Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia saat ini masih sangat
rendah jika dibandingkan dengan negara lain bahkan dengan sesama anggota
ASEAN. Pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan
martabat bangsa. Tak salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam
pembangunan bangsa. Tinggi-rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu
pendidikan yang diterapkannya.
Pendidikan yang tepat dan efektif akan melahirkan anak-anak bangsa yang
cerdas, bermoral, memiliki etos kerja dan inovasi yang tinggi. Negara-negara yang
telah berhasil mencapai kemajuan dan menguasai teknologi-peradaban mengawali
kesuksesannya dengan memberi perhatian yang besar terhadap sektor pendidikan
nasionalnya. Sektor pendidikan mendapat dukungan penuh dan secara terus
menerus sistemnya diperbaiki agar sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan daya
akses seluruh lapis masyarakat mereka.
1. Sentralisasi – Desentralisasi
2. Pemerintah Pusat / Daerah: BertanggungJawab pada pelayanan, Dana,
Rambu-rambu Nasional dan Standard Mutu Nasional.
3. Masyarakat: Bertanggungjawab pada Unit Pendidikan [Sekolah-
Madrasah] dan Mutu Pendidikan.
4. Sisiknas (No.20/2003) lebih demokratis, terbuka,memberikan
otonomitas & tanggungjawab pada masyarakat dalam
menyelenggarakan pendidikan bermutu.
1. Paradigma Keberagaman
Ilmu merupakan bagian essensial isi ajaran agama (Islam). Ilmu terus mengalir
& bergulir, tanpa dapat dicegah. Tidak ada monopoli dlm mengasuh dan mengklaim
kebenaran ilmu.Tidak ada lagi pohon ilmu, telah berubah menjadi jaringan ilmu.
Paradigma Pendidikan Nasional dapat dilihat dari visi, misi, tujuan, orientasi dan
strategi sistem pendidikan.
Misi:
1. Menemukan, Mengamalkan dan Mengembangkan IPTEK dalam bingkai
nilai-nilai / ajaran agama.
2. Menjadi IPTEK sebagai alat untuk mencapai puncak kebenaran agama.
3. Memberantas “kebodohan bangsa”.
4. Kebodohan:Sumber Segala Malapetaka,meskipun Kebodohan bukan Dosa
5. Mengembangkan Pendidikan Multikultural.
Tujuan:
Orientasi Pendidikan :
Berfokus pada mutu, untuk itu diperlukan: otonomi, akreditasi, evaluasi dan
akuntabilitas. Bersaing mutu, kemandirian, keterbukaan, disiplin dan profesional,
serta dalam meningkatkan pelayanan terhadap peserta didik melalui peningkatan
SDM dan Manajemen atau Pengelolaan Sekolah.
Pendidikan adalah kerja akademik
Materi Ajar/Kurikulum
Metodologi Pembelajaran
1. Learning to Know
2. Learning to Do
3. Learning to Be
Dana pendidikan harus memperhatikan jumlah dan sumber dana supaya dana
tersebut benar-benar menjadi penopang dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini ada
istilah “Funding System” dalam system pendanaan. “Funding System” adalah
sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan peluang. Konsepnya adalah sebagai
berikut:
Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan
77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan
reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan
dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah
demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan
globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan
bahkan dapat tercipta secara otomatis. Selain itu pemerintah (pusat) dan pemerintah
daerah wajib menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada
semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikanm yang
bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal ini dimaksudkan agar selain
mengembangkan keunggulan lokal melalui penyediaan tenaga-tenaga terdidik, juga
menyikapi perlunya tersedia satuan pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan
kaliber dunia di Indonesia.
F. Tantangan Globalisasi
Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat dan
bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan dan
akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum pendidikan
akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggaraan pendidikan
dan/atau satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi
persaingan global. Selain itu diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi.
Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan
pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis
pendidikan (pasal 60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau
lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60
ayat 2). Akreditasi dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3),
sehingga semua pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan
pendidikannya secara transparan.
Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru adalah
konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tidak ada lagi istilah
satuan pendidikan “plat merah” atau “plat kuning”; semuanya berhak memperoleh
dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu. Demikian juga adanya
kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan
Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang
memiliki ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan
disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen
Agama (madrasah, dst.). Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan
pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).
Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan
keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3). Dengan
demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman,
ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan
nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) , dimana peningkatan
iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan
sebagainya dipadukan menjadi satu.
H. Jalur Pendidikan
Perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi 3
jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan perubahan
mendasar dalam Sisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal
(keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun termasuk dalam
jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak konkrit.
Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi (pasal 14), dengan jenis pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15). Pendidikan formal dapat diwujudkan
dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat),
pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 16).
