Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Pendahuluan: Terakhir dalam empat tahun (2010- 2015) terjadi beberapa bencana alam seperti
tanah longsor, kebakaran, tornado, gelombang pasang, banjir, lahar dingin, gempa tektonik,
letusan gunung Gamalama, dan kebakaran hutan di Ternate membutuhkan perhatian dan
komitmen dari pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dampak bencana alam. Tujuan dari
penelitian ini adalah identifikasi dan analisis penanggulangan bencana berdasarkan kearifan
lokal masyarakat adat di kota Ternate. Metode, Penelitian ini adalah desain penelitian
menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis interpretatif. Lokasi
penelitian ini adalah di Kota Ternate. Peserta dipilih dengan snowball sampling dan purposive
sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam selama 40 menit,
observasi dan dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik Van Manen. Hasil wawancara
kemudian dianalisis menggunakan pendekatan hermeneutik untuk memperoleh tema-tema
kunci. Hasil, Penanggulangan bencana berdasarkan kearifan lokal masyarakat adat di kota
Ternate pada tahun 2016 memiliki berbagai keadaan di mana, seperti pengenalan tentang tanda-
tanda bencana alam, komunitas kesiapsiagaan, persepsi publik, aksi masyarakat, dan kondisi
setelah bencana dan harapan masyarakat setelah bencana tentang pencegahan bencana alam.
Hasil penelitian yang dibuat model, adalah mengembangkan dari model asuhan keperawatan
budaya oleh Leininger. Model yang dikembangkan berdasarkan temuan adalah Sun Runis
Model: manajemen bencana alam dari kearifan lokal. Penelitian ini menjadi referensi untuk
penanggulangan bencana, khususnya di kota Ternate.Kesimpulan, Pengembangan model dibuat
dengan nama "Sun Runis Model". Model dibuat dan dihadapi oleh masyarakat perlu
merasionalisasi berdasarkan teori dan sains. Hasil penelitian dapat penerimaan masyarakat dan
pemerintah akan menjadi rekomendasi penting untuk tindakan selanjutnya.
Berbagai ancaman dan bencana alam di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun dan dapat menimbulkan
efek bagi manusia, seperti di beberapa daerah di Indonesia terjadi gempa dan tsunami, termasuk dari Kota
Ternate. Pada 1737, kota Ternate terjadi letusan dalam kondisi serius, di mana lahar itu mencapai samudra
dan menjadi batu (ANGUS Stone) di Desa Kulaba, kota Ternate. Pada 1835, 1839 dan 1840, terjadi letusan
disertai dengan gempa yang paling parah (Swara Kieraha, 2011). Selain itu, terakhir dalam empat tahun
(2010-2015) terjadi beberapa bencana alam seperti banjir pasang surut alam, tanah longsor, kebakaran,
tornado, gelombang pasang, banjir, lahar dingin, gempa tektonik, letusan gunung Gamalama, dan
kebakaran hutan di Ternate. diperlukan perhatian dan komitmen dari pemerintah dan masyarakat untuk
mencegah dampak bencana alam (BPBD). Meskipun demikian, gunung berapi ZIP mereka memantau dan
merekam gempa bumi yang terjadi menggunakan pengembangan teknologi maju yang tepat pada saat ini,
tetapi belum mampu memecahkan masalah yang mengacu pada letusan gunung berapi.
Oleh karena itu, kearifan lokal masyarakat adat di kota ternate diharapkan dapat membantu dan mampu
menjawab tantangan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam. Kearifan lokal
dapat berkolaborasi dengan teknologi dalam mencegah bencana alam yang dipertanyakan. Berdasarkan
gagasan itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen bencana yang dilakukan oleh
masyarakat adat di kota ternate.
METODE
Penelitian ini adalah desain penelitian menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis interpretatif. Terletak penelitian di Northern Kota Ternate. Peserta dipilih dengan snowball
sampling yang memenuhi kriteria. Sampel penelitian terdiri dari 5 orang dari komunitas telah lama tinggal
di daerah dan sebagai pemimpin agama. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
mendalam selama 40 menit dan analisis data menggunakan teknik Van Manen. Hasil wawancara kemudian
dianalisis menggunakan pendekatan hermeneutik untuk memperoleh tema-tema kunci.
HASIL
Terletak di kota Ternate berada di bawah kaki Gunung Gamalama, provinsi Maluku Utara.
