You are on page 1of 5

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah Cina berasal dari nama Ahala (wangsa atau dinasti) Qin (baca Ch'in),
dinasti 'Chin' (abad 3 SM) merupakan dinasti pertama yang mempersatukan
seluruh daratan Tiongkok di bawah sebuah pemerintahan pusat yang sangat kuat
dan besar pengaruhnya. Walaupun masa pemerintahan dinasti itu tidak lama
(sekitar 225 SM sampai 210 SM), dinasti ini mendirikan kerajaan pertama dan
merintis bentuk kerajaan yang berjalan terus selama lebih dari 2000 tahun sampai
revolusi republik pada tahun 1913.

Menurut hasil riset Leo Suryadinata, istilah Cina telah digunakan sejak awal abad-
17. Teks-teks semi klasik di Cina sendiri sempat menggunakan istilah Zhina.

Kekaisaran Chin terkenal karena di bawah kaisar pertamanya Shih Huang Ti


(penulisan Kaisar Qin) dibangun pemerintahan terpusat dalam bentuk kekaisaran,
dan selama pemerintahannya dilakukan pembakuan ukuran dan berat, ketepatan,
dan sistem penulisan. Kaisar itu memerintahkan pembangunan tembok besar
sepanjang 2.400 km untuk mempertahankan diri dari serangan bangsa Barbar.
Bangga akan dinasti 'Chin' yang menjadi tonggak sejarah pendirian imperium
pertama, Tembok Raksasa Cina, rintisan tulisan Chin, serta keteraturan dan
ketertiban pemerintahan, orang-orang yang tinggal di negeri itu menyebut diri
mereka sebagai 'orang-orang (dari negeri) Chin,' sehingga ketika terjadi
perjumpaan dengan negara-negara Barat, negara itu disebut sebagai China dan
orangnya disebut Chinese.

Sekitar abad ke-7 bangsa Chin masuk ke Indonesia pada awal abad ke-7, bangsa
Inggris menyebutnya sebagai Chinese overseas dan di Indonesia disebut sebagai
"Cina perantauan", kemudian masuk ke seluruh pelosok tanah air. Sejak abad ke-
11, ratusan ribu bangsa Chin memasuki kawasan Indonesia terutama di pesisir
utara pulau Jawa, pesisir selatan dan timur Sumatera, serta pesisir barat
Kalimantan.

Pada awal kedatangan para perantau yang disebut "Cina baru" atau "singkeh" ini,
mereka hidup melarat karena memulai kehidupan mereka dari nol. Pola hidup
mereka sangat sederhana, hidup sangat hemat, dan terkesan kikir. Hal ini masih
sering dijadikan mitos atau stereotipe orang Cina bersifat pelit dan egois.
Kemudian mereka membentuk koloni "kampung Cina" atau 'Pecinan', sehingga

Page 1
dikenal istilah Cina menjadi populer. Misalnya untuk menyebut makanan seperti
dodol Cina dan petai Cina, selain itu juga untuk menyebut tempat seperti bidara
Cina dan kuburan Cina. Kemudian, di kawasan perkotaan yang banyak bermukim
orang Cina populer istilah Pecinan. Dalam perbauran dengan budaya lokal dikenal
wayang 'Po Te Hi' yang salah satu tokohnya disebut sebagai 'Puteri Cina

“ Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina ” Kata yang mengacu ke Cina dalam
Bahasa Jepang modern adalah zugoku/chuugoku [中国(ちゅうごく)], yang mirip
bunyi dan artinya dengan zhonghua [中國] atau Tiongkok. Istilah Tionghoa
berasal dari kata Zhonghua yang sebelum akhir abad ke-19 di Cina sendiri istilah
itu belum digunakan secara umum.

Dalam bahasa Jawa digunakan "Cino", "Wong Cino", atau "Cinten" (merujuk
pada orangnya) dalam pemakaian umum tanpa ada maksud melecehkan.

Di Indonesia istilah Cina telah digunakan secara umum semenjak kedatangan


pertama orang Cina hingga sekarang.

Di Cina pada tahun 1850, di Cina terjadi pemberontakan 'Taiping' (1850) dan
Boxer (1900) yang merintis revolusi pada tahun 1913. Ini mengakibatkan sikap
antipati yang besar kepada bangsa Barat, sehingga dengan meningkatnya harga
diri bangsa ini, kemudian mereka menolak sebutan China dan kembali pada
premordialisme kebangsaan dan menyebut negeri mereka sebagai 'Chung-Kuo'
atau 'Negara Tengah'.

Pada Restorasi Meiji 1868, Jepang muncul sebagai salah satu negara adikuasa.
Para pemimpin Jepang menjelang abad ke-20 sadar akan akar kebudayaan mereka
yang berasal dari tanah Tiongkok, namun di sisi lain mereka melihat akan
kebobrokan masyarakat dan pemerintahan Cina masa itu yang tengah berada di
bawah penjajahan bangsa asing. Atas dasar itu, Cina dan bangsa Cina harus
diselamatkan dari jurang penghinaan itu dengan cara mengenyahkan penjajahan
bangsa Barat. Penyerbuan Jepang atas Cina yang terjadi beberapa kali sejak akhir
abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 didasari pada 'tugas suci' itu. Misi
penyelamatan ini lalu berubah menjadi kolonialisme dan imperialisme. Istilah
"Shina" yang dipakai orang Jepang lalu digunakan untuk menghina.

