You are on page 1of 26

PRESENTASI JURNAL

Risk Factors for Ectopic Pregnancy: A Comprehensive Analysis Based on a


Large Case-Control, Population-based Study in France

Pembimbing :
Dr.Herman Sumawan, Sp.OG

Disusun oleh :

Aniek Marsetyowati G4A013020


Rahmat Husein G4A013021
Pandu Nugroho Kanta G4A013022

JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2013
PRESENTASI JURNAL

Risk Factors for Ectopic Pregnancy: A Comprehensive Analysis Based on a


Large Case-Control, Population-based Study in France

Oleh :

Aniek Marsetyowati G4A013020


Rahmat Husein G4A013021
Pandu Nugroho Kanta G4A013022

Untuk memenuhi salah satu persyaratan menempuh ujian


kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Kebidanan dan Kandungan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disetujui dan disahkan,


Pada tanggal Oktober 2013

Pembimbing

dr. Herman Sumawan, Sp.OG


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi
wanita yang bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan
terjadi keadaan yang gawat. Keadaan gawat dapat terjadi apabila
kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik merupakan keadaan
emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan
trimester pertama, karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata
bertanggung jawab terhadap kematian ibu, maka disarankan untuk
mengakhiri kehamilan (Basuki dan Saifuddin, 1999).
Angka kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan
atau kelahiran hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9.
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Selama tahun 1980-1990an, insidensi kehamilan ektopik di
negara berkembang yang ditingkatkan oleh sebuah faktor risiko adalah 3-
4, mencapai 100-175 per 1.000.000 wanita usia 15-44 tahun. Beberapa
faktor risiko kehamilan ektopik telah diidentifikasi termasuk penyakit
inflamasi pelvis, merokok, dan kehamilan ektopik sebelumnya. Faktor
risiko yang lain seperti usia, riwayat operasi, dan riwayat obstetri juga
terlibat (Mol et al, 1995).

B. Tujuan
1. Mengetahui faktor risiko terjadinya kehamilan ektopik
2. Mengetahui dan menelaah isi jurnal dalam pengembangan
pengetahuan tentang kehamilan ektopik dan faktor risikonya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kehamilan Ektopik


Kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana sel telur yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uterus. Termasuk
dalam kehamilan ektopik ialah kehamilan tuba, ovarial, kehamilan intra
ligamenter, kehamilan servikal, dan kehamilan abdominal (Prawirohardjo,
2005).

Gambar. Lokasi Kehamilan Ektopik

B. Epidemiologi
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Diantara faktor-faktor yang terlibat adalah meningkatnya
pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia
ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan
terapi induksi superovulasi (digilib.unsri.ac.id, 2009).
Angka kejadian kehamilan ektopik di Amerika Serikat meningkat
dalam dekade terakhir yaitu dari 4,5 per 1000 kehamilan pada tahun 1970
menjadi 19,7 per 1000 kehamilan pada tahun 1992. Kehamilan ektopik
masih menjadi penyebab kematian utama pada ibu hamil di Kanada yaitu
berkisar 4% dari 20 kematian ibu pertahun (Murray et al, 2005). Pada
tahun 1980-an, kehamilan ektopik menjadi komplikasi yang serius dari
kehamilan, terhitung sebesar 11% kematian maternal terjadi di Amerika
Serikat (digilib.unsri.ac.id, 2009).
Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta angka kejadian kehamilan
ektopik pada tahun 1987 ialah 153 di antara 4.007 persalinan atau 1 di
antara 26 persalinan (Prawirohardjo, 2005).
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik
berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi
kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0-14,6%.1
Sekurangnya 95 % implantasi ektopik terjadi di tuba Fallopii. Di tuba
sendiri, tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian
berturut-turut pada pars isthmic, infundibulum dan fimbria, dan pars
intersisialis. Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks, atau cavum
peritonealis jarang ditemukan (digilib.unsri.ac.id, 2009).

