You are on page 1of 16

I.

Sebut dan jelaskan 4 (Empat) instrumen Hak Asasi Manusia


II. Jelaskan bagaimana HAM dalam pandangan ediologi di Indonesia
III. Jelaskan meenurut anda mengapa terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia

1. Pancasila = sebagai dasar negara secara tersirat telah memuat HAM

a) Sila pertama = jaminan kemerdekaan beragama.

b) Sila kedua = pengakuan martabat manusia, HAM, dan


kemerdekaan manusia.

c) Sila ketiga = kebebasan menikmati hak asasi tanpa hambatan sedikitpun.

d) Sila keempat = pengakuan akan harkat dan martabat manusia.

e) Sila kelima = hak untuk hidup layak, hak memiliki, hak atas jaminan sosial,
dan hak atas pekerjaan dengan sistem pengupahan dan syarat-syarat kerja yang baik
dan layak.

2. UUD 1945

(pembukaan)

a) Kemerdekaan adalah berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa

b) Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

c) Negara memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

d) Negara ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi


dan keadilan sosial.

e) Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan pancasila.

berdasarkan Amandemen ke-2 UUD 1945 jaminan HAM dalam konstitusi Indonesia kini dilengkapi
dalam pasal 28A sampai pasal 28J UUD 1945.

3. UU No. 39 Tahun 1999

Terdiri dari 105 pasal meliputi HAM, perlindungan HAM, pembatasan terhadap
kewenangan pemerintah serta Komnas HAM.

4. UU No 26 tahun 2000

UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM merupakan alternatif penyelesaian


pelanggaran HAM yang berat diluar pengadilan HAM.
5. Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998

a) Hak untuk hidup (pasal 1)

b) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan (pasal 2)

c) Hak mengembangkan diri (pasal 3-6)

d) Hak keadilan (pasal 7-12)

e) Hak kemerdekaan (pasal 13-19)

f) Hak atas kebebasan informasi (pasal 20-21)

g) Hak keamanan (pasal 22-26)

h) Hak kesejahteraan (pasal 27-33)

Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/5024917#readmore

Memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) tanpa ideologi merupakan pekerjaan sia-sia. Ideologi
politik dapat mendorong pemenuhan HAM dan sebaliknya dapat menjadi aral bagi pemajuan hak-
hak asasi. Jika ini argumennya, mengapa tidak kita pikirkan, menjadikan HAM sebagai sebuah
ideologi politik? Kemudian, lingkup batas ‘HAM’ yang mana yang hendak diposisikan sebagai
ideologi?

Tulisan ini akan mengeksplorasi tema ideologi politik dan HAM. Dalam artikel singkat ini akan
mengeksplorasi tema promosi HAM didunia saat ini termasuk di Indonesia. Selanjutnya, artikel ini
hendak mendeskripsikan klaim ideologi politik HAM – terutama yang dibangun oleh elite badan
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan aktivis HAM. Tulisan ini relatif bersifat pembuka untuk
mengetahui: apakah ideologi dan HAM itu saling terpisah satu sama lain; ataukah HAM itu bisa
posisikan sebagai ideologi politik?

Kepentingan menyusun artikel ini lebih ditujukan untuk mendiskusikan dua tema besar tersebut.
Tidak berlebihan jika banyak komentator, menyatakan sekarang kita tinggal di abad HAM.[1]
Sementara, ideologi juga merupakan tema yang hidup hingga sekarang. Bahkan, ideologi, menjadi
konsep yang paling elusive dalam keseluruhan ilmu sosial.[2]

Sebuah alat bantu dalam menyusun artikel ini, yakni buku berisi kumpulan artikel yang diedit Roger
Eatwell dan Antony Wright berjudul ‘Contemporary Political Ideologies’. Dalam buku ini, Eatwell dan
Wright mengkompilasi 10 ideologi politik yang berkembang di abad 20, yakni: (1) liberalism; (2)
conservatism; (3) socialism and social democracy; (4) marxism and communism; (5) anarchism; (6)
nationalism; (7) facism; (8) feminism; (9) ecologism; serta (10) islam and fundamentalism. Kategori
terakhir tidak dimuat dalam edisi pertama. Sementara dalam buku ini, isme hak asasi manusia -
HAMisme (human rightism) – yang menjadi obyek tulisan ini – tidak dimuat sebagai sebuah ideologi
politik.
Dalam pengantar buku tersebut Eatwell menyatakan buku ini berisikan ideologi-ideologi politik yang
dipahami sebagai “a relatively coherent set of values – a set of ‘isms’ which have been, and in most
cases remain, central to the language of post-Enlightement politics.”[3] Dengan demikian, ideologi-
ideologi ini “have a variety of more concrete effects, including both inspiring and constraining
behavior and policy.”[4] Menurutnya, dari sekian banyak pendekatan yang menopang argumen rupa
ideologi, tema ini dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yakni: (1) ideologi sebagai pemikiran
politik (political thought); (2) Ideologi sebagai sistem kepercayaan (beliefs) dan norma-norma
(norms); (3) ideologi sebagai bahasa (language), simbol-simbol (symbols) dan mitos (myths); serta
ideologi sebagai kekuasaan elite (élite power).[5]

