You are on page 1of 53

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma
dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat
menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun
akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan),
sehingga menambah penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti hidup.
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan
kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang
menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan
bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan
kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan
tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan
baik karena penderita maupun dokter (medis).1
Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan
perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat
yang ada di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di
masyarakat adalah penyakit asma. Asma adalah satu diantara beberapa penyakit yang
tidak bisa disembuhkan secara total. Kesembuhan dari satu serangan asma tidak
menjamin dalam waktu dekat akan terbebas dari ancaman serangan berikutnya.1
Apalagi bila karena pekerjaan dan lingkngannya serta faktor ekonomi,
penderita harus selalu berhadapan dengan faktor alergen yang menjadi penyebab
serangan. Biaya pengobatan simtomatik pada waktu serangan mungkin bisa diatasi
oleh penderita. pengobatan simptomatik pada waktu serangan mungkin bisa diatasi
oleh penderita atau keluarganya tetapi pengobatan profilaksis yang memerlukan
waktu lebih lama sering menjadi problem tersendiri.1

1
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan
dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi
berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini
berhubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi saluran napas yang
bervariasi derajatnya dan bersifat reversibel secara spontan maupun dengan
pengobatan.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI ORGAN PARU

Gambar 1. Anatomi Organ Paru 2

Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk


pertukaran udara. Tiap paru memiliki: apeks yang mencapai ujung sternal kosta
pertama, permukaan costovertebral yang melapisi dinding dada, basis yang
terletak di atas diafragma dan permukaan mediastinal yang menempel dan
membentuk struktur mediastinal di sebelahnya. 2

3
Paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissure obliqus dan
horizontal. Paru kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga tidak ada lobus tengah.
Segmen lingular merupakan sisi kiri yang ekuivalen dengan lobus tengah kanan.
Namun, secara anatomis lingual merupakan bagian dari lobus atas kiri. Struktur yang
masuk dan keluar dari paru melewati hilus paru yang diselubungi oleh kantung pleura
yang longgar.2
Setiap paru diselubungi oleh kantung pleura berdinding ganda yang
membrannya melapisi bagian dalam toraks dan menyelubungi permukaan luar paru.
Setiap pleura mengandung beberapa lapis jaringan ikat elastik dan mengandung
banyak kapiler. Diantara lapisan pleura tersebut terdapat cairan yang bervolume
sekitar 25-30 mL yang disebut cairan pleura. Cairan pleura tersebut berfungsi sebagai
pelumas untuk gerakan paru di dalam rongga.2
Bronki dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah dari arteri bronkialis
cabang-cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena bronkialis, yang juga
berhubungan dengan vena pulmonalis, mengalirkan darah ke vena azigos dan vena
hemiazigos. Alveoli mendapat darah deoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteri
pulmonalis dan darah yang teroksigenasi mengalir kembali melalui cabang-cabang
vena pulmonalis. Dua vena pulmonalis mengalirkan darah kembali dari tiap paru ke
atrium kiri jantung. 2
Drainase limfatik paru mengalir kembali dari perifer menuju kelompok kelenjar
getah bening trakeobronkial hilar dan selanjutnya menuju trunkus limfatikus
mediastinal. 2
Paru dipersyarafi oleh plexus pulmonalis yang terletak di pangkal paru. Plexus
ini terdiri dari serabut simpatis (dari truncus simpaticus) dan serabut parasimpatis
(dari arteri vagus). Serabut eferen dari pleksus mensarafi otot-otot bronkus dan
serabut aferen diterima dari membran mukosa bronkioli dan alveoli. 2

4
2.2 FISIOLOGI PARU

1) Volume dan Kapasitas Paru


Volume paru dapat dipelajari dengan mencatat volume udara yang masuk
dan keluar paru, suatu metode yang disebut spirometri. Spirometer ini terdirri
atas sebuah drum terbalik yang ditempatkan di atas bak air, dan drum tersebut
diimbangi oleh suatu beban. Dalam drum terdapat gas untuk bernapas,
biasanya udara atau oksigen; dan sebuah pipa yang menghubungkan mulut
dengan ruang gas. Apabila seseorang bernapas dari dan ke dalam ruang ini,
drum akan naik turun, dan terekam pada gulungan kertas yang berputar. 2
a. Volume Paru
Empat macam volume paru tersebut jika semuanya dijumlahkan,
sama dengan volume maksimal paru yang mengembang atau disebut juga
total lung capacity, dan arti dari masing-masing volume tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi
setiap kali bernapas normal, besarnya kira-kira 500 ml pada laki-laki
dewasa. 2
2. Volume cadangan inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat
diinspirasi setelah dan di atas volume tidal normal bila dilakukan
inspirasi kuat, biasanya mencapai 3000 ml. 2
3. Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara ekstra maksimal
yang dapat diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir respirasi
tidal normal; jumlah normalnya adalah sekitar 1100 ml. 2
4. Volume residu adalah volume udara yang masih tetap berada dalam
paru setelah ekspirasi paling kuat; volume ini besarnya kira-kira 1200
ml.2

5
b. Kapasitas Paru
Untuk menguraikan peristiwa-peristiwa dalam siklus paru, kadang-
kadang perlu menyatukan dua atau lebih volume di atas. Kombinasi
seperti itu disebut kapasitas paru. Berbagai kapasitas paru yang penting
dapat diuraikan sebagai berikut. 2
1. Kapasitas inspirasi sama dengan volume tidal ditambah volume
cadangan inspirasi. Ini adalah jumlah udara (kira-kira 3500 ml) yang
dapat dihirup oleh seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal
dan pengembangan paru sampai jumlah maksimum.2
2. Kapasitas residu fungsional sama dengan volume cadangan ekspirasi
ditambah volume residu. Ini adalah jumlah udara yang tersisa dalam
paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2300 ml). 2
3. Kapasitas vital sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah
volume tidal dan volume cadangan ekspirasi. Ini adalah jumlah udara
maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang dari paru, setelah
terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan kemudian
mengeluarkan sebanyak-banyaknya (kira-kira 4600 ml). 2
4. Kapasitas paru total adalah volume maksimum yang dapat
mengembangkan paru sebesar mungkin dengan isnpirasi sekuat
mungkin (kira-kira 5800 ml); jumlah ini sama dengan kapasitas vital
ditambah volume residu. 2

