You are on page 1of 10

Silahkan saudara berikan contoh riil pengujian produk legislatif dan regulative yang pernah terjadi

di Indonesia?
Jawab :
Contoh riil pengujian Produk regulative adalah :
Perda yang pernah diuji ke MA adalah Pasal 30 Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor
6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur ("Perda Papua 6/2011").
Melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 P/Hum/2012 Tahun 2012, MA mencabut Perda
Papua 6/2011.
Sehingga uji materiil terhadap Perda dengan UU ini masih merupakan lingkup tugas dan
wewenang MA sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,
yang menyebutkan: "MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang."
Adapun pembatalan perda melalui mekanisme executive review, dilakukan oleh Mendagri atau
Gubernur. Apabila Perda Propinsi/Kabupaten/Kota bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, yang merujuk
pada ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda.
Apabila kita analisis kedua mekanisme tersebut, yaitu antara mekanisme judicial review dengan
executive review memang terdapat potensi ketidaksinkronan dan tumpang tindih diantara
keduanya, tetapi disisi lain kedua mekanisme ini juga bisa saling melengkapi dalam menentukan
mekanisme pembatalan suatu Perda.
Ketidaksinkronan disini adalah dalam hal melakukan uji terhadap Perda Propinsi atau
Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Apabila merujuk kepada ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (yang merupakan
aturan yang lebih tinggi dibanding UU Pemda) jelas diatur bahwa terhadap Perda yang
bertentangan dengan UU mekanisme pengujiannya harus melalu judical review di MA, sedangkan
pengaturan di dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda hanya menyatakan "ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi".
Agar ketentuan dalam kedua kedua peraturan perundang-undang di atas (Pasal 24A ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945 dengan ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda) tidak menimbulkan
pertentangan dan problematika hukum di dalam penerapannya maka kedua aturan tersebut harus
dimaknai bahwa untuk pembatalan Perda Propinsi Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan UU,
mekanisme pembatalannya harus melalui judicial review oleh MA, sedangkan apabila Perda yang
akan dibatalkan bertentangan dengan peraturan peraturan perundang-undangan di atasnya selain
UU, kepentingan umum, dan kesusilaan maka mekanisme pembatalannya harus dilakukan oleh
Mendagri atau Gubernur melalui mekanisme executive review.

Contoh riil pengujian produk legislative


Lewat putusan bernomor 100/PUU-XIII/2015 dalam pengujian UU No. 8 Tahun 2015 tentang
Pilkada, MK memberi solusi bahwa pasangan calon tunggal tetap bisa mengikuti pilkada.
Lewat Peraturan MK No. 4 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Perselisihan Calon Tunggal dalam
Pilkada, diatur tiga hal penting yakni siapa yang memiliki legal standing mengajukan gugatan,
keputusan KPUD terkait perbedaan selisih hasil penghitungan suara setuju dan tidak setuju, dan
tenggang waktu pengajuan gugatan 3 x 24 jam.
MK menimbang perumusan norma UU Nomor 8 Tahun 2015, yang mengharuskan adanya lebih
dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi, yang menyebabkan kekosongan hukum. Hal itu
dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada. Jadi, syarat mengenai jumlah
pasangan calon berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih. Permohonan
tersebut diajukan oleh pakar komunikasi politik Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru.
Mereka mengajukan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal
51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Alhasil, tiga daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon yakni Kabupaten Blitar,
Tasikmalaya, Timor Tengah Utara yang sebelumnya terancam ditunda tetap bisa menggelar
Pilkada 9 Desember lalu.

Menurut pendapa saya, ada beberapa alasan diantaranya :


1. Merek terdaftar yang sudah dapat dipertahankan status hukum ekslusifnya, maka
parameter yang digunakan bukan hanya dipandang dari sisi yuridis saja yaitu karena sudah
terdaftar dalam DUM Dirjen HKI, melainkan pemiliknya harus mampu membuktikan
melalui popularitasnya, dan kontribusinya dalam kegiatan ekonomi dalam masyarakat.

2. Kurangnya pertanggungjawaban terhadap Dirjen HKI (baik secara pidana maupun secara
perdata) dalam hal pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek lain yang sudah terdaftar lebih dahulu dalam DUM,
sehingga pada gilirannya Dirjen HKI melaksanakan pemeriksaan terhadap permohonan
pendaftaran merek lebih hati-hati jangan sampai tumpang tindih atau terpenuhi unsur-unsur
dalam Pasal 6 UU Merek. Prinsip hukumnya adalah kelalaian dan ketidakcermatan yang
dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain harus dihukum.

