You are on page 1of 42

BUKU ACUAN

MODUL NEURO FISIOLOGI KLINIK

KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA


(KNI)
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA
(PERDOSSI)
2009
TUJUAN UMUM
1. Melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu dalam bidang pendidikan,
penelitian dan pengabdian masyarakat
2. Mempersiapkan para kandidat dalam menangani masalah masalah
neurodiagnostik spesifik terutama bidang neurofisiologi klinik agar dapat
menangani penyakit secara klinis sehingga mampu mengatasi berbagai masalah
yang akan dihadapi sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi,
serta kompetensi sebagai spesialis saraf

TUJUAN KHUSUS
1. Mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam mengenai penyakit terutama dari
aspek ilmu-ilmu dasar neurofisiologi klinis untuk melaksanakan kegiatan promosi,
prevensi, kurasi, rehabilitasi dan kegawat daruratan
2. Memiliki pengetahuan mendasar untuk melakukan analisis penyakit secara klinis,.
komunitas maupun science, dan mempunyai ketrampilan mendiagnosis melalui
pemeriksaan neurofisiologi klinis sehingga dapat mengobati penderita dengan
lebih baik
3. Berpartisipasi aktif untuk mengembangkan pengetahuan dan mempunyai
ketrampilan dalam penerapan ilmu neurofisiologi klinis pada penderita yang
memerlukan pertolongan
4. Dapat bekerja sama dengan profesi lain demi kepentingan pasien dan ilmu
pengetahuan, khususnya bidang neurofisiologi klinis
5. Mampu menerapkan prinsip-prinsip dan metode berfikir ilmiah dalam menerapkan
pengetahuan keilmuan, khususnya bidang neurofisiologi klinis
6. Mampu mengenal, merumuskan pendekatan, penyelesaian dan menyusun
prioritas masalah neurofisiologi klinis dengan cara penalaran ilmiah, melalui
perencanaan, implementasi dan evaluasi terhadap upaya promotif, preventif,
kuratif, rehabilitatif, dan kegawat daruratan
7. Mampu menangani kasus kasus dengan kemampuan profesional yang tinggi
melalui pendekatan Evidance Based Medicine
8. Mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian dasar, klinis dan lapangan
tentang neurofisiologi klinis serta mempunyai motivasi mengembangkan
pengalaman belajar sehingga dapat mencapai tingkat akademis lebih tinggi
9. Bersifat terbuka, tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu dan tehnologi
atau masalah yang dihadapi masyarakat

REFERENSI
 Buku Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf,
Kolegium Neurologi Indonesia (KNI), PERDOSSI, 2006
 Aminoff J.M. Electromyography in Clinical Practice. Clinical and
Electrodiagnosic Aspects of Neuromuscular Disease. 3rd ed, 1998
 Levin and Luders. Comprehensive Clinical Neurophysiology, 2000
 Kimura J. Electrodiagnois in disease of Nerve and Muscle. Principles and
Practice, 2001
 Delisa JA, cs. Manual of Nerve Conduction Velosity and Clinical
Neurophysiology. 3rd ed, 1994

1
 Shin J Oh. Electromyography. Neuromuscular Transmission Studies, 1998
 Stalberg E. Clinical Neurophysiology of Disorders of Muscle and Neuromuscular
Junction, including Fatique. Vol.2, 2003
 The Cleveland Clinic Foundation. Comprehensive Clinical Neurophysiology.
Vol 1 and Vol.2, 2001

KOMPETENSI
Setelah menyelesaikan modul Neurofisiologi Klinik ini, diharapkan para peserta didik
memiliki kompetensi menyeluruh (kognitif, psikomotor dan afektif) dalam Neurofisiologi
Klinik (ENMG, EP, EEG, Brain Mapping, P300) yang meliputi aspek teknologi
komputer, prosedur pemeriksaan, human functional anatomy, indikasi pemeriksaan, cara
melakukan pemeriksaan, membuat laporan pemeriksaan dan menginterpretasi hasil
pemeriksaan. Pencapaian kompetensi ini diselaraskan dengan prinsip kompetensi (Bab II
hal 2-6) dan ruang lingkup kompetensi (Bab II, no 9) yang tercantum dalam Standar
Kompetensi Dokter Spesialis Saraf tahun 2006. Indikator hasil pembelajaran yang
diharapkan setelah menyelesaikan modul ini tercantum di dalam Standar Kompetensi
Dokter Spesialis Saraf halaman 80-81 (EEG, Brain Mapping dan ENMG) dan halaman
87 (Evoked Potential).

GAMBARAN UMUM
Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan praktik
ketrampilan dalam hal pemeriksaan Neurofisiologi Klinik secara komprehensif dengan
memperhatikan azas cost-effectiveness dan evidence based medicine, melalui pendekatan
pembelajaran berbasis kasus (case-based learning). Subyek yang dipelajari secara
mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah kasus kasus yang sesuai untuk mempelajari
pemeriksaan Neurofisiologi Klinik, termasuk EEG, ENMG, Evoked potensial – Event
Related Potential/P300).

TUJUAN PEMBELAJARAN
* Mengidentifikasi gejala klinis dan mengindikasikan kepentingan pemeriksaan
Neuro Fisiologi Klinik
* Menjelaskan prosedur pemeriksaan Neuro Fisiologi Klinik sesuai dengan diagnosis dan
indikasi
* Melakukan pemeriksaan Neuro Fisiologi Klinik secara efektif
* Menginterpretasi hasil pemeriksaan NeuroFisiologiKlinik (kemampuan pendekatan
diagnostik)
* Menjawab konsultasi dan memberikan laporan hasil pemeriksaan NeuroFisiologiKlinik
* Membuat keputusan diagnostik yang benar sebagai dasar untuk pemberian terapi yang
tepat
* Memperhatikan dan mempertimbangkan analisis risiko dan biaya yang ditanggung oleh
pasien
* Mempelajari Neuro Fisiologi Klinik secara konsisten dan mandiri (life long learning)
untuk meningkatkan kompetensinya sehingga menjadi mahir

2
RANGKUMAN
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara:
 Kemampuan identifikasi gejala klinis untuk menelaah indikasi pemeriksaan
Neurofisiologi Klinik
 Kemampuan menjelaskan prosedur, melakukan pemeriksaan Neurofisiologi
Klinik dan menginterpretasikan hasil serta menjawab konsultasi dan memberikan
laporan hasil pemeriksaan sesuai dengan diagnosis dan indikasinya
 Mampu membuat keputusan diagnostik dan diagnosis banding yang benar
sebagai dasar untuk pemberian terapi yang tepat
 Mampu memprakirakan prognosis sehingga dapat menyususn anjuran dan edukasi
untuk pasien dan keluarganya
b. Penilaian kompetensi
 Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan (dengan daftar tilik)
 Hasil kuesioner (nilai)
 Hasil penilaian peragaan ketrampilan (dengan daftar tilik)
c. Instrumen pengukuran kompetensi kognitif
 Kuesioner sebelum sesi dimulai
 Kuesioner tengah pelatihan / kegiatan
d Penilaian kinerja pengetahuan (ujian akhir):
 Instrument pengukuran kompetensi psikomotor: penuntun kinerja dan daftar tilik
e. Daftar peralatan yang diperlukan
 Alat ElektroNeuroMioGrafi (ENMG)
 Alat Evoked Potential (Visual Evoked Potential / VEP
 Somasosensory Evoked Potential / SSEP, BrainAuditory
 Evoked Potential / BAEP, Event Related Potentials / ERP – P300)
 Alat ElektroEnsefaloGrafi (EEG) dan Brain Mapping
 Status pemeriksaan Neurofisiologi Klinik

MATERI BAKU
NEUROFISIOLOGI KLINIK DALAM APLIKASI DIAGNOSTIK

ELEKTROMIOGRAFI (EMG) dan ELEKTRONEUROGRAFI (ENG)


EMG merupakan primadona dari pemeriksaan neurofisiologis, karena merupakan
salah satu pemeriksaan elektrodiagnostik yang pertama yang dikembangkan.
EMG merupakan prosedur yang menempatkan elektrode jarum dalam berbagai
otot untuk merekam aktivitas dalam berbagai derajat, termasuk saat istirahat, kontraksi
minimal sampai kontraksi maksimal. EMG ini merupakan pemeriksaan elektrodiagnosis
untuk memeriksa saraf perifer dan otot. Diperlukan suatu pendekatan yang sistematik
untuk melakukan suatu differensial diagnosis pada gangguan neurogen perifer untuk
menghindari prosedur dan pemeriksaan yang tidak diperlukan.
Penyebab gangguan neurogen perifer bermacam-macam dengan manifestasi yang
berbeda beda. Oleh karena itu tidak selalu mudah untuk mendiagnosa adanya suatu
gangguan neurogen perifer, terutama bila ada keadaan keadaan lain yang menutupinya.

3
Jaringan otot yang mengalami kerusakan, akan melepas enzim ke dalam jaringan,
dan kerusakan otot ini dapat direkam oleh alat elektromiografi tersebut.
Pada penyakit otot primer, menunjukkan adanya peningkatan aktivitas insersi,
pelepasan miotonik dan pseudomiotonik. Jejas saraf primer ini dapat menyebabkan lesi
neurotmesis dan aksonotmesis yang akan menjadi degenerasi Wallerian, dan pada EMG
akan tampak gambaran fibrilasi dan gelombang positif tajam (positive shrap waves) yang
patognomonis untuk suatu gangguan pada saraf perifer.
Untuk menentukan adanya suatu gangguan neurogen perifer dan muskuler,
diperlukan pemeriksaan dengan elektrode jarum, yang agak nyeri, namun dengan
kemajuan tehnik pembuatan jarum yang canggih, saat ini telah hadir jarum yang kecil,
sehingga penetrasi oleh jarum tidak terlalu nyeri lagi.
Dari EMG elementer, yang harus dilakukan dengan suatu elektrode jarum, dapat
ditentukan adanya gangguan neurogen atau miogen dan dapat ditentukan kelainan
motorneuron, radiks, pleksus, saraf perifer dan otot. Diperlukan kooperasi pasien untuk
pemeriksaan EMG elementer ini.
Pemeriksaan EMG ini untuk mengukur aktivitas otot skelet selama istiahat dan
kontraksi otot volunter. Pola dari kontraksi volunter ini, juga harus ditentukan yang akan
berguna dalam penentuan beratnya kelainan dan selanjutnya dapat diukur kecepatan
hantar saraf (KHS) / elektroneurografi (ENG).
ElektroNeuroGrafi (ENG) adalah stimulasi listrik yang diberikan secara artifisial
pada saraf perifer untuk mengukur Kecepatan Hantar Saraf (KHS) atau disebut juga
Nerve Conduction Velosity (NCV) motorik dan sensorik, F-wave, H-refleks, Blink-refleks
dan lain-lainnya.
Pemeriksaan KHS dilakukan dengan memberikan suatu stimulus listrik pada saraf
perifer, sehingga menimbulkan suatu kontraksi otot. Impuls tersebut dapat direkam, dan
masa latennya dapat diukur yang selanjutnya dapat menghitung kecepatan hantar
sarafnya. Bila ada kelainan, maka itu merupakan indikasi adanya kerusakan saraf perifer,
terutama gangguan integrigas dari mielin saraf. Amplitudo bisa diukur pula dan
dibandingkan dengan besarnya signal, sehingga dapat memberikan informasi tentang
jumlah neuron yang masih bekerja di suatu saraf.
Dengan merangsang suatu saraf pada berbagai lokalisasi sepanjang perjalanannya,
dapat diketahui lokalisasi kelainan. Dengan cara demikian, anatara lain dapt ditetapkan
adanya suatu sindroma terowongan karpal (CTS – Carpal Tunnel Syndrome), terjepitnya
saraf (entrapment) di suatu lokasi, serta pleksopati, gangguan nervus ulnaris di kubiti
maupun di terowongan Guyon, gangguan nervus radialis pada alur spiral di humerus,
serta di tungkai berupa gangguan nervus ischiadicus di muskulus pyriformis, fibula dan
sindroma terowongan tarsal dan juga pada neuropati perifer serta juga monitoring
pengobatan dari berbagai penyakit yang mengenai saraf perifer.
Kelainan pada paut saraf-otot seperti miastenia gravis, yang dulu hanya diperiksa
dengan stimuli repetitif yang berulang, maka pada saat ini juga dapat dilakukan dengan
tehnik canggih SFEMG (Single Fibre EMG) yang menentukan jitter dan MCD (mean
consecutive difference). Bila pada masa sebelumnya hanya dapat diukur KHS motorik
dan sensorik, maka pada saat ini telah dapat dilakukan pengukuran SSR (sympathetic skin
response) yang secara tidak langsung dapat menentukan adanya suatu neuropati otonom.

4
EMG dan ENG merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, oleh karena
1). Alat untuk memeriksa EMG dan ENG sama, 2). Pertama yang diperiksa EMG
kemudian diperiksa ENG.
Alat alat EMG model baru (dulu analog, sekarang digital) dengan perkembangan
mikro komputer yg mutakhir, telah dicapai kemajuan kemajuan yg pesat dalam bidang
pemeriksaan EMG dan KHS (NCV). Dengan majunya alat-alat EMG digital yang baru
dan canggih, ditemukan berbagai metode yang mempermudah pemeriksaan,
mempertajam dan memperbaiki kemampuan diagnostiknya dengan akurasi yang tinggi
disertai pembuatan laporan/ report yang makin bagus.
EMG adalah suatu pemeriksaan elektrofisiologis untuk menentukan 1). Aktivitas
listrik otot otot tertentu, 2). Membantu diagnosa penyakit neuromuskular dan 3). Melihat
efek dari penyakit penyakit lain pada otot.
ENG adalah suatu pemeriksaan untuk pengukuran : 1). KHS /NCV dan 2). Masa
laten (DL/MLD) saraf saraf perifer.
EMG mengukur aktivitas otot skelet selama istirahat dan kontraksi otot volunter.
Dilakukan perbandingan dan analisa AMPLITUDO, DURATION, JUMLAH dan
KONFIGURASI aktivitas otot sehingga dapat mendeteksi gangguan pada motor unit dan
membedakan apakah gangguan neurogenik atau miogenik. Sedangkan kombinasi
pemeriksaan EMG dan ENG dapat menolong untuk menentukan lokalisasi kerusakan
saraf , misalnya antara saraf perifer dan radiks saraf.

