Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
NUR ANNISA ILMIATUN
NIM. 180070300111005
KELOMPOK 3 A
B. ETIOLOGI
Dewanto et all (2009) menyebutkan bahwa etiologi perdarahan
subarakhnoid meliputi:
1. Ruptur aneurisma sakular (70-75%)
2. Malformasi arteriovena
3. Ruptur aneurisma fusiform
4. Ruptur aneurisma mikotik
5. Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan antikoagulan, dan
gangguan pembekuan darah
6. Infeksi
7. Neoplasma
8. Trauma
C. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan risiko tinggi
aneurisma SAH menurut Feigin et al. (2005) dan Teunissen et al. (1996)
dalam Lemonick (2010) meliputi:
Riwayat keluarga dengan aneurisma intrakranial
Hipertensi
Merokok
Atherosklerosis
Kontrasepsi oral
Usia lanjut
Jenis kelamin
Pecandu alkohol berat
D. PATOFISIOLOGI
(TERLAMPIR)
E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hunt dan Hess (1968) dalam Dewanto G, et al. 2009,
gejala CVA SAH dapat dilihat dari derajat nya, yaitu:
Derajat GCS Gejala
1 15 Asimtomatik atau nyeri kepala minimal serta kaku
kuduk ringan.
2 15 Nyeri kepala moderat sampai berat, kaku kuduk,
defisit neurologis tidak ada (selain parese saraf
otak).
3 13-14 Kesadaran menurun (drowsiness) atau defisit
neurologis fokal.
4 8-12 Stupor, hemiparesis moderate sampai berat,
permulaan desebrasi, gangguan vegetatif.
5 3-7 Koma berat, deserebrasi.
F. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Persiapan Alat Pemeriksaan Fisik Persyarafan
- Reflex hammer
- Garputala
- Kapas dan lidi
- Penlight atau senter kecil
- Opthalmoskop
- Jarum streril
- Spatel tongue
- 2 tabung berisi air hangat dan air dingin
- Objek yang dapat disentuh seperti peniti atau uang receh
- Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum
- Bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti garam, gula,
atau cuka
- Baju periksa
- Sarung tangan
b. Reflex biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan
lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari
pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku),
kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila
terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka
akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari
atau sendi bahu
c. Reflex triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps
diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak
1-2 cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit
meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku
tersebut menyebabkanar keatas sampai otot-otot bahu atau
mungkin ada klonus yang sementara.
d. Reflex abdominal
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan
refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas
tungkai bawah kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal
berupa gerakan plantar fleksi kaki.
e. Reflek Babinski
Merupakan refleks yang paling penting. Ia hanya dijumpai pada
penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah
kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari
kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon
Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-
jari lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar
semua jari kaki.
Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui
rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan
pemeriksaan:
1. Kaku Kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu
tidak dapat menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
2. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan
tangan lain didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat.
Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara pasif.
Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi
pada sendi panggul dan sendi lutut.
3. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada
sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai
lainnya pada sendi panggul dan lutut.
4. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai
bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah
membentuk sudut 135° terhadap tungkai atas. Kernig (+) bila
ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap
hambatan.
5. Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan
menimbulkan nyeri sepanjang m. ischiadicus.
Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
a. Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus
corticospinal.
Nampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua
siku, kedua pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki
ekstensi dengan memutar kedalam dan kaki plantar fleksi.
b. Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain,
pons atau diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan
pronasi, ekstensi dan menutup kesamping, kedua kaki lurus
keluar dan kaki plantar fleksi.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologis
a. CT Scan
CT-scan kepala harus dilakukan pertama kali pada setiap pasien
dengan suspek perdarahan subaraknoid. Hasil yang di dapatkan
menunjukkan bahwa darah SAH pada CT Scan tanpa bentuk
berarti pada ruang subarakhnoid disekitar otak, kemudian
membentuk sesuatu yang secara normal berwarna gelap muncul
menjadi putih. Efek ini secara khas muncul sebagai bentuk bintang
putih pada pusat otak seperti gambar berikut ini.
