You are on page 1of 209
ISLAM KERAKYATAN KEINDONESIAAN SEKITAR PERSOALAN STABILITAS Oleh Nurcholish Madjid Dalil yang mengatakan bahwa pembangunan tidak mungkin ter- laksana dengan baik tanpa adanya kemantapan sosial-politik atau yang lebih dikenal dengan stabilitas sosial-politik kiranya sekarang ini semakin diakui kebenarannya. Sesungguhnya secara akal schat sederhana, hal itu pun diakui demikian, tetapi saat ini justru hal itu telah terbukti secara empiris, yaitu ujud dan hasil pembangunan secara keseluruhan. Kerinduan yang mendalam kepada pola kehidupan yang aman dan makmur sebagaimana dijanjikan oleh kemerdekaan telah membuat sebagian besar rakyat tidak bergairah lagi membicarakan soal-soal yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pembangunan. Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian tahun merdeka, rakyat melihat apa yang disebut pembangunan, alternatif- alternatif apa yang mungkin dipilih sebagai cara melaksanakannya, dan apa pula hasilnya di samping yang positif sebagaimana dike- hendaki juga yang negatif yang merupakan ekses. Meskipun mungkin seseorang mempunyai pikiran lain tentang bagaimana pembangunan dilaksanakan dan hasil apa yang diharapkan — dan orang serupa itu pasti ada di kalangan masyarakat — tetapi agak- nya ia akan berpendapat bahwa pembangunan yang sekarang dilaksanakan adalah sudah semestinya demikian sebagai alternatif terdekat yang dapat ditempuh. Baginya buah hasil utama dari kegiatan pembangunan ini, selain hasil-hasil langsungnya sendiri, ialah pelajaran empiris yang dapat ditarik darinya guna menentukan osle 5 NURCHOLISH MADJID 6% langkah-langkah yang lebih baik lagi untuk masa-masa yang akan datang. Karenanya, sedikit banyak mereka pun mengakui kebenaran prinsip kemantapan atau stabilitas sosial-politik yang kini dianut. Tetapi rasanya stabilitas sosial-politik tidak dapat ditafsirkan hanya sebagai keadaan yang serba-tenang, tenteram, dan keadaan- keadaan serupa lainnya yang serba-statis. Prinsip itu kiranya lebih mendekati maksudnya yang tepat jika diartikan sebagai keadaan di mana terdapat kepastian-kepastian, khususnya kepastian hukum dan kepastian-kepastian yang menyangkut pelaksanaan prinsip-prinsip umum kenegaraan kita, terutama dasar negara yang dalam hal ini ialah Pancasila. Kepastian tentang apa yang sering disebut sebagai rule of the game juga amat penting, sehingga siapa saja dapat melakukan sesuatu kegiatan tanpa ragu sebab ada unsur-unsur yang meyakinkannya tentang hasilnya kelak. Sebuah adagium dalam bahasa Jawa yang sering disitir oleh para pemimpin kita menyebutkan sebuah negara atau masyarakat yang “toto tentrem, kerto raharjo” , sebagai gambaran yang ideal. Toto atau tertib tenteram karena masing-masing meyakini adanya jaminan bagi diri pribadi dan keluarganya sehingga tidak akan diragukan, dan kerto atau ramai dan raharjo atau makmur (dalam bahasa Arab, artinya juga “ramai”) menunjuk kepada segi dinamis masyarakat tersebut. Sesuatu yang hidup tentu tumbuh dan dinamis, dan disebut mati jika ia berhenti tumbuh hingga menjadi statis atau diam. Dahulu, pada awal pertumbuhan Orde Baru, ketika prinsip stabilitas ini dicanangkan untuk pertama kalinya memang telah timbul pertukaran pendapat tentang apa hakikat prinsip itu. Stabilitas diakui kebenarannya, tetapi pada saat yang sama dikhawatirkan jika ia meluncur menjadi keadaan statis. Maka muncullah istilah baru yang agak asing, yaitu “stabil dinamis”, dalam menggambarkan keadaan masyarakat yang dikehendaki. Sampai dengan saat kita menemukan secara empiris bentuk nyata apa yang disebut masyarakat 50 SEKITAR PERSOLAN STAILITAS © stabil dinamis itu, barangkali dalil “toto tentrem, kerto raharjo” dapat dijadikan pegangan, biar pun untuk sementara. ‘Adapun hal yang paling cepat meluncurkan prinsip stabilitas menuju pembentukan masyarakat statis ialah sikap-sikap obsesif padanya. Sikap itu mudah sekali melahirkan sikap-sikap pukul-rata dan kurang cermat dalam penyaringan dan pemilihan masalah. Sumber gangguan terhadap stabilitas sudah tentu terutama datang dari gerakan-gerakan subversif. Gerakan-gerakan itu didasari oleh adanya keberatan yang prinsipil terhadap keadaan sekarang, dan umumnya dilatarbelakangi oleh ideologi yang bertentangan. Pada saat ini, subversi itu paling mungkin datang dari jurusan kaum komunis. Tetapi juga bisa saja datang dari jurusan yang kurang ideologis, namun “interes” mereka cukup jelas dan kuat, terutama interes-interes ekonomi. Hal itu membuat masalah subversi menjadi amat pelik. Walaupun begitu, hal tersebut tidak boleh melengahkan kita dari keharusan mengambil sikap yang lebih selektif dalam mengamati gejala-gejala sosial yang akan dinilai sebagai mengganggu stabilitas sosial-politik. Informasi harus komprehensif dan adil atau jujur. Jika tidak, maka penyakit pukul rata akan menghinggapi kita, yang kelak merupakan bumerang. Sebab dengan begitu kita menjadi tidak tanggap pada segi-segi kreatif dan dinamis yang merupakan aspek sehat dalam pertumbuhan masyarakat, dan membuat kita menentang arus alamiah dalam pertumbuhan itu. Sekuat-kuat orang yang menentang arus tentu akan jebol juga! Sebagai contoh ialah pertumbuhan masyarakat sebagai akibat pembangunan itu sendiri. Ambillah misal kecil, yaitu perubahan orientasi prestise menjadi orientasi prestasi atau yang pernah terkenal dengan sebutan achievement orientation. Elite lama umumnya menyandarkan sikapnya berdasarkan orientasi prestise, dengan adanya feodalisme; sedangkan elite baru yang sedang tumbuh menyandarkan sikapnya berdasarkan orientasi prestasi yang biasanya diperoleh dari pendidikan. Padahal pendidikan diperoleh oleh semua lapisan masyarakat. Maka hal itu tentu 3 © NURCHOLISH MADJID G& mengakibatkan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam strata sosial kita, dan tentu menimbulkan ketegangan-ketegangan yang “mengganggu” stabilitas. '*! 