Pendekatan tersebut, dalam kalimat Eatwell, “are not entirely exclusive”, namun keempat kategori
tersebut “point to different areas of primary study”.[6] Menurutnya, kategori pertama, studi
diarahkan pada isme-isme besar (great ‘isms’) dan para pemikir utamanya (key thinkers). Kelompok
kedua, berkaitan dengan pandangan orang kebanyakan, yang relatif kurang sistematis. Pendekatan
ketiga, melihat lebih pada diskursus (discourse) dan ikonografi (semiotics). Sementara, pendekatan
keempat, berhubungan lebih pada bagaiman elites mencari dan memastikan dukungan, lewat
beragam cara, seperti represi fisik, media, atau sistem pendidikan.

Selanjutnya, Eatwell menyatakan ideologi-ideologi (ideologi politik) yang dimuat dalam bukunya,
mesti mempunyai seperangkat atribut, yang secara khusus ideologi: “has an overt or implicit set of
empirical and normative views” which are goal-oriented about: (1) human nature; (2) the process of
history; (3) the socio-political structure.”[7]

Karena ‘aturan’ tersebut, maka menurutnya, democracy tidak dapat disebut sebagai sebuah ideologi
politik. Karena alasan sederhana, demokrasi lebih pas disebut sebagai sebuah sistem pemerintahan,
dimana semua ideologi-idologi utama berupaya memonopoli term ‘democracy’.[8]

Jika merujuk pada argument Eatwell tersebut maka ‘democracy’ tidak dikategorikan sebagai ideologi
politik telah mendapat dasar. Namun, bagaimana jika argument tersebut diterapkan pada HAM:
“human rights as an ideology” dan ‘human rightism’ as political ideology”? Pertanyaan semacam ini
memunculkan kontroversi tentunya. Untuk itu, ada baiknya jika dideskripsikan lagi beberapa
rumusan ideologi dan ideologi politik.

Dalam sebuah kamus filsafat (Oxford Dictionary of Philosophy), ideologi dirumuskan sebagai berikut:

“Any wide-ranging system of beliefs, way of thought, and categories that provide the foundation of
programmes of political and social action: an ideology is a conceptual scheme with a practical
application…[9]
Eatwell sendiri, mendefinisikan ideologi politik (political ideology) yang digunakan untuk
mendeskripsikan ‘ism’, dalam bukunya, sebagai ideologi politik:

“A political ideology is a relatively coherent set of empirical and normative beliefs of thought,
focusing on the problem of human nature, the process of history, and socio-political arrangement. It
is usually related to a programme of specific short run concern. Depending on its relationship to the
dominant value structure, an ideology can act as either a stabilizing or radical force. Single thinkers
may embody the core of an ideology, but to call a single person n ‘ideologist’, or ‘ideologue’, would
normally be seen as pejorative. The term of ‘political philosopher’ or ‘political theorist’, therefore,
seems more appropriate for a thinker capable of developing a sophisticated level of debate. Political
ideologies are essentially the product of collective thought. They are ‘ideal types’, not to be
confused with specific movement, parties or regimes which may bear their name.”[10]

Sistem kepercayaan (beliefs) dan pola pikir (thought) tersebut, merujuk, Raymond Williams,
dibedakan kedalam bentuk-bentuk formasi ideologi, yakni: (1) “residual” ideological formations,
yakni rupa-rupa ideologi yang saling bergantian mendominasi, namun tetap bersiklus dalam
beragam cara; (2) “emergent” ideological formations, yakni ideologi-ideologi baru, yang sedang
berproses memantapkan pengaruhnya (3) “dominant” ideological formations, yakni ideologi – yang
oleh Louis Althuser diistilahkan sebagai “ideological state apparatuses”; seperti, sekolah (schools),
pemerintah (government), polisi dan militer.[11]

Hak Asasi Manusia (HAM)

Sebagai kata benda (noun), hak (right) dapat diartikan secara abstrak (an abstract sense) dengan
makna keadilan (justice), sesuatu yang secara etik dianggap benar (ethical correctness) atau
disejajarkan artinya dengan norma hukum (rules of law) atau prinsip-prinsip dasar moralitas
(principles of marals). [12] Selanjutnya, secara konkret (a concrete sense), berarti kekuasaan
(power), keistimewaan (privilege), atau tuntutan (demand) yang inheren dimiliki seseorang dan
incident dengan yang lain; dimana hak secara umum dapat diartikan sebagai “powers of free action”.
[13] Dalam bahasa hukum, istilah hak, didefinisikan sebagai: “a capacity residing in one man of
controlling, with the assent and assistance of the state, the actions of others.”[14] Sementara, hak
(right) sebagai kata sifat, berarti kebenaran moral, sejalan dengan prinsip-prinsip etika atau norma
hukum positif. Hak (rights) sebagai kata sifat, menjadi lawan kata dari unjust, wrong dan illegal.[15]