Sebelum melakukan pemeriksaan ENMG, perlu persiapan untuk :


1). Pasien
2). Alat yang akan dipakai, setting dan pengetahuan tentang metode pemeriksaan

Persiapan Pasien
Pemeriksaan EMG dan pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) merupakan
pemeriksaan yang non-invasif, namun tetap saja sering kali masih merupakan suatu
pemeriksaan yang kurang nyaman bagi pasien (incovenient).
Sebelum pemeriksaan dimulai, pasien perlu diberi keterangan yang jelas terlebih
dahulu, dan juga diberitahukan kepadanya bahwa boleh memberitahukan kepada dokter
bila pemeriksaannya terlalu nyeri atau terlalu lama untuk dirinya dan apa yang bisa
dilakukan untuk hal hal tersebut.
Pasien diperiksa dalam posisi tidur agar pasien merasa santai (relax). Pada pasien
yang takut diperiksa perlu diberikan sedasi verbal dengan kata kata yang menenangkan.
Agar pasien dalam keadaan relaksasi, tidak saja dilakukan dengan kata kata, namun juga
dengan cara merubah posisi menjadi antagonistis, sehingga dengan demikian otot
menjadi dalam keadaan relaksasi.
Pada pemberian stimulus listrik perlu dinaikkan secara perlahan-lahan sehingga
menjadi patient-friendly dan dilakukan sampai intensitas stimulus supramaksimal. Perlu
juga diketahui bahwa frekuensi stimulus yang memberikan ketidak nyamanan yang
paling sedikit adalah 1 Hz. Pada pemberian stimulus terutama stimulasi repetitif,
ekstremitas pasien harus di fiksasi oleh si pemeriksa dengan tujuan :
 mencegah artefak karena gerakan
 bila bersentuhan dengan pemeriksa, maka pasien akan dapat lebih menerima /
tahan rangsangan listrik yang diberikan

5
Pada pemeriksaan (terutama) yang memakan waktu yang lama, pasien perlu diajak
berbicara, sehingga bisa merasa nyaman.

Persiapan Alat
Alat dan elektrode perlu dipersiapkan dengan baik. Dengan mengetahui
kemampuan alat EMG yang digunakan dan juga settingnya yang disertai pengetahuan
tentang berbagai metode pemeriksaan adalah suatu hal yang merupakan keharusan untuk
dapat memeriksa pasien dengan baik. Alat EMG yang dipakai harus mempunyai
spesifikasi sebagai berikut :
 Stimulator elektrik – double stimulator, dengan arus konstan atau voltase
konstan.
Arus konstan lebih sempurna mencerminkan jumlah arus yang diperlukan untuk
merangsang suatu saraf, dan stimulator harus bisa menghasilkan arus yang 100
mA dengan lama stimulasi maksimal sampai 1 mS.
 Amplifier perekam (Recording Amplifier)- 4 channel
Instrumen harus mempunyai amplifier perekam yang merekam, memperbesar dan
memfilter respons untuk membesarkan respons yang didapat dan filter harus
diatur untuk mengurangi distorsi dari signal yang direkam.
 Averanger

Selain itu, beberapa komponen alat EMG juga harus diperhatikan, yaitu :
 Filter
Gunanya filter adalah untuk memperbaiki signal to noise ratio dan dengan
demikian juga memperbesar signal dan menekan artefak / noise
Ada beberapa usulan filter untuk berbagai pemeriksaan :
- kecepatan hantar motorik 3 - 10.000 Hz (LLF /HLF)
- kecepatan hantar sensorik 20 - 2.000 Hz
- pemeriksaan dengan jarum (kontraksi) 3 - 10.000 Hz
- pemeriksaan dengan jarum (istirahat) 50 - 10.000 Hz
 Display
Harus bisa memperlihatkan potensialnya dan membuat laporan / report dari data
yang direkam
 Audio
Alat harus mempunyai speaker audio yang bagus, karena suara yang dikeluarkan
sewaku pemeriksan kecepatan hantar saraf dan EMG jarum memberikan
informasi yang sangat berguna
 Differential Amplifer
Differential amplifier gunanya adalah untuk memperkuat beda potensial antara 2
elektrode terhadap elektrode ketiga yang neutral. Elektrode neutral ini secara
salah disebutkan sebagai aarde atau massa. Elektrode massa ini sebaiknya
diletakkan sedekat mungkin dengan ke 2 elektrode aktif untuk secara bersama-
sama menghilangkan frekwensi 50 Hz dan stimulus artefak.
Kedua elektrode aktif dihubungkan dengan input yang negatif (hitam) dan positif
(merah) dari preamplifier.

6
Suatu potensial yang negatif yang melewati input negatif menghasilkan suatu
hasil di oskiloskop keatas, demikian juga suatu potensial yang positif melalui
input yang positif.
 Elektrode
Pada kebanyakan pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik digunakan
elektrode permukaan / kulit dan dapat dipakai elektrode yang stainless steel dari
perak atau timah. Diameter elektrode biasanya 3 – 10 mm, namun besarnya
elektrode dapat merubah karakteristik potensial yang direkam. Elektrode
permukaan mempunyai keuntungan, bahwa pemakaiannya mudah dan tidak
menimbulkan nyeri bagi pasien. Pemeriksaan dengan jarum (needle elektrode)
kadang kadang diperlukan juga untuk pemeriksaan kecepatan hantar saraf
motorik untuk merekam CMAP otot otot yang letaknya dalam, misalnya
m.pronator quadratus pada sindroma interoseus anterior.
Penempatan Elektrode
1). Elektrode aktif
CMAP (Compound Muscle Action Potential) atau gelombang M (M wave)
merupakan activitas eletrik yang direkam dari serabut otot yang diaktivasi
oleh stimulasi akson motorik.
Perekaman yang besar adalah bila respons gelombang M (M wave)
mempunyai defleksi inisial yang negatif (keatas) dan untuk mendapatkan hal
ini maka elektrode aktif harus ditempatkan diatas daerah motor end-plate
zone. Bila elektrode aktif tidak berada di lokasi tersebut, maka bisa
didapatkan defleksi yang positif.
2). Elektrode referens
Elektrode ini ditempatkan di daerah yang sebisa mungkin berada didaerah
yang inaktif, namun berada dekat dengan otot yang diperiksa. Lokalisasinya
biasanya distal dari tendon ototnya, Bila elektrode referans terlalu dekat
dengan elektrode aktif, maka amplitudo akan menjadi submaksimal.Bila jarak
terlalu jauh, maka adanya noise juga akan mengganggu dan mengecilkan
respons.
3). Elektrode Massa (Ground electrode)
Elektrode ini biasanya dari metal (stainless steel) atau dari lempengan
timah dan harus ditempatkan diantara elektrode stimulasi dan perekaman
untuk mengurai artefak kejutan / shock yang terjadi akibat stimulasi.
4). Elektrode stimulasi
Elektrode permukaan dan jarum dapat dipakai untuk stimulasi pada
pemeriksaan kecepatan hantar saraf. Elektrode permukaan lebih mudah
digunakan dan lebih nyaman bagi pasien. Elektrode jarum kadang kadang
perlu untuk menstimulasi saraf yang letaknya dalam atau untuk alasan tehnis
yang lain, misalnya bila tak dapat dilakukan aktivitas maksimal dengan
elektrode permukaan. Katode elektrode stimulasi harus ditempatkan diatas
saraf yang paling dekat dengan elektrode perekam dan anoda-nya
ditempatkan paralel dengan saraf, lebih jauh dari elektrode perekam dan bisa
di rotasi untuk mengurangi artefak stimulus.

7
PARAMETER STIMULUS
Stimulator suatu alat EMG akan menghasilkan pulsa yang tegak lurus dengan voltase
maksimal adalah 250 Volt pada Mystro dan 300 Volt pada Saphire dan Synergy. Perlu
diketahui bahwa potensio meter yang mengatur rangsangan listrik mempunyai suatu
pembagian skala yang eksponensial sehingga bila diputar dari titik nol, maka mula mula
peningkatan listrik hanya sedikit, namun kemudian terdapat suatu peningkatan tegangan
yang progresif, sehingga bila sudah ada jawaban respons, maka pemutaran tombol
hendaknya dilakukan secara perlahan-lahan untuk mendapatkan suatu jawaban yang
maksimal diikuti yang supramaksimal.
Lama / lebar stimulus (duration) sebaiknya diatur antara 0,05 mS dan 1 mS.
Karena sifat kondensator dari jaringan,maka pada perangsangan yang pendek sudah
cukup untuk mendapatkan jawaban yang supramaksimal, namun pada saraf yang terletak
lebih ke dalam, misalnya n.tibialis di fossa poplitea, atau stimulasi pada titik Erb’s perlu
diberikan stimulus dengan lama / lebar stimulus yang lebih lebar lagi.

Stimulus Artefak
Stimulus elektrik akan menyebabkan suatu beda potensial diantara ke 3 elektrode
pengukur, sehingga beda potensial ini akan diperbesar dan terlihat di layar monitor
sebagai suatu stimulus artefak, yang terlihat sebagai gelombang besar pada awal layar
monitor diujung sebelah kiri sekali.
Walaupun stimulus artefak biasanya hanya 0,1 – 0,5 mS, namun bisa lebih lama sampai >
10 mS atau lebih.
Suatu stimulus artefak bisa mengganggu bila potensial yang seharusnya akan diukur
menjadi berubah bentuknya.
Cara cara memperkecil stimulus artefak adalah dengan jalan :
 Elektrode netral diletakkan sedekat mungkin dengan elektrode aktif
 Impedensi ke 3 elektrode serendah mungkin dan bila mungkin hampir sama
 Elektrode stimulus jangan terlalu dekat letaknya dengan elektrode pengukur
 Lama stimulus diperpendek
 Merotasi elektrode stimulus

Potensial kontak / Artefak elektrode


Bila 2 zat yang terdiri dari bahan molekuler yang berlainan bersentuhan, terjadi suatu
beda potensial diantara ke dua zat tersebut karena elektron-elektron dari kulit luar zat
tersebut selalu akan memperlihatkan afinitas yang lebih banyak untuk salah satu dari ke 2
zat tersebut. Dengan demikian akan terjadi suatu beda potensial diantara 2 metal yang
berbeda, namun juga antara air dan plastik (contoh : tetesan infus yang menetes pada
infus selalu bermuatan listrik) dan juga antara elektrode dan kulit.
Potensial ini sangat besar sampai puluhan volt dan besarnya muatan listrik yang
disebabkan oleh potensial kontak ini tergantung dari permukaan dari kontak (permukaan
yang bersentuhan antara elektrode dan kulit). Bila potensial kontak antara ke 3 elektrode
pengukur dan kulit tetap berada dalam konstan waktu, maka tidak akan mengganggu
karena listrik dengan arus searah / DC tidak diperkuat oleh filter-filter yang sudah di
pasang.

8
Namun bila permukaan kontak antara elektrode dan kulit berubah, misalnya karena
bergerak, maka potensial kontak juga berubah dan perubahan potensial ini merupakan
arus bolak balik / AC dan akan diperbesar dan menyebabkan suatu artefak elektrode.
Pemakaian gel atau suatu vilt yang dibasahkan / lembab antara elektrode metal dan kulit
akan mencegah atau mengurangi perubahan permukaan kontak pada pergerakan.
Fiksasi elektrode harus dilakukan dengan baik dan pergerakan harus diminimalisasi
dengan memfiksasi bagian tubuh yang di-aktivasi.

Bentuk Potensial
Bentuk potensial yang benar adalah bila respons gelombang M (M-wave) mempunyai
defleksi inisial yang negatif (keatas) dan untuk mendapatkan hal ini maka elektrode aktif
harus ditempatkan diatas daerah motor end-plate zone. Bila elektrode aktif tidak berada
di lokasi tersebut, maka bisa didapatkan defleksi yang positif.

Pengaruh Faktor Faktor Fisiologis Pada Hasil Pengukuran


1). Suhu badan
Suhu badan berpengaruh pada kecepatan hantar saraf (lebih lambat pada suhu yang
lebih rendah) dan koreksi fungsi suhu kulit hanya berarti untuk pengukuran kecepatan
hantar sensorik dan masa laten terminal motorik. Suhu diukur di pertengahan antara
tempat stimulasi dan pengukuran. Alat EMG yang baru sudah tersedia elektrode
pengukur suhu yang dengan menempelkan pada kulit akan menunjukkan suhu kulit
pada layar monitor.
Amplitudo CMAP dan SNAP akan membesar pada pendinginan karena sinkronisasi
yang lebih baik dari potensial aksi yang menjadi lebih lebar pada suhu yang menurun.
Suhu badan juga berpengaruh pada fibrilasi, yang berkurang atau malahan menghilang
pada pendinginan.
Pada miastenia gravis akan terjadi perbaikan pada paut saraf-otot (neuromuscular
junction) pada pendinginan sebagai akibat dari (antara lain) eliminasi ion kalsium
yang lebih lambat. Dengan demikian pada stimulasi repetitif sebaiknya suhu otot
harus dijaga lebih tinggi, sebaiknya minimal 32C.
Alat harus mempunyai suatu thermistor untuk mengukur dan menyimpan data suhu
atau bisa dipasangkan thermistor yang terpisah
2). Efek Suhu
Efek suhu pada pengukuran kecepatan hantar saraf bisa dramatis. Dengan menurun-
nya suhu maka masa laten distal memanjang, kecepatan hantar saraf menjadi lambat,
amplitudo membesar dan waktu / duration memanjang
Suhu badan harus di monitor selama pemeriksaan dan dipertahankan pada nilai yang
sudah ditentukan sebelumnya, yaitu tergantung dari nilai dimana data referensi
diambil, dan perubahan dari itu harus dikoreksi dengan suatu faktor koreksi.
Adalah lebih baik untuk menghangatkan ekstremitas daripada mengkoreksi
perubahan suhu.
3). Panjang Badan
Panjang badan juga berpengaruh pada kecepatan hantar saraf, makin tinggi seseorang,
makin panjang akson, makin kecil diameter, maka makin lambat hantarannya dan ini
terutama bermakna pada ekstremitas bawah yang umumnya lebih panjang

9
4). Usia
Usia yang bertambah menyebabkan penurunan dari CMAP dan SNAP dan penurunan
kecepatan hantar saraf ini, oleh karena penurunan progresif dari jumlah neuron.
Kecepatan hantar saraf akan meningkat dengan bertambahnya usia sampai umur
dekade ke 2, lalu menurun secara progresif dengan bertambahnya usia.
5). Gender
Pada wanita, maka amplitudo SNAP dan CMAP lebih besar dari pada pria, mungkin
karena pengaruh hormonal pada konduksi kulit
6). Berat Badan
Berat badan berpengaruh pada pemeriksaaan kecepatan hantar saraf. Secara umum,
maka pengaruh berat badan kurang dari pengaruh tinggi badan. Body mass index juga
bisa berpengaruh pada kecepatan hantar saraf.

Pengaruh Faktor Faktor Yang Non Fisiologis Pada Hasil Pengukuran


1). Overstimulasi
Overstimulasi paada suatu saraf bisa memperlihatkan perubahan yang menyerupai
artefak pada pemeriksaan kecepatan hantar saraf :
 Virtual cathode effect terjadi karena overstimulasi dan menyebar serta
mengaktivasi saraf lain yang agak jauh dari lokasi katode
 Aktivasi dari saraf saraf sekitarnya menghasilkan CMAP yang lebih besar dari
pada yang diharapkan
 Aktivasi dari saraf sekitarnya bisa menghasilkan CMAP dengan defleksi inisial
yang positif
2). Understimulasi
Understimulasi daat menghasilkan CMAP yang lebih kecil dengan kecepatan hantar
saraf yang lebih rendah, karena akson yang tercepat tidak teraktivasi
3). Stimulasi Anodal
Stimulasi anodal dapat menghasilkan suatu masa laten distal yang tidak akurat atau
menyerupai suatu conduction block pada beberapa akson.
4). Penempatan elektrode
Penempatan elektrode aktif yang tidak benar akan menghasilkan suatu CMAP yang
rendah dan / atau disertai defleksi inisial yang positif.

Pengukuran Jarak
Kesalahan pengukuran jarak secara potensial bisa menjadi kesalahan yang terbesar pada
pengukuran kecepatan hantar saraf, karena pengukuran jarak yang inakurat menghasilkan
masa laten distal dan kecepatan hantar saraf yang inakurat pula.

Reproducibility
Ada variabilitas pada pengukuran kecepatan hantar saraf dan faktor faktor yang
menyebabkan variabilitas tersebut termasuk saraf yang diukur, caranya, individual yang
memeriksa dan juga semua faktor-faktor yang telah dibicarakan diatas.
Untuk mengurangi faktor variabilitas harus dilakukan pemeriksaan berulang ulang untuk
mengetahui dengan pasti bahwa tehnik dan prosedur yang dilakukan telah terstandarisasi.

