Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
Dr.Herman Sumawan, Sp.OG
Disusun oleh :
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2013
PRESENTASI JURNAL
Oleh :
Pembimbing
A. Latar Belakang
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi
wanita yang bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan
terjadi keadaan yang gawat. Keadaan gawat dapat terjadi apabila
kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik merupakan keadaan
emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan
trimester pertama, karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata
bertanggung jawab terhadap kematian ibu, maka disarankan untuk
mengakhiri kehamilan (Basuki dan Saifuddin, 1999).
Angka kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan
atau kelahiran hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9.
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Selama tahun 1980-1990an, insidensi kehamilan ektopik di
negara berkembang yang ditingkatkan oleh sebuah faktor risiko adalah 3-
4, mencapai 100-175 per 1.000.000 wanita usia 15-44 tahun. Beberapa
faktor risiko kehamilan ektopik telah diidentifikasi termasuk penyakit
inflamasi pelvis, merokok, dan kehamilan ektopik sebelumnya. Faktor
risiko yang lain seperti usia, riwayat operasi, dan riwayat obstetri juga
terlibat (Mol et al, 1995).
B. Tujuan
1. Mengetahui faktor risiko terjadinya kehamilan ektopik
2. Mengetahui dan menelaah isi jurnal dalam pengembangan
pengetahuan tentang kehamilan ektopik dan faktor risikonya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Epidemiologi
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Diantara faktor-faktor yang terlibat adalah meningkatnya
pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia
ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan
terapi induksi superovulasi (digilib.unsri.ac.id, 2009).
Angka kejadian kehamilan ektopik di Amerika Serikat meningkat
dalam dekade terakhir yaitu dari 4,5 per 1000 kehamilan pada tahun 1970
menjadi 19,7 per 1000 kehamilan pada tahun 1992. Kehamilan ektopik
masih menjadi penyebab kematian utama pada ibu hamil di Kanada yaitu
berkisar 4% dari 20 kematian ibu pertahun (Murray et al, 2005). Pada
tahun 1980-an, kehamilan ektopik menjadi komplikasi yang serius dari
kehamilan, terhitung sebesar 11% kematian maternal terjadi di Amerika
Serikat (digilib.unsri.ac.id, 2009).
Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta angka kejadian kehamilan
ektopik pada tahun 1987 ialah 153 di antara 4.007 persalinan atau 1 di
antara 26 persalinan (Prawirohardjo, 2005).
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik
berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi
kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0-14,6%.1
Sekurangnya 95 % implantasi ektopik terjadi di tuba Fallopii. Di tuba
sendiri, tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian
berturut-turut pada pars isthmic, infundibulum dan fimbria, dan pars
intersisialis. Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks, atau cavum
peritonealis jarang ditemukan (digilib.unsri.ac.id, 2009).
C. Faktor Resiko
Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik.
Namun kehamilan ektopik juga dapat terjadi pada wanita tanpa faktor
risiko.1 Lebih dari setengah kehamilan ektopik yang berhasil diidentifikasi
ditemukan pada wanita tanpa ada faktor resiko (Murray et al, 2005).
Faktor risiko kehamilan ektopik adalah:
1. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Merupakan faktor risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka
kekambuhan sebesar 15% setelah kehamilan ektopik pertama dan
meningkat sebanyak 30% setelah kehamilan ektopik kedua (Murray et
al, 2005).
2. Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron
Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil masih
menggunakan kontrasepsi spiral (3-4%). Pil yang mengandung hormon
progesteron juga meningkatkan kehamilan ektopik karena dapat
mengganggu pergerakan sel rambut silia di saluran tuba yang
membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk berimplantasi ke dalam
rahim (Murray et al, 2005).
3. Kerusakan dari saluran tuba
Faktor dalam lumen tuba (Prawirohardjo, 2005):
1. Endosalpingitis dapat menyebabkan lumen tuba menyempit atau
membentuk kantong buntu akibat perlekatan endosalping.
2. Pada Hipoplasia uteri, lumen tuba sempit dan berkeluk-keluk dan
hal ini disertai gangguan fungsi silia endosalping.
3. Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat
menjadi sebab lumen tuba menyempit.
Faktor pada dinding tuba (Prawirohardjo, 2005):
1. Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang
dibuahi dalam tuba.
2. Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat
menahan telur yang dibuahi di tempat itu.
