You are on page 1of 8

KESASTRAAN, KESUNDAAN, KEPESANTRENAN, DAN POPULISME:

ANTARA KANONISASI DAN ISLAMISASI

Oleh Ahmad Baso

1. Berbicara tentang “sastra pesantren” bukan sekedar berbicara tentang


kehadiran suara komunitas pesantren dalam produksi sastra. Tapi lebih dari itu,
sastra pesantren adalah sebuah perbincangan atau diskursus tentang
subyektifitas kreatif dimana kalangan pesantren terlibat aktif dalam berkesenian
dan berkebudayaan. Saya selalu mengulang apa yang dikatakan bagaimana
menjadi pesantren sebagai fail terhadap dirinay sendiri.

2. Nancy Florida (1997) misalnya mengkritik para ahli filologi Belanda


karena dianggap melakukan "kanonisasi" sastra Jawa yang cenderung
merendahkan kualitas sastra sebelumnya, yaitu sastra pesantren Jawa.
Menurut Nancy, mengklaim sastra renaissance sebagai adiluhung (bernilai
tinggi) sama saja mengatakan bahwa sastra yang muncul sebelumnya,
yaitu sastra pesantren yang mutunya lebih rendah dibanding sastra masa
renaisans.
Nancy juga membantah bahwa kegiatan sastra setelah masa damai seusai
perjanjian Giyanti tahun 1755, Iebih mengarah kepada penulisan kembali
karya-karya klasik masa Hindu- Jawa dan mengesampingkan sastra Islam.
Salah satu argumen yang digunakan oleh Nancy adalah riwayat hidup
para pujangga besar istana Surakarta yang semuanya berbasis pendidikan
pesantren. Oleh karenanya, Nancy meragukan anggapan beberapa peneliti
sastra bahwa mereka para pujangga itu telah secara sengaja
mengesampingkan nilai-nilai Islam dalam karya-karya mereka. Sebaliknya
karya-karya sastra mereka justru banyak terinspirasi dan dipengaruhi oleh
tradisi dan ilmu pengetahuan pesantren.

3. Ada komentar sinis: Sastra pesantren itu dimatikan oleh dirinya sendiri.
Semua memakai logika benar-salah, baik-buruk diukur dengan agama. Idiom-
idiomnya seperti ini, “Mereka yang pertama kali masuk neraka adalah mereka
yang menamakan diri sebagai penyair.” Di fikih, hal yang harus dihindari
sebagai santri yang baik adalah lelahanan. Sastrawan adalah orang yang berani
keluar dari alam pikir pesantren. Bagaimana A Tohari berani protes pada
kiainya. Yang memprihatinkan sekarang adalah NU mengambil kembali
otoritasnya. Konservatisme menjadi ancaman bagi munculnya sastra pesantren.

4. Problem sastra pesantren adalah refleksi dari kehadiran dua kekuatan global
yang sudah muncul sejak masa kolonial. Yakni kehadiran gerakan reformisme
Islam dan kolonialisme yang mambawa rasionalisme Barat. Ini yang dikatakan

1
oleh Robert Jay dalam Religion and Politics in Rural Central Java (1963), bahwa
gerakan reformisme Islam di Tanah Jawa telah membawa upaya pertemuan
antara western rationalism dan Islamic fundamentalism.
Dalam semangat reformisme keagamaan, sastra sebagai basis populisme rakyat
Jawa dipangkas dengan diperkenalkannya dua front sekaligus: kanonisasi ala
standar dan estetika Barat. Dan kedua, puritaniasi kesastraan pesantren Jawa,
dengan mengembalikannya kepada akar kemruniannya, yakni pada asal-usul
dan akar keislamannya.