4e MASALAH PENDIDIKAN Oleh Nurcholish Madjid Seperti biasanya setiap awal tahun ajaran, ramai sekali dibicarakan masalah-masalah sekitar pendidikan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pendidikan merupakan tiang pancang utama yang menunjang pembangtman bangsa. Dan usaha-usaha pendidikan itu mengalami banyak sekali kesulitan yang berbelit-belit bagaikan lingkaran setan tanpa ujung pangkal. Syukurlah sekarang telah dimulai usaha-usaha yang meyakinkan untuk mengatasi kesulitan itu. Menteri P dan K umpamanya, sebagai pejabat yang paling besar tanggung jawabnya di bidang ini, telah berusaha keras ke arah menemukan metode-metode dan bentuk- bentuk pendidikan yang baru, yang lebih memenuhi kebutuhan bangsa. Sekalipun belum seluruhnya berhasil, namun usaha-usaha itu sudah merupakan perintisan yang sungguh-sungguh. Dalam rangka itu, kabarnya pendidikan tidak-formal akan menjadi lebih besar peranannya di masa yang akan datang. Lebih kentara lagi ialah tindakan-tindakan yang diambil oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta Raya. Sesuai dengan sifat- sifatnya yang pragmatik, maka pendekatan Ali Sadikin kepada masalah pendidikan ini amat riil dan pragmatik pula. Lingkaran setan yang membelit masalah pendidikan itu dipotongnya melalui penyediaan sarana-sarana, dalam hal ini yang terutama ialah gedung- gedung sekolah. Seperti timbulnya gedung-gedung pencakar langit yang sekarang mulai merupakan and mark ibukota, Ali Sadikin menaburi wilayah kekuasaannya itu dengan gedung-gedung sekolah osle 5 NURCHOLISH MADJID 6% yang serba-baru dan megah, khususnya untuk tingkat pendidikan dasar. Sudah pasti pengaruh tersedianya sarana-sarana pokok itu amat besar atas kelancaran penyelenggaraan pendidikan di ibukota. Ditambah dengan perbaikan-perbaikan di bidang lainnya — seperti masalah gaji para guru, sistem penerimaan murid yang lebih demokratis (artinya tanpa peraturan-peraturan begitu rupa sehingga yang dapat diterima akhirnya hanya anaknya orang-orang kaya) serta perbaikan kurikulum dan lain-lain — mungkin Jakarta Raya akan mempunyai sistem pendidikan yang kualitas hasilnya lebih baik daripada daerah-daerah lainnya, sekurang-kurangnya tidak lagi — seperti pernah sering dikatakan orang pada waktu- waktu yang lalu — mutu pendidikan di ibukota ialah yang paling rendah di seluruh Indonesia kecuali Irian Barat. Sesudah itu semua, maka yang tetap harus menjadi pertanyaan adalah apakah tujuan sebenarnya pendidikan? Dan bagaimanakah seharusnya sifat pendidikan itu schingga mampu mengantarkannya kepada tujuan? Dalam hal ini patut dikemukakan pendapat para ahli pendi- dikan, khususnya Alan Simpson. Dikatakannya bahwa apa pun jenis pendidikan, yang akan berarti ialah yang dapat membentuk manusia terpelajar dan bersifat liberal. Ciri-ciri yang positif dan konstruktif yang membedakan antara pendidikan yang baik dari yang jelek atau yang sungguh-sungguh dari yang setengah-setengah, terkandung dalam perkataan “liberal” itu. Dan apa pun pasang surut yang diderita oleh istilah “liberal” dalam kamus politik, ia terpakai dalam dunia pendidikan tanpa mengindahkan kontroversi itu. Dalam percakapan yang menyangkut tindakan seorang guru yang kurang bijaksana, sering dikatakan, “Apakah tindakan itu cukup liberal?”, sebagai cercaan kepada penindaknya. Di masa silam, pendidikan yang liberal membedakan dengan tajam antara seorang manusia merdeka dari seorang manusia budak atau seorang majikan dari buruh-buruh dan pekerja-pekerja tangan. Pada waktu sekarang, pendidikan liberal itu membedakan apa pun yang dapat memperkembangkan jiwa atau spirit dari yang sekadar merupakan ale 5 MASALAH PENDIDIKAN GR hal-hal yang praktis dan profesional atau dari hal-hal yang kurang berarti yang tidak mengandung latihan sama sekali. Pendidikan liberal itu meliputi pengetahuan, keahlian, dan nilai-nilai. Jika pengetahuan merupakan bahan penilaian kita, maka di sini kita tidak dapat menjadi dogmatik, baik mengenai macam pengetahuan itu maupun jumlahnya. Satu saja dari suatu bidang yang subur yang digarap dengan penuh ketekunan dan daya imajinasi, mungkin akan mampu mengembangkan bakat-bakat seorang yang terpelajar. Karena itulah pendidikan yang liberal sedikit mengenal penyeragaman dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Setiap lembaga mempunyai cirinya yang tersendiri, sesuai dengan pilihan tekanan bidang pengetahuan yang dianggapnya paling subur dan cocok untuk anak didiknya. Sekalipun begitu, jika perancang kurikulum menghendaki untuk menekan risiko serendah mungkin, dia dapat mempraktikkan sebuah doktrin kuna yang mengatakan bahwa seorang yang terpelajar harus mengetahui sedikit tentang segala masalah, dan mengetahui banyak tentang masalah khusus tertentu. Sampai di sini kita baru membicarakan unsur pengetahuan, belum unsur keahlian dan nilai-nilai. '*! 3 TURISME INDONESIA SEBAGAI UPAYA PERDAMAIAN DUNIA Oleh Nurcholish Madjid Sementara orang dan pers memberikan interpretasi bahwa antu- siasme rakyat, khususnya di ibukota, dalam menyambut beberapa kejadian akhir-akhir ini, antara lain kedatangan tamu agung Ratu Inggris sebagai penyaluran hasrat mendapatkan suasana lain atau “intermezzo” dari keadaan umum sekarang yang masih amat kuat terpengaruh oleh suasana politik akibat kejadian-kejadian yang alu. Abli ilmu jiwa tentu dapat menerangkan lebih baik lagi bahwa kemampuan untuk menemukan suatu jalan keluar dari suatu kemelut psikologis adalah mutlak, baik untuk individu maupun masyarakat. Maka orang pun diam-diam bersyukur bahwa dalam suasana seperti sekarang, terdapat kejadian-kejadian yang memberi peluang bagi diketemukannya pergantian suasana itu. Demikian juga halnya dengan konferensi PATA, yang mengun- dang kegembiraan kalangan umum, setidaknya karena dengan peristiwa itu maka ibukota dibuat menjadi semakin indah dan semarak. Memang pariwisata selalu terhubungkan dengan suatu kesema- rakan, kemeriahan, dan kadang-kadang dengan kemewahan. Asosiasi serupa itu mungkin tidak dapat dihindari, sebab suatu kenyataan yang sederhana ialah bahwa kalangan masyarakat yang sanggup mendukung turisme sudah tentu ialah mereka yang mampu dari segi finansial, Apalagi jika tingkatnya internasional, maka untuk ukuran negara berkembang seperti Indonesia tidak ayal osle 5 NURCHOLISH MADJID 6% lagi yang mampu melakukannya hanyalah mereka yang tergolong jutawan saja, Sedangkan untuk sebagian besar rakyat, menikmati suatu wisata hanyalah merupakan impian yang tidak diketahui entah kapan terlaksana. Teu dari satu segi. Dari segi lain turisme senantiasa dihubungkan dengan gambaran datangnya orang-arang asing dengan gambaran rupa-rupa, antara lain sikap mereka yang royal untuk berbelanja. Kesan itu demikian sampai datangnya wisatawan model mutakhir, yaitu wisatawan “hippy” yang terkenal hemat kalau tidak harus dikatakan pelit luar biasa. Harapan-harapan terhadap turisme yang dikaitakan dengan segi-segi finansial ekonomis seperti datangnya devisa mungkin akan dikecewakan oleh kenyataan tersebut. Maka salah satu “kegunaan” sikap pemerintah membatasi masuknya turis-turis “hippy” ialah mencegah mengalirnya wisatawan yang kurang “produktif”, selain alasan untuk mencegah terjadinya apa yang disebut “polusi” kebudayaan. Tapi jika kita tidak membatasi pengambilan manfaat dari segi ekonomis saja, melainkan kepada hal-hal yang lebih mendalam, mungkin turis-turis “hippy” atau sermua jenis turis, dapat dikatakan berfaedah. Jika dihubungkan dengan harapan Presiden, yang salah satunya dikaitkan dengan perdamaian dunia, maka ada suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu adanya pengertian dunia. Di sini mungkin justru kaum Hippy menempati