Merujuk definisi dari Black’s Law Dictionary tersebut, tentu tidak memadai untuk menjelaskan apa
yang menjadi arti dari “human rights” (hak asasi manusia). Namun pengertian dalam kamus hukum
ini, berguna bagi kita untuk, paling tidak, melihat praktek-praktek pemenuhan HAM, yang oleh
banyak kalangan, menggunakan prosedur hukum. Dengan memakai logika dalam kamus ini, maka
HAM dapat diartikan kemampuan sesorang untuk melakukan kontrol prilaku aparat Negara (dan
pelaku Non-Negara), dengan persetujuan dan bantuan Negara. Paling tidak, definisi seperti ini
diadopsi dalam beragam norma dan standar internasional HAM, dimana dinyatakan bahwa
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab Negara, terutama
Pemerintah.[16]

Batas lingkup saat ini, agaknya sudah berakhir, di meja para anggota Komite yang dibentuk oleh
perjanjian internasional HAM. Salah satu fungsi Komite ini yakni mengelaborasi definisi dan ruang
lingkup hak-hak asasi yang dimuat dimuat, dikategorikan dan diatur dalam pasal-pasal dalam
perjanjian internasional kovenan dan konvensi HAM.[17] General Comment dan General
Recommendation yang dirumuskan oleh masing-masing Komite, merupakan versi formal penjelasan
pasal-pasal dalam perjanjian internasional HAM. Secara formal, penjelasan inilah yang kemudian
lebih dirujuk sebagai referensi bagi banyak aktivis HAM atau jurist, bahkan apparatus Negara Pihak.

Dalam sejarahnya, banyak pemikir yang dianggap punya kontribusi untuk menjelaskan definisi dan
batas lingkup HAM – dan juga mengevaluasi dan mengajukan kritik terhadap konsep HAM. Patrick
Hayden, membagi kategori para pemikir ini mewakili empat persepektif.[18] Perspektif HAM klasik,
diwakili para pemikir seperti Plato, Aristoteles, Cicero, St. Thomas Aquinas, dan Hugo Grotius.
Perspektif kedua: perspektif modern, diwakili para pemikir antara lain: Thomas Hobbes, John Locke,
Jean-Jacques Rousseau, Edmund Burk, Thomas Paine, Mary Wollstonecraft, Immanuel Kant, Jeremy
Bentham, Karl Marx, dan Johan Stuart Mill. Selanjutnya, Hayden, mengkategorikan para pemikir
yang mewakili perspektif kontemporer, antara lain H.L.A. Hart, Maurice Cranstaon, Joel Feinberg,
Thomas W. Pogge, Martha C. Nussbaum, Richard Rorty dan Jacques Derida.

Dari Heyden, ketiga perspektif itu mewaliki perspektif Barat (Western). Selanjutnya, perspektif Non-
Barat, diklasifikasikan Heyden diwakili oleh ajaran dan tulisan Confusius, Mo Tzu, Buddha, Dalai
Lama, dan para pemikir seperti Kwasi Wiredu dan Abdullahi Ahmed An-Naim.

Bagaimana persepektif para pemikir Indonesia? Tentu beragam. Namun kecendrungannya, aktivis
HAM – terutama dari kalangan aktivis Organisasi Non-Pemerintah (NGOs) dan Jurist, memakai
perspektif PBB untuk mendeskripsikan dan mengemukakan batas lingkup HAM. Lebih dalam,
perspektif HAM di Indonesia cenderung mentok di jurist, karena dari sekian kasus, para petani justru
lebih percaya kepada NGOs yang program-programnya mengerjakan advokasi hukum, termasuk
beracara di Pengadilan, ketimbang para korban petani mempercayakan penyelesaian kasus lewat
sebuah Partai Politik, atau membangun Partai Politik dan organisasi revolusioner lain secara mandiri
dengan tujuan untuk mencapai tujuan pencapaian kesejahteraan, termasuk menjalankan agenda
pembaruan agraria.

Dari sisi praktik HAM, kasus Bulu Kumba, merupakan pelajaran bagi konsep HAM. Hak atas tanah
merupakah HAM. Beberapa waktu lalu, sejumlah petani Bulu Kumba, Sulawesi Selatan, ditangkap
aparat kepolisian. Keluarga para petani kemudian banyak mengungsi. Penangkapan ini menjadi
ujung dari konflik pertanahan antara petani dengan korporasi internasional PT London Sumatra.
Masing-masing pihak mengklaim punya hak atas tanah yang disengketakan.
Konflik tanah tersebut, cuma mewakili satu kasus, dari ribuan kasus yang lain. Yayasan LBH Indonesia
menerima pengaduan kasus tanah dari masyarakat, utamanya keluarga petani mencapai ratusan
kasus pertahun.[19] Tahun 1995 tercatat 366 kasus; tahun 1996 sebanyak 352 kasus; tahun
berikutnya 455 kasus; tahun 1997 dan 1998 masing-masing 553 dan 577 kasus. Dari ribuan kasus
tanah selama periode 1995 – 1998, muncul juga konflik tanah yang mengajukan hak atas tanah
dengan konsep kepemilikan komunal bukan individual. Ketiadaan organisasi revolusioner atau Partai
Politik yang beranggotakan para petani dan intellectual organic yang bersimpati pada perjuangan
petani, menyebabkan gerakan reclaiming tanah macet dipenghujung tahun 2001. Situasi yang sama,
juga dirasakan para buruh.

