Professional Documents
Culture Documents
di Indonesia?
Jawab :
Contoh riil pengujian Produk regulative adalah :
Perda yang pernah diuji ke MA adalah Pasal 30 Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor
6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur ("Perda Papua 6/2011").
Melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 P/Hum/2012 Tahun 2012, MA mencabut Perda
Papua 6/2011.
Sehingga uji materiil terhadap Perda dengan UU ini masih merupakan lingkup tugas dan
wewenang MA sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,
yang menyebutkan: "MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang."
Adapun pembatalan perda melalui mekanisme executive review, dilakukan oleh Mendagri atau
Gubernur. Apabila Perda Propinsi/Kabupaten/Kota bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, yang merujuk
pada ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda.
Apabila kita analisis kedua mekanisme tersebut, yaitu antara mekanisme judicial review dengan
executive review memang terdapat potensi ketidaksinkronan dan tumpang tindih diantara
keduanya, tetapi disisi lain kedua mekanisme ini juga bisa saling melengkapi dalam menentukan
mekanisme pembatalan suatu Perda.
Ketidaksinkronan disini adalah dalam hal melakukan uji terhadap Perda Propinsi atau
Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Apabila merujuk kepada ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (yang merupakan
aturan yang lebih tinggi dibanding UU Pemda) jelas diatur bahwa terhadap Perda yang
bertentangan dengan UU mekanisme pengujiannya harus melalu judical review di MA, sedangkan
pengaturan di dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda hanya menyatakan "ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi".
Agar ketentuan dalam kedua kedua peraturan perundang-undang di atas (Pasal 24A ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945 dengan ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda) tidak menimbulkan
pertentangan dan problematika hukum di dalam penerapannya maka kedua aturan tersebut harus
dimaknai bahwa untuk pembatalan Perda Propinsi Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan UU,
mekanisme pembatalannya harus melalui judicial review oleh MA, sedangkan apabila Perda yang
akan dibatalkan bertentangan dengan peraturan peraturan perundang-undangan di atasnya selain
UU, kepentingan umum, dan kesusilaan maka mekanisme pembatalannya harus dilakukan oleh
Mendagri atau Gubernur melalui mekanisme executive review.
2. Kurangnya pertanggungjawaban terhadap Dirjen HKI (baik secara pidana maupun secara
perdata) dalam hal pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek lain yang sudah terdaftar lebih dahulu dalam DUM,
sehingga pada gilirannya Dirjen HKI melaksanakan pemeriksaan terhadap permohonan
pendaftaran merek lebih hati-hati jangan sampai tumpang tindih atau terpenuhi unsur-unsur
dalam Pasal 6 UU Merek. Prinsip hukumnya adalah kelalaian dan ketidakcermatan yang
dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain harus dihukum.
Merger
Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga dapat kita temui pengertian merger
yang dalam Undang – Undang ini diistilahkan sebagai penggabungan. Dalam Pasal 1 angka 9 UU
No. 40 Tahun 2007 disebutkan bahwa: [1] “Penggabungan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang
telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri
beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status
badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum”.
Pengertian yang dikemukakan pada Pasal 1 angka 9 UUPT 2007 hampir sama dengan yang
dirumuskan pada Pasal 1 angka 1 PP No. 27 Tahun 1998, tetapi lebih singkat, yang berbunyi:
“Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya Perseroan yang
embubarkan diri bubar”.
Proses hukum (prosedur) yang harus dilalui oleh perseroan yang hendak melakukan merger
(penggabungan) adalah sebagai berikut:
Syarat umum penggabungan ini diatur dalam Pasal 126 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas jo. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998
Tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, bahwa perbuatan
hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib memperhatikan
kepentingan:
Direksi perseroan yang akan menggabungkan diri dan yang menerima penggabungan
menyusun rancangan penggabungan;
Rancangan penggabungan harus memuat sekurang-kurangnya:
1. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan
Penggabungan;
2. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan
persyaratan Penggabungan;
3. tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap
saham Perseroan yang menerima Penggabungan;
4. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabila
ada;
5. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a yang meliputi
3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
6. rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan
melakukan Penggabungan;
7. neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
8. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan
karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri;
9. cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri
terhadap pihak ketiga;
10. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan
Perseroan;
11. nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi
anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;
12. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
13. laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap Perseroan
yang akan melakukan Penggabungan;
14. kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Penggabungan dan perubahan yang
terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan
15. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang
mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan.
Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan perlu mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai Penggabungan
sebagaimana dimaksud diatas hanya boleh melakukan haknya untuk meminta kepada Perseroan
agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar. Keputusan RUPS mengenai Penggabungan
Perseroan harus memenuhi jumlah kuorum yang telah ditentukan.
Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan wajib mengumumkan ringkasan
rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada
karyawan dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dalam jangka waktu paling lambat
30 (tigapluh) hari sebelum pemanggilan RUPS. Pengumuman tersebut juga memuat
pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat memperoleh rancangan Penggabungan di
kantor Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan.
Rancangan Penggabungan yang telah di setujui RUPS dituangkan ke dalam akta Penggabungan
yang dibuat di hadapan notaries dalam bahasa Indonesia. Salinan akta Penggabungan Perseroan
dilampirkan pada :
1. pengajuan permohonan untuk mendapatkan persetujuan Menteri;
2. penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar.
Jika Penggabungan Perseroan tidak disertai perubahan anggaran dasar, salinan akta Penggabungan
harus disampaikan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan. Direksi Perseroan yang
menerima Penggabungan wajib mengumumkan hasil Penggabungan dalam 1 (satu) Surat Kabar
atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya
Penggabungan.
Setelah rancangan penggabungan disetujui oleh Dewan Komisaris dari masing-masing perseroan
yang menggabungkan diri, kemudian rancangan tersebut harus diajukan kepada RUPS masing-
masing perseroan untuk mendapat persetujuan.
Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
mensyaratkan bahwa keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
Mengutip yang disampaikan Yahya Harahap (hal. 491), penjelasan pasal ini mengatakan, yang
dimaksud dengan “musyawarah untuk mufakat” adalah hasil kesepakatan yang disetujui oleh
pemegang saham yang hadir atau diwakili dalam RUPS.
Ketentuan mengenai RUPS ini dapat juga kita temui dalam Pasal 89 ayat (1) UUPT yang
menyatakan bahwa RUPS untuk menyetujui Penggabungan dapat dilangsungkan jika dalam rapat
paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau
diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat)
bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran
dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
Sehubungan dengan itu, cara mengambil keputusan RUPS dalam rangka penggabungan perseroan
yang harus diterapkan dan ditegakkan (Hukum Perseroan Terbatas, M. Yahya Harahap, S.H., hal.
491):
Jika RUPS pertama tidak mencapai atau gagal mencapai kuorum, dapat diadakan RUPS kedua
dengan kuorum kehadiran paling sedikit :
2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir atau diwakili
dalam RUPS;
Sedang keputusan sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah
suara yang dikeluarkan.
Sekiranya RUPS kedua ini gagal karena tidak mencapai kuorum, dapat lagi diadakan RUPS ketiga
dengan jalan perseroan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar ditetapkan
kuorum RUPS ketiga (lihat Pasal 86 ayat [5] UUPT).
Apabila terdapat perubahan terhadap Anggaran Dasar (“AD”) sebagaimana diatur dalam Pasal 21
ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas maka perlu adanya
persetujuan dari Menteri. Untuk itu perlu mengajukan permohonan untuk mendapat persetujuan
Menteri atas penggabungan dengan perubahan AD.
Pasal 133 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
mensyaratkan bagi Direksi perseroan yang menerima penggabungan wajib mengumumkan hasil
penggabungan dengan cara:
Pengumuman dimaksudkan agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa telah
dilakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan. Dalam hal ini pengumuman wajib
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal:
1. persetujuan Menteri atas perubahan anggaran dasar dalam hal terjadi Penggabungan;
2. pemberitahuan diterima Menteri baik dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) maupun yang tidak disertai perubahan
anggaran dasar.
Dasar hukum :
AKUSISI PERUSAHAAN
Manfaat Akuisisi
Menurut Shapiro (1991 : 933) dalam Christina (2003 : 12), keuntungan atau manfaat akuisisi
adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dalam bisnis sekarang daripada melakukan
pertumbuhan secara internal.
