Professional Documents
Culture Documents
TUJUAN KHUSUS
1. Mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam mengenai penyakit terutama dari
aspek ilmu-ilmu dasar neurofisiologi klinis untuk melaksanakan kegiatan promosi,
prevensi, kurasi, rehabilitasi dan kegawat daruratan
2. Memiliki pengetahuan mendasar untuk melakukan analisis penyakit secara klinis,.
komunitas maupun science, dan mempunyai ketrampilan mendiagnosis melalui
pemeriksaan neurofisiologi klinis sehingga dapat mengobati penderita dengan
lebih baik
3. Berpartisipasi aktif untuk mengembangkan pengetahuan dan mempunyai
ketrampilan dalam penerapan ilmu neurofisiologi klinis pada penderita yang
memerlukan pertolongan
4. Dapat bekerja sama dengan profesi lain demi kepentingan pasien dan ilmu
pengetahuan, khususnya bidang neurofisiologi klinis
5. Mampu menerapkan prinsip-prinsip dan metode berfikir ilmiah dalam menerapkan
pengetahuan keilmuan, khususnya bidang neurofisiologi klinis
6. Mampu mengenal, merumuskan pendekatan, penyelesaian dan menyusun
prioritas masalah neurofisiologi klinis dengan cara penalaran ilmiah, melalui
perencanaan, implementasi dan evaluasi terhadap upaya promotif, preventif,
kuratif, rehabilitatif, dan kegawat daruratan
7. Mampu menangani kasus kasus dengan kemampuan profesional yang tinggi
melalui pendekatan Evidance Based Medicine
8. Mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian dasar, klinis dan lapangan
tentang neurofisiologi klinis serta mempunyai motivasi mengembangkan
pengalaman belajar sehingga dapat mencapai tingkat akademis lebih tinggi
9. Bersifat terbuka, tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu dan tehnologi
atau masalah yang dihadapi masyarakat
REFERENSI
Buku Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf,
Kolegium Neurologi Indonesia (KNI), PERDOSSI, 2006
Aminoff J.M. Electromyography in Clinical Practice. Clinical and
Electrodiagnosic Aspects of Neuromuscular Disease. 3rd ed, 1998
Levin and Luders. Comprehensive Clinical Neurophysiology, 2000
Kimura J. Electrodiagnois in disease of Nerve and Muscle. Principles and
Practice, 2001
Delisa JA, cs. Manual of Nerve Conduction Velosity and Clinical
Neurophysiology. 3rd ed, 1994
1
Shin J Oh. Electromyography. Neuromuscular Transmission Studies, 1998
Stalberg E. Clinical Neurophysiology of Disorders of Muscle and Neuromuscular
Junction, including Fatique. Vol.2, 2003
The Cleveland Clinic Foundation. Comprehensive Clinical Neurophysiology.
Vol 1 and Vol.2, 2001
KOMPETENSI
Setelah menyelesaikan modul Neurofisiologi Klinik ini, diharapkan para peserta didik
memiliki kompetensi menyeluruh (kognitif, psikomotor dan afektif) dalam Neurofisiologi
Klinik (ENMG, EP, EEG, Brain Mapping, P300) yang meliputi aspek teknologi
komputer, prosedur pemeriksaan, human functional anatomy, indikasi pemeriksaan, cara
melakukan pemeriksaan, membuat laporan pemeriksaan dan menginterpretasi hasil
pemeriksaan. Pencapaian kompetensi ini diselaraskan dengan prinsip kompetensi (Bab II
hal 2-6) dan ruang lingkup kompetensi (Bab II, no 9) yang tercantum dalam Standar
Kompetensi Dokter Spesialis Saraf tahun 2006. Indikator hasil pembelajaran yang
diharapkan setelah menyelesaikan modul ini tercantum di dalam Standar Kompetensi
Dokter Spesialis Saraf halaman 80-81 (EEG, Brain Mapping dan ENMG) dan halaman
87 (Evoked Potential).
GAMBARAN UMUM
Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan praktik
ketrampilan dalam hal pemeriksaan Neurofisiologi Klinik secara komprehensif dengan
memperhatikan azas cost-effectiveness dan evidence based medicine, melalui pendekatan
pembelajaran berbasis kasus (case-based learning). Subyek yang dipelajari secara
mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah kasus kasus yang sesuai untuk mempelajari
pemeriksaan Neurofisiologi Klinik, termasuk EEG, ENMG, Evoked potensial – Event
Related Potential/P300).
TUJUAN PEMBELAJARAN
* Mengidentifikasi gejala klinis dan mengindikasikan kepentingan pemeriksaan
Neuro Fisiologi Klinik
* Menjelaskan prosedur pemeriksaan Neuro Fisiologi Klinik sesuai dengan diagnosis dan
indikasi
* Melakukan pemeriksaan Neuro Fisiologi Klinik secara efektif
* Menginterpretasi hasil pemeriksaan NeuroFisiologiKlinik (kemampuan pendekatan
diagnostik)
* Menjawab konsultasi dan memberikan laporan hasil pemeriksaan NeuroFisiologiKlinik
* Membuat keputusan diagnostik yang benar sebagai dasar untuk pemberian terapi yang
tepat
* Memperhatikan dan mempertimbangkan analisis risiko dan biaya yang ditanggung oleh
pasien
* Mempelajari Neuro Fisiologi Klinik secara konsisten dan mandiri (life long learning)
untuk meningkatkan kompetensinya sehingga menjadi mahir
2
RANGKUMAN
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara:
Kemampuan identifikasi gejala klinis untuk menelaah indikasi pemeriksaan
Neurofisiologi Klinik
Kemampuan menjelaskan prosedur, melakukan pemeriksaan Neurofisiologi
Klinik dan menginterpretasikan hasil serta menjawab konsultasi dan memberikan
laporan hasil pemeriksaan sesuai dengan diagnosis dan indikasinya
Mampu membuat keputusan diagnostik dan diagnosis banding yang benar
sebagai dasar untuk pemberian terapi yang tepat
Mampu memprakirakan prognosis sehingga dapat menyususn anjuran dan edukasi
untuk pasien dan keluarganya
b. Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan (dengan daftar tilik)
Hasil kuesioner (nilai)
Hasil penilaian peragaan ketrampilan (dengan daftar tilik)
c. Instrumen pengukuran kompetensi kognitif
Kuesioner sebelum sesi dimulai
Kuesioner tengah pelatihan / kegiatan
d Penilaian kinerja pengetahuan (ujian akhir):
Instrument pengukuran kompetensi psikomotor: penuntun kinerja dan daftar tilik
e. Daftar peralatan yang diperlukan
Alat ElektroNeuroMioGrafi (ENMG)
Alat Evoked Potential (Visual Evoked Potential / VEP
Somasosensory Evoked Potential / SSEP, BrainAuditory
Evoked Potential / BAEP, Event Related Potentials / ERP – P300)
Alat ElektroEnsefaloGrafi (EEG) dan Brain Mapping
Status pemeriksaan Neurofisiologi Klinik
MATERI BAKU
NEUROFISIOLOGI KLINIK DALAM APLIKASI DIAGNOSTIK
3
Jaringan otot yang mengalami kerusakan, akan melepas enzim ke dalam jaringan,
dan kerusakan otot ini dapat direkam oleh alat elektromiografi tersebut.
Pada penyakit otot primer, menunjukkan adanya peningkatan aktivitas insersi,
pelepasan miotonik dan pseudomiotonik. Jejas saraf primer ini dapat menyebabkan lesi
neurotmesis dan aksonotmesis yang akan menjadi degenerasi Wallerian, dan pada EMG
akan tampak gambaran fibrilasi dan gelombang positif tajam (positive shrap waves) yang
patognomonis untuk suatu gangguan pada saraf perifer.
Untuk menentukan adanya suatu gangguan neurogen perifer dan muskuler,
diperlukan pemeriksaan dengan elektrode jarum, yang agak nyeri, namun dengan
kemajuan tehnik pembuatan jarum yang canggih, saat ini telah hadir jarum yang kecil,
sehingga penetrasi oleh jarum tidak terlalu nyeri lagi.
Dari EMG elementer, yang harus dilakukan dengan suatu elektrode jarum, dapat
ditentukan adanya gangguan neurogen atau miogen dan dapat ditentukan kelainan
motorneuron, radiks, pleksus, saraf perifer dan otot. Diperlukan kooperasi pasien untuk
pemeriksaan EMG elementer ini.
Pemeriksaan EMG ini untuk mengukur aktivitas otot skelet selama istiahat dan
kontraksi otot volunter. Pola dari kontraksi volunter ini, juga harus ditentukan yang akan
berguna dalam penentuan beratnya kelainan dan selanjutnya dapat diukur kecepatan
hantar saraf (KHS) / elektroneurografi (ENG).
ElektroNeuroGrafi (ENG) adalah stimulasi listrik yang diberikan secara artifisial
pada saraf perifer untuk mengukur Kecepatan Hantar Saraf (KHS) atau disebut juga
Nerve Conduction Velosity (NCV) motorik dan sensorik, F-wave, H-refleks, Blink-refleks
dan lain-lainnya.
Pemeriksaan KHS dilakukan dengan memberikan suatu stimulus listrik pada saraf
perifer, sehingga menimbulkan suatu kontraksi otot. Impuls tersebut dapat direkam, dan
masa latennya dapat diukur yang selanjutnya dapat menghitung kecepatan hantar
sarafnya. Bila ada kelainan, maka itu merupakan indikasi adanya kerusakan saraf perifer,
terutama gangguan integrigas dari mielin saraf. Amplitudo bisa diukur pula dan
dibandingkan dengan besarnya signal, sehingga dapat memberikan informasi tentang
jumlah neuron yang masih bekerja di suatu saraf.
Dengan merangsang suatu saraf pada berbagai lokalisasi sepanjang perjalanannya,
dapat diketahui lokalisasi kelainan. Dengan cara demikian, anatara lain dapt ditetapkan
adanya suatu sindroma terowongan karpal (CTS – Carpal Tunnel Syndrome), terjepitnya
saraf (entrapment) di suatu lokasi, serta pleksopati, gangguan nervus ulnaris di kubiti
maupun di terowongan Guyon, gangguan nervus radialis pada alur spiral di humerus,
serta di tungkai berupa gangguan nervus ischiadicus di muskulus pyriformis, fibula dan
sindroma terowongan tarsal dan juga pada neuropati perifer serta juga monitoring
pengobatan dari berbagai penyakit yang mengenai saraf perifer.