2.3 DEFINISI
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan brokhi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu
(Smeltzer & Bare, 2010).
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi aanya penyempitan

6
jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan
maupun sebagai hasil pengobatan. (Mansjoer, 2008).
Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-
cabang trakeobronkhial terhadap berbagai jenis rangsangan (Pierce, 2007).
Asma Bronkhial adalah penyakit pernafasan objektif yang ditandai oleh
spasme akut otot polos bronkus. Hal ini menyebabkan obstruksi aliran udara dan
penurunan ventilasi alveolus (Elizabeth, 2000).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Asma
merupakan penyempitan jalan napas yang disebabkan karena hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkhial terhadap stimuli tertentu. Sedangkan Asma
Bronkhial merupakan suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif yang
bersifat reversible, ditandai dengan terjadinya penyempitan bronkus, reaksi
obstruksi akibat spasme otot polos bronkus, obstruksi aliran udara, dan penurunan
ventilasi alveoulus dengan suatu keadaan hiperaktivitas bronkus yang khas yang
ditandai dengan inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan riwayat
gejala saluran pernapasan seperti wheezing (mengi), sesak napas, dada terasa
berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas dan disertai dengan
hambatan jalan napas ekspirasi yang bervariasi. Variasi yang terjadi disebabkan
oleh beberapa faktor seperti olahraga, paparan alergen atau iritan, perubahan
cuaca, atau infeksi virus pada saluran napas.4
Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respontrakea
dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi
adanyapenyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah
baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.4
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative saluran
napas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan
limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini for Asthma (GINA) didefinisikan
sebagai gangguan inflamasi kronik menyebabkan mengi berulang, sesak nafas,
rasa dadatertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini

7
biasanyaberhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, yangsebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan,inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas
terhadap berbagai rangsangan.4

2.4 EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana
terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi
pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada
anak-anak (GINA, 2003). Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki
urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan Faktor Resiko Hiperaktifi tas
bronkus Obstruksi BR Gejala Inflamasi Faktor Resiko Faktor Resiko 14
(morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT
1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995,
dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk
(PDPI, 2006). Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di
Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten
dan prevalensi asma bronkial sebesar 5–1.4

2.5 PATOFISIOLOGI

A. Hygiene Hypothesis
Antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah banyak
diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan teori
hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan bahwa infeksi dan kontak
dengan lingkungan yang tidak higienis dapat melindungi perkembangan

8
alergi. Hipotesis tersebut berdasarkan bahwa sistem imun pada bayi
didominasi oleh sitokin T helper (Th2) dan setelah lahir pengaruh
lingkungan akan mengaktifkan respons Th1 sehingga akan terjadi
keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa insidens asma
menurun akibat infeksi tertentu (M tuberkulosis, campak, atau hepatitis A)
dan penurunan penggunaan antibiotika. Ketiadaan kejadian tersebut
menyebabkan keberadaaan Th2 menetap sehingga keseimbangan akan
bergeser ke arah Th2, merangsang produksi antibodi Ig E untuk melawan
antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu kucing.4,5
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi
Ig E pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan
Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL4. Sitokin ini
dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin.
Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga
tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor utama peningkatan prevalensi
penyakit alergi dalam 30-40 tahun terakhir. Faktor lain adalah turunnya
infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi udara yang
cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan peningkatan
respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan perkembangan penyakit
yang berhubungan dengan Th2. Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4
dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel
Th1 yang menghasilkan interferon gamma (IFNγ) akan menghambat sel B
untuk menghasilkan Ig E.4,5
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi
adalah mast sel, limfosit T dan eosinophil. Setelah seseorang mengalami
sensitisasi, Ig E disintesis dan kemudian melekat ke target sel. Pajanan
alergen menyebabkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di atas.
Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan , recruitment dan
aktivasi eosinophil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocytemacrophage

9
colony stimulating factor (GM-CSF), kemotaksin dan regulation on
activation normal T cell expressed and secreted (RANTES).4,5

B. Obstruksi saluran napas


Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma
diyakini merupakan hal yang mendasari terjadinya ganngguan fungsi pada
asma yaitu obstruksi saluran respiratori yang mengakibatkan keterbatasan
aliran udara yang bersifat reversibel. Perubahan fungsional ini dihubungkan
dengan gejala khas pada asma (seperti batuk, sesak, mengi) dan respons
saluran napas yang berlebihan terhadap rangsangan bronkhokontriksi.
Mediator inflamasi dapat juga mempengaruhi persepsi sesak napas melalui
pengaruhnya terhadap saraf aferen. Rangsangan saraf aferen pada keadaan
hiperkapnia atau hipoksemia misalnya akan merangsang timbulnya
hiperventilasi alveolar dan kerusakan lainnya akibat serangan asma akut.7
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot
polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan sel
inflamasi. Mediator tersebut antara lain histamine, triptase, prostaglandin D2
dan leukotriene C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang
dikeluarkan oleh saraf aferen local dan asetilkolin yang berasal dari saraf
aferen post gangglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos
saluran napas adalah hiperplasia kronik otot polos, pembuluh darah, serta
terjadi deposisi matriks pada dinding saluran napas.7

C. Hiperreaktivitas saluran napas

Asma hampir selalu dihubungkan dengan mudahnya saluran napas


mengalami penyempitan dan atau respons yang berlebihan terhadap
provokasi stimulus. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap
reaktivitas yang berlebihan ini sampai saat ini belum diketahui, namun dapat