Di Indonesia, bangsa dari negeri Cina yang sudah lebih dahulu menguasai
perdagangan di Indonesia selama beberapa ratus tahun bentrok dengan pendatang
baru bangsa Barat, khususnya Belanda. Sehingga pada tahun 1740 di Batavia,
kemudian disusul kota-kota lain, mereka memberontak terhadap dominasi VOC,
akibatnya VOC dan pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi kepada
bangsa perantau ini berupa pemberian hak-hak istimewa, bahkan kemudian

Page 2
mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap setingkat lebih
tinggi dari warga penduduk asli.

Status istimewa ini mengakibatkan pandangan buruk penduduk pribumi terhadap


para perantau Cina. Pertama karena kolaborasi mereka dengan penjajah dan
praktik perdagangan yang bercorak Quanxi (koneksi/kolusi) dan merugikan
masyarakat pribumi, serta banyak perilaku mereka yang menunjukkan kesenangan
akan judi dan pemadat.

Penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa

Sekitar akhir abad ke-19 diambilah jalan tengah penggunaan istilah Tiongkok
yang diambil dari terjemahan Chung Kuo. Pada tahun 1901, didirikan organisasi
Tiong Hoa Hwee Kwan yang dipengaruhi oleh gerakan pembaruan di daratan
Tiongkok. Organisasi ini dipimpin oleh Kang Yu Wei, Liang Chi Chao, dan Phoa
Keng Hek di Jakarta. Organisasi ini bertujuan mengembangkan adat-istiadat dan
tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Kong Hu Cu dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa. Penggunaan kata
Tionghoa juga terpengaruh gerakan Sun Yat-sen untuk meruntuhkan dinasti
Ching dan menggantinya dengan "Chung Hwa Ming Kuo" atau "Republik
Tiongkok". Sejak saat itu, mereka menyebut diri mereka dengan istilah Tionghoa,
yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin Chung Hwa, dan menolak disebut
Cina.

Pada tahun 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa "berhutang budi"
kepada masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan
pemimpin pergerakan tersebut. Sepakat mengganti sebutan Cina dengan
Tionghoa. Koran Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan Hindia-
Belanda menjadi Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama
yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman. Dalam teks
penjelasan UUD 1945 kata yang digunakan adalah Tionghoa, bukan Cina.

Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno,


digantikan rezim Orde Baru.

Sejak itu istilah "Tionghoa" digunakan bersama sebagai padanan istilah "Cina"
yang sudah populer lebih dahulu.

Pada tahun 1948, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno selepas


kemerdekaan, Indonesia mengalami keadaan genting menyangkut keberadaan dan
penamaan "Cina" dan "Tionghoa". Adanya pemberontakan PKI di Madiun
disinyalir mendapat dukungan dari Partai Komunis di RRT dan adanya dukungan
dari beberapa Tionghoa, akibatnya secara umum Tionghoa dicurigai secara
politik.

Page 3
Karena perkembangan politik yang semakin kacau, muncullah larangan tak resmi
penggunaan istilah Tionghoa dikarenakan istilah ini digunakan oleh partai
komunisme.

Konflik yang menyangkut etnis Cina atau Tionghoa pun makin meruncing,
sehingga pada tahun 1957 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1959 yaitu larangan perdagangan bagi semua orang yang masih memiliki
kewarganegaraan Cina di Daerah Tingkat II. Pada tahun 1959, orang Cina
dipersilakan memilih menjadi warga negara tanah leluhur (WNA) atau WNI.
Konflik ini kemudian meluas, puncaknya terjadi peristiwa rasialisme pada 10 Mei
1963 di Bandung dan menjalar ke beberapa kota lainnya. (Lihat pula SBKRI).

Terjadinya Gerakan 30 September pada tahun 1965 dan kecurigaan akan


dukungan RRT (yang saat itu di Indonesia disebut sebagai RRT yang merupakan
singkatan dari Republik Rakyat Tiongkok) membuat pemerintahan Orde Baru
pada tahun 1967 mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
(Wikisource) yang melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-
istiadat Cina dilakukan di Indonesia, pengubahan sebutan kata Tionghoa-
Tiongkok kembali menggunakan kata Cina dan mengubah singkatan RRT
(Republik Rakyat Tiongkok) menjadi RRC (Republik Rakyat Cina), serta Taiwan
yang dengan nama Republik Cina (Republic of China). Tahun itu pula
dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun
1967(Wikisource) dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor
286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan yang masih
menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai
upaya asimilasi. Bakin juga berperan mengawasi gerak-gerik masyarakat Cina
melalui sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC)
terpaut dengan masalah komunisme.

Page 4
Page 5

You might also like