Faktor di luar dinding tuba (Prawirohardjo, 2005):
1. Perlekatan peritubal dengan ditorsi atau lekukan tuba dapat
menghambat perjalanan telur.
2. Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen
tuba
4. Faktor lain (Prawirohardjo, 2005):
1. Migrasi luar ovum yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri
atau sebaliknya. Hal ini dapat memperpanjang perjalanan telur
yang dibuahi ke uterus, pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat
menyebabkan implantasi prematur.
2. Fertilisasi in vitro dapat menyebabkan luka parut pada tuba akibat
operasi.
3. Merokok. Kehamilan ektopik meningkat sebesar 1,6 – 3,5
kali dibandingkan wanita yang tidak merokok. Hal ini disebabkan
karena merokok menyebabkan penundaan masa ovulasi (keluarnya
telur dari indung telur), gangguan pergerakan sel rambut silia di
saluran tuba, dan penurunan kekebalan tubuh (Shaw et al, 2010).
D. Patomekanisme
Beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya kehamilan ektopik
di tuba fallopi adalah pertama faktor dari transport embrio di tuba pada
proses ini berperan kontraksi dari dinding tuba dan pergerakan daripada
silia tuba. Pada keadaan normal kontraksi otot polos di dinding tuba
dipengaruhi oleh neuron beta adrenergik dan beberpa substnasi yang
dihasilkan oleh saluran telur itu sendiri seperti prostaglandin, prostasiklin,
camp dan nitrat oksida juga berpengaruh pada transport tuba sedangkan
akitivitas silia dipengaruhi oleh hormon-hormon seks dan IL-6. Namun
pada kehamilan ektopik tuba aktivitas beta adrenergik untuk menstimulasi
otot polos tuba dihambat oleh isoproterenol suatu antagonis dari beta
adrenergik dan pada kehamilan ektopik tuba juga terjadi deplesi dari silia
tuba. Selain dari kontraksi dinding tuba dan pergerkan silia juga
berpengaruh dari lingkungan tuba itu sendiri seperti hormon-hormon seks
yang dihasilkan pada tempat itu (Shaw, et.al, 2010).
Tuba bukanlah tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, sehingga
tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian
besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10
minggu. Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nasib kehamilan
dalam tuba yaitu (Prawirohardjo, 2005):
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati
karena vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi total.
Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya
terlambat untuk beberapa hari (Prawirohardjo, 2005)
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh
darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat
melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan
robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau
seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan selaputnya
dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke
arah ostium tuba abdominal. Perdarahan yang berlangsung terus
menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (hematosalping) dan
selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba,
berkumpul di kavum douglas dan akan membentuk hematokel
retrouterina (Prawirohardjo, 2005).
3. Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars
interstitialis terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama
yang menyebabkan ruptur ialah penembusan villi koriales ke dalam
lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara
spontan atau karena trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam
rongga perut melalui ostium tuba abdominal. Bila ostium tuba
tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba
yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena tekanan darah
dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah ligamentum latum
dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2 lapisan ligamentum
tersebut. Jika janin hidup terus, dapat terjadi kehamilan intraligamenter
(Prawirohardjo, 2005).
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba,
tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih
diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta masih utuh
kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga terjadi
kehamilan ektpik lanjut atau kehamilan abdominal sekunder. Untuk
mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan
meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya misalnya ke sebagian
uterus, ligamentum latum, dasar panggul dan usus (Prawirohardjo,
2005).
F. Diagnosis Banding
1. Salfingitis
2. Abortus imminens atau abortus incompletus
3. Corpus luteum atau kista folikel yang pecah
4. Torsi kistoma ovarii
5. Appendisitis
6. Gastroentritis (Murray et al, 2005).
G. Penatalaksanaan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi.
Dalam tindakan demikian beberapa hal perlu diperhatikan dan
dipertimbangkan yaitu (Prawirohardjo, 2005) :
1. kondisi penderita saat itu
2. keinginan penderita akan fungsi reproduksinya
3. lokasi kehamilan ektopik
4. kondisi anatomik organ pelvis
Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan
salpingektomi pada kehamilan tuba atau dapat dilakukan pembedahan
konservatif yaitu hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba.
Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik
dilakukan salpingektomi (digilib.unsri.ac.id, 2009).
