Professional Documents
Culture Documents
E. Kesimpulan
Pendidikan karakter merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang
dibutuhkan untuk menjawab kecenderungan perilaku negatif yang marak terjadi saat ini.
Di jenjang pendidikan tinggi, pendidikan karakter yang bersifat perilaku
mengajarkan mahasiswa mengidentifikasi tingkah laku yang tepat dalam menjalankan
nilai tertentu (Goldberg, 2003).
Menurut Peterson and Seligman (2004) karakter terbagi atas kekuatan dan
keutamaan yang membentuknya. Ada 6 keutamaan karakter yang secara universal
dimiliki oleh manusia yang kemudian diuraikan lagi ke dalam 24 kekuatan karakter yang
di dalamnya. Keutamaankarakter menjadi kecenderungan yang dimiliki seseorang
dengan berbagai yang menyusunnya. Kekuatan karakter ini muncul dalam pikiran,
perasaan dan tindakan seseorang yang kemudian dapat dikenali sebagai kekhasan
orang tersebut. Kekuatan karakter ini kemudian membantu seseorang untuk
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Khusus di Universitas Indonesia telah ditetapkan adanya 9 nilai yang dijunjung
yang harus dilibatkan dalam seluruh kehidupan civitas akademika UI, termasuk
mahasiswa, pada kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler. Dengan adanya
kesembilan nilai yang diharapkan dimiliki oleh civitas akademika UI, dapat
membentuk karakter yang baik yang berguna bagi bangsa dan masyarakat Indonesia.
Bab II. Filsafat
A. Pengertian Filsafat
Secara etimologi, filsafat berasal dari dua kata Yunani philo yang berarti “cinta”
dan sophia yang berarti “kebijaksanaan”. Oleh karena itu, filsafat yang berasal dari
kata philosophia berarti cinta kebijaksanaan dan kata filsuf dapat diartikan pencinta
kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang dimaksud adalah kemampuan untuk memahami
hakikat (true nature) dari semesta (universe) dan eksistensi manusia. Filsafat
merupakan sebuah seni untuk bertanya (the art of questioning). Ada dua karakteristik
pertanyaan‐pertanyaan filosofis yang selalu muncul hampir dalam setiap diskursus
filosofis:
1. Apa yang Anda maksud?
2. Apa alasan yang tersedia untuk percaya bahwa klaim ini benar?
2. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat
pengetahuan yang ditelusuri melalui empat pokok, yaitu sumber pengetahuan,
struktur pengetahuan, keabsahan pengetahuan, dan batas‐batas pengetahuan. Dalam
epistemologi terdapat tiga cabang yang lebih spesifik, yaitu filsafat ilmu
pengetahuan, metodologi, dan logika. Ketiganya dijelaskan sebagai berikut.
a. Filsafat Ilmu Pengetahuan
Filsafat Imu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mengkaji
ciri‐ciri dan cara‐cara memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam filsafat ilmu
pengetahuan, yang menjadi objek kajian adalah pengetahuan ilmiah atau ilmu
pengetahuan (science).
b. Metodologi
Metodologi adalah cabang filsafat yang mengkaji cara‐cara dan
metode‐metode ilmu pengetahuan memperoleh pengetahuan secara sistematis,
logis, sahih, dan teruji.
c. Logika
Logika adalah kajian filsafat yang mempelajari teknik‐teknik dan kaidah‐
kaidah penalaran yang tepat. Satuan penalaran dalam logika adalah argumen
yang merupakan ungkapan dari putusan (judgment).
3. Aksiologi
Secara etimologis, aksiologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu axia yang
berarti ‘nilai’ dan logos yang berarti ‘ilmu’, ‘kajian’, ‘prinsip’ atau ‘aturan’. Oleh
karena itu, aksiologi dapat dimaknai sebagai sebuah studi tentang nilai‐nilai. Cabang
filsafat yang termasuk dalam axiologi adalah etika dan estetika.
a. Etika
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan
dengan kebaikan dan perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana
hidup yang baik, orang yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal‐hal yang
baik dalam hidup.
b. Estetika
Kata estetika diturunkan dari kata Yunani Kuno aisthetikos yang berarti to
sense perception, juga diturunkan dari kata aisthanomai yang berarti I perceive,
feel, sense. Oleh karena itu, estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan
dalam menanggapi sesuatu, dalam konteks tertentu bisa indah atau tidak indah.
Filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memahami segala sesuatu
secara kritis, radikal sistematis dan rasional. filsafat mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
Istilah kritis dalam pengertian filsafat berasal dari istilah Latin kritein yang berarti
memilah‐milah dan kritikos yang berarti kemampuan menilai. Dalam konteks ini,
kata itu mengandung dua pengertian tersebut. Berfilsafat berarti memilah‐milah dan
memberi penilaian terhadap objek yang dikaji. Istilah radikal berasal dari kata radix
yang berarti akar. Radikal berarti mendalam; sampai ke akar‐akarnya. Pemahaman
yang ingin diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Asal
kata sistematis adalah systema yang berarti keteraturan, tatanan dan saling
keterkaitan. Dalam konteks ini, sistematis memiliki pengertian bahwa upaya
memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut dan
bertahap, serta hasilnya dmengikuti suatu aturan tertentu pula. Filsafat selalu
memegang keyakinan akan daya argumen dan penalaran. Oleh sebab itu pula, filsafat
tidak bisa dilepaskan dari karakteristik rasional.
B. Kekeliruan Berpikir
Logika tidak hanya terkait dengan penalaran yang tepat tetapi juga terkait dengan
bentuk‐bentuk kekeliruan berpikir. Hal penting yang patut dicatat adalah kekeliruan
berpikir (khususnya nonformal) banyak terjadi dalam kehidupan kita sehari‐hari. Hal
tersebut terjadi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau karena kebiasaan yang
sudah diterima secara umum.
1. Kekeliruan Berpikir Formal
Kekeliruan berpikir formal merupakan sebuah penalaran yang prosesnya atau
bentuknya tidak sesuai dengan dalil‐dalil logika. Secara umum, berikut jenis
kekeliruan berpikir formal:
a. Empat Term (Four Terms)Seperti namanya, kekeliruan berpikir formal jenis
empat term terjadi jika ada empat term yang diikutsertakan dalam silogisme
kategorsis, padahal yang sahih hanya mempunyai tiga term.
b. Term Penghubung Tidak Terdistribusikan (Undistributed