3. Perlunya upaya-upaya penguatan regulasi yang mempertegas tata cara pemeriksaan


substantif dan penegasan sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada Dirjen HKI, dan bagi
Tim Pemeriksa harus bertindak cermat, teliti, hati-hati, dan profesionalis dalam melakukan
pemeriksaan substantif pada setiap permohonan pendaftaran merek, serta kepada pemilik
terdaftar bila perlu mengumumkan mereknya melalui koran/media, pengawasan merek
ditempat jualan, dan mendaftarkan mereknya di semua kelas merek terkenal.

Merger

Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga dapat kita temui pengertian merger
yang dalam Undang – Undang ini diistilahkan sebagai penggabungan. Dalam Pasal 1 angka 9 UU
No. 40 Tahun 2007 disebutkan bahwa: [1] “Penggabungan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang
telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri
beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status
badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum”.

Pengertian yang dikemukakan pada Pasal 1 angka 9 UUPT 2007 hampir sama dengan yang
dirumuskan pada Pasal 1 angka 1 PP No. 27 Tahun 1998, tetapi lebih singkat, yang berbunyi:
“Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya Perseroan yang
embubarkan diri bubar”.

Proses hukum (prosedur) yang harus dilalui oleh perseroan yang hendak melakukan merger
(penggabungan) adalah sebagai berikut:

A. Memenuhi Syarat-syarat Penggabungan

Syarat umum penggabungan ini diatur dalam Pasal 126 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas jo. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998
Tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, bahwa perbuatan
hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib memperhatikan
kepentingan:

 Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;


 Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
 Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

B. Menyusun Rancangan Penggabungan

Setelah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, Perseroan harus menyusun rancangan


penggabungan. Rancangan penggabungan ini diatur dalam Pasal 123 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas jo. Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1998 Tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, yaitu :

 Direksi perseroan yang akan menggabungkan diri dan yang menerima penggabungan
menyusun rancangan penggabungan;
 Rancangan penggabungan harus memuat sekurang-kurangnya:

1. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan
Penggabungan;
2. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan
persyaratan Penggabungan;
3. tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap
saham Perseroan yang menerima Penggabungan;
4. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabila
ada;
5. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a yang meliputi
3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
6. rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan
melakukan Penggabungan;
7. neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
8. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan
karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri;
9. cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri
terhadap pihak ketiga;
10. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan
Perseroan;
11. nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi
anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;
12. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
13. laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap Perseroan
yang akan melakukan Penggabungan;
14. kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Penggabungan dan perubahan yang
terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan
15. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang
mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan.

 Kemudian terhadap rancangan penggabungan tersebut dimintakan persetujuan kepada


Dewan Komisaris dari setiap perseroan yang menggabungkan diri.

Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan perlu mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

 Penggabungan Perseroan wajib memperhatikan kepentingan :

1. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;


2. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
3. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai Penggabungan
sebagaimana dimaksud diatas hanya boleh melakukan haknya untuk meminta kepada Perseroan
agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar. Keputusan RUPS mengenai Penggabungan
Perseroan harus memenuhi jumlah kuorum yang telah ditentukan.
Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan wajib mengumumkan ringkasan
rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada
karyawan dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dalam jangka waktu paling lambat
30 (tigapluh) hari sebelum pemanggilan RUPS. Pengumuman tersebut juga memuat
pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat memperoleh rancangan Penggabungan di
kantor Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan.

Rancangan Penggabungan yang telah di setujui RUPS dituangkan ke dalam akta Penggabungan
yang dibuat di hadapan notaries dalam bahasa Indonesia. Salinan akta Penggabungan Perseroan
dilampirkan pada :
1. pengajuan permohonan untuk mendapatkan persetujuan Menteri;
2. penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar.

Jika Penggabungan Perseroan tidak disertai perubahan anggaran dasar, salinan akta Penggabungan
harus disampaikan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan. Direksi Perseroan yang
menerima Penggabungan wajib mengumumkan hasil Penggabungan dalam 1 (satu) Surat Kabar
atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya
Penggabungan.