Ideologi HAM sama dengan Ideologi PBB?

Sejak diadopsinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 1948 oleh PBB, badan supra-
nasional ini secara sistematis mempromosikan perlindungan dan pemenuhan HAM disemua penjuru
dunia. Tentu saja definisi-definisi ideologi tidak menjadi pokok bahasan utama dalam badan-badan
PBB yang berkaitan dengan pemenuhan HAM. Namun demikian, paling tidak sejak dekade 60-an,
muncul pernyataan HAM merupakan sebuah ideologi bagi PBB. De Mello, Komisioner Tinggi HAM
PBB pernah mengutip pernyataan Abdul Rahman Pazhwak, Presiden Majelis Umum PBB, yang
menyatakan “if the United Nations could be said to have any ideology, it must be that of human
rights”[20]

Lewat Badan PBB, pertumbuhan norma dan standard PPB tentang HAM sangat subur: deklarasi,
perjanjian (treaties) baik covenant maupun convention; rencana serta platform aksi, dan seterusnya.
Bahkan, seorang komentator menyebut saat ini sebagai ‘abad hak asasi’ (the age of rights). PBB
boleh dikatakan tengah mendorong sebuah ide HAM yang universal. Bukan hanya dilakukan
apparatus PBB, promosi dan perlindungan HAM universal, yang sekarang dikerjakan jutaan, bahkan
milyaran orang, termasuk di Indonesia. Apakah gejala ini bisa disebut dengan proses pembentukan
HAM sebagai sebuah “ideology”?

Dokumen UDHR dapat dikatakan menjadi sebuah dokumen untuk menutup trauma Perang Dunia ke-
2. Penduduk dunia, merujuk pada dokumen ini untuk masuk ke era baru: era perdamaian yang
menjunjung tinggi HAM. Namun era baru ini didampingi dengan facet dari Perang Dunia ke-2,
sebuah era ‘Perang Dingin’ dimana terjadi pertentangan dua ideologi: liberalism dan communism.
Menariknya, kedua system politik ini menyetujui ide HAM, dimana pada 1966, General Assembly –
yang beranggotakan negara-negara dari kedua blok ini – menyetujui diadopsinya dua perjanjian: the
international covenant on civil and political rights (ICCPR) dan the international covenent on
economic, social and political rights (ICESCR).

Bubarnya Uni Soviet pada 1991, kemudian, membuka era baru perkembangan promosi dan
perlindungan HAM, dimana PBB melaksanakan seri konferensi dunia. Dimulai pada 1992, di Rio de
Janeiro (UN Conference for Environment and Development); pada 1993 di Vienna (UN Conference
on Human Rights); Di Kairo pada 1994, the World Summit for Society Development; setahun
kemudian, the Fourth World Conference on Women di Beijing; pada 1996 di Istanbul dilaksanakan
the Habitat Conference; the Food Sumit pada 1996 di Roma, hingga the World Summit on
Sustainable Development di Johannesburg pada 2002.

Merujuk pada perkembangan tersebut, Shulamith Koenig, Direktur Eksekutif Gerakan Rakyat untuk
Pendidikan Hak Asasi Manusia (PDHRE) pernah menyatakan proses tersebut pada dasarnya telah
mendorong kelahiran sebuah ideologi politik baru di abad ke-21. Ideologi baru ini tidak lain
HAM.[21] Koenig merefer definisi ideologi dari Webster’s Dictionary, yakni: “a systematic body of
concepts about human life or culture; the integrated assertions, theories that constitute a
sociopolitical programme.”

Dalam tulisannya, Koenig menyatakan dirinya sadar betul memasuki sebuah zona berbaya (danger-
zone) mendiskusikan HAM sebagai sebuah ‘political ideology’. Salah satu bahaya, menurutnya,
istilah ‘idology’ dan ‘political’ dapat menciptakan hambatan yang tak perlu bagi realisasi HAM dan
membatasi kemampuan untuk mengintrodusir pendidikan HAM (human rights education) dalam
semua sektor masyarakat.

Koenig menyatakan, ideologi HAM dikonstruksikan dengan bertahap dan didefinisikan secara jelas.
Norma dan standard HAM ditopang oleh filsafat, yang menurut Koening sebagai ‘ideology of hope’.
Ideologi ini, agaknya yang dianut oleh PBB dan NGOs. Deretan norma dan standar internasional
tentang HAM yang diadopsi PBB dan ditandatangani Negara Pihak menyediakan dasar bagi aksi
komprohensif dan mobilisasi melawan ancaman bagi human dignity and security.

Membaca tulisan Koenig, untuk selanjutnya, dipersandingkan dengan tulisan Eatwell yang berisikan
parameter sebuah ideologi, maka memang klaim HAM sebagai ideologi bisa saja muncul,
sebagaimana kompilasi Eatwell yang memuat feminism, ecologism, atau islam/fundamentalism
sebagai rupa-rupa ideologi-ideologi politik.