5. Sastra Sunda berkembang di lingkungan pesantren, yang didomiansi oleh


aksara Arab atau huruf pegon. Karya-karya mereka berkisar pada cerita-cerita
rakyat, dan juga cerita-cerita dari Timur Tengah yang sudah dimodifikasi sesuai
dengan kebutuhan lokal. Seperti Tjarita Ibrahim, Tjarita Nurulqamar, Hibat (1881)
dan Santri Gagal (1881). Bahasa Sunda menjadi bahasa penutur kalangan
masyarakat, sementara bahasa Jawa menjadi bahasa kalangan elit Sunda
(menak). Sastra pesantren di daerah Cianjur, Prinagan dan Limbangan, lebih
memilih bahasa Sunda dengan aksara Arab sebagai bahasa komunikasi mereka,
dan bukan bahasa atau aksara Jawa atau Latin.

6. Tapi kemudian muncul pembakuan kebahasaan dan kesastraan di era


kolonial. Bahasa Sunda yang terutama diajarkan di sekolah dan dalam
percetakan adalah ragam tulisnya. Ragam tulis itu kuat mempengaruhi ragam
lisan, sehingga membatasi dinamika bahasa Sunda secara keseluruhan dan
membentuk kategori-kategori “baik”, “buruk”, “baku” dan “kurang baku”
(Moriyama 2005: 95).
Konteksnya, kita tahu, seperti saya tunjukkan dalam buku saya, Islam Pasca
Kolonial (2005), adalah kepentingan kolonial untuk membabat habis segenap
elemen populisme dan radikalisme dalam kebudayaan rakyat. Dalam hal ini
kultur pesantren. Segenap karya cipta pesantren ditertibkan. Aksara Arab
dibuang, karena dianggap membawa kepada “fanatisme Islam”. Karya-karya
kesastraan Sunda lalu dicetak dengan dua aksara, Latin di sebelah kanan dan
aksara Jawa di sisi kiri naskah.
Kategori identitas etnik dan agama mulai diperkenalkan untuk penertiban
tersebut. Yang mengangkat akar etnik, akan dianggap sebagai “sastra daerah”,
dalam hal ini “Sastra Sunda”. Dominasi kelisanan dan sama’an (tradisi
mendengar) dalam sastra pesantren/rakyat digantikan dengan media cetak yang
memperkenalkan cara membaca diam (silent reading), sehingga perilaku
kesastraan menjadi privat, dan tercerabut dari akar publik dan populisnya.
Karena menjadi ekspresi dan tindakan privat, maka kesastraan berlaih menjadi
sebuah ekspresi estetika, yang ebrnilais eni, sehingga menjadi kanonik. Proses
standarisasi pun mulai diperkenalkan. Seperti pengenalan bentuk-bentuk estetik
prosa atau puisi.

2
Yang juga memperkaya proses kanonisasi itu adalah diperkenalkannya
terjemehan-terjemahan cerita-cerita Eropa ke dalam bahasa Sunda pada abad 19.
seperti karya Kartawinata (w. 1906), Carios Tuwan Kapitan Marion (1872) dan
Carita Kapitan Bonteku (1874). Sehingga standar estetika kebudayaan rakyat
disandingkan dengan standar kualitas kesastraan kanonik Eropa.
Juga diperkenalkan satu tertib abru yang mengembalikan karya sastra pesantren
kepada akar keislamannya, kepada akar kemurniannya yang Islami. Bentuk-
bentuk kesastraan pesantren yang berbau khurafat dan lokal, dibuang. Dan
mulai dibersihkan dengan mengambil yang murni Islamnya. Sehingga lahirlah
bentuk “sastra Islam”, artinya sastra yang ebrbicara tentang dakwah kepada
ajarana Islam yang murni, yang berpegang kepada al-Quran dan Hadis.
Hal serupa kini ditemukan dalam ekbangkitan karya-karya sastra Islami atau
novel-novel religius yang bebricara secara hitam putih tentang kehidupan
manusia. Seperti perjalanan manusia dari pengalaman masa lalu yang kelam lalu
tobat dan menjadi Islami.

