You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara konstitusional, yaitu Negara yang dibatasi oleh
konstitusi, merupakan ciri khas dari negara hukum. Menurut Montesquieu (1950)
dengan trias politica yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, sehingga tidak ada lagi
yang dominan dalam menjalankan pemerintahan, seperti eksekutif dalam menjalankan
kebijakannya selalu dipantau oleh legislatif yang di Indonesia disebut Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Selain fungsi legislatif, DPR juga mempunyai fungsi lain
yaitu fungsi anggaran dan pengawasan. DPR dengan fungsi pengawasan yaitu suatu
kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan negara sesuai dengan
rencana. Menurut UUD 1945pasal 20A ayat 2, dimana hak DPR adalah hak interpelasi,
hak angket dan hak menyatakan pendapat. Menurut Max Boboy (1997), menyatakan
hak angket atau hak anggota badan legilatif untuk mengadakan penyelidikan terhadap
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Dalam hal ini DPR dimungkinkan dapat mempergunakan hak angketnya
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan salah satu lembaga
pemerintahan Indonesia.
Menurut UU No. 30 Tahun 2002 pasal 3, Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Latar belakang pembentukan
KPK adalah TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih
dan Bebas KKN dan di akhiri oleh UU No. 30 Th. 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dikaitkan dengan hukum tata Negara, pengawasan DPR
kepada KPK berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya
penyelanggaraan Negara oleh DPR sesuai dengan hukum yang berlaku (Sri Soemantri
dkk, 1993). DPR dapat mengoreksi kegiatan lembaga kenegaraan lainnya melalui
pelaksanaan berbagai hak DPR. Tujuannya adalah meluruskan kebijakan atau
pelaksanaan kebijakan yang menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga
kebijakan dan pelaksanaannya sejalan dengan tolak ukur tersebut. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi Pasal 184 ayat (4) UU MD3, usul hak
menyatakan pendapat menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat
persetujuan dari Rapat Paripurna yang dihadiri paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua
pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir. Dalam hal DPR menerima usul hak
menyatakan pendapat, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang terdiri atas
semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR. Pansus melaporkan pelaksanaan
tugasnya kepada Rapat Paripurna DPR paling sedikit 60 hari sejak dibentuknya Pansus.
Rapat Paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan Pansus. Dalam hal Rapat
Paripurna DPR memutuskan menerima laporan Pansus terhadap materi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan huruf b UU MD3, DPR menyatakan
pendapatnya kepada Pemerintah
DPR dalam menjalankan tugas pengawasannya kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menjadi sorotan masyarakat ketika dianggap menjadi sasaran
pelemahan oleh DPR. Fenomena tersebut menjadi kontroversi dikarenakan KPK
dianggap lembaga independen yang berhasil menangani persoalan korupsi di Indonesia
saat ini. Apresiasi masyarakat tercermin ketika muncul penggunaan Hak Angket dalam
Panitia Angket DPR terhadap KPK muncul penolakan antara lain oleh 357 profesor dari
berbagai perguruan tinggi di Indonesia (Sanhari Prawiradiredja, 2017). Menurut Altileri
Dahlan (2017), masih banyak ditemukan masalah yang ada didalam mekanisme KPK
melakukan pemberantasan korupsi, antara lain prosedural dan kinerjanya yang kurang
baik, hal tersebut didukung pernyataan Prof. Yusril Ihza mahendra dalam kutipan di
acara TV swasta “ DPR bisa meng angket KPK dikarenakan KPK dibentuk berdasarkan
UU bukan UUD”. Tujuan pembentukan Pansus KPK adalah untuk memperbaiki kinerja
KPK, namun menurut Prof. DR. Mahfud MD seorang pakar hukum tata Negara yang
menyatakan KPK merupakan lembaga independen menurut UUD dan tidak bisa
dibentuk panitia khusus, pansus KPK akan melemahkan kinerja KPK dalam menindak
lanjuti masalah korupsi E-KTP.
Dari pernyataan diatas, tugas DPR adalah mengawasi pemerintahan dan
lembaga pemerintahan. KPK merupakan lembaga pemerintahan yang independen dan
sedang menjalankan salah satu tugas yaitu penyelidikan korupsi e-KTP yang dinilai
DPR bahwa kinerjanya belum baik, kemudian DPR membentuk Panitia Khusus DPR
untuk KPK. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menyusun study
pustaka yaitu penulisan makalah dengan pola pikir ilmiah dengan judul “Pembentukan
Pansus KPK oleh DPR dalam Kasus Korupsi E-KTP”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Badan
Legislatif dalam UUD 1945 ?
2. Bagaimana Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket
menurut UUD 1945 ?
3. Apa Permasalahan dan Pelaksanaan Hak Angket pada Kasus Korupsi E-KTP ?