10
berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas. Inflamasi pada
dinding saluran napas, khususnya pada regio peribronkhial cenderung
memperparah penyempitan saluran napas yang terjadi akibat kontraksi otot
polos tersebut.7

D. Hipersekresi mukus

Produksi mukus yang berlebihan merupakan gejala utama pada


penyakit bronchitis kronis, namun gejala tersebut juga merupakan salah satu
karakteristik pasien asma yang tidak pernah memiliki riwayat merokok
ataupun bekerja pada lingkungan berdebu. Hiperplasia kelenjar submucosa
dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran napas pasien asma dan
remodeling saluran napas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi
yang luas akibat penumpukan mukus saluran napas hampir selalu ditemukan
pada asma yang fatal dan menjadi penyebab obstruksi saluran napas yang
persisten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan
pemberian bronkodilator.7,9
Sekresi mukus pada saluran napas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel epitel,
pengendapan albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial,
eosinophil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang lisis.7,9

11
Gambar 3.1. Patofisiologi Asma. Dikutip dari Makmuri.

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot


bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa ekspirasi. Selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KFR) dan pasien
akan bernapas dengan volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total
(KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan
pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini
diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran
napas dapat dinilai secara objektif dengan FEV1 ( forced expiratory volum in
1 second) atau FVC (force vital capacity). Penyempitan saluran napas dapat
terjadi pada saluran napas yang besar , sedang, maupun kecil. Gejala mengi
menandakan adanya penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada

12
saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding
mengi.3

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian


paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi , sehingga darah
kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia, Penurunan PaO2
mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi
kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi agar kebutuhan oksigen
terpenuhi, tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga
PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada
serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus
tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran
gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot napas bertambah
berat sehingga terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2
yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2
(hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia
yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi
pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran
darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang berakibat perburukan
hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma, akan
menimbulkan hal-hal sebagai berikut : 1). Gangguan ventilasi berupa
hipoventilasi. 2). Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi
ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru. 3). Gangguan difusi gas di
tingkat alveolus. Ketiga faktor tersebut menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnia, serta asidosis respiratorik pada tahap yang sangat lanjut.3

2.6 PATOGENESIS
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel

13
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab
atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat
pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma
nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.5,9

A. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara
lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma
tipe lambat.6,7

Reaksi Asma Tipe Cepat


Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.7

Reaksi Fase Lambat


Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan
makrofag.7

B. Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot
polos bronkus.7

14
Limfosit T.
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe
Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas
dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.9

Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau
khemokin.Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme
terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma,
eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell
proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.9

Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi
tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma
adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan
mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa
serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan
GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan
hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil
cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase
(EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel
saluran napas. Sel Mast Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang

15
tinggi. Cross-linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast
mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga
mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.9

Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada
orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh
percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara
lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses
inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran
tersebut melalui a.l sekresi growthpromoting factors untuk fibroblast, sitokin,
PDGF dan TGF-.9

Airway Remodeling
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process)
yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan
sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan
regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim
yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan
peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses
tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang
kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai
mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan
airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang
sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel

16
sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus. Pada asma terdapat
saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-
sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti
matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic
growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos dan
kelenjar mukus.8

2.7 DIAGNOSIS
A. Anamnesis Kriteria diagnosis asma berdasarkan anamnesis adalah sebagai
berikut :1,3
1. Terdapat gejala saluran napas yang khas meliputi mengi, sesak napas, rasa
tertekan pada dada, batuk.
- Pasien asma mempunyai lebih dari satu gejala ini ( mengi, sesak napas,
batuk, dada seperti tertekan)
- Gejala dapat terjadi bervariasi dalam hal waktu dan intensitas
- Gejala biasanya lebih sering terjadi dan lebih berat pada malam hari
dan pada saat bangun tidur
- Gejala sering dipicu olahraga, pada saat tertawa, alergen, atau udara
dingin
- Gejala sering muncul dan lebih berat bila disertai dengan infeksi virus
Gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa seseorang menderita
asma :
- Batuk tanpa gejala respirasi lain
- Produksi sputum kronik
- Dispnea yang disertai dengan pusing, kepala terasa ringan, paresthesia
perifer
- Nyeri dada

17
- Dispnea dengan inspirasi nyaring terkait olahraga
2. Terdapat keterbatasan aliran udara ekspirasi
- Variabilitas fungsi paru yang besar DAN keterbatasan aliran udara,
makin besar variasi / makin sering, makin sering kemungkinan
a) Terdapat penurunan FEV1 ( forced expiratory volum in 1 second),
sehingga rasio FEV1/FVC (force vital capacity) berkurang. Nilai
normal FEV1/FVC > 0,75-0,80 pada dewasa dan > 0,90 pada
anak.
- Uji reversibilitas bronkhus positif
a) Terdapat variasi fungsi paru yang lebih besar dibandingkan orang
normal, misalnya :
~ FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 ml ( pada anak > 12%
nilai prediksi) setelah inhalasi dengan bronchodilator. Hal ini disebut
sebagai uji reversibilitas bronkhus positif.
~ Rata-rata variasi diurnal PEF (peak expiratory flow) atau arus
puncak ekspirasi > 10% ( pada anak > 13%)
~ FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 ml ( pada anak > 12%
nilai prediksi) setelah 4 minggu pemberian anti inflamasi (diluar
infeksi saluran napas)
b) Semakin besar variasi dan semakin sering gejala muncul lebih
meyakinkan untuk menegakkan diagnosis asma
c) Pemeriksaan ulang diperlukan pada saat gejala muncul pada pagi
hari atau setelah pemberian bronchodilator
d) Reversibilitas bronchodilator akan hilang pada saat eksaserbasi
dengan gejala yang berat atau akibat infeksi virus. Apabila tidak
terdapat resersibilitas dengan pemberian bronchodilator pada saat
pemeriksaan pertama, maka langkah selanjutnya tergantung
kepentingan klinis dan ketersediaan pemeriksaan lain.