7. Wawacan Panji Wulung misalnya. Versi awal merupakan gubahan dari seorang
kalifah penghulu, lalu diotentisisasi oleh Raden Mohammad Mosa. Sementara
Raden Mohammad Mosa sendiri, kepala penghulu di daerah Limbangan
(Garut), yang dikenal berjasa mengangkat sastra Sunda, adalah didikan
pesantren di Purwakarta.
Tapi dalam proses kanonisasi kemudian, ia dikenal sebagai “pelopor atau
inovator dalam khazanah susastra Sunda, karena dialah yang mula-mula
mengarang karya sastra bercorak realistis” (Elis Suryani Nani Sumarlina,
“Wawacan Panji Wulung: Sebuah Kajian Filologis”). Walaupun berbentuk puisi
tradisional, tulisan Moesa menawarkan estetika dan ideologi baru. Ia memuat
informasi praktis, loyalitas kepada kolonialisme, serta menentang berbagai
pengetahuan tradisional yang dianggap khirafat dan takhayul. Seperti ditulis
Salmoen, “Jang boleh dikatakan ‘chusus’ mendjadi tjiri Muhammad Moesa, ialah
hampir dalam setiap bukunja, dengan tegas dan njata, ditjobanya memberantas
tachajul, bidah dan kuchannah. Hampir semua bukunja pasti memuat satu
pragmen tentang konfrontasi antara dukun jang katanja pandai ilmu sihir dan
ilmu-imu gaib lainnja, dengan pahlawan-tjerita jang nuchter [bijaksana] dan
rasional” (M.A. Salmoen, “Raden Hadji Muhammad Musa”).

8. Demikian pula yang terjadi pada karya-karya Penghulu Haji Hassan Musthafa
(1852-1930). Ia berasal dari keluarga yang taat beragama, penyabar, dan ahli
budaya. Tak sedikit di antara keluarganya, terutama dari pihak ibu, yang
menjadi ulama, bahkan diantaranya pernah menjadi tempat beliau berguru
semasa kecil, yaitu Kyai Hasan Basri dari Kiarakoneng dan Kyai Cibunut.
Keluarga dari pihak ibunya ini banyak pula yang menjadi bujangga, panayagan
(ahli memukul gendang), dan pencipta lagu. Dari lingkungan pihak ibunya pula
terciptanya lagu Sinom Pangrawit yang terkenal itu.

3
10. Selain dikenal sebagai Hoofd Penghulu yang cerdas dan luas
pengetahuannya, baik tentang agama maupun tentang kebudayaan Sunda.
Penghulu Haji Hassan Musthafa dikenal juga sebagai pengarang besar yang
jumlah dan nilai karyanya besar pula. Karena itu, Haji Hasan Mustapa sangat
dikenal di masyarakat Sunda tidak hanya sebagai pegawai pemerintah namun
juga sebagai budayawan, terutama di kalangan budayawan. Ia dianggap sebagai
bujangga Sunda yang belum ada bandingannya samapai saat ini. Beberapa
puisinya yang berbentuk dangding dikenal secara lisan, juga lelucon-leluconnya
sering diperbincangkan. Sampai-sampai sikap hidupnya diketahui umum,
mungkin bersumber dari seorang penutur, atau dari buku-buku yang sempat
beredar, diantaranya buku Bale Bandung, dan Syeh Nurjaman.
Karya yang pertama ditulisnya berangka tahun 1899, yakni naskah yang
berjudul “Aji Wiwitan Gelaran, Buku jilid ka-3”, dan yang terakhir adalah “Aji
Wiwitan Aji Saka II, Buku jilid ka-14”. Dalam masa 31 tahun berkarya, terhitung
dari tahun 1899 sampai 1930, dia telah menghasilkan berpuluh karya yang berisi
buah pikiran, perasaan, dan tanggapannya tentang: Agama, Tasawuf, Filsafat,
adat kebiasaan orang Sunda, serta perisriwa-peristiwa yang dialaminya. Yang
tercatat dan berhasil dikumpulkan berjumlah 49 buah. Dari seluruh karya-
karyanya yang banyak dikagumi dan dibicarakan adalah puisi dangdingnya
yang berjumlah kurang lebih 10000 ribu bait.
Sebagai pengarang besar, gaya berpuisi dia banyak ditiru, terutama oleh
pengarang-pengarang Sunda setelah perang. Sedang karyanya tentang adat dan
kebudayaan Sunda, banyak menarik perhtaian orientalis Belanda, sehingga Kern
menterjemahkannya ke dalam bahasa Belanda.

