Professional Documents
Culture Documents
Istilah Cina berasal dari nama Ahala (wangsa atau dinasti) Qin (baca Ch'in),
dinasti 'Chin' (abad 3 SM) merupakan dinasti pertama yang mempersatukan
seluruh daratan Tiongkok di bawah sebuah pemerintahan pusat yang sangat kuat
dan besar pengaruhnya. Walaupun masa pemerintahan dinasti itu tidak lama
(sekitar 225 SM sampai 210 SM), dinasti ini mendirikan kerajaan pertama dan
merintis bentuk kerajaan yang berjalan terus selama lebih dari 2000 tahun sampai
revolusi republik pada tahun 1913.
Menurut hasil riset Leo Suryadinata, istilah Cina telah digunakan sejak awal abad-
17. Teks-teks semi klasik di Cina sendiri sempat menggunakan istilah Zhina.
Sekitar abad ke-7 bangsa Chin masuk ke Indonesia pada awal abad ke-7, bangsa
Inggris menyebutnya sebagai Chinese overseas dan di Indonesia disebut sebagai
"Cina perantauan", kemudian masuk ke seluruh pelosok tanah air. Sejak abad ke-
11, ratusan ribu bangsa Chin memasuki kawasan Indonesia terutama di pesisir
utara pulau Jawa, pesisir selatan dan timur Sumatera, serta pesisir barat
Kalimantan.
Pada awal kedatangan para perantau yang disebut "Cina baru" atau "singkeh" ini,
mereka hidup melarat karena memulai kehidupan mereka dari nol. Pola hidup
mereka sangat sederhana, hidup sangat hemat, dan terkesan kikir. Hal ini masih
sering dijadikan mitos atau stereotipe orang Cina bersifat pelit dan egois.
Kemudian mereka membentuk koloni "kampung Cina" atau 'Pecinan', sehingga
Page 1
dikenal istilah Cina menjadi populer. Misalnya untuk menyebut makanan seperti
dodol Cina dan petai Cina, selain itu juga untuk menyebut tempat seperti bidara
Cina dan kuburan Cina. Kemudian, di kawasan perkotaan yang banyak bermukim
orang Cina populer istilah Pecinan. Dalam perbauran dengan budaya lokal dikenal
wayang 'Po Te Hi' yang salah satu tokohnya disebut sebagai 'Puteri Cina
“ Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina ” Kata yang mengacu ke Cina dalam
Bahasa Jepang modern adalah zugoku/chuugoku [中国(ちゅうごく)], yang mirip
bunyi dan artinya dengan zhonghua [中國] atau Tiongkok. Istilah Tionghoa
berasal dari kata Zhonghua yang sebelum akhir abad ke-19 di Cina sendiri istilah
itu belum digunakan secara umum.
Dalam bahasa Jawa digunakan "Cino", "Wong Cino", atau "Cinten" (merujuk
pada orangnya) dalam pemakaian umum tanpa ada maksud melecehkan.
Di Cina pada tahun 1850, di Cina terjadi pemberontakan 'Taiping' (1850) dan
Boxer (1900) yang merintis revolusi pada tahun 1913. Ini mengakibatkan sikap
antipati yang besar kepada bangsa Barat, sehingga dengan meningkatnya harga
diri bangsa ini, kemudian mereka menolak sebutan China dan kembali pada
premordialisme kebangsaan dan menyebut negeri mereka sebagai 'Chung-Kuo'
atau 'Negara Tengah'.
Pada Restorasi Meiji 1868, Jepang muncul sebagai salah satu negara adikuasa.
Para pemimpin Jepang menjelang abad ke-20 sadar akan akar kebudayaan mereka
yang berasal dari tanah Tiongkok, namun di sisi lain mereka melihat akan
kebobrokan masyarakat dan pemerintahan Cina masa itu yang tengah berada di
bawah penjajahan bangsa asing. Atas dasar itu, Cina dan bangsa Cina harus
diselamatkan dari jurang penghinaan itu dengan cara mengenyahkan penjajahan
bangsa Barat. Penyerbuan Jepang atas Cina yang terjadi beberapa kali sejak akhir
abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 didasari pada 'tugas suci' itu. Misi
penyelamatan ini lalu berubah menjadi kolonialisme dan imperialisme. Istilah
"Shina" yang dipakai orang Jepang lalu digunakan untuk menghina.
Di Indonesia, bangsa dari negeri Cina yang sudah lebih dahulu menguasai
perdagangan di Indonesia selama beberapa ratus tahun bentrok dengan pendatang
baru bangsa Barat, khususnya Belanda. Sehingga pada tahun 1740 di Batavia,
kemudian disusul kota-kota lain, mereka memberontak terhadap dominasi VOC,
akibatnya VOC dan pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi kepada
bangsa perantau ini berupa pemberian hak-hak istimewa, bahkan kemudian
Page 2
mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap setingkat lebih
tinggi dari warga penduduk asli.
Sekitar akhir abad ke-19 diambilah jalan tengah penggunaan istilah Tiongkok
yang diambil dari terjemahan Chung Kuo. Pada tahun 1901, didirikan organisasi
Tiong Hoa Hwee Kwan yang dipengaruhi oleh gerakan pembaruan di daratan
Tiongkok. Organisasi ini dipimpin oleh Kang Yu Wei, Liang Chi Chao, dan Phoa
Keng Hek di Jakarta. Organisasi ini bertujuan mengembangkan adat-istiadat dan
tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Kong Hu Cu dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa. Penggunaan kata
Tionghoa juga terpengaruh gerakan Sun Yat-sen untuk meruntuhkan dinasti
Ching dan menggantinya dengan "Chung Hwa Ming Kuo" atau "Republik
Tiongkok". Sejak saat itu, mereka menyebut diri mereka dengan istilah Tionghoa,
yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin Chung Hwa, dan menolak disebut
Cina.
Pada tahun 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa "berhutang budi"
kepada masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan
pemimpin pergerakan tersebut. Sepakat mengganti sebutan Cina dengan
Tionghoa. Koran Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan Hindia-
Belanda menjadi Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama
yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman. Dalam teks
penjelasan UUD 1945 kata yang digunakan adalah Tionghoa, bukan Cina.
Sejak itu istilah "Tionghoa" digunakan bersama sebagai padanan istilah "Cina"
yang sudah populer lebih dahulu.
Page 3
Karena perkembangan politik yang semakin kacau, muncullah larangan tak resmi
penggunaan istilah Tionghoa dikarenakan istilah ini digunakan oleh partai
komunisme.
Konflik yang menyangkut etnis Cina atau Tionghoa pun makin meruncing,
sehingga pada tahun 1957 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1959 yaitu larangan perdagangan bagi semua orang yang masih memiliki
kewarganegaraan Cina di Daerah Tingkat II. Pada tahun 1959, orang Cina
dipersilakan memilih menjadi warga negara tanah leluhur (WNA) atau WNI.
Konflik ini kemudian meluas, puncaknya terjadi peristiwa rasialisme pada 10 Mei
1963 di Bandung dan menjalar ke beberapa kota lainnya. (Lihat pula SBKRI).
Page 4
Page 5