10
PEMERIKSAAN KECEPATAN HANTAR SARAF MOTORIK
Pengukuran kecepatan hantar saraf motorik merupakan tehnik untuk memeriksa integritas
fungsional dan morfologik dari suatu motor unit.
Bisa diperoleh data yang berguna secara klinis dari fungsi dan struktur saraf motorik,
NMJ dan dari otot dengan pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik.
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik sangat berharga untuk menilai motor unit
pada berbagai gangguan a.l :
 mendapatkan bukti adanya penyakit motor unit
 menentukan akson mana yang terkena
 menentukan mekanisme patofisiologi dari gangguan saraf tsb, misalnya aksonal
vs demielinisasi
 menentukan adanya penyakit sebelum gejala gejala klinis jelas, misalnya
neuropati perifer yang heriditer mengidentifikasi dann melokalisasi tempat
kompresi,iskemi dan lesi fokal lainnya
 membedakan neuropati perifer dengan miopati dan gangguan-gangguan lower
motor neuron (LMN) yang lain
 menentukan adanya gangguan transmisi neuromuskuler seperti:
Miastenia gravis
Sindroma miastenik Lambert-Eaton
Gangguan lower motor neuron (LMN) yang lain. Intoksikasi obat mis:
Prostigimin neuromuscular blocking agents & anestesia.
 mengidentifikasi anormal inervasi
- median-ulnar anastomosis di lengan bawah ventral
- inervasi otot tangan
- saraf peroneus (accesory peroneal nerve)
 menetapkan beratnya penyakit
 menetapkan prognosis
 mengasses efektifitas suatu pengobatan.

Prinsip pemeriksaan :
* diukur dari perut otot (spierbuik-pees) dari suatu otot distal dan saraf perifer
dirangsang pada 2 atau lebih tempat dan dijaga bahwa jarak interstimulus paling
kecil adalah 10 cm (kecuali pada “inching”, dimana dirangsang tiap2 cm untuk
menentukan adanya suatu conduction block) .
* bisa dilakukan bertuturu-turut dari beberapa otot yang berlainan yang dipersarafi
saraf perifer yang sama, sehingga dapat diperiksa lebih banyak fasikel dari suatu
saraf perifer yang sama.
* jaraknya, diukur antara katode stimulasi dan katode tempat pengukuran dan
selanjutnya diukur sepanjang perjalanan saraf perifer pada keadaan yang
diperkirakan merupakan jarak terpanjang (mis: pada siku dalam keadaan fleksi pada
pengukuran n ulnaris)
* waktunya diukur antara stimulus dan awal CMAP yang sesuai dengan akson yang
paling cepat hantarannya.
* kulit harus dibersihkan dari minyak, lotion dsb.dan diusahakn agar kontak antara
kulit dan elektrode baik dengan menggunakan gel yang khusus untuk EMG.

11
Parameter-parameter yang harus diperhatikan
1). masa laten yang diukur dari awal stimulus sampai ke respons
* onset latency adalah waktu dari stimulus ke defleksi inisial
* peak latency adalah waktu dari stimulus kepuncak negarif dari respons
* masa laten distal adalah onset latency untuk kecepatan hantar saraf motorik
yang diukur dari tempat stimulus yang paling distal.
* area adalah area yang terintegrasi dibawah komponen negatif dari M-wave
dan mencerminkan jumlah serabut otot dan / atau akson motorik yang
di-aktivasi
2). amplitudo CMAP peak to peak dan baseline to peak
3). waktu / duration adalah waktu dari onset permulaan fase negatif (yang keatas) dari
CMAP sampai waktu gelombang memotong garis tengan / baseline.
4). kecepatan hantar saraf mencerminkan kecepatan dari akson tercepat dan diukur
dari suatu segmen panjang atau pendek.
Bisa diukur kecepatan hantar maksimal dari segmen-segmen yang berbeda.
5).dispersi adalah perubahan proporsional dari waktu /duration CMAP dengan
stimulasi progresif yang lebih proksimal.

Angka normal:
Batas bawah kecepatan hantar saraf
Ekstremitas atas :50 m/S
Ekstremitas bawah : 40 m/S

Batas bawah amplitudo CMAP;


Otot tenar (n ulnaris dan medianus): 10 mV
Otot hipotenar :10 mV
m. ext dig brevis (EDB) : 5 mV
m. abd hallucis : 10 mV (van Hees & Theys,1999)1

PEMERIKSAAN KECEPATAN HANTAR SARAF SENSORIK:


Pemeriksaan kecepatan hantar saraf sensorik meng-asses integritas sel-sel ganglion radiks
dorsalis dan akson perifernya. Akhir-akhir ini pemeriksaan kecepatan hantar saraf
sensorik untuk mengetahui keadaan saraf sensorik dari ekstremitas atas dan bawah dan
juga komponen-komponen sensorik dari saraf campuran (mixed nerve)
Pengukuran kecepatan hantar saraf sensorik (SCV=sensory conduction velocity) pada
saat ini merupakan suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dari pemeriksaan
elektrodiagnostik.
Kecepatan hantar saraf sensorik (SCV) tidak ada bandingannya pada sisi sensorik seperti
juga bagian pemeriksaan elektrode jarum pada kecepatan hantar saraf motorik.
Pentingnya kecepatan hantar saraf sensorik dalam elektrodiagnostik oleh karena :
1. dapat mendeteksi lesi yang hanya mengenai serabut sensorik, misalnya
mononeuropati radialis yang superfisialis dan juga polineuropati yang murni
(pure) sensorik.
2. pada derajat yang lebih ringan pada gangguan saraf campuran, SCV sudah
abnormal, walaupun kecepatan hantar saraf motorik masih dalam batas normal,

12
tidak terrgantung dari patofisiologinya apakah demielinisasi (sindroma
terowongan karpal) atau kehilangan akson (neuropati ulnaris yang traumatik)
3. mempunyai peranan penting dalam lokalisasi elektrodiagnostik dari lesi proksimal
dengan kehilangan akson dengan menolong untuk membedakan yang terletak
didalam kanalis interspinal (misalnya gangguan kornu anterior dan radikulopati)
dengan yang terletak diluar (misalnya pleksopati)
4. karena tidak meng-asses komponen manapun dari motor unit, maka menmbantu
membedakan antara gangguan umum yang mengenai serabut saraf perifer dengan
yang mengenai NMJ (Neuro Muscular Junction) dan otot (misalnya GBS vs
fulminant polimyositis)
5. pada lesi dengan kehilangan akson yang letaknya jauh (remote axon loss lesions),
maka merupakan komponen satu-satunya dari kecepatan hantar saraf dan kadang-
kadang dari seluruh pemeriksaan elektrodiagnostik yang tetap abnormal.

Sebaiknya pemeriksaan dilakukan pada ke 2 sisi dengan membandingkan sisi yang


terkena dengan yang kontralateral dan amplitudo SNAP (sensory nerve action potentials)
dianggap abnormal bila :
1. terdapat hasil dibawah angka normal di laboratorium EMG tersebut dan /atau
2. 50 % atau lebih rendah dari respons sisi kontralateral yang asimptomatik.

Amplitudo yang rendah unilateral / atau SNAP yang tidak timbul (pada setiap golongan
usia) adalah abnormal, namun bila tak dapat ditimbulkan respons sensorik pada n suralis
dan n peroneus superfisialis secara bilateral (seperti juga pada tidak adanya-H-respons
secara bilateral) merupakan hal yang tak jelas kemaknaannya bila ditemukan pada pasien
yang lebih tua dari 60 tahun.
Masa laten SNAP dianggap abnormal, bila memanjang, dibandingkan dengan angka
normal yang telah ditentukan terlebih dahulu di laboratorium EMG tersebut.

Pemeriksaan kecepatan hantar sensorik dilakukan dengan berbagai cara:


1. dengan menstimulasi saraf kutan, sambil merekam lebih ke proksimal pada suatu
saraf campuran darimana ia berasal (tehnik ortodrom)
2. dengan menstimulasi suatu saraf campuran, sambil merekam lebih distal diatas
salah satu dari cabang kutaneusnya (tehnik antidrom)
3. dengan menstimulasi dan merekam diatas suatu saraf sensorik yang murni (baik
dengan tehnik ortodrom maupun antidrom, tergantung dari penempatan elektrode
stimulasi dan perekam).

Prinsip pemeriksaan :
* stimulasi pada suatu saraf sensorik(kutan) dan perekam dari suatu saraf sensorik
atau saraf campuran, atau stimulasi pada suatu saraf campuran dan perekam dari
cabang sensorik (cara yang ini seringkali dapat menyebabkan artefak yang banyak)
* kedua elektrode perekaman sebaiknya ditempatkan diatas sarafnya dengan jarak 3-4
cm yang akan memberikan amplitudo paling maksimal.
* perlu dilakukan averaging (rata2 dari sejumlah respons), bila amplitudo dari
sensory nerve action potentials (SNAP) rendah.

13
* pada prinsipnya bisa dilakukan rangsangan hanya pada 1 tempat saja untuk
mengukur kecepatan hantar saraf sensorik,namun boleh juga menstimulasi pada
beberapa tempat untuk mengukur kecepatan hantar sensorik pada berbagai segmen
* jaraknya dihitung antara katode tempat stimulasi dan katode tempat perekaman.
* waktunya diukur antar awal stimulus dan awal fase negatif yang naik keatas (sesuai
dengan kecepatan dari serabut yang tercepat); bila awal fase negatif tak jelas, maka
dapat juga dipakai peak phase negatif, namun kecepatan hantar saraf akan menurun
* bisa dilakukan secara ortodrom dan antidrom.

Parameter yang dipakai:


* Kecepatan hantar saraf yang tercepat /maksimal
* Amplitudo SNAP (antara puncak negatif dan puncak positif sebelumnya / atau
baseline), karena puncak positif yang berikut biasanya berasal dari otot, jadi dari
suatu saraf campuran.

Angka normal:
Kecepatan hantar saraf sensorik dan amplitudo SNAP tergantung suhu badan, dan ada
tabel yang mengkoreksi suhu badan yang berlainan.
Amplitudo SNAP tergantung dari usia, kelamin, tebal kulit dan tebal lapisan lemak
dibawahnya, adanya edema dan juga dari jarak antara tempat stimulasi dan perekaman
(karena dispersi fisiologik).
Pada stimulasi pada berbagai segmen, maka amplitudo SNAP per segmen dapat menurun
sampai setengahnya.
Setinggi jari-jari, maka amplitudo SNAP tak sama di semua 5 jari dan urutan dari besar
ke kecil adalah jari 1>3>2>4>5.
Dengan demikian, maka suatu amplitudo SNAP yang lebih kecil pada jari ke 2
dibandingkan jari ke 5 adalah patologis.
Beda amplitudo kanan-kiri bisa mencapai 50 %.
Karena hal-hal yang disebut diatas maka agak sulit menentukan batas-batas normal dari
SNAP.
Amplitudo SNAP pada jari pada stimulasi n medianus / n ulnaris adalah lebih dari 10 uV
Pada stimulasi n radialis maka amplitudo di jempol biasanya tak lebih besar dari 5 uV
Amplitudo SNAP N suralis pada orang yang muda dan kurus adalah >10 uV.
Pada stimulasi saraf-saraf kutan lain tak dapat ditentukan batas-batas angka normalnya.
Pada prinsipnya kecepatan hantar saraf sensorik lebih cepat dari yang motorik (diukur
pada segmen yang sama) (karena diameter aksonnya lebih besar).

RESPONS LAMBAT (late responses)


 Respons lambat adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
potensial yang mempunyai masa laten yang lebih panjang daripada CMAP yang
timbul langsung, yaitu M-wave.
 Dalam pengertian yang sempit maka respons lambat adalah F-wave, H-refleks,
A - wave.
 Blink refleks dan refleks masseter.

14
 Dalam prospektif yang lebar, maka respons lambat juga mencakup respons kulit
simpatetik (sympathetic skin response), silent period, respons masa laten pendek
dan panjang.

H-refleks (refleks Hoffmann)


H- refleks adalah suatu jawaban refleks yang monosinaptik yang ditimbulkan dengan
stimulasi elektrik pada serabut otot aferen Ia yang besar pada suatu saraf campuran.
Impuls yang ortodromik pada serabut Ia membentuk bagian aferen dari refleks ini,
sedangkan bagian eferen terdiri dari impuls ortodromik dalam serabut motorik dari otot.
Gelombang H-refleks adalah serupa dengan miotatik deep tendon reflex yang
ditimbulkan oleh peragangan otot, namun aktivasi muscle spindle di bypass pada H-
refleks. Dengan demikian ada korelasi yang tinggi antara H-refleks m soleus dengan
refleks Achilles.
Pada orang dewasa dapat dicetuskan dari m soleus (dengan stimulasi n tibialis di fossa
poplitea) dan juga pada m quadriceps femoris dengan stimulasi n femoralis di inguinalis
dan dari m flexor carpi radialis di siku.
Jadi pada prinsipnya pada ekstensor di ekstremitas bawah dan fleksor di ekstremitas atas.
Ini karena alfa motorneuron yang bersangkutan menunjukkan suatu eksitabilitas yang
lebih tinggi; tungkai adalah untuk berdiri (= ekstensi) dan lengan adalah untuk
memegang (fleksi). Pada eksitabilitas yang lebih meninggi dari alfa motorneuron seperti
pada gangguan piramidalis, maka H-refleks juga dapat diperoleh dari otot-otot lain
seperti juga pada neonatus.
Pada perekaman pada m soleus distimulasi di fossa poplitea dengan lebar stimulasi 0,3-
0,5 mS1 atau 0,5-1,0 mS 5, karena letaknya agak dalam dan frekwensi stimulus adalah
0,2 Hz yaitu 1 setiap 5 detik
Intensitas stimulus dinaikkan secara progressif sehingga dapat ditimbulkan M-respons
dan juga H-refleks sampai stimulasi supramaksimal, dimana H-refleks akan menghilang.
Yang khas dari H-refleks adalah, bahwa ia ditimbulkan oleh stimulus dengan intensitas
rendah, yang biasanya dibawah ambang rangsang / subthreshold dari M-respons
Untuk memastikan bahwa respons lambat tersebut adalah suatu H-refleks dan bukan
suatu F-wave yang mempunyai masa laten yang sama, maka amplitudo-nya harus lebih
besar daripada M-respons.
Dengan peningkatan intensitas stimulus, amplitudo M-respons akan membesar secara
progresif, sedangkan amplitudo H-refleks secara progresif mengecil.
Dengan stimulasi supramaksimal untuk M-respons, maka H-refleks akan menghilang
sama sekali dan digantikan oleh F-wave.
Masa laten H-refleks diukur dari awal stimulus sampai defleksi inisial H-refleks.
Angka normal masa laten H-refleks m soleus berkisar antara 30 sampai 35 mS, namun
tergantung dari panjang badan. Beda kanan kiri <1,5 mS.

Aplikasi klinis H-refleks :


H-refleks paling sering digunakan untuk mengevaluasi adanya suatu radikulopati S1.
Bila ada perlambatan atau tidak timbul, maka ada suatu gangguan pada radiks S1.
H-refleks juga merupakan suatu tes yang sensitif untuk berbagai polineuropati yang
aksonal atau dengan demielinisasi. Karena H-refleks mencakup konduksi serabut

15
proksimal, maka kelainan pada H-refleks bisa merupakan suatu penemuan yang tersendiri
dan dini pada GBS.
Pada neuropati metabolik-nutrisional, seperti alkoholik, uremik dan diabetik, maka dapat
terjadi pemanjangan H-refleks pada kecepatan hantar saraf konvensional yang normal.
H-refleks dari m fleksor carpi radialis bisa abnormal pada gangguan C6 atau C7 dan juga
bisa abnormal pada suatu lesi kronik dari susunan saraf pusat dan gangguan upper motor
neuron. Pada keadaan ini biasanya rasio H/M biasanya membesar, sejalan dengan
eksitabilitas pool motorneuron spinal yang meninggi.
H-refleks akan menurun selama keadaan tidur dalam, katapleksi dan stadium dini dari
kerusakan serebral akut dan gangguan pada medulla spinalis.
Limitasi H-refleks adalah:
1. Hanya radiks S1 yang di-evaluasi secara konsisten.
2. H-refleks seringkali terbukti normal pada radikulopati S1.
3. H-refleks yang abnormal tidak berarti menyatakan adanya suatu radikulopati S1,
karena jaras-jarasnya juga termasuk konduksi di n tibialis dan scatica, pleksus
sakralis, medulla spinalis dan radiks S1 yang sensorik dan motorik.
4. sekali H-refleks menghilang oleh karena adanya gangguan pada radiks S1, maka
biasanya akan menghilang seterusnya., sehingga pemeriksaan ulang H-refleks
setelah operasi tidak mempunyai arti.
5. H-refleks bisa menghilang secara bilateral pada pasien yang menderita
polineuropati dan yang berumur lebih dari 60 tahun.