Kelainan pada paut saraf-otot seperti miastenia gravis, yang dulu hanya diperiksa
dengan stimuli repetitif yang berulang, maka pada saat ini juga dapat dilakukan dengan
tehnik canggih SFEMG (Single Fibre EMG) yang menentukan jitter dan MCD (mean
consecutive difference). Bila pada masa sebelumnya hanya dapat diukur KHS motorik
dan sensorik, maka pada saat ini telah dapat dilakukan pengukuran SSR (sympathetic skin
response) yang secara tidak langsung dapat menentukan adanya suatu neuropati otonom.
4
EMG dan ENG merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, oleh karena
1). Alat untuk memeriksa EMG dan ENG sama, 2). Pertama yang diperiksa EMG
kemudian diperiksa ENG.
Alat alat EMG model baru (dulu analog, sekarang digital) dengan perkembangan
mikro komputer yg mutakhir, telah dicapai kemajuan kemajuan yg pesat dalam bidang
pemeriksaan EMG dan KHS (NCV). Dengan majunya alat-alat EMG digital yang baru
dan canggih, ditemukan berbagai metode yang mempermudah pemeriksaan,
mempertajam dan memperbaiki kemampuan diagnostiknya dengan akurasi yang tinggi
disertai pembuatan laporan/ report yang makin bagus.
EMG adalah suatu pemeriksaan elektrofisiologis untuk menentukan 1). Aktivitas
listrik otot otot tertentu, 2). Membantu diagnosa penyakit neuromuskular dan 3). Melihat
efek dari penyakit penyakit lain pada otot.
ENG adalah suatu pemeriksaan untuk pengukuran : 1). KHS /NCV dan 2). Masa
laten (DL/MLD) saraf saraf perifer.
EMG mengukur aktivitas otot skelet selama istirahat dan kontraksi otot volunter.
Dilakukan perbandingan dan analisa AMPLITUDO, DURATION, JUMLAH dan
KONFIGURASI aktivitas otot sehingga dapat mendeteksi gangguan pada motor unit dan
membedakan apakah gangguan neurogenik atau miogenik. Sedangkan kombinasi
pemeriksaan EMG dan ENG dapat menolong untuk menentukan lokalisasi kerusakan
saraf , misalnya antara saraf perifer dan radiks saraf.
Persiapan Pasien
Pemeriksaan EMG dan pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) merupakan
pemeriksaan yang non-invasif, namun tetap saja sering kali masih merupakan suatu
pemeriksaan yang kurang nyaman bagi pasien (incovenient).
Sebelum pemeriksaan dimulai, pasien perlu diberi keterangan yang jelas terlebih
dahulu, dan juga diberitahukan kepadanya bahwa boleh memberitahukan kepada dokter
bila pemeriksaannya terlalu nyeri atau terlalu lama untuk dirinya dan apa yang bisa
dilakukan untuk hal hal tersebut.
Pasien diperiksa dalam posisi tidur agar pasien merasa santai (relax). Pada pasien
yang takut diperiksa perlu diberikan sedasi verbal dengan kata kata yang menenangkan.
Agar pasien dalam keadaan relaksasi, tidak saja dilakukan dengan kata kata, namun juga
dengan cara merubah posisi menjadi antagonistis, sehingga dengan demikian otot
menjadi dalam keadaan relaksasi.
Pada pemberian stimulus listrik perlu dinaikkan secara perlahan-lahan sehingga
menjadi patient-friendly dan dilakukan sampai intensitas stimulus supramaksimal. Perlu
juga diketahui bahwa frekuensi stimulus yang memberikan ketidak nyamanan yang
paling sedikit adalah 1 Hz. Pada pemberian stimulus terutama stimulasi repetitif,
ekstremitas pasien harus di fiksasi oleh si pemeriksa dengan tujuan :
mencegah artefak karena gerakan
bila bersentuhan dengan pemeriksa, maka pasien akan dapat lebih menerima /
tahan rangsangan listrik yang diberikan
5
Pada pemeriksaan (terutama) yang memakan waktu yang lama, pasien perlu diajak
berbicara, sehingga bisa merasa nyaman.
Persiapan Alat
Alat dan elektrode perlu dipersiapkan dengan baik. Dengan mengetahui
kemampuan alat EMG yang digunakan dan juga settingnya yang disertai pengetahuan
tentang berbagai metode pemeriksaan adalah suatu hal yang merupakan keharusan untuk
dapat memeriksa pasien dengan baik. Alat EMG yang dipakai harus mempunyai
spesifikasi sebagai berikut :
Stimulator elektrik – double stimulator, dengan arus konstan atau voltase
konstan.
Arus konstan lebih sempurna mencerminkan jumlah arus yang diperlukan untuk
merangsang suatu saraf, dan stimulator harus bisa menghasilkan arus yang 100
mA dengan lama stimulasi maksimal sampai 1 mS.
Amplifier perekam (Recording Amplifier)- 4 channel
Instrumen harus mempunyai amplifier perekam yang merekam, memperbesar dan
memfilter respons untuk membesarkan respons yang didapat dan filter harus
diatur untuk mengurangi distorsi dari signal yang direkam.
Averanger
Selain itu, beberapa komponen alat EMG juga harus diperhatikan, yaitu :
Filter
Gunanya filter adalah untuk memperbaiki signal to noise ratio dan dengan
demikian juga memperbesar signal dan menekan artefak / noise
Ada beberapa usulan filter untuk berbagai pemeriksaan :
- kecepatan hantar motorik 3 - 10.000 Hz (LLF /HLF)
- kecepatan hantar sensorik 20 - 2.000 Hz
- pemeriksaan dengan jarum (kontraksi) 3 - 10.000 Hz
- pemeriksaan dengan jarum (istirahat) 50 - 10.000 Hz
Display
Harus bisa memperlihatkan potensialnya dan membuat laporan / report dari data
yang direkam
Audio
Alat harus mempunyai speaker audio yang bagus, karena suara yang dikeluarkan
sewaku pemeriksan kecepatan hantar saraf dan EMG jarum memberikan
informasi yang sangat berguna
Differential Amplifer
Differential amplifier gunanya adalah untuk memperkuat beda potensial antara 2
elektrode terhadap elektrode ketiga yang neutral. Elektrode neutral ini secara
salah disebutkan sebagai aarde atau massa. Elektrode massa ini sebaiknya
diletakkan sedekat mungkin dengan ke 2 elektrode aktif untuk secara bersama-
sama menghilangkan frekwensi 50 Hz dan stimulus artefak.
Kedua elektrode aktif dihubungkan dengan input yang negatif (hitam) dan positif
(merah) dari preamplifier.
6
Suatu potensial yang negatif yang melewati input negatif menghasilkan suatu
hasil di oskiloskop keatas, demikian juga suatu potensial yang positif melalui
input yang positif.
Elektrode
Pada kebanyakan pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik digunakan
elektrode permukaan / kulit dan dapat dipakai elektrode yang stainless steel dari
perak atau timah. Diameter elektrode biasanya 3 – 10 mm, namun besarnya
elektrode dapat merubah karakteristik potensial yang direkam. Elektrode
permukaan mempunyai keuntungan, bahwa pemakaiannya mudah dan tidak
menimbulkan nyeri bagi pasien. Pemeriksaan dengan jarum (needle elektrode)
kadang kadang diperlukan juga untuk pemeriksaan kecepatan hantar saraf
motorik untuk merekam CMAP otot otot yang letaknya dalam, misalnya
m.pronator quadratus pada sindroma interoseus anterior.
Penempatan Elektrode
1). Elektrode aktif
CMAP (Compound Muscle Action Potential) atau gelombang M (M wave)
merupakan activitas eletrik yang direkam dari serabut otot yang diaktivasi
oleh stimulasi akson motorik.
Perekaman yang besar adalah bila respons gelombang M (M wave)
mempunyai defleksi inisial yang negatif (keatas) dan untuk mendapatkan hal
ini maka elektrode aktif harus ditempatkan diatas daerah motor end-plate
zone. Bila elektrode aktif tidak berada di lokasi tersebut, maka bisa
didapatkan defleksi yang positif.
2). Elektrode referens
Elektrode ini ditempatkan di daerah yang sebisa mungkin berada didaerah
yang inaktif, namun berada dekat dengan otot yang diperiksa. Lokalisasinya
biasanya distal dari tendon ototnya, Bila elektrode referans terlalu dekat
dengan elektrode aktif, maka amplitudo akan menjadi submaksimal.Bila jarak
terlalu jauh, maka adanya noise juga akan mengganggu dan mengecilkan
respons.
3). Elektrode Massa (Ground electrode)
Elektrode ini biasanya dari metal (stainless steel) atau dari lempengan
timah dan harus ditempatkan diantara elektrode stimulasi dan perekaman
untuk mengurai artefak kejutan / shock yang terjadi akibat stimulasi.
4). Elektrode stimulasi
Elektrode permukaan dan jarum dapat dipakai untuk stimulasi pada
pemeriksaan kecepatan hantar saraf. Elektrode permukaan lebih mudah
digunakan dan lebih nyaman bagi pasien. Elektrode jarum kadang kadang
perlu untuk menstimulasi saraf yang letaknya dalam atau untuk alasan tehnis
yang lain, misalnya bila tak dapat dilakukan aktivitas maksimal dengan
elektrode permukaan. Katode elektrode stimulasi harus ditempatkan diatas
saraf yang paling dekat dengan elektrode perekam dan anoda-nya
ditempatkan paralel dengan saraf, lebih jauh dari elektrode perekam dan bisa
di rotasi untuk mengurangi artefak stimulus.
7
PARAMETER STIMULUS
Stimulator suatu alat EMG akan menghasilkan pulsa yang tegak lurus dengan voltase
maksimal adalah 250 Volt pada Mystro dan 300 Volt pada Saphire dan Synergy. Perlu
diketahui bahwa potensio meter yang mengatur rangsangan listrik mempunyai suatu
pembagian skala yang eksponensial sehingga bila diputar dari titik nol, maka mula mula
peningkatan listrik hanya sedikit, namun kemudian terdapat suatu peningkatan tegangan
yang progresif, sehingga bila sudah ada jawaban respons, maka pemutaran tombol
hendaknya dilakukan secara perlahan-lahan untuk mendapatkan suatu jawaban yang
maksimal diikuti yang supramaksimal.
Lama / lebar stimulus (duration) sebaiknya diatur antara 0,05 mS dan 1 mS.