C. Faktor Resiko
Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik.
Namun kehamilan ektopik juga dapat terjadi pada wanita tanpa faktor
risiko.1 Lebih dari setengah kehamilan ektopik yang berhasil diidentifikasi
ditemukan pada wanita tanpa ada faktor resiko (Murray et al, 2005).
Faktor risiko kehamilan ektopik adalah:
1. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Merupakan faktor risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka
kekambuhan sebesar 15% setelah kehamilan ektopik pertama dan
meningkat sebanyak 30% setelah kehamilan ektopik kedua (Murray et
al, 2005).
2. Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron
Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil masih
menggunakan kontrasepsi spiral (3-4%). Pil yang mengandung hormon
progesteron juga meningkatkan kehamilan ektopik karena dapat
mengganggu pergerakan sel rambut silia di saluran tuba yang
membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk berimplantasi ke dalam
rahim (Murray et al, 2005).
3. Kerusakan dari saluran tuba
Faktor dalam lumen tuba (Prawirohardjo, 2005):
1. Endosalpingitis dapat menyebabkan lumen tuba menyempit atau
membentuk kantong buntu akibat perlekatan endosalping.
2. Pada Hipoplasia uteri, lumen tuba sempit dan berkeluk-keluk dan
hal ini disertai gangguan fungsi silia endosalping.
3. Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat
menjadi sebab lumen tuba menyempit.
Faktor pada dinding tuba (Prawirohardjo, 2005):
1. Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang
dibuahi dalam tuba.
2. Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat
menahan telur yang dibuahi di tempat itu.
Faktor di luar dinding tuba (Prawirohardjo, 2005):
1. Perlekatan peritubal dengan ditorsi atau lekukan tuba dapat
menghambat perjalanan telur.
2. Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen
tuba
4. Faktor lain (Prawirohardjo, 2005):
1. Migrasi luar ovum yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri
atau sebaliknya. Hal ini dapat memperpanjang perjalanan telur
yang dibuahi ke uterus, pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat
menyebabkan implantasi prematur.
2. Fertilisasi in vitro dapat menyebabkan luka parut pada tuba akibat
operasi.
3. Merokok. Kehamilan ektopik meningkat sebesar 1,6 – 3,5
kali dibandingkan wanita yang tidak merokok. Hal ini disebabkan
karena merokok menyebabkan penundaan masa ovulasi (keluarnya
telur dari indung telur), gangguan pergerakan sel rambut silia di
saluran tuba, dan penurunan kekebalan tubuh (Shaw et al, 2010).
D. Patomekanisme
Beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya kehamilan ektopik
di tuba fallopi adalah pertama faktor dari transport embrio di tuba pada
proses ini berperan kontraksi dari dinding tuba dan pergerakan daripada
silia tuba. Pada keadaan normal kontraksi otot polos di dinding tuba
dipengaruhi oleh neuron beta adrenergik dan beberpa substnasi yang
dihasilkan oleh saluran telur itu sendiri seperti prostaglandin, prostasiklin,
camp dan nitrat oksida juga berpengaruh pada transport tuba sedangkan
akitivitas silia dipengaruhi oleh hormon-hormon seks dan IL-6. Namun
pada kehamilan ektopik tuba aktivitas beta adrenergik untuk menstimulasi
otot polos tuba dihambat oleh isoproterenol suatu antagonis dari beta
adrenergik dan pada kehamilan ektopik tuba juga terjadi deplesi dari silia
tuba. Selain dari kontraksi dinding tuba dan pergerkan silia juga
berpengaruh dari lingkungan tuba itu sendiri seperti hormon-hormon seks
yang dihasilkan pada tempat itu (Shaw, et.al, 2010).
Tuba bukanlah tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, sehingga
tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian
besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10
minggu. Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nasib kehamilan
dalam tuba yaitu (Prawirohardjo, 2005):
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati
karena vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi total.
Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya
terlambat untuk beberapa hari (Prawirohardjo, 2005)
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh
darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat
melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan
robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau
seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan selaputnya
dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke
arah ostium tuba abdominal. Perdarahan yang berlangsung terus
menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (hematosalping) dan
selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba,
berkumpul di kavum douglas dan akan membentuk hematokel
retrouterina (Prawirohardjo, 2005).
3. Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars
interstitialis terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama
yang menyebabkan ruptur ialah penembusan villi koriales ke dalam
lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara
spontan atau karena trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam
rongga perut melalui ostium tuba abdominal. Bila ostium tuba
tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba
yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena tekanan darah
dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah ligamentum latum
dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2 lapisan ligamentum
tersebut. Jika janin hidup terus, dapat terjadi kehamilan intraligamenter
(Prawirohardjo, 2005).
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba,
tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih
diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta masih utuh
kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga terjadi
kehamilan ektpik lanjut atau kehamilan abdominal sekunder. Untuk
mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan
meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya misalnya ke sebagian
uterus, ligamentum latum, dasar panggul dan usus (Prawirohardjo,
2005).