C. Tujuan Umum
Berdasarkan uraian perumusan masalah diatas, penulisan makalah ini bertujuan agar
mahasiswa mampu menjelaskan pembentukan Panitia Khusus Komisi Pemberantasan
Korupsi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam kasus korupsi E-KTP.

D. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu :
1. Menjelaskan Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Badan
Legislatif dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945.
2. Menjelaskan Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket
menurut UUD Negara Republik Indonesia 1945.
3. Menjelaskan Permasalahan dan Pelaksanaan Hak Angket pada Kasus Korupsi
E-KTP.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat


1. Definisi
Panitia Khusus DPR menurut UU no 17 tahun 2014 pasal 156 merupakan
alatkelengkapan DPR yang bersifat sementara yang dibuat oleh DPR. DPR
menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan pertimbangan
dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Jumlah anggota panitia khusus
paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
2. Tugas & Tanggung Jawab
Tugas dan tanggung jawab panitia khusus menurut UU no 17 tahun 2014 pasal
158 sebagai berikut :
- Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu
tertentu yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
- Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR.
- Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya
berakhir atau karena tugasnya selesai.
- Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.

B. Sebab Timbulnya Panitia Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Dewan


Perwakilan Rakyat
Panitia khusus terbentuk melaluii mekanisme perundang-undangan legislatif
dimana DPR dengan wewenangnya mengawasi pemerintahan menggunakan haknya
yaitu hak angket untuk melakukan penyelidikan terhadap pemerintah. Menurut UU no
27 tahun 2009, hak angket adalah Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Kemudian panitia khusus DPR untuk KPK dibentuk disaat KPK menangani
kasus korupsi e-ktp yang menyeret nama ketua DPR yang sedang menjabat Setya
Novanto. Secara normatif, panitia khusus diatur dalam UU no 17 tahun 2014 dan DPR
mengatur bahwa panitia khusus dapat dibuat sewaktu-waktu untuk menyelidiki
kebijakan pemerintah yang merupakan lembaga eksekutif yang diduga bertentangan
dengan perundang-undangan. DPR berpendapat bahwa kinerja KPK selama menangani
kasus korupsi perlu diperbaiki, sehingga KPK dapat menangani kasus korupsi lebih
baik lagi.
Didalam Undang-Undang tentang penetapan hak angket tidak menjelaskan
mengenai apa saja yang menjadi alas an untuk memunculkan panitia khusus setelah
pembentukan hak angket. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa hak angket dan
panitia khusus adalah wewenang dan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelaksanaan Undang-Undang dan atau kebijakan pemerintah. Dengan demikian hak
angket dikenakan pada kebijakan pemerintah atau pelaksanaan Undang-Undang oleh
pemerintah.
Undang-Undang No 27 Tahun 2009 membatasinya dengan menambahkan
ketentuan bahwa kebijakan atau pelaksanaan Undang-Undang yang dilakukan memiliki
hubungan ataupun keterkaitan penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat. Kemudian terdapat kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan, yang terakhir ini menjadi ketentuan yang membedakan
antara hak angket dengan hak-hak yang dimiliki oleh DPR salah satunya dalam
pembentukan panitia khusus.