11. Kanonisasi karya-karya Penghulu Haji Hassan Musthafa: D.K. Ardiwinata


salah seorang ahli bahasa dan pengarang Sunda terkenal sebelum perang, dalam
pembukaan Buku Carita Jeung Sajarah Juragan Haji Hasan Mustapa
(Wangsaatmadja, tanpa tahun: 4), menyebutkan bahwa HHM adalah seorang
yang luas pengetahuannya baik tentang bahasa dan adat-adat Sunda. Di
samping itu, menurut pendapat Ardiwinata dia adalah orang yang amat cerdas
dan pandai mengemukakan pendapat dengan argumentasi yang kuat, sehingga
orang sukar untuk mendebatnya.
Snouck Hurgronje, salah seorang orientalis Belanda yang bertahun-tahun
mengenal dan menjadi sahabat setianya, menganggap dia sebagai orang yang
sangat bijaksana dan cerdas (Kern, 1946: VI). M.I. Prawirawinata yang sering
menerbitkan karya-karya HHM dan pengarang-pengarang Sunda sebelum
perang, dalam kata pengantar buku HHM yang berjudul Bale Bandung
menyebutkan, bahwa tokoh HHM namanya tidak saja dikenal di tanah Priangan,
tetapi dikenal juga di Palembang, bahkan sampai ke Eropa. Kemasyhuran
namanya disebabkan oleh pengetahuannya yang mendalam tengtang kebatinan
dan kepujanggaan (Bale Bandung, 1924).

4
R.A.A. Wiranatakusumah, Bupati Bandung yang mengaguminya, dalam kata
pengantar buku dia yang diterbitkan tahun 1937 menyebutkan; bahwa dia
adalah Pujangga besar yang buah pikiran dan karya-karyanya bermutu tinggi
dan sangat berguna bagi yang ingin mempelajarinya.
W. Wangsaatmadja, Sekretris pribadi yang selama tujuh tahun
mendampinginya, menyebutkan bahwa dia semasa hidupnya termasyhur
sebagai orang pintar, dan ulama yang mengetahui seluk-beluk agama dengan
mendalam, dan masalah darigama yang tidak oleh orang lain. Selanjutnya
Wangsaatmadja menyebutkan karena pengetahuannya yang luas dia menjadi
tempat bertanya para cerdi cendikia asing, yaitu Profesor-profesor dan Doktor-
doktor (Wangsaatmadja, 1930: 11).
Setelah Perang Dunia II, nama dan karyanya lebih banyak dikenal dan
dibicarakan dilingkungan pengarang-pengarang Sunda. Mereka umumnya
membicarakan dari sisi kesastrawanannya. Hanya satu dua yang menyinggung
karyanya dari segi agama.
Sepengetahuan peneliti, Utuy T. Sontanilah pengarang Sunda sesudah perang,
yang mula-mula membicarakan kedudukan HHM dalam sastra Sunda, serta
mengemukakan pendapat dan penilaiannya atas beberapa dangding HHM dari
segi sastra (Mangle II tahun I, 1958).
Menurut Utuy, HHM adalah pujangga Sunda modern yang memiliki
kepribadian mandiri di tengah-tengah pengarang sejamannya. Disebut pujangga
Sunda karena ia tetap berakar pada bumu Sunda, membawa suara dan milik Ki
Sunda; disebut modern, karena ia memiliki kesadaran akan kehadirannya di
tengah-tengah masyarakat modern yang individualistis. Selanjutnya Utuy
menyebutkan bahwa HHM adalah seorang individualis yang memiliki
kepribadian manusia Sunda yang besar, baik dalam pendangan kehidupan
batiniahnya, maupun dalam pandangan kehidupan lahirnya