E. Tanda dan Gejala


Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik
belum terganggu demikian besarnya sehingga sebagian besar penderita
mengalami abortus tuba atau ruptur ruba sebelum keadaan menjadi jelas
(Basuki dan Saifuddin, 1999).
Anamnesis : haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu, dan
kadang-kadang terdapat gejala subyektif kehamilan muda. Nyeri
abdominal terutama bagian bawah dan perdarahan pervaginam pada
trimester pertama kehamilan merupakan tanda dan gejala klinis yang
mengarah ke diagnosis kehamilan ektopik. Gejala-gejala nyeri abdominal
dan perdarahan pervaginam tidak terlalu spesifik atau juga sensitif
(Lozeau, Anne & Potter 2005)
Pemeriksaan umum : penderita tampak kesakitan dan pucat. Pada
perdarahan di dalam rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan.
Kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara
tepat semata-mata atas adanya gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik
(Basuki dan Saifuddin, 1999).
Pemeriksaan ginekologi : tanda-tanda kehamilan muda mungkin
ditemukan. Pergerakan serviks menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat
diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba
tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum
Douglas yang menonjol dan nyeri-raba menunjukkan adanya hematokel
retrouterina. Suhu kadang-kadang naik sehingga menyukarkan perbedaan
dengan infeksi pelvic (Lozeau, Anne & Potter 2005)
Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5
dan 12 minggu. Pada usia kehamilan 12 minggu, kehamilan ektopik telah
memperlihatkan gejala-gejala sekunder terhadap terjadinya ruptur atau
uterus pada wanita dengan kehamilan intrauterin yang normal telah
mengalami pembesaran yang berbeda dengan bentuk dari kehamilan
ektopik (Basuki dan Saifuddin, 1999).
Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan hemoglobin dan jumlah
sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik
terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut.
Pada kasus tidak mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus
diingat bahwa penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam.
Perhitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila
leukosit meningkat (leukositosis). Untuk membedakan kehamilan ektopik
dari infeksi pelvik dapat diperhaikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit
yang lebih dari 20.000 biasanya menunjukkan infeksi pelvic (Basuki dan
Saifuddin, 1999).
Pemeriksaan penunjang, meliputi:
Pengukuran kadar beta HCG: hal ini penting untuk memastikan
kehamilan. Pada unit kegawatdaruratan, kehamilan didiagnosis dengan
menentukan urin atau konsentrasi serum β human chorionic gonadotropin
(β-hCG). Hormon ini terdeteksi dalam urin dan darah sedini 1 minggu
sebelum menstruasi pada periode yang diharapkan. HCG pada serum dapat
terdeteksi pada konsentrasi terendah yaitu 5 IU / L, sedangkan tes urin
terdeteksi pada konsentrasi terndah 20-50 IU/L. Dalam kebanyakan kasus,
skrining dilakukan dengan tes urine, karena untuk mendapatkan hasil tes
serum memakan waktu dan tidak selalu mungkin di malam hari dan pada
malam hari. Namun, jika kehamilan diduga kuat, bahkan ketika tes urin
memiliki hasil negatif, pengujian serum akan menjadi definitif.
Pengukuran serum β-hCG dan urin tidak dapat menentukan letka
kehamilan sehingga harus didikung dengan ultrasonografi. Meskipun
wanita dengan kehamilan ektopik cenderung memiliki kadar β-hCG yang
lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan intrauterine (Muray, et.al
2005). Pada kehamilan intrauterin, normalnya HCG dihasilkan 53 persen
tiap 2 hari yaitu sekitar lebih dari 100,000 mIU per mL (100,000 IU per
L). Sedangkan pada kehamilan ektopik dihasilkan 1500 IU/L. (Lozeau,
Anne & Potter 2005)
Kuldosentesis : ialah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui
apakah terdapat darah dalam kavum Douglas. Cara ini sangat berguna
untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Teknik
kuldosentesis yaitu :
- Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi
- Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptic
- Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan
tenakulum, kemudian dilakukan traksi ke depan sehingga forniks
posterior ditampakkan
- Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan
semprit 10 ml dilakukan pengisapan. Hasil positif bila dikeluarkan
darah berwarna coklat sampai hitam yang tdak membeku atau berupa
bekuan-bekuan kecil. Hasil negatif bila cairan yang dihisap berupa :
- Cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal
atau kista ovarium yang pecah.
- Nanah yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang
appendiks yang pecah (nanah harus dikultur).
- Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan
membeku, darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
Ultrasonografi : USG merupakan sebuah transformasi saat ini yang
sangat sering digunakan untuk mendiagnosis kehamilan pada trimester
awal, juga untuk mengetahui apakah janin di dalam kandungan normal
atau abnormal. (Muray, et.al 2005). Kehamilan ektopik diduga jika
transabdominal ultrasonografi tidak menunjukkan kantung kehamilan
intrauterine dan kadar beta-hCG pasien lebih besar dari 6.500 mIU per mL
(6.500 IU per L) atau jika ultrasonografi tidak menunjukkan kantung
kehamilan intrauterine dan kadar beta-hCG pasien adalah 1.500 mIU per
mL (1.500 IU per L) atau lebih besar. Temuan USG juga harus
dikombinasikan dengan kadar beta-hCG pasien. (Lozeau, Anne & Potter
2005)
Laparoskopi : hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik
terakhir untuk kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur
diagnostik yang lain meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat
kandungan bagian dalam dapat dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan
uterus, ovarium, tuba, kavum Douglas dan ligamentum latum. Adanya
darah dalam rongga pelvis mempersulit visualisasi alat kandungan tetapi
hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi (digilib.unsri.ac.id,
2009).

F. Diagnosis Banding
1. Salfingitis
2. Abortus imminens atau abortus incompletus
3. Corpus luteum atau kista folikel yang pecah
4. Torsi kistoma ovarii
5. Appendisitis
6. Gastroentritis (Murray et al, 2005).