Sedangkan lokasi darah pada umumnya terdapat di basal cisterns,
fisura sylvian, atau fisura interhemisper yang mengindikasikan
ruptur saccular aneurysma. Darah berada di atas konfeksitas atau
dalam parenkim superfisial otak sering mengindikasikan
arteriovenous malformation atau mycotic aneurysm rupture
(AANN, 2009).
b. Pungsi Lumbal
Dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT Scan kepala tidak
dapat dikerjakan atau gambaran CT scan kepala normal, sedangkan
klinis sangat mencurigakan suatu perdarahan subaraknoid dan
tidak ada kontraindikasi lumbal punksi.Hasilnya menunjukkan
bahwa terdapat xanthochromia (CSF berwarna kuning yang
disebabkan oleh rusaknya hemoglobin) dimana sensitivitas
pemeriksaan ini lebih besar dari 99% (AANN, 2009).
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau
leukositosis setelah terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik
(Dewanto et al., 2009).
b. Adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau
trombosis (Weiner, 2000).
c. Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati
sebelumnya.
d. Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt
wasting.
H. PENATALAKSANAAN
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Guideline Stroke 2007:
1. Pedoman Tatalaksana
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA)
- Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan
petunjuk untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas. Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30
dalam ruangan dengan lingkungan yang tenang dan nyaman,
bila perlu diberikan O2 2-3 L/menit.
- Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
- Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat
kelainan-kelainan neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan
harus lebih intensif:
- Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien
di ruang gawat darurat.
- Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin
jalang nafas yang adekuat.
- Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
- Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan
menyulitkan penilaian status neurologi.
2. Tindak lanjut mencegah perdarahan ulang setelah PSA
a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan
antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah
perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut
sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA.
b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang
direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien
dengan resiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau
memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda.
c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan
ulang.
d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.
3. Operasi pada aneurisma yang rupture
a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi
perdarahan ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan
ulang setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa
secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang
ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade
yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk
keadaan klinis lain, operasi yang segera atau ditunda
direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.
c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang
tinggi untuk perdarahan ulang.
4. Tatalaksana pencegahan vasospasme
a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada
hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari.
Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki deficit neurologi
yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium antagonist lainnya
yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan
triple H yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan
tujuan mempertahankan “cerebral perfusion pressure” sehingga
dapat mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme.
Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada
pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak
begitu bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan
vasospasme pada pasien-pasien yang gagal dengan terapi
konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
- Pencegahan vasospasme
Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
Jaga keseimbangan cairan.
- Delayed vasospasme
Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge
pressure 12-14 mmHg.
Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.
5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-
obat yang sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan
dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.
6. Antihipertensi
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau
tekanan darah sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan
darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum tindakan operasi
aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg
dan TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2
mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol
infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid
tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan
efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat
diberikan vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan
iskemik penumbra yang mungkin terjadi akibat vasospasme.
7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari.
Bila perlu diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari.
Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130
mEq/L dalam 48 jam pertama. Ada yang menambahkan fludrokortison
dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5%
IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena
menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk
pengobatan hiponatremi.
8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian
antikonvulsan tidak direkomendasikan secara rutin, hanya
dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin timbul kejang,
umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media,
kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko
perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan
sebagai profilaksis. Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20
mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV 3
kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis
terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan
kejang. Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan
pada penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya
diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti
kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri
serebri media.
9. Hidrosefalus
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari
pertama. Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk
ventrikulostomi (atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun
kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan
serebrospinal secara temporer atau permanen seperti ventriculo-
peritoneal shunt.
10. Terapi Tambahan
a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara
regular. Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai
stocking atau pneumatic compression devices.
b. Analgesic
- Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
- Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
- Tylanol dengan kodein.
- Hindari asetosal.
- Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6
jam.
Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
Propofol 3-10 mg/kg/jam.
- Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan
Antagonis H2
Antasida
Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali
sehari.
Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.
I. KOMPLIKASI
1. Hemiparesis dan hemiplegia
Kelemahan dan paralisis satu sisi tubuh terjadi karena kerusakan area
mata pada korteks atau pada saluran serat piramidal
2. Apeaksia
Suatu kondisi dimana klien dapat menggerakkan bagian yag terkena
tetapi tidak dapat digunakan untuk pergerakan dengan tujuan spesifik
(berjalan, bicara, pembersihan)
3. Apasia
Kerusakan dalam menggunakan dan interpretasi symbol Bahasa.