kedudukan yang patut diperhatikan. Dengan sedikit memahami latar belakang Hippiisme yang sejati di negara-negara maju, yang sering juga dinamakan sebagai the flower people (karena mereka memakai kembang sebagai lambang filsafat dan hidup mereka), maka kita mengetahui bahwa kaum Hippy mewakili suatu kelompok dalam masyarakat muda negara-negara maju yang secara cukup serius ingin menemukan pandangan-pandangan hidup baru yang lebih berorientasi kepada kemanusiaan atau perdamaian. Memang ada orang yang tidak percaya akan interpretasi ini, tetapi tentang hal itu telah banyak ditulis artikel dan diterbitkan buku-buku. ‘5 TURISME INDONESIA SEBAGAI UPAYA PERDAMAIAN DUNIA G2 Jika iru benar, maka turisme model Hippy adalah yang paling mendekati harapan-harapan sekitar perdamaian, internasionalisme, dan seterusnya. Jika diamati benar-benar, maka turis Hippy inilah dari kalangan mereka yang datang ke negara lain dengan fanatisme kebangsaan yang minimal. Kesediaan mereka untuk bergaul dan menghargai orang-orang setempat merupakan suatu ciri yang tajam, demikian pula curiosity mereka untuk memahami, kalau perlu mengadopsi, kebudayaan-kebudayaan negara-negara yang dikunjungi. Salah satu daya tarik Bali, atau lebih besar lagi India, adalah segi kemungkinan ini bagi mereka. Justru turis-turis kaya yang sering angkuh dan nasionalistik. Hal ini diketengahkan sebagai suatu bahan pemikiran kita bersama dalam memahami arti lain turisme yang kini sedang dikonferensikan. “*! 3 JUDI DILARANG Oleh Nurcholish Madjid Orang agama sudah mengetahui dari semula bahwa main judi, bersama dengan minuman keras adalah lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya. Begitu pula agaknya penguasa sekarang ini, khususnya Pangkopkamtib, dengan instruksinya melarang judi di seluruh Indonesia. Alasannya ialah karena perjudian itu merusak mental masyarakat. Tetapi memang berbeda antara opini yang dibentuk oleh agama dan opini yang diperoleh dari pengalaman empiris. Yang pertama terjadi karena adanya kepercayaan kepada ajaran agama, sedangkan yang kedua muncul oleh penyimpulan dari bukti-bukti nyata. Karena itu, ketika judi mulai diintrodusir secara besar-besaran di tanah air kita, kaum agama menyambutnya dengan tantangan yang luar biasa sengitnya. Bagaimanapun histerisnya para muballigh meneriakkan suara protesnya, namun mereka tidak menghasilkan sesuatu yang efektif: Hal itu disebabkan tidak adanya perhatian dari pihak-pihak yang bersangkutan, disertai dengan kelumpuhan jika dihadapkan kepada tantangan Ali Sadikin yang cukup terkenal: “Kalau judi dilarang, berilah jalan lain untuk mendapatkan sumber dana bagi pembangunan ibukota!” Karena itu, ada sebagian dari para agamawan itu yang kemudian mengambil sikap tidak mau tahu lagi, sedangkan dalam hati keciInya ada suara: “Biarlah pengalaman nyata memberi pelajaran sendiri apakah judi itu lebih banyak gunanya atau kerusakannya”. osle 5 NURCHOLISH MADJID 6% Sekalipun dengan pelarangan ini DKI masih memperoleh beberapa perkecualian bersama dengan satu-dua kota besar lainnya, namun instruksi itu tentu disambut oleh rakyat, termasuk rakyat DKI sendiri. Memang cukup mengherankan bahwa perjudian merajalela begitu rupa di negeri kita ini, di mana penduduknya katanya sangat tebal rasa keagamaannya. Begitu luas dan mendalam “bekas” judi iru dalam sikap mental sebagian orang Indonesia, schingga ia merupakan bagian mutlak dari hidup itu sendiri. Lebih mengherankan lagi bahwa justru perjudian itu berkem- bang pesat di masa pembangunan, apalagi dengan ekonomi seba- gai prioritas utama. Salah satu tuntutan pokok pembangunan ekonomi itu — demikian menurut para ekonom kita — ialah adanya produktivitas dan ditekanmya konsumsi. Daya produksi dinaikkan dengan berbagai cara, termasuk di antaranya pendekatan segi manusianya, berupa penciptaan kondisi yang merangsang tumbuhnya kegairahan bekerja. Sedangkan penekanan konsumsi juga ditempuh dengan bermacam-macam jalan, salah satunya sckarang yang sedang giat dikampanyekan ialah menjalankan hidup sederhana. Tentu saja kesemuanya itu berlawanan dengan semangat yang ditimbulkan oleh adanya perjudian dengan skala besar-besaran itu. Suasana perjudian memupus nafsu atau kegairahan bekerja. Dan karena kekalahan jauh lebih sering dan banyak daripada kemenangan — kecuali barangkali bandarnya sendiri — maka perjudian adalah sejenis aktivitas yang mahal, jadi dapat disebut mewah, atau malahan sekadar boros. Menabung bagi seorang penjudi adalah pekerjaan sia-sia yang tak mungkin mereka lakukan. Tetapi hal lain yang efeknya kepada masyarakat sama atau mungkin lebih besar daripada perjudian ialah — sebut saja — eksploitasi seks. Sebutan itu kita kenakan pada usaha-usaha yang karena sifat-siratnya lebih banyak mempertaruhkan daya tarik seks daripada segi formalnya sendiri. Contohnya ialah night club, steam bath, dan massage parlors. 5 JUD! DILARANG © Orang tidak perlu menjadi manusia “semuci” (sok suci) untuk dapat menyatakan ketidaksetujuannya pada jenis-jenis usaha tersebut. Diukur dengan kepentingan nasional, sekurang-kurangnya jenis usaha mewah dan konsumtif itu pasti bukan termasuk dalam skala prioritas, bahkan seharusnya hanyalah sesuatu yang paling akhir — entah kapan kelak — dapat dipertimbangkan kemungkinan pembukaannya. Produktivitas, menabung, konsumsi rendah dan cara hidup sederhana adalah requirements dasar kita seagai bangsa yang baru mulai membangun. Sedangkan usaha-usaha tersebut tadi, disebabkan daya dorongnya ke arah konsumsi tinggi, adalah justru berlawanan dengan requirements tersebut. Maka sebetulnya tidaklah terlalu mahal jika kita justru dengan sekuat tenaga berusaha menciptakan suasana yang memungkinkan diterimanya requirements tersebut sebagai keyakinan hidup bangsa dalam membangun. Suatu ironi adalah bahwa kita bangsa Indonesia ini justru sanggup menyamai — atau mungkin melebihi — negara-negara maju dalam hal usaha-usaha eksploitasi seks yang mewah dan boros itu. Sebagai contoh, menurut Newsweek tanggal 12 Februari 1973, meskipun di New York pada waktu sekarang ini terdapat 76 massage parlors, tetapi dua tahun yang lalu — jadi masih baru saja— hanya terdapat empat buah. Sekarang, berapakah jumlah “zassage parlors” itu di Jakarta dua tahun yang lalu? Pasti tidak hanya empat buah. Atau kalau toh kurang dari jumlah itu, Jakarta pasti sudah memulai usahanya. Jadi pada garis besarnya kita menyamai Amerika, negeri terkaya di dunia dalam hal eksploitasi seks ini. Dilihat dari sudut perkembangan psikologis memang dapat dipahami jika kita mengalami masa tidak begitu jelas tentang apa yang harus diperbuat dan apa yang harus tidak diperbuat segera setelah perubahan besar dari Orde Lama ke Orde Baru. Tetapi dengan berjalannya waktu agaknya kita makin insaf akan diri sendiri, baik selaku perorangan maupun bangsa. Kita semakin tajam dan matang dalam mempertimbangkan baik dan buruk yang datang dari luar. '*! 