G. Penatalaksanaan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi.
Dalam tindakan demikian beberapa hal perlu diperhatikan dan
dipertimbangkan yaitu (Prawirohardjo, 2005) :
1. kondisi penderita saat itu
2. keinginan penderita akan fungsi reproduksinya
3. lokasi kehamilan ektopik
4. kondisi anatomik organ pelvis
Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan
salpingektomi pada kehamilan tuba atau dapat dilakukan pembedahan
konservatif yaitu hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba.
Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik
dilakukan salpingektomi (digilib.unsri.ac.id, 2009).
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan
ektopik terutama pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada
tuba. Penatalaksanaan pembedahan sendiri dapat dibagi atas dua yaitu
pembedahan konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif
terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur
pada tubanya. Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini
mungkin dilakukan apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat
ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada tuba
(digilib.unsri.ac.id, 2009).
a. Salpingotomi linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang
ideal dilakukan pada kehamilan tuba yang belum mengalami
ruptur. Karena lebih dari 75% kehamilan ektopik terjadi pada 2/3
bagian luar dari tuba. Prosedur ini dimulai dengan menampakkan,
mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu insisi linier dibuat diatas
segmen tuba yang meregang. Hasil konsepsi dikeluarkan dengan
hati-hati dari dalam lumen. Setiap sisa trofoblas yang ada harus
dibersihkan dengan melakukan irigasi pada lumen dengan
menggunakan cairan ringer laktat yang hangat untuk mencegah
kerusakan lebih jauh pada mukosa. Hemostasis yang komplit pada
mukosa tuba harus dilakukan, karena kegagalan pada tindakan ini
akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan membawa
pada terjadinya adhesi intralumen. Batas mukosa kemudian ditutup
dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan hanya dilakukan
untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan otot dan tidak ada
tegangan yang berlebihan (digilib.unsri.ac.id, 2009).
b. Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah
diajukan sebagai satu alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini
dilakukan dengan mengangkat bagian implantasi. Tujuan lainnya
adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba. Hanya pasien
dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk menjalani
prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan
dipisahkan dengan hati-hati untuk menghindari terbentuknya
hematom pada ligamentum latum. Jahitan seromuskuler dilakukan
dengan menggunakan mikroskop/loupe (digilib.unsri.ac.id, 2009).
c. Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba
mengalami ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi
dan harus segera diatasi. Hemoperitonium yang luas akan
menempatkan pasien pada keadaan krisis kardiopulmunonal yang
serius. Insisi suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan, dan tuba
yang meregang diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan
klem Kelly sedekat mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi
dengan memotong irisan kecil pada myometrium di daerah cornu
uteri, hindari insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan
matras angka delapan dengan benang absorable 0 digunakan untuk
menutup myometrium pada sisi reseksi baji. Mesosalping ditutup
dengan jahitan terputus dengan menggunakan benang absorbable.
Hemostasis yang komplit sangat penting untuk mencegah
terjadinya hematom pada ligamentum latum (digilib.unsri.ac.id,
2009).

2. Medisinalis
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan
ultrasonografi transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat
diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Keuntungan dari
ditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara dini adalah bahwa
penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan. Penatalaksanaan
medisinalis memiliki keuntungan yaitu kurang invasif, menghilangkan
risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan fungsi fertilitas dan
mengurangi biaya serta memperpendek waktu penyembuhan (Murray
et al, 2005).
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum
pecah pernah dicoba ditangani menggunakan kemoterapi untuk
menghindari tindakan pembedahan. Kriteria kasus yang diobati
dengan cara ini ialah (Murray et al, 2005) :
1. Kehamian di pars ampularis tuba belum pecah
2. Diameter kantong gestasi ≤ 4cm
3. Perdarahan dalam rongga perut ≤100 ml
4. Tanda vital baik dan stabil
Obat yang digunakan ialah methotreksat (MTX) 1 mg/kgBB i.v.
dan faktor sitrovorm 0,1 mg/kgBB i.m. berselang seling setiap hari
selama 8 hari. Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan
mempengaruhi sintesis DNA dan multiplikasi sel dengan cara
menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate reduktase. MTX ini akan
menghentikan proliferasi trofoblas. Pemberian MTX dapat secara oral,
sistemik iv,im atau injeksi local. Selain dengan dosis tunggal, dapat
juga diberikan multidosis sampai empat dosis atau kombinasi dengan
leucovorin 0,1 mg/kgBB. Kontraindikasi pemberian MTX absolut
adalah ruptur tuba, adanya penyakit ginjal atau hepar yang aktif.
Sedangkan kontraindikasi relatif adalah nyeri abdomen (Murray et al,
2005).

H. Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun
dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup tetapi bila
pertolongan terlambat angka kematian dapat meningkat. Pada umumnya
kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian
wanita menjadi steril, setelah mengalami kehamilan ektopik atau dapat
mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan
ektopik yang berulang dilaporkan antara 0-14,6%. Untuk wanita dengan
anak yang sudah cukup sebaiknya pada operasi dilakukan salfingektomi
bilateral. Dengan sendirinya hal ini perlu disetujui untuk suami istri
sebelumnya (Basuki dan Saifuddin, 1999).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Metode Penelitian
Metodologi penelitian ini menggunakan desain kasus-kontral
dalam skala besar dengan pencatatan kelompok kasus dan kontrol. Pencatatan
dimulai pada Januari 1992 di wilayah Auvergne di pusat kota Perancis
(sekitar 1.1 juta penduduk). Semua wanita antara usia 15-44 tahun yang hidup
di wilayah ini dan mendapat terapi kehamilan ektopik telah dicatat. Pada
setiap pusat pelayanan kesehatan (15 rumah sakit maternal dan 12 unit
pembedahan, baik negeri maupun swasta), seorang investigator yang terlatih
(seorang bidan atau seorang dokter) bertanggung jawab untuk mengidentifiksi
kasus dan mengumpulkan data, dan investigator ini mengecek pencatatan
kasus secara lengkap pada akhir tahun. Informasi ini dikumpulkan dari setiap
wanita (dari tanya jawab dan rekam medis) termasuk karakteristik
sosiodemografi; ginekologi, reproduksi, riwayat operasi, kondisi pada saat
konsepsi (penggunaan kontrasepsi, induksi ovulasi); kebiasaan merokok;
hasil tes serologi untuk Chlamydia trachomatis; karakteristik kehamilan
ektopik; dan prosedur terapi yang digunakan.
Setiap kasus kehamilan ektopik pada seorang wanita yang tidak
menggunakan kontrasepsi dihubungkan dengan dua kontrol: wanita yang
melahirkan di pusat pelayanan dimana kasus diterapi dan wanita yang proses
melahirkannya terjadi segera setelah terapi pada kasus.
Antara September 1993 (awal perekrutan kontrol) dan Desember
2000, dikumpulkan 1, 065 kasus dan 1,881 kontrol. Wanita yang mengalami
abortus yang diinduksi tidak termasuk dalam kelompok kontrol karena di
Perancis wanita-wanita ini dirujuk ke pusat spesialistik yang tidak
berhubungan dengan rumah sakit bersalin. Didapatkan sampel kasus dan
kontrol sejumlah 803 kasus dan 1,683 konrol.
B. Hasil Penelitian
Kami menggunakan analisis dua tingkat pada faktor risiko potensial
yang diteliti. Pertama, kami membagi faktor risiko menjadi empat kelompok:
1) karakteristik sosiodemografi, 2) riwayat operasi, ginekologi, dan obstetri,
3) paparan potensial pada faktor infeksi, dan 4) riwayat kontrasepsi dan
penanda fertilitas. Analisi univariat dilakukan untuk menghasilkan perkiraan
odds rasio. Kemudian, regresi logistik dilakukan pada setiap kelompok,
termasuk variabel dengan nilai p ≤0.2 pada analisis univariat. Terakhir,
variabel dengan nilai p ≤0.2 pada empat analisis parsial ini dimasukkan ke
dalam analisis regresi logistik menyeluruh.
Tabel 1. Faktor Risiko Utama Kehamilan Ektopik dengan Analisis Regresi
Logistik Akhir (Model Efek Acak)
Variabel Adjusted 95% CI p
OR

Usia wanita (th)


< 20 0.6 0.2, 2.1
20-24 0.9 0.7, 1.3
25-29 1 0.01
30-34 1.3 1.0, 1.7
35-39 1.4 1.0, 2.0
≥40 2.9 1.4, 6.1
Merokok
Tidak pernah 1 <0.001
Mantan perokok 1.5 1.1, 2.2
1-9 batang/hari 1.7 1.2, 2.4
10-19 batang/hari 3.1 2.2, 4.3
≥20 batang/hari 3.9 2.6, 5.9
Aborsi spontan sebelumnya
Tidak ada 1 0.02
1-2 1.2 0.9, 1.6
≥3 3.0 1.3, 6.9
Aborsi diinduksi sebelumnya
Tidak ada 1 0.05
Hanya Operasi 1.1 0.8, 1.6
Hanya medis (atau keduanya) 2.8 1.1, 7.2
Apendektomi
Tidak, atau apendiks yang 1 0.20
tidak ruptur
Ya, apendiks yang ruptur 1.4 0.8, 2.4
Penyakit menular seks
sebelumnya
Tidak ada 1 < 0.001
Ya, tanpa salpingitis 1.0 0.8, 1.3
Ya, dengan kemungkinan 2.1 0.8, 5.4
penyakit inflamasi pelvis ┼
Ya, dengan penyakit inflamasi 3.4 2.4, 5.0
pelvis yang terkonfirmasi $
Operasi tuba sebelumnya
Tidak 1 < 0.001
Ya 4.0 2.6, 6.1
Penggunaan kontrasepsi oral
sebelumnya
Tidak 1 0.03
Ya 0.7 0.5, 1.0
Penggunaan alat intrauterin
sebelumnya
Tidak 1 0.10
Ya 1.3 1.0, 1.8
Riwayat infertil
Tidak 1 < 0.001
<1 tahun 2.1 1.2, 3.6
1-2 tahun 2.6 1.6, 4.2
>2 tahun 2.7 1.8, 4.2
┼ kemungkinan penyakit inflamasi pelvis, hubungan antara demam, nyeri
abdomen, dan discharge vagina
$ Penyakit inflemasi pelvis yang dikonfirmasi dengan laparoskopi dan/atau
hasil tes serologis yang positif untuk Chlamydia trachomatis