Gelombang F (F-wave)
Bila akson motorik di stimulasi secara elektrik, maka potensial aksi yang timbul
dihantarkan secara sentrifugal dan menghasilkan suatu respons M, namun juga
dihantarkan secara sentripetal, dimana akhirnya sel motorneuron di depolarisasi.
Depolarisasi alfa motorneuron ini dalam presentase yang kecil akan mencetuskan suatu
potensial aksi dalam aksonnya sendiri, yang lalu dihantarkan balik melalui aksonnya
sehingga menyebabkan suatu kontraksi dari motor unit yang bersangkutan.
F-wave ditimbulkan karena aktivasi antidromik dari suatu variabel yang biasanya kecil
dari bagian sel kornu, anterior yang mempersarafi otot. Stimulus yang supramaksimal
dan sekuensil akan menimbulkan F-wave yang konfigurasinya dan masa latennya
berubah-ubah (variabel), yang disebabkan oleh karena aktivasi lower motor neurons yang
berlainan. Potensial kecil ini disebut F-wave (karena pertama kali ditemukan di otot-otot
kaki / foot muscles).
F-wave pada prinsipnya dapat ditimbulkan pada setiap otot distal dengan stimulasi distal
(pada otot proksimal dengan stimulasi proksimal, maka F-wave dan M-respons dapat
jatuh pada tempat yang sama).
Pada ektremitas bawah bisa dijumpai banyak di otot-otot ekstensor dan di ekstremitas
atas pada fleksor. Pada gangguan sistem piramidalis F–wave ini lebih mudah
ditimbulkan. Masa laten yang terpendek dari F-wave yang diukur (minimum F-wave
latency).
Angka normal dari masa laten F-wave yang terpendek berkisar antara 30mS dan n tibialis
3,5 mS.
Beda masa laten kanan dan kiri < 2 mS, namun ada perbedaan angka yang lebih spesifik,
yaitu n medianus 2.3 mS, n ulnaris 2,7mS, n peroneus 3,5 mS dan n tibialis 3,5 mS.

16
Angka-angka normal ini, biasanya berlaku sampai umur 40 tahun dan diatas itu akan
memanjang kira-kira 0,5 mS per dekade
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah : chronodispersion dan persistence.
Cronodispersion adalah perbedaan antara masa laten F-wave yang terpendek dengan
yang terpanjang.
Persistence adalah persentase stimulus yang menimbulkan F-wave.
Batas bawah persistence adalah 5% untuk n peroneus pada orang normal, sehingga tidak
adanya F-wave juga harus dievaluasi secara seksama.
Persistence pada n medianus, ulnaris dan tibialis yang normal adalah 40% atau lebih.
Persistence yang tinggi (80-100%) terjadi pada lesi upper motor neuron terutama bila ada
spastisitas.
Persistence dari F-wave juga memanjang bila otot tidak dalam keadaan relax, karena
kontraksi bagaimanapun kecilnya, akan mempersulit (secara bermakna) timbulnya F-
wave.
Amplitudo F-wave sangat variabel, namun akan bermanfaat untuk menghubungkan
mean F-wave amplitude dengan CMAP yang maksimal (F-wave/CMAP x 100) , dan
angka >5% adalah biasa pada penyakit upper motor neuron.

Aplikasi klinis F-wave


F-wave sangat berguna untuk mengakses bagian proksimal saraf motorik untuk
mengevaluasi kemungkinan adanya lesi pada bagian proksimal dari n medianus, ulnaris,
peroneus, tibialis dan skiatika dan pleksus brachialis dan lumbosakral.
Minimum F-wave latency mencerminkan waktu konduksi dari seluruh bagian dari suatu
saraf motorik.
Suatu pemanjangan ringan dari minimum F-wave latency dapat dilihat pada keadaan
kehilangan akson, sedangkan pemeriksaan F-wave paling sensitive untuk mendeteksi
AIDP, dimana terjadi pemanjangan masa laten F-wave. Pada CIDP F-wave bisa
menghilang. Pemakaiannya pada radikulopati lebih kontroversial lagi, karena minimum
F-wave latency tidak akan memanjang. Hal ini disebabkan tidak ada pengaruh
perlambatan segmen pendek saraf yang mengalami demielinisasi, dan kelainan pada
segmen pendek tersebut akan di neutralisasi oleh suatu jarak yang sangat panjang dari
suatu saraf yang menhantarkan listrik secara normal.
Pada dasarnya F-wave kurang begitu sensitive dibandingkan dengan pemeriksaan EMG
pada suatu motor involvement yang disebabkan oleh radikulopati.

Gelombang A / A-Wave
Antara M-respons dan F-wave dapat terlihat potensial otot yang kecil dengan masa laten
yang konstan, yang biasanya dapat disebabkan oleh suatu refleks-akson, yang terjadi
akibat suatu sprouting dari akson motorik proksimal dari tempat stimulasi.
Kadang-kadang ditimbulkan karena adanya dispersi abnormal dari M-respons oleh
karena demielinisasi.
Pada stimulasi supramaksimal gelombang A yang disebabkan oleh suatu refleks akson
akan menghilang oleh karena kolusi (collision), sehingga sebaiknya diberikan stimulus
yang submaksimal.
Bila distimulasi beberapa sentimeter lebih proksimal, maka gelombang A yang
merupakan suatu refleks akson akan mempunyai masa laten yang lebih pendek dan

17
gelombang A yang ditimbulkan karena dispersi ini akan menunjukkan suatu masa laten
yang lebih panjang.
Walaupun biasanya masa latennya lebih pendek, namun kadang-kadang bisa lebih
panjang daripada F-wave, sedangkan amplitudo gelombang A biasanya konsisten, sama
atau kurang daripada amplitude F-wave.
Biasanya gelombang A tidak timbul, sehingga pemeriksaan ini tidak dilakukan secara
sengaja. Namun bila terlihat, maka settingnya sama dengan H-refleks dan F-wave.
Tidak ada angka normal, sehingga gelombang A tidak bisa dipakai untuk mendiagnosis
suatu keadaan yang patologis.
Aplikasi klinis
Gelombang A tidak mempunyai suatu aplikasi klinis, dan tidak diperiksa pada
pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik secara umum.
Bila timbul, maka gelombang A bisa terjadi karena percabangan (branching) yang
normal atau patologis.
Gelombang A, biasanya lebih banyak terlihat pada denervasi parsial yang khronis
dengan re-inervasi, daripada pada orang normal, namun penetapan ada tidaknya suatu
keadaan yang patologis tergantung dari pemeriksaan EMG jarum, atau pemeriksaan
elektrodiagnostik yang lain.
Walaupun demikian gelombang A harus dikenal sehingga tidak salah diinterpretasi
sebagai F-wave.

Gangguan aksonal vs demielinisasi :


Prinsip :
Prototip suatu neuropati yang aksonal murni adalah aksonotmesis (putusnya akson),
dimana akan terjadi kematian dari bagian akson yang distal.
Selama bagian distal akson masih mempunyai saluran ion yang berfungsi (beberapa hari)
maka kecepatan hantar saraf masih normal.
Bila aksolemma bedegenerasi, maka tak akan bisa ada hantaran potensial aksi lagi,
artinya tidak pernah ada penurunan hantar saraf, tetapi langsung hilang.
Pada gangguan motorneuron maka akson motorik mati secara perlahan-lahan dan selama
perjalanan penyakitnya dapat terjadi suatu penurunan kecepatan hantar saraf yang ringan,
karena secara kebetulan juga akson yang mempunyai hantaran yang tercepat menghilang,
sedangkan akson yang tersisa mempertahankan kecepatan hantaran yang normal.
Prototip suatu gangguan mielin yang murni adalah suntikan difteri toksin dalam saraf
secara eksperimental, sehingga mielin rusak, sedangkan akson tetap baik.
Mula-mula akan terjadi penambahan waktu lompatan (overspring-tijd) (waktu yang
diperlukan potensial aksi untuk menyebrangi internode), dan waktu ini bisa sampai 10 x
lebih lama. Setelah itu, bila sarung mielin sudah cukup mengalami kerusakan, maka
terjadi suatu conduction block.
Suatu akson yang telah mengalami demilienisasi secara prinsipil tidak bisa
menghantarkan aksi potensial. Sel Schwann yang masih ada, akan menyebabkan suatu
remielinisasi, sehingga sarung mielin yang baru akan bertambah volumenya, namun tetap
lebih kecil dari sebelumnya dan juga jarak internodal selalu lebih pendek dari asalnya
sebelumnya.
Makin tipis sarung mielinnya dan makin pendek jarak internodal, maka makin lambat
pula kecepatan hantar sarafnya.

18
Dengan demikian pada neuropati yang mengalami demielinisasi ada 2 faktor yang
mempengaruhi kecepatan hantar saraf, yaitu demielinisasi dan gradasi
remielinisasi.
Ciri khas demielinisasi secara elektrofisiologis adalah :
 Perlambatan kecepatan hantar saraf
 Dispersi (perlambatan kecepatan hantar saraf yang tak merata)
 Conduction block yang parsial atau total
Di dalam klinik seringkali gangguan mielin dan akson terjadi secara bersamaan.
Suatu kompresi saraf yang ringan dapat menyebabkan suatu gangguan mielin
(neuropraksia), namum dalam praktek juga ditemukan bersamaan dengan suatu
kerusakan akson (aksonotmesis).
Pada GBS maupun CIDP biasanya selalu juga disertai beberapa gangguan aksonal.
Sebaliknya juga dapat dijumpai neuropati dengan gangguan aksonal murni.
Adalah salah bila menganggap bahwa gangguan aksonal bisa terjadi sekunder akibat
suatu gangguan mielin sehingga terjadi suatu perlambatan kecepatan hantar saraf.
Pada diabetes mellitus dan insufisiensi ginjal, maka baik akson dan sel Schwann,
keduanya terkena.
Pada pemeriksaan kecepatan hantar saraf adalah penting untuk membedakan antara suatu
gangguan aksonal yang murni dan ikut terkenanya sarung mielin.
Bila dapat ditunjukkan adanya gangguan mielin, maka diagnosis diferensial dapat
dilimitasi secara tepat.

Kriteria pemeriksaan demielinisasi secara neurofisiologis :


Pasti ada demielinisasi.
Bila * ada dispresi hantaran atau
* ada conduction block atau
* ada penurunan kecepatan hantaran saraf yang banyak
< 75% dari batas bawah angka normal pada 2 saraf yang banyak
< 37,5 mS pada ekstremitas atas dan
< 30 mS pada ekstremitas bawah
Kemungkinan ada demielinisasi bila kriteria diatas tidak begitu dipenuhi secara absolut
dan lebih lunak lagi kriterianya bila disamping itu juga dijumpai kehilangan akson.
Contoh-contoh demielinisasi :
1. kecepatan hantar saraf n medianus di lengan bawah 45 mS dengan amplitude CMAP
yang normal dan tidak dijumpai fibrilasi maupun potensial re-inervasi
2. Contoh lain adalah : dianggap ada demielinisasi bila :
Pada stimulasi pada cubiti terjadi penurunan amplitude 20%, tanpa adanya
anastomosis Martin-Gruber
3. Juga penurunan kecepatan hantar saraf sensorik pada suhu kulit normal atau
penurunan abnormal amplitude SNAP pada stimulasi proksimal (.50%)
Perlu dibedakan antara suatu demielinisasi yang rata atau tak rata (uneven multifocal
demielinisation)
Pada yang pertama timbul suatu penurunan kecepatan hantar saraf yang rata tanpa
dispresi dan tanpa conduction block.
Biasanya ini terjadi pada suatu defek molekuler seperti pada CMT (Charcot Marie Tooth)
dan adrenoleukodistrofi atau leukodistrofi methakhromatis.

19
Demielinisasi yang multifokal dengan adanya conduction block dan dispersi biasanya
disebabkan suatu proses inflamasi.

Demielinisasi disertai proses susunan saraf sentral :


Pada gangguan yang progresif dari suatu saraf pusat, adalah penting untuk melakukan
suatu pemeriksaan susunan saraf perifer untuk menyingkirkan adanya suatu polineuropati
yang disertai dengan suatu demielinisasi.
Namun bila pada suatu gangguan UMN (upper motor neuron) disertai demielinisasi,
maka kemungkinan hanya terbatas yaitu : Adrenoleukodistrofi, Leukodistrofi
metakhromatis, Penyakit Refsum, gangguan mitochondrial (terutama disertai gangguan
gastrointestinal), Sindroma Cocayne dan Cholestanolisis

Pemeriksaan paut saraf-otot (neuromuscular junction /NMJ) :


Pemeriksaan elektrofiasiologis dilakukan pada pasien-pasien dengan suspek Miastenia
Gravis (MG) atau sindroma Lambert-Eaton (LEMS) untuk mendeteksi adanya gangguan
pada transmisi neuromuskuler dan juga untuk menyingkirkan adanya penyakit-penyakit
lain dari motor unit, yang dapat menyebabkan gejala-gejala klinis tersebut.
Pemeriksaan-pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan beratnya penyakit dan juga
memberikan suatu dasar kuantitatif untuk membandingkan dan mendokumentasikan
perkembangan penyakitnya dan juga memberikan keterangan tentang respons terhadap
pengobatan.
Terdapat dua metode untuk memeriksa NMJ yaitu stimulasi dan single fibre-EMG
(SFEMG). Stimulasi repetitif dapat dilakukan oleh yang sudah biasa melakukan
pemeriksaan kecepatan hantar saraf, sedangkan SFEMG memerlukan keterampilan dan
pelatihan yang khusus.
Stimulasi repetitif :
Prinsip :
Stimulasi erepetitif (Repetitive Nerve Simulation/ RNS) adalah pemeriksaan
elektrofisiologis yang paling sering digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan
transmisi neuromuskuler.
Setelah suatu periode istirahat maka dalam ujung terminal akson motorik terdapat suatu
jumlah asetilkholine (Ach) yang cukup besar. Aksi potensial yang pertama pada stimulasi
repetitif, akan membebaskan lebih banyak Ach di NMJ daripada potensial berikutnya.
Penurunan jumlah pembebasan Ach pada stimulasi repetitif menjadi stabil setelah ada
keseimbangan antara pembuatan dan perlepasan.
Pada keadaan normal, penurunan pembebasan jumlah Ach ini tidak ada pengaruh pada
amplitudo CMAP, karena endplate potential (EP) selalu mempunyai amplitudo yang
lebih besar daripada batas potensial aksi otot, sehingga terjadi suatu blok pada NMJ.
Dengan demikian akan terjadi penurunan amplitudo CMAP (atau luas / area permukaan)
pada stimulasi repetitif yang disebut dekremen.
Dengan demikian, maka stimulasi repetitif adalah suatu metode yang tepat untuk
menunjukkan adanya penurunan jumlah reseptor Ach, dengan adanya penurunan
amplitudo ataupun area dari CMAP.