Hamisme Sebagai Ideologi Politik?

Dalam sebuah tulisan, Alwyn Thomson, peneliti pada ECONI menyatakan HAM merupakan agama
baru Western liberalism.[22] Agama ini berkitab UDHR dengan para denominasi: Amnesty
Internasional dan Human Rights Watch. Para advokat dan aktivis HAM sebagai ‘priests’.

Dalam prakteknya, tidak mengejutkan, karena dianggap sebagai turunan dari Western liberalism,
promosi hak-hak sipil dan politik (hak sipol) yang dimuat dalam the International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR) maju pesat ketimbang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob),
terutama terasa diera Perang Dingin. Muncul apa yang diistilahkan sebagai ‘marjinalisasi’ hak-hak
ekosob. Marjinalisasi ini dapat dilihat dari beberapa rupa. Paska Perang Dunia ke-2, Eropa dan
Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi pilar bagi promosi dan perlindungan hak sipil dan
politik dibawah payung kebebasan sipil mengambil sikap pasif terhadap promosi hak ekosob. Hal ini
disebabkan, apa yang dikatakan Marry Robinson, High Commissioner on Human Rights sebagai
alasan-alasan ideologis (ideological reasons).[23]

Secara umum, Eropa Barat dan AS berpegang pada prinsip-prinsip liberalism, individualism, dan
market in economics.[24] sebaliknya Uni Soviet (USSR) menganut Marxism in practice.[25] Ajaran
Marx menekankan prinsip communality dan equality in sense of economics access.[26] Pertarungan
ideologi politik ini dilapangan HAM, menghasilkan dua dokumen terpisah: the International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICCPR (1966) dan the International Covenant on
Civil and Political Rights – ICESCR (1996).

Secara lebih detail, marjinalisasi hak ekosob dapat dilihat dari aspek sistem pengawasan bagi
implementasi hak ekosob. Komite Hak-hak Ekosob (CESR) baru terbentuk pada 1987, sedangkan
Komite Hak Asasi Manusia (CHR) – yang tidak disebut dengan Komite Hak-hak Sipil dan Politik (CPPR)
– telah dibentuk sejak ICCPR berlaku (entered into force) pada 23 Maret 1976. Hingga sekarang,
belum diadopsi optional protocol yang menyediakan prosedur komplain dibawah Kovenan
Internasional Hak Ekosob.[27] Sebaliknya, the optional protocol Kovenan Hak Sipol menyediakan
peluang bagi petisi individu.[28] Marjinalisasi hak ekosob, juga dapat dilihat dari aspek non-treaty
based procedure dalam sistem PPB.

Secara umum, terdapat ketertinggalan elaborasi normative ketentuan yang dimuat dalam Kovenan
Internasional Hak Ekosob. Dukungan internasional termasuk gerak dorong NGOs sejak lama
memfokuskan pada hak sipol.[29] Sebagai konsekwensi, sangat terlihat kesenjangan fasilitas untuk
mempromosikan dan melindungi hak ekosob, jika dibandingkan fasilitas yang dicurahkan pada
promosi dan perlindungan hak sipol. Bagi NGOs yang bekerja di rana hak sipol, dengan dukungan
funding agency atau lembaga donor, dukungan terhadap kerja-kerja promosi hak sipol lebih lebih
besar.

Marjinalisasi hak ekosob juga dapat dibuktikan dari aspek jsutisiabilitas hak-hak ini.[30] Dilevel
domestik, terjadi ketertinggalan promosi dan perlindungan dalam ketentuan-ketentuan konstitusi,
kelembagaan dan prosedur nasional.[31] Pencapaian hak ekosob cenderung menjadi capaian
kebijakan negara, ketimbang diatur sebagai sesuatu yang justiciable.

Beragam fakta marjinalisasi tersebut, menyebabkan banyak problem dilevel teknis dan operasional
untuk mengimplentasikan hak-hak ekosob. Sebagai contoh, masyarakat sipil menghadapi kesulitan
untuk melakukan pengawasan pemenuhan hak ekosob. Lebih lanjut, masalah menjadi kompleks,
saat pelaku kejahatan terhadap hak-hak ini tidak saja pelaku negara (state apparatus) melainkan
juga non-state actors (pelaku non-negara) seperti korporasi.
Problem intellectual clarity, sebagai tambahan, menampilkan bentuk marjinalisasi yang lain.
Kesenjangan pengetahuan muncul saat mendefinisikan dan mengambil batas lingkup hak-hak
ekosob. Sebagai contoh, sebuah laporan konferensi Komisi Internasional Jurist (ICJ),[32]
menunjukkan jurists cenderung tidak mengambil peran aktif dalam mempromosikan pencapaian hak
ekosob. Ketidakperhatian dan prilaku konservatif para jurist ini tentu saja menyulitkan upaya
perlindungan dibidang hukum saat terjadi kejahatan hak-hak ekosob.[33] Problem pengetahuan dan
keterampilan ini memang telah menjadi bagian dari kerja dan perhatian bagi banyak aktivis
NGOs.[34]