18
Kriteria Diagnosis Asma untuk Dewasa, Remaja, Anak 6-11 tahun.1

19
20
B. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas yang


paling sering adalah wheezing ekspiratorik pada auskultasi, tetapi kadang
tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi yang kuat yang dipaksa.
Wheezing juga tidak bisa ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena
penurunan aliran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi biasanya
tanda- tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan pada
disfungsi jalan napas atas, missal pada PPOK, infeksi saluran napas,
trakeomalasia, atau korpus alienum. Crakles atau wheezing inspiratorik bukan
karakteristik asma. Perlu juga dilakukkan pemeriksaan hidung untuk
menemukan adanya rhinitis atau polip nasal.3

21
C. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory volume
in 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory flow (PEF).
Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan tiap saat
pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa terjadi bila dilakukan
perubahan ukuran atau alat.1,2 Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan
pada penyakit paru lain, atau penggunaan spirometri yang tidak tepat,
akan tetapi penurunan rasio FEV1/FVC manandakan adanya hambatan
aliran jalan napas. Rasio FEV1/FVC normal adalah 0,75-0,80 dan kadang
0,90 pada anak-anak, dan nilai di bawah batas normal tersebut
menandakan adanya hambatan aliran udara.1,3
Variabilitas adalah perbaikan atau perburukan gejala dan fungsi paru.
Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu dalam satu
hari (variasi diurnal), dan dari hari ke hari, musiman atau dari sebuah tes
reversibilitas. Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau penurunan
FEV1 > 12% dan > 200 ml dari batas dasar, atau jika spirometri tidak ada,
perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat diterima sebagai asma. Akan
tetapi jika FEV1 tetap dalam batas normal saat pasien sedang mengalami
gejala asma, maka kemungkinannya kecil bahwa penyakitnya adalah
asma. Pengukuran FEV1 dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan
bronkhodilator.1,3
2. Tes provokasi bronkhus. Pemeriksaan ini dilakukan untuk uji
hiperresponsivitas jalan napas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan
inhalasi metakolin dan histamine, hiperventilasi eukapnik volunter atau
mannitol inhalasi. Tes ini cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang
spesifik karena bisa juga disebabkan oleh penyakit lain seperti rhinitis
alergika, fibrosis kistik, dysplasia bronkhopulmoner, dan PPOK. Jadi bila
hasil negatif pada pasien yang tidak mengkonsumsi ICS dapat

22
mengekslusi asma akan tetapi hasil positif tidak selalu menandakan
1,2
bahwa pasien menderita asma, sehingga anamnesis perlu diperhatikan.
Tes alergi. Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tetapi hal ini tidak spesifik. Riwayat
atopi dapat diperiksa dengan skin prick test dan pemeriksaan IgE serum.
Skin prick tes dengan bahan yang mudah ditemukan di lingkungan
sekitara dalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan dengan
benar.1,3
3. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of exhaled nitric oxide (FENO) dapat
diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma
eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rhinitis alergi dan belum
dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun pada
perokok dan saat terjadi bronkhokonstriksi, dan meningkat jika terjadi
infeksi pernapasan yang disebabkan oleh virus. Kadar FENO > 50 ppb
terkait dengan respons jangka waktu yang singkat terhadap ICS. Saat ini
pemeriksaan FENO belum direkomendasikan.1,3

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding asma berdasarkan kategori usia dan gejala klinis :1


A. Usia 6-11 tahun
- Sindroma batuk saluran napas atas kronik (Bersin, batuk, hidung
tersumbat)
- Terhirup benda asing (Gejals timbul mendadak, wheezing unilateral.
- Bronchiectasis (Infeksi berulang, batuk produktif)
- Diskinesia siliari primer (Infeksi berulang, batuk produktif, sinusitis.
- Penyakit jantung bawaan (Murmur)
- Bronkopulmonal dysplasia (Lahir prematur, gejala muncul sejak lahir)

23
- Fibrosis kistik (Batuk berlebihan dengan produksi lendir, gejala
gastrointestinal 2. Usia 12-39 tahun)
- Sindroma batuk saluran napas atas kronik (Bersin, hidung tersumbat,
batuk)
- Disfungsi pita suara (Dispnea, wheezing inspirasi (stridor))
- Hiperventilasi, gangguan nafas (Pusing, parestesia)
- Bronchiectasis (Batuk produktif, infeksi berulang)
- Fibrosis kistik (Batuk hebat disertai produksi mukus)
- Penyakit jantung bawaan (Murmur)
- Defisiensi α1- antitrypsin (Napas pendek, riwayat emfisema pada
keluarga)
- Terhirup benda asing (Gejala muncul mendadak)
B. Usia lebih dari 40 tahun
- Disfungsi pita suara (Dispnea, wheezing inspirasi (stridor))
- Hiperventilasi, gangguan napas - Pusing, parestesia
- PPOK (Batuk berdahak, dyspnea, merokok atau paparan bahan
berbahaya)
- Bronkhiektasis (Batuk produktif dan infeksi berulang)
- Gagal jantung (Dyspnea saat beraktifitas, gejala sering muncul pada
malam hari)
- Batuk karena penggunaan obat-obatan (Penggunaan obat ACE inhibitor)
- Penyakit parenkim paru (Dispnea saat beraktifitas, batuk non produktif,
jari tabuh)
- Emboli pulmonal (Sesak tiba-tiba, nyeri dada)
- Obstruksi jalan napas sentral (Dyspnea, tidak respons dengan
bronchodilator)

