You are on page 1of 32

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID HEMORRHAGE


(CVA-SAH)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Medikal di Ruang 28 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :
NUR ANNISA ILMIATUN
NIM. 180070300111005
KELOMPOK 3 A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
A. DEFINISI
Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang mengacu kepada
setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau
terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri di otak. Istilah stroke
atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada setiap gangguan
neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau berhentinya
aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya
digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. Istilah yang
masih lama dan masih sering digunakan adalah cerebrovaskular accident
(CVA) (Price & Wilson, 2006)
Menurut American Association of Neuroscience Nurses (AANN)
pada tahun 2009 mendefinisikan subarakhnoid hemorrhage (SAH) adalah
stroke perdarahan dimana darah dari pembuluh darah memasuki ruang
subarachnoid yaitu ruang di antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan
tengah (arachnoid mater) dari jaringan selaput otak (meninges). Penyebab
paling umum adalah pecahnya tonjolan (aneurisma) dalam arteri basal
otak atau pada sirkulasi willisii.

Gambar 1. Perdarahan Subarachnoid

B. ETIOLOGI
Dewanto et all (2009) menyebutkan bahwa etiologi perdarahan
subarakhnoid meliputi:
1. Ruptur aneurisma sakular (70-75%)
2. Malformasi arteriovena
3. Ruptur aneurisma fusiform
4. Ruptur aneurisma mikotik
5. Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan antikoagulan, dan
gangguan pembekuan darah
6. Infeksi
7. Neoplasma
8. Trauma

C. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan risiko tinggi
aneurisma SAH menurut Feigin et al. (2005) dan Teunissen et al. (1996)
dalam Lemonick (2010) meliputi:
 Riwayat keluarga dengan aneurisma intrakranial
 Hipertensi
 Merokok
 Atherosklerosis
 Kontrasepsi oral
 Usia lanjut
 Jenis kelamin
 Pecandu alkohol berat

D. PATOFISIOLOGI
(TERLAMPIR)

E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hunt dan Hess (1968) dalam Dewanto G, et al. 2009,
gejala CVA SAH dapat dilihat dari derajat nya, yaitu:
Derajat GCS Gejala
1 15 Asimtomatik atau nyeri kepala minimal serta kaku
kuduk ringan.
2 15 Nyeri kepala moderat sampai berat, kaku kuduk,
defisit neurologis tidak ada (selain parese saraf
otak).
3 13-14 Kesadaran menurun (drowsiness) atau defisit
neurologis fokal.
4 8-12 Stupor, hemiparesis moderate sampai berat,
permulaan desebrasi, gangguan vegetatif.
5 3-7 Koma berat, deserebrasi.

Pasien dengan perdarahan sub arachnoid didapatkan gejala klinis


Nyeri kepala mendadak, adanya tanda rangsang meningeal (mual, muntah,
fotofobia/intoleransi cahaya, kaku kuduk), penurunan kesadaran, serangan
epileptik, defisit neurologis fokal (disfasia, hemiparesis, hemihipestesia
(berkurangnya ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh). Kesadaran sering
terganggu dan sangat bervariasi. Ada gejala/tanda rangsangan meningeal.
Edema papil dapat terjadi bila ada perdarahan sub arachnoid karena
pecahnya aneurisma pada arteri (Dewanto et al., 2009).
Onset dari gejalanya biasanya tiba-tiba, perjalanan penyakit
perdarahan subarochnoid yang khas dimulai dengan sakit kepala yang
sangat hebat (berbeda dengan sakit kepala biasa), onset biasanya 1-2 detik
hingga 1 menit dan sakit kepala hebat sehingga mengganggu aktivitas
yang dilaksanakan oleh penderita. Sakit kepala makin progresif, kemudian
diikuti nyeri dan kekakuan pada leher, mual muntah sering dijumpai
perubahan kesadaran (50%) kesadaran hilang umumnya 1-2 jam, kejang
sering dijumpai pada fase akut (sekitar 10-15%) perdarahan subarochnoid
sering diakibatkan oleh arterivena malformasi. Umumnya onset saat
melakukan aktivitas 24-36 jam setelah onset dapat timbul febris yang
menetap selama beberapa hari.Gangguanfungsi otonimm dapat berupa
braadikardi atau takikardi, hipotensi atau hipertensi, banyak keringat, suhu
badan meningkat, atau gangguan pernafasan.

F. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Persiapan Alat Pemeriksaan Fisik Persyarafan
- Reflex hammer
- Garputala
- Kapas dan lidi
- Penlight atau senter kecil
- Opthalmoskop
- Jarum streril
- Spatel tongue
- 2 tabung berisi air hangat dan air dingin
- Objek yang dapat disentuh seperti peniti atau uang receh
- Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum
- Bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti garam, gula,
atau cuka
- Baju periksa
- Sarung tangan

a. Pemeriksaan Saraf Kranial


1. Fungsi saraf kranial I (N. Olfaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup
bersih. Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang
hidung klien dan dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata
tertutup klien diminta menebak bau tersebut. Lakukan untuk
lubang hidung yang satunya.
2. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
 Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum
pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan
jarak baca atau menggunakan snellenchart untuk jarak jauh.
 Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa
60-100 cm, minta untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa
juga menutup sebelah mata dengan mata yang berlawanan
dengan mata klien. Gunakan benda yang berasal dari arah luar
klien dank lien diminta , mengucapkan ya bila pertama melihat
benda tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama dengan mata
yang sebelahnya. Ukur berapa derajat kemampuan klien saat
pertama kali melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk
melihat fundus dan optic disk (warna dan bentuk)
3. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear
dan Abdusen)
 Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi
konjungtiva, dan ptosis kelopak mata
 Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan
adanya perdarahan pupil
 Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam
posisi cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial
bawah lateral bawah. Minta klien mengikuti arah telunjuk
pemeriksa dengan bolamatanya
4. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
 Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah
maxilla, mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas.
Minta klien mengucapkan ya bila merasakan sentuhan, lakukan
kanan dan kiri.
 Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum
atau peniti di ketiga area wajah tadi dan minta membedakan
benda tajam dan tumpul.
 Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat
dilakukan diketiga area wajah tersebut. Minta klien
menyebabkanutkan area mana yang merasakan sentuhan.
Jangan lupa mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.
 Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan
garputala yang digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah
wajah tadi dan minta klien mengatakan getaran tersebut terasa
atau tidak
 Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien
melihat lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari
samping kea rah mata dan lihat refleks menutup mata.
 Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan
merapatkan gigi periksa otot maseter dan temporalis kiri dan
kanan periksa kekuatan ototnya, minta klien melakukan
gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan mandibula.
5. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
 Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam
dan sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi
rasa ulangi untuk gula dan asam
 Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul,
mengangkat kedua al;is berbarengan, menggembungkan pipi.
Lihat kesimetrisan kanan dan kiri. Periksa kekuatan otot bagian
atas dan bawah, minta klien memejampan mata kuat-kuat dan
coba untuk membukanya, minta pula klien utnuk
menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
6. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
 Cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran
mengguanakan weber test dan rhinne test
 Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta
klien berdiri tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh,
lalu observasi adanya ayunan tubuh, minta klien menutup mata
tanpa mengubah posisi, lihat apakah klien dapat
mempertahankan posisi
7. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
 Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum,
normal bila uvula terletak di tengan dan palatum sedikit
terangkat.
 Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang
faring menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.
 Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menelan
air sedikit, observasi gerakan meelan dan kesulitan menelan.
Periksa getaran pita suara saat klien berbicara.
8. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
 Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan
kedua bahu secara bersamaan dan observasi kesimetrisan
gerakan.
 Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta
klien menoleh ke kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan
telinga ke bahu kanan dan kiri bergantian tanpa mengangkat
bahu lalu observasi rentang pergerakan sendi
 Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu
klien dengan kedua telapak tangan danminta klien mendorong
telapak tangan pemeriksa sekuat-kuatnya ke atas, perhatikan
kekuatan daya dorong.
 Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta
klien untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak
tangan pemeriksa, perhatikan kekuatan daya dorong
9. Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
 Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke
kanan, observasi kesimetrisan gerakan lidah
 Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah
satu pipi dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan
ujung lidah, dorong kedua pipi dengan kedua jari, observasi
kekuatan lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain

b. Pemeriksaan Fungsi Motorik


Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di
corteks cerebri, impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di
batang traktus pyramidal medulla spinalis dan bersinaps dengan lower
motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan
pemeriksaan kekuatan:
a. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi
b. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota
gerak pada berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai
klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan
oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan pasif
sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.
 Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi.
Keadaan otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat
berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif
dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan
otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan
ekstensi extremitas klien.
 Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk
menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut
dan sendi pergelangan tangan.
 Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan
halus.
c. Kekuatan otot
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien
secara aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa.
Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan diraba. Gunakan
penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s (memiliki
nilai 0 – 5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau
melawan
tahanan atau gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh

c. Pemeriksaan Fungsi Sensorik


Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit
diantara pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat
subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan
perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang
menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien
belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien
terhadap beberapa stimulus. Pemeriksaan harus selalu menanyakan
kepada klien jenis stimulus.
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan
sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa
terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau perasaan-
perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik
(kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya)
disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan yang dipakai
untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum
pada perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti
:
a. Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
b. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan
sebagainya), untuk pemeriksaan stereognosis
c. Pen / pensil, untuk graphesthesia.

d. Pemeriksaan Fungsi Refleks


Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon
menggunakan refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)
2 = normal (++)
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)
Refleks-refleks yang diperiksa adalah :
a. Reflex patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi
kurang lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan
tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa
kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut.

b. Reflex biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan
lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari
pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku),
kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila
terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka
akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari
atau sendi bahu
c. Reflex triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps
diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak
1-2 cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit
meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku
tersebut menyebabkanar keatas sampai otot-otot bahu atau
mungkin ada klonus yang sementara.
d. Reflex abdominal
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan
refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas
tungkai bawah kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal
berupa gerakan plantar fleksi kaki.
e. Reflek Babinski
Merupakan refleks yang paling penting. Ia hanya dijumpai pada
penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah
kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari
kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon
Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-
jari lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar
semua jari kaki.
Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui
rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan
pemeriksaan:
1. Kaku Kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu
tidak dapat menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
2. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan
tangan lain didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat.
Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara pasif.
Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi
pada sendi panggul dan sendi lutut.

3. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada
sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai
lainnya pada sendi panggul dan lutut.
4. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai
bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah
membentuk sudut 135° terhadap tungkai atas. Kernig (+) bila
ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap
hambatan.

5. Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan
menimbulkan nyeri sepanjang m. ischiadicus.
Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
a. Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus
corticospinal.
Nampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua
siku, kedua pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki
ekstensi dengan memutar kedalam dan kaki plantar fleksi.
b. Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain,
pons atau diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan
pronasi, ekstensi dan menutup kesamping, kedua kaki lurus
keluar dan kaki plantar fleksi.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologis
a. CT Scan
CT-scan kepala harus dilakukan pertama kali pada setiap pasien
dengan suspek perdarahan subaraknoid. Hasil yang di dapatkan
menunjukkan bahwa darah SAH pada CT Scan tanpa bentuk
berarti pada ruang subarakhnoid disekitar otak, kemudian
membentuk sesuatu yang secara normal berwarna gelap muncul
menjadi putih. Efek ini secara khas muncul sebagai bentuk bintang
putih pada pusat otak seperti gambar berikut ini.
Sedangkan lokasi darah pada umumnya terdapat di basal cisterns,
fisura sylvian, atau fisura interhemisper yang mengindikasikan
ruptur saccular aneurysma. Darah berada di atas konfeksitas atau
dalam parenkim superfisial otak sering mengindikasikan
arteriovenous malformation atau mycotic aneurysm rupture
(AANN, 2009).
b. Pungsi Lumbal
Dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT Scan kepala tidak
dapat dikerjakan atau gambaran CT scan kepala normal, sedangkan
klinis sangat mencurigakan suatu perdarahan subaraknoid dan
tidak ada kontraindikasi lumbal punksi.Hasilnya menunjukkan
bahwa terdapat xanthochromia (CSF berwarna kuning yang
disebabkan oleh rusaknya hemoglobin) dimana sensitivitas
pemeriksaan ini lebih besar dari 99% (AANN, 2009).

c. CTA (Computed Tomography Angiography)


Dilakukan jika diagnosis SAH telah dikonfirmasi dengan CT Scan
atau LP.
d. Rotgen Toraks
Untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.
e. MagneticResonance Imaging (MRI).
MRI harus dilakukan untuk menutup kemungkinan malformasi
vaskular pada otak, batang otak atau batang spinal. MRI dapat
menunjukkan perdarahan intraserebral dalam beberapa jam
pertama setelah perdarahan.

2. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau
leukositosis setelah terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik
(Dewanto et al., 2009).
b. Adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau
trombosis (Weiner, 2000).
c. Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati
sebelumnya.
d. Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt
wasting.

H. PENATALAKSANAAN
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Guideline Stroke 2007:
1. Pedoman Tatalaksana
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA)
- Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan
petunjuk untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas. Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30
dalam ruangan dengan lingkungan yang tenang dan nyaman,
bila perlu diberikan O2 2-3 L/menit.
- Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
- Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat
kelainan-kelainan neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan
harus lebih intensif:
- Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien
di ruang gawat darurat.
- Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin
jalang nafas yang adekuat.
- Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
- Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan
menyulitkan penilaian status neurologi.
2. Tindak lanjut mencegah perdarahan ulang setelah PSA
a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan
antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah
perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut
sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA.
b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang
direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien
dengan resiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau
memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda.
c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan
ulang.
d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.
3. Operasi pada aneurisma yang rupture
a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi
perdarahan ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan
ulang setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa
secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang
ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade
yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk
keadaan klinis lain, operasi yang segera atau ditunda
direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.
c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang
tinggi untuk perdarahan ulang.
4. Tatalaksana pencegahan vasospasme
a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada
hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari.
Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki deficit neurologi
yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium antagonist lainnya
yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan
triple H yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan
tujuan mempertahankan “cerebral perfusion pressure” sehingga
dapat mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme.
Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada
pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak
begitu bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan
vasospasme pada pasien-pasien yang gagal dengan terapi
konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
- Pencegahan vasospasme
 Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
 Jaga keseimbangan cairan.
- Delayed vasospasme
 Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
 Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
 Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge
pressure 12-14 mmHg.
 Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
 Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.
5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-
obat yang sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan
dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.
6. Antihipertensi
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau
tekanan darah sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan
darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum tindakan operasi
aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg
dan TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2
mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol
infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid
tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan
efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat
diberikan vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan
iskemik penumbra yang mungkin terjadi akibat vasospasme.
7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari.
Bila perlu diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari.
Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130
mEq/L dalam 48 jam pertama. Ada yang menambahkan fludrokortison
dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5%
IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena
menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk
pengobatan hiponatremi.
8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian
antikonvulsan tidak direkomendasikan secara rutin, hanya
dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin timbul kejang,
umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media,
kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko
perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan
sebagai profilaksis. Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20
mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV 3
kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis
terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan
kejang. Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan
pada penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya
diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti
kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri
serebri media.
9. Hidrosefalus
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari
pertama. Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk
ventrikulostomi (atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun
kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan
serebrospinal secara temporer atau permanen seperti ventriculo-
peritoneal shunt.
10. Terapi Tambahan
a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara
regular. Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai
stocking atau pneumatic compression devices.
b. Analgesic
- Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
- Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
- Tylanol dengan kodein.
- Hindari asetosal.
- Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
 Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
 Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6
jam.
 Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
 Propofol 3-10 mg/kg/jam.
- Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan
 Antagonis H2
 Antasida
 Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
 Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali
sehari.
 Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.
I. KOMPLIKASI
1. Hemiparesis dan hemiplegia
Kelemahan dan paralisis satu sisi tubuh terjadi karena kerusakan area
mata pada korteks atau pada saluran serat piramidal
2. Apeaksia
Suatu kondisi dimana klien dapat menggerakkan bagian yag terkena
tetapi tidak dapat digunakan untuk pergerakan dengan tujuan spesifik
(berjalan, bicara, pembersihan)
3. Apasia
Kerusakan dalam menggunakan dan interpretasi symbol Bahasa.
Apasia mungkin meliputi beberapa atau semua aspek dari penggunaan
Bahasa seperti berbicara, membaca, menulis, dan mengerti
pembicaraan. Kategori apasia meliputi:
a. Apasia sensorik (reseptive aphasia)
Disebut juga Wernicke aphasia, dapat berbicara dengan artikulasi
dan gramatikal yang benar tetapi kurang mampu memahami
isi/kata yang dibicarakan.
b. Apasia motoric (ekspresif aphasia)
Disebut juga bioca aphasia, tidak mampu membentuk kata yang
dapat dipahami, mungkin mampu bicara dalam reson kata tunggal.
c. Apasia global
Kombinasi baik apasia reseptive maupun ekpresif.
4. Disatria
Kesulitan dalam bentuk kata, klien mengerti bahasa tetapi kesulitan
mengucapkan kata dan menyambungkannya. Disebabkan karena
fungsi saraf kranial yang menghasilkan kelemahan dan paralisis dari
otot bibir, lidah dan laring atau kehilangan sensasi
5. Disfagia
Sering mempunyai kesulitan mengunyah dan menelan makanan
(disfagia) karena rendah control otot.
6. Perubahan pengelihatan
a. Homonimus hemianopisa (kehilangan setengah lapang
pengelihatan pada sisi yang sama)
b. Diplopia (pengelihatan ganda)
c. Penurunan ketajaman pengelihatan
d. Agnosia (ketidakmampuan mengidentifikasi lingkungan melalui
indera), melalui visual, pendengaran atau taktil
7. Perubahan berfikir abstrak
Ketidakmampuan membedakan kanan dan kiri ketidakmampuan
mengenali nomor (angka) seperti penggunaantelepon atau mengatakan
waktu.
8. Emosi labil
Frustasi, marah, depresi, ketakutan, permusuhan, keputusasaan,
kehilangan control diri dan hambatan sosial.
9. Inkotinensia
Tidak semua jenis stroke menghasilkan inkontinensia bowel dan
bladder neurogenic bowel dan bladder, kadang-kadang terjadi setelah
stroke.