12. Utuy T. Sontanilah pengarang Sunda sesudah perang, yang mula-mula


membicarakan kedudukan HHM dalam sastra Sunda, serta mengemukakan
pendapat dan penilaiannya atas beberapa dangding HHM dari segi sastra
(Mangle II tahun I, 1958).
Menurut Utuy, HHM adalah pujangga Sunda modern yang memiliki
kepribadian mandiri di tengah-tengah pengarang sejamannya. Disebut pujangga
Sunda karena ia tetap berakar pada bumu Sunda, membawa suara dan milik Ki
Sunda; disebut modern, karena ia memiliki kesadaran akan kehadirannya di
tengah-tengah masyarakat modern yang individualistis. Selanjutnya Utuy
menyebutkan bahwa HHM adalah seorang individualis yang memiliki
kepribadian manusia Sunda yang besar, baik dalam pendangan kehidupan
batiniahnya, maupun dalam pandangan kehidupan lahirnya.
Karya-karyanya menurut Utuy, jauh meninggalkan karya-karya pengarang
sezamannya. Dalam karya-karyanya tidak lagi menyuapi pembaca dengan
nasihat, tetapi mengajak pembaca untuk berpikir kreatif mencari kepribadian

5
sendiri, agar tidak takut menentukan pilihan. Oleh karena itu menurut Utuy,
karya-karyanya tidak akan mungkin diterbitkan oleh penerbit pemerintah
jajahan masa itu, karena karya-karyanya mengajarkan kebebasan berpikir
kepada pembacanya.
Pengarang lain yang lebih luas mengupas karya-karyanya, terutama dari sisi
sastra adalah Ajip Rosidi (1969: 18-31). Pada umumnya pendapat Ajip tentang
dia dan karya-karyanya hampir sama dengan pendapat Utuy, hanya
diungkapkan dalam uaraian yang lebih luas. Ajip pun menyebutkan bahwa dia
adalah seorang yang individualistis (dalam karyanya) yang memiliki
kepribadian yang mandiri. Disebutkannya pula bahwa dia adalah pujangga
Sunda yang yang betul-betuk kenal dan akrab dengan alam Sunda. Membaca
karya-karyanya, orang Sunda sendiri akan merasakan ketidakmampuan dirinya
berbahasa Sunda dibandingkan dengan kekayaan khazanah kata-kata Sunda
yang dimilikinya, serta kemahirannya menggunakan kata-kata.
Puisi dangding, yang pada masa itu dianggap sebagai bentuk puisi yang harus
diataati peraturan-peraturannya, serta diisi dengan ‘bahasa indah’ yang telah
klise; oleh dia telah diisi dengan bahasa yang plastis serta orisinil, hingga tidak
hilang sipat spontanitas dan kreativitasnya.
Selain itu Ajip menyebutkan, bahwa di dalam menerima ajaran Islam dia
berbeda sekali dengan kebanyakan orang pada masa itu. Dia tisak menerima
ajaran Islam dengan rohani yang kosong, namun dengan rohani yang sudah
sarat oleh bekal dari kehidupan dan kekayaan rohani kebudayaan Sunda.
Dongeng-dongeng serta sejarah-sejarah yang dipetik dari babas kaislaman oleh
dia diganti dengan riwayat-riwayat serta tokoh-tokoh cerita yang dikenal oleh
masyarakat Sunda masa itu, misalnya: Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan
Ambu, Prabu Siliwangi, Ratu Galuh, Dayang Sumbi dan lain-lain.
Menurut Ajip isi puisi dangding dan tulisan-tulisan HHM, umumnya membawa
ingatan orang pada isi dan bentuk cerita pantun, mentera-mentera, suluk Sunda
yang hidup dalam sastra Sunda lama.
Menurut pendapat Ajip HHM sebagai mistikus dan filosof Islam hanya dapat
dihitung dan berkembang dilingkungan yang mengenal jiwa dan kebudayaan
Sunda; sebab dia merupakan penjelmaan jiwa rancage yang aktif dan kreatif
dalam tradisi sastra Sunda.
Hasan Wahyuatmakusumah dalam tulisannya tentang HHM (Mangle XXII No.
704, 1979: 9), menyetujui pendapat Lutfi Abad, Dosen Universitas Malaysia, yang
menyebutkan bahwa pengaruh Ar-Raniri ditemukan dalam karya-karyanya.
Pendapat Hasan ini didasarkan atas riwayat kerja HHM yang pernah memangku
jabatan Hoofd Penghulu Aceh, tempat Ar-Raniri menyebarkan paham
agamanya, pada abad 17. Hasan menduga, selama tiga tahun tinggal di Aceh
HHM pernah membaca karya-karya Ar-Raniri yang jatuh ke tangan Pemerintah
Belanda, ketika perang Aceh berkecamuk.
Di samping itu menurut Hasan, dalam karya-karyanya HHM tidak
mengidentifikasi manusia sama dengan Tuhan, akan tetapi kemanunggalan