24
2.9 KLASIFIKASI

A. Klasifikasi Asma Bronkial Menurut Derajat Serangan

25
26
27
B. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gejala Klinis

28
C. Klasifikasi Derajat Berat Asma Pada Penderita Dalam Pengobatan

2.10 PENATALAKSANAAN
Tujuan jangka panjang tata laksana asma adalah mengontrol timbulnya
gejala dan mengurangi risiko berulangnya serangan. Hal ini akan mengurangi
beban pada pasien, mencegah kerusakan saluran napas, dan mengurangi efek
samping pengobatan. Pengobatan pada pasien asma sangat bersifat individual
dan diperlukan kerjasama yang baik antara dokter dan pasien.1,2 Mengobati asma
dengan mengontrol timbulnya gejala dan mengurangi risiko berulangnya
serangan meliputi :1,3

29
1. Pengobatan.
Setiap pasien asma harus mempunyai obat pereda serangan (reliever
medication), dan pada sebagian besar pasien dewasa dan remaja harus
mempunyai obat kontroler (controller medication) untuk mengontrol
timbulnya serangan.
2. Mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi
3. Terapi non farmakologis. Setiap pasien asma harus mempunyai keterampilan
dan dapat mengelola sendiri penyakitnya, yang meliputi
4. Informasi mengenai penyakit asma
5. Ketrampilan menggunakan inhaler
6. Kepatuhan
7. Membuat rencana pengendalian asma
8. Monitoring
9. Kontrol rutin

Tatalaksana asma merupakan suatu siklus yang kontinu yang terdiri dari
penilaian, penyesuaian terapi, dan melihat respons pasien seperti yang tergambar
di bawah ini : 1

30
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa kategori :
1,3

1. Controller medication merupakan obat yang digunakan untuk mengontrol


munculnya gejala asma secara regular. Obat ini menurunkan inflamasi jalan
napas, mengendalikan gejala, menurunkan risiko eksaserbasi, dan mencegah
penurunan fungsi paru.
2. Reliever (rescue) medication merupakan obat yang digunakan untuk
meredakan gejala pada saat serangan asma, misalnya saat perburukan atau
eksaserbasi, atau saat terjadinya bronkhokontriksi pada saat berolahraga
3. Add-on therapy digunakan pada pasien dengan asma berat , mulai
dipertimbangkan jika pasien mengalami gejala asma persisten dan eksaserbasi
yang terus menerus walaupun sudah diberikan terapi secara optimal.

Terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai secepat mungkin setelah


diagnosis asma ditegakkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, berdasarkan
bukti klinis sebagai berikut :1,2

31
1. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan fungsi
paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan setelah muncul
gejala selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut maka
dibutuhkan dosis ICS yang lebih tinggi sedangnkan fungsi paru sudah sangat
menurun.
2. Pasien yang tidak menggunakan ICS dan mengalami eksaserbasi akan
mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat dari pada pasien yang
telah mulai menggunakan ICS
3. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari alergen iritan
dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.

Tatalaksana asma lainnya menurut GINA 2017 adalah :1,3

1. Imunoterapi alergen. Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi
memegang peranan utama dalam asma, misalnya pada asma dengan

32
rhinokonjungtivitis alergi. Terdapat dua pendekatan utama yaitu :
subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan sublingual immunotherapy (SLIT).
Studi saat ini banyak dilakukan pada asma ringan. Pada pasien dengan
sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan penurunan gejala dan kebutuhan
pengobatan, serta penurunan responsivitas terhadap alergen. Tetapi efek
samping SCIT ini adalah reaksi anafilaksis yang dapat mengancam nyawa.
Sedangkan SLIT sangat bermanfaat untuk dewasa dan anak-anak. Suatu studi
tentang SLIT pada tungau debu rumah pasien dengan rhinitis dan asma
menunjukkan penurunan secara bermakna penggunaaan ICS. Efek samping
SLIT adalah gejala oral dan gastrointestinal ringan.
2. Vaksinasi Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma.
Pasien dengan asma derajat sedang dan berat disarankan untuk mendapatkan
vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi vaksin ini tidak dapat
menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma.
3. Termoplasti bronkhial Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa
dengan asma yang tidak terkontrol walaupun sudah diberikan regimen terapi
yang optimal. Terapi ini dilakukan dengan tiga bronkhoskopi terpisah dengan
gelombang radiofrekunsi lokal. Pada pemantauan jangka panjang akan terjadi
penurunan jumlah serangan, tetapi butuk penelitian lebih lanjut untuk
merekomendasikan metoda ini.
4. Vitamin D Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar
serum vitamin D yang rendah terkait dengan penurunan fungsi paru,
peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan penurunan respons kortikosteroid.
Sampai saat ini suplementasi vitamin D belum bisa dikaitkan dengan
peningkatan kontrol asma dan penurunan eksaserbasi. Indikasi merujuk ke
fasilitas kesehatan yang lebih lanjut bila :
C. Kesulitan untuk menegakkan diagnosis asma
D. Curiga asam okupasional
E. Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuen

33
F. Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
G. Adanya bukti risiko dan efek samping terapi
H. Gejala yang menunjukkan kompilkasi dari subtype asma
I. Ragu tentang diagnosis asma
J. Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis sedang
dengan tekhnik yang benar dan kepatuhan yang cukup
K. Curiga efek samping terapi
L. Asma yang disertai dengan alergi makanan

34
35
36
Gambar 6.4. Tatalaksana Asma eksaserbasi Akut di Instalasi Gawat Darurat. Dikutip dari
GINA 20171

37
38
5.2 Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :1
a) Pneumothoraks Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga
pleura yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini
dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan
kegagalan napas.
b) Pneumomediastinum Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma
“udara”, juga dikenal sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi
dimana udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene
Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang

39
mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam
rongga dada.
c) Atelektasis Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru
akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
d) Aspergilosis Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan
oleh jamur dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit
ini juga dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada
otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi
Aspergillus sp.
e) Gagal napas. Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap
karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen
dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
f) Bronkhitis Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan
bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis)
mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir
(dahak). Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya
mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena
sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.

6.2 PROGNOSIS
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga suatu
kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia lebih tua lebih
banyak. Bila serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak-kanak dan mendapat
pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 3% yang tidak sembuh.