Ternate menjadi kota otonom sejak 4 Agustus 2010, dan menjadi ibukota sementara provinsi Maluku
Utara, karena kota Sofifi sebagai ibu kotanya adalah infrastruktur dan menyiapkan penataan kota.
Topografi kota Ternate berbukit dengan gunung berapi yang masih aktif dan terletak di pusat pulau
Ternate. Hasil letusan Gamalama adalah magmatik, dengan semburan benjolan berukuran pijar berukuran,
kerikil, pasir dan abu vulkanik baik mengikuti atau tanpa lava. Dalam beberapa kasus ada awan panas.
Kerusakan dapat disebabkan letusan antara lain oleh emisi gas vulkanik, ledakan eksplosif, longsoran,
aliran piroklastik, lava dan hujan abu. Besarnya dan luasnya dampak letusan tergantung pada karakteristik
fisik dan kimia dari produk letusan, durasi letusan dan karakteristik lingkungan (flora dan fauna). Daerah
rawan bencana (KRB) telah dipetakan dan disosialisasikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) di kota Ternate. Daerah yang rawan bencana dibagi menjadi tiga wilayah: 1) Daerah rawan
bencana I; berpotensi terkena lava, banjir, perluasan awan panas dan aliran lava. 2) Wilayah rawan bencana
II; berpotensi dipengaruhi oleh awan panas, aliran lava, longsoran batuan pijar dan aliran lava. 3) Daerah
rawan bencana III; berpotensi menghantam awan panas, lahar, dan longsoran salju pijar.
Peserta dilibatkan berdasarkan kriteria penelitian. Para peserta memiliki budaya dan nilai-nilai
keyakinan yang sama. Lokasi penelitian ini adalah Disaster-Prone Areas II. Namun, ada beberapa peserta
yang tinggal di daerah yang sangat rawan terhadap bencana (KRB) III. Daerah ini dibangun elevasi sungai
untuk menahan luapan lava. Karena lahar mengancam daerah pemukiman di sekitarnya.
Peserta adalah orang tua dan salah satu tokoh masyarakat setempat. Mereka mengalami bencana alam atau
lahar dingin lebih dari empat kali. Karena, mereka adalah tokoh masyarakat, yang secara langsung terlibat
dengan kepala desa dan pemerintah untuk menginformasikan dan membantu proses populasi yang terkena
bencana. Peserta lama tinggal di daerah tersebut lebih dari 40 tahun. Mereka memiliki rumah, dan tinggal
bersama keluarga, tetangga dan lingkungan sekitarnya.
1. Tanda alam
- Cuaca
- Hewan
2. Informasi dari
tokoh masyarakat
Persyaratan penting ini adalah makna kategori dari pernyataan yang disampaikan oleh peserta yang
ditafsirkan dalam bentuk kalimat yang sama.
Pernyataan peserta dapat diringkas dalam bagan di bawah ini.
keadaandan persepsi tentang keadaan. Tema pertama menunjukkan kepada dua kategori adalah situasi
biasanya dan keyakinan dan persepsi realitas. Tema kedua juga menunjukkan 2 kategori yaitu penyebab
keadaan dan moral manusia.
Para peserta menyatakan bahwa bencana alam terjadi karena meletus secara alami dan aktivitas
manusia; Pernyataan peserta dapat diringkas dalam bagan di bawah ini.
p
u
b
1.Keadaan Biasa Keadaan l
- Biasa
i
- Kepercayaan dan Persepsi Realitas Persepsi k
2. Keadaan P
e
- Penyebab keadaan r
- Menyebabkan moral manusia
s
e
p
s
i
aksi. Tema ini muncul 4 sub-tema seperti Hold out, perlindungan; Perluasan Informasi dan ritual bencana
untuk mencegah Bencana Alam. Pernyataan peserta;
Kesimpulan dari pernyataan peserta dapat diringkas dalam bagan di bawah ini.
1. Tunggu
- Tetap di rumah
i
n
f
4. Ritual bencana untuk mencegah bencana alam o
r
m
a
s
i
k
o
m
u
n
i
t
a
s
T
i
n
d
a
k
a
n
d
a
l
a
m
a
l
a
m
b
e
n
c
a
n
a
Gambar.4 Tindakan masyarakat
Mengetahui kondisi masyarakat pascabencana untuk mendapatkan dua sub-tema yaitu ritualdan
komunitaskegiatan masyarakat.