Karena sifat kondensator dari jaringan,maka pada perangsangan yang pendek sudah
cukup untuk mendapatkan jawaban yang supramaksimal, namun pada saraf yang terletak
lebih ke dalam, misalnya n.tibialis di fossa poplitea, atau stimulasi pada titik Erb’s perlu
diberikan stimulus dengan lama / lebar stimulus yang lebih lebar lagi.
Stimulus Artefak
Stimulus elektrik akan menyebabkan suatu beda potensial diantara ke 3 elektrode
pengukur, sehingga beda potensial ini akan diperbesar dan terlihat di layar monitor
sebagai suatu stimulus artefak, yang terlihat sebagai gelombang besar pada awal layar
monitor diujung sebelah kiri sekali.
Walaupun stimulus artefak biasanya hanya 0,1 – 0,5 mS, namun bisa lebih lama sampai >
10 mS atau lebih.
Suatu stimulus artefak bisa mengganggu bila potensial yang seharusnya akan diukur
menjadi berubah bentuknya.
Cara cara memperkecil stimulus artefak adalah dengan jalan :
Elektrode netral diletakkan sedekat mungkin dengan elektrode aktif
Impedensi ke 3 elektrode serendah mungkin dan bila mungkin hampir sama
Elektrode stimulus jangan terlalu dekat letaknya dengan elektrode pengukur
Lama stimulus diperpendek
Merotasi elektrode stimulus
8
Namun bila permukaan kontak antara elektrode dan kulit berubah, misalnya karena
bergerak, maka potensial kontak juga berubah dan perubahan potensial ini merupakan
arus bolak balik / AC dan akan diperbesar dan menyebabkan suatu artefak elektrode.
Pemakaian gel atau suatu vilt yang dibasahkan / lembab antara elektrode metal dan kulit
akan mencegah atau mengurangi perubahan permukaan kontak pada pergerakan.
Fiksasi elektrode harus dilakukan dengan baik dan pergerakan harus diminimalisasi
dengan memfiksasi bagian tubuh yang di-aktivasi.
Bentuk Potensial
Bentuk potensial yang benar adalah bila respons gelombang M (M-wave) mempunyai
defleksi inisial yang negatif (keatas) dan untuk mendapatkan hal ini maka elektrode aktif
harus ditempatkan diatas daerah motor end-plate zone. Bila elektrode aktif tidak berada
di lokasi tersebut, maka bisa didapatkan defleksi yang positif.
9
4). Usia
Usia yang bertambah menyebabkan penurunan dari CMAP dan SNAP dan penurunan
kecepatan hantar saraf ini, oleh karena penurunan progresif dari jumlah neuron.
Kecepatan hantar saraf akan meningkat dengan bertambahnya usia sampai umur
dekade ke 2, lalu menurun secara progresif dengan bertambahnya usia.
5). Gender
Pada wanita, maka amplitudo SNAP dan CMAP lebih besar dari pada pria, mungkin
karena pengaruh hormonal pada konduksi kulit
6). Berat Badan
Berat badan berpengaruh pada pemeriksaaan kecepatan hantar saraf. Secara umum,
maka pengaruh berat badan kurang dari pengaruh tinggi badan. Body mass index juga
bisa berpengaruh pada kecepatan hantar saraf.
Pengukuran Jarak
Kesalahan pengukuran jarak secara potensial bisa menjadi kesalahan yang terbesar pada
pengukuran kecepatan hantar saraf, karena pengukuran jarak yang inakurat menghasilkan
masa laten distal dan kecepatan hantar saraf yang inakurat pula.
Reproducibility
Ada variabilitas pada pengukuran kecepatan hantar saraf dan faktor faktor yang
menyebabkan variabilitas tersebut termasuk saraf yang diukur, caranya, individual yang
memeriksa dan juga semua faktor-faktor yang telah dibicarakan diatas.
Untuk mengurangi faktor variabilitas harus dilakukan pemeriksaan berulang ulang untuk
mengetahui dengan pasti bahwa tehnik dan prosedur yang dilakukan telah terstandarisasi.
10
PEMERIKSAAN KECEPATAN HANTAR SARAF MOTORIK
Pengukuran kecepatan hantar saraf motorik merupakan tehnik untuk memeriksa integritas
fungsional dan morfologik dari suatu motor unit.
Bisa diperoleh data yang berguna secara klinis dari fungsi dan struktur saraf motorik,
NMJ dan dari otot dengan pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik.
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik sangat berharga untuk menilai motor unit
pada berbagai gangguan a.l :
mendapatkan bukti adanya penyakit motor unit
menentukan akson mana yang terkena
menentukan mekanisme patofisiologi dari gangguan saraf tsb, misalnya aksonal
vs demielinisasi
menentukan adanya penyakit sebelum gejala gejala klinis jelas, misalnya
neuropati perifer yang heriditer mengidentifikasi dann melokalisasi tempat
kompresi,iskemi dan lesi fokal lainnya
membedakan neuropati perifer dengan miopati dan gangguan-gangguan lower
motor neuron (LMN) yang lain
menentukan adanya gangguan transmisi neuromuskuler seperti:
Miastenia gravis
Sindroma miastenik Lambert-Eaton
Gangguan lower motor neuron (LMN) yang lain. Intoksikasi obat mis:
Prostigimin neuromuscular blocking agents & anestesia.
mengidentifikasi anormal inervasi
- median-ulnar anastomosis di lengan bawah ventral
- inervasi otot tangan
- saraf peroneus (accesory peroneal nerve)
menetapkan beratnya penyakit
menetapkan prognosis
mengasses efektifitas suatu pengobatan.
Prinsip pemeriksaan :
* diukur dari perut otot (spierbuik-pees) dari suatu otot distal dan saraf perifer
dirangsang pada 2 atau lebih tempat dan dijaga bahwa jarak interstimulus paling
kecil adalah 10 cm (kecuali pada “inching”, dimana dirangsang tiap2 cm untuk
menentukan adanya suatu conduction block) .
* bisa dilakukan bertuturu-turut dari beberapa otot yang berlainan yang dipersarafi
saraf perifer yang sama, sehingga dapat diperiksa lebih banyak fasikel dari suatu
saraf perifer yang sama.
* jaraknya, diukur antara katode stimulasi dan katode tempat pengukuran dan
selanjutnya diukur sepanjang perjalanan saraf perifer pada keadaan yang
diperkirakan merupakan jarak terpanjang (mis: pada siku dalam keadaan fleksi pada
pengukuran n ulnaris)
* waktunya diukur antara stimulus dan awal CMAP yang sesuai dengan akson yang
paling cepat hantarannya.
* kulit harus dibersihkan dari minyak, lotion dsb.dan diusahakn agar kontak antara
kulit dan elektrode baik dengan menggunakan gel yang khusus untuk EMG.
11
Parameter-parameter yang harus diperhatikan
1). masa laten yang diukur dari awal stimulus sampai ke respons
* onset latency adalah waktu dari stimulus ke defleksi inisial
* peak latency adalah waktu dari stimulus kepuncak negarif dari respons
* masa laten distal adalah onset latency untuk kecepatan hantar saraf motorik
yang diukur dari tempat stimulus yang paling distal.
* area adalah area yang terintegrasi dibawah komponen negatif dari M-wave
dan mencerminkan jumlah serabut otot dan / atau akson motorik yang
di-aktivasi
2). amplitudo CMAP peak to peak dan baseline to peak
3). waktu / duration adalah waktu dari onset permulaan fase negatif (yang keatas) dari
CMAP sampai waktu gelombang memotong garis tengan / baseline.
4). kecepatan hantar saraf mencerminkan kecepatan dari akson tercepat dan diukur
dari suatu segmen panjang atau pendek.
Bisa diukur kecepatan hantar maksimal dari segmen-segmen yang berbeda.
5).dispersi adalah perubahan proporsional dari waktu /duration CMAP dengan
stimulasi progresif yang lebih proksimal.
Angka normal:
Batas bawah kecepatan hantar saraf
Ekstremitas atas :50 m/S
Ekstremitas bawah : 40 m/S
12
tidak terrgantung dari patofisiologinya apakah demielinisasi (sindroma
terowongan karpal) atau kehilangan akson (neuropati ulnaris yang traumatik)
3. mempunyai peranan penting dalam lokalisasi elektrodiagnostik dari lesi proksimal
dengan kehilangan akson dengan menolong untuk membedakan yang terletak
didalam kanalis interspinal (misalnya gangguan kornu anterior dan radikulopati)
dengan yang terletak diluar (misalnya pleksopati)
4. karena tidak meng-asses komponen manapun dari motor unit, maka menmbantu
membedakan antara gangguan umum yang mengenai serabut saraf perifer dengan
yang mengenai NMJ (Neuro Muscular Junction) dan otot (misalnya GBS vs
fulminant polimyositis)
5. pada lesi dengan kehilangan akson yang letaknya jauh (remote axon loss lesions),
maka merupakan komponen satu-satunya dari kecepatan hantar saraf dan kadang-
kadang dari seluruh pemeriksaan elektrodiagnostik yang tetap abnormal.
Amplitudo yang rendah unilateral / atau SNAP yang tidak timbul (pada setiap golongan
usia) adalah abnormal, namun bila tak dapat ditimbulkan respons sensorik pada n suralis
dan n peroneus superfisialis secara bilateral (seperti juga pada tidak adanya-H-respons
secara bilateral) merupakan hal yang tak jelas kemaknaannya bila ditemukan pada pasien
yang lebih tua dari 60 tahun.
Masa laten SNAP dianggap abnormal, bila memanjang, dibandingkan dengan angka
normal yang telah ditentukan terlebih dahulu di laboratorium EMG tersebut.
Prinsip pemeriksaan :
* stimulasi pada suatu saraf sensorik(kutan) dan perekam dari suatu saraf sensorik
atau saraf campuran, atau stimulasi pada suatu saraf campuran dan perekam dari
cabang sensorik (cara yang ini seringkali dapat menyebabkan artefak yang banyak)
* kedua elektrode perekaman sebaiknya ditempatkan diatas sarafnya dengan jarak 3-4
cm yang akan memberikan amplitudo paling maksimal.
* perlu dilakukan averaging (rata2 dari sejumlah respons), bila amplitudo dari
sensory nerve action potentials (SNAP) rendah.
13
* pada prinsipnya bisa dilakukan rangsangan hanya pada 1 tempat saja untuk
mengukur kecepatan hantar saraf sensorik,namun boleh juga menstimulasi pada
beberapa tempat untuk mengukur kecepatan hantar sensorik pada berbagai segmen
* jaraknya dihitung antara katode tempat stimulasi dan katode tempat perekaman.