Perguruan tinggi juga dapat memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi
sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan (pasal 21 ayat 1). Bagi
perguruan tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor
kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh
penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni (pasal
22). Selain itu masalah yang cukup aktual dan meresahkan masyarakat, seperti
pemberian gelar-gelar instan, pembuatan skripsi atau tesis palsu, ijazah palsu dan
lain-lain, telah diatur dan diancam sebagai tindak pidana dengan sanksi yang juga
telah ditetapkan dalam UU Sisdiknas yang baru (Bab XX Ketentuan Pidana, pasal
67-71).
Kini, setelah lima tahun usia UU Sisdiknas, pemerintah ternyata baru berhasil
menambahkan pengesahan satu UU dan tiga PP lagi. Yaitu, UU No 14/2005 tentang
Guru dan Dosen (30 Desember 2005), PP No 55/2007 tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan (5 Oktober 2007), PP No 47/2008 tentang Wajib
Belajar dan PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan (4 Juli 2008).
Saat ini fokus kerja Pemerintah masih bertumpu pada sektor pendidikan formal.
Untuk kinerja itupun Pemerintah Indonesia oleh UNDP (United Nations
Development Programs) –dalam “Human Development Report 2006” untuk
kualitas pembangunan manusia– diganjar peringkat 108 dari 177 negara di dunia.
Potret UNDP itu sebangun dengan data BPS (Biro Pusat Statistik) tahun 2005
tentang angka pengangguran menurut pendidikan dan wilayah desa-kota:
persentase pengangguran tamatan SMA ke atas lebih besar dibanding tamatan SMP
ke bawah. Artinya, sistem Pendidikan Nasional belum berhasil mengantarkan anak
bangsa untuk survive mandiri dan terampil berwirausaha untuk kelangsungan
hidupnya sendiri. Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya
anggaran pendidikan negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi
juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar
tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga
kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu
titik nanti, gelar-gelar akademik juga tidak lagi relefan.
Masalah klise lain adalah pendidik. Minimnya tenaga pendidik, tidak memiliki
kualifikasi edukasi, dan salah kamar (mismatch) dari pendidik, paling banyak
ditemui di madrasah. Kurikulum madrasah sebagai hasil adopsi dari kurikulum
sekolah umum, terlalu padat dan berat, karena sarat dengan muatan kognitif. Selain
itu juga, kurikulum tidak mengembangkan potensi anak secara maksimal. Dalam
keadaan kurikulum sulit "dicerna" anak, pembebanan makin bertambah dengan
muatan lokal madrasah yang juga membutuhkan kemampuan pemahaman yang
baik.
Dewasa ini hampir setiap individu telah menempatkan materi dan kekuasan
menjadi tujuan hidup. Suatu fakta yang sulit ditepis, bahwa dengan kekayaan materi
dan atau kekuasaan, membuat orang menjadi terhormat. Untuk memberikan
perlawanan terhadap hal ini, dibutuhkan pendidikan yang memberikan
keseimbangan dalam mengembangkan kecerdasan akal dan kecerdasan spiritual.
Prof. Dr. Mastuhu, M. Ed., dalam bukunya Menata Ulang Pemikiran Sistem
Pendidikan Nasional Abad 21 mengatakan bahwa pendidikan nasional yang
dibutuhkan dalam abad mendatang adalah sistem pendidikan yang tidak hanya
mampu mengembangkan kecerdasan akal semata, tetapi juga mampu
mengembangkan kecerdasan emosi, spiritual, dan agama sekaligus sebagai satu
kesatuan utuh.
Model pendidikan yang sesuai dengan harapan itu adalah madrasah. Madrasah
telah memiliki landasan dalam mengembangkan potensi manusia secara utuh di
mana pendidikan yang mengembangkan kecerdasan akal dan kecerdasan ilmu
agama yang di dalamnya sudah tercakup kecerdasan emosi dan moral sudah
diterapkan.
Pendidikan yang bernuansa Islam yang semakin kondusif berhasil diadopsi oleh
sekolah-sekolah swasta Islam. Sekolah-sekolah itu telah menyinergikan secara apik
antara pendididikan sains dan pendidikan agama. Kecermatan pengelolaan telah
membuahkan output yang mampu bersaing, sehingga mendapat tempat di
masyarakat.
Strength (Kekuatan): > 80 % Swasta, percaya dan hormat pada Kiai/Ulama dan
percaya bahwa Kiyai atau Guru Mengajarkan sesuatu yang benar, panggilan
Agama, Murah dan Merakyat.
2. Faktor pendidikan.
Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia.
Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional
kita selama ini, meliputi:
Itulah tiga belas agenda reformasi Pendidikan yang urgen dilaksanakan untuk
mewujudkan kesejahteraan dan ketinggian martabat bangsa yang kita harapkan.
KESIMPULAN
http:///pnfi.depdiknas.go.id/test/uu_20_2003.pdf UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.