Dekade gelap promosi hak-hak ekosob kiranya berakhir. Jurist dan aktivis NGOs saat ini, dapat
dikatakan, bergiat untuk membangun dan mengelaborasi hak-hak ekosob, termasuk memperkokoh
definisi, batasab lingkup, justiciability dan biaya pemenuhan.[35] Faktanya memang cukup
menggembirakan.[36] Demikian juga agen-agen PBB yang bekerja dibidang HAM. Komite Hak
Ekosob PBB, telah mengadopsi General Comment dari serangkaian pasal-pasal yang dimuat dalam
ICESCR, diantaranya pasal 2 ayat (1), 11, 11.1, 12, 13, 14, 17 and pasal 22.[37]

Dilevel regional, di Eropa, pembangunan mekanisme perlindungan hak-hak ekosob, lewat teks
European Social Charter Text dan dokumen yang berkaitan dengan piagam ini. Di Afrika,
perlindungan hak ekosob mempunyai alas dasar beberapa dokumen, diantaranya: the African
Charter on Human and Peoples' Rights, the African Economic Treaty and the Organization of African
(OAU) treaties seperti the Bamako Convention on the Environment and the African Economic Treaty.
Selanjutnya, didataran Amerika, terdapat the American Convention on Human Rights and Additional
Protocol (Protocol of San Salvador).[38]

Dilevel dometik, sebagaimana dinyatakan Sandra Liebenberg, dibeberapa negara, terdapat trend
baru dimana hak-hak ekosob didorong menjadi hak yang justiciable. Hak ekosob diposisikan sebagai
hak yang secara langsung justiciable oleh Konstitusi Afrika Selatan 1996.[39] Beberapa contoh
dimana negara memasukkan hak-hak ekosob kedalam konstitusinya sekaligus sebagai subyek dari
bentuk proses-proses yudisial, seperti Kanada, Finlandia, Jerman, Hungaria, Italia, Lithuania, Selandia
Baru, Portugal, dan bahkan di Amerika Serikat.[40] Selanjutnya, menurut, Rodolfo Stavenbargen, in
Amerika Latin: Argentina, Brazil, Colombia, Nikaragua and Paraguai, merupakan contoh-contoh
negara yang memuat hak-hak budaya penduduk asli (indigenous cultural rights) kedalam konsitusi
atau amandemen konstitusi negaranya.[41]

Lebih jauh, terdapat juga kasus-kasus sebagai bahan yang diperuntukkan bagi referensi dan studi
lanjutan tentang perlindungan hak ekosob lewat proses yudisial. The European court of Human
Rights telah mengeksaminasi kasus-kasus kejahatan terhadap hak ekosob, seperti Lopez Ostra v.
Spain[42]; Belgian Linguistic cases[43]; Salesi v. Italy[44]; Schuler-Zgragegen v. Switzerland. Upaya
mereklaim hak-hak ekosob ini juga penah dilakukan di level domestik, seperti Eldrige v. British
Colombia (Attorney General) in the Canadian Supreme Court,[45] Plyer v. Doe and Golberg v. Kelly
(US Supreme Court),[46] Viceconte, Mariela Cecilia v. Ministry of Health and Social Welvare (the
National Court of Appeals in Argentina),[47] Upaya judicial review tentang hak-hak ekosob di UK[48],
serta putusan di pengadilan tingkat banding Guyana memutuskan hak-hak ekosob dalam konstitusi
negara ini dengan tegas dinyakatan “are not mere political rhetoric” and “justiciable”.[49]

Di Indonesia sendiri, konsep HAM telah diadopsi dalam ketentuan konstitusi, menjadi hak
konstitusional. Pasal 28 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 tentang HAM telah menjadi alas dasar
bagi seluruh peraturan dan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga telah
meratifikasi beberapa perjanjian internasional HAM – table 2.

Tabel 1

Instrumen Internasional HAM Utama yang Telah Diratifikasi Indonesia

Konvensi Yang Diratifikasi

Inkorporasi dalam Hukum Domestik

1. CERD (the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)

UU No. 29/1999

2. CAT (the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment)

UU No. 5/1998

3. CEDAW (the International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women)

UU No. 7/1994

4. CRC (the Convention on the Rights to Child)

Keppres No. 36/1990

5. Hak-hak Perempuan

UU No. 68/1959

Indonesia merupakan sebuah Negara di dunia, yang pada dasarnya mengadopsi ‘universalisme HAM’
yang dimuat dalam perjanjian internasional. Asumsinya, ketentuan-ketentuan dalam CERD, CAT,
CEDAW atau CRC menjadi hukum dilevel nasional. Karenanya, dalam praktik, diperlukan sinkronisasi
perundang-undangan, yang selanjutnya membenarkan dan menjadi acuan bagi segala bentuk
kebiasaan masyarakat dilevel local agar berkesesuaian dengan norma dan standard HAM ini.