* waktunya diukur antar awal stimulus dan awal fase negatif yang naik keatas (sesuai
dengan kecepatan dari serabut yang tercepat); bila awal fase negatif tak jelas, maka
dapat juga dipakai peak phase negatif, namun kecepatan hantar saraf akan menurun
* bisa dilakukan secara ortodrom dan antidrom.
Angka normal:
Kecepatan hantar saraf sensorik dan amplitudo SNAP tergantung suhu badan, dan ada
tabel yang mengkoreksi suhu badan yang berlainan.
Amplitudo SNAP tergantung dari usia, kelamin, tebal kulit dan tebal lapisan lemak
dibawahnya, adanya edema dan juga dari jarak antara tempat stimulasi dan perekaman
(karena dispersi fisiologik).
Pada stimulasi pada berbagai segmen, maka amplitudo SNAP per segmen dapat menurun
sampai setengahnya.
Setinggi jari-jari, maka amplitudo SNAP tak sama di semua 5 jari dan urutan dari besar
ke kecil adalah jari 1>3>2>4>5.
Dengan demikian, maka suatu amplitudo SNAP yang lebih kecil pada jari ke 2
dibandingkan jari ke 5 adalah patologis.
Beda amplitudo kanan-kiri bisa mencapai 50 %.
Karena hal-hal yang disebut diatas maka agak sulit menentukan batas-batas normal dari
SNAP.
Amplitudo SNAP pada jari pada stimulasi n medianus / n ulnaris adalah lebih dari 10 uV
Pada stimulasi n radialis maka amplitudo di jempol biasanya tak lebih besar dari 5 uV
Amplitudo SNAP N suralis pada orang yang muda dan kurus adalah >10 uV.
Pada stimulasi saraf-saraf kutan lain tak dapat ditentukan batas-batas angka normalnya.
Pada prinsipnya kecepatan hantar saraf sensorik lebih cepat dari yang motorik (diukur
pada segmen yang sama) (karena diameter aksonnya lebih besar).
14
Dalam prospektif yang lebar, maka respons lambat juga mencakup respons kulit
simpatetik (sympathetic skin response), silent period, respons masa laten pendek
dan panjang.
15
proksimal, maka kelainan pada H-refleks bisa merupakan suatu penemuan yang tersendiri
dan dini pada GBS.
Pada neuropati metabolik-nutrisional, seperti alkoholik, uremik dan diabetik, maka dapat
terjadi pemanjangan H-refleks pada kecepatan hantar saraf konvensional yang normal.
H-refleks dari m fleksor carpi radialis bisa abnormal pada gangguan C6 atau C7 dan juga
bisa abnormal pada suatu lesi kronik dari susunan saraf pusat dan gangguan upper motor
neuron. Pada keadaan ini biasanya rasio H/M biasanya membesar, sejalan dengan
eksitabilitas pool motorneuron spinal yang meninggi.
H-refleks akan menurun selama keadaan tidur dalam, katapleksi dan stadium dini dari
kerusakan serebral akut dan gangguan pada medulla spinalis.
Limitasi H-refleks adalah:
1. Hanya radiks S1 yang di-evaluasi secara konsisten.
2. H-refleks seringkali terbukti normal pada radikulopati S1.
3. H-refleks yang abnormal tidak berarti menyatakan adanya suatu radikulopati S1,
karena jaras-jarasnya juga termasuk konduksi di n tibialis dan scatica, pleksus
sakralis, medulla spinalis dan radiks S1 yang sensorik dan motorik.
4. sekali H-refleks menghilang oleh karena adanya gangguan pada radiks S1, maka
biasanya akan menghilang seterusnya., sehingga pemeriksaan ulang H-refleks
setelah operasi tidak mempunyai arti.
5. H-refleks bisa menghilang secara bilateral pada pasien yang menderita
polineuropati dan yang berumur lebih dari 60 tahun.
Gelombang F (F-wave)
Bila akson motorik di stimulasi secara elektrik, maka potensial aksi yang timbul
dihantarkan secara sentrifugal dan menghasilkan suatu respons M, namun juga
dihantarkan secara sentripetal, dimana akhirnya sel motorneuron di depolarisasi.
Depolarisasi alfa motorneuron ini dalam presentase yang kecil akan mencetuskan suatu
potensial aksi dalam aksonnya sendiri, yang lalu dihantarkan balik melalui aksonnya
sehingga menyebabkan suatu kontraksi dari motor unit yang bersangkutan.
F-wave ditimbulkan karena aktivasi antidromik dari suatu variabel yang biasanya kecil
dari bagian sel kornu, anterior yang mempersarafi otot. Stimulus yang supramaksimal
dan sekuensil akan menimbulkan F-wave yang konfigurasinya dan masa latennya
berubah-ubah (variabel), yang disebabkan oleh karena aktivasi lower motor neurons yang
berlainan. Potensial kecil ini disebut F-wave (karena pertama kali ditemukan di otot-otot
kaki / foot muscles).
F-wave pada prinsipnya dapat ditimbulkan pada setiap otot distal dengan stimulasi distal
(pada otot proksimal dengan stimulasi proksimal, maka F-wave dan M-respons dapat
jatuh pada tempat yang sama).
Pada ektremitas bawah bisa dijumpai banyak di otot-otot ekstensor dan di ekstremitas
atas pada fleksor. Pada gangguan sistem piramidalis F–wave ini lebih mudah
ditimbulkan. Masa laten yang terpendek dari F-wave yang diukur (minimum F-wave
latency).
Angka normal dari masa laten F-wave yang terpendek berkisar antara 30mS dan n tibialis
3,5 mS.
Beda masa laten kanan dan kiri < 2 mS, namun ada perbedaan angka yang lebih spesifik,
yaitu n medianus 2.3 mS, n ulnaris 2,7mS, n peroneus 3,5 mS dan n tibialis 3,5 mS.
16
Angka-angka normal ini, biasanya berlaku sampai umur 40 tahun dan diatas itu akan
memanjang kira-kira 0,5 mS per dekade
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah : chronodispersion dan persistence.
Cronodispersion adalah perbedaan antara masa laten F-wave yang terpendek dengan
yang terpanjang.
Persistence adalah persentase stimulus yang menimbulkan F-wave.
Batas bawah persistence adalah 5% untuk n peroneus pada orang normal, sehingga tidak
adanya F-wave juga harus dievaluasi secara seksama.
Persistence pada n medianus, ulnaris dan tibialis yang normal adalah 40% atau lebih.
Persistence yang tinggi (80-100%) terjadi pada lesi upper motor neuron terutama bila ada
spastisitas.
Persistence dari F-wave juga memanjang bila otot tidak dalam keadaan relax, karena
kontraksi bagaimanapun kecilnya, akan mempersulit (secara bermakna) timbulnya F-
wave.
Amplitudo F-wave sangat variabel, namun akan bermanfaat untuk menghubungkan
mean F-wave amplitude dengan CMAP yang maksimal (F-wave/CMAP x 100) , dan
angka >5% adalah biasa pada penyakit upper motor neuron.
Gelombang A / A-Wave
Antara M-respons dan F-wave dapat terlihat potensial otot yang kecil dengan masa laten
yang konstan, yang biasanya dapat disebabkan oleh suatu refleks-akson, yang terjadi
akibat suatu sprouting dari akson motorik proksimal dari tempat stimulasi.
Kadang-kadang ditimbulkan karena adanya dispersi abnormal dari M-respons oleh
karena demielinisasi.
Pada stimulasi supramaksimal gelombang A yang disebabkan oleh suatu refleks akson
akan menghilang oleh karena kolusi (collision), sehingga sebaiknya diberikan stimulus
yang submaksimal.
Bila distimulasi beberapa sentimeter lebih proksimal, maka gelombang A yang
merupakan suatu refleks akson akan mempunyai masa laten yang lebih pendek dan
17
gelombang A yang ditimbulkan karena dispersi ini akan menunjukkan suatu masa laten
yang lebih panjang.
Walaupun biasanya masa latennya lebih pendek, namun kadang-kadang bisa lebih
panjang daripada F-wave, sedangkan amplitudo gelombang A biasanya konsisten, sama
atau kurang daripada amplitude F-wave.
Biasanya gelombang A tidak timbul, sehingga pemeriksaan ini tidak dilakukan secara
sengaja. Namun bila terlihat, maka settingnya sama dengan H-refleks dan F-wave.
Tidak ada angka normal, sehingga gelombang A tidak bisa dipakai untuk mendiagnosis
suatu keadaan yang patologis.
Aplikasi klinis
Gelombang A tidak mempunyai suatu aplikasi klinis, dan tidak diperiksa pada
pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik secara umum.
Bila timbul, maka gelombang A bisa terjadi karena percabangan (branching) yang
normal atau patologis.
Gelombang A, biasanya lebih banyak terlihat pada denervasi parsial yang khronis
dengan re-inervasi, daripada pada orang normal, namun penetapan ada tidaknya suatu
keadaan yang patologis tergantung dari pemeriksaan EMG jarum, atau pemeriksaan
elektrodiagnostik yang lain.
Walaupun demikian gelombang A harus dikenal sehingga tidak salah diinterpretasi
sebagai F-wave.
18
Dengan demikian pada neuropati yang mengalami demielinisasi ada 2 faktor yang
mempengaruhi kecepatan hantar saraf, yaitu demielinisasi dan gradasi
remielinisasi.
Ciri khas demielinisasi secara elektrofisiologis adalah :
Perlambatan kecepatan hantar saraf
Dispersi (perlambatan kecepatan hantar saraf yang tak merata)
Conduction block yang parsial atau total
Di dalam klinik seringkali gangguan mielin dan akson terjadi secara bersamaan.
Suatu kompresi saraf yang ringan dapat menyebabkan suatu gangguan mielin
(neuropraksia), namum dalam praktek juga ditemukan bersamaan dengan suatu
kerusakan akson (aksonotmesis).
Pada GBS maupun CIDP biasanya selalu juga disertai beberapa gangguan aksonal.
Sebaliknya juga dapat dijumpai neuropati dengan gangguan aksonal murni.
Adalah salah bila menganggap bahwa gangguan aksonal bisa terjadi sekunder akibat
suatu gangguan mielin sehingga terjadi suatu perlambatan kecepatan hantar saraf.
Pada diabetes mellitus dan insufisiensi ginjal, maka baik akson dan sel Schwann,
keduanya terkena.