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan
untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada
tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan,
yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan
diagnosis keperawatan. (Lismidar, 1990)
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status
kesehatan klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial
budaya, spiritual, kognitif, tingkat perkembangan, status ekonomi,
kemampuan fungsi dan gaya hidup klien. (Marilynn E. Doenges et
al, 1998)
a) Data demografi
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis.
b) Keluhan utama
Didapatkan keluhan kelemahan anggota gerak sebelah badan,
bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi.
c) Riwayat penyakit sekarang
d) Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat
mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas.
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang
sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh
badan atau gangguan fungsi otak yang lain. (Siti Rochani,
2000) Sedangkan stroke infark tidak terlalu mendadak, saat
istirahat atau bangun pagi, kadang nyeri copula, tidak kejang
dan tidak muntah, kesadaran masih baik.
e) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung,
anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-
obat adiktif, kegemukan. (Donna D. Ignativicius, 1995)
f) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi
ataupun diabetes militus. (Hendro Susilo, 2000)
g) Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat
mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga.(Harsono, 1996)
h) Pola-pola fungsi kesehatan
 Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol,
penggunaan obat kontrasepsi oral.
 Pola nutrisi dan metabolism
Adanya gejala nafsu makan menurun, mual muntah pada
fase akut, kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi,
tenggorokan, disfagia ditandai dengan kesulitan menelan,
obesitas (Doengoes, 2000: 291)
 Pola eliminasi
Gejala menunjukkan adanya perubahan pola berkemih
seperti inkontinensia urine, anuria. Adanya distensi
abdomen (distesi bladder berlebih), bising usus negatif
(ilius paralitik), pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltik usus.(Doengoes, 1998 dan
Doengoes, 2000: 290)
 Pola aktivitas dan latih
Gejala menunjukkan danya kesukaran untuk beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/
hemiplegi, mudah lelah.Tanda yang muncul adalah
gangguan tonus otot (flaksid, spastis), paralitik
(hemiplegia) dan terjadi kelemahan umum, gangguan
penglihatan, gangguan tingkat kesadaran (Doengoes, 1998,
2000: 290)