2. Mengurangi tingkat persaingan dengan membeli beberapa badan usaha guna menggabungkan
kekuatan pasar dan pembatasan persaingan.
3. Memasuki pasar baru penjualan dan pemasaran sekarang yang tidak dapat ditembus.
4. Menyediakan managerial skill, yaitu adanya bantuan manajerial mengelola aset-aset badan
usaha.
Meskipun begitu pada dasarnya semua persyaratan yang diatur dalam PP No.27/1998 ini sudah
mencakup persyaratan yang diatur dalam UU No.40 /2007.
Pada waktu pemeriksaan, penuntut umum harus mendukung setiap dakwaan dengan bukti
yang cukup
Dalam proses pemeriksaan tersangka diperbolehkan:
-Menolak dakwaan
-Membantah bukti yang di ajukan oleh penuntut umum
-Mengajukan bukti
Dalam pimpinan mengangkat majelis pemeriksayang bertanggung jawab terhadap pelaksana
setiappersidangan berikutnya
Terdakwa harus hadir selama pemeriksaan.bila terdakwa hadir dipengadilan terus-menerus
menunggupersidangan, Majelis pemeriksa dapat mengeluarkan terdakwa dan membuat
penetapan baginya untukmematuhi persidangan dan memberikan intruksi kepada
pengacaranya dari luar sidang dengan teknologikomunikasi
Dalam mulai persidangan, majelis pemeriksa membacakan kepada terdakwa dakwaan yang
sebelumnyatelah dikonfirmasikan oleh majelis pra-peradilan. Majelis pemeriksa memberi
kesempatan kepadaterdakwa untuk menyatakan pernyataan bersalah atau tidak bersalah.
Hakim ketua memberi petunjuk pelaksanaan persidangan termasuk menjamin bahwa
persidangandilaksanakan secara adil dan tidak memihak
Majelis pemeriksa memiliki wewenang untuk:
-Mengatur mengenai diterimanya suatu bukti
-Mengambil suatu tindakan yang perlu untuk menjaga ketertiban selama berlangsungnya
pemeriksaan
Bila majelis pemeriksa berpendapat bahwa diperlukan adanya fakta-fakta yang lebih lengkap
untukkepentingan keadilan, terutama korban, maka dapat:
-Menuntut penuntut umum mengajukan bukti tambahan termasuk keterangan saksi-saksi
-Memerintahkan agar pemeriksaan dilanjutkan
Putusan majelis pemeriksa harus berdasarkan evaluasi bukti dari seluruh persidangan
c. Upaya Banding
Berdasarkan pasal 74 International Criminal Court (ICC), putusan pengadilan dapat diajukan
banding olehpenuntut umum atau orang yang dihukum dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Kesalahan prosedur
2. Kesalahan fakta
3. Kesalahan hukum
4. Alasan lain yang mempengaruhi keadilan
Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat yang ada di Indonesia, dapat dilakukan
melalui dua jalur yaitu melalui jalur peradilan atau melalui jalur diluar peradilan. Kedua
mekanisme penyelesaian perkara tersebut memiliki landasan yuridis yang kuat, yakni UU NI.26
tahun 2000 tentang pengadilan Ham dan UU No.27 tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan
Rekonsiliasi. Kedua mekanisme tersebut bersifa khusus karena ketentuan dala UU NO.26 tahun
2000 menyatakan pengadilan HAM hanya berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat
setelah adanay UU No.26 tahun 2000, sedangkan untuk pelanggaran HAM berat masa lalu
sebelum adanya UU no.26 tahun 2000 harus dibentuk pengadilan HAM ad hoc. Akan tetapi
penyelesaian melalui pengadiklan HAM ad hoc ini bukna merupakan satu-satunya upaya, karena
terdapat uapaya alternative yakni melalui mekanisme KKR yang diatur dalam UU No.27 tahun
2004, namun perlu digaris bawahi bahwa mekanisme melalui KKR hanya terbatas pada perkara
pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum adanya UU No.26 tahun 2000 sedangkan untuk
perkara pelanggaran HAM berat setelah adanay UU No.26 tahun 2000, mutlah melalui mekanisme
pengadilan HAM.