C. Penggabungan Disetujui Oleh Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”)

Setelah rancangan penggabungan disetujui oleh Dewan Komisaris dari masing-masing perseroan
yang menggabungkan diri, kemudian rancangan tersebut harus diajukan kepada RUPS masing-
masing perseroan untuk mendapat persetujuan.

Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
mensyaratkan bahwa keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
Mengutip yang disampaikan Yahya Harahap (hal. 491), penjelasan pasal ini mengatakan, yang
dimaksud dengan “musyawarah untuk mufakat” adalah hasil kesepakatan yang disetujui oleh
pemegang saham yang hadir atau diwakili dalam RUPS.

Ketentuan mengenai RUPS ini dapat juga kita temui dalam Pasal 89 ayat (1) UUPT yang
menyatakan bahwa RUPS untuk menyetujui Penggabungan dapat dilangsungkan jika dalam rapat
paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau
diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat)
bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran
dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

Sehubungan dengan itu, cara mengambil keputusan RUPS dalam rangka penggabungan perseroan
yang harus diterapkan dan ditegakkan (Hukum Perseroan Terbatas, M. Yahya Harahap, S.H., hal.
491):

1. Prioritas pertama, didahulukan dan diupayakan keputusan diambil dengan cara


musyawarah untuk mufakat, sehingga dapat menghasilkan keputusan RUPS yang disetujui
bersama oleh pemegang saham yang hadir atau diwakili dalam RUPS;
2. Namun, apabila gagal mengambil keputusan dengan cara musyawarah untuk mufakat yang
digariskan Pasal 87 ayat [1] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas dimaksud, baru diterapkan dan ditegakkan ketentuan yang ditetapkan Pasal 89
ayat [1] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yakni
keputusan RUPS sah apabila disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagi dari jumlah
suara yang dikeluarkan.

Jika RUPS pertama tidak mencapai atau gagal mencapai kuorum, dapat diadakan RUPS kedua
dengan kuorum kehadiran paling sedikit :
 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir atau diwakili
dalam RUPS;
 Sedang keputusan sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah
suara yang dikeluarkan.

Sekiranya RUPS kedua ini gagal karena tidak mencapai kuorum, dapat lagi diadakan RUPS ketiga
dengan jalan perseroan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar ditetapkan
kuorum RUPS ketiga (lihat Pasal 86 ayat [5] UUPT).

D. Pembuatan Akta Penggabungan

Setelah masing-masing RUPS menyetujui rancangan penggabungan yang diajukan, maka


rancangan penggabungan dituangkan dalam sebuah Akta Penggabungan (lihat Pasal 128 ayat
[1] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang dibuat :

 di hadapan notaris; dan


 dalam Bahasa Indonesia.

Kemudian salinan akta penggabungan tersebut dilampirkan untuk menyampaikan pemberitahuan


penggabungan kepada Menteri Hukum dan HAM (“Menteri”) (lihat Pasal 21 ayat [3] UUPT)
untuk dicatat dalam daftar perseroan.

Apabila terdapat perubahan terhadap Anggaran Dasar (“AD”) sebagaimana diatur dalam Pasal 21
ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas maka perlu adanya
persetujuan dari Menteri. Untuk itu perlu mengajukan permohonan untuk mendapat persetujuan
Menteri atas penggabungan dengan perubahan AD.

E. Pengumuman Hasil Penggabungan

Pasal 133 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
mensyaratkan bagi Direksi perseroan yang menerima penggabungan wajib mengumumkan hasil
penggabungan dengan cara:

 diumumkan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih;


 dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya
penggabungan.

Pengumuman dimaksudkan agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa telah
dilakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan. Dalam hal ini pengumuman wajib
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal:

1. persetujuan Menteri atas perubahan anggaran dasar dalam hal terjadi Penggabungan;
2. pemberitahuan diterima Menteri baik dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) maupun yang tidak disertai perubahan
anggaran dasar.
Dasar hukum :

1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,


2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 Tentang Penggabungan, Peleburan dan
Pengambilalihan Perseroan Terbatas.