 Pola tidur dan istirahat


Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena
kejang otot/nyeri otot
 Pola hubungan dan peran
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien
mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara.
 Pola persepsi dan konsep diri
Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah
marah, tidak kooperatif.
 Pola sensori dan kognitif
Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/
kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan menurun pada
muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif
biasanya terjadi penurunan memori dan proses berpikir.
 Pola reproduksi seksual
Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari
beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti
hipertensi, antagonis histamin.
 Pola penanggulangan stress
Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan
masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan
berkomunikasi.
 Integritas ego
Terdapat gejala perasaan tak berdaya, perasaan putus asa
dengan tanda emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk
marah, sedih dan gembira, kesulian mengekspresikan diri
(Doengoes, 2000: 290)
 Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah
laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah
satu sisi tubuh. (Marilynn E. Doenges, 2000)

i) Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum
- Kesadaran: umumnya mengelami penurunan kesadaran
- Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar
dimengerti, kadang tidak bisa bicara
- Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut
nadi bervariasi
 Pemeriksaan integument
- Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat
dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek.
Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus
terutama pada daerah yang menonjol karena klien
stroke hemoragik harus bed rest 2-3 minggu
- Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
- Rambut : umumnya tidak ada kelainan
 Pemeriksaan kepala dan leher
- Kepala : bentuk normocephalik
- Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah
satu sisi
- Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998)
 Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar
ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan
tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan,
adanya hambatan jalan nafas. Merokok merupakan faktor
resiko.
 Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang
lama, dan kadang terdapat kembung.
 Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
 Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
 Pemeriksaan neurologi
- Saraf Kranial I (olfaktorius/ penciuman) : Biasanya
pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman.
- Saraf Kranial II (optikus/ penglihatan) : Disfungsi
persepsi visual karena gangguan jaras sensorik primer
di antara mata dan korteks visual.
- Saraf Kranial III, IV, dan VI (okulomotorius/
mengangkat kelopak mata, troklearis, dan abdusens)
: Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis seisi
otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan
gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
- Saraf Kranial V (trigeminus) : paralisis saraf
trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan
koodinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan seisi otot-otot
pterigoideus internus dan eksternus.
- Saraf Kranial VII (fasialis) : persepsi pengecapan
dalam batas normal, wajah asimetris, otot wajah tertarik
ke bagian sisi yang sehat.
- Saraf Kranial VIII (vestibulokoklearis) : tidak
dietmukan tuli konduktif dan tuli perseptif.
- Saraf Kranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus)
: Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
- Saraf Kranial XI (aksesoris) : tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapesius.
- Saraf Kranial XII (hipoglosus) : lidah simetris,
terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi. Indra
pengecap normal.
 Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/
kelemahan pada salah satu sisi tubuh, kelemahan,
kesemutan, kebas, genggaman tidak sama, refleks tendon
melemah secara kontralateral, apraksia
 Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi,
hilangnya rangsang sensorik kontralteral.
 Pemeriksaan refleks
 Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali didahuli dengan refleks patologis.
 Sinkop/pusing, sakitkepala, gangguan status mental/tingkat
kesadaran, gangguan fungsi kognitif seperti penurunan
memori, pemecahan masalah, afasia, kekakuan nukhal,
kejang, dll (Jusuf Misbach, 1999, Doengoes, 2000: 291)
 Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
b. Pemeriksaan laboratorium
2. Diagnosa Keperawatan
 Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
 Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
perdarahan intraserebri, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat
kesadaran.
 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/
hemiplegia, kelemahan neuromuskular pada ekstremitas.
 Risiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan sensari, luas
lapang pandang.
 Defisit perawatan diri : mandi dan eliminasi berhubungan dengan
kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran,
kehilangan koordinasi otot.
 Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari
kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol
tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum.