Pada pemeriksaan kecepatan hantar saraf adalah penting untuk membedakan antara suatu
gangguan aksonal yang murni dan ikut terkenanya sarung mielin.
Bila dapat ditunjukkan adanya gangguan mielin, maka diagnosis diferensial dapat
dilimitasi secara tepat.
19
Demielinisasi yang multifokal dengan adanya conduction block dan dispersi biasanya
disebabkan suatu proses inflamasi.
20
Frekwensi yang dipakai untuk stimulasi repetitif :
Konsentrasi ion kalsium pada akson preterminal memegang peranan yang penting. Ach
dibebaskan karena adanya ion kalsium yang masuk kedalam terminal akson motorik
sewaktu terjadi depolarisasi, yang terjadi karena suatu aksi potensial.
Makin sering terjadi aksi potensial, makin tinggi konsentrasi kalsium dan makin tinggi
pula perlepasan Ach.
Dengan demikian stimulasi repetitif dengan frekwensi yang tinggi pada Mistenia Gravis
tidak akan menunjukkan suatu dekremen, sedangkan suatu frekwensi perangsangan yang
sangat lambat akan memberikan kesempatan untuk pembuatan Ach yang baru, sehingga
juga tidak akan menunjukkan suatu dekremen.
Pengalaman telah menunjukkan, bahwa serangkaian 8-10 stimulus dengan frekwensi 2-3/
detik adalah yang terbaik untuk menunjukkan adanya dekremen pada MG.
Frekwensi ini dipilih, karena akan menyebabkan suatu penurunan sekwensial dari Ach
dari ujung saraf sampai stimulus ke 5 atau 6 dimana setelah itu terjadi mobilisasi dari
storage Ach, yang menjadi seimbang dengan pelepasan Ach.
Nilai diagnostik RNS dapat diperbaiki dengan beberapa tehnik aktivitas. Yang paling
sering digunakan adalah latihan maksimum (maximum exercise) dari otot yang diperiksa
untuk waktu tertentu yang akan menyebabkan akumulasi kalsium di ujung saraf, sehingga
menambah perlepasan Ach.
Pada sindroma Lambert-Eaton hal ini akan menyebabkan penambahan amplitudo CMAP,
dan ini disebut post-activation facilitation (PAF). Setelah latihan maksimal terlihat
depresi eksitabilitas ujung paut saraf-otot, yang pada MG akan menyebabkan
memburuknya respons dekremen dibandingkan dengan nilai sebelum latihan, dan ini
disebut post-activation exhaustion (PAE), dan hal ini paling maksimum 2-4 menit setelah
latihan.
Pada stimulasi repetitif (RNS) dengan frekwensi 2-3/ detik bisa terjadi suatu penurunan
amplitudo karena adanya penurunan jumlah Ach yang tersedia, namun pada frekwensi
perangsangan yang tinggi (>10/detik) akan terjadi suatu pembesaran amplitudo
(inkremen), karena konsentrasi kalsium preterminal bertambah.
Namun perangsangan repetitif dengan frekwensi yang tinggi menyebabkan nyeri dan efek
yang sama dapat diperoleh dengan kontraksi volunter yang maksimal.
Stimulasi dengan frekwensi yang sangat cepat akan menyebabkan pembesaran amplitudo
CMAP dengan pendekatan durasi potensial tanpa perubahan pada puncak (peak) area
yang negatif, dan fenoma ini disebut pseudofasilitasi, yang disebabkan oleh sinkhronisasi
yang bertambah dari kecepatan propagasi potensial aksi di dalam serabut dari otot yang
diperiksa.
Amplitudo puncak negatif (negative peak amplitude) atau puncak negative adalah
pengukuran yang paling penting pada RNS.
Area, sebetulnya lebih akurat untuk menggambarkan jumlah serabut otot yang
membentuk CMAP dan tidak terpengaruh oleh pseudofasilitasi.
Pada tes RNS (Jolly/ Harvey-Masland) diberikan stimulus yang supramaksimal 9 kali
(dengan alat baru 10 kali) dengan frekwensi 2,5 – 3/ detik, dan kemudian amplitudonya
serta permukaan CMAP diukur.
Yang biasanya diperiksa adalah :
Stimulasi n ulnaris dengan perangsangan di pergelangan tangan dan direkam di
hipotenar
21
Stimulasi n accessorius dengan perangsangan di belakang lekuk m. Sternocleido
mastoideus dan perangsangan di m trapezius pars superior
Stimulasi n axillaries dengan perangsangan di midclavicularis di fossa dan perekaman
pada m deltoideus
Stimulasi pada n musculocutaneus dan perekaman dari m biceps
Stimulasi pada n facialis dengan perekaman di m nasalis
CARA PEMERIKSAAN :
1. Tentukan respons supramaksimal CMAP
2. Stimulasi 20 -50% lebih besar dari intensitas stimulus yang dipakai
3. Periksa otot dalam keadaan istirahat dengan suatu rangkaian (train) stimulus
supramaksimal 5 – 9 kali dengan frekwensi 2 – 3 Hz
4. Setelah beberapa menit istirahat, ulang step ke 3 untuk menentukan
reproducibility
5. Aktivasi otot secara volunteer :
a. Bila diduga ada gangguan post-sinaptik dan didapatkan dekremen > 10%
maka lakukan latihan selama 20 detik untuk melihat apakah ada perbaikan
dekremen dan juga untuk melihat apakah ada post-activation exhaustion
(PAE)
b. Bila diduga ada gangguan post-sinaptik tanpa adanya dekremen yang
bermakna pada keadaan istirahat, lakukan latihan selama 30 -60 detik untuk
mencari post-activation exhaustion (PAE)
c. Bila diduga ada gangguan pre-sinaptik, lakukan stimulus segera setelah
aktivasi.
6. Ulang serangkaian (train) stimulus supramaksimal 5 – 9 kali segera setelah
aktivasi
7. Ulang serangkaian (train) stimulus supramaksimal 5 – 9 setiap 5 menit. 6
Kriteria Abnormalitas :
Pada penurunan amplitude 5% (van Hees & Thyssen 1999)1 atau 8-10% (ozdemir &
Young, 1976)8, 10% (Meriggioli, 2001)6 dianggap patologis.
Pada MG biasanya permukaan CMAP terendah dijumpai pada stimulus ke 2 atau 3,
dimana lalu biasanya disusul dengan suatu pembesaran amplitudo. Bila terjadi perubahan
yang tidak rata, biasanya disebabkan oleh suatu artefak gerak atau stimulasi
submaksimal.
Pada stimulus 3 Hz suatu penurunan amplitudo CMAP sampai 8% masih biasa dilihat
pada orang normal.
Penurunan amplitudo (dekremen) melebihi 10% dianggap sebagai abnormal, namun
kriteria abnormalitas bisa berbeda di berbagai laboratorium.
Post activation facilitation (PAF) melebihi 100% menunjukkan adanya suatu gangguan
pre-sinaptik transmisi neuromuskuler, namun pernah juga terlihat PAF sampai 100%
pada pasien MG, dan mekanismenya belum begitu jelas.
22
PERTIMBANGAN TEHNIK PEMERIKSAAN :
Reproducibility : dekremen harus dapat dilihat pada pemeriksaan-pemeriksaan yang
diulang-ulang, dan otot sebaiknya diistirahatkan minimum 30 detik sebelum
dilakukan pemeriksaan ulang.
Elektroda stimulus dan perekaman harus di-imobilisasi sebaik-baiknya, karena
pergerakan eloktroda-elektroda tersebut akan menyebabkan pattern gelombang yang
ireguler dan perubahan dalam besarnya dan bentuk CMAP
Artefak karena pergerakan harus dicegah dengan fiksasi yang baik dari electroda
perekam dan fiksasi dari ekstremitas yang bergerak oleh stimulasi
Bila terjadi perubahan amplitudo yang tidak rata, hal itu biasanya disebabkan oleh
suatu artefak gerak atau stimulasi submaksimal.
Suhu otot : dekremen akan berkurang bila otot dingin, sehingga ekstremitas yang
diperiksa harus dipertahankan pada suhu 32-34 C. untuk mempertahankan
sensitivitas diagnostiknya.
Obat-obat anti-kholinesterase dapat melakukan masking pada dekremen sehingga
sebaiknya dihentikan minimum 12 jam sebelum pemeriksaan dilakukan.
BLINKREFLEKS :
Refleks kornea merupakan contoh yang baik untuk blinkrefleks. Bila kornea distimulasi,
maka terjadi kedipan pada kedua mata.
Bagian aferen refleks ini ditimbulkan oleh n trigeminus yang ipsilateral, sedangkan
bagian eferen ditimbulkan oleh n facial bilateral.
Blinkrefleks yang ditimbulkan di laboratorium neurofisiologi, melalui jaras refleks yang
sama, namun memakai stimulus elektrik dan jumlah respons yang dapat diukur dengan
baik.
Untuk melakukan blinkrefleks dipakai electroda permukaan, yang dipasang secara
bilateral diatas m orbicularis oculi dan suatu shock elektrik diberikan di n supraorbitalis.
Ini akan menimbulkan 2 repons, yaitu R1 yang ipsilateral dan timbul secara dini, yang
masa latennya sekitar 10 mS dan R2, suatu repons lambat yang timbul secara bilateral,
yang masa latennya sekitar 30 mS.
Refleks berkedip pada refleks kornea yang timbul secara bilateral, serupa dengan respons
R2 dari blinkrefleks, namun tidak ada gerakan yang terlihat secara klinis yang bisa
dihubungkan dengan timbulnya R1.
Dengan electroda perekam di tempat yang sama, namun tempat perangsangan dari tempat
n facialis, akan didapatkan suatu respons langsung (Direct Response /DR)
Cara merekam:
Electroda permukaan ditempatkan di m orbicularis oculi secara bilateral.
Electroda G1 ditempatkan diatas perut otot di bagian bawah atau lateral orbita, sedangkan
electroda G2 ditempatkan secara ipsilateral diatas region temporalis, atau di sebelah G1,
dan penempatan electroda harus identik pada kedua sisi.
Tempat electroda yang optimal tak sama pada pasien-pasien dan kadang-kadang perlu
perubahan letak electroda untuk mendapatkan CMAP yang awalnya negative.
Elektroda massa dapat ditempatkan di dahi atau muka.
23
Respons dari kedua mata harus direkam secara simultan dengan menggunakan 2 channel,
dengan sensitivitas 100-200 uV/divisi dan kecepatan sweep speed 10 mS/divisi dan filter
20 Hz – 10kHz.
Bila memakai batas frekwensi rendah yang lebih tinggi misalnya 200 – 500 Hz, akan
didapatkan respons yang lebih bersih, namun amplitudo akan menjadi lebih kecil.