Jika dilihat dari sejarah UDHR, promosi universalisme HAM yang dimuat dalam standard dan norma
internasional HAM semakin cepat denyutnya paska bubarnya Uni Soviet. Sebelum lewat tengah
malam, pada 10 Desember 1948, Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi UDHR, dengan 48 Negara
menyatakan setuju; dan 8 Negara bersikap abstain: USSR, Ukrania, Belarusia, Yugoslavia, Polandia
(enam negara blok Komunis); Saudi Arabia dan Afrika Selatan.

Keberatan Arab Saudi terutama pada pasal 16 dan pasal 18 UDHR tentang “equal marriage rights”
dan hak setiap orang untuk bebas (memeluk, dan berpindah) agama. Mengapa hanya Arab Saudi,
sementara Negara yang juga berpenduduk Muslim, seperti Siria, Iran, Turki dan Paksitan
menyatakan persetujuannya terhadap UDHR. Sementara, abstainnya Afrika Selatan, khusunya
berkaitan dengan isu diskriminasi rasial yang dilarang dalam UDHR, dimana rezim Apartheid Afrika
Selatan masih berkuasa pada saat itu. Hal yang menarik, jika UDHR ini merupakan representasi dari
Western Liberalism, seharusnya Blok Uni Soviet menyatakan penolakan, bukan pernyataaan abstain
– karena dalam banyak hak Liberalism berkontradiksi antagonis dengan Marxism dan Communism.

Per 9 Juni 2004 Negara-negara pada 1948 menyatakan abstain terhadap pengadopsian UDHR, yakni
Federasi Rusia – sebelumnya USSR, Saudi Arabia dan Afrika Selatan telah meratifikasi perjanjian-
perjanjian internasional HAM yang utama – sebagaima terlihat dalam table 1.

Tabel 2

Status Ratifikasi Perjanjian Internasional HAM di 3 Negara: Federasi Rusia, Saudi Arabia dan Afrika
Selatan

Per 9 Juni 2004

Sumber: Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights.

Sebagai tambahan Republik Rakyat Cina, juga tercatat telah meratifikasi perjanjian-perjanjian
internasional HAM. Cina telah meratifikasi CESCR (27 Juni 2001), menandatangani CCPR (5 Oktober
1998), serta meratifikasi CERD, CEDAW, CAT dan CRC beserta dua Optional Protokol dibawah CRC.
Sementara Kuba telah meratifikasi CERD, CEDAW, CEDAWOP, CAT serta CRC beserta dua Optional
Protokolnya.
Cina dan Kuba, dua Negara, yang banyak kalangan diklasifikasikan menjalankan Marxism –
Communism, secara formal, menerima perjanjian internasional menjadi hukum positif di Negaranya.
Dilevel masyarakat sipil – para aktivis HAM dari segenap penjuru menyatakan memperjuangkan
HAM, dimana seringkali, definisi HAM dirujuk dari dokumen perjanjian internasional HAM yang
diadopsi PBB.

“Mereka tidak tahu, tapi mereka melakukannya”

Dalam Oxford Dictionary of Philosophy, ideologi juga di rumuskan sebagai berikut:

…(d)erogatorily, another person’s ideology may be thought of as spectacles that distort and disguise
the real status quo….[50]

Selanjutnya, dinyatakan:

“Promises that political philosophy and morality can be freed from ideology are apt to be vain, since
allegedly cleansed and pure programmes depend, for instance, upon particular views of human
nature, what counts as human flourishing, and the conditions under which it is found.[51]

Merujuk Slavoj Zizek, definisi yang paling dasar dari ideologi, diambil dari frase dalam tulisan Marx,
“Sie wissen das nicht, aber sie tun es" (“mereka tidak tahu, tetapi mereka melakukannya”).[52]
Definisi tersebut pada dasarnya merumuskan ideologi sebagai sebuah false ideas dimana ideologi
diletakkan sebagai “other of science” – atau dalam kamus diatas diistilahkan “…as spectacles that
distort and disguise the real status quo”. Menurut Eatwell, kerja Engels yang mengajukan argument
‘false consciousness’ – yang kemudian menjadi kerja utama bagi Marxist.[53] Kesadaran palsu ini
merujuk pada situasi atau pandangan sosial, yang menopang sebuah sistem tertentu. Sebagai
contoh dari kesadaran palsu, antara lain dinyatakan Eatwell, dengan mengangap ‘Negara Demokrasi
Liberal’ adalah ‘netral’: dengan kata lain, percaya bahwa individu dan kelompok mempunyai
persamaan didepan hukum, aparat Negara tidak melayani kepentingan-kelas, dan seterusnya.
Karenanya, bagi Marx dan Engels, hukum mempunyai tujuan utama bagi perlindungan kapitalism
dan kepemilikan, dimana keduanya merupakan corak utama dari Negara Demokrasi Liberal.