C. Landasan Filosofis Dibentuknya Hak Angket (Panitia Khusus)


Pada zaman kuno, Plato dan Aristoteles yakin, dan keyakinan mereka sejalan
dengan tradisi Yunani, bahwa hokum dan perundangan (nomos dan nomoi) sangatlah
penting untuk menata polis. Sejalan dengan keyakinan tersebut, yakni peraturan yang
sesuai dengan hokum, yang akhirnya dapat membawa keadilan didalam masyarakat
(Carl Joachim, 1969).
Menurut John Locke, hokum membuktikan bahwa hak rakyat untuk menyusun
aturan bersifat primer. Karena tidak ada manusia yang memiliki kuasa untuk
memasrahkan pelestarian diri, kepada kehendak absolut dan dominasi pihak lain yang
sewenang-wenang, maka bila orang yang hendak membawa pada kondisi perbudakan
maka berhak menolak. Dengan demikian masyarakat bisa dikatakan sebagai penguasa
tertinggi yang tidak berada dibawah bentuk pemerintahan apapun.
Walaupun dewan legislatif dan hak-haknya tidak dijelaskan dengan jelas,
namun sistem aturan yang ada pada saat itu telah ada dalam pengaturan hubungan
antara pengawas kekuasaan dengan penguasa. Seperti halnya apabila terjadi
penyelewengan kekuasaan, maka penasihat atau pengawas kekuasaan dapat melawan
atau menghukum atau mendelegasikan (pembentukan panitia khusus) terhadap
perwakilannya. Maka sama halnya dengan panitia khusus dari penggunaan hak
angketyang tujuan awalnya untuk menindak lanjuti bagaimana jalannya pemerintahan
agar tidak terjadi pelanggaran, yang pada akhirnya sesuai dengan sila ke Lima Pancasila
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

D. Contoh Kasus Pembentukan Panitia Khusus DPR dengan Masalah Korupsi


1. DPR Era Reformasi Periode 1999-2004
Menurut Riris (2002) pasca berakhirnya orde baru, desakan demokrasi kehidupan
politik terus berlanjut. DPR menggunakan hak angket dan membentuk panitia
khusus untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hokum yang dilakukan oleh
Presiden Abdurahman Wahid. Adapun hal ini didasarkan pada :
- Berita dimedia masa tentang bobolnya dana milik Yantera Bulog dugaan
sebesar Rp 35 Milyar pada bulan Mei 2000.
- Dugaan penyimpangan pengaliran Dana Bantuan yang diberikan Sultan Brunei
Darussalam sebesar $US 2 juta kepada Presiden Abdurahman Wahid.
Berdasarkan penyelidikan panitia khusus, ditemukan fakta-fakta dugaan
penyimpangan sehingga DPR mengeluarkan memorandum 1 kepada Presiden
Abdurahman Wahid.

2. DPR Era Reformasi Periode 2004-2009


Pada masa ini, panitia khusus hak angket digulirkan untuk menyelidiki kasus-kasus
berikut :
- Kasus penjualan dua tanker milik Pertamina
Menurut Risalah DPR RI rapat Paripurna Ke-16 (2006), diusulkan oleh 23
anggota dari delapan fraksi dari delapan fraksi dan disetujui rapat paripurna
pada 14 Juni 2005 dan panitia khusus melaporkan hasil kerjanya yang
direkomendasiakan oleh panitia khusus menyangkut penjualan dua tanker
berindikasikan korupsi, pemerintah diminta mencari celah penyelamatan
tanker. Dihasilkan rekomendasi akhir dari pansus yaitu (1) KPK atau Kejaksaan
Agung segera mengusut secara tuntas Laksamana Sukardi yang diduga kuat
terlibat dalam kasus penjualan tanker VLCC milik Pertamina. (2) Meminta DPR
RI untuk menugaskan Komisi III DPR RI supaya mendesak KPK atau
Kejaksaan Agung agar segera menuntaskan kasus tanker VLCC tersebut.
- Pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji pada 1429 H
Menurut Risalah DPR RI rapat Paripurna ke 11 (2009), diusulkan 122 anggota
dari tujuh fraksi dan disetujui Rapat Paripurna pada 17 Februari 2009. Pansus
menyelesaikan pekerjaannya pada 29 September 2009, sedangkan rekomendasi
yang dihasilkan sebagai berikut: penyelenggaraan ibadah haji tahun 2001 dan
2006 dinilai gagal, mendesak Presiden memberikan tindakan tegas kepada
Menteri Agama periode 2004-2009, perlunya amandemen Undang-Undang No
13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan Haji, dan perlunya rancangan UU
Lembaga Keuangan Haji.