Pemeriksaan harus dilakukan berulang-ulang dan responsnya diukur dan dianalisa.
Sebaiknya setiap pemeriksaan diperlihatkan secara tersendiri dan jangan di superimpose
karena akan menutup respons R2, yang berubah-ubah pada setiap pemeriksaan.
Pengukuran berberapa kali dari R2 akan dapat memperjelas onset masa latennya.
Stimulasi :
N supraorbitalis distimulasi di foramen supraorbital atau pangkalnya, yang dapat di
palpasi dalam orbita pada batas medial atasnya.
Katoda electroda stimulasi yang bipolar ditempatkan diatas n supraorbitalis di foramen
supraorbitalis dan anoda dipasang diatas orbita.
Bila melakukan stimulasi, harus dicegah penekanan yang berlebihan pada saraf, karena
akan lebih menyebabkan ketidak nyamanan pada pasien daripda rangsang listriknya
sendiri.
Waktu stimulus adalah 0,2 mS dan intensitas dinaikkan sampai supramaksimal, yang
akan berkisar antara 3 -20 mA.
Pada 10% subyek yang normal, R1 tidak akan didapatkan dengan rangsang listrik yang
tunggal, dan diperlukan stimulasi dengan suatu stimulus yang berpasangan (paired
stimuli).
Kedua stimulus diberikan dengan interval 5 detik dan stimulus pertama adalah
subthreshold, sedangkan yang kedua adalah supramaksimal dan rspons diukur dari
stimulus kedua.
Komponen R2 bisa mengalami habituasi, sehingga stimulus sebaiknya tidak diberikan
lebih sering dari setiap 10 detik.
Blinkrefleks juga bisa ditimbulkan dengan suatu ketokan secara mekanis diatas glabella
dengan menggunakan martil khusus yang mengaktivasi suatu micro swith pada impact
dan memperlihatkan suatu gelombang pada osiloskop.
Aplikasi klinis :
Blinkrefleks dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi n triegeminus dan n facialis,
dan juga dapat memberikan keterangan mengenai fungsi batang otak, seperti pons dan
lateral medulla, yang bertanggung jawab terhadap hubungan sentral dari R1 dan R2.
Namun umumnya blinkrefleks digunakan untuk mengevaluasi bell’s palsy (idiopathic
facial nerve mononeuropathy)
Aplikasi lain adalah untuk mengevaluasi neuropati trigeminal, polineuropati, spasme
hemifasial, lesi batang otak seprti tumor (neurinoma akustikus), multiple sclerosis atau
stroke.
Angka normal :
Parameter utama adalah masa laten, dan pengukuran amplitudo tak lazim dilakukan.
Masa laten blinkrefleks pada neunatus lebih panjang daripada pada orang dewasa,
walaupun jaraknya lebih dekat.
24
R1 rerata batas atas
Masa laten 10,45 mS 13 mS
Beda kanan-kiri 0,31 1,2
R2
Ipsilateral R2 30,5 41
Kontralateral CR2 30,5 44
Beda R1 dengan stimulasi R-L 1,2
Beda R2 dengan stimulasi R-L 16
DR (Direct Response ) abnormal bila > 4,1 mS
Beda kanan/kiri > 0,6 mS
Rasio R/D (R1 dibagi DR) abnormal bila diluar rasio 2,6 – 4,6
Rasio menurun pada kelainan distal
Rasio memanjang pada kelainan lebih proksimal.
Interpretasi :
Blinkrefleks adalah bila R1 dan/ atau R2 tidak timbul atau masa latennya melebihi batas
atas.
Dapat terjadi berbagai pattern abnormalitas, dan mengenal berbagai pattern tersebut akan
dapat melokalisasi letak lesi lebih baik.
1. Lesi aferen.
Lesi n trigeminus akan memperlambat R1 ipsilateral dan R2 bilateral dengan
stimulasi pada sisi yang terkena. Dengan lesi aferen yang berat, maka tidak akan
ada respons pada sisi terkena. Stimulasi dari sisi sehat akan memberikan respons
R1 dan R2 yang normal
2. Lesi aferen.
Lesi n facialis akan menyebabkan R1 dan R2 yang lambat pada sisi terkena, yang
tidak tergantung dari sisi stimulasi.
3. Lesi batang otak :
a. main sensory mucleus
R1 tidak timbul atau lambat pada sisi terkena dengan R2 yang normal.
b. Nucleus trigeminus spinal
R1 masih ada pada sisi terkena dengan R2 yang normal.
c. Interneuron meduler yang tidak menyeberang
Pada sisi lesi, R1 ipsilateral tetap ada, sedangkan R2 yang ipsilateral hilang
atau lambat.
R2 kontralateral masih normal, karena interneuron yang menyeberang tidak
terkena pada sisi kontralateral lesi, maka R1 dan R2 normal.
d. Interneuron meduler yang menyeberang
Bila serabut yang menyebrang dari satu sisi terkena, maka R2 kontralateral
akan hilang atau lambat, sedangkan R1 dan R2 ipsilateral normal.
Jangkauan EMG adalah semua kelaianan LOWER MOTOR NEURON (LMN)
mulai dari :
Motor neuron /Cornu Anterior
Radiks
Pleksus
Saraf Perifer
25
Neuromuskular Junction / Motor End Plate
Otot
Indikasi EMG :
Motorneuron :
1). Polio
2). Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) / Motor Neuron Disease (MND)
3). Spinal Muscular Atrophy :
Kugelberg Welander Syndrome dan Werdnig Hoffman Syndrome
Radiks :
1). Gulliain arre Syndrome (GBS) :
Poliradikulitis dan Poliradikuloneuritis
2). Trauma Avulsi Radiks Total / Partial
3). HNP : iritasi / kompresi radiks
Pleksus :
Biasanya karena trauma
Saraf Perifer :
1). Polineuropati
2). Neuropati Diabetika
3). Morbus Hansen : Mononeuropati multipleks
4). Pressure Neuropathy
5). Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dan Tarsal Tunnel Syndrome (TTS)
6). Trauma
7). Bell’s Palsy / Gangguan Saraf Kranial VII (N.VII) perifer
Neuromuscular Junction /Motor End Plate :
1). Myastrenia Gravis
2). Syndrome Lambert Eaton
Otot :
1). Dystrofia Muskulorum Progresiva (DMP)
2). Miositis
26
Tes spasmofilia dilakukan dengan cara tes provokasi yaitu :
Tes iskemi selama 5 menit pada 180 mmHg (160 mmHg pada anak-anak)
Yang disusul dengan hiperventilasi selama 3 menit.
27
VEP merupakan perluasan dari pemeriksaan klinis pada berbagai penyakit sistem visual
primer dan sekunder dan terutama berguna untuk memberitahukan fungsi nervus optikus.
28
hiperaktivitas, disleksia, skzofrenia, paranoid, depresi, stroke, demensia, dan berbagai
gangguan lain.
29
Adalah gelombang yang paling lambat dengan amplitudo yang paling tinggi dan
terutama ada sewaktu tidur atau berada dalam keadaan sensitif (emphatethic). Bila ada
gelombang delta secara berlebihan dalam keadaan bangun, maka artinya ada indikasi
adanya suatu disfungsi.
* Gelombang TETA (4-8Hz)
Adalah gelombang yang timbul bila sedang melamun atau berfantasi. Selain itu
kreativitas dan intuisi juga berhubungan dengan gelombang teta. Ini dapat terlihat
karena gelombang teta dapat timbul pada 2 keadaan. Gelombang teta pada frekwensi
rendah (4-5Hz) biasanya menggambarkan zona peralihan (twilight zone) antara bangun
dan tidur, yang merupakan keadaan yang tenang, damai, mengambang, dimana pada
keadaan ini tidak terjadi suatu aktivitas intelektual yang disadari dan ini juga
merupakan frekwensi yang diperlihatkan secara berlebihan pada anak-anak dan orang
dewasa dengan attention deficit hyperactive disorders (ADHD). Sebagai kontras,
maka gelomang teta dengan frekwensi yang lebih tinggi (6-8Hz) bila terlihat di
midline frontal merupakan suatu keadaan yang berhubungan dengan suatu perhatian
yang terpusat kedalam (highly inwardly focused problem solving), misalnya aritmatik
mental. Ini juga merupakan level pada waktu orang sedang masuk dalam suatu
hipnosis yang dalam atau sedang bermeditasi. Orang orang yang melakukan
swahipnosis (self hipnosis) dan orang orang yang mudah di hipnosis, termasuk
mediator, memproduksi lebih banyak gelombang 6-8Hz, baik dalam keadaan bangun
maupun dalam keadaan hipnosis.
* Gelombang ALFA (8-11Hz)
Adalah gelombang yang lebih besar dan berhubungan dengan keadaan relaksasi dan
secara mendasar merepresentasikan keadaan otak yang sedang masuk dalam keadaan
istirahat (idling gear), relaks dan tidak sibuk (disengaged) dan menunggu untuk
berespons, bila diperlukan. Apabila menutup mata dan mengkhayalkan sesuatu yang
mendamaikan, maka dalam setengah menit akan timbul suatu penambahan gelombang
alfa (increased alpha brainwaves). Gelombang alfa secara khas ada, bila sedang
merasa tenang, dan dalam posisi untuk merubah pikiran secara efisien dan efektif
untuk melakukan suatu tugas tertentu.
Walaupun idling ini adalah suatu fenomena yang menguntungkan untuk otak yang
relaksasi (idling brain), namun bila gelombang alfa menjadi terkunci (locked) dan
terinhibisi, maka partisipasi aktif dari area otak yang vital tidak bisa terjadi dengan
efisien. Lobus frontal adalah area yang paling sering terkena banjirnya gelombang alfa
secara berlebihan (flooding) dan non-reaktif (inhibisi). Otak memakai lobus frontalis
untuk atensi fokus diluar diri kita dan untuk mengerti kompleksitas dunia. Tidak jarang
ditemukan gelombang alfa di frontal dengan amplitudo yang tinggi, pada orang-orang
yang gagal secara akademis dan pada mereka yang mengalami kesukaran pada tugas
pekerjaan (job demands).
* Sensory Motor Rhythm (12-15Hz)
Adalah gelombang yang diukur diatas korteks sensorimotor dan merupakan gelombang
otak yang berhubungan dengan suatu kesadaran mental (mental alertness) dan siap
untuk bereaksi, dikombinasikan dengan sikap yang tenang (behavioral stillness).