20
Frekwensi yang dipakai untuk stimulasi repetitif :
Konsentrasi ion kalsium pada akson preterminal memegang peranan yang penting. Ach
dibebaskan karena adanya ion kalsium yang masuk kedalam terminal akson motorik
sewaktu terjadi depolarisasi, yang terjadi karena suatu aksi potensial.
Makin sering terjadi aksi potensial, makin tinggi konsentrasi kalsium dan makin tinggi
pula perlepasan Ach.
Dengan demikian stimulasi repetitif dengan frekwensi yang tinggi pada Mistenia Gravis
tidak akan menunjukkan suatu dekremen, sedangkan suatu frekwensi perangsangan yang
sangat lambat akan memberikan kesempatan untuk pembuatan Ach yang baru, sehingga
juga tidak akan menunjukkan suatu dekremen.
Pengalaman telah menunjukkan, bahwa serangkaian 8-10 stimulus dengan frekwensi 2-3/
detik adalah yang terbaik untuk menunjukkan adanya dekremen pada MG.
Frekwensi ini dipilih, karena akan menyebabkan suatu penurunan sekwensial dari Ach
dari ujung saraf sampai stimulus ke 5 atau 6 dimana setelah itu terjadi mobilisasi dari
storage Ach, yang menjadi seimbang dengan pelepasan Ach.
Nilai diagnostik RNS dapat diperbaiki dengan beberapa tehnik aktivitas. Yang paling
sering digunakan adalah latihan maksimum (maximum exercise) dari otot yang diperiksa
untuk waktu tertentu yang akan menyebabkan akumulasi kalsium di ujung saraf, sehingga
menambah perlepasan Ach.
Pada sindroma Lambert-Eaton hal ini akan menyebabkan penambahan amplitudo CMAP,
dan ini disebut post-activation facilitation (PAF). Setelah latihan maksimal terlihat
depresi eksitabilitas ujung paut saraf-otot, yang pada MG akan menyebabkan
memburuknya respons dekremen dibandingkan dengan nilai sebelum latihan, dan ini
disebut post-activation exhaustion (PAE), dan hal ini paling maksimum 2-4 menit setelah
latihan.
Pada stimulasi repetitif (RNS) dengan frekwensi 2-3/ detik bisa terjadi suatu penurunan
amplitudo karena adanya penurunan jumlah Ach yang tersedia, namun pada frekwensi
perangsangan yang tinggi (>10/detik) akan terjadi suatu pembesaran amplitudo
(inkremen), karena konsentrasi kalsium preterminal bertambah.
Namun perangsangan repetitif dengan frekwensi yang tinggi menyebabkan nyeri dan efek
yang sama dapat diperoleh dengan kontraksi volunter yang maksimal.
Stimulasi dengan frekwensi yang sangat cepat akan menyebabkan pembesaran amplitudo
CMAP dengan pendekatan durasi potensial tanpa perubahan pada puncak (peak) area
yang negatif, dan fenoma ini disebut pseudofasilitasi, yang disebabkan oleh sinkhronisasi
yang bertambah dari kecepatan propagasi potensial aksi di dalam serabut dari otot yang
diperiksa.
Amplitudo puncak negatif (negative peak amplitude) atau puncak negative adalah
pengukuran yang paling penting pada RNS.
Area, sebetulnya lebih akurat untuk menggambarkan jumlah serabut otot yang
membentuk CMAP dan tidak terpengaruh oleh pseudofasilitasi.
Pada tes RNS (Jolly/ Harvey-Masland) diberikan stimulus yang supramaksimal 9 kali
(dengan alat baru 10 kali) dengan frekwensi 2,5 – 3/ detik, dan kemudian amplitudonya
serta permukaan CMAP diukur.
Yang biasanya diperiksa adalah :
 Stimulasi n ulnaris dengan perangsangan di pergelangan tangan dan direkam di
hipotenar

21
 Stimulasi n accessorius dengan perangsangan di belakang lekuk m. Sternocleido
mastoideus dan perangsangan di m trapezius pars superior
 Stimulasi n axillaries dengan perangsangan di midclavicularis di fossa dan perekaman
pada m deltoideus
 Stimulasi pada n musculocutaneus dan perekaman dari m biceps
 Stimulasi pada n facialis dengan perekaman di m nasalis

CARA PEMERIKSAAN :
1. Tentukan respons supramaksimal CMAP
2. Stimulasi 20 -50% lebih besar dari intensitas stimulus yang dipakai
3. Periksa otot dalam keadaan istirahat dengan suatu rangkaian (train) stimulus
supramaksimal 5 – 9 kali dengan frekwensi 2 – 3 Hz
4. Setelah beberapa menit istirahat, ulang step ke 3 untuk menentukan
reproducibility
5. Aktivasi otot secara volunteer :
a. Bila diduga ada gangguan post-sinaptik dan didapatkan dekremen > 10%
maka lakukan latihan selama 20 detik untuk melihat apakah ada perbaikan
dekremen dan juga untuk melihat apakah ada post-activation exhaustion
(PAE)
b. Bila diduga ada gangguan post-sinaptik tanpa adanya dekremen yang
bermakna pada keadaan istirahat, lakukan latihan selama 30 -60 detik untuk
mencari post-activation exhaustion (PAE)
c. Bila diduga ada gangguan pre-sinaptik, lakukan stimulus segera setelah
aktivasi.
6. Ulang serangkaian (train) stimulus supramaksimal 5 – 9 kali segera setelah
aktivasi
7. Ulang serangkaian (train) stimulus supramaksimal 5 – 9 setiap 5 menit. 6

Kriteria Abnormalitas :
Pada penurunan amplitude 5% (van Hees & Thyssen 1999)1 atau 8-10% (ozdemir &
Young, 1976)8, 10% (Meriggioli, 2001)6 dianggap patologis.
Pada MG biasanya permukaan CMAP terendah dijumpai pada stimulus ke 2 atau 3,
dimana lalu biasanya disusul dengan suatu pembesaran amplitudo. Bila terjadi perubahan
yang tidak rata, biasanya disebabkan oleh suatu artefak gerak atau stimulasi
submaksimal.
Pada stimulus 3 Hz suatu penurunan amplitudo CMAP sampai 8% masih biasa dilihat
pada orang normal.
Penurunan amplitudo (dekremen) melebihi 10% dianggap sebagai abnormal, namun
kriteria abnormalitas bisa berbeda di berbagai laboratorium.
Post activation facilitation (PAF) melebihi 100% menunjukkan adanya suatu gangguan
pre-sinaptik transmisi neuromuskuler, namun pernah juga terlihat PAF sampai 100%
pada pasien MG, dan mekanismenya belum begitu jelas.

22
PERTIMBANGAN TEHNIK PEMERIKSAAN :
 Reproducibility : dekremen harus dapat dilihat pada pemeriksaan-pemeriksaan yang
diulang-ulang, dan otot sebaiknya diistirahatkan minimum 30 detik sebelum
dilakukan pemeriksaan ulang.
 Elektroda stimulus dan perekaman harus di-imobilisasi sebaik-baiknya, karena
pergerakan eloktroda-elektroda tersebut akan menyebabkan pattern gelombang yang
ireguler dan perubahan dalam besarnya dan bentuk CMAP
 Artefak karena pergerakan harus dicegah dengan fiksasi yang baik dari electroda
perekam dan fiksasi dari ekstremitas yang bergerak oleh stimulasi
Bila terjadi perubahan amplitudo yang tidak rata, hal itu biasanya disebabkan oleh
suatu artefak gerak atau stimulasi submaksimal.
 Suhu otot : dekremen akan berkurang bila otot dingin, sehingga ekstremitas yang
diperiksa harus dipertahankan pada suhu 32-34 C. untuk mempertahankan
sensitivitas diagnostiknya.
 Obat-obat anti-kholinesterase dapat melakukan masking pada dekremen sehingga
sebaiknya dihentikan minimum 12 jam sebelum pemeriksaan dilakukan.

BLINKREFLEKS :
Refleks kornea merupakan contoh yang baik untuk blinkrefleks. Bila kornea distimulasi,
maka terjadi kedipan pada kedua mata.
Bagian aferen refleks ini ditimbulkan oleh n trigeminus yang ipsilateral, sedangkan
bagian eferen ditimbulkan oleh n facial bilateral.
Blinkrefleks yang ditimbulkan di laboratorium neurofisiologi, melalui jaras refleks yang
sama, namun memakai stimulus elektrik dan jumlah respons yang dapat diukur dengan
baik.
Untuk melakukan blinkrefleks dipakai electroda permukaan, yang dipasang secara
bilateral diatas m orbicularis oculi dan suatu shock elektrik diberikan di n supraorbitalis.
Ini akan menimbulkan 2 repons, yaitu R1 yang ipsilateral dan timbul secara dini, yang
masa latennya sekitar 10 mS dan R2, suatu repons lambat yang timbul secara bilateral,
yang masa latennya sekitar 30 mS.
Refleks berkedip pada refleks kornea yang timbul secara bilateral, serupa dengan respons
R2 dari blinkrefleks, namun tidak ada gerakan yang terlihat secara klinis yang bisa
dihubungkan dengan timbulnya R1.
Dengan electroda perekam di tempat yang sama, namun tempat perangsangan dari tempat
n facialis, akan didapatkan suatu respons langsung (Direct Response /DR)

Cara merekam:
Electroda permukaan ditempatkan di m orbicularis oculi secara bilateral.
Electroda G1 ditempatkan diatas perut otot di bagian bawah atau lateral orbita, sedangkan
electroda G2 ditempatkan secara ipsilateral diatas region temporalis, atau di sebelah G1,
dan penempatan electroda harus identik pada kedua sisi.
Tempat electroda yang optimal tak sama pada pasien-pasien dan kadang-kadang perlu
perubahan letak electroda untuk mendapatkan CMAP yang awalnya negative.
Elektroda massa dapat ditempatkan di dahi atau muka.

23
Respons dari kedua mata harus direkam secara simultan dengan menggunakan 2 channel,
dengan sensitivitas 100-200 uV/divisi dan kecepatan sweep speed 10 mS/divisi dan filter
20 Hz – 10kHz.
Bila memakai batas frekwensi rendah yang lebih tinggi misalnya 200 – 500 Hz, akan
didapatkan respons yang lebih bersih, namun amplitudo akan menjadi lebih kecil.
Pemeriksaan harus dilakukan berulang-ulang dan responsnya diukur dan dianalisa.
Sebaiknya setiap pemeriksaan diperlihatkan secara tersendiri dan jangan di superimpose
karena akan menutup respons R2, yang berubah-ubah pada setiap pemeriksaan.
Pengukuran berberapa kali dari R2 akan dapat memperjelas onset masa latennya.

Stimulasi :
N supraorbitalis distimulasi di foramen supraorbital atau pangkalnya, yang dapat di
palpasi dalam orbita pada batas medial atasnya.
Katoda electroda stimulasi yang bipolar ditempatkan diatas n supraorbitalis di foramen
supraorbitalis dan anoda dipasang diatas orbita.
Bila melakukan stimulasi, harus dicegah penekanan yang berlebihan pada saraf, karena
akan lebih menyebabkan ketidak nyamanan pada pasien daripda rangsang listriknya
sendiri.
Waktu stimulus adalah 0,2 mS dan intensitas dinaikkan sampai supramaksimal, yang
akan berkisar antara 3 -20 mA.
Pada 10% subyek yang normal, R1 tidak akan didapatkan dengan rangsang listrik yang
tunggal, dan diperlukan stimulasi dengan suatu stimulus yang berpasangan (paired
stimuli).
Kedua stimulus diberikan dengan interval 5 detik dan stimulus pertama adalah
subthreshold, sedangkan yang kedua adalah supramaksimal dan rspons diukur dari
stimulus kedua.
Komponen R2 bisa mengalami habituasi, sehingga stimulus sebaiknya tidak diberikan
lebih sering dari setiap 10 detik.
Blinkrefleks juga bisa ditimbulkan dengan suatu ketokan secara mekanis diatas glabella
dengan menggunakan martil khusus yang mengaktivasi suatu micro swith pada impact
dan memperlihatkan suatu gelombang pada osiloskop.

Aplikasi klinis :
Blinkrefleks dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi n triegeminus dan n facialis,
dan juga dapat memberikan keterangan mengenai fungsi batang otak, seperti pons dan
lateral medulla, yang bertanggung jawab terhadap hubungan sentral dari R1 dan R2.
Namun umumnya blinkrefleks digunakan untuk mengevaluasi bell’s palsy (idiopathic
facial nerve mononeuropathy)
Aplikasi lain adalah untuk mengevaluasi neuropati trigeminal, polineuropati, spasme
hemifasial, lesi batang otak seprti tumor (neurinoma akustikus), multiple sclerosis atau
stroke.

Angka normal :
Parameter utama adalah masa laten, dan pengukuran amplitudo tak lazim dilakukan.
Masa laten blinkrefleks pada neunatus lebih panjang daripada pada orang dewasa,
walaupun jaraknya lebih dekat.

24
R1 rerata batas atas
Masa laten 10,45 mS 13 mS
Beda kanan-kiri 0,31 1,2
R2
Ipsilateral R2 30,5 41
Kontralateral CR2 30,5 44
Beda R1 dengan stimulasi R-L 1,2
Beda R2 dengan stimulasi R-L 16
DR (Direct Response ) abnormal bila > 4,1 mS
Beda kanan/kiri > 0,6 mS
Rasio R/D (R1 dibagi DR) abnormal bila diluar rasio 2,6 – 4,6
Rasio menurun pada kelainan distal
Rasio memanjang pada kelainan lebih proksimal.

Interpretasi :
Blinkrefleks adalah bila R1 dan/ atau R2 tidak timbul atau masa latennya melebihi batas
atas.
Dapat terjadi berbagai pattern abnormalitas, dan mengenal berbagai pattern tersebut akan
dapat melokalisasi letak lesi lebih baik.
1. Lesi aferen.
Lesi n trigeminus akan memperlambat R1 ipsilateral dan R2 bilateral dengan
stimulasi pada sisi yang terkena. Dengan lesi aferen yang berat, maka tidak akan
ada respons pada sisi terkena. Stimulasi dari sisi sehat akan memberikan respons
R1 dan R2 yang normal
2. Lesi aferen.
Lesi n facialis akan menyebabkan R1 dan R2 yang lambat pada sisi terkena, yang
tidak tergantung dari sisi stimulasi.
3. Lesi batang otak :
a. main sensory mucleus
R1 tidak timbul atau lambat pada sisi terkena dengan R2 yang normal.
b. Nucleus trigeminus spinal
R1 masih ada pada sisi terkena dengan R2 yang normal.
c. Interneuron meduler yang tidak menyeberang
Pada sisi lesi, R1 ipsilateral tetap ada, sedangkan R2 yang ipsilateral hilang
atau lambat.
R2 kontralateral masih normal, karena interneuron yang menyeberang tidak
terkena pada sisi kontralateral lesi, maka R1 dan R2 normal.
d. Interneuron meduler yang menyeberang
Bila serabut yang menyebrang dari satu sisi terkena, maka R2 kontralateral
akan hilang atau lambat, sedangkan R1 dan R2 ipsilateral normal.
Jangkauan EMG adalah semua kelaianan LOWER MOTOR NEURON (LMN)
mulai dari :
 Motor neuron /Cornu Anterior
 Radiks
 Pleksus
 Saraf Perifer

25
 Neuromuskular Junction / Motor End Plate
 Otot

Indikasi EMG :
Motorneuron :
1). Polio
2). Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) / Motor Neuron Disease (MND)
3). Spinal Muscular Atrophy :
Kugelberg Welander Syndrome dan Werdnig Hoffman Syndrome
Radiks :
1). Gulliain arre Syndrome (GBS) :
Poliradikulitis dan Poliradikuloneuritis
2). Trauma Avulsi Radiks Total / Partial
3). HNP : iritasi / kompresi radiks
Pleksus :
Biasanya karena trauma
Saraf Perifer :
1). Polineuropati
2). Neuropati Diabetika
3). Morbus Hansen : Mononeuropati multipleks
4). Pressure Neuropathy
5). Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dan Tarsal Tunnel Syndrome (TTS)
6). Trauma
7). Bell’s Palsy / Gangguan Saraf Kranial VII (N.VII) perifer
Neuromuscular Junction /Motor End Plate :
1). Myastrenia Gravis
2). Syndrome Lambert Eaton
Otot :
1). Dystrofia Muskulorum Progresiva (DMP)
2). Miositis

EMG ELEMENTER memerika :


 potensial potensial berbagai otot
 berbagai motor unit dari setiap otot
 amplitudo
 polifasi dan duration dari setiap potensial
Sebagai contoh antara lain :
1). IRITASI RADIKS atau KOMPRESI RADIKS seperti pada HNP, dicari potensial
potensial yang polifasik pada setiap segmen / miotoma yang terkena dan dicari
aktivitas spontan / fibrilasi, juga di otot otot paravertebral / interspinal.
2). SPASMOFILIA – TETANI LATEN – SINDROMA HIPERVENTILASI
Pada sindroma hiperventilasi terjadi alkalosis, sehingga Ca-ion diikat yang berakibat
terjadi suatu hipokalsemia yang relatif. Hal ini akan menyebabkan gejala gejala dari
spasmofilia seperti : sefalgia, kolik, pegal pegal, nyeri pinggang, parestesi sampai
kejang tonik dan pingsan.