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan
ektopik terutama pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada
tuba. Penatalaksanaan pembedahan sendiri dapat dibagi atas dua yaitu
pembedahan konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif
terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur
pada tubanya. Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini
mungkin dilakukan apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat
ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada tuba
(digilib.unsri.ac.id, 2009).
a. Salpingotomi linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang
ideal dilakukan pada kehamilan tuba yang belum mengalami
ruptur. Karena lebih dari 75% kehamilan ektopik terjadi pada 2/3
bagian luar dari tuba. Prosedur ini dimulai dengan menampakkan,
mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu insisi linier dibuat diatas
segmen tuba yang meregang. Hasil konsepsi dikeluarkan dengan
hati-hati dari dalam lumen. Setiap sisa trofoblas yang ada harus
dibersihkan dengan melakukan irigasi pada lumen dengan
menggunakan cairan ringer laktat yang hangat untuk mencegah
kerusakan lebih jauh pada mukosa. Hemostasis yang komplit pada
mukosa tuba harus dilakukan, karena kegagalan pada tindakan ini
akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan membawa
pada terjadinya adhesi intralumen. Batas mukosa kemudian ditutup
dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan hanya dilakukan
untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan otot dan tidak ada
tegangan yang berlebihan (digilib.unsri.ac.id, 2009).
b. Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah
diajukan sebagai satu alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini
dilakukan dengan mengangkat bagian implantasi. Tujuan lainnya
adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba. Hanya pasien
dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk menjalani
prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan
dipisahkan dengan hati-hati untuk menghindari terbentuknya
hematom pada ligamentum latum. Jahitan seromuskuler dilakukan
dengan menggunakan mikroskop/loupe (digilib.unsri.ac.id, 2009).
c. Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba
mengalami ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi
dan harus segera diatasi. Hemoperitonium yang luas akan
menempatkan pasien pada keadaan krisis kardiopulmunonal yang
serius. Insisi suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan, dan tuba
yang meregang diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan
klem Kelly sedekat mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi
dengan memotong irisan kecil pada myometrium di daerah cornu
uteri, hindari insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan
matras angka delapan dengan benang absorable 0 digunakan untuk
menutup myometrium pada sisi reseksi baji. Mesosalping ditutup
dengan jahitan terputus dengan menggunakan benang absorbable.
Hemostasis yang komplit sangat penting untuk mencegah
terjadinya hematom pada ligamentum latum (digilib.unsri.ac.id,
2009).
2. Medisinalis
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan
ultrasonografi transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat
diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Keuntungan dari
ditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara dini adalah bahwa
penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan. Penatalaksanaan
medisinalis memiliki keuntungan yaitu kurang invasif, menghilangkan
risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan fungsi fertilitas dan
mengurangi biaya serta memperpendek waktu penyembuhan (Murray
et al, 2005).
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum
pecah pernah dicoba ditangani menggunakan kemoterapi untuk
menghindari tindakan pembedahan. Kriteria kasus yang diobati
dengan cara ini ialah (Murray et al, 2005) :
1. Kehamian di pars ampularis tuba belum pecah
2. Diameter kantong gestasi ≤ 4cm
3. Perdarahan dalam rongga perut ≤100 ml
4. Tanda vital baik dan stabil
Obat yang digunakan ialah methotreksat (MTX) 1 mg/kgBB i.v.
dan faktor sitrovorm 0,1 mg/kgBB i.m. berselang seling setiap hari
selama 8 hari. Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan
mempengaruhi sintesis DNA dan multiplikasi sel dengan cara
menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate reduktase. MTX ini akan
menghentikan proliferasi trofoblas. Pemberian MTX dapat secara oral,
sistemik iv,im atau injeksi local. Selain dengan dosis tunggal, dapat
juga diberikan multidosis sampai empat dosis atau kombinasi dengan
leucovorin 0,1 mg/kgBB. Kontraindikasi pemberian MTX absolut
adalah ruptur tuba, adanya penyakit ginjal atau hepar yang aktif.
Sedangkan kontraindikasi relatif adalah nyeri abdomen (Murray et al,
2005).
H. Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun
dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup tetapi bila
pertolongan terlambat angka kematian dapat meningkat. Pada umumnya
kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian
wanita menjadi steril, setelah mengalami kehamilan ektopik atau dapat
mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan
ektopik yang berulang dilaporkan antara 0-14,6%. Untuk wanita dengan
anak yang sudah cukup sebaiknya pada operasi dilakukan salfingektomi
bilateral. Dengan sendirinya hal ini perlu disetujui untuk suami istri
sebelumnya (Basuki dan Saifuddin, 1999).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Metode Penelitian
Metodologi penelitian ini menggunakan desain kasus-kontral
dalam skala besar dengan pencatatan kelompok kasus dan kontrol. Pencatatan
dimulai pada Januari 1992 di wilayah Auvergne di pusat kota Perancis
(sekitar 1.1 juta penduduk). Semua wanita antara usia 15-44 tahun yang hidup
di wilayah ini dan mendapat terapi kehamilan ektopik telah dicatat. Pada
setiap pusat pelayanan kesehatan (15 rumah sakit maternal dan 12 unit
pembedahan, baik negeri maupun swasta), seorang investigator yang terlatih
(seorang bidan atau seorang dokter) bertanggung jawab untuk mengidentifiksi
kasus dan mengumpulkan data, dan investigator ini mengecek pencatatan
kasus secara lengkap pada akhir tahun. Informasi ini dikumpulkan dari setiap
wanita (dari tanya jawab dan rekam medis) termasuk karakteristik
sosiodemografi; ginekologi, reproduksi, riwayat operasi, kondisi pada saat
konsepsi (penggunaan kontrasepsi, induksi ovulasi); kebiasaan merokok;
hasil tes serologi untuk Chlamydia trachomatis; karakteristik kehamilan
ektopik; dan prosedur terapi yang digunakan.
Setiap kasus kehamilan ektopik pada seorang wanita yang tidak
menggunakan kontrasepsi dihubungkan dengan dua kontrol: wanita yang
melahirkan di pusat pelayanan dimana kasus diterapi dan wanita yang proses
melahirkannya terjadi segera setelah terapi pada kasus.
Antara September 1993 (awal perekrutan kontrol) dan Desember
2000, dikumpulkan 1, 065 kasus dan 1,881 kontrol. Wanita yang mengalami
abortus yang diinduksi tidak termasuk dalam kelompok kontrol karena di
Perancis wanita-wanita ini dirujuk ke pusat spesialistik yang tidak
berhubungan dengan rumah sakit bersalin. Didapatkan sampel kasus dan
kontrol sejumlah 803 kasus dan 1,683 konrol.
B. Hasil Penelitian
Kami menggunakan analisis dua tingkat pada faktor risiko potensial
yang diteliti. Pertama, kami membagi faktor risiko menjadi empat kelompok:
1) karakteristik sosiodemografi, 2) riwayat operasi, ginekologi, dan obstetri,
3) paparan potensial pada faktor infeksi, dan 4) riwayat kontrasepsi dan
penanda fertilitas. Analisi univariat dilakukan untuk menghasilkan perkiraan
odds rasio. Kemudian, regresi logistik dilakukan pada setiap kelompok,
termasuk variabel dengan nilai p ≤0.2 pada analisis univariat. Terakhir,
variabel dengan nilai p ≤0.2 pada empat analisis parsial ini dimasukkan ke
dalam analisis regresi logistik menyeluruh.
Tabel 1. Faktor Risiko Utama Kehamilan Ektopik dengan Analisis Regresi
Logistik Akhir (Model Efek Acak)
Variabel Adjusted 95% CI p
OR
C. Pembahasan
Penelitian ini menghubungkan beberapa faktor risiko terhadap
kejadian kehamilan ektopik. Faktor risiko yang dihubungkan yaitu,
karakteristik sosiodemografi (umur dan kebiasaan merokok), riwayat operasi
ginekologi dan obstetri, paparan potensial pada faktor infeksi (infeksi genital
sebelumnya), serta riwayat kontrasepsi dan infertilitas. Penelitian ini
dilakukan di kota Auvergne, Prancis dari tahun 1993-2000. Hampir semua
wanita yang tinggal di wilayah Auvergne yang diterapi kehamilan ektopik
selama periode penelitian dimasukkan ke dalam penelitian ini. Kontrol dipilih
dari populasi dengan karakteristik geografi yang sama dengan kasus. Jumlah
kasus dan kontrol yaitu 803 kasus dan 1,683 konrol.
Infeksi genital sebelumnya dan operasi tuba
Terdapat hubungan yang signifikan antara infeksi genital sebelumnya
dan operasi tuba dengan kehamilan ektopik (Tabel 7).