AKUSISI PERUSAHAAN

PSAK No. 2 paragraf 08 tahun 1999


Menurut PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan), akuisisi (acqusition) adalah suatu
penggabungan usaha di mana salah satu perusahaan yaitu pengakuisisi (acquirer) memperoleh
kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi (acquiree), dengan memberikan
aktiva tertentu, mengakui suatu kewajiban, atau mengeluarkan saham.

Manfaat Akuisisi
Menurut Shapiro (1991 : 933) dalam Christina (2003 : 12), keuntungan atau manfaat akuisisi
adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dalam bisnis sekarang daripada melakukan
pertumbuhan secara internal.
2. Mengurangi tingkat persaingan dengan membeli beberapa badan usaha guna menggabungkan
kekuatan pasar dan pembatasan persaingan.
3. Memasuki pasar baru penjualan dan pemasaran sekarang yang tidak dapat ditembus.
4. Menyediakan managerial skill, yaitu adanya bantuan manajerial mengelola aset-aset badan
usaha.

Syarat-Syarat Pengambilan Saham(Akuisisi) Perseroan


Mengacu pada UU Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 126, terdapat beberapa persyaratan yang dapat
diacu bagi proses pengambilan saham, yaitu:

 Pengambilalihan saham wajib memperhatikan ketentuan Anggaran Dasar Perseroan yang


diambil alih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh
Perseroan dengan pihak lain;
 Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan perusahaan, baik kepentingan perusahaan
yang mengakuisisi maupun kepentingan perusahaan;
 Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan pemegang saham minoritas;
 Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan karyawan perusahaan;
 Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan kreditur dan mitra usaha lainnya dari
Perseroan;
 Pengambilalihan saham tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan persaingan
sehat.
 Pengambilalihan saham wajib memperhatikan ketentuan anggaran dasar Perseroan yang
diambil alih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh
Perseroan dengan pihak lain.
Disamping persyaratan di atas, suatu pengambilalihan saham (Akuisisi) juga harus tunduk pada
persyaratan yang diatur dalam pada Pasal 4, Pasal dan Pasal 6 PP No.27/1998 mengenai Syarat-
syarat pengambilalihan dengan mengacu pada pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan Perseroan,


pemegang saham minoritas, dan karyawan yang bersangkutan;
2. Pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
dan persaingan sehat dalam melakukan usaha;
3. Pengambilalihan harus memperhatikan kepentingan kreditur;
4. Pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan RUPS.

Meskipun begitu pada dasarnya semua persyaratan yang diatur dalam PP No.27/1998 ini sudah
mencakup persyaratan yang diatur dalam UU No.40 /2007.

Proses Peradilan HAM Internasional


Proses peradilan Internasional pada peraturan yang digariskan dalam Internasional Criminal Court
(ICC) atau mengacu kepada yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional (MPI). Peradilan HAM
Internasional pada dasarnya bertitik tolak dari dua persoalan utama yaitu:
a. Pengakuan (Acknowledgement)
Pengakuan tentang adanya pelanggaran HAM di masa lampau
b. Akuntabilitas (Accountability)
Menghukum pelaku pelanggar HAM yang berat dan sekaligus mengembalikan harkat dan
martabat korban pelanggaran HAM tersebut. Dalam pelaksanaannya ada pendapat yang pro dan
kontra terhadap konsep pengakuan sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dalam kasus
pelanggaran HAM yang berat. Pendapat yang pro dan kontra berpusat pada masalah penghukuman
(stencing) sebagai salah satu konsekuensi hukum dan peradilan HAM Internasional.

Proses peradilan HAM internasionai meliputi beberapa tahapan, antara lain:


a. Pemeriksaan pendahuluan
Penuntut umum, setelah adanya laporan atau pengaduan dari salah satu Negara peserta mengenai
suatukejahatan, kemudian melakukan evaluasi atas laporan tersebut. Apalagi penuntut umum
menyimpulkanbahwa ada dasar yang beralasan untuk menindak lanjuti dengan penyidikan
kepada majelis pra-peradilandengan dilengkapi bahan-bahan yang telah dikumpulkan.Dalam
melakukan penyelidikan, tugas dan wewenang penuntut umum adalah:
 Mengumpulkan dan memeriksa bukti-bukti
 Meminta kehadiran dan bertanya kepada orang yang sedang diselidiki, korban, dan saksi
 Mengadakan kerjasama dengan setiap Negara atau organisasi antar pemerintah yang sesuai
kewenangan
 Membuat persiapan atau kesepakatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang
untukmempermudah kerjasama dengan Negara, organisasi antar pemerintah atau orang
 Menjaga kerahasiaan dokumen dan informasi yang diperoleh
 Sebelum pemeriksa, penuntut umum boleh melanjutkan penyidikan dan dapat mengubah atau
mencabutsetiap dakwaan.
b. Pemeriksaan pengadilan Dalam pasal 61 International Criminal Court (ICC) ditentukan
sebagai berikut:

 Pada waktu pemeriksaan, penuntut umum harus mendukung setiap dakwaan dengan bukti
yang cukup
 Dalam proses pemeriksaan tersangka diperbolehkan:
-Menolak dakwaan
-Membantah bukti yang di ajukan oleh penuntut umum
-Mengajukan bukti
 Dalam pimpinan mengangkat majelis pemeriksayang bertanggung jawab terhadap pelaksana
setiappersidangan berikutnya
 Terdakwa harus hadir selama pemeriksaan.bila terdakwa hadir dipengadilan terus-menerus
menunggupersidangan, Majelis pemeriksa dapat mengeluarkan terdakwa dan membuat
penetapan baginya untukmematuhi persidangan dan memberikan intruksi kepada
pengacaranya dari luar sidang dengan teknologikomunikasi
 Dalam mulai persidangan, majelis pemeriksa membacakan kepada terdakwa dakwaan yang
sebelumnyatelah dikonfirmasikan oleh majelis pra-peradilan. Majelis pemeriksa memberi
kesempatan kepadaterdakwa untuk menyatakan pernyataan bersalah atau tidak bersalah.
 Hakim ketua memberi petunjuk pelaksanaan persidangan termasuk menjamin bahwa
persidangandilaksanakan secara adil dan tidak memihak
 Majelis pemeriksa memiliki wewenang untuk:
-Mengatur mengenai diterimanya suatu bukti
-Mengambil suatu tindakan yang perlu untuk menjaga ketertiban selama berlangsungnya
pemeriksaan
 Bila majelis pemeriksa berpendapat bahwa diperlukan adanya fakta-fakta yang lebih lengkap
untukkepentingan keadilan, terutama korban, maka dapat:
-Menuntut penuntut umum mengajukan bukti tambahan termasuk keterangan saksi-saksi
-Memerintahkan agar pemeriksaan dilanjutkan
 Putusan majelis pemeriksa harus berdasarkan evaluasi bukti dari seluruh persidangan

c. Upaya Banding
Berdasarkan pasal 74 International Criminal Court (ICC), putusan pengadilan dapat diajukan
banding olehpenuntut umum atau orang yang dihukum dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Kesalahan prosedur
2. Kesalahan fakta
3. Kesalahan hukum
4. Alasan lain yang mempengaruhi keadilan
Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat yang ada di Indonesia, dapat dilakukan
melalui dua jalur yaitu melalui jalur peradilan atau melalui jalur diluar peradilan. Kedua
mekanisme penyelesaian perkara tersebut memiliki landasan yuridis yang kuat, yakni UU NI.26
tahun 2000 tentang pengadilan Ham dan UU No.27 tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan
Rekonsiliasi. Kedua mekanisme tersebut bersifa khusus karena ketentuan dala UU NO.26 tahun
2000 menyatakan pengadilan HAM hanya berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat
setelah adanay UU No.26 tahun 2000, sedangkan untuk pelanggaran HAM berat masa lalu
sebelum adanya UU no.26 tahun 2000 harus dibentuk pengadilan HAM ad hoc. Akan tetapi
penyelesaian melalui pengadiklan HAM ad hoc ini bukna merupakan satu-satunya upaya, karena
terdapat uapaya alternative yakni melalui mekanisme KKR yang diatur dalam UU No.27 tahun
2004, namun perlu digaris bawahi bahwa mekanisme melalui KKR hanya terbatas pada perkara
pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum adanya UU No.26 tahun 2000 sedangkan untuk
perkara pelanggaran HAM berat setelah adanay UU No.26 tahun 2000, mutlah melalui mekanisme
pengadilan HAM.

Sumber : Atmasasmita, Romli, Pengadilan Ham dan penegakannya di Indonesia, Departemen


Kehakiman dan HAM RI-BPHN, 2002

You might also like