan prosedur ini pada tahun 1975 di Universitas Edinburgh.
Metode ini mengkombinasikan elektroforesis gel agarosa untuk memisahkan DNA
berdasarkan ukurannya dan kemudian ditransfer ke membran filter untuk selanjutnya
dilakukan hibridisasi dengan probe.Untuk mengidentifikasi ataupun melacak suatu fragmen
DNA spesifik, diperlukan suatu pelacak (probe). DNA dipisahkan terlebih dahulu dengan
elektroforesis. Probe yang dilabel akan hibridisasi pada pita-pita DNA untuk mengetahui
apakah DNA tersebut mengandung gen yang diinginkan. Blot Southern mendeteksi DNA
rantai tunggal dengan menggunakan DNA sebagai pelacak. Selain Blot Southern, metode lain
yang mirip dan dikembangkan dari Blot Southern adalah Blot Western, Blot Northern, dan
Blot Southwestern yang memiliki prinsip yang sama, namun molekul yang akan dideteksi dan
pelacak yang digunakan berbeda. Kegunaan dari Blot Southern adalah untuk menganalisis
keberadaan mutan yang ada pada suatu organisme dan dapat diketahui ukuran dari gen yang
menjadi mutan pada organisme tersebut.
Tahap awal dari metode Blot Southern adalah pendigestian DNA dengan enzim restriksi
endonuklease sehingga terbentuk fragmen-fragmen DNA yang lebih kecil. Kemudian DNA
dipisahkan sesuai ukuran dengan elektroforesis agarosa. Setelah DNA terpisah, dilakukan
pemindahan DNA ke membran nitroselulosa, tahap ini disebut dengan tahap blotting.
Membran nitroselulosa diletakkan pada bagian atas dari gel agarosa. Pada teknik blotting
dengan menggunakan vakum, membran diletakkan pada bagian bawah gel. Tekanan diberikan
secara merata pada gel untuk memastikan terjadi kontak antara gel dengan membran. Proses
transfer berlangsung dengan memanfaatkan daya kapilaritas. setelah DNA ditransfer ke gel,
membran nitroselulosa dipanaskan dengan suhu tinggi (60oC-100oC) kemudian membran
diberi radiasi UV agar terbentuk ikatan kovalen dan permanen antara pita-pita DNA dengan
membran. Lalu, membran dicampur dengan probe (pelacak) yang telah dilabel radioaktif,
tetapi dapat juga digunakan label nonradioaktif yang dapat berpendar. Probe yang digunakan
adalah DNA utas tunggal yang memiliki sekuen yang akan dideteksi. Probe diinkubasi dengan
membran agar dapat berhibridisasi dengan DNA yang ada pada membran. Setelah proses
hibridisasi, probe yang tidak terikat dicuci dari membran sehingga yang tinggal hanya probe
yang hibrid dengan DNA di membran. Pola hibridisasi kemudian dideteksi dengan visualisasi
pada film X-ray melalui autoradiografi.
Northern blotting
Western blotting
Perbedaan Dan Persamaan Southern Blot, Northern Blot Dan Westhern Blot
Transfer DNA disebut ‘Southern blotting’ (SB), mengacu kepada nama penemu teknik
tersebut yaitu E.M. Southern (1975). Untuk deteksi mRNA digunakan teknik Northern Blot
(NB). baik SB dan NB menggunakan gen atau potongan DNA spesifik yang dilabeli probe
untuk mempermudah deteksi gen yang dianalisis. untuk protein dikenal sebagai Western Blot
menggunakan antibody spesifik.