Tabel 2. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Infeksi Genital
sebelumnya dan Operasi tuba sebelumnya
Faktor Risiko OR AR P Value
Merokok
Hubungan yang kuat antara penggunaan tembakau dan kehamilan
ektopik telah diteliti oleh beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Tay et al. dan Jullie et al. Penelitian ini mengkonfirmasi hubungan
merokok dengan kehamilan ektopik yaitu memperlihatkan pengaruh nicotinin
terhadap tuba fallopi. Pada penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan
antara merokok dengan kehamilan ektopik (Tabel 8).
Usia
Usia sudah lama dicurigai berperan dalam risiko kehamilan
ektopik, tetapi penelitian-penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Egger et
al memperlihatkan hasil yang bertentangan. Dalam penelitian ini, setelah
penyesuaian dengan hati-hati, peneliti menemukan suatu hubungan yang
signifikan antara usia dan kehamilan ektopik. Dalam penelitian ini
menyimpulkan bahwa pada wanita yang lebih tua umurnya memiliki risiko
yang lebih tinggi pada kehamilan ektopik. Hal ini mungkin melibatkan
perubahan yang berhubungan dengan usia pada penurunan fungsi tuba
sehingga menghambat transportasi ovum dan hasil pada implantasi tuba.
Tetapi, hipotesis ini harus diuji. (Tabel 8)
Tabel 4. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Usia
Usia OR AR P Value
< 20 0.6
20-24 0.9
25-29 1
0,14 0.01
30-34 1.3
35-39 1.4
≥40 2.9
Infertilitas
Peneliti menemukan bahwa risiko yang disesuaikan pada
kehamilan ektopik meningkat bersama dengan durasi infertilitas, dan
hubungan ini tetap ada jika analisis terbatas pada wanita yang kehamilannya
tidak diinduksi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sohinee et al, 2012. Oleh karena itu kemungkinan riwayat infertilitas
(terlepas dari penggunaan obat infertilitas) berhubungan dengan risiko
kehamilan ektopik. Tetapi, kehamilan ektopik diketahui menjadi faktor risiko
infertilitas selanjutnya. Hubungan antara kehamilan ektopik dan infertilitas
sepertinya adalah faktor risiko yang saling timbal balik dan terlihat rumit.
Tabel 7. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Riwayat infertil
Riwayat infertil OR AR P Value
Tidak 1
<1 tahun 2.1
0,18 <0,001
1-2 tahun 2.6
>2 tahun 2.7
DAFTAR PUSTAKA
Basuki B, Saifuddin AB. 1999. Ectopic pregnancy and estimated subsquent
fertility problems in Indonesia. Majalah Obstetri dan Ginekologi
Indonesia;23:212-218
Bouyer J, Rachou E, Germain E, et al. 2000. Risk factors for extrauterine
pregnancy in women using an intrauterine device. Fertil
Steril;74:899–908.
Bouyer, J., Joël Coste1, Taraneh Shojaei, Jean-Luc Pouly, Hervé Fernandez,
Laurent Gerbaud, and Nadine Job-Spira. 2003. Risk Factors for
Ectopic Pregnancy: A Comprehensive Analysis Based on a Large
Case-Control, Population-based Study in France. American Journal
of Epidemiology;157:185–194
Chow WH, Daling JR, Cates W Jr, et al. 1987. Epidemiology of ectopic
pregnancy. Epidemiol Rev;9:70–94.
Coste J, Fernandez H, Joye N, et al. 2000. Role of chromosome abnormalities
in ectopic pregnancy. Fertil Steril;74:1259–60.
Digilib.unsri.ac.id. 2009. Kehamilan Ektopik. Available at
http://digilib.unsri.ac.id/download/Kehamilan%20Ektopik.pdf.
Egger M, Low N, Smith GD, et al. 1998. Screening for chlamydial infections
and the risk of ectopic pregnancy in a county in Sweden: ecological
analysis. BMJ;316:1776–80.
Holt VL, Daling JR, Voigt LF, et al. 1989. Induced abortion and the risk of
subsequent ectopic pregnancy. Am J Public Health;79:1234–8.
Julie L.V. Shaw, Elizabeth Oliver, Kai-Fai Lee et al. 2010. Cotinine Exposure
Increases Fallopian Tube PROKR1 Expression via Nicotinic
AChR_-7: Metabolic, Endocrine and Genitourinary Pathobiology.