3 ALKOHOLISME DI INDONESIA Oleh Nurcholish Madjid Kita merasa gembira membaca berita yang memuat penilaian se- orang pejabat kepolisian bahwa penanggulangan masalah narkotika di Indonesia termasuk yang paling sempurna di dunia. Meskipun seorang abli psikologi terkenal, Dr. Fuad Hasan, pernah menyata- kan bahwa masalah narkotika di negeri kita ini masih belum men- capai tingkat yang cukup berbahaya, tetapi kiranya patut dihargai kesungguhan dalam penanggulangan persoalan itu sepagi mungkin. Hal itu adalah sesuai dengan prinsip bahwa tindakan pencegahan (preventif) adalah lebih baik daripada pemberantasan (represif). Tidak bermaksud hendak berlagak sok alim atau semucisuci, kita ingin mengemukakan sesuatu yang ada hubungannya dengan masalah narkotika, sekalipun setingkat lebih ringan, yaitu alko- holisme. Membaca berita tentang maksud Menteri Kesehatan melarang iklan obat-obat keras adalah menggembirakan. Tetapi jika suatu jenis obat akan dibeli dan digunakan seseorang dengan perasaan terpaksa karena sakit, maka tidaklah demikian dengan minuman-minuman keras. Ia akan dibeli dengan rasa senang, dan jika sudah ada dorongan ketagihan, minuman keras akan dibeli tanpa hitung-hitung lagi akan harganya. Karena itu, selain mungkin ongkos produksi memang tinggi, minuman-minuman keras cenderung berharga mahal. Manusia telah beribu-ribu tahun mencari kenikmatan dengan cara minum-minum, dan rasanya akan melakukannya untuk waktu entah sampai kapan. Mereka melakukannya entah sekeliling botol-botol bir di waktu tamasya osle 5 NURCHOLISH MADJID 6% atau dalam cocktail bar di suatu hotel atau pada kesempatan- kesempatan lainnya. Itulah yang dinamakan social drinking. Karena sifat sosialnya, maka minum itu pun dalam perkembangannya dapat mempunyai sangkutan dengan kedudukan seseorang dalam masyarakat. Maka tidak heran jika mulai ada orang Indonesia yang menyimbulkan status sosialnya dengan cara membuat bar kecil dalam rumahnya. Apakah kita keberatan terhadap minuman keras? Mungkin tidak perlu dijawab secara spontan dan sekaligus, baik apakah negatif “tidak” arau afirmatif “ya”. Tetapi marilah kita coba menja- dikan masalah ini sebagai bahan pemikiran. Pertama ialah sifat alkohol sebagai suatu depressent, yaitu sifat mengurangi atau menurunkan kemampuan-kemampuan manusia. Yang pertama-tama ditekan atau diturunkan kemampuannya ialah fungsi pusat saraf atau otak kita, berupa kemampuan kita untuk mengadakan periksa diti (self criticism), penilaian sehat dan penahanan diri. Menurut para ahli, alkohol mempunyai daya merusak sel-sel otak dalam jumlah yang amat besar. Untuk dapat merusakkan sel-sel otak itu, alkohol tidak perlu mencapai jumlah yang terlalu besar schingga seseorang mabuk. Apa yang diminum oleh seseorang dalam social drinking tersebut itu pun sudah cukup menimbulkan kerusakan-kerusakan tadi. Kedua adalah ketidakproduktifan alkoholisme. Artinya, selain mengakibatkan kerusakan-kerusakan pada jaringan otak tadi, minuman keras sering dipercayai sebagai perangsang untuk produktivitas yang lebih tinggi adalah suatu ilusi belaka. Justru pengaruh destruktif tadi dalam jangka waktu yang cukup lama, karakan lima tahun (menurut majalah Readers Digest Desember 1966), akan menyatakan diri dalam penurunan produktivitas. Lebih tidak bersifat produktif lagi jika ditinjau dari segi ekonomis. Sudah dikatakan bahwa seseorang minum tidak selalu karena minuman itu sendiri, tetapi didorong oleh suatu pertimbangan sosial. Jelasnya alkoholisme dilakukan untuk tujuan kedudukan sosial. Hal itu berarti bahwa alkoholisme erat berkaitan dengan ale 5 ALKOHOLISME DI INDONESIA G2 suatu pola konsumsi tinggi. Dalam suatu negara yang sedang membangun, sudah tentu sikap-sikap ekonomi yang konsumtif itu hendaknya dicegah sejauh mungkin. Sifat kemewahan merupakan salah satu segi negatif alkoholisine. Seperti halnya dengan perjudian, alkoholisme mempumvai efek kontraproduksi. Ketiga adalah masalah yang bersangkutan dengan psikologi. Kita akan senantiasa dihadapkan kepada persoalan-persoalan hidup sepanjang hayat. Kita akan selalu diancam oleh kekecewaan, frustrasi, keraguan atau kebimbangan. Alkohol, pil, narkotika dan sejenisnya mungkin dapat menghilangkan problem-problem hidup itu. Tetapi penyelesaian seperti itu adalah artifisial, temporer dan menipu. Suatu sikap hidup tidak mungkin dibangun di atas sikap melarikan diri dari kenyataan demikian. Mustahil kita akan bertemu dengan kebahagiaan setiap saat kita kehendaki. Tetapi adalah berguna sekali mempunyai sikap yang tangguh dalam meng- hapi cobaan-cobaan hidup yang pasti datang, disertai dengan si bersyukur menerima nasib baik yang biasanya muncul di balik suatu musibah. Kesimpulannya ialah kita keberatan terhadap alkoholisme. Maka dari pagi-pagi (mungkin malah terlalu pagi), perlu kita meng- ingatkan diri sendiri sebagai bangsa agar waspada terhadap bahaya alkoholisme, seperti kita perbuat dengan narkotika. Mumpung ia belum tumbuh menjadi kebudayaan baru kita yang merata. Jika negeri-negeri Barat tampak seperti dapat “mem-éy pass” pengaruh negatif alkoholisme, maka itu antara lain karena imbangan atau kompensasinya yang amat besar, yaitu taraf hidup rata-rata yang berpuluh-puluh kali lipat dari kita. Itu pun tidak menutupinya sama sekali, Maka di sana pun dimulai kampanye anti alkoholisme, seperti halnya anti tembakau. '*! 3 RAMBUT GONDRONG SUATU KEMEWAHAN? Oleh Nurcholish Madjid Dalam wawancara di layar televisi baru-baru ini, Jenderal Soemitro antara lain menyinggung persoalan rambut gondrong yang akhir- akhir ini banyak dibicarakan masyarakat. Di situ Pangkopkamtib mengatakan bahwa rambut gondrong amat erat hubungannya dengan sikap acuh-tak-acuh angkatan muda terhadap ikatan-ikatan pergaulan dalam masyarakat teratur. Sikap itu meskipun belum tentu negatif, tetapi memang banyak menimbulkan keberatan. Apakah kegondrongan sudah merupakan suatu gejala yang menyeluruh pada bangsa kita? Sudah terang tidak. Kegondrongan adalah fenomena kehidupan perkotaan, khususnya kota-kota besar. Sedangkan dalam kehidupan kota-kota kecil dan desa-desa, di mana bagian terbesar rakyat Indonesia bertempat tinggal, kegondrongan merupakan sesuatu yang langka sekali atau hampir-hampir tidak dikenal. Mengapa hanya kota-kota besar? Hal ini adalah sangar erat berhubungan dengan metropolitanisme. Dalam kehidupan metro- politan, pengertian tentang kehidupan keluarga dan hubungan keluarga sudah mengalami perubahan jika dibanding dengan kehidupan di kota-kota kecil atau desa-desa. Pengertian tentang keluarga telah mengalami penciutan begitu rupa sehingga hampir hanya terbatas pada apa yang dinamakan nuclear family atau keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum dewasa. Sedangkan dalam hal pola hubungan keluarga terjadi proses osle 5 NURCHOLISH MADJID 6% pelepasan diri yang semakin jauh schingga dengan sendirinya juga semakin renggang. Semangat “gotong-royong” yang “telanjur” kita tetapkan sebagai jargon bernegara kita sebelumnya hanya dikenal di desa-desa. Di kota-kota terdapat tendensi yang kuat sekali ke arah pemusatan tanggung jawab kepada masing-masing pribadi, khususnya mereka yang sudah menginjak usia dewasa. Kadang- kadang kebebasan pribadi itu cukup mahal tebusannya, dalam pengertian bahwa ia melahirkan konsekuensi-konsekuensi dan akibat-akibat yang berat. Contoh yang paling mudah ialah yang terjadi di bidang nafkah atau rezeki. Di desa, persoalan nafkah hampir merupakan tanggung jawab yang dibagi rata antara semua anggota keluarga. Sedangkan yang dimaksud dengan keluarga itu meliputi sejumlah orang dalam hubungan darah atau semenda yang cukup luas. Sekurang- kurangnya dalam saat-saat kritis, seseorang yang hidup di desa tidak akan dibiarkan sendirian oleh anggota-anggota keluarganya. Ini saja, sebagaimana sering dikemukakan oleh para abli, cukup merupakan sebab mengapa orang-orang desa lebih sedikit kemungkinannya terkena penyakit jiwa daripada orang-orang kota. Di desa berlaku “hikmah” yang berbunyi: Makan ataupun tidak, asalkan berkumpul jadi satu! Sedangkan di kota adalah sebaliknya, “hikmah” yang berlaku ialah “Siapa lu siapa gua!” Proses individualisasi itu menggena juga pada segi-segi kehi- dupan yang lain. Pada pokoknya anak-anak muda di kota-kota besar menikmati, tapi sekaligus juga menderita, kebebasan mengadakan pilihan. Mereka menikmati kebebasan untuk memilih dan memu- tuskan sendiri masa depan mereka: kawin dengan siapa, bekerja macam apa, tinggal di mana, menempuh karir apa, dan jenis peranan sosial mana yang hendak dijalankannya kelak. Kita katakan mereka menikmati kebebasan itu sebab jika dibanding dengan kebalikannya yaitu keadaan serba-terikat dan tergantung maka kebebasan adalah suatu kenikmatan. Tetapi sebetulnya kebebasan itu dapat berubah menjadi beban. Maka mereka menderita beban kebebasan dan tanggung jawab sendiri untuk memutuskan prospek ale 5 RAMBUT GONDRONG SUATU KEMESWAHAN? G3. hidup mereka dan menyiapkannya. “Kita tidak sanggup menunjang kebebasan” (We cannot afford freedom) adalah judul sebuah buku yang melukiskan bagaimana kebebasan dapat berubah menjadi beban yang berat. Anak-anak kota yang “menderita” kebebasan itu karena tidak mampu mempergunakannya, akibat adanya semangat “umbar- umbaran” dalam lingkungan keluarganya sendiri, sering memilih cara hidup apatis dan acuh-tak-acuh. Semangat itu dapat mereka lahirkan dalam berbagai tindakan atau bentuk, yang pada pokoknya ialah sikap-sikap tak peduli kepada kehidupan. Di sini terdapat segi kebenaran sinyalemen Jendral Soemitro. Dan untuk bangsa yang membangun, sikap apatis itu adalah terlalu mewah atau mahal. Begitu pula kegondrongan, jika ia memang merupakan manifestasi apatisme tadi. Sudah tentu kita dapat melihat kemungkinan kegondrongan sebagai manifestasi seperti yang lain, umpamanya rasa seni (para seniman banyak yang gondrong) atau keagamaan (orang Sikh pantang potong rambut). Maka persoalan pokok sebenarnya ialah bagaimana menghilangkan semangat acuh-tak- acuh tadi dan mencari sebab-sebabnya. Mungkin saja memang tema kehidupan sosial dan politik kita sekarang ini mudah menimbulkan kebosanan pada angkatan muda. Yang jelas suatu gejala sosial tidak berdiri sendiri, tetapi antara satu dan lainnya saling berkaitan secara erat, !*1 3 GOLONGAN EKONOMI YANG MEMELAS Oleh Nurcholish Madjid Suatu pandangan yang tepat dan menggembirakan pernah dikemu- kakan oleh pemerintah di depan DPR dalam rangka menjawab pertanyaan sekitar perlindungan kepada kaum ekonomi lemah. Di situ dijelaskan pendirian pemerintah bahwa penanggulangan masalah kaum ekonomi lemah dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh dengan prioritas golongan terbanyak, yaitu kaum tani. Untuk pertama kalinya, sesudah sekian lama, kita mendengar suatu suara yang membela kepentingan kaum tani. Suara itu pernah mendominasi kehidupan politik kita, tetapi kemudian menghilang entah ke mana. Dan kemunculannya kernbali di atas pentas itu hendaknya janganlah hanya merupakan laku di kalangan kaum politisi sebagai slogan yang menarik. Tetapi betul betul akan diikuti dengan tindakan-tindakan nyata — sekalipun untuk berhasil akan memakan waktu lama — sesuai dengan semangat teknokratis dan pragmatis sckarang ini. Tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk mengemukakan data kehidupan para petani kita yang memelas itu serta segi-segi teknis pemecahan masalah-masalah yang dihadapi. Sebab selain hal itu di luar kompetensi penulis, juga — tampaknya — kurang pada tempatnya. Hanya saja hal itu dimaksudkan untuk menarik perhatian yang lebih besar kepada nasib sebagian besar rakyat Indonesia, yaitu para petani. Sebab bagi mereka yang hidup di kota- kota besar, pembangunan sekarang ini hanya dihayati melalui adanya osle 5 NURCHOLISH MADJID 6% cerobong-cerobong asap pada pabrik-pabrik baru, kebutuhan akan keablian, shill atau teknokrasi yang semakin mendesak, persoalan modal asing baik dari segi bagaimana mendatangkannya maupun segi akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya, turisme, dollar, dan seterusnya. Itu semua hanyalah gejala-gejala kehidupan indus- trial dan kota besar. Sedangkan sebagian besar bangsa Indonesia hidup di desa-desa, dan hampir keseluruhan penduduk desa itu memperoleh nafkahnya dengan pertanian. Sedikit sekali dari mereka iru yang dapat hidup cukup sandang-pangan karena memiliki tanah garapan yang luas. Sebagian besar terdiri atas petani dengan areal penggarapan milik yang sempit dan jauh dari cukup, sedangkan sebagian yang jauh lebih besar lagi hanya mampu menjual tenaganya kepada pemilik-pemilik tanah sebagai buruh tani. Para petani penggarap tanpa tanah milik itulah yang sesung- guhnya merupakan kaum ekonomi lemah di negara kita. Secara proporsional, mereka membentuk jumlah yang terbesar dalam golongan-golongan ekonomi di Indonesia. Maka golongan ekonomi lemah — apalagi yang mendesak untuk dilindungi dan dibantu — bukanlah kaum borjuis kecil: para pedagang, pengusaha ataupun industriawan kecil di kota-kota, sekalipun mereka itu terdiri dari golongan pribumi. Dan sudah pasti kaum ekonomi lemah itu tidak senantiasa mengikuti garis-garis nonekonomis yang tidak relevan seperti ras, kewarganegaraan, dan lain-lain. Hal ini dikemukakan tanpa dengan begitu akan menghilangkan segi-segi yang mengandung kebenaran dalam logika perjuangan pribumi-nonpribumi yang akhir-akhir ini sering dibicarakan. Jika berpegang secara konsisten pada garis-garis logikanya