Dengan demikian, bagaimanakah mendamaikan elemen-elemen Western Liberalism yang disadur


oleh pasal-pasal dalam perjanjian-perjanjian internasional HAM dengan elemen-elemen Marxism
dan Consevatism, sebagai ideologi politik residual. Upaya untuk mendamaikan isme lain, antara
agama dan sekularisme, pernah dilakukan Abdullahi A. An-Na’im, dalam konteks pemenuhan dan
pemajuan HAM. Namun, An-Na’im dalam tulisannya memposisikan HAM, agama dan sekularisme,
masing-masing sebagai paradigma.
Hak asasi manusia, didefiniskan An-Na’im, sebagai: “hak yang bersifat universal yang melekat atas
semua manusia sesuai dengan hak mereka sebagai manusia, tanpa ada perbedaan dengan alasan
apapun seperti ras, jenis kelamin, agama, bahasa, atau kebangsaan”.[54] Menurut, Na’im, kata kunci
dalam pengertian partikular ini, adalah universalisme. An-Na’im dalam tulisannya, mengajukan
argumentasi adanya sinergitas antara HAM, agama dan sekularisme, dimana ketiganya, saling
bergantung. Hak asasi manusia, memerlukan keduanya untuk mencapai dan memenuhi
tuntutannya.

Argument An-Na’im yang menjelaskan HAM sebagai paradigma, bisa dipakai, untuk menjelaskan
mengapa Cina dan Kuba, dalam level praktik, juga menandatangai atau meratifikasi beberapa
perjanjian-perjanjian internasional HAM. Dengan menggunakan paradigma HAM, lebih lanjut, ada
benarnya jika ada pendapat baik liberals dan para penentangnya, walaupun banyak berbeda
premise, menyetujui sebuah keperluan kerangka kerja yang universal dan plural, dimana setiap
individu dapat hidup tanpa harus membunuh dan merepresi individu yang lain. Faktanya, dalam
hukum internasional HAM, Negara Pihak, diberikan peluang untuk melakukan aksesi dan reservasi
terhadap pasal-pasal dalam perjanjian internasional. Prosedur aksesi dan reservasi ini, walaupun
banyak dikritik, boleh jadi sebagai upaya mendamaikan partikularisme.

Dari uraian tersebut, jika klaim HAM sebagai sebuah “ideologi politik” maka ideologi ini tengah
berkembang dan meningkat pengaruhnya. Lebih jauh, problem yang muncul: dimanakah HAM,
sebagai ‘ism’ atau HAMism, ditaruh dalam spektrum politik. Kalau hak asasi manusia tidak pantasi
diklaim sebagai ideologi lalu apakah hak asasi manusia hanya sebatas paradigma? Semua pembaca
mendapat undangan untuk menanggapinya.*****

Mengapa terjadi pelanggaran HAM

HAM sendiri memiliki arti sebagai Hak Asasi Manusia. Dimana HAM adalah sebuah prinsip dan juga
norma yang dimana tergambarkan sebuah standar terhadap perilaku dari seorang manusia yang
dimana hal tersebut berada di hukum negara dan internasional.

Pelanggaran HAM dapat dikatan dimana sebuah pelanggaran maupun sebuah hal yang dilakukan
terhadap seseorang maupun sekelompok dari orang-orang yang dimana dilakukan sebuah tindakan
yang secara sengaja maupun tidak sengaja.
Kemudian, apa yang menyebabakan terjadinya sebuah pelanggaran HAM? Terdapat dua jenis faktor
yang dimana menjadi penyebab dari pelanggaran HAM itu sendiri:

1. Faktor Internal

Faktor Internal memiliki arti dimana dari seseorang maupun dari sekelompok orang yang dimana
melakukan sebuah tindakan terhadap pelanggaran HAM yang dimana pelanggaran HAM tersebut
berasal dari dirinya sendiri.

Sebagaimana contoh dari faktor internal itu adalah:

- Adanya sikap egois

- Memiliki tingkat kesadaran yang rendah terhadap HAM yang dimana tidak ada pada dirinya sendiri
dan juga pada lingkungan yang ada disekitarnya.

- Tidak adanya sikap toleransi

2. Faktor Eksternal

Pada faktor eksternal, pelanggaran HAM terjadi pada seseorang atau pada sekelompok orang yang
dilakukan oleh mereka yang dimana hal tersebut berada pada diluar dari diri manusia itu sendiri.

Sebagaimana contoh dari faktor eksternal itu adalah:

- Melakukan penyalahgunaan terhadap penggunaan teknologi


- Mengikuti bujukan dari teman-teman yang dimana untuk mealkukan kegiatan penyalahgunaan
terhadap kekuasaan.

- Terjadinya kesenjangan sosial.

Pelajari juga:

- Aturan hukum HAM brainly.co.id/tugas/9936699

- HAM yang dideklarasikan PBB pada thaun 1948 adalah brainly.co.id/tugas/9851877

- HAM dan lingkungan dalam wawasan global merupakan brainly.co.id/tugas/9751911

Kelas : 7

Pelajaran : PPKN

Kategori : Hak asasi manusia

Kata Kunci : Pelanggaran, HAM, Manusia

4.7

20 pilih

TERIMA KASIH

45

Komentar tidak puas? sampaikan!

stevenjulianto1 Jenius
- Kurangnya kesadaran masyarakat akan hukum

- Rendahnya kesadaran manusia

- Tidak ada rasa toleransi,empati maupun perikemanusiaan

- Tidak paham akan adanya HAM

Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/3164708#readmore

You might also like