3. DPR Era Reformasi Periode 2009-2014


Menurut Risalah DPR RI rapat Paripurna ke 14 (2009), pada periode ini, hak
angket digunakan untuk menyelidiki dana Bail Out Pemerintah sebesar 6,7 trilyun
ke Bank Century. Penggunaan hak angket dan pembentukan panitia khusus terkait
dana talangan ke Bank Century bergulir cepat di DPR. Sejak diusulkan oleh 139
anggota DPR, dukungan atas terus membesar. Saat siding Paripurna digelar 1
Desember 2009 tercatat 503 orang dari Sembilan fraksi mendukung hak angket
diputuskan rekomendasi bahwa bailout century menyimpang dan
merekomendasikan agar kepolisian, kejaksaan dan KPK menyelidiki kasus century
ini.
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

A. Penyelidikan Kasus Korupsi E-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi


KPK sedang menyelidiki kasus megakorupsi e-ktp yang merugikan negara 2,3 trilyun
rupiah. Penyelidikan KPK mulai bermasalah dari pencabutan seluruh keterangan di berita
acara pemeriksaan (BAP) Miryam S. Haryani saat menjadi saksi di Pengadilan yang antara
lain menyebutkan pembagian uang untuk sejumlah anggota DPR dalam kasus Korupsi e-
KTP.
Maret 2017, Komisi III DPR kemudian meminta KPK membuka bukti rekaman
pemeriksaan Miryam. KPK menolak permintaan Komisi III DPR tersebut sehingga
Komisi sepakat menggunakan hak angket yang merupakan hak konsitusional dari fungsi
pengawasan untuk memenuhi permintaannya tersebut.
April 2017, Komisi III menggulirkan hak angket untuk mendesak KPK membuka
rekaman pemeriksaan terhadap Miryam. Lima Fraksi menolak hak angket yakni Fraksi
Gerindra, Golkar, PKB, Demokrat, dan PKS. Satu Fraksi mendukung hak angket, yakni
Fraksi Hanura. Empat Fraksi belum bersikap, yakni Fraksi PDI-P, Nasdem, PAN, dan PPP.
Juni 2017, Tujuh Fraksi di DPR telah menyepakati susunan panitia angket termasuk
Fraksi Gerindra dan PAN baru memutuskan bergabung. Terbentuklah susunan pimpinan
pansus angket KPK yaitu Agun Gunandjar Sudara (Fraksi Golkar) terpilih menjadi ketua,
Risa Mariska (Fraksi PDI-P) menjadi wakil ketua, Teuku Taufiqulhadi (Fraksi Nasdem)
wakil ketua, dan Dossy Iskandar (Fraksi Hanura) wakil ketua.
Dari masalah tersebut, kesimpulan terbuat dan DPR membentuk panitia khusus hak
angket untuk KPK yang secara sepihak dibentuk dengan tujuan yang fiktif memperbaiki
KPK.
B. Tugas dan Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;


2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Menurut anggota pansus KPK, kinerja KPK pada akhir-akhir ini masih kurang
maksimal. Mekanisme penangkapan, penggunaan hak penyadapan dan perekrutan anggota
KPK masih belum berjalan dengan baik. Panitia khusus yang dibuat oleh DPR bertugas
untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kekurangan KPK (Altileri Dahlan, 2017).

C. Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Eksekutif dalam
Fungsi Pengawasan
DPR adalah lembaga tertinggi negara di Indonesia yang secara formil dan materil
mewakili rakyat Indonesia dalam sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Ditinjau dari aspek lembaga kenegaraan, menurut UU pasal 20-22 UUD RI tahun 1945,
DPR memiliki tugas dan kewenangan sebagai berikut :
1. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
2. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
3. DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan
4. DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menanyakan pendapat
5. Setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul
dan pendapat, serta hak imunitas
6. Anggota DPR berhak mengajukan usul Rancangan Undang-Undang
7. Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang harus mendapat persetujuan DPR
dalam persidangan yang selanjutnya.
DPR sebagaimana telah disebutkan tentang tugas dan kewenangannya dalam
Undang-Undang Dasar RI 1945 dalam rangka membatasi kekuasaan agar tidak bertindak
sewenang-wenang, rakyat kemudian memilih perwakilannya untuk duduk dalam
pemerintahan (Mariam Budiarjo, 1998).
Dalam rangka menjalankan peran DPR tersebut, DPR dilengkapi dengan beberapa
fungsi yaitu :
a. Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang. DPR disebutkan badan
legislasi memiliki tugas merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas
pembahasan RUU untuk satu masa keanggotaan DPR dan setiap tahun anggaran
dengan menginventrisasi masukan dari anggota fraksi, komisi DPD dan masyarakat
untuk ditetapkan menjadi keputusan baleg.
b. Fungsi anggaran adalah fungsi DPR bersama-sama dengan pemerintah menyusun
Anggran Pendapatan dan Belanja Negara dan harus mendapatkan persetujuan DPR.
Kedudukan DPR dalam penetapan APBN sangat kuat karena DPR berhak menolak
RAPBN yang diajukan Presiden.
c. Fungsi pengawasan adalah fungsi untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang yang
dijalankan oleh pemerintah, khususnya pelaksanaan APBN serta pengelolaan
keuangan negara dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.

D. Tujuan Dewan Perwakilan Rakyat Membentuk Panitia Khusus Komisi


Pemberantasan Korupsi
Komisi III menggulirkan hak angket pembentukan panitia khusus untuk mendesak
KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam. Lima Fraksi menolak hak angket
adalah Fraksi Gerindra, Golkar, PKB, Demokrat, dan PKS. Satu Fraksi mendukung hak
angket, yakni Fraksi Hanura. Empat Fraksi belum bersikap, yakni Fraksi PDI-P, Nasdem,
PAN, dan PPP. Tujuan panitia khusus hak angket harus sejalan dengan tugas yang telah di
atur dalam UU RI No 17 tahun 2014 pasal 159.
Dalam pasal 201 ayat (2) UU No 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD yang berbunyi, "Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia khusus angket yang
keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR". Pasal 199 Ayat (3) UU No 17 Tahun
2017 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, "Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang
dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan
persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir"
Dalam peraturan yang dibuat DPR, tugas panitia khusus tertera pada UU RI No 17
tahun 2014 Pasal 159, yaitu antara lain : (1) Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas
tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. (2)
Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR. (3) Panitia khusus dibubarkan oleh DPR
setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya selesai. (4) Rapat
paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Badan Legislatif dalam
UUD Negara Republik Indonesia 1945
DPR adalah lembaga tertinggi negara di Indonesia yang secara formil dan materil
mewakili rakyat Indonesia dalam sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Ditinjau dari aspek lembaga kenegaraan, menurut UU pasal 20-22 UUD RI tahun 1945.
Dalam hal pembentukan hak angket, DPR sudah melakukan tugasnya secara semestinya
sesuai dengan tugas DPR mempunyai yaitu : 1. fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan, 2. DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menanyakan
pendapat.
KPK sebagai lembaga independen yang masuk kedalam wilayah kerja eksekutif
juga dengan baik menerima hak angket DPR dalam pembentukan panitia khusus. Dimana
tujuan baik DPR untuk memperbaiki KPK disambut dengan baik oleh KPK meskipun
disisi lain akan menghambat kinerja KPK.

B. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket Menurut


UUD Negara Republik Indonesia 1945
Dalam penjelasan mekanisme atau tata cara penggunaan pansus angket sebagai bagian
dari fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan, dimulai dengan adanya
usulan untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu hal atau permasalahan yang dapat
diajukan oleh sekurang-kurangnya 25 orang anggota DPR. Usulan tersebut disampaikan
secara tertulis kepada pimpinan DPR yang disertai dengan daftar nama dan tanda tangan
pengusul serta nama fraksinya dan dinyatakan dalam suatu perumusan secara jelas tentang
hal yang diselidiki yang disertai dengan penjelasan dan rancangan biaya.
Kemudian didalam rapat paripurna, setelah usulan pengadaan angket diterima, DPR
berhak membentuk panitia khusus. Panitia khusus selanjutnya memberikan laporan tertulis
secara berkala sekurang-kurangnya sekali sebulan kepada pimpinan DPR, kemudian
laporan tertulis dibagikan kepada seluruh anggota dan atas usul sekurang-kurangnya 25
orang anggota tersebut, untuk selanjutnya dibuat laporan berkala yang nantinya menjadi
bahan pembicaraan dan pembahasan dalam Rapat Paripurna, kecuali apabila nantinya
Badan Musyawarah akan menentukan lain (Sebastian dkk, 2005).
Setelah panitia khusus menyelesaikan pekerjaannya, panitia khusus akan memberikan
laporan tertulis kepada pimpinan DPR, kemudian laporan tersebut dibagikan kepada
seluruh anggota. Terhadap pengambilan keputusan tentang laporan panitia khusus tersebut
akan didahului dengan laporan hasil panitia khusus dan pendapat fraksi yang lain yang
berada di DPR, kemudian keputusan tersebut disampaikan kepada Presiden. Secara
normatif, panitia khusus diatur dalam UU no 17 tahun 2014 dan DPR mengatur bahwa
panitia khusus dapat dibuat sewaktu-waktu untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang
merupakan lembaga eksekutif yang diduga bertentangan dengan perundang-undangan
Berdasarkan analisa data diatas, didapatkan data bahwa DPR berhak melakukan hak
pengawasan kepada lembaga eksekutif. KPK merupakan lembaga independen namun
dalam lingkup eksekutif. Hal tersebut sama halnya pada kasus Bank Century yang telah
merugikan negara hingga trilyunan, dimana DPR membentuk panitia khusus angket untuk
menangani kasus Bank Century. Namun pada kasus korupsi e-ktp, DPR membentuk
panitia khusus kepada KPK dimana tuduhan atas kinerja KPK yang kurang baik tidak
terbukti. Dimana kasus yang KPK kerjakan dan dibawa ke meja pengadilan, semua
tersangkanya berubah status menjadi terdakwa. Disi ada indikasi bahwa selain DPR
membentuk pansus angket KPK untuk memperbaiki KPK, ada indikasi bahwa DPR
menghambat kinerja KPK dalam menangani kasus korupsi e-ktp.