The American Journal of Pathology, Vol. 177, No. 5:2509–2515
Kalandidi A, Doulgerakis M, Tzonou A, et al. 1991. Induced abortions,
contraceptive practices, and tobacco smoking as risk factors for
ectopic pregnancy in Athens, Greece. Br J Obstet Gynecol;98:207–
13.
Lozeau, Anne M & Potter, Beth 2005, ‘Diagnosis and Management of Ectopic
Pregnancy’, Am Fam Physician, 72:1707-14, 1719-20 [Online]
[Accessed 2013 Maret]. Available from:
http://www.aafp.org/afp/2005/1101/p1707.html
Mol BW, Ankum WM, Bossuyt PM, et al. 1995. Contraception and the risk of
ectopic pregnancy: a meta-analysis. Contraception;52:337–41.
Murray, H., Baakdah, H., Bardell, T., Tulandi, T. 2005. Diagnosis and
Treatment of Ectopic Pregnancy, CMA Media Inc. Canadian Medical
Association Journal (CMAJ);173(8), Available at
http://www.cmaj.ca.full.pdf+html.
Prawirohardjo, S., 2005. Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Kandungan. Jakarta
Pusat : Yayasan Bina Pustaka.
Shaw,J.L.V., Dey S.K., Critchley ,H.O.D & Horne A.W 2010,’Current
knowledge of the aetiology of human tubal ectopic pregnancy
Human Reproduction Update, Vol.16, No.4 pp. 432–444,
2010[Online] [Accessed 2013 Maret]. Available from:
http://humupd.oxfordjournals.org/content/16/4/432.full.pdf+html
Sohinee Bhattacharya, David J McLernon, Amanda J Lee, and Siladitya
Bhattacharya. 2012. Reproductive Outcomes Following Ectopic
Pregnancy: Register-Based Retrospective Cohort Study. Obstetric
Epidemiology: PLoS Medicine vol. 9
Tay JI, Moore J, Walker JJ. 2000. Ectopic pregnancy. BMJ;320:916–19.
Risk Factors for Ectopic Pregnancy: A Comprehensive Analysis Based on a
Large Case-Control, Population-based Study in France
Jean Bouyer, Joël Coste1, Taraneh Shojaei, Jean-Luc Pouly, Hervé Fernandez,
Laurent Gerbaud, and Nadine Job-Spira
Abstrak
Penelitian kasus kontrol ini berhubungan dengan pencatatan regional dari
kehamilan ektopik antara tahun 1993 sampai 2000 di Perancis. Penelitian
ini memasukkan 803 kasus kehamilan ektopik dan 1683 persalinan dan
cukup kuat untuk meneliti tentang semua faktor risiko kehamilan ektopik.
Faktor risiko utama adalah riwayat infeksi (adjusted attributable risk =
0.33; adjusted odds rasio untuk penyakit infeksi pelvis sebelumnya = 3.4,
tingkat kepercayaan 95%: 2.4, 5.0) dan merokok (adjusted attributable
risk = 0.35; adjusted odds rasio = 3.9, tingkat kepercayaan 95%: 2.6, 5.9
untuk >20 batang rokok/hari vs. wanita yang tidak pernah merokok).
Faktor risiko lainnya adalah usia (berhubungan dengan risiko kehamilan
ektopik), abortus spontan sebelumnya, riwayat infertil, dan penggunaan
alat intrauterin sebelumnya. Abortus yang diinduksi secara medis
sebelumnya berhubungan dengan risiko kehamilan ektopik (adjusted odds
rasio = 2.8, tingkat kepercayaan 95%: 1.1, 7.2); tidak ada hubungan yang
diamati untuk abortus karena pembedahan (adjusted odds rasio = 1.1,
tingkat kepercayaan 95%: 0.8, 1.6). Total dari attributable risk untuk
semua faktor yang diteliti adalah 0.76. Hubungan yang paling erat
ditemukan antara kehamilan ektopik dengan infertilitas dan kehamilan
ektopik dengan abortus spontan, penelitian lebih lanjut tentang kehamilan
ektopik seharusnya fokus pada faktor risiko yang sama dengan kondisi ini.
Dalam bidang kesehatan masyarakat, peningkatan kewaspadaan dari efek
merokok mungkin berguna untuk pencegahan kehamilan ektopik.
Kata kunci: abortion, induced; case-control studies; infertility, female;
pregnancy, ectopic; registries; risk factors; sexually transmitted diseases;
tobacco.