* Gelombang BETA (18 Hz atau lebih)
Adalah gelombang otak yang kecil dan cepat, yang berhubungan dengan keadaan
aktivitas mental atau intelektual dan konsentrasi yang berfokus keluar (outwardly
30
focused concentration). Gelombang beta hadir, bila sedang berfikir, mengatasi
persoalan, memproses informasi atau sedang tidak tenang. Sebagai gelombang otak
yang cepat, maka gelombang beta memberi energi pada beberapa area di korteks. Bila
ada difisiensi gelombang beta, baik secara umum di semua tempat atau hanya pada
area area yang kecil, maka otak tidak mempunyai cukup energi untuk melakukan
semua tugas di kelas atau tempat kerja yang biasanya adalah tugas yang standar.
EEG konvensional dapat mendeteksi epilepsi, menentukan jenis epilepsi, dan berbagai
kelainan lain seperti tumor, stroke, abses, trauma kapitis, meningitis, ensefalitis dan
retardasi mental. QEEG dan Brainmapping dapat dipakai pada malformasi arterio-vena
dan juga pada narkolepsi dan koma, dan juga banyak dipakai untuk memonitor efek
withdrawal dari obat-obat psiko-aktif dan infeksi otak seperti meningitis, dan juga untuk
follow-up pada pasien yang mengalami operasi otak. Namun dengan analisa gelombang
otak secara digital (QEEG dan Brainmapping), dapat dinilai pula beberapa fungsi mental
melalui pengukuran dari jenis aktivitas gelombang otak. Dalam bidang psikiatri,
walaupun masih dalam fase penelitian, banyak dipakai untuk meng-identifikasi gangguan
dengan dasar biologis, seperti skizofrenia, demensia, hiperaktivitas, depresi, atrofi otak,
dan ADHD pada anak-anak.
Aktivitas gelombang otak me-refleksi keadaan arousal dari seseorang dan menunjukkan
pola yang jelas berlainan, tergantung dari apakah sedang dalam keadaan bangun, tidur
atau sedang melakukan suatu tugas yang kognitif.
Berdasarkan bukti ilmiah dari penelitian-penelitian dan uji klinis didapatkan bahwa sinyal
sinyal otak yang terekam, bukan hanya berhubungan dengan keadaan arousal, namun
juga dengan aspek kognisi dan emosi (afek).
Bila melihat kumpulan gejala dari sudut pandang cara otak memproses, maka kontribusi
dari setiap disfungsi otak seringkali dapat dilihat dengan jelas, misalnya : bila terlihat
gelombang lambat fokal (fokal slow waves / delta waves), maka seringkali ini merupakan
akar dari banyak gangguan belajar. Pada disleksia, akvitas otak yang lambat, dapat
ditemukan pada satu atau lebih area penting (key areas) dan ini dapat termasuk lobus
oksipitalis, area Wernicke, area Broca dan area sensorimotor.
31
ELEKTRONEUROMIOGRAFI PADA BRACHIALGIA DAN
ISCHIALGIA
Brachialgia dan ischialgia merupakan kasus, yang sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari dan di subbagian EMG FKUI/RSCM merupakan 8,1% (brachialgia) dan 16,4%
(ischialgia) dari seluruh kasus, yang diperiksa EMG (Wibowo et al, 1993)
Brachialgia umumnya ada hubungan dengan spondilopati servikal, distorsi medulla
spinalis servikalis dan khondrosis, sedangkan ischialgia biasanya disebabkan keadaan-
keadaan seperti spondilosis deformans, hernia nucleus pulposus, spondilosis lumbalis
serta spondilolistesis. (Takura et al. 1988)
Dalam bidang neurologi adalah penting untuk membedakan iritasi dari kompresi
radiks.Umumnya iritasi radiks diobati secara konservatif, sedangkan kompresi
radiks memerlukan tindakan operatif.
32
Suatu rasa nyeri yang menusuk dan mendadak (Hexenshuss/lumbago) atau nyeri
lumbal yang makin lama makin menghebat, dengan disertai dengan pengahambatan
pergerakan dan nyeri yang timbul pada batuk dan mengejan.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Sebaiknya dilakukan anamnesa serta pemeriksaan klinis neurologis yang seksama
terlebih dahulu.
Analisa dari anamnesa dan pemeriksaan klinis neurologis dapat mengidentifikasi dan
menentukan lokalisasi gangguan radiks yang bersangkutan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
Bentuk kolumna vertebralis dan posisi pasien.
Menghilangnya lordosis dan timbulnya skoliosis
Pembatasan gerakan kolumna vertebralis yang dapat terlihat dari :
33
Indeks schober yang menurun : pembesaran jarak antara proc. spinosus L5
dengan suatu titik yang terletak 10 cm diatasnya, bila pasien disuruh
membungkuk secara maksimal. (normal 10-15cm)
Bila membungkuk : jarak antara jari ke lantai membesar.
Pembatasan gerakan sewaktu posisi tidur dengan kecenderungan untuk
tidur pada posisi miring.
Nyeri tekan atau nyeri ketok pada kolumna vertebralis dan titik tekan
paravertebral
Ketegangan m erector trunci
Bentuk m gluteus dengan memperhatikan tonus otot-otot gluteus (parese m
gluteus maximus pada kompresi S-1)
Tropik dari ektremitas bawah dengan mengukur diameternya.
TandaLlaseque
Tanda Laseque terbalik : dijumpai pada kompresi radiks lumbal yang tinggi
Tanda Laseque silang : nyeri pada sisi terkena, bila tungkai sisi lain dinaikkan
dalam posisi diluruskan
Tanda Neri : bila membungkuk ke depan, maka secara reflektoris lutut bertekuk
pada sisi terkena
Nyeri tekan pada pangkal ischiadicus (Valleixsche Druckpunkte) sampai ke tendo
achilles
Gangguan motorik :
parese dorsofleksi dari jempol kaki pada sindroma L5
kelemahan plantarfleksi kaki pada sindrom S1
kelemahan m quadriceps pada sindrom L4/3
Gangguan refleks :
penurunan atau menghilangnya refleks tumit pada sindrom S1 atau
penurunan refleks lutut pada sindrom L4/3
Gangguan sensibilitas sesuai dermatom yang terkena
Pemeriksaan Tambahan :
Pemeriksan foto Rontgen biasanya memperlihatkan posisi yang tegang, kadang-
kadang terlihat skoliosis dan bisa terjadi jarak intervertebralis yang mengecil.
Bila ada indikasi untuk operasi, maka perlu dilakukan suatu radikulografi dengan
jalan membuat suatu mielografi dengan mempergunakan kontras yang larut dalam
air.
Pemeriksaan tambahan ini perlu dilakukan bila ada indikasi / keraguan oleh
karena pada 10 -25% kasus yang secara anatomis terdapat suatu HNP, tak terlihat
dengan mielografi dan pada 10% kasus terlihat suatu hasil yang “false positive “
Pada akhir-akhir ini dapat dilakukan dengan alat-alat yang lebih canggih, berupa
CT-Scan, CT-mielo ataupun MRI
Pemeriksaan elektromyografi (EMG)
Dalam bidang neurologi, pemeriksaan elektrofisiologis pada umumnya, dan
neurofisiologis khususnya dapat dipakai untuk pemeriksaan-pemeriksaan pada
brachialgia dan ischialgia.
Tidak boleh dilupakan, bahwa pemeriksaan neurofisiologis merupakan kelanjutan
dari pemeriksaan neurologis klinik, sehingga hasil dari pemeriksaan
neurofisiologis harus dilihat saecara keseluruhan bersamaan dengan pemeriksaan
34
klinis dan tes-tes diagnostik lain, untuk tiba pada suatu kesimpulan yang
bermakna.
35
LIMITASI pemeriksaan EMG pada sindroma radiks :
Harus diketahui, bahwa sindroma radiks baru terdeteksi pada EMG 2 -3 minggu
setelah terjadi lesi, namun fibrilasi pada otot-otot paravertebral dan interspinal dapat
dijumpai sebelum jangka waktu itu. (karena jaraknya yang pendek, timbulnya lebih
cepat)
(Shahani et al., 1987)
Dengan demikian pemeriksaan EMG sebaiknya baru dilakukan setelah 2 minggu,
karena fibrilasi juga baru timbul dalam 2-3 minggu setelah terjadi lesi pada serabut
syaraf.
Juga pada otot-otot paraspinal masih terlihat adanya fibrilasi dan ”positive sharp
waves” (PSW) selama 1 tahun postoperasi sebagai akibat langsung dari operasi.
(Blom & Lemperg 1967, Mach 1951)
Tetapi bila setelah 1 tahun post-operasi masih ada fibrilasi yang jelas diberbagai
tempat, maka dapat dianggap adanya penekanan radiks yang baru lagi.
Kesukaran diagnostik topis pada lesi radiks disebabkan, karena praktis tiap otot
diurus oleh beberapa segmen, sedangkan tiap segmen juga mengurus beberapa otot.
Juga sering terdapat banyak varian-varian individuil dari persarafan segmental
tersebut..
Maka perlu dilakukan pemeriksaan berbagai otot dari segmen tertentu yang klinis
diduga terkena serta otot-otot dari 1 segmen lebih tinggi serta lebih rendah untuk
membatasi kelainan-kelainan yang ditemukan.
36
Kebanyakn dari otot-otot paravertebral ini, terutama m. Multifidus, adalah
plurisegmental..
Dengan demikian otot ini tak menunjukkan segmentasi yang tepat.
Krott (1968) dan Steudemann (1968) mengemukakan bahwa terdapat otot punggung
yang halus dan autochthon yang dipersarafi secara monosegmental oleh ramus
dorsalis dari saraf-saraf spinal dan yang tidak menunjukkan varian-varian anatomis
yaitu mm. Inter-Spinal Cervicis & Lumborum.
Pada sindrom radiks lumbal, Krott (1968) mengemukakan hasil-hasil yang
meyakinkan pada pemeriksaan mm. Interspinal lumborum yang juga dipersarafi
secara monosegmental.
Kesukaran-kesukaran yang harus diperhatikan pada pemeriksaan otot otot paraspinal
ini ialah, pasien yang sedang diperiksa seringkali tidak dapat relax, sehingga kadang-
kadang sukar melihat aktivitas spontan diantara potensial-potensial volunter.
Ini biasanya dapat diperbaiki dengan memperbaiki posisi pasien.