26
Tes spasmofilia dilakukan dengan cara tes provokasi yaitu :
 Tes iskemi selama 5 menit pada 180 mmHg (160 mmHg pada anak-anak)
 Yang disusul dengan hiperventilasi selama 3 menit.

Kelainan khas yang dijumpai adalah :


 Duplets / Triplets / Multiplets yang bentuk dan bunyinya khas sebagai akibat dari
high frequency coupling of action potentials
 Kadang kadang tampak obstetric hand
Gradasi Spasmofilia :
4+ Pasca tes iskemi :
* banyak multiplets
* timbul obstetric hand
3+ Pasca hiperventilasi :
* banyak multiplets
* timbul obstetric hand
2+ Pasca hiperventilasi :
* banyak multiplets
* tanpa obstetric hand
1+ Pasca hiperventilasi :
* duplets/triplets/multiplets yang tidak banyak

3). GANGGUAN MIOGEN


Misalnya pada DMP, dijumpai potensial dengan amplitudo kecil, sangat polifasik,
halus, durasi pendek

EVOKED POTENTIAL (EP) / POTENSIAL CETUSAN


Potensial cetusan mengukur respons elektrofisiologis dari sistem saraf terhadap berbagai
stimulus. Hampir semua modalitas sensorik dapat diperiksa secara teoritis, namun dalam
praktek, hanya beberapa yang digunakan secara rutin. Yang paling sering dipakai adalah
potensial cetusan visual (Visual Evoked Potensials / VEP), potensial cetusan
somatosensorik dengan masa laten pendek (Short Latency Somatosensory Evoked
Potentials / SSEP) dan potensial cetusan auditorik batang otak dengan masa laten pendek
(Short Latency Brainstem Auditory Evoked Potentials / BAEP).
Potensial cetusan dengan masa laten panjang seperti P300 (Event Related Potential)
dipakai untuk mempelajari fungsi luhur, seperti pada demensia dan ADHD (Attention-
Deficit / Hyperactivity Disorders).

Potensial Cetusan Visual (VEP)


Potensial cetusan visual memeriksa fungsi jaras visual dari retina sampai ke korteks
oksipital dan mengukur konduksi jaras jaras visual mulai dari n.optikus, khiasma optikus,
radiasio optik ke korteks oksipital. VEP sangat berguna untuk memeriksa fungsi
n.optikus dan medeteksi tumor yang menekan n.optikus, gangguan iskemik dan
demielinisasi.
Indikasi lain adalah neuropati optika, neuritis optika, ambliopi toksik, neuritis
retrobulbaris, neuropati optika iskemik, sklerosis multipel, glioma n.optikus,
meningioma, kraniofaringioma, giant aneurism dan tumor hipofisis.

27
VEP merupakan perluasan dari pemeriksaan klinis pada berbagai penyakit sistem visual
primer dan sekunder dan terutama berguna untuk memberitahukan fungsi nervus optikus.

Potensial Cetusan Somatosensorik (SSEP)


Potensial cetusan somatosensorik terjadi karena efek somasi dari potensial aksi dan
potensial sinaptik dalam suatu konduktor volume. SSEP dengan masa laten pendek
dianggap sebagai hasil dari volley yang melintas pada serabut besar sistem sensorik
seperti di kolumna dorsalis dan lemniskus medialis. SSEP merupakan suatu alat yang
baik untuk memeriksa gangguan fungsional, terutama konduksi pada sistem saraf dan
dapat membantu mengkonfirmasi adanya kelainan bila gejala klinis masih belum banyak.
Juga seringkali dapat menunjukkan lesi asimptomatik sehingga dapat membantu terutama
pada kasus sklerosis multipel yang belum jelas. Pemeriksaan SSEP intra-operatif
merupakan suatu tantangan, karena membutuhkan banyak waktu dan kesabaran,
diperlukan kerja sama yang baik dengan staf kamar operasi dan alat alat yang khusus dan
juga kecanggihan dalam bidang elektro-tehnik untuk menghilangkan intervensi noise
elektrik, yang ditimbulkan oleh alat alat pembedahan sampai pada anaestesi yang dipakai
serta kedalamannya yang dapat mengganggu hasil dari SSEP.

Potensial Cetusan Auditorik Batang Otak (BAEP)


Potensial cetusan auditorik batang otak ini mengukur fungsi saraf auditorik dan jaras
auditorik sampai ke batang otak. BAEP dapat dipakai untuk melakukan penapisan
gangguan pendengaran yang masih dapat diperbaiki dengan alat bantu pendengaran atau
tidak, karena pada BAEP yang abnormal, alat bantu pendengaran, biasanya tidak dapat
membantu lagi. Indikasi BAEP lainnya adalah neurinoma akustik (cerebellopontine angle
tumor), penyakit demilienisasi, sklerosis multipel, tumor batang otak, meningo-mielokel,
stroke batang otak, insufisiensi respiratorik pada ensefalitis, prediksi keluaran koma post-
trauma pada anak-anak dan sebagai indikator prognostik pada koma.

P 300 (Event Related Potentials = ERP)


P300 adalah potensial potensial yang direkam dari kulit kepala dan merupakan
hasil pengapian sekelompok neuro-neuron sebagai respons terhadap adanya suatu
stimulus yang tidak lazim (oddball). P300 merupakan potensial cetusan otak dengan
masa laten panjang dan timbul pada subyek bila mendapatkan rangsangan yang ada
hubungannya dengan suatu tugas tertentu (task relevant). Respon tersebut ditimbulkan
oleh rangsangan eksogen maupun endogen, yaitu suatu aktivitas psikologik yang berupa
penemuan arti atau memahami tugas yang sedang dikerjakan. Apabila MRI dapat
memperlihatkan resolusi spasial (lokalisasi) dengan sangat baik, maka P300 / ERP
memperlihatkan sutu resolusi temporal dengan sangat baik, karena dapat mendeteksi
perubahan pengapian neuron dalam jangka waktu beberapa milidetik setelah stimulus
diberikan. Seperti pada Topographic Brain Mapping, maka P300 juga dapat dipaparkan
dalam suatu peta gelombang dalam setiap lini, terutama di area parietal dan frontal. Pada
saat ini P300 dipakai sebagai parameter obyektif untuk menilai fungsi kognisi-perseptual
pasien. Dengan demikian P300/ERP dapat dipakai untuk memeriksa dan mendekteksi
perbedaan-perbedaan dengan orang-orang yang normal (kontrol), dalam menilai fungsi
kognisi-perseptual seperti pada penderita autisme, gangguan pemusatan perhatian,

28
hiperaktivitas, disleksia, skzofrenia, paranoid, depresi, stroke, demensia, dan berbagai
gangguan lain.

ELEKTRO ENSEFALO GRAFI (EEG) dan BRAIN MAPPING


EEG adalah suatu metode untuk merekam aktivitas listrik otak, terutama ari
korteks serebri. Sejak Hans Berger pertama-tama berhasil membeuat rekaman
ensefalogram pada manusia dan menguraikan perubahan EEG yang berhubungan dengan
epilepsi pada lebih 70 tahun yang lalu, semakin banyak kegunaan EEG ditemukan.
Kenyataan menunjukkan sebelum adanya CT Scan, EEG merupakan prosedur
pendahuluan sebelum tindakan diagnostik yang lebih invasif seperti arteriografi dan
pneumoensefalografi. Saat ini sangatlah jelas manfaat EEG sebagai alat diagnostik non-
invasif, misalnya dalam penanganan pasien kritis. Pada hampir semua studi monitoring
continous-EEG (cEEG), kebanyakan kejang yang terjadi pada pasien kritis adalah non-
konvulsif dan tidak dapat dikenali tanpa cEEG (jelas pula keadaan kejang non-konvulsif
ini berhubungan dengan prognosis yang buruk). Dengan kemajuan yang dicapai dalam
bidang komputer digital, maka rekaman EEG yang konvensional dan analog, dapat di-
konversikan menjadi suatu EEG yang digital yang juga disebut sebagai CEEGRAPH
(computer EEG) . Dengan demikian dapat pula diukur pola listrik pada permukaan kulit
kepala dan dianalisa dengan tehnologi digital, sehingga pengukuran ini menggambarkan
secara primer, aktivitas listrik kortikal atau gelombang otak (brainwaves). Dengan
berhasilnya pengukuran pola listrik otak tersebut, maka timbullah istilah QEEG
(Quantitative EEG topography) dan dengan perekaman secara digital tersebut dapatlah
pula dibuat peta (mapping) yang merupakan gambaran topografis-neurofisiologis otak
dan disebut sebagai EEG Brain Mapping dan seringkali disebut sebagai sutau cermin
otak yang sejati (true brain mirror).
EEG Brain Mapping dapat membantu mengidentifikasi ciri ciri khas regional dari EEG
sehingga seringkali dapat mengidentifikasi ciri ciri halus yang hampir tidak akan tampak
dengan inspeksi visual tradisional poligraf EEG biasa. EEG Brain Mapping juga dapat
menolong dalam komunikasi dari ciri-ciri EEG dengan lokalisasinya, terutama berguna
untuk praktisi yang belum begitu ahli dalam membaca EEG. Kwantifikasi data EEG
membantu menentukan apakah beberapa ciri yang ditemukan memang benar derajatnya
abnormal. Dalam memproses data EEG secara digital juga dapat dihitung secara abstrak
ciri ciri yang tidak dapat di-visualisasi-kan.
EEG kwantitatif secara topografis (Quantitative EEG Topography / QEEG topography)
seringkali disebut sebagai topographic brain mapping atau topometric brain mapping
adalah suatu pemeriksaan yang mengukur pola listrik (electrical pattern) pada otak.
Beberapa gelombang otak ini terjadi dengan frekwensi yang lebih cepat (kecepatan
gelombang) dan beberapa terjadi dengan kecepatan yang lebih lambat.
Nama nama klasik dari gelombang EEG adalah DELTA, TETA, ALFA,
SENSORY MOTOR RYTHM (SMR) DAN BETA. Gelombang ini diidentifikasi
berdasarkan frekwensinya (siklus per detik / Hertz). Ada beberapa variasi dalam pendapat
tentang bagaimana cara yang terbaik untuk menggolongkan gelombang otak ini, namun
secara umum telah disetujui adalah dari yang lambat ke yang cepat dan gelombang otak
harus dibagi sbagai berikut :
* Gelombang DELTA (1-3Hz)

29
Adalah gelombang yang paling lambat dengan amplitudo yang paling tinggi dan
terutama ada sewaktu tidur atau berada dalam keadaan sensitif (emphatethic). Bila ada
gelombang delta secara berlebihan dalam keadaan bangun, maka artinya ada indikasi
adanya suatu disfungsi.
* Gelombang TETA (4-8Hz)
Adalah gelombang yang timbul bila sedang melamun atau berfantasi. Selain itu
kreativitas dan intuisi juga berhubungan dengan gelombang teta. Ini dapat terlihat
karena gelombang teta dapat timbul pada 2 keadaan. Gelombang teta pada frekwensi
rendah (4-5Hz) biasanya menggambarkan zona peralihan (twilight zone) antara bangun
dan tidur, yang merupakan keadaan yang tenang, damai, mengambang, dimana pada
keadaan ini tidak terjadi suatu aktivitas intelektual yang disadari dan ini juga
merupakan frekwensi yang diperlihatkan secara berlebihan pada anak-anak dan orang
dewasa dengan attention deficit hyperactive disorders (ADHD). Sebagai kontras,
maka gelomang teta dengan frekwensi yang lebih tinggi (6-8Hz) bila terlihat di
midline frontal merupakan suatu keadaan yang berhubungan dengan suatu perhatian
yang terpusat kedalam (highly inwardly focused problem solving), misalnya aritmatik
mental. Ini juga merupakan level pada waktu orang sedang masuk dalam suatu
hipnosis yang dalam atau sedang bermeditasi. Orang orang yang melakukan
swahipnosis (self hipnosis) dan orang orang yang mudah di hipnosis, termasuk
mediator, memproduksi lebih banyak gelombang 6-8Hz, baik dalam keadaan bangun
maupun dalam keadaan hipnosis.
* Gelombang ALFA (8-11Hz)
Adalah gelombang yang lebih besar dan berhubungan dengan keadaan relaksasi dan
secara mendasar merepresentasikan keadaan otak yang sedang masuk dalam keadaan
istirahat (idling gear), relaks dan tidak sibuk (disengaged) dan menunggu untuk
berespons, bila diperlukan. Apabila menutup mata dan mengkhayalkan sesuatu yang
mendamaikan, maka dalam setengah menit akan timbul suatu penambahan gelombang
alfa (increased alpha brainwaves). Gelombang alfa secara khas ada, bila sedang
merasa tenang, dan dalam posisi untuk merubah pikiran secara efisien dan efektif
untuk melakukan suatu tugas tertentu.
Walaupun idling ini adalah suatu fenomena yang menguntungkan untuk otak yang
relaksasi (idling brain), namun bila gelombang alfa menjadi terkunci (locked) dan
terinhibisi, maka partisipasi aktif dari area otak yang vital tidak bisa terjadi dengan
efisien. Lobus frontal adalah area yang paling sering terkena banjirnya gelombang alfa
secara berlebihan (flooding) dan non-reaktif (inhibisi). Otak memakai lobus frontalis
untuk atensi fokus diluar diri kita dan untuk mengerti kompleksitas dunia. Tidak jarang
ditemukan gelombang alfa di frontal dengan amplitudo yang tinggi, pada orang-orang
yang gagal secara akademis dan pada mereka yang mengalami kesukaran pada tugas
pekerjaan (job demands).
* Sensory Motor Rhythm (12-15Hz)
Adalah gelombang yang diukur diatas korteks sensorimotor dan merupakan gelombang
otak yang berhubungan dengan suatu kesadaran mental (mental alertness) dan siap
untuk bereaksi, dikombinasikan dengan sikap yang tenang (behavioral stillness).
* Gelombang BETA (18 Hz atau lebih)
Adalah gelombang otak yang kecil dan cepat, yang berhubungan dengan keadaan
aktivitas mental atau intelektual dan konsentrasi yang berfokus keluar (outwardly

30
focused concentration). Gelombang beta hadir, bila sedang berfikir, mengatasi
persoalan, memproses informasi atau sedang tidak tenang. Sebagai gelombang otak
yang cepat, maka gelombang beta memberi energi pada beberapa area di korteks. Bila
ada difisiensi gelombang beta, baik secara umum di semua tempat atau hanya pada
area area yang kecil, maka otak tidak mempunyai cukup energi untuk melakukan
semua tugas di kelas atau tempat kerja yang biasanya adalah tugas yang standar.