sendiri, maka perjuangan pribumi-nonpribumi itu mungkin masih dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi untuk memberi penilaian kepadanya sebagai perjuangan kaum ekonomi lemah melawan kaum ekonorni kuat sedikit banyak merupakan sekadar idealisasi saja, dan mengandung bahaya melupakan kaum ekonomi lemah yang sebenarnya dan yang jauh lebih besar jumlahnya, yaitu kaum tani. 5 GOLONGAN EKONOMII YANG MEMELAS G3 Perkataan lain bagi kaum ekonomi lemah ialah kaum miskin. Dan sebagai buruh tani memang di negeri kita ini tidak ada orang yang lebih miskin daripada mereka itu dalam jumlah yang begitu besar. Ini pun tidak secara sungguh-sungguh kita menyadarinya. Suatu saat, jika di koran-koran terbaa berita kelaparan, maka hanya terbayang pada kita suatu keadaan yang kurang menyenangkan namun foh berada jauh, jauh di sana! Dan kalaupun suatu headline memyebutkan ada busung lapar di suatu daerah, berita itu hanya sanggup sepintas lalu membayangkan dalam khayal kita keganjilan suatu pemandangan di mana orang-orang pada gendut perutnya tapi bukan karena kegemukan ataupun mengandung! Padahal yang tertulis di koran hanyalah suatu kejadian yang sempat terberitakan dan sampai kepada redaksi koran tersebut, entah dengan jalan apa. Sedangkan keadaan yang sesungguhnya mungkin lebih menyedihkan dari itu, dan mungkin meliputi jumlah manusia yang lebih besar. ‘Terapi apa pun sebenarnya, yang jelas ialah bahwa ancaman bahaya kelaparan — baik itu sebagian atau seluruhnya — adalah sesuatu yang rutin di kalangan kaum tani di desa-desa. Khususnya kaum buruh tani, yang disebabkan kebutuhan mutlak mereka dalam hidup sehari-hari, mereka selalu dikejar-kejar oleh kemiskinan yang mencekik Ieher. Pada musim tanam, mereka menjual habis tenaga mereka kepada pemilik-pemilik sawah, dan jika musim panen tiba, maka ‘balas jasa” yang mereka terima berupa padi yang tidak banyak itu mereka jual dengan harga murah (harga panen). Dan begitu musim panen selesai, mereka kembali dalam keadaan tanpa simpanan persediaan apa-apa lagi, berbulan-bulan sampai datang musim tanam yang akan datang. Sementara itu mereka menyambung umur dengan makan jagung (sudah sangat baik kalau ada), araupun ubi, malah mungkin bonggol pisang. Di zaman Orla, BTI mencoba memperjuangkan nasib mereka. Tanpa memasuki penilaian apakah BT jujur atau palsu dalam perjuangannya, namun yang jelas para petani miskin itu memerlukan pembela-pembela. Kalau tidak yang lain, semoga pemerintahlah! '*! 3 PERSOALAN TANAH Oleh Nurcholish Madjid Di hadapan para gubernur yang mengadakan rapat kerja, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud mengemukakan bahwa masalah yang bersangkutan dengan tanah merupakan sumber keresahan sosial terpenting yang mengganggu stabilitas sosial-politik. Hal yang serupa telah dikemukakannya beberapa saat yang lalu. Kenyataan bahwa hal itu dikemukakan lagi menunjukkan bahwa persoalannya belum terselesaikan, sebagaimana secara riil dirasakan oleh masyarakat luas. Mempertanyakan apakah pemerintah, dalam hal ini khususnya para pejabat yang bersangkutan, cukup sungguh-sungguh mena- ngani masalah ini dan menyelesaikannya, mungkin suatu perbuatan yang kurang fair. Sebab dari segi formal, adanya perhatian Menteri tersebut sudah cukup membuktikan terdapatnya “iktikad” pada pemerintah yang bernilai positif. Namun, dari sudut pandang mereka yang merasakan langsung “kezaliman-kezaliman” tertentu dalam kaitannya dengan pertanahan ini, tentu dihinggapi oleh pera- saan harap-harap cepas: mengharap agar “iktikad” tersebut dapat diwujudkan sehingga keadilan dirasakan dengan nyata, namun cemas kalau-kalau harapan serupa itu akan menemui kehampaan karena entah apa saja yang menjadi halangan. Perlu diingat bahwa persoalan tanah yang paling tajam mula- mula hanya terdapat di kota-kota besar saja, terutama Jakarta, sebagai akibat tidak langsung pelaksanaan nyata politik pemba- ngunan sekarang ini, terutama di bidang industrialisasi. Sebegitu osle 5 NURCHOLISH MADJID 6% jauh, dilihat dari sudut ukuran makro, persoalan tanah yang timbul itu masih dapat “dibenarkan’, sebagai ekses atau harga yang mesti dibayar guna suksesnya pembangunan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, berlindung di balik pembenaran atas nama pembangunan itu semakin tidak berdasar, dan orang mulai menilai perbuatan itu sendiri apakah adil atau tidak. Apalagi setelah persoalan tanah ini tidak lagi secara langsung berkaitan dengan proses industrialisasi, ataupun sarana ekonomi yang menjadi kepentingan umum, melainkan semakin nyata berbentuk investasi kapitalistik oleh pihak-pihak yang memiliki modal, selain juga untuk konsumsi. Dalam perkembangan selanjutnya, persoalan tanah itu sudah mulai menembus batas-batas kota besar dan menjalar ke daerah- daerah pedesaan. Ini pun antara lain juga merupakan akibat langsung dan tak langsung dari proses industrialisasi dan pemekar- an penanaman modal. Tidak ada salahnya dalam hal itu semua, seandainya proses itu tidak disertai dengan menyebarnya rasa ketidakadilan akibat cara-cara yang biasa dipakai dalam “menebus”, “membebaskan” atau apa saja namanya, tanah-tanah yang dibutuh- kan. Dari hari ke hari selalu ada berita tentang praktik-praktik yang menimbulkan keresahan umum dalam hubungannya dengan persoalan tanah ini. Perasaan diperlakukan secara tidak adil yang ada pada kelompok luas masyarakat akan selalu merupakan faktor penggalang kesetia- kawanan yang efektif di kalangan mereka. Sentimen itu, dengan sedikit manipulasi oleh orang-orang ahli propaganda, demagog ataupun artikulator lainnya, akan dapat dengan mudah berubah menjadi sumber tenaga pergerakan sosial, kemudian politik. Jika saat itu tiba, maka biasanya kita hanya terpukau oleh kenyataan langsung itu, tanpa mempedulikan latar-belakangnya yang lebih pokok. Maka kita pun menamakannya sebagai suatu bentuk kejahatan, mungkin subversi, sebab pengaruhnya yang langsung merugikan stabilitas nasional, suatu nilai yang kini agaknya menjadi mutlak guna menopang pembangunan. Tetapi bagi mereka ale 5 PERSOALAN TANAH G3. yang cukup reflektif, disertai dengan concern secukupnya kepada nilai-nilai kemanusiaan, akan melihat gelagat sosial-politik itu sebagai wajar saja. Ia tidak merupakan sebab yang berdiri sendiri, melainkan akibat dari perbuatan orang lain yang kurang memper- hatikan norma-norma kemanusiaan, yaitu keadilan. Dengan se- dikit keberanian memikul risiko, mungkin seorang idealis akan menyokong gerakan serupa itu, lepas dari cara yang dipakainya: halus atau kasar, legal atau tidak legal menurut ukuran yang sedang berlaku. Sebab dari mana pun ditinjau, suatu tuntutan akan hak keadilan selalu dapat dibenarkan. Apalagi untuk Republik kita yang didirikan atas dasar tujuan “mewujudkan keadilan sosial bagi seturuh rakyat”. Tetapi persoalan tanah tersebut di atas hanyalah segi yang paling mencolok, dan cepat memantik perhatian karena ketajaman permasalahannya. Di samping itu masih terdapat persoalan yang lebih besar lagi, yaitu yang menyangkut struktur pemilikan, penggu- naan dan pembagian hasil produksi tanah secara keseluruhan. Dahulu persoalan ini dicoba mengatasinya melalui program /and- reform, tetapi sekarang belum lagi terdengar rencana tandingan yang senilai atau sepadan dengan yang lama itu. Atau barangkali memang lebih bail kita melihat lagi kemungkinan melaksanakan program lama itu, tetapi dengan cara yang lebih dewasa tanpa memancing terulangnya peristiwa semacam Bandar Besi? '*! 