Pada hernia diskus lumbal maka ketepatan EMG umumnya lebih besar daripada yang
letaknya di servikal.
Kaesar (1963) setelah memeriksa 400 kasus mengemukakan nilai yang sama dari
hasil EMG dan mielografi pada diagnosa sindrom radiks lumbal.
Knuttson (1961) yang memeriksa 182 pasien mengemukakan 78% ketepatan EMG
dan 75% pada mielografi.
Despland et al (1974) mengemukakan ketepatan diagnosa tofografis EMG 80% yang
diperkuat dengan hasil pasca operatif.
Kelemahan EMG terletak diperalihan thorakolumbal, karena untuk L1 tak ada otot
yang sesuai.
Otot-otot yang lazim diperiksa adalah :
(Biasanya diperiksa beberapa otot, yang dapat menggambarkan keadan radiks
dengan lengkap):
m. levator scapulae C 3, 4, 5
m. rhomboideus C 4, 5
m. infraspinatus C 4, 5, 6
m. deltoideus C 5, 6
m. biceps & brachialis C 5, 6
m. brachioradialis C 5, 6
m. triceps C 6, 7, 8
m. ext. carpi rad. long C 6, 7, (8)
m. ext. carpi rad. brev C 6, 7, (8)
m.abd. poli. brev C 7, (8)
m. hypothenar C 8, Th 1
Otot-otot interspinal/ paravertebral : (sesuai segmennya)
m. iliopsoas L 1, 2, 3, 4
m. quadriceps fem. L 2, 3, 4
m. tibialis ant. L 4, 5
m. ext. hallucis. long L (4), 5, (S1)
m. peroneus long. L (4), 5, S 1
m. ext. digit. brev. L (4), 5, S 1
m. gastrocnemius L 5, S 1, 2
37
m. soleus L 5, S 1, 2
m. tibialis post. L 5, S 1
m. filex. Hallucis brev. L 5, S 1, 2
otot-otot interspinal/ paravertebral : sesuai segmennya.
(disadur dari Schwabe dalam : Mumenthaler, 1983).
H-REFLEKS
Selain polifasi dan fibrilasi, H-refleks juga dapat digunakan :
H-refleks yang ditimbulkan dari :
m. triceps surae berasal dari radiks S1
m. extensor digitorum longus berasal dari radiks L5
Dengan demikian H-refleks dapat dipakai untuk :
Membedakan radikulopati L5 versus S1
Membedakan iritasi dan kompresi radiks
Diduga ada KOMPRESI RADIKS bila :
H-refleks hilang sesisi atau
Beda kanan-kiri 1,5 mdetik. (Kimura, 1983)
Kimura (1983) mengemukakan angka-angka normal H-refleks sbb. :
Masa laten : 29,5 2,4 mdetik
Beda kanan/kiri : 0,6 0,4 mdetik
Amplitudo : 2,4 1,4 mV
Beda kanan/kiri : 1,2 1,2 mV
F-WAVE
F-wave menggambarkan keadaan konduksi motorik dari sauatu bagian proksimal
saraf
Karena variasi dari konfigurasi dan masa laten-nya besar, maka kurang begitu akurat
pengukurannya, namun tetap merupakan suatu suplemen yang berguna untuk
mendukung penilainan KHS konvensional, terutama dari bagian proksimal.
Dapat membandingkan keadaan segmen proksimal dengan distal
Mencerminkan keadaan eksitabilitas motor neuron.
(Kimura, 1983
F-wave dapat ditimbulkan pada hampir setiap otot skelet orang dewasa.
Nilai normal masa laten F-wave adalah :
Untuk m. abductor policis brevis : 26,2 1,5 mdetik
m. extensor digitorum brevis : 46,8 2,9 mdetik
(Shahani et. Al. , 1987)
Jelas bahwa pada lesi radikuler terutama lumbal pemeriksaan EMG sangat besar
kegunaannya dalam penentuan diagnosa serta lokalisasi secara topografis
Diagnosa diferensial perlu dilakukan dan pemeriksaan EMG juga harus membantu untuk
menyingkirkan hal-hal lain tsb.
38
Avulsi radiks traumatis
Pleksus neuritis
Sindrom carpal-tunnel
Sindrom skalenus
Neurologis rheumatologis
DIAGNOSA DIFERENSIAL PADA SINDROM RADIKS LUMBAL
Tumor
Fraktur
Paresis pleksus (plexus parese)
Paresis n. Peroneus
Neuropati diabetika
Gangguan vaskuler pada a. Iliaca & cabang-cabangnya dan
Spondilosis lumbalis
Indikasi operasi : ialah bila ada KOMPRESSI RADIX, yang gejala-gejala sbb :
Indikasi operasi cito ialah suatu prolaps dengan paraparesis (kompresi radiks)
Adanya gangguan mictio
Juga pada paresis motorik yang timbulnya akut dan relevant
Bila setelah 6-8 minggu Th/ konservatif masih terdapat keluhan dan gejala-gejala
yang relevant
Atau pada residif yang berkali-kali dengan gejala-gejala yang jelas.
Bila dengan pemeriksaan EMG dari otot-otot segmen yang bersangkutan atau
otot-otot paraspinal atau paravertebral ditemukan adanya denervasi/fibrilasi yang
menunjukkan adanya suatu kompresi radiks.
Perlu disebutkan bahwa pada keadaan-keadaan diatas ini dan bila pasien mau
dioperasi, maka perlu dilakukan suatu mielografi/ CT-mielo/MRI pre-operatif
39
KEPUSTAKAAN
1. Araksi s, Uchino Ikegawa S, Sato H. :
In Rose FC (eds) Clinical experiences with Eperisone hydrochloride in
muscle contraction headache.
Advances in headache research, John Libbey & Co ltd, 1987: 263-269.
2. Dyck, P.J. ; Low, P.A & Stevens, J.C. : Diseases of Peripheral Nerves in Clinical
Neurology. Ed. Baker, A.B.. & Joynt, R.J., Harper & Row., Philadelphia,
1987: 51 : 1-108
3. Eisen A. : Radiculopathy.
Annual Course Clinical EMG # 211
American Academy of Neurology, 1988.
4. Fielda, L. H. : Introduction in Pain Syndromes in Neurology.
Ed. Fields, L.H. , Butterworths., London Boston
Singapore-Sydney-Toronto-Wellington, 1990 : 1 – 18.
2. Janka, H. U. : Pharmakologie und klinische Anwendung hochdosierter vitamine.
Steinkopff Verlag, Darmstadt, 1991.
3. Kimura J. : The F-wave
The H-refleks and other late responses. In :
Electrodiagnosis in deseases of nerve & muscle.
Principles & Practice.
Philadelphia : Davis FA, 1983: 323 – 52, 353 – 78, 379 – 98.
4. Ludin HP.: Radicular Lesions
Normal Values
Electromyography in Practice.
Stutgart : Georg Thieme Verlag, Thieme-Stratton Inc.,1980 : 78 – 81, 124
– 50
5. Mardiono, M. :Mas’ud, H.I.H. ; Wibowo, S.; Soemarmo, M. & Soemargo S. :
Intramuscular Methycobalamin injections in
Neuropathy-related pain : a double blind study.
Satellite symposium : New Aspects in the treatment
of sceletal muscle spasm and neuropathy related pain
kongres IDASI, Okt 1990, Yogya.
6. Misbach, H.J. : Aspek Neurologik Sindroma Nyeri.
Pendekatan Rasional Sindroma Nyeri.( Nov. 1992)
7. Mumenthaler M. : Polineuropathies in : Neurology,
Georg Thieme Verlag, Thieme Inc. :
Stuttgart-New York, 1983 : 370 - 388
8. Mumenthaler M. : Spinal Radicular Syndromes. In :Neurology.
Stuttgart : Georg Thieme Verlag, Thieme Inc.,
1983: 357 – 67
9. Poeck, K. : Polineuritis und Polineuropathie in : Neurologie.
Springer Verlag Berlin – Heidelberg – New York.,
1974: 325 -341
10. Reiners, K.K. : Causes and therapy of peripheral neuropathies.
Pendekatan Rasional Sindroma Nyeri. (Nov, 1992).
40
11. Shahani BT, Young RR. :
Clinical Electromyography
Clinical Neurology.
Baker AB, Joynt RJ, eds. Vol 1, chapter. 6
Philadelphia: Harper & Low Publ. , 1987 : 1 – 51.
12. Sobue, I. : Recent research trends in peripheral neuropathies
In Japan in : Peripheral Neuropathy.
International Congress Series 662.
Excerpta Medica, 1983: 1 – 9
13. Takakura Y, Mitsui M, Iwasaki H, Tamai S, masuhara K. :
Comparative Cliniacal Trial on Clinical Efficacy of
Myonal alone or in Combination with an Analgesic
Agent in the field of Orthoepedic Surgery.
The Clinical Report, 1987: vol. 22, 7: 485.
14. Thomas, P.K. : The differential diagnosis of peripheral neuropathy
Course on Peripheral Neuopathies.
40th Annual Meeting of the American Academy of Neurology,
Cincinnaty, USA, 1988.
15. Wibowo S, Utama J, Santoso D, Moeliono F. :
Sindroma radiks : Segi klinik, EMG serta pelaksanaannya.
Bulletin PNPNCH 1978: 5, No. 3-4
16. Wibowo S, Moeliono F & Utama J. :
Laporan tahunan EMG FKUI/RSCM, 1993
17. Wibowo S, Mardiono M, Mas’ud HIH, Soemargo S, Liman J, Sukono D, Susety D. :
Low Back Pain & Pirprofen
Simposium Nyeri Anggota Gerak.
PABOI, Surabaya, November, 1989.
18. Wibowo S, Moeliono F., Utama J.,Soemarmo M. :
Peranan elektrofisiologi dalam diagnostik gangguan neurogen perifer.
In : Soedomo H, ed.
Gangguan Gerak.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1990 : 123 – 52
19. Wibowo S. : Dasar-dasar Aplikasi Klinis EMG.
Simposium berkala Neurona
Neurona, 24 July, 1991
20. Wienrich, M. : Functional implications for the presence of
thiamine in the nerve cell membrane.
Pendekatan Rasional Sindroma Nyeri. (Nov, 1992)
21. Yasuda, H. : Medical Consultant & New Remedies.
1988 : 25 (11), 2375.
22. Zimmerman, M. : The Neurobiology of Pain Mechanisms of B-Vitamin Action.
Pendekatan Rasional Sindroma Nyeri. (Nov, 1992)
41