6
manusia dengan Tuhannya diartikan sebagai kemanunggalan Tuhan Maha
Pencipta dan manusia sebagai mahluk yang diciptakan.
Atas dasar tanggapan dan komentar terhadap karya-karya HHM yang sebagian
besar menggunakan media sastra tersebut, maka karya HHM tidak hanya
dianggap sebagai karya yang mengeksplorsi wacana agama, namun juga sastra.
Kedudukan dia sebagai sastrawan di dalam tardisi sastra Sunda sangat mantap.
Hal itu didasarkan kepada bebrapa alasan, yaitu, pertama, karena di dalam
karya-karyanya dia berpaling kepada simbol-simbol Sunda untuk mengungkap
pengalaman batinnya; kedua, dia melakukan reinterpretasi terhadap berbagai
simbol tersebut. Dengan demikian dia bukan saja berada dalam tradisi sastra
Sunda, akan tetapi menjadi slah seorang penerus tradisi tersebut. Ketiga, dia
memperkaya tradisi sastra Sunda dengan menyumbangkan tema baru, yaitu
tasawuf Islam, dengan demikian melalui dia tradisi sastra Sunda menjadi
mutakhir, setara dengan tradisi sastra lain yang pada abad XX ini
memperlihatkan kecenderungan yang kuat untuk menggarap masalh-masalah
metafisik, bahkan menggambarkan pemberontakan metafisik (Camus, 1977: 29-
30).
Sebagai seorang yang berpaling kepada simbol-simbol (tradisional) Sunda,
jarang sastrawan yang mempergunakannya sebanyak dan sebaik dia. Simbol-
simbol tradisional sastra Sunda yang biasa digunakan, terutama dalam lirik-lirik
tembang Sunda seperti Pajajaran, Galuh, Siliwangi, Mundinglaya, Dewi Asri,
Sangkuriang, Dayang Sumbi dan sebagainya. Disamping simbol-simbol yang
lebih jarang dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan lain, seperti Ciung Wanara,
Boeh Larang, Sang Rumuhun, Puhaci Wirumananggay, Aji Saka, Nyi Sepirasa,
Parawan Sunti, Cupu Manik Astagina dan sebagainya.
Namun dia tidak hanya menggunakan simbol-simbol tersebut, melainkan
memberikan tafsiran baru. Di dalam cerita pantun Mundinglaya di Kusumah
terpaksa berpisah dari kekasihnya karena harus mencari Lalayang Salaka Domas
ke Ja Baning Langit (Langit yang lain). Kedua kekasih ini sebelumnya menjadi
simbol dari cinta murni dan kesetiaan, namun dia mempergunakannya untuk
tema dan dengan cara lain. Kerinduan dua kekasih tersebut ditafsirkan sebagai
simbol kerinduan manusia kepada Tuhannya. Demikian pula, dengan Bowe
Rarang (kafan kasar) yang diceritakan dalam legenda-mitologis Sangkuriang
sebagai alat yang digunakan Dayang Sumbi untuk menipu anaknya itu, agar
tidak mengawininya. Oleh dia ditafsirkan sebagai simbol ajarannya. Masih
banyak contoh lain yang dapat dijadikan bukti tentang bagaimana dia
mereinterpretasi simbol, untuk kepentingan kebaharuan pengalamannya sebagai
manusia Sunda.
Di samping itu, sebagai sastrawan kreatif, dia pun menciptakan simbol-simbol
baru. Manusia yang telah menyadari keesaannya dengan Tuhan (ke-ahadiatan),
akan menyadari kebebasannya untuk bertindak dan berbuat. Namun, seperti
pendapat kaum eksistensialis, ia pun menyadari akan tanggung jawabnya. Di
dalam menimbang-nimbang antara tanggung jawab dan kebebasan ini manusia