3 MASALAH RASIALISME Oleh Nurcholish Madjid Presiden dan pemerintah secara keseluruhan menyesalkan “Peristiwa 5 Agustus” di Bandung, dan dinyatakan bahwa tindakan-tindakan tegas akan diambil terhadap para pelakunya. Berbagai penilaian dikemukakan pemerintah atas kejadian itu; salah satunya ialah yang dikemukakan oleh Menteri Penerangan Mashuri bahwa tindakan- tindakan kekerasan itu selain tidak dibenarkan juga bertentangan dengan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya. Apalagi sebagai bangsa yang terus-menerus berusaha membina persatuan dan integrasi bangsa. Rasanya sebagai pemerintah pada saat ini tidak ada sesuatu yang dapat diperbuat selain seperti tercermin dalam pernyataan- pernyataan itu. Dengan alasan-alasan yang mantap seperti hal-hal sekitar stabilitas sosial-politik, keamanan, subversi, dan lain-lain, warga negara tentu dapat mengerti adanya sikap tegas pemerintah seperti dijanjikan itu. Dan tentu saja tindakan-tindakan kekerasan itu tidak hanya bertentangan dengan martabat bangsa Indonesia karena kita adalah bangsa yang berbudaya, tetapi lebih-lebih lagi karena kita adalah manusia! Artinya tindakan-tindakan rasialistis, kalau memang rasialisme benar-benar merupakan motif utama, adalah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam sejarah, meskipun seorang Hitler mampu menuangkan pemahaman itu ke dalam rumusan-rumusan yang tampaknya dari luar memuaskan, logis dan sistematis, serta berhasil pula memaksakannya sebagai kredo bagi bangsanya, yaitu bangsa Jerman, tetapi ternyata hati osle 5 NURCHOLISH MADJID 6% nurani umat manusia tidak dapat menerimanya. Umat manusia bergabung untuk menghancurkan rasialisme Nazi itu. Tetapi marilah kita tinjau masalahnya secara lebih sungguh- sungguh dan lebih kritis lagi. Dalam apa saja yang dapat dipertimbangkan sehubungan dengan peristiwa 5 Agustus itu, sepenuhnya dapat dipertanyakan: Siapakah sebenarnya yang bertindak atau berlaku rasialis? Tidak dalam penglihatan sekejap pada tanggal 5 Agustus dan setempat hanya di Bandung itu saja, tetapi dalam dimensi ruang dan waktu yang lebih luas tentunya. Umpamanya, siapakah dari unsur-unsur penduduk (tidak selalu warga negara) Indonesia yang secara laten menyimpan sikap memandang ke bawah atau merendahkan unsur-unsur yang lain-lain? Siapakah, yang karena sikap tinggi diri iru, mengalami hambaran sosial-kultural serta psikologis untuk secara sungguh- sungguh berintegrasi dalam lingkungan masyarakatnya yang lebih luas? Siapakah, yang karena eksklusivisme itu, kemudian membentuk masyarakat tertutup, baik dalam pola budayanya maupun pola sosial-ekonomisnya? Seseorang yang merusak harta- benda milik orang lain karena perbedaan warna kulit memang seorang rasialis. Tetapi tidak mau bergaul dengan orang lain dalam arti seluas-luasnya karena memandang bahwa secara genetis orang tersebut dan yang sebangsanya adalah inferior merupakan paham ras yang lebih prinsipil dan lebih berbahaya. Seharusnya hal itu menjadi pusat perhatian kita dalam rangka usaha membina integrasi nasional, Atau kita biarkan saja hal itu berlangsung terus “asalkan tidak menggangeu”, tetapi dengan konsekuensi suasana hidup pura-pura, menyimpan dendam dan saling waspada satu dengan lainnya, Suatu saat dendam dan kebencian itu akan cukup banyak terkumpulkan kemudian membentuk tenaga destruktif yang tidak hanya mengganggu tetapi menghancurkan apa yang ada. Hal-hal yang berkaitan dengan segi kultural dan sikap mental itu dipertajam lebih jauh lagi oleh hal-hal yang berkaitan dengan segi ekonomi. Sudah merupakan pengetahuan umum yang pasti bahwa sebagian kecil penduduk Indonesia ini, karena beberapa ale 5 MASALAH RASIALISME 62 faktor penyebab, terutama historis-kolonial, menguasai sebagian besar ekonomi bangsa. Kelebihan nyata di bidang kekayaan itu memupuk lebih subur lagi rasa lebih atau superiority complex yang telah ada. Kompleks itu menyatakan diri dalam sikap-sikap konkret yang kurang simpatik, yang kesemuanya dapat digambarkan sebagai kurang timbang-rasa, pamer, atau tak peduli dengan kemiskinan sekitarnya. Tetapi memang sering terjadi hal-hal yang ironis. Untuk sebagian orang justru keadaan serupa itu hendak dibiarkan saja, kadang-kadang mungkin mereka berpikir untuk menciptakan keadaan yang lebih gawat. Dalam keadaan air menjadi keruh itu, memancing dengan umpan sederhana akan dapat menangkap ikan lebih banyak. Bagi mereka yang memiliki kemungkinan menawarkan “jasa-jasa baik”, barangkali kursnya akan mengalami kenaikan dalam keadaan-keadaan yang lebih tegang. Maka dalam hubungannya dengan setiap peristiwa seperti di Bandung itu, kemungkinan-kemungkinan serupa itu harus tetap diperhitungkan, dan diadakan pencegahan. Demikian pula kemungkinan mani- pulasi-manipulasi lain, misalnya yang bersangkutan dengan klaim asuransi dari semua pihak. Komitmen-komitmen kepada golongan ekonomi kuat itu yang kemudian mengaburkan komitmen nasional menuju ke- adaan semakin meratanya pembagian kekayaan bangsa tidak selalu terwujud dalam bentuknya yang kasar dan mudah dilihat dari luar. Kadang-kadang komitmen itu membentuk jaringan yang sedemikian halus dan kompleks, sehingga tidak dikenali lagi kecuali oleh pelakunya sendiri. Di sinilah mungkin terletak masalah yang lebih berat lagi. Sebab, apa jadinya, dan apa yang dapat diharapkan lagi, jika semangat “nyambut gawe” dalam arti mencari dan menumpuk kekayaan selama kesempatan tersedia banyak, menghinggapi cukup banyak orang? Karena itu, sekarang ini rasanya kamitmen-komitmen egois atau sempit itulah yang terlebih dahulu harus dihilangkan. Tetapi disadari sepenuhnya bahwa membuang begitu saja suatu bentuk komitmen yang amat menguntungkan adalah sulit sekali. 