Professional Documents
Culture Documents
PEMBAHASAN
Absolut artinya mutlak, merupakan paham yang percaya bahwa segala sesuatu yang ada
itu bersifat mutlak dan universal. Dengan ini, etika absolut dapat didefinisikan sebagai paham
etika yang menekankan bahwa prinsip moral itu universal, berlaku untuk siapa saja, dan di mana
saja, Tidak ada tawar menawar dalam prinsip ini, juga tidak tergantung pada adanya kondisi yang
membuat prinsip moral dapat berubah sewaktu-waktu.
Etika absolut erat hubungannya dengan moralitas seorang individu atau manusia, etika ini
juga memberikan atau menekankan setiap norma dan aturan yang ada dengan tegas dan
terkadang bersifat memaksa tidak pandang bulu, etika yang berarti adat atau kebiasaan dari
seorang individu sesuai dengan lingkungan dan tempat dimana ia lahir dan tinggal sehingga
mampu menata hidup dengan baik melalui etika dan moral yang baik pula. Terkadang seorang
individu membutuhkan paham yang bersifat mutlak untuk menjadi pedoman hidup dan tata cara
bagaimana ia hidup dan bersosialisasi dengan sesama manusia dengan alam, hewan, tumbuhan.
Di dalam etika absolut dapat dicontohkan melalui kepercayaan seorang individu yaitu
agama yang dianutnya sesuai dengan apa yang ia yakini. Agama juga bersifat universal namun
mutlak karena apa yang di yakini harus ditaati dan dilaksanakan perintahnya dan tidak dapat di
tawar atau ditinggalkan setiap aturannya, karena segalanya berhungan dengan Tuhan.
Relatif menurut bahasa adalah bergantung kepada sesuatu. Etika relatif itu sendiri berarti
paham yang percaya bahwa segala sesuatu itu bersifat tidak mutlak, mulai dari pengetahuan
maupun prinsip. Terkait dengan istilah relativisme etika, Shomali telah memberikan definisi yang
cukup mudah dipahami yaitu “relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip moral
yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip moral bersifat relatif terhadap budaya atau
pilihan individu”. Relativisme juga tidak memungkinkan untuk adanya serangkaian mutlak etika.
Dalam relativisme etika, benar dan salah tidak mutlak dan harus ditentukan dalam
masyarakat dengan kombinasi observasi, logika , sosial dan pola preferensi, pengalaman, emosi,
dan "aturan" yang tampaknya membawa manfaat. Tentu saja, tak usah dikatakan bahwa
masyarakat yang terlibat dalam konflik moral yang konstan tidak akan mampu bertahan untuk
waktu yang lama. Moralitas adalah lem yang memegang masyarakat bersama-sama. Harus ada
konsensus benar dan salah bagi masyarakat untuk berfungsi dengan baik.
Tampaknya menjadi universal di antara budaya yang salah untuk membunuh, mencuri,
dan berbohong. Kita melihat bahwa ketika individu mempraktekkan etika kontra produktif,
mereka segera di penjara atau dihukum. Karena etika konseptual di alam, dan ada beberapa etika
yang tampaknya melampaui semua budaya (berlaku untuk semua masyarakat).
Bagaimana pun dan apa pun alasannya membunuh adalah perbuatan tidak bermoral
Membunuh itu bisa benar dan juga bisa salah tergantung apa tujuan orang melakukan
pembunuhan.
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya (Lawrence Kohlberg).
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis,
perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia bahwa logika dan moralitas
berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini,
dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan
keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan.
Tahapan Perkembangan Etika
1. Pra-konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun
orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam
tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya
langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral,
dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris, individu-individu memfokuskan diri pada
konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu
tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras
hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.
Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut
pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Kemudian menempati
posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling
diminatinya.
Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya
sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu
garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam tahap dua perhatian kepada
orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik.
2. Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di
tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan
dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam
perkembangan moral. Seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya.
Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,
karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan
interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terima kasih, dan golden
rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial
yang stereotip ini.
Penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial, karena berguna dalam
memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar
kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang
salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin
orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan
aturan.
Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi
faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
3. Pasca-konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap
lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas
yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat
tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional. Individu-
individu dipandang memiliki pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan penting bahwa mereka
dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti
kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat
menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of
ignorance dari John Rawls. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini,
tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu
benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui
sebelumnya.
C. Teori-teori Etika
Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat
kebiasaan, nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam
etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau
objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan.
1. Egoisme
Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme. Pertama,
egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia
dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, orang boleh saja yakin
ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang
terkesan luhur dan/atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada
kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Sedangkan egoisme etis adalah
tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Jadi, perbedaan antara
egoisme psikologis dengan egoisme etis adalah pada akibat terhadap orang lain.
2. Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari bahasa Latin utilis, kemudian menjadi kata Inggris utility
yang berarti bermanfaat. Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat
bagi banyak orang (the greatest happiness of the greatest number). Ukuran baik tidaknya suatu
tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat
atau tidak.
Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang
memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan
paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepentingan orang banyak.
3. Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Paham ini
dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804).
Paham deontologi mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya
sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu
tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Kant
berpendapat bahwa kewajiban moral harus dilaksanakan demi kewajiban itu sendiri bukan
karena keinginan untuk memperoleh tujuan kebahagiaan, bukan juga karena kewajiban moral iu
diperintahkan oleh Tuhan. Moralitas hendaknya bersifat otonom dan harus berpusat pada
pengertian manusia berdasarkan akal sehat yang dimiliki manusia itu sendiri, yang berarti
kewajiban moral mutlak itu bersifat rasional.
4. Teori Hak
Menurut teori hak, suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan
tersebut sesuai dengan HAM. Menurut Bentens (200), teori hak merupakan suatu aspek dari
deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Bila suatu
tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka sebenarnya tindakan yang sama merupakan
kewajiban bagi orang lain. Teori hak sebenarnya didsarkan atas asumsi bahwa manusia
mempunyai martabat dan semua manusia mempunyai martabat yang sama.
Sebagaimana dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir yang
ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk memperoleh
kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat kristen, yang mengatakan bahwa
karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak
Allah. Perilaku manusia secara moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan
perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan/perintah Allah sebagaimana
dituangkan dalam kitab suci.
Kata baik adalah kunci dari moralitas, namun Moore merasa heran tidak satupun
etikawan yang berbicara tentang kata baik tersebut, seakan-akan hal itu sudah jelas dengan
sendirinya. Menurut Moore, disinilah letak permasalahan sehingga terdapat kekacauan dalam
menafsirkan kata baik tersebut. Anggapan inti Moore sangat sederhana bahwa kata baik tidak
dapat didefinisikan, suatu kata dapat didefinisikan jika kata tersebut tidak lagi terdiri atas bagian-
bagian sehingga tidak dapat dianalisis. Baik adalah baik, titik. Setiap usaha untuk mendefinisikan
akan selalu menimbulkan kerancuan.
Menurut Max Scheller, ada 4 gugus nilai yang masing-masing mandiri dan berbeda antara satu
dengan yang lain, yaitu: 1) nilai-nilai sekitar enak dan tidak enak, 2) nilai-nilai vital, 3) nilai-nilai
rohani murni, 4) nilai-nilai sekitar roh kudus.
Joseph Fletcher termasuk tokoh yang menentang adanya prinsip etika yang bersifat
mutlak. Ia berpendapat bahwa setiap kewajiban moral selalu bergantung pada situasi konkret.
Sesuatu ketika berada dalam situasi tertentu bisa jadi baik dan tepat, tetapi ketika berada dalam
situasi yang lain bisa jadi jelek dan salah. Itulah sebabnya, moralitas hanya dapat dipahami
dalam situasi konkret, padahal, situasi konkret tidak selalu sama, sehingga etika Fletcher sering
disebut etika situasi.
Menurut Murdoch, khas dari teori-teori etika pasca-Kant adalah bahwa nilai-nilai moral
dibuang dari dunia nyata. Bukan kemampuan otonom yang menciptakan nilai, melainkan
kemampuan untuk melihat dengan penuh kasih dan adil.
Skinner mengatakan bahwa pendekatan filsafat tradisional dan ilmu manusia tidak
memadai sehingga yang diperlukan bukanlah ilmu etika, tetapi sebuah teknologi kelakuan. Ide
dasar Skinner adalah menemukan teknologi/ cara untuk mengubah perilaku.
Bahwa etika pencerahan telah gagal karena pencerahan atas nama rasionalitas justru telah
membuang apa yang menjadi dasar rasionalitas setiap ajaran moral, yaitu pandangan teleologis
tentang manusia. Maclntyre menganjurkan agar etika kembali pada paham teleologis tentang
manusia.
1. Muncul berbagai paham teori etika, masing-masing teori memiliki pendukung dan
penentang yang cukup berpengaruh,
2. Munculnya beragam teori etika karena adanya perbedaan paradigma, pola pikir, atau
pemahaman tentang hakikat hidup sebagai manusia.
4. Semua teori yang ada menjelaskan tahapan-tahapan sejalan dengan pertumbuhan tingkat
kesadaran diri.
5. Teori yang tampak bagaikan potongan-potongan dapat dipadukan menjadi satu teori
tunggal.
b. keseimbangan modal materi (PQ dan IQ), modal sosial (EQ), dan modal spiritual
(SQ).
Ilmu etika ke depan hendaknya didasarkan atas paradigm manusia utuh, yaitu suatu pola pikir
yang mengutamakan integrasi dan keseimbangan pada :
Daftar Pustaka
- Referensi : http://oktaviantinovi.blogspot.co.id/2013/08/etika-bisnis.html
- Agoes, Sukrisno dan I Cenik Ardana. 2017. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta: Salemba
Empat