C. Pembahasan
Penelitian ini menghubungkan beberapa faktor risiko terhadap
kejadian kehamilan ektopik. Faktor risiko yang dihubungkan yaitu,
karakteristik sosiodemografi (umur dan kebiasaan merokok), riwayat operasi
ginekologi dan obstetri, paparan potensial pada faktor infeksi (infeksi genital
sebelumnya), serta riwayat kontrasepsi dan infertilitas. Penelitian ini
dilakukan di kota Auvergne, Prancis dari tahun 1993-2000. Hampir semua
wanita yang tinggal di wilayah Auvergne yang diterapi kehamilan ektopik
selama periode penelitian dimasukkan ke dalam penelitian ini. Kontrol dipilih
dari populasi dengan karakteristik geografi yang sama dengan kasus. Jumlah
kasus dan kontrol yaitu 803 kasus dan 1,683 konrol.
Infeksi genital sebelumnya dan operasi tuba
Terdapat hubungan yang signifikan antara infeksi genital sebelumnya
dan operasi tuba dengan kehamilan ektopik (Tabel 7).
Tabel 2. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Infeksi Genital
sebelumnya dan Operasi tuba sebelumnya
Faktor Risiko OR AR P Value

Infeksi Genital sebelumnya


Tidak ada 1
Ya, tanpa salpingitis 1.0
Ya, dengan kemungkinan penyakit 2.1
inflamasi pelvis ┼
0,33 <0,001
Ya, dengan penyakit inflamasi pelvis yang 3.4
terkonfirmasi $
Operasi tuba sebelumnya
Tidak 1
Ya 4.0

Merokok
Hubungan yang kuat antara penggunaan tembakau dan kehamilan
ektopik telah diteliti oleh beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Tay et al. dan Jullie et al. Penelitian ini mengkonfirmasi hubungan
merokok dengan kehamilan ektopik yaitu memperlihatkan pengaruh nicotinin
terhadap tuba fallopi. Pada penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan
antara merokok dengan kehamilan ektopik (Tabel 8).

Tabel 3. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Merokok


Merokok OR AR P Value
Tidak pernah 1
Mantan perokok 1.5
1-9 batang/hari 1.7 0,35 <0.001
10-19 batang/hari 3.1
≥20 batang/hari 3.9

Usia
Usia sudah lama dicurigai berperan dalam risiko kehamilan
ektopik, tetapi penelitian-penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Egger et
al memperlihatkan hasil yang bertentangan. Dalam penelitian ini, setelah
penyesuaian dengan hati-hati, peneliti menemukan suatu hubungan yang
signifikan antara usia dan kehamilan ektopik. Dalam penelitian ini
menyimpulkan bahwa pada wanita yang lebih tua umurnya memiliki risiko
yang lebih tinggi pada kehamilan ektopik. Hal ini mungkin melibatkan
perubahan yang berhubungan dengan usia pada penurunan fungsi tuba
sehingga menghambat transportasi ovum dan hasil pada implantasi tuba.
Tetapi, hipotesis ini harus diuji. (Tabel 8)
Tabel 4. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Usia
Usia OR AR P Value
< 20 0.6
20-24 0.9
25-29 1
0,14 0.01
30-34 1.3
35-39 1.4
≥40 2.9

Abortus spontan sebelumnya


Hasil terkait abortus spontan berbeda antar penelitian sebelumnya
oleh Chow et al, 1987, peneliti menemukan suatu hubungan dosis-efek
dengan abortus spontan sebelumnya, risiko yang disesuaikan pada kehamilan
ektopik terlihat tinggi pada wanita dengan tiga atau lebih abortus spontan
sebelumnya. Abortus spontan mungkin memiliki suatu sebab akibat,
kemungkinan diperantarai oleh infeksi. Tetapi, kemungkinan terdapat adanya
faktor risiko yang sama pada kehamilan ektopik dan abortus spontan, seperti
abnormalitas kromosom atau faktor hormonal.
Tabel 5. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Abortus Spontan
Sebelumnya
Abortus Spontan Sebelumnya OR AR P Value
None 1
1-2 1.2 0,07 0,02
≥3 3.0