C. Permasalahan Hak Angket pada Kasus Korupsi E-KTP.


Pertama, momentum digulirkan pembentukan panitia khusus hak angket kurang tepat.
Ada kekhawatiran pansus dapat melakukan intervensi hukum terkait kasus megakorupsi
e-KTP yang saat ini ditangani KPK. Seperti diketahui, saat ini KPK sedang menyidiki
megakorupsi Kartu Identitas Masyarakat Indonesia yang merugikan negara hampir Rp 2,3
triliun. Sebanyak 49 persen dari total anggaran Rp 5,5 triliun uang APBN menjadi
kompensasi proyek itu untuk dibagi-bagikan ke Kemendagri, anggota DPR dan
keuntungan pelaksana proyek. Selain itu, kerugian secara materil yang cukup besar,
imateril pun dirugikan, karena mandek proyek ini hampir diseluruh kelurahan di Indonesia
belum bisa membuat Kartu tanda penduduk karena dengan alasan tidak tersedianya
blangko KTP dari pusat.
Kedua, landasan usulan dibentuknya pansus angket KPK, tidak sampai merugikan
kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia. Selama reformasi, DPR
menggulirkan panitia khusus hak angket untuk menyelidiki kebijakan-kebijakan
pemerintah yang dirasa merugikan masyarakat banyak.
Ketiga, prosedur pengguliran panitia angket kurang tepat. Merujuk Pasal 199 Ayat (3)
UU No 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, "Usul sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat
paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan
keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR
yang hadir". Seperti diketahui pada saat pembahasan usulan hak angket saat sidang
paripurna (28/4/2017) diwarnai walkout beberapa anggota dewan karena protes sikap
pimpinan DPR yang tidak mengakomodasi interupsi mereka. Dalam hal ini, ada prosedur
digulirkan angket KPK dirasa kurang tepat karena masih ada yang tidak setuju hak angket
KPK ini diketok saat sidang.
Keempat, terdapat kesalahan administrasi. Merujuk pada pasal 201 ayat (2) UU No
17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi, "Dalam hal DPR
menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia
khusus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur
fraksi DPR". Pada akhirnya terbentuk struktur pansus angket KPK ini berisi perwakilan
dari tujuh fraksi saja, yang berarti tidak semua unsur fraksi masuk dalam panitia khusus
yang dimaksud pasal 201 ayat (2) di atas. Maka dari itu terdapat kesalahan administrasi
pada pansus angket KPK.
Kelima, menolak adanya upaya pelemahan KPK melalui angket KPK. Ada
kekhawatiran dengan adanya angket KPK oleh DPR ini menjadi upaya pelemahan KPK.
Digulirkannya panitia khusus hak angket seakan menjadi senjata lain bagi DPR untuk
melemahkan KPK setelah gagal dalam upaya merevisi UU KPK yang sarat unsur
pelemahannya. Selain itu juga bisa mengganggu upaya KPK dalam menangani berbagai
kasus korupsi lain.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil studi pustaka pengamatan dengan alur pikir ilmiah diatas, maka
kesimpulan penulis adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif tertinggi
sudah sesuai dalam melakukan tugasnya yaitu fungsi pengawasan dan penggunakan
panitia angket terhadap eksekutif pemerintahan yang dimana kali ini KPK merupakan
objek lembaga independen namun bekerja dalam wilayah kerja eksekutif. Perbedaan
pendapat menurut Prof. Yuzril Ihza Mahendra dan Prof. Mahfud MD merupakan seni
dalam berpolitik yang di garis tengahi oleh aturan paten Undang-Undang. Namun terdapat
kejanggalan dalam pembentukan panitia khusus angket tersebut dimana momentum
digulirkan pembentukan panitia khusus hak angket kurang tepat. Ada kekhawatiran pansus
dapat melakukan intervensi hukum terkait kasus megakorupsi e-KTP yang saat ini
ditangani KPK. Seperti diketahui, saat ini KPK sedang menyidiki megakorupsi Kartu
Identitas Masyarakat Indonesia yang merugikan negara hampir Rp 2,3 triliun. Sebanyak
49 persen dari total anggaran Rp 5,5 triliun uang APBN menjadi kompensasi proyek itu
untuk dibagi-bagikan ke Kemendagri, anggota DPR dan keuntungan pelaksana proyek.
Selain momentum pembentukan pansus angket, terdapat prosedur pengguliran
panitia angket kurang tepat. Merujuk Pasal 199 Ayat (3) UU No 17 Tahun 2017 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD, "Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih
dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan
lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir". Seperti diketahui pada saat
pembahasan usulan hak angket saat sidang paripurna (28/4/2017)
diwarnai walkout beberapa anggota dewan karena protes sikap pimpinan DPR yang tidak
mengakomodasi interupsi mereka. Menurut penulis, DPR harus lebih arif lagi dalam
mengambil keputusan yang mufakat, sehingga masalah yang sedang ditangani tidak
beranak menjadi masalah baru lagi.