3. Intervensi Keperawatan
1. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
tidak terjadi peningkatan TIK.
Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala tidak ada
- Mual dan muntah tidak ada
- GCS 456
- Tidak ada papiledema
- TTV dalam batas normal
Intervensi Rasional
Kaji keadaan klien, penyebab Memperioritaskan intervensi,
koma/ penurnan perfusi status neurologis/ tanda-tanda
jaringan dan kemungkinan kegagalan untuk menentukan
penyebab peningkatan TIK kegawatan atau tindakan
pembedahan.
Memonitor TTV tiap 4 jam. Suatu keadaan normal bila
sirkulasi serebri terpelihara
dengan baik. Peningkatan TD,
bradikardi, disritmia, dispnea
merupakan tanda peningkatan
TIK. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan
meningkatkan TIK.
Evaluasi pupil. Reaksi pupil dan pergerakan
kembali bola mata merupakan
tanda dari gangguan saraf jika
batang otak terkoyak.
Keseimbangansaraf antara
simpatis dan parasimpatis
merupakan respons refleks saraf
kranial.
Kaji peningkatan istirahat dan Tingkah laku non verbal
tingkah laku pada pgi hari. merupakan indikasi peningkatan
TIK atau memberikan refleks
nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluha secara
verbal.
Palpasi pembesaran bladder Dapat meningkatkan respon
dan monitor adanya otomatis yang potensial
konstipasi. menaikkan TIK.
Obaservasi kesadaran dengan Perubahan kesadaran
GCS menunjukkan peningkatan TIK
dan berguna untuk menentukan
lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi:
O2 sesuai indikasi Mengurangi hipoksemia.
Diuretik osmosis Mengurangi edema.
Steroid (deksametason) Menurunkan inflamasi dan
Analgesik edema.
Antihipertensi Mengurangi nyeri
Mengurangi kerusakan jaringan.

2. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan


perdarahan intraserebri, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala , mual, kejang tidak ada
- GCS 456
- Pupil isokor
- Refleks cahaya +
- TTV dalam rentang normal (TD: 110-120/80-90 mmHg; nadi:
60-100 x/menit; suhu: 36,5-37,50C; RR: 16-20 x/menit)
Intervensi Rasional
Tirah baring tanpa bantal. Menurunkan resiko terjadinya
herniasi otak.
Monitor asupan dan Mencegah terjadinya dehidrasi.
keluaran.
Batasi pengunjung. Rangsangan aktivitas dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
Kolaborasi:
Cairan perinfus dengan Meminimalkan fluktuasi pada beban
ketat. vaskuler dan TIK, restriksi cairan
dan cairan dapat menurunkan
edema.
Monitor AGD bila perlu O2 Adanya asidosis disertai pelepasan
tambahan. O2 pada tingkat sel dapat
menyebabkan iskemia serebri.
Menurunkan permeabilitas kapiler
Steroid Menurunkan edema serebri
Aminofel. Menurunkan konsumsi sel/
Antibiotik metabolik dan kejang.

3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan


akumulasi sekret, penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat
kesadaran.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam klien mampu
meningkatkan dan mempertahankan jalan nafas tetap bersih dan
mencegah aspirasi.
Klriteria hasil:
- Bunyi nafas bersih
- Tidak ada penumpukan sekrest di saluran nafas
- Dapat melakukan batuk efektif
- RR 16-20 x/menit
Intervensi Rasional
Kaji keadaan jalan nafas Obstuksi dapat terjadi karena
akumulasi sekret ata sisa cairan
mukus, perdarahan.
Evaluasi pergerakan dada Pergerakan dada simetris dengan
dan auskultasi kedua lapang suara nafas dari paru-paru
paru. mengindikasikan tidak ada
sumbatan.
Ubah posisi setap 2 jam Mengurangi risiko atelektasis.
dengan teratur.
Kolaborasikan: Mengatur venstilasi dan
Aminofisil, alupen, dan melepaskan sekret karena relaksasi
bronkosol. otot.
DAFTAR PUSTAKA

American Association of Neuroscience Nurses (AANN). 2009. Care of the Patient


with Aneurysmal Subarachnoid Haemorrhage. www.aann.org
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58.
Dewanto G, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit
Saraf. Jakarta: EGC.
Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C. (2000). Rencana Asuhan
Keperawatan,Edisi 3, EGC, Jakarta.
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline
Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia:
Jakarta, 2007.
Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Price, A. Sylvia.2006 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 4. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Weiner, Howard L. 2000. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.

You might also like