Penggunaan alat intrauterin sebelumnya


Di penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kalandidi et al
1991, menemukan odds rasio yang lebih besar dari 1 pada penggunaan alat
intrauterine masa sekarang, tetapi odds rasio umumnya tidak signifikan pada
penggunaan alat intrauterin masa lampau. Suatu meta analisis menghasilkan
odds rasio yang sedikit lebih besar dari 1, tetapi penyesuaian untuk
perancunya tidak sempurna. Pada penelitian ini, signifikansi odds rasio dari
penggunaan alat intrauterin sebelumnya yaitu sebesar 1,3, hal ini menegaskan
bahwa penggunaan alat intrauterin sebelumnya memiliki peran etiologi dalam
kehamilan ektopik, tidak hanya melalui hubungan infeksi seperti yang
dinyatakakan sebelumnya. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan
oleh Bouyer et al, 200 yang menyatakan bahwa pemakaian kontrasepsi intra
uterin dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
Tabel 6. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Penggunaan alat
intrauterin sebelumnya
Penggunaan alat intrauterin OR AR P Value
sebelumnya
Tidak 1
0,05 0,10
Ya 1.3

Infertilitas
Peneliti menemukan bahwa risiko yang disesuaikan pada
kehamilan ektopik meningkat bersama dengan durasi infertilitas, dan
hubungan ini tetap ada jika analisis terbatas pada wanita yang kehamilannya
tidak diinduksi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sohinee et al, 2012. Oleh karena itu kemungkinan riwayat infertilitas
(terlepas dari penggunaan obat infertilitas) berhubungan dengan risiko
kehamilan ektopik. Tetapi, kehamilan ektopik diketahui menjadi faktor risiko
infertilitas selanjutnya. Hubungan antara kehamilan ektopik dan infertilitas
sepertinya adalah faktor risiko yang saling timbal balik dan terlihat rumit.
Tabel 7. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Riwayat infertil
Riwayat infertil OR AR P Value
Tidak 1
<1 tahun 2.1
0,18 <0,001
1-2 tahun 2.6
>2 tahun 2.7

Abortus yang diinduksi sebelumnya


Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilaporkan pada
penelitian sebelumnya oleh Holt et al, 1989. Pada penelitian ini, termasuk
sejumlah besar kasus dan kontrol, menemukan hubungan antara abortus yang
diinduksi sebelumnya dan kehamilan ektopik, dengan odds rasio 1.9 (tingkat
kepercayaan 95%: 1.0, 3.8) untuk wanita dengan dua atau lebih abortus yang
diinduksi sebelumnya.
Tabel 8. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Tabel 11. P value,
Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Riwayat infertil
Aborsi diinduksi sebelumnya OR AR P Value
Tidak ada 1
Hanya Operasi 1.1 0,03 0,05
Hanya medis (atau keduanya) 2.8
BAB IV
KESIMPULAN

1. Kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana sel telur yang dibuahi


berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uterus.
2. Faktor risiko yang dihubungkan dengan kehamilan ektopik dalam
penelitian ini yaitu karakteristik sosiodemografi (umur dan kebiasaan
merokok), riwayat operasi ginekologi dan obstetri, paparan potensial pada
faktor infeksi (infeksi genital sebelumnya), serta riwayat kontrasepsi dan
infertilitas yang memiliki hubungan signifikan terhadap kehamilan
ektopik.
3. Meskipun beberapa faktor risiko kehamilan ektopik telah diketahui,
penyebab sebagian besar kehamilan ektopik masih belum diketahui.
4. Pada sisi lain, kehamilan ektopik dan infertilitas atau abortus spontan
telah ditemukan terkait erat, penelitian lebih lanjut dapat memperhatikan
baik pada epidemiologi kehamilan ektopik dan infertilitas pada bidang
yang lebih luas.
5. Dalam hal kesehatan masyarakat, peningkatkan kesadaran akan peran
merokok mungkin berguna dalam perumusan kebijakan pencegahan
kehamilan ektopik. Hal ini untuk mengevaluasi efek pada insidensi
kehamilan ektopik dan infertilitas dari peningkatan insidensi penyakit
menular seks yang diamati dalam beberapa bulan atau tahun terakhir.

