You are on page 1of 6

Improvisasi sebagai pelayanan : musik nagasvaram dan hubungan ritual dalam prosesi

festival kuil hindu

Abstrak

Artikel ini membahas improvisasi melodi di budaya india selatan (tamil), bertanya mengapa
alapana? Melodi dan gaya tidak terukur yang mendorong kreatifitas dan waktu yang snagat
fleksibel, kemudian menjadi sebuah sistem dan aturan yang mengantarkan prosesi festival kuil
hindu, salah satu manifestasi yang mengesankan dari pembaktian hindu. Berhubungan dengan
musik pertunjukan, sejarah dan praktis keagamaan. Penulis berpendapat bahwa improvisasi
sebagai pusat untuk kebaktian, sikap-bhakti sebagai cara beribadah (lagu untuk ibadah), dan
bagian dari cara-cara ber-ritual yang dimana semua indera digunakan untuk meningkatkan
pengalaman religius peserta. Mendeskripsikan hasil dari penelitian lapangan yang luas di
Tamilnadu, penulis berharap mendapatkan pencerahan dalam proses dan penerimaan alapana
dalam budaya India selatan dan memahami lebih jauh mengenai fungsi dan makna dari suara,
musik, pendengaran dan imajinasi dalam hindu India selatan.

Latar Belakang

Banyak literatur yang berhubungan dengan Improvisasi musik India Selatan berfokus pada
musik klasik india, mengikuti tradisi lama india dan western scholarship yang telah
memprioritaskan budaya elit dan sistem ekspresi berbasis teks. Tetapi musik klasik, music rakyat
dan tradisi musik keagamaan
yang berhubungan dengan sejarah dan berbagi kesamaan penting dalam hal instrument, rhythm,
melodies, dan proses formal. Konsep pada Tala ( metric cycle), dan raga (melodic mode),
contohnya musik klasik sering diinterpretasikan dan dilakukan berulang di tingkat local
(masyarakat lokal) dalam berbagai tradisi musik ritual dan nyanyian kebaktian. In the same way,
dalam klasik, ide dari kreatif improvisasi disebut sebagai manodharma. Muncul sebagai element
kunci pada musik pertunjukan dalam berbagai kontes agama. Sejarah India Selatan terkini musik
klasik (Karnatak) dengan jelas menggambarkan rangkaian dari praktik improvisasi terdapat
dalam konser dan musik ritual. Terutama melalui dampak berkelanjutan dari musik instrumental
kuil pada tokoh-tokoh ikonik di antara pemain konser pada abad ke-20. Penyanyi ternama G. N.
Balasubramaniam dan Srinivasa Iyer, untuk beberapa nama, berulang kali menekankan warisan
musik kuil pada gaya improvisasi dengan mengakui pengaruh dari pemain nagasvaram yang
terkenal, seperti T. N. Rajarattinam Pillai, dengan gaya maereka sendiri. Saya menyarankan
bahwa bergerak di luar batas-batas kinerja konser untuk mempertimbangkan praktek-praktek
keagamaan dapat mengarah pada pemahaman yang lebih baik dari alasan di balik pengaruh-
pengaruh ini, dan lebih luas, dari konten sosial dan dimensi komunikatif dari praktik improvisasi
di asia selatan.
Dalam beberapa tahun terakhir, sarjana music klasik india mulai mengeksplore
komunikasi nonverbal pada improvisasi, antar musisi dengan musisi, antara musisi dengan
audiens, dengan mengacu psikologi musik, studi pelaksanaan dan kognisi, keduanya memiliki
penghubung aspek improvisasi di musik klasik India Utara (Hindustani), memberikan wawasan
baru ke pragmatis perilaku musik dan ekstra-musikal dalam Performance raga. Sementara
merefleksi pendekatan komparatif dan kognitif di mana contoh musik non-barat datang untuk
melengkapi dan memperkuat pengetahuan saat ini tentang perilaku interaktif manusia, fokus
pada music klasik dan pertunjukan konser cenderung membatasi pemahaman kita tentang
improvisasi musik sebagai sarana komunikasi yang kuat dan signifikan dalam budaya Asia
selatan dan kehidupan sosial. Improvisasi memang sering dikaitkan dengan tradisional dan
aktifitas religious yang dimana pertunjukan music tidak menstimulus interaksi antara manusia,
tetapi juga antara manusia dengan kehadiran bukan manusia, termasuk Dewa, Tuhannya orang
india, dan Dewi-dewi. Model komunikatif ini, di mana musisi tampil pertama dan terutama
untuk Dewa dan Dewi, lebih akrab di sebagian besar Asia selatan, khususnya hindustan. Untuk
alasan ini, tampaknya lebih relevan untuk memeriksa kerangka kerja di mana improvisasi masuk
akal sebagai usaha yang bermakna secara budaya daripada model musisi dengan musisi, musisi
dengan audiens dari pertunjukan konser modern.
Dalam diskusi berikut, penulis mencari hubungan antara musical improvisation dan
komunikasi ritual di prosesi festival kuil India selatan. Fokus pada melodic dan unmetered genre
alapana, penampil oleh periya melam, orchestra outdoor nagasvaram, dan musisi professional
memainkan music Karnatak. Dimulai dengan pertanyaaan mengapa alapana, genre yang
mendukung kreatifitas dan waktu yang fleksible, kemudian menjadi sebuah sistem atau aturan
yang mengantarkan prosesi festival kuil hindu.
Festival Candi dan convention repertoar
Festival tahunan Brahmotsava sangat penting bagi candi Tamil Saiva, perayaan yang penuh
warna dan akrab melibatkan seribu peserta ibadah yang dating dari berbagai kalangan untuk
menyaksikan pawai dengan keagungan dewa Siwa. Adapun aturan yang mutlak, bagaimanapun
juga, mengatur distribusi ruang waktu untuk melindungi pertunjukan langsung dari pengulangan
tanpa akhir (oversaturation). aturan-aturan ini menyiratkan penentuan posisi yang spesifik, waktu
yang sempurna dan pengetahuan yang baik tentang repertoar dan praktik dalam pertunjukan.
sebagai spesialis profesional dan pemasok pertama musik instrumental mangala, musisi
periya melam mengiringi episode publik yang paling signifikan dari festival tersebut, seperti
pengibaran bendera kuil, prosesi harian di sekitar kuil dan pembersihan dosa (penyucian diri).
Dalam hal ini, mereka melakukan banyak variasi, termasuk lagu pendek, adaptasi lagu, dan
genre improvisasi, yang termasuk repertoar musik karnatak pada umumnya dan tradisi musik
India selatan lainnya. Karya-karya ini tentu saja tidak dapat dimainkan dimana saja, dan kapan
saja: musisi harus mengikuti serangkaian konvensi (aturan alapana) yang menghubungkan pola
musik, seperti modes (scale), ritme atau komposisi, dengan aksi ritual diskrit (berbeda-beda) atau
urutan tindakan. Seperti adat yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi
berikutnya dalam batas-batas masing-masing kuil. Mereka menunjukan keteraturan yang kuat di
seluruh Tamilnadu, tetapi bervariasi dalam detail dari satu kuil ke yang lain, menurut kekhususan
ritual, sejarah lokal, arsitektur dan tempat. Dalam aturan umum, ritual dipertunjukan di tempat
yang tetap dan prosesi singkat di dalam candi disertai dengan komposisi, alapana
singkat(pendek). Sebaliknya, prosesi di luar kuil disertai dengan alapana yang luas dan
terperinci, secara umum diikuti oleh Pallavi dalam raga yang sama. Biasanya, setiap prosesi
disertai dengan satu set alapana setiap hari dalam raga (scale/mode) yang berbeda. Perpindahan
raga menunjukan peristiwa penting dalam deksripsi/penggambaran yang berbeda dari para dewa,
gambar yang ditempatkan setiap hari di gunung atau kendaraan yang berbeda. Sebagai contoh, di
candi Chidambaram, korespondensi (hubungan bentuk dan isi) berikut antara representasi siwa
dan raga di mana alapana yang dimainkan dapat diamati untuk hari k 1 – 4, 6,7 dan hari ke-11 di
festival brahmotsva:
Hari ke-1 → tanpa kendaraan → raga sankarabharanam
Hari ke-2 → Siwa di atas bulan (Candra) → raga riti gaula
Hari ke-3 → Siwa di atas matahari (Surya)→ raga cakravakam
Hari ke-4 → Siwa pada Tuhan yang ada/iblis (Bhutapati) → raga hamsabrahmari
Hari ke-6 → Siwa di atas Gajah (Gaja) → raga sanmukhapriya
Hari ke-7 → Siwa di atas Gunung Kailash, dipegang oleh iblis Ravana → ragakambhoji
Hari ke-11 → tanpa kendaraan tetapi sebuah palanquin spesial→ raga bhairavi
Prinsip keseluruhan ini diikuti di sebagian besar candi di Kaveri delta, pusat kepercayaan
periya melam, dengan beberapa variasi mengenai korespondensi antar hari, raga dan kendaraan
(vahana).
Kebanyakan pemain nagasvaram masih menjaga konvensi (nilai tradisi) ini tetap hidup,
terutama terdapat dua alasan. Pertama, karena mereka menyediakan peserta ibadah dengan
isyarat aural dan poin musik referensi yang menghasilkan stabilitas dari satu festival ke festival
berikutnya dan lebih menekankan pada struktur dari keseluruhan perayaan melalui kontras antara
melodi, ritme dan tekstur. Kedua, karena mereka menghubungkan konvensi (nilai tradisi
alapana) ini dengan pengetahuan unik mereka tentang repertoar karnatak dan keahlian mereka di
bidang improvisasi musik. Seperti yang di katakana pemain nagasvaram Tirunagesvaram R.
Rajagopal:
“Untuk sebuah pertunjukan konser saya bisa memainkan apa pun yang saya inginkan. Tetapi untuk festival
kuil ini berbeda. Saya harus memainkan Piece(karya) yang tepat pada waktu yang tepat. Bukan hanya Mallari, tetapi
Mallari yang benar di awal setiap prosesi; Bukan hanya alapana, tetapi alapana yang benar di setiap prosesi…
Ketika saya mulai bermain di kuil Chidambaram, saya harus menghafal komposisi baru, mungkin 150 atau lebih….
Saya juga harus berimprovisasi di karya alapana sendiri, untuk membuatnya lebih panjang... Ini merupakan sebuah
tantangan nyata….tetapi ini juga mengapa repertoar kami begitu luas dan mengapa pemain nagasvaram terbaik
kami adalah ahli dalam raga (scale).

Dalam catatan ini, Rajagopal menghubungkan keahlian musik dengan aspek praktik
pertunjukan. Baginya, repertoar komposisi yang luas telah dilestarikan di kuil-kuil daerah karena
pemain nagasvaram selalu menghormati dan mengikuti jadwal musik yang ketat dan rumit,
pengalaman hidup yang menggemakan keragaman dan kerumitan tindakan ritual. Demikian pula,
pemain-pemain terbaik menjadi ahli di bidang pertunjukan alapana karena praktik-praktik dan
konvensi kuil memberi mereka kesempatan untuk tampil secara teratur dengan raga yang sama
selama beberapa jam.
Dari sudut pandang ritual, repertoar konvensi dan musik lewat begitu saja. Kebanyakan
pandita , sesungguhnya, ini selalu ada, dalam satu bentuk atau lainnya. T. Ramalinga Dikshitar,
Pandita dan Sarjana Sanskrit di kuil Chindambaram, memberitahukan sedikit terus terang:
“tanggal ini dari pembangunan kuil dan ada di sana jauh sebelum ada yang memperhatikan
mereka” Ini, tentu saja, tidak bisa diterima begitu saja, tetapi masuk akal bahwa konvensi
semacam itu muncul untuk mempertahankan dan menyempurnakan hubungan yang sudah ada
yang diperkenalkan secara bertahap melalui praktik sehari-hari. Dalam semua kasus, penerapan
sinkronisitas antara urutan musik dan ritual tampaknya menjadi pilihan yang paling jelas untuk
ditingkatkan – adanya pola pengulangan dan pola yang diatur oleh system (aturan) –
formalisme yang mencirikan ritual dalam ritual umum dan hindu pada khususnya. Mungkin,
orang bertanya mengapa gaya music improvisasi dan prosesi dilakukan secara sistematik di
dalam konteks kuil ini. Sebelum menjawab, Bagaimanapun juga, pertama-tama perlu untuk
memahami hubungan antara para penyembah dan dewa-dewa dalam pemujaan kuil Tamil Siwa.
Gambar ilahi di perjalanan
Festival kuil bukan hanya sebuah manifestasi keagamaan, diresapi dengan pengabdian
dan kesucian, tetapi juga sebagai perayaan sosial, sisa waktu untuk bersantai, berkumpul dan
bertukar. Namun sebagian besar peserta tetap fokus pada kegiatan dan prosesi ritual, dengan
tujuan yang sama dalam pikiran: memuja (darsana) para dewa; yaitu tindakan di mana mereka
melihat gambar dewa dengan harapan terlihat seperti balasan, dan diberkati. Dalam percakapan
sehari-hari kata worship(ibadah, memuja) sinonim dengan darsana. Dalam catatan Diana Eck
‘ketika pemeluk agama hindu akan pergi ke kuil, mereka tidak biasa mengatakan “saya akan
beribadah (worship)” tetapi “saya perga untuk darsan(darsana)” jadwal ibadah harian kadang-
kadang tercantum di bawah judul darsana pada situs web kuil. Penekanan pada darsana ini
adalah intrinsik bagi kedua ritual harian (puja), merupakan gambar dewa, mengetahui sumber
gambar (mula murti), tertanam di lantai dan tidak dapat dipindahkan, festival calendrical
(utsava), dimana sebuah gambar, dikenal sebagai festival gambar (utsava-murti, patung
perunggu portabel. Bagaimanapun juga, tindakan melihat tampaknya sangat penting dalam
konteks festival kuil, tempat para dewa dipercaya, untuk menjadi lebih kuat dari sebelumnya dan
juga lebih banyak untuk memberkati orang-orang. Seperti yang disarankan oleh sejumlah penting
ritual yang dilakukan oleh pendeta di dalam kuil untuk meningkatkan energi ilahi dan oleh
gerakan luar dari gambar ilahi dari ruang sakral kuil ke duniawi dari jalan-jalan sekitarnya.
tetapi mengapa darsana menjadi inti dari pemujaan kuil Hindu? karena peserta, termasuk
pendeta dan musisi, menganggap gambar ilahi sebagai bentuk nyata dimana para Dewa secara
fisik hadir. Dari perspektif emik, gambar ini memiliki arti yang luar biasa(menakjubkan).
Dikatakan, misalnya, bahwa tatapan dewa Siwa sangat kuat sehingga dapat menghancurkan
objek dan memperbaikinya. Mungkin, gambar ilahi, apakah tetap atau bergerak, dapat
menghargai apa yang mereka lihat, merasakan bau dupa terbakar di sekitarnya, merasakan
panasnya api kamper menyapu tubuh mereka dan membedakan suara alat musik, lonceng dari
simbal dan drum, cangkang keong sebagai terumpet dan nagasvaram. Mereka juga dapat
mengarahkan perhatian mereka pada tindakan manifestasi (perwujudan) tertentu, dengan
demikian mampu memperhatikan kesetiaan pemuja, menikmati rasa susu pada pagi itu atau
menghargai musik musisi ini. Ide yang lazim dan populer tentang dewa dengan tubuh dan
kesadaran, maha tahu tetapi hadir dalam bentuk nyata, ter-refleksi dengan baik dalam manual
ritual (paddhati) dan teks-teks kanonik (Agama)dari tradisi Siwa Siddhanta dan karenanya
diilustrasikan dengan baik oleh praktik ritual kuil. Salah satu contohnya adalah ritus instalasi
(pratistha), yang melibatkan beberapa operasi, tetapi memuncak dengan pengalihan
formula(mantra) suci dewa dalam representasi materialnya - sebuah prosedur yang mengubah
gambar menjadi pribadi ilahi. Contoh lain adalah ritus penawaran(avahana), di mana pandita itu,
di awal setiap ritual, mengundang dewa untuk memasuki gambar. Ritual ini (Avahana) tidak
bertentangan dengan ritus instalasi(pratistha) tetapi lebih menunjukkan bahwa dewa hadir dalam
bentuk laten di luar ritual dan di wujudkan selama ritual.
Gagasan tentang tuhan yang diwujudkan dalam bentuk material dan terlihat menjelaskan
mengapa gambar ilahi diperlakukan oleh manusia dan mengapa pemujaan kuil ditujukan pada
rutinitas domestik kehidupan manusia, dengan gambar / dewa terbangun di pagi hari, disirami
dengan susu,

You might also like