40
Pada penderita yang mengalami serangan intermiten angka kematiannya hanya 2%,
sedangkan pada penderita yang dengan serangan terus-menerus angka kematiannya
adalah 9%.1

41
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. H
Umur : 23 Tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. manggis
Pendidikan Terakhir : SMA
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 23 Februari 2018
Ruangan : Rajawali Bawah B.18

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak Napas

Riwayat Penyakit Sekarang :


pasien datang dengan keluhan sesak napas yang dirasakan kurang lebih 4 jam
yang lalu dan memberat 1 jam SMRS. Keluhan disertai dengan batuk
berlendir dan dada terasa berat. Lendir berwaran kuning. Keluhan kambuh
pada pukul 02.00 subuh. Pasien mengaku batuknya sudah dialami selama 2
hari. Pasien sudah meminum obat yang dibeli di apotik namun tidak ada
perubahan dan malah tambah memperparah dengan sesaknya. Pasien
mengaku ada riwayat merokok hingga saat ini dan riwayat meminum alkohol
yang kadang-kadang. Pasien juga memiliki riwayat alergi makanan laut
(seafood). Pasien juga mengaku memiliki riwayat asma sejak kecil. Pasien
memiliki obat asma pada saat itu namun sudah lupa namanya. Kemudian
seiring bertambah usianya, sesak sudah jarang kambuh. Dan ketika kambuh
bisa diatasi sendiri tanpa menggunakan obat. Asma pasien terakhir kambuh 2
tahun yang lalu. Pasien mengaku asma kambuh ketika udara dingin, berdebu
atau ketika pasien lagi batuk/flu. Ketika asma kambuh pasien hanya bisa
bicara perkata dan posisi yang paling nyaman adalah duduk setengah
berbaring. Demam (-), mual (-), muntah (-), BAK (+) lancar, BAB (+) biasa.

42
Riwayat Penyakit Terdahulu :
- Riwayat asma sejak kecil
- Riwayat alergi debu
- Riwayat sakit maag
- Sudah pernah dirawat di RS Anutapura dengan keluhan yang sama 2
tahun yang lalu

Riwayat Penyakit dalam Keluarga :


Riwayat asma pada ibu dan nenek pasien

Riwayat kebiasaan :
- riwayat merokok (+) sampai saat ini
- riwayat alkohol (+) kadang-kadang
- obat-obatan (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : sakit sedang

SP: Composmentis/ BB: 70 Kg TB: 170 cm IMT: 24,22 Kg/m2

Vital Sign
Tekanan Darah : 120/70 mmHg

Nadi : 90 x/menit

Pernapasan : 24 x/menit (takipneu)


o
Suhu : 37 C

Kepala:
Wajah : Simetris
Deformitas : tidak ada
Bentuk : normocephal
Mata:
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : isokor
Mulut : sianosis (-), sedikit pucat (+)

43
Leher:
Kelenjar GB : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak ada pembesaran
JVP : 5 (+2)
Massa Lain : tidak ada
Dada:
Paru - Paru
Inspeksi : simetris bilateral, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : vokal fremitus ki = ka
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : vesikular (+/+), whz (+/+), rh (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : ictus kordis teraba
Perkusi :
Batas Atas : ICS III linea parasternal sinistra
Batas Kanan : ICS V linea midclavicula dextra
Batas Kiri : ICS VI linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I/II murni reguler, gallop (-), murmur (-)
Perut:

Inspeksi : tampak datar

Auskultas : peristaltik (+) kesan normal

Perkusi : timpani (+)

Palpasi : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri tekan

Anggota Gerak:

Atas : akral hangat (+/+), edema (-/-)

44
Bawah : akral hangat (+/+), edema (-/-)

Pemeriksaan Khusus :

IV. RESUME :
- Pasien laki-laki 24 tahun dgn keluhan dyspneu.
- Keluhan disertai batuk berlendir dan dada terasa berat. Lendir
berwarna kuning.
- Kambuh pada pukul 02.00 subuh.
- Ada riwayat merokok, konsumsi alkohol.
- Riwayat alergi debu
- Riwayat sakit maag
- Riwayat asma sejak kecil. Dan riwayat asma pada ibu dan neneknya.
- Asma kambuh ketika udara dingin, berdebu atau ketika pasien lagi
batuk/flu.
- Pada pemeriksaan fisik didapatkan TTV TD 120/70 mmHg, N
90x/mnt, R 24x/mnt (takipneu), S 37 derajat celcius.
- Pada auskultasi paru didapatkan suara napas vesikular (+/+), whz
(+/+).
- Pada ekstremitas atas dan bawah didapatkan akral hangat (+/+)

V. DIAGNOSIS KERJA : ASMA BRONKIAL EBS. AKUT

VI. DIAGNOSIS BANDING :


- Bronchitis
- PPOK

VII. USULAN PEMERIKSAAN LANJUTAN:


- Pemeriksaan faal paru : spirometri
- Uji provokasi bronchus
- Tes alergi
- Darah Rutin

VIII. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :

45
- Hindari berdekatan dengan orang yang sedang merokok
- Upayakan ventilasi rumah adekuat
- Hindari menggunakan spray pembersih rumah
- Hindari menggunakan obat nyamuk yang menimbulkan asap atau
spray dan mengandung bahan polutan
- Hindari aktivitas fisis pada keadaan udara dingin dan kelembaban
rendah Tinggalkan/ hindari daerah polusi
- Hindari bahan polutan
- Ruang kerja dengan ventilasi yang baik Lindungi pernapasan
misalnya dengan masker Bebaskan lingkungan dari asap rokok

Medikamentosa :
- IVFD Ringer Lactat 20 TPM
- O2 3 LPM
- Ceftriaxone 2 gr/24j
- Ambroxol tab 3x1
- Ventolin Nebulizer/6j
- Methylprednisolon 3x4 mg
- Ranitidin 1 amp/12j