Apasia mungkin meliputi beberapa atau semua aspek dari penggunaan
Bahasa seperti berbicara, membaca, menulis, dan mengerti
pembicaraan. Kategori apasia meliputi:
a. Apasia sensorik (reseptive aphasia)
Disebut juga Wernicke aphasia, dapat berbicara dengan artikulasi
dan gramatikal yang benar tetapi kurang mampu memahami
isi/kata yang dibicarakan.
b. Apasia motoric (ekspresif aphasia)
Disebut juga bioca aphasia, tidak mampu membentuk kata yang
dapat dipahami, mungkin mampu bicara dalam reson kata tunggal.
c. Apasia global
Kombinasi baik apasia reseptive maupun ekpresif.
4. Disatria
Kesulitan dalam bentuk kata, klien mengerti bahasa tetapi kesulitan
mengucapkan kata dan menyambungkannya. Disebabkan karena
fungsi saraf kranial yang menghasilkan kelemahan dan paralisis dari
otot bibir, lidah dan laring atau kehilangan sensasi
5. Disfagia
Sering mempunyai kesulitan mengunyah dan menelan makanan
(disfagia) karena rendah control otot.
6. Perubahan pengelihatan
a. Homonimus hemianopisa (kehilangan setengah lapang
pengelihatan pada sisi yang sama)
b. Diplopia (pengelihatan ganda)
c. Penurunan ketajaman pengelihatan
d. Agnosia (ketidakmampuan mengidentifikasi lingkungan melalui
indera), melalui visual, pendengaran atau taktil
7. Perubahan berfikir abstrak
Ketidakmampuan membedakan kanan dan kiri ketidakmampuan
mengenali nomor (angka) seperti penggunaantelepon atau mengatakan
waktu.
8. Emosi labil
Frustasi, marah, depresi, ketakutan, permusuhan, keputusasaan,
kehilangan control diri dan hambatan sosial.
9. Inkotinensia
Tidak semua jenis stroke menghasilkan inkontinensia bowel dan
bladder neurogenic bowel dan bladder, kadang-kadang terjadi setelah
stroke.
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan
untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada
tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan,
yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan
diagnosis keperawatan. (Lismidar, 1990)
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status
kesehatan klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial
budaya, spiritual, kognitif, tingkat perkembangan, status ekonomi,
kemampuan fungsi dan gaya hidup klien. (Marilynn E. Doenges et
al, 1998)
a) Data demografi
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis.
b) Keluhan utama
Didapatkan keluhan kelemahan anggota gerak sebelah badan,
bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi.
c) Riwayat penyakit sekarang
d) Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat
mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas.
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang
sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh
badan atau gangguan fungsi otak yang lain. (Siti Rochani,
2000) Sedangkan stroke infark tidak terlalu mendadak, saat
istirahat atau bangun pagi, kadang nyeri copula, tidak kejang
dan tidak muntah, kesadaran masih baik.
e) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung,
anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-
obat adiktif, kegemukan. (Donna D. Ignativicius, 1995)
f) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi
ataupun diabetes militus. (Hendro Susilo, 2000)
g) Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat
mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga.(Harsono, 1996)
h) Pola-pola fungsi kesehatan
Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol,
penggunaan obat kontrasepsi oral.
Pola nutrisi dan metabolism
Adanya gejala nafsu makan menurun, mual muntah pada
fase akut, kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi,
tenggorokan, disfagia ditandai dengan kesulitan menelan,
obesitas (Doengoes, 2000: 291)
Pola eliminasi
Gejala menunjukkan adanya perubahan pola berkemih
seperti inkontinensia urine, anuria. Adanya distensi
abdomen (distesi bladder berlebih), bising usus negatif
(ilius paralitik), pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltik usus.(Doengoes, 1998 dan
Doengoes, 2000: 290)
Pola aktivitas dan latih
Gejala menunjukkan danya kesukaran untuk beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/
hemiplegi, mudah lelah.Tanda yang muncul adalah
gangguan tonus otot (flaksid, spastis), paralitik
(hemiplegia) dan terjadi kelemahan umum, gangguan
penglihatan, gangguan tingkat kesadaran (Doengoes, 1998,
2000: 290)
i) Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
- Kesadaran: umumnya mengelami penurunan kesadaran
- Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar
dimengerti, kadang tidak bisa bicara
- Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut
nadi bervariasi
Pemeriksaan integument
- Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat
dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek.
Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus
terutama pada daerah yang menonjol karena klien
stroke hemoragik harus bed rest 2-3 minggu
- Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
- Rambut : umumnya tidak ada kelainan
Pemeriksaan kepala dan leher
- Kepala : bentuk normocephalik
- Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah
satu sisi
- Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998)
Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar
ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan
tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan,
adanya hambatan jalan nafas. Merokok merupakan faktor
resiko.
Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang
lama, dan kadang terdapat kembung.
Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
Pemeriksaan neurologi
- Saraf Kranial I (olfaktorius/ penciuman) : Biasanya
pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman.
- Saraf Kranial II (optikus/ penglihatan) : Disfungsi
persepsi visual karena gangguan jaras sensorik primer
di antara mata dan korteks visual.
- Saraf Kranial III, IV, dan VI (okulomotorius/
mengangkat kelopak mata, troklearis, dan abdusens)
: Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis seisi
otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan
gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
- Saraf Kranial V (trigeminus) : paralisis saraf
trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan
koodinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan seisi otot-otot
pterigoideus internus dan eksternus.
- Saraf Kranial VII (fasialis) : persepsi pengecapan
dalam batas normal, wajah asimetris, otot wajah tertarik
ke bagian sisi yang sehat.
- Saraf Kranial VIII (vestibulokoklearis) : tidak
dietmukan tuli konduktif dan tuli perseptif.
- Saraf Kranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus)
: Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
- Saraf Kranial XI (aksesoris) : tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapesius.
- Saraf Kranial XII (hipoglosus) : lidah simetris,
terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi. Indra
pengecap normal.
Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/
kelemahan pada salah satu sisi tubuh, kelemahan,
kesemutan, kebas, genggaman tidak sama, refleks tendon
melemah secara kontralateral, apraksia
Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi,
hilangnya rangsang sensorik kontralteral.
Pemeriksaan refleks
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali didahuli dengan refleks patologis.
Sinkop/pusing, sakitkepala, gangguan status mental/tingkat
kesadaran, gangguan fungsi kognitif seperti penurunan
memori, pemecahan masalah, afasia, kekakuan nukhal,
kejang, dll (Jusuf Misbach, 1999, Doengoes, 2000: 291)
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
b. Pemeriksaan laboratorium
2. Diagnosa Keperawatan
Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
perdarahan intraserebri, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat
kesadaran.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/
hemiplegia, kelemahan neuromuskular pada ekstremitas.
Risiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan sensari, luas
lapang pandang.
Defisit perawatan diri : mandi dan eliminasi berhubungan dengan
kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran,
kehilangan koordinasi otot.
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari
kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol
tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum.
3. Intervensi Keperawatan
1. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
tidak terjadi peningkatan TIK.
Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala tidak ada
- Mual dan muntah tidak ada
- GCS 456
- Tidak ada papiledema
- TTV dalam batas normal
Intervensi Rasional
Kaji keadaan klien, penyebab Memperioritaskan intervensi,
koma/ penurnan perfusi status neurologis/ tanda-tanda
jaringan dan kemungkinan kegagalan untuk menentukan
penyebab peningkatan TIK kegawatan atau tindakan
pembedahan.
Memonitor TTV tiap 4 jam. Suatu keadaan normal bila
sirkulasi serebri terpelihara
dengan baik. Peningkatan TD,
bradikardi, disritmia, dispnea
merupakan tanda peningkatan
TIK. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan
meningkatkan TIK.
Evaluasi pupil. Reaksi pupil dan pergerakan
kembali bola mata merupakan
tanda dari gangguan saraf jika
batang otak terkoyak.
Keseimbangansaraf antara
simpatis dan parasimpatis
merupakan respons refleks saraf
kranial.
Kaji peningkatan istirahat dan Tingkah laku non verbal
tingkah laku pada pgi hari. merupakan indikasi peningkatan
TIK atau memberikan refleks
nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluha secara
verbal.
Palpasi pembesaran bladder Dapat meningkatkan respon
dan monitor adanya otomatis yang potensial
konstipasi. menaikkan TIK.
Obaservasi kesadaran dengan Perubahan kesadaran
GCS menunjukkan peningkatan TIK
dan berguna untuk menentukan
lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi:
O2 sesuai indikasi Mengurangi hipoksemia.
Diuretik osmosis Mengurangi edema.
Steroid (deksametason) Menurunkan inflamasi dan
Analgesik edema.
Antihipertensi Mengurangi nyeri
Mengurangi kerusakan jaringan.