3 5 NURCHOLISH MADJID 6% Sikap itu memerlukan keikhlasan yang hampir tak terbatas kepada bangsa dan negara serta cita-cita rakyat mewujudkan keadilan sosial. Atau kita berdoa saja kepada Tuhan agar diturunkan kepada kita seorang pemimpin “luar biasa” yang mernpunyai rasa keadilan yang tinggi? ‘1 4e NEGARA KITA ADALAH SOSIALIS-RELIGIUS Oleh Nurcholish Madjid Satu perkara yang patut kita catat dan renungkan bersama ialah pernyataan Presiden Socharto dalam peringatan Dies Natalis UI yang ke-25 bahwa negara kita adalah negara sosialis-religius. Untuk sebagian besar orang mungkin pernyataan itu diterima dengan sedikit terkejut karena tidak disangka-sangka. Tetapi untuk mereka yang sempat menyimak semua pernyataan Presiden dalam berbagai kesempatan serta berani menyeberangi yang tersurat untuk sampai kepada yang tersirat tentu pernyataan serupa itu akan didapati ada sejak lama, sedangkan ucapan presiden di upacara Dies itu hanyalah merupakan suatu penegasan. Tetapi bagaimanapun untuk banyak orang keterangan Presiden bahwa negara kita bersifat sosialis-religius itu sangat melegakan. Pertama dati sudut pemakaian istilah, dan kedua dari segi penye- garan intensi atau komitmen bersama. Dari sudut pemakaian istilah, yang dimaksudkan ialah pema- kaian istilah “sosialis”. Sudah lama sekali dari kalangan resmi tidak pernah di-“produsir” suatu simbol-simbol dan jargon-jargon, termasuk simbol dan jargon yang secara objektif memang kita perlukan. Agaknya kita semua dalam kondisi “kapok” melakukan hal itu mengingat bahwa masa lalu yang tidak terlalu jauh, yaitu masa Orde Lama, udara politik kita pengap oleh simbol-simbol dan jargon-jargon kosong, dan para pemimpin kelewat produktif osle 5 NURCHOLISH MADJID 6% dengan simbol-simbol dan jargon-jargon itu, sementara rakyat makin menjadi sengsara. Itu dari satu pihak. Dari pihak lain keengganan banyak orang untuk menampilkan istilah “sosialis” itu karena adanya asosiasi orang antara perkataan tersebut dengan suatu kelompok tertentu yang sering diperkirakan atau dituduh sebagai melakukan kegiatan-kegiatan politik yang kurang sesuai dengan keadaan yang berlaku resmi sekarang. Kelom- pok itu pula yang dahulu oleh Orde Lama dicap sebagai biang gerakan-gerakan kontra-revolusi, tetapi kelompok itu pula yang sampai kini sampai batas-batas tertentu berada dalam keadaan yang dirasa kurang favourable secara politik. Maka timbullah keengganan tersebut. Tetapi nyatanya sekarang Presiden kita dengan tegas meng- gunakan kembali predikat “sosialis” untuk negara kita. Salah satu penilaian terhadap gejala ini ialah dari sudut psikologis: adanya petunjuk bahwa kita semakin mantap kepada diri sendiri sehingga tidak perlu “segan” terhadap simbol-simbol dan istilah-istilah yang dulu pemah digunakan orang, sebab simbol itu bagaimanapun adalah milik semua orang dan diperlukan untuk mengkonkretkan suatu ide atau pikiran dan tujuannya. Demikian pula halnya dengan pemakaian istilah “religius”. Istilah ini juga pernah dihindari orang karena asosiasinya dengan suatu kelompok tertentu yang pernah tampak seolah-olah hendak memonopoli pengertian sekitar istilah tersebut, dan untuk itu mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang berhak memakai dan melaksanakannya. Tetapi itu semua dapat dianggap angan- angan saja (nonsens), dan perlu sekali kita menyadari bahwa religi- usitas adalah bakat manusia yang paling universal. Yang kedua, pernyataan Presiden itu menyenangkan sebab dapat dinilai sebagai penegasan niat atau intensi serta komitmen kita bersama mewujudkan suatu masyarakat yang sebaik-baikmya. Memang dapat dikatakan bahwa adanya ide itu sesungguhnya sudah termaktub dalam pembukaan UUD 45, dalam hal ini ialah apa yang kini dikenal sebagai sila ke-5 daripada Pancasila. Tapi toh penegasan tetap diperlukan. Dan dengan pernyataan tersebut ale 5 NEGARA KITA ADALAH SOSIALIS-RELIGIUS G3, kini tujuan kita menciptakan masyarakat sosialis-religius memang menjadi semakin jelas. Tinggallah uraian lebih lanjut atas segi- segi kebijaksanaan yang menyangkut pelaksanaan. Dalam hal ini mungkin GBHN dan Pelita II telah memberikan jawaban. Tetapi barangkali tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa GBHN dan Pelita II terasa cukup jauh oleh jangkauan pengertian rakyat banyak, dan masih perlu “diterjemahkan” lagi dalam bahasa-bahasa awam — biasanya lebih cepat melalui simbol-simbol — kemudian melalui pelaksanaan yang tampak mata. Beberapa simbol telah dikernukakan kepala negara, Umpamanya bahwa masyarakat kita adalah antikapitalisme, antifeodalisme, antipenindasan, dan seterusnya. Juga segi-segi positifnya telah dikemukakan dalam berbagai kesempatan, umpamanya bahwa kita menghendaki kemakmuran bersama, pembagian rezeki yang semakin merata, pemikulan beban secara gotong royong melalui partisipasi seluruh rakyat dan seterusnya. Tetapi satu hal yang masih mengganggu kemantapan rakyat terhadap kesejatian kita dalam mewujudkan masyarakat sosialis ialah tendensi yang sering dikonstatir bahwa di tanah air kita sckarang orang yang kaya menjadi semakin kaya dan orang miskin menjadi semakin miskin. Meskipun mungkin data-data kuantitatif yang dapat dijadikan bahan statistik masih perlu dikumpulkan melalui suatu penelitian, tetapi jika apa yang dirasa rakyat banyak itu memperoleh “sundutan” propaganda dan agitasi maka ia akan mudah menjelma menjadi tenaga politik yang berhaluan radikal. Karena itu sedapat mungkin tendensi negatif tadi selekasnya dilenyapkan. Mumpung waktu masih cukup dini, dan kaum vested interest belum sempat membangun kubu-kubu politiknya. Atau malah sudah sempat? Tidak tahulah. Mudah-mudahan keadaan tidak seburuk itu! '*! 3 KESUNGGUHAN DALAM MELAKSANAKAN CITA-CITA “KEADILAN SOSIAL’ Oleh Nurcholish Madjid Salah satu perkembangan positif yang terjadi di tanah air kita akhir-akhir ini ialah adanya kesadaran yang semakin besar dari para pemimpin kita tentang pentingnya melaksanakan keadilan sosial sebagai bagian daripada kegiatan pembangunan. Presiden sendiri menyatakan komitmennya kepada keadilan sosial itu dalam beberapa kali kesempatan, termasuk di depan para gubernur dari seluruh tanah air yang datang ke Jakarta untuk suatu konferensi. Sebenarnya keinsafan akan rasa keadilan sosial ini harus sudah menjadi milik setiap warga negara, dan bukan merupakan sesuatu yang baru. Sebab sebagai sila terakhir dalam Pancasila, keadilan sosial dinyatakan sebagai tujuan kita membentuk Republik Indonesia merdeka ini. Agama-agama pun meletakkan cita-cita mewujudkan keadilan sosial itu sebagai salah satu ajaran pokoknya. Islam dikenal sebagai agama yang amat banyak berbicara tentang pembelaan terhadap kaum miskin serta tentang persamaan mutlak antara sesama manusia. Dan etika Kristen telah memberikan ilham bagi banyak pikiran tentang kemanusiaan di Dunia Barat. Begitu pula agama Hindu, ia telah melahirkan putra-putra kemanusiaan yang besar, di antaranya ialah bapak India Merdeka Mahatma Gandhi. Apabila norma-norma itu telah dengan sendirinya kita terima dan setujui, maka tidak kurang pentingnya ialah bagaimana melaksanakannya dalam tindakan-tindakan konkret. Di sinilah orang osle

You might also like