IX. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium :
- WBC 15,5 103/Ul
- RBC 5,4 106/Ul
- HGB 15,9 g/dL
- HCT 46,8 %
- PLT 291 103/Ul
- Neutrofil 80,2 %
- Limfosit 1,4 %
- GDS 90 mg/dL

Radiologi : tidak dilakukan

EKG : tidak dilakukan

Pemeriksaan Lainnya:

X. DIAGNOSIS AKHIR : ASMA BRONKIAL EBS. AKUT

46
XI. PROGNOSIS :
Qua ad Vitam : Dubia ad bonam
Qua ad Fungtionam : Dubia ad malam
Qua ad Sanationam : Dubia ad malam

Palu,
KONSULEN DOKTER MUDA

(……………………………) (………………………………)

47
BAB IV
PEMBAHASAN

Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan inflamasi


kronik saluran napas. Gejala terbatasnya jalan napas dapat sembuh spontan atau
dengan pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau beberapa
bulan. Di sisi lain pasien juga dapat mengalami beberapa periode serangan
(eksaserbasi) asma yang dapat mengancam jiwa dan memberikan beban yang
signifikan bagi pasien dan keluarga. Asma biasanya dikaitkan dengan
hiporesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan
dengan inflamasi jalan napas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada,
walaupun tidak ada gejala dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan
terapi.1,2

Pada pasien ini di diagnosa sebagai asma bronchial berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis pasien dengan
keluhan sesak napas yang dirasakan kurang lebih 4 jam yang lalu dan memberat 1
jam SMRS. Keluhan disertai dengan batuk berlendir dan dada terasa berat. Lendir
berwaran kuning. Keluhan kambuh pada pukul 02.00 subuh. Pasien mengaku
batuknya sudah dialami selama 2 hari. Pasien sudah meminum obat yang dibeli di
apotik namun tidak ada perubahan dan malah tambah memperparah dengan sesaknya.
Pasien mengaku ada riwayat merokok hingga saat ini dan riwayat meminum alkohol
yang kadang-kadang. Pasien juga memiliki riwayat alergi makanan laut (seafood).
Pasien juga mengaku memiliki riwayat asma sejak kecil. Pasien memiliki obat asma
pada saat itu namun sudah lupa namanya. Kemudian seiring bertambah usianya, sesak
sudah jarang kambuh. Dan ketika kambuh bisa diatasi sendiri tanpa menggunakan
obat. Asma pasien terakhir kambuh 2 tahun yang lalu. Pasien mengaku asma kambuh
ketika udara dingin, berdebu atau ketika pasien lagi batuk/flu. Ketika asma kambuh
pasien hanya bisa bicara perkata dan posisi yang paling nyaman adalah duduk
setengah berbaring.

48
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TTV TD 120/70 mmHg, N 90x/mnt,
R 24x/mnt, S 37 derajat celcius. Pada auskultasi paru didapatkan suara napas
vesikular (+/+), whz (+/+), pada ekstremitas atas dan bawah didapatkan akral hangat
(+/+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan WBC yaitu 15,5 103/ul,
peningkatan neutrofil 12,4 103/ul, dan peningkatan limfosit 1,4 103/ul.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka
pasien didiagnosis sebagai asma bronkial dimana terdapat gejala khas pada pasien
yaitu sesak napas berbunyi mengi, dada terasa berat, kambuh ketika pasien
mengalami batuk dan keluhan memberat ketika malam hari. Juga ada riwayat asma
dari orang tua pasien (ibu). Juga didapatkan hasil pemeriksaan penunjang dimana
terdapat peningkatan neutrofil dan limfosit.
Dimana pada teori asma bronkhial merupakan suatu penyakit gangguan
jalan nafas obstruktif yang bersifat reversible, ditandai dengan terjadinya
penyempitan bronkus, reaksi obstruksi akibat spasme otot polos bronkus, obstruksi
aliran udara, dan penurunan ventilasi alveoulus dengan suatu keadaan hiperaktivitas
bronkus yang khas yang ditandai dengan inflamasi kronik saluran napas yang
ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti wheezing (mengi), sesak
napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas dan
disertai dengan hambatan jalan napas ekspirasi yang bervariasi. Variasi yang terjadi
disebabkan oleh beberapa faktor seperti olahraga, paparan alergen atau iritan,
perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran napas.1
Faktor genetik memegang peranan penting dalam etiologi asma. Asma
merupakan complex genetic disorder dan dipengaruhi oleh banyak gen sehingga tidak
mengikuti pola pewarisan Mendel. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya,
meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit
alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran
pernafasannya juga bisa diturunkan.

49
Pada pasien didapatkan sesak napas dan bunyi mengi saat bernapas. Dimana
pada teori inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari terjadinya ganngguan fungsi pada asma yaitu
obstruksi saluran respiratori yang mengakibatkan keterbatasan aliran udara yang
bersifat reversibel. Perubahan fungsional ini dihubungkan dengan gejala khas pada
asma (seperti batuk, sesak, mengi) dan respons saluran napas yang berlebihan
terhadap rangsangan bronkhokontriksi. Mediator inflamasi dapat juga mempengaruhi
persepsi sesak napas melalui pengaruhnya terhadap saraf aferen. Rangsangan saraf
aferen pada keadaan hiperkapnia atau hipoksemia misalnya akan merangsang
timbulnya hiperventilasi alveolar dan kerusakan lainnya akibat serangan asma akut.3
Pada pemeriksaan fisik auskultasi thorax didapatkan suara peranapasan
berupa wheezing. Berdasarkan teori pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal.
Abnormalitas yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik pada auskultasi, tetapi
kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi yang kuat yang dipaksa.
Wheezing juga tidak bisa ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena penurunan
aliran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi biasanya tanda- tanda
patologis lain muncul.
Pada pasien didapatkan juga riwayat merokok hingga saat ini. Asma dan
PPOK sangat sulit untuk dibedakan, terutama pada orang yang berusia tua, pada
perokok atau bekas perokok, dan keduanya dapat saling tumpang tindih (Asthma-
COPD overlap syndrome (ACOS)). The Global Strategy for Diagnosis, Management
and prevention of COPD (GOLD) mendefinisikan PPOK berdasarkan gejala
respiratorik kronik, paparan terhadap faktor risiko seperti merokok, dan FEV1/FVC
pasca bronkhodilator kurang dari 0,7. Reversibilitas bronkhodilator (> 12% dan > 200
ml) dapat ditemukan pada PPOK. Kapasitas difusi yang rendah biasanya ditemukan
pada asma. Riwayat penyakit dan pola gejala di masa lalu bisa membantu diagnosis.
Ketidakpastian diagnosis membuat pasien dengan kondisi ini perlu dirujuk karena
terkait dengan prognosis yang lebih buruk.1,2