7
benar-benar merasa “kesendiriannya”. Untuk manusia macam itu dia
menciptakan anak yatim piatu (pahatu lalis) sebagai simbol. Hubungan Tuhan
dengan manusia seperti di dalam pandangannya yang cenderung phanteistis,
juga juga diberikan simbol yang sangat tepat, yaitu sebagai “hubungan rebung
dengajn bambu.”
Kedudukannya yang mantap dalam tradisi Sunda menonjol, karena
kemampuannya mengerahkan daya ungkap dari simbol-simbol sastra Sunda
yang tradisional. Kedudukannya sebagai pengembang tradisi diperlihatkan
dengan melakukan reinterpretasi terhadap berbagai simbol tradisional dan atau
mengisinya dengan pengalaman-pengalaman baru.
Perlu diungkapkan, bahwa kehidupan rohani Sunda (buhun/kuno) tersimpul di
dalam karya-karya sastra pantun Sunda. Di dalam karya-karya tersebut,
terutama dalam cerita Mundlaya di Kusumah dan Lutung Kasarung, terbayang
kosmos manusia Sunda lama. Kosmos tersebut menempatkan manusia di Buana
Panda Tengah (Dunia) yang diurus oleh Sunan Ambu di Buana Padang. Sunan
Ambu mengasihi orang-orang yang baik (Mundinglaya; Purbasari) dan
nmenghukum orang-orang yang bengis (Sunten Jaya; Purbararang). Untuk
membagikan kasih dan hukuman, Sunan Ambu dibantu oleh mahluk-mahluk
kahiangan yang disebut Bujangga dan Pohaci dan mahluk-mahluk halus yang
menempati tempat keramat, seperti Guriang dan Karuhun-karuhun (leluhur). Di
dalam kosmos yang demikian itulah manusia Sunda lama mendapatkan
ketentuan rohaninya. Dan kosmos inilah yang terus terbayang dalam karya-
karya sastra Sunda lama, dan bahkan dalam karya-karya sastra Sunda modern,
hususnya yang berbentuk Gending Karesmen (Opera Sunda). Dengan
datangnya Islam, kosmos kuno itu dengan sendirinya disisihkan dan diganti
oleh kosmos dari agama Islam. Namun, sebagai ulama yang terpandang, dia
tidak mengajarkan kosmos yang umum (jamak), melainkan menganut dan
mengajarkan sebatas tasawuf. Mudah dipahami kalau karya-karya sastranya
berisikan pengalaman rohaninya; sebelum dan setelah penemuan konsep
tasawufnya. Dengan sendirinya renungan-renungan tasawuf seperti ini
merupakan hal yang baru bagi tradisi sastra Sunda.***

You might also like