B. Saran
Dari hasil studi pustaka pengamatan dengan alur pikir ilmiah, penulis merasa perlu
untuk menyampaikan saran-saran sebagai berikut :
1. Menurut penulis, DPR harus lebih arif lagi dalam mengambil keputusan yang mufakat,
sehingga masalah yang sedang ditangani tidak beranak menjadi masalah baru lagi.
2. DPR hendaknya agar pelaksanaan peraturan tentang pembuatan pansus angket lebih
baik lagi. Terutama tentang proses mekanisme pengawasan terhadap lembaga
independen.
3. DPR harus membuat aturan lebih jelas lagi tentang pengawasan lembaga independen
seperti KPK, agar hal perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum tidak bertentangan
satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA

Budiharjo, M. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan XIX. Jakarta: Dian Rakyat
Dahlan, A. 2017. News: Pansus Hak Angket. Sindo News
Joachim, C. 1950. Constitutional Government and Democracy. Chichago: The University of
Chicago Press.
Joachim, C. 1969. Filsafat Hukum. Chichago: The University of Chicago Press.
Kahtarina, R. (2002). “melalui hak angket melalui perjalanan sejarah DPR RI dalam berbagai
perspektif tentang memorandum kepada presiden: suatu studi terhadap pemberian
memorandum DPR RI kepada Presiden Abdurahman Wahid”. Jakarta: Pusat Pengkajian
dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral DPR RI.
Montesquieu, F., Carl, J. 1950. Constitutional and Democracy. (especially chap. I and the
literathure given there)
Prawiradiredja, S. 2017. Laporan Hasil Akhir Penelitian Dosen Program Studi: Analisis
Pemberitaan Operasi Tangkap Tangan KPK. Surabaya: Universitas dr. Soetomo
Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Rapat Paripurna Ke-16. Masa Sidang
III. Tahun Sidang 2006-2007.
Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Rapat Paripurna Ke-11. Masa Sidang
I. Tahun Sidang 2009-2010.
Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Rapat Paripurna Ke-14. Masa Sidang
II. Tahun Sidang 2009-2010.
Sebastian, C. dkk. 2005. Ilmu Negara. Edisi III. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Soemantri, S, dkk. 1993. Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30
tahun kembali ke UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
LAMPIRAN

Topik : pansus KPK

Fenomena : pembentukan pansus KPK oleh DPR dalam kasus korupsi e-ktp

Masalah : pembentukan pansus KPK oleh DPR dalam kasus korupsi e-ktp
belum dapat dijelaskan

Tujuan umum : menjelaskan pembentukan pansus KPK oleh DPR dalam kasus korupsi e-ktp

Kerangka konsep :
KPK menyelidiki kasus korupsi E-KTP

DPR menganggap tugas & kinerja KPK kurang baik

DPR dengan peran & wewenang hak legislatifnya


yaitu hak pengawasan dengan hak angket untuk menyelidiki KPK

DPR membuat pansus KPK bertujuan memperbaiki KPK

Tujuan khusus :
4. Menjelaskan Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Badan
Legislatif dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945.
5. Menjelaskan Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket
menurut UUD Negara Republik Indonesia 1945.
6. Menjelaskan Permasalahan dan Pelaksanaan Hak Angket pada Kasus Korupsi
E-KTP.
Rumusan masalah :
4. Bagaimanakah Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Badan
Legislatif dalam UUD 1945 ?
5. Bagaimana Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket
menurut UUD 1945 ?
6. Apa Permasalahan Hak Angket pada Kasus Korupsi E-KTP ?

Manfaat
a. Manfaat teoritis
Hasil pembahasan ini dapat digunakan sebagai landasan pengembangan ilmu
pengetahuan tentang pansus KPK oleh DPR.
b. Manfaat praktis
 Mahasiswa
Diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi guna menambah
wawasan dan meningkatkan pengetahuan mahasiswa dengan pemikiran ilmiah
sebagai dasar.
 Bagi tenaga medis
Sebagai bahan belajar salah satu tugas perawat tentang advokasi bahwa tenaga
medis khususnya perawat, juga harus memiliki pandangan tentang hokum.

Judul :

Pembentukan Panitia Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dalam kasus korupsi E-KTP.

You might also like