DAFTAR PUSTAKA
Basuki B, Saifuddin AB. 1999. Ectopic pregnancy and estimated subsquent
fertility problems in Indonesia. Majalah Obstetri dan Ginekologi
Indonesia;23:212-218
Bouyer J, Rachou E, Germain E, et al. 2000. Risk factors for extrauterine
pregnancy in women using an intrauterine device. Fertil
Steril;74:899–908.
Bouyer, J., Joël Coste1, Taraneh Shojaei, Jean-Luc Pouly, Hervé Fernandez,
Laurent Gerbaud, and Nadine Job-Spira. 2003. Risk Factors for
Ectopic Pregnancy: A Comprehensive Analysis Based on a Large
Case-Control, Population-based Study in France. American Journal
of Epidemiology;157:185–194
Chow WH, Daling JR, Cates W Jr, et al. 1987. Epidemiology of ectopic
pregnancy. Epidemiol Rev;9:70–94.
Coste J, Fernandez H, Joye N, et al. 2000. Role of chromosome abnormalities
in ectopic pregnancy. Fertil Steril;74:1259–60.
Digilib.unsri.ac.id. 2009. Kehamilan Ektopik. Available at
http://digilib.unsri.ac.id/download/Kehamilan%20Ektopik.pdf.
Egger M, Low N, Smith GD, et al. 1998. Screening for chlamydial infections
and the risk of ectopic pregnancy in a county in Sweden: ecological
analysis. BMJ;316:1776–80.
Holt VL, Daling JR, Voigt LF, et al. 1989. Induced abortion and the risk of
subsequent ectopic pregnancy. Am J Public Health;79:1234–8.
Julie L.V. Shaw, Elizabeth Oliver, Kai-Fai Lee et al. 2010. Cotinine Exposure
Increases Fallopian Tube PROKR1 Expression via Nicotinic
AChR_-7: Metabolic, Endocrine and Genitourinary Pathobiology.
The American Journal of Pathology, Vol. 177, No. 5:2509–2515
Kalandidi A, Doulgerakis M, Tzonou A, et al. 1991. Induced abortions,
contraceptive practices, and tobacco smoking as risk factors for
ectopic pregnancy in Athens, Greece. Br J Obstet Gynecol;98:207–
13.
Lozeau, Anne M & Potter, Beth 2005, ‘Diagnosis and Management of Ectopic
Pregnancy’, Am Fam Physician, 72:1707-14, 1719-20 [Online]
[Accessed 2013 Maret]. Available from:
http://www.aafp.org/afp/2005/1101/p1707.html
Mol BW, Ankum WM, Bossuyt PM, et al. 1995. Contraception and the risk of
ectopic pregnancy: a meta-analysis. Contraception;52:337–41.
Murray, H., Baakdah, H., Bardell, T., Tulandi, T. 2005. Diagnosis and
Treatment of Ectopic Pregnancy, CMA Media Inc. Canadian Medical
Association Journal (CMAJ);173(8), Available at
http://www.cmaj.ca.full.pdf+html.
Prawirohardjo, S., 2005. Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Kandungan. Jakarta
Pusat : Yayasan Bina Pustaka.
Shaw,J.L.V., Dey S.K., Critchley ,H.O.D & Horne A.W 2010,’Current
knowledge of the aetiology of human tubal ectopic pregnancy
Human Reproduction Update, Vol.16, No.4 pp. 432–444,
2010[Online] [Accessed 2013 Maret]. Available from:
http://humupd.oxfordjournals.org/content/16/4/432.full.pdf+html
Sohinee Bhattacharya, David J McLernon, Amanda J Lee, and Siladitya
Bhattacharya. 2012. Reproductive Outcomes Following Ectopic
Pregnancy: Register-Based Retrospective Cohort Study. Obstetric
Epidemiology: PLoS Medicine vol. 9
Tay JI, Moore J, Walker JJ. 2000. Ectopic pregnancy. BMJ;320:916–19.
Risk Factors for Ectopic Pregnancy: A Comprehensive Analysis Based on a
Large Case-Control, Population-based Study in France

Jean Bouyer, Joël Coste1, Taraneh Shojaei, Jean-Luc Pouly, Hervé Fernandez,
Laurent Gerbaud, and Nadine Job-Spira

Abstrak
Penelitian kasus kontrol ini berhubungan dengan pencatatan regional dari
kehamilan ektopik antara tahun 1993 sampai 2000 di Perancis. Penelitian
ini memasukkan 803 kasus kehamilan ektopik dan 1683 persalinan dan
cukup kuat untuk meneliti tentang semua faktor risiko kehamilan ektopik.
Faktor risiko utama adalah riwayat infeksi (adjusted attributable risk =
0.33; adjusted odds rasio untuk penyakit infeksi pelvis sebelumnya = 3.4,
tingkat kepercayaan 95%: 2.4, 5.0) dan merokok (adjusted attributable
risk = 0.35; adjusted odds rasio = 3.9, tingkat kepercayaan 95%: 2.6, 5.9
untuk >20 batang rokok/hari vs. wanita yang tidak pernah merokok).
Faktor risiko lainnya adalah usia (berhubungan dengan risiko kehamilan
ektopik), abortus spontan sebelumnya, riwayat infertil, dan penggunaan
alat intrauterin sebelumnya. Abortus yang diinduksi secara medis
sebelumnya berhubungan dengan risiko kehamilan ektopik (adjusted odds
rasio = 2.8, tingkat kepercayaan 95%: 1.1, 7.2); tidak ada hubungan yang
diamati untuk abortus karena pembedahan (adjusted odds rasio = 1.1,
tingkat kepercayaan 95%: 0.8, 1.6). Total dari attributable risk untuk
semua faktor yang diteliti adalah 0.76. Hubungan yang paling erat
ditemukan antara kehamilan ektopik dengan infertilitas dan kehamilan
ektopik dengan abortus spontan, penelitian lebih lanjut tentang kehamilan
ektopik seharusnya fokus pada faktor risiko yang sama dengan kondisi ini.
Dalam bidang kesehatan masyarakat, peningkatan kewaspadaan dari efek
merokok mungkin berguna untuk pencegahan kehamilan ektopik.
Kata kunci: abortion, induced; case-control studies; infertility, female;
pregnancy, ectopic; registries; risk factors; sexually transmitted diseases;
tobacco.

You might also like