50
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa
kategori : 1) Controller medication Merupakan obat yang digunakan untuk
mengontrol munculnya gejala asma secara regular. Obat ini menurunkan inflamasi
jalan napas, mengendalikan gejala, menurunkan risiko eksaserbasi, dan mencegah
penurunan fungsi paru. 2) Reliever (rescue) medication Merupakan obat yang
digunakan untuk meredakan gejala pada saat serangan asma, misalnya saat
perburukan atau eksaserbasi, atau saat terjadinya bronkhokontriksi pada saat
berolahraga 3) Add-on therapy Digunakan pada pasien dengan asma berat , mulai
dipertimbangkan jika pasien mengalami gejala asma persisten dan eksaserbasi yang
terus menerus walaupun sudah diberikan terapi secara optimal.1,2
Terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai secepat mungkin setelah
diagnosis asma ditegakkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, berdasarkan
bukti klinis sebagai berikut : 1) Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma
akan meningkatkan fungsi paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan
setelah muncul gejala selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut
maka dibutuhkan dosis ICS yang lebih tinggi sedangnkan fungsi paru sudah sangat
menurun. 2) Pasien yang tidak menggunakan ICS dan mengalami eksaserbasi akan
mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat dari pada pasien yang telah mulai
menggunakan ICS. 3) Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari
alergen iritan dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.1,2
Tatalaksana asma lainnya menurut GINA 2017 adalah : 1) Imunoterapi
alergen Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi memegang peranan
utama dalam asma, misalnya pada asma dengan rhinokonjungtivitis alergi. Terdapat
dua pendekatan utama yaitu : subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan sublingual
immunotherapy (SLIT). Studi saat ini banyak dilakukan pada asma ringan. Pada
pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan penurunan gejala dan kebutuhan
pengobatan, serta penurunan responsivitas terhadap alergen. Tetapi efek samping
SCIT ini adalah reaksi anafilaksis yang dapat mengancam nyawa. Sedangkan SLIT
sangat bermanfaat untuk dewasa dan anak-anak. Suatu studi tentang SLIT pada

51
tungau debu rumah pasien dengan rhinitis dan asma menunjukkan penurunan secara
bermakna penggunaaan ICS. Efek samping SLIT adalah gejala oral dan
gastrointestinal ringan. 2) Vaksinasi Influenza berkontribusi terhadap terjadinya
eksaserbasi akut asma. Pasien dengan asma derajat sedang dan berat disarankan untuk
mendapatkan vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi vaksin ini tidak dapat
menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma. 3) Termoplasti bronkhial
Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma yang tidak
terkontrol walaupun sudah diberikan regimen terapi yang optimal. Terapi ini
dilakukan dengan tiga bronkhoskopi terpisah dengan gelombang radiofrekunsi lokal.
Pada pemantauan jangka panjang akan terjadi penurunan jumlah serangan, tetapi
butuk penelitian lebih lanjut untuk merekomendasikan metoda ini. 4) Vitamin D
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar serum vitamin D
yang rendah terkait dengan penurunan fungsi paru, peningkatan frekuensi
eksaserbasi, dan penurunan respons kortikosteroid. Sampai saat ini suplementasi
vitamin D belum bisa dikaitkan dengan peningkatan kontrol asma dan penurunan
eksaserbasi.1,2

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma and prevention
Updated 2017. Diunduh dari file:///C:/Users/LenE440/Documents/wmsGINA-
2017-main-reportfinal_V2.pdf. Diakses tanggal 14 April 2017.
2. Global Initiative for Asthma, 2017. Pocket guide for asthma management and
prevention Updated 2017. Diunduh dari
file:///C:/Users/LenE440/Documents/wms-Main-pocket-guide_2017.pdf.
Diakses tanggal 14 April 2017.
3. Makmuri MS. Patofisiologi asma. Dalam: Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto
BD, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Cetakan pertama. Jakarta. Badan
Penerbit IDAI, 2008.h.98-104.
4. Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I, Edisi VI. Jakarta. Internal Publishing, 2014.h.478-88.
5. Sohn SW. Evaluation of cytokine mRNA in induced sputum from patients with
allergic rhinitis : relationship to airway hyperresponsivenes. Allergy 2010; 63:
268-73.
6. Alfven T. Allergic diseases and atopic sensitization in children related to
farming and anthroposophilic lifestyle the PARSIPAL Study. Allergy 2015; 61:
414-21.
7. Busse WW, Coffman RL, Gelfand EW, Kay AB, Rosenwasser LJ. Mechanism
of Persisten Airway Inflammation in Asthma. Am J Respir Crit Care Med 2015;
152:388-93.
8. Davis DE, Wicks J, Powell RM, Puddicombe SM, Holgate ST. Airway
remodeling in asthma. New Insights. J Allergy Clin Imunol 2014.;111(2).
Available from http//www.mosby.com/jaci.
9. Barnes PJ, Chung KF, Page CP. Inflammatory Mediators of Asthma.
Pharmalocogical Reviews 2015; 50 (4): 515-96.

53

You might also like