2. PCR
Kepanjangan Dan Pengertian PCR
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik yang sangat serbaguna untuk menyalin
DNA. Secara singkat, PCR memungkinkan urutan DNA tunggal untuk disalin (jutaan kali),
atau diubah dengan cara-cara yang telah ditentukan. Sebagai contoh, PCR dapat digunakan
untuk memperkenalkan situs enzim restriksi, atau untuk bermutasi (mengubah) basa tertentu
DNA, yang terakhir adalah metode disebut sebagai "perubahan Cepat". PCR juga dapat
digunakan untuk menentukan apakah suatu fragmen DNA tertentu ditemukan di perpustakaan
cDNA. PCR memiliki banyak variasi, seperti PCR transkripsi terbalik (RT-PCR) untuk
amplifikasi RNA, dan, baru-baru ini, real-time PCR (QPCR) yang memungkinkan untuk
pengukuran kuantitatif molekul DNA atau RNA.
1. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung pada suhu
tinggi, 94–96 °C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) dan DNA menjadi
berberkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan agak lama (sampai
5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan
DNA tidak stabil dan siap menjadi templat ("patokan") bagi primer. Durasi tahap ini 1–2
menit.
2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA templat yang
komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45–60 °C. Penempelan ini
bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau
primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.
3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA
polimerase (ditunjukkan oleh P pada gambar) yang dipakai. Dengan Taq-polimerase,
proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76 °C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.
Lepas tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa
berkas baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat berkas DNA
yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah
karena penambahan terjadi secara eksponensial.
RT-PCR menggunakan sepasang primer, yang berkomplemen dengan sequens yang jelas
dari masing-masing dua untai cDNA. Primer tersebut kemudian diperpanjang dengan bantuan
enzim DNA polymerase dan akan menghasilkan sebuah untai gandaan pada setiap siklusnya dan
seterusnya mengikuti amplifikasi logaritmik.
RT-PCR meliputi tiga tahap utama. Tahap pertama adalah reverse transcription
(RT) atau transkripsi balik dimana RNA ditranskrip balik menjadi cDNA menggunakan
enzim reverse transcriptase dan primer. Tahap ini sangat penting dalam kaitannya dengan
performa PCR untuk amplifikasi cDNA dengan bantuan DNA polymerase sebab DNA
polymerase hanya dapat bekerja pada templet yang berupa DNA. Tahapan RT (Reverse
Transcripsion) dapat dilakukan dalam tabung yang sama dengan PCR (one-step PCR) atau pada
tabung yang terpisah (two-step PCR) menggunakan suhu berkisar 40°C sampai 50°C, tergantung
pada karakteristik reverse transcriptase yang digunakan.
Tahap berikutnya adalah denaturasi dsDNA at 95°C, pada tahap ini dua untai DNA
akan terpisah dan primer dapat mengikat pada untai tersebut jika temperaturnya diturunkan
kemudian yang selanjutnya akan dimulai rantai reaksi baru. Kemudian suhu diturunkan hingga
mencapai suhu anealing yang bervariasi tergantung primer yang digunakan, konsentrasi, probe
dan konsentrasinya jika digunakan, dan juga konsentrasi kation.
Perhatian utama saat memilih temperatur anealing optimal adalah melting temperatur ™
dari primer dan probe (jika digunakan). Temperatur annealing dipilih untuk PCR tergantung
langsung pada panjang dan komposisi dari primer tersebut. Hal ini merupakan hasil dari
perbedaan ikatan hidrokarbon antara A-T (2 ikatan) dan G-C (3 ikatan). Temperatur annealing
biasanyaberkisar 5 derajat di bawah Tm terendah dari pasangan primer yang digunakan.
Tahap akhir adalah Amplifikasi PCR yang merupakan proses dimana dilakukannya
perpanjangan DNA menggunakan Primer yang memerlukan Taq DNA polymerase yang
termostabil, biasanya pada suhu 72°C, yang merupakan suhu optimal untuk aktivitas enzim
polymerase. Lamanya masa inkubasi tiap temperatur, perubahan suhu dan jumlah siklus dikontrol
secara terprogram menggunakan programmable thermal cycler. Analaisa produk PCR tergantung
pada kebutuhann PCR. Jika menggunakan PCR konvensional, maka produk PCR dapat dideteksi
dengan agarose gel electrophoresis dan ethidium bromide (atau dye nukleotida lainnya).