EEG konvensional dapat mendeteksi epilepsi, menentukan jenis epilepsi, dan berbagai
kelainan lain seperti tumor, stroke, abses, trauma kapitis, meningitis, ensefalitis dan
retardasi mental. QEEG dan Brainmapping dapat dipakai pada malformasi arterio-vena
dan juga pada narkolepsi dan koma, dan juga banyak dipakai untuk memonitor efek
withdrawal dari obat-obat psiko-aktif dan infeksi otak seperti meningitis, dan juga untuk
follow-up pada pasien yang mengalami operasi otak. Namun dengan analisa gelombang
otak secara digital (QEEG dan Brainmapping), dapat dinilai pula beberapa fungsi mental
melalui pengukuran dari jenis aktivitas gelombang otak. Dalam bidang psikiatri,
walaupun masih dalam fase penelitian, banyak dipakai untuk meng-identifikasi gangguan
dengan dasar biologis, seperti skizofrenia, demensia, hiperaktivitas, depresi, atrofi otak,
dan ADHD pada anak-anak.
Aktivitas gelombang otak me-refleksi keadaan arousal dari seseorang dan menunjukkan
pola yang jelas berlainan, tergantung dari apakah sedang dalam keadaan bangun, tidur
atau sedang melakukan suatu tugas yang kognitif.
Berdasarkan bukti ilmiah dari penelitian-penelitian dan uji klinis didapatkan bahwa sinyal
sinyal otak yang terekam, bukan hanya berhubungan dengan keadaan arousal, namun
juga dengan aspek kognisi dan emosi (afek).
Bila melihat kumpulan gejala dari sudut pandang cara otak memproses, maka kontribusi
dari setiap disfungsi otak seringkali dapat dilihat dengan jelas, misalnya : bila terlihat
gelombang lambat fokal (fokal slow waves / delta waves), maka seringkali ini merupakan
akar dari banyak gangguan belajar. Pada disleksia, akvitas otak yang lambat, dapat
ditemukan pada satu atau lebih area penting (key areas) dan ini dapat termasuk lobus
oksipitalis, area Wernicke, area Broca dan area sensorimotor.

Stimulasi Magnetik Transkranial (Transcranial Magnetic Stimulation / TMS)


Adalah merupakan suatu metode yang relatif baru untuk menstimulasi otak secara non-
invasif dengan tehnik penempatan koil kecil diatas kulit kepala dengan jalan memberikan
arus listrik bolik-balik yang cepat melalui kawat di koil tersebut, sehingga menimbulkan
suatu lapangan magnetik yang berjalan tanpa terhalang melalui kulit kepala TMS dapat
digunakan untuk memeriksa kecepatan hantar saraf, dengan jalan menstimulasi diatas
korteks motorik, sehingga menghasilkan suatu potensial cetusan otot di sisi kontralateral.
Manfaat TMS tidak hanya pada studi mengenai kortikal motorik namun juga pada daerah
kortikal lain, seperti : korteks visual, somatosensorik, parietal maupun frontal.
Pemeriksaan ini juga dapat memperkirakan progresivitas pada multipel sklerosis.
Akhir akhir ini TMS dipergunakan untuk terapi pada depresi, dengan jalan pemberian

31
ELEKTRONEUROMIOGRAFI PADA BRACHIALGIA DAN
ISCHIALGIA
Brachialgia dan ischialgia merupakan kasus, yang sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari dan di subbagian EMG FKUI/RSCM merupakan 8,1% (brachialgia) dan 16,4%
(ischialgia) dari seluruh kasus, yang diperiksa EMG (Wibowo et al, 1993)
Brachialgia umumnya ada hubungan dengan spondilopati servikal, distorsi medulla
spinalis servikalis dan khondrosis, sedangkan ischialgia biasanya disebabkan keadaan-
keadaan seperti spondilosis deformans, hernia nucleus pulposus, spondilosis lumbalis
serta spondilolistesis. (Takura et al. 1988)
Dalam bidang neurologi adalah penting untuk membedakan iritasi dari kompresi
radiks.Umumnya iritasi radiks diobati secara konservatif, sedangkan kompresi
radiks memerlukan tindakan operatif.

Sindrom radiks servikal


Di daerah servikal lebih sering dijumpai suatu gangguan yang disebabkan suatu
spondylosis daripada suatu discus prolaps.
Diskus prolaps servikal 100x lebih jarang daripada di daerah lumbal dan umumnya
terjadi pada suatu trauma kepala dan leher terutama pada suatu “whiplash trauma”,
dimana selalu terjadi suatu tortikollis akut dengan suatu posisi kepala yang terpaksa
(Zwangshaltung) dengan disertai suatu kerusakan radiks yang akhirnya menjadi keluhan
brachialgia sampai suatu sindrom meduler (sindroma arteri spinalis anterior), tergantung
letak prolaps.
Kadang-kadang bisa terjadi akibat massage/ pijat tradisional pada puntiran kepala.
Yang paling sering dijumpai ialah sindrom radiks servikal pada spondilosis servikalis,
terbanyak antara C5-C6 (sindrom C6) dan
antara C6-C7 (sindrom C7)
Gejalanya umumnya tak akut/mendadak tatapi biasanya terjadi dalam beberapa hari
dengan adanya sakit pada tengkuk dan tortikollis disertai dengan suatu “Shoulder-Arm
Syndrome” yang terlokalisir atau dengan parestesi yang sifatnya khas radikuler.

Sindrom radiks torakal


Sindrom radikuler didaerah torakal umumnya jarang dan bila ada umumnya bukan
disebabkan oleh suatu spondylosis.
Penyebabnya seringkali dipikirkan kearah permulaan Herpes Zoster (simptom nyeri
radikulernya) serta penyakit-penyakit dalam bidang interne atau tumor-tumor intraspinal.

Sindrom radiks lumbal.


Sebagian terbesar dari sindrom ischialgia ialah suatu radiks ischialgia yang disebabkan
oleh suatu discus prolaps lumbal.
Anamnestis umumnya sering disebabkan oleh :
 Suatu trauma sewaktu mengangkat suatu beban yang berat
 Sewaktu membuat suatu gerakan yang mendadak, yang tak terkontrol
 Atau lebih jarang lagi pada suatu trauma langsung pada punggung.
Seringkali sebelumnya telah ada riwayat lumbalgia dan ischias.
Biasanya dimulai dengan :

32
Suatu rasa nyeri yang menusuk dan mendadak (Hexenshuss/lumbago) atau nyeri
lumbal yang makin lama makin menghebat, dengan disertai dengan pengahambatan
pergerakan dan nyeri yang timbul pada batuk dan mengejan.

Laseque pada fase ini biasanya sudah positif.


Lalu bisa disusul dengan suatu sindrom radikuler yang khas. Nyeri terasa di bagian
dorsalis tungkai bawah (L4).
Umumnya pada hernia yang letaknya setinggi ini, akan terletak jauh di lateral sehingga
seringkali deteksi dengan mielografi tak terlihat. Laseque negative, sedangkan Laseque
terbalik positif.
Yang paling sering terkena radiks L5 dan S1.
Suatu prolaps ke dalam lubang kanalis vertebralis yang letaknya jauh ke lateral dapat
menyebabkan penekanan pada radiks di atasnya, sehingga suatu diskus prolaps L5-S1
yang letaknya lateral bisa menunjukkan gangguan pada L5
Perlu disebutkan bahwa radiks L5 biasanya menunjukkan suatu prolap pada discus L4-5,
sedangkan radiks S1 ke suatu prolap pada discus vertebra L5-S1. Ini merupakan suatu hal
yang perlu diperhatikan dengan jelas, bila membaca laporan atau kepustakaan, apakah
yang dimaksud dari pustaka tersebut.
Para ahli bedah orthopedik akan menyebutkan, bahwa yang terbanyak adalah HNP
pada discus L4-5, sedangkan hasil EMG akan menunjukkan suatu kompresi radiks
L5-S1.
Suatu hernia yang menembus ligamentum longitudinalis posterior ke dalam kanalis
vertebralis bisa menyebabkan suatu gangguan pada beberapa radiks dengan membuat
suatu sindrom kompresi pada cauda equina dengan paraplegi dan gangguan neurologi
lainnya, yang disebabkan oleh suatu hernia discus lumbalis..
Perlu disebutkan, bahwa bila terjadi kompresi radiks yang berkepanjangan, rasa nyeri
dapat menghilang, karena kerusakan serabut-serabut saraf untuk nyeri. Bila terjadi hal
seperti ini, maka tidak boleh diartikan bahwa telah terjadi penyembuhan. Harus dicari
dahulu apakah masih ada tanda -tanda kompresi lain (parese, atrofi otot & gangguan
mictio), apabila masih ada maka sudah pasti belum terjadi penyembuhan. Keputusan
terapi untuk kompresi radiks seperti ini, adalah operasi.
Pemeriksaan EMG terutama ditunjukkan untuk menentukan letak lesi (level), serta
menentukan apakah terdapat suatu iritasi radiks atau kompresi radiks, karena
penatalaksanaannya akan berbeda.

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Sebaiknya dilakukan anamnesa serta pemeriksaan klinis neurologis yang seksama
terlebih dahulu.
Analisa dari anamnesa dan pemeriksaan klinis neurologis dapat mengidentifikasi dan
menentukan lokalisasi gangguan radiks yang bersangkutan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
 Bentuk kolumna vertebralis dan posisi pasien.
 Menghilangnya lordosis dan timbulnya skoliosis
 Pembatasan gerakan kolumna vertebralis yang dapat terlihat dari :

33
 Indeks schober yang menurun : pembesaran jarak antara proc. spinosus L5
dengan suatu titik yang terletak 10 cm diatasnya, bila pasien disuruh
membungkuk secara maksimal. (normal 10-15cm)
 Bila membungkuk : jarak antara jari ke lantai membesar.
 Pembatasan gerakan sewaktu posisi tidur dengan kecenderungan untuk
tidur pada posisi miring.
 Nyeri tekan atau nyeri ketok pada kolumna vertebralis dan titik tekan
paravertebral
 Ketegangan m erector trunci
 Bentuk m gluteus dengan memperhatikan tonus otot-otot gluteus (parese m
gluteus maximus pada kompresi S-1)
 Tropik dari ektremitas bawah dengan mengukur diameternya.
 TandaLlaseque
Tanda Laseque terbalik : dijumpai pada kompresi radiks lumbal yang tinggi
 Tanda Laseque silang : nyeri pada sisi terkena, bila tungkai sisi lain dinaikkan
dalam posisi diluruskan
 Tanda Neri : bila membungkuk ke depan, maka secara reflektoris lutut bertekuk
pada sisi terkena
 Nyeri tekan pada pangkal ischiadicus (Valleixsche Druckpunkte) sampai ke tendo
achilles
 Gangguan motorik :
parese dorsofleksi dari jempol kaki pada sindroma L5
kelemahan plantarfleksi kaki pada sindrom S1
kelemahan m quadriceps pada sindrom L4/3
 Gangguan refleks :
penurunan atau menghilangnya refleks tumit pada sindrom S1 atau
penurunan refleks lutut pada sindrom L4/3
 Gangguan sensibilitas sesuai dermatom yang terkena
Pemeriksaan Tambahan :
 Pemeriksan foto Rontgen biasanya memperlihatkan posisi yang tegang, kadang-
kadang terlihat skoliosis dan bisa terjadi jarak intervertebralis yang mengecil.
 Bila ada indikasi untuk operasi, maka perlu dilakukan suatu radikulografi dengan
jalan membuat suatu mielografi dengan mempergunakan kontras yang larut dalam
air.
Pemeriksaan tambahan ini perlu dilakukan bila ada indikasi / keraguan oleh
karena pada 10 -25% kasus yang secara anatomis terdapat suatu HNP, tak terlihat
dengan mielografi dan pada 10% kasus terlihat suatu hasil yang “false positive “
Pada akhir-akhir ini dapat dilakukan dengan alat-alat yang lebih canggih, berupa
CT-Scan, CT-mielo ataupun MRI
 Pemeriksaan elektromyografi (EMG)
Dalam bidang neurologi, pemeriksaan elektrofisiologis pada umumnya, dan
neurofisiologis khususnya dapat dipakai untuk pemeriksaan-pemeriksaan pada
brachialgia dan ischialgia.
Tidak boleh dilupakan, bahwa pemeriksaan neurofisiologis merupakan kelanjutan
dari pemeriksaan neurologis klinik, sehingga hasil dari pemeriksaan
neurofisiologis harus dilihat saecara keseluruhan bersamaan dengan pemeriksaan

34
klinis dan tes-tes diagnostik lain, untuk tiba pada suatu kesimpulan yang
bermakna.

Pemeriksaan NEUROFISIOLOGIS yang dapat dilakukan pada sindroma radiks servikal


dan lumbal adalah :
1. EMG ELEMENTER (EMG KONVENSIONAL/ELEKTROMIOGRAFI KLINIK):
Pada pemeriksaan ”motor unit potentials” (MUP) pada iritasi radiks terlihat potensial
potensial dengan :
 Amplitudo yang membesar
 Duration yang melebar serta
 Polifasik
Pada otot-otot segmen bersangkutan
Pada suatu kompresi radiks, hal diatas ditambah dengan adanya fibrilasi dan/atau
positive sharp waves (PSW) pada otot-otot segmen bersangkutan atau di otot-otot
paravertebral atau interspinal/ paraspinal.
2. ELEKTRONEUROGRAFI :
Stimulasi listrik yang diberikan secara artifisial pada saraf perifer untuk mengukur
kecepatan hantar Saraf/KHS (= Nerve Conduction Velocity/NCV) motorik dan
sensorik, F-wave, dan H-refleks.
Biasanya KHS/NCV tetap normal, namun ada penyelidik yang berpendapat, bahwa
bisa terjadi suatu penurunan KHS yang ringan, bila terdapat kerusakan akson yang
banyak (Ludin, 1980), (Eisen, 1988)
Juga walaupun ada gangguan sensibilitas dapat diharapkan KHS sensorik yang
normal, karena lesi radiks terletak proksimal dari ganglion spinalis.
H-refleks juga dapat digunakan pada sindroma radiks.
Menghilangnya H-refleks sesisi atau beda kanan-kiri
 1,5 mS menunjukkan adanya suatu kompresi radiks. (Kimura, 1983)
3. Pemeriksaan POTENSIAL CETUSAN SOMATO-SENSORIK (PCSS)
SOMATO-SENSORY EVOKED POTENTIALS (SSEP)
Untuk lesi-lesi yang letaknya lebih proksimal, sepanjang jarak somato-sensorik.

EMG pada SINDROMA RADIKS


Pada sindroma radiks, EMG dapat membantu dengan membantu menentukan :
 Lokalisasi (level) dengan jalan menemukan potensial-potensial yang polifasik pada
miotoma/segmen yang terkena.
 Membedakan lesi radiks/ pleksus dan saraf perifer
 Membedakan iritasi radiks dengan kompresi radiks.
Pada iritasi radiks ditemukan potensial-potensial polifasik.
Pada kompresi radiks, selain potensial-potensial yang polifasik, juga ditemukan
aktivitas volunter berupa fibrilasi pada miotoma yang bersangkutan atau pada otot-
otot paravertebral atau interspinal. (Ludin, 1980), (Kimura, 1983), (Wibowo et.al.,
1978, 1989)

35
LIMITASI pemeriksaan EMG pada sindroma radiks :
Harus diketahui, bahwa sindroma radiks baru terdeteksi pada EMG 2 -3 minggu
setelah terjadi lesi, namun fibrilasi pada otot-otot paravertebral dan interspinal dapat
dijumpai sebelum jangka waktu itu. (karena jaraknya yang pendek, timbulnya lebih
cepat)
(Shahani et al., 1987)
Dengan demikian pemeriksaan EMG sebaiknya baru dilakukan setelah 2 minggu,
karena fibrilasi juga baru timbul dalam 2-3 minggu setelah terjadi lesi pada serabut
syaraf.
Juga pada otot-otot paraspinal masih terlihat adanya fibrilasi dan ”positive sharp
waves” (PSW) selama 1 tahun postoperasi sebagai akibat langsung dari operasi.
(Blom & Lemperg 1967, Mach 1951)
Tetapi bila setelah 1 tahun post-operasi masih ada fibrilasi yang jelas diberbagai
tempat, maka dapat dianggap adanya penekanan radiks yang baru lagi.
Kesukaran diagnostik topis pada lesi radiks disebabkan, karena praktis tiap otot
diurus oleh beberapa segmen, sedangkan tiap segmen juga mengurus beberapa otot.
Juga sering terdapat banyak varian-varian individuil dari persarafan segmental
tersebut..
Maka perlu dilakukan pemeriksaan berbagai otot dari segmen tertentu yang klinis
diduga terkena serta otot-otot dari 1 segmen lebih tinggi serta lebih rendah untuk
membatasi kelainan-kelainan yang ditemukan.

NILAI PEMERIKSAAN EMG


Pemeriksaan EMG pada diagnostik lesi radiks dinilai berlainan oleh berbagai ahli
syaraf dan ahli bedah syaraf.
Ada yang menganggap nilai EMG sama dengan nilai mielografi.
Jelas bahwa pemeriksaan EMG adalah NON-INVASIF dan dapat menunjukkan
adanya suatu gangguan fungsional, yaitu keadaan elektrofisiologis.
Sedangkan pada mielografi kelainan langsung dapat terlihat dan
menggambarkan keadaan morfologis/anatomis.
Kaeser (1963 & 1965), Khuttson (1961) & Krott et al (1969) mengemukakan nilai
diagnostik EMG yang kurang lebih sama jitunya dengan mielografi pada sindrom
radiks lumbal. (in Ludin, 1980)
Karena anatominya maka pada pemeriksaan EMG perlu diperiksa berbagai otot.
Pokoknya ialah mencari fibrilasi/denervasi (=AKTIVITAS SPONTAN) serta
pemeriksaan ’ recruitment pattern” dan ”motor unit potentials ” (MUP) pada aktivitas
volunter.

PEMERIKSAAN OTOT2 PARAVERTEBRAL / INTERSPINAL/ PARASPINAL


Dengan pemeriksaan otot-otot paraspinal, maka dignosa lesi radikuler dapat lebih
diperkuat.
Sebagian besar otot-otot ini diurus oleh ramus dorsalis dari radiks anterior yang
bersangkutan.
Suatu kelainan di otot-otot paraspinal bersamaan dengan kelainan-kelainan di otot-
otot dari segmen yang sama di extremitas hanya bisa terjadi pada suatu gangguan
radiks.

36
Kebanyakn dari otot-otot paravertebral ini, terutama m. Multifidus, adalah
plurisegmental..
Dengan demikian otot ini tak menunjukkan segmentasi yang tepat.
Krott (1968) dan Steudemann (1968) mengemukakan bahwa terdapat otot punggung
yang halus dan autochthon yang dipersarafi secara monosegmental oleh ramus
dorsalis dari saraf-saraf spinal dan yang tidak menunjukkan varian-varian anatomis
yaitu mm. Inter-Spinal Cervicis & Lumborum.
Pada sindrom radiks lumbal, Krott (1968) mengemukakan hasil-hasil yang
meyakinkan pada pemeriksaan mm. Interspinal lumborum yang juga dipersarafi
secara monosegmental.
Kesukaran-kesukaran yang harus diperhatikan pada pemeriksaan otot otot paraspinal
ini ialah, pasien yang sedang diperiksa seringkali tidak dapat relax, sehingga kadang-
kadang sukar melihat aktivitas spontan diantara potensial-potensial volunter.
Ini biasanya dapat diperbaiki dengan memperbaiki posisi pasien.
Pada hernia diskus lumbal maka ketepatan EMG umumnya lebih besar daripada yang
letaknya di servikal.
Kaesar (1963) setelah memeriksa 400 kasus mengemukakan nilai yang sama dari
hasil EMG dan mielografi pada diagnosa sindrom radiks lumbal.
Knuttson (1961) yang memeriksa 182 pasien mengemukakan 78% ketepatan EMG
dan 75% pada mielografi.
Despland et al (1974) mengemukakan ketepatan diagnosa tofografis EMG 80% yang
diperkuat dengan hasil pasca operatif.
Kelemahan EMG terletak diperalihan thorakolumbal, karena untuk L1 tak ada otot
yang sesuai.
Otot-otot yang lazim diperiksa adalah :
(Biasanya diperiksa beberapa otot, yang dapat menggambarkan keadan radiks
dengan lengkap):
m. levator scapulae C 3, 4, 5
m. rhomboideus C 4, 5
m. infraspinatus C 4, 5, 6
m. deltoideus C 5, 6
m. biceps & brachialis C 5, 6
m. brachioradialis C 5, 6
m. triceps C 6, 7, 8
m. ext. carpi rad. long C 6, 7, (8)
m. ext. carpi rad. brev C 6, 7, (8)
m.abd. poli. brev C 7, (8)
m. hypothenar C 8, Th 1
Otot-otot interspinal/ paravertebral : (sesuai segmennya)
m. iliopsoas L 1, 2, 3, 4
m. quadriceps fem. L 2, 3, 4
m. tibialis ant. L 4, 5
m. ext. hallucis. long L (4), 5, (S1)
m. peroneus long. L (4), 5, S 1
m. ext. digit. brev. L (4), 5, S 1
m. gastrocnemius L 5, S 1, 2

37
m. soleus L 5, S 1, 2
m. tibialis post. L 5, S 1
m. filex. Hallucis brev. L 5, S 1, 2
otot-otot interspinal/ paravertebral : sesuai segmennya.
(disadur dari Schwabe dalam : Mumenthaler, 1983).
H-REFLEKS
Selain polifasi dan fibrilasi, H-refleks juga dapat digunakan :
 H-refleks yang ditimbulkan dari :
m. triceps surae berasal dari radiks S1
m. extensor digitorum longus berasal dari radiks L5
Dengan demikian H-refleks dapat dipakai untuk :
 Membedakan radikulopati L5 versus S1
 Membedakan iritasi dan kompresi radiks
Diduga ada KOMPRESI RADIKS bila :
 H-refleks hilang sesisi atau
 Beda kanan-kiri 1,5 mdetik. (Kimura, 1983)
 Kimura (1983) mengemukakan angka-angka normal H-refleks sbb. :
 Masa laten : 29,5  2,4 mdetik
 Beda kanan/kiri : 0,6  0,4 mdetik
 Amplitudo : 2,4  1,4 mV
 Beda kanan/kiri : 1,2  1,2 mV

F-WAVE
 F-wave menggambarkan keadaan konduksi motorik dari sauatu bagian proksimal
saraf
 Karena variasi dari konfigurasi dan masa laten-nya besar, maka kurang begitu akurat
pengukurannya, namun tetap merupakan suatu suplemen yang berguna untuk
mendukung penilainan KHS konvensional, terutama dari bagian proksimal.
 Dapat membandingkan keadaan segmen proksimal dengan distal
 Mencerminkan keadaan eksitabilitas motor neuron.
(Kimura, 1983
 F-wave dapat ditimbulkan pada hampir setiap otot skelet orang dewasa.
 Nilai normal masa laten F-wave adalah :
Untuk m. abductor policis brevis : 26,2  1,5 mdetik
m. extensor digitorum brevis : 46,8  2,9 mdetik
(Shahani et. Al. , 1987)
Jelas bahwa pada lesi radikuler terutama lumbal pemeriksaan EMG sangat besar
kegunaannya dalam penentuan diagnosa serta lokalisasi secara topografis

Diagnosa diferensial perlu dilakukan dan pemeriksaan EMG juga harus membantu untuk
menyingkirkan hal-hal lain tsb.

DIAGNOSA DIFERENSIAL PADA SINDROM RADIKS SERVIKAL


Umumnya terutama dengan suatu lesi radiks, yang bukan disebabkan oleh suatu
spondylosis, misalnya :
 Tumor radiks

38
 Avulsi radiks traumatis
 Pleksus neuritis
 Sindrom carpal-tunnel
 Sindrom skalenus
 Neurologis rheumatologis
DIAGNOSA DIFERENSIAL PADA SINDROM RADIKS LUMBAL
 Tumor
 Fraktur
 Paresis pleksus (plexus parese)
 Paresis n. Peroneus
 Neuropati diabetika
 Gangguan vaskuler pada a. Iliaca & cabang-cabangnya dan
 Spondilosis lumbalis

TERAPI pada IRITASI RADIX


 Tirah baring pada alas yang rata dan keras
 Pemberian terapi dengan analgetika, anestesi lokal, obat-obat relaxan otot dan
dapat juga diberikan obat-obat ANSAID untuk mengurangi inflamasi dan nyeri.
Kortikosteroid dapat dipertimbangkan
Metilkobalain inyeksi merupakan suatu terapi alternatif untuk menaggulangi
nyeri, rasa tebal (numbness) dan hipertesia.
(Yasuda et al. 1988)
 Fisioterapi perlu juga diberikan, berupa traksi servikal maupun lumbal, massage
dan UKG
 Dapat dianjurkan pemakaian korset pada LBP, dan Camp Collar pada yang
lokalisasinya di servikal.

Indikasi operasi : ialah bila ada KOMPRESSI RADIX, yang gejala-gejala sbb :
 Indikasi operasi cito ialah suatu prolaps dengan paraparesis (kompresi radiks)
 Adanya gangguan mictio
 Juga pada paresis motorik yang timbulnya akut dan relevant
 Bila setelah 6-8 minggu Th/ konservatif masih terdapat keluhan dan gejala-gejala
yang relevant
 Atau pada residif yang berkali-kali dengan gejala-gejala yang jelas.
 Bila dengan pemeriksaan EMG dari otot-otot segmen yang bersangkutan atau
otot-otot paraspinal atau paravertebral ditemukan adanya denervasi/fibrilasi yang
menunjukkan adanya suatu kompresi radiks.
Perlu disebutkan bahwa pada keadaan-keadaan diatas ini dan bila pasien mau
dioperasi, maka perlu dilakukan suatu mielografi/ CT-mielo/MRI pre-operatif

Prognosa pada hernia diskus yang dioperasi :


Pada 2/3 kasus prognosa baik dan pada 10% hasil tak memuaskan.
Yang jelek prognosanya umumnya pada trauma pada pekerjaan dan bila
preoperatif gejala sudah ada lebih dari 1 tahun dengan perubahan-perubahan
arthrotis yang jelas, misalnya anomali lumbosakral

39
KEPUSTAKAAN
1. Araksi s, Uchino Ikegawa S, Sato H. :
In Rose FC (eds) Clinical experiences with Eperisone hydrochloride in
muscle contraction headache.
Advances in headache research, John Libbey & Co ltd, 1987: 263-269.
2. Dyck, P.J. ; Low, P.A & Stevens, J.C. : Diseases of Peripheral Nerves in Clinical
Neurology. Ed. Baker, A.B.. & Joynt, R.J., Harper & Row., Philadelphia,
1987: 51 : 1-108
3. Eisen A. : Radiculopathy.
Annual Course Clinical EMG # 211
American Academy of Neurology, 1988.
4. Fielda, L. H. : Introduction in Pain Syndromes in Neurology.
Ed. Fields, L.H. , Butterworths., London Boston
Singapore-Sydney-Toronto-Wellington, 1990 : 1 – 18.
2. Janka, H. U. : Pharmakologie und klinische Anwendung hochdosierter vitamine.
Steinkopff Verlag, Darmstadt, 1991.
3. Kimura J. : The F-wave
The H-refleks and other late responses. In :
Electrodiagnosis in deseases of nerve & muscle.
Principles & Practice.
Philadelphia : Davis FA, 1983: 323 – 52, 353 – 78, 379 – 98.
4. Ludin HP.: Radicular Lesions
Normal Values
Electromyography in Practice.
Stutgart : Georg Thieme Verlag, Thieme-Stratton Inc.,1980 : 78 – 81, 124
– 50
5. Mardiono, M. :Mas’ud, H.I.H. ; Wibowo, S.; Soemarmo, M. & Soemargo S. :
Intramuscular Methycobalamin injections in
Neuropathy-related pain : a double blind study.
Satellite symposium : New Aspects in the treatment
of sceletal muscle spasm and neuropathy related pain
kongres IDASI, Okt 1990, Yogya.
6. Misbach, H.J. : Aspek Neurologik Sindroma Nyeri.
Pendekatan Rasional Sindroma Nyeri.( Nov. 1992)
7. Mumenthaler M. : Polineuropathies in : Neurology,
Georg Thieme Verlag, Thieme Inc. :
Stuttgart-New York, 1983 : 370 - 388
8. Mumenthaler M. : Spinal Radicular Syndromes. In :Neurology.
Stuttgart : Georg Thieme Verlag, Thieme Inc.,
1983: 357 – 67
9. Poeck, K. : Polineuritis und Polineuropathie in : Neurologie.
Springer Verlag Berlin – Heidelberg – New York.,
1974: 325 -341
10. Reiners, K.K. : Causes and therapy of peripheral neuropathies.
Pendekatan Rasional Sindroma Nyeri. (Nov, 1992).

40
11. Shahani BT, Young RR. :
Clinical Electromyography
Clinical Neurology.
Baker AB, Joynt RJ, eds. Vol 1, chapter. 6
Philadelphia: Harper & Low Publ. , 1987 : 1 – 51.
12. Sobue, I. : Recent research trends in peripheral neuropathies
In Japan in : Peripheral Neuropathy.
International Congress Series 662.
Excerpta Medica, 1983: 1 – 9
13. Takakura Y, Mitsui M, Iwasaki H, Tamai S, masuhara K. :
Comparative Cliniacal Trial on Clinical Efficacy of
Myonal alone or in Combination with an Analgesic
Agent in the field of Orthoepedic Surgery.
The Clinical Report, 1987: vol. 22, 7: 485.
14. Thomas, P.K. : The differential diagnosis of peripheral neuropathy
Course on Peripheral Neuopathies.
40th Annual Meeting of the American Academy of Neurology,
Cincinnaty, USA, 1988.
15. Wibowo S, Utama J, Santoso D, Moeliono F. :
Sindroma radiks : Segi klinik, EMG serta pelaksanaannya.
Bulletin PNPNCH 1978: 5, No. 3-4
16. Wibowo S, Moeliono F & Utama J. :
Laporan tahunan EMG FKUI/RSCM, 1993
17. Wibowo S, Mardiono M, Mas’ud HIH, Soemargo S, Liman J, Sukono D, Susety D. :
Low Back Pain & Pirprofen
Simposium Nyeri Anggota Gerak.
PABOI, Surabaya, November, 1989.
18. Wibowo S, Moeliono F., Utama J.,Soemarmo M. :
Peranan elektrofisiologi dalam diagnostik gangguan neurogen perifer.
In : Soedomo H, ed.
Gangguan Gerak.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1990 : 123 – 52
19. Wibowo S. : Dasar-dasar Aplikasi Klinis EMG.
Simposium berkala Neurona
Neurona, 24 July, 1991
20. Wienrich, M. : Functional implications for the presence of
thiamine in the nerve cell membrane.
Pendekatan Rasional Sindroma Nyeri. (Nov, 1992)
21. Yasuda, H. : Medical Consultant & New Remedies.
1988 : 25 (11), 2375.
22. Zimmerman, M. : The Neurobiology of Pain Mechanisms of B-Vitamin Action.
Pendekatan Rasional Sindroma Nyeri. (Nov, 1992)

41

You might also like