1. Ritual masyarakat
- Doa bersama Kondisi
setelah bencana
2. Kegiatan komunitas terjadi
- Kegiatan
- Kegiatan yang
dibutuhkan
Gambar.5 Skema Kondisi setelah bencana terjadi
Ketertarikan untuk mengetahui harapan masyarakat muncul satu tema, yaitu harapan masyarakat
pasca bencana. Sub tema adalah keinginan masyarakat yang muncul 2 kategori, Tinggal di tempat asalnya
dan bantuan dari pemerintah.
Pernyataan peserta dapat diringkas dalam bagan di bawah ini.
Komunitas
keinginan masyarakat
- Tinggal di
rumah Harapan setelah
- Bantuan dari bencana tentang
pencegahanterhadap
pemerintah alam
PEMBAHASAN
Penelitian kualitatif ini telah menemukan 6 (enam) tema. Tema diturunkan berdasarkan analisis dari semua
wawancara dengan para peserta. Selain itu, observasi lingkungan dan penilaian dampak bencana adalah
data pendukung dalam memperkuat dan mengangkat tema. Seperti pengenalan tentang tanda-tanda
bencana alam, komunitas kesiapsiagaan, persepsi publik, aksi masyarakat, kondisi setelah bencana dan
harapan masyarakat setelah bencana. Skema kerangka penanggulangan bencana berdasarkan kearifan lokal
masyarakat adat di kota Ternate.
Pendahulua
n Orang Kondisi
tentang
tanda-
tanda Persepsi tentang setelah
bencana bencana bencana
Kesiapsiag Masyarakat
aan Masyarakat
masyarakat Tindakan ekspektasi
tentang
bencana pascabencana
Gambar 7. Skema kerangka manajemen bencana berdasarkan kearifan lokal
Tema-tema utama yang ditemukan di atas, dan membentuk model manajemen bencana berdasarkan
kearifan lokal kota Ternate. Penentuan model mengacu pada teori model perawatan budaya oleh Marilin
Linenger (Linenger dalam Andrew & Boyle, 1995). Keperawatan lintas budaya sebagai area yang luas
dalam keperawatan yang berfokus pada beberapa perbedaan budaya sehubungan dengan perilaku
kepedulian, asuhan keperawatan dan nilai kesehatan-penyakit, keyakinan dan perilaku dengan tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tubuh humanistik pengetahuan untuk budaya tertentu dan budaya
universal dalam keperawatan. Strategi paradigma praktik keperawatan melihat budaya yang dihadapkan
dengan situasi dan fenomena masalah budaya perilaku kesehatan dan perawat diperlukan untuk memahami
kondisi ini, sehingga dapat memecahkan masalah menggunakan pendekatan keperawatan (Perry & Potter,
2009).
Pembentukan pola manajemen bencana alam dengan masyarakat adat berbasis kearifan lokal di wilayah
rawan bencana alam di Ternate (disebut sebagai Model Sun Runis) ditemukan di beberapa sektor
masyarakat setempat, seperti agama dan filosofis, Ketersediaan Darurat Bencana, pembangunan sosial,
fasilitas budaya, perhatian pemerintah dan Cagar Alam.
Komunitasyang telah menjadi bencana, mereka mengorganisasi doa bersama, baik disiarkan melalui
masjid terdekat dan rumah-rumah mereka sendiri. Menurut pernyataan mereka bahwa dalam pelaksanaan
sembahyang ritual, selain meminta perlindungan dari Tuhan, tujuan lainnya adalah memberikan rasa
ketenangan kepada masyarakat sekitar. Ini adalah salah satu manifestasi dari upaya dalam membentuk
kekuatan hati dan ketenangan pikiran untuk menghadapi bencana. Harapan dengan rasa ketenangan setelah
melakukan sembahyang ritual, orang tidak merasa panik dan takut, tetapi mereka menjadi tenang.
Aspekaspek tersebut meliputi penyediaan sarana dan prasarana untuk proses penyelamatan, evakuasi
transportasi dan logistik. Jika evakuasi harus segera diperbaiki, selain itu memudahkan waktu evakuasi,
jalan yang berfungsi baik akan mempercepat pengangkutan barang dan bahan (Pusponegoro, 2011).
sosial adalah kerja sama dan kolaborasi dengan pemerintah dan sektor swasta seperti
donor, lembaga swadaya masyarakat dan institusi lainnya. Semua sosialisasi tentang kebutuhan masyarakat
dalam menghadapi bencana secara serius perlu dilakukan agar semua pemangku kepentingan serta upaya
kemanusiaan memiliki pemahaman yang sama satu sama lain terhadap apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat dalam menghadapi bencana alam (Awaliyah). , 2015).
Dampak bencana dapat menyebabkan masalah kesehatan. Oleh karena itu, mereka membutuhkan
sosialisasi dan koordinasi dari pemerintah, terutama sektor kesehatan.
4. Fasilitas Budaya
Area yang rawan bencana diperlukan perhatian terhadap manajemen bencana. Manajemen bencana
harus menggunakan
pola kearifan lokal termasuk budaya lokal yang diarahkan pada pemecahan masalah. Keadaan budaya ini
akan memainkan peran dalam mengatur perilaku individu untuk kelompok dalam masyarakat (Anderson
dalam Gaillard, et all, 2008). Budaya ini yang mencakup fasilitas budaya sebagai hubungan informasi yang
terkait dengan bencana. Ketika bencana datang persepsi dan pemahaman tentang keadaan yang
diinformasikan oleh simbol atau suara bisa efektif.
5. Perhatian pemerintah
Salah satu pengaruh sangat penting dalam pencegahan bencana alam yaitu hubungan sosial dan
Salah satu bencana dampak adalah ketahanan pangan dan kebutuhan dasar yang mendesak. Ketika
bencana, keamanan pangan
diprioritaskan dengan kebutuhan logistik lainnya. Kebutuhan logistik adalah segala yang dibutuhkan dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan. Seperti makanan (bahan makanan), obat-obatan,
selimut, pakaian, air minum, jas hujan, masker dll. Pada saat pra-bencana, dan ketika bencana,
ketersediaan prasyarat logistik yang cukup untuk menangani korban dan kelangsungan hidup masyarakat.
7. Pendidikan Pendidikan
bencana mencakup banyak aspek yang sangat penting. Aspek-aspek penting seperti
pengakuan potensi bahaya, mengetahui kejadian bencana di masa lalu, bagaimana bentuk antisipasi,
meningkatkan kesadaran masyarakat akan tanda-tanda bencana dan bagaimana menentukan dampak
bencana. Bagaimana cara penanganan kondisi bencana untuk menyelamatkan diri dari bencana. Oleh
karena itu, masyarakat juga dilengkapi dengan pengetahuan dan pelatihan perawatan darurat karena
bencana sehingga dapat membantu masyarakat lain yang terkena dampak bencana (Pusponegoro, 2011).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa manajemen bencana
berdasarkan kearifan lokal masyarakat adat di kota Ternate pada tahun 2016 memiliki berbagai keadaan di
mana, seperti pengenalan tentang tanda-tanda bencana alam, komunitas kesiapsiagaan, persepsi publik,
tindakan masyarakat, kondisi setelah bencana dan harapan masyarakat. Model pengembangan ini dibuat
dengan nama "Sun Runis Model".
REFERENSI
Badan Penanggulangan Bencana Daerah, (2015), Data Historis Kejadian Bencana sampai dengan akhir
tahun 2015, Kota Ternate
Fathiyah, KN dan Hiryanto, (2013), Identifikasi Kearifan Lokal dalam Memahami Bencana Alam Masuk
oleh Penatua di Daerah Istimewa
Galla, A., (2001), Buku Panduan untuk Partisipasi Orang Muda dalam Pelestarian Warisan, Brisbane:
Kusumasari, Bevaola dan Quamrul Alam (2012), model pemulihan bencana berbasis kearifan lokal di
Indonesia, Jurnal Pencegahan dan Penanggulangan Bencana, Vol. 21 No. 3, Kelompok Zamrud Hak
Cipta Menerbitkan Terbatas.
Mercer, J. dan I. Kelman, Menggabungkan Pengetahuan Adat dan Ilmiah untuk Risiko Bencana PNG
Pengurangan, Newsletter ISISA. Vol.7, No.2, 2007.
Shaw, R., N. Uy, dan J. Baumwoll, (2008), Pengetahuan Pribumi untuk Pengurangan Resiko
Bencana:Baik
Praktik yangdan Pelajaran yang Diperoleh dari Pengalaman di Wilayah Asia - Pasifik, Bangkok : UN
/ ISDR.
Zulkarnain, A. Ag. dan R. Febriamansyah, (2008), Kearifan Lokal dan Pemanfaatan dan Pelestarian
Sumberdaya Pesisir, Jakarta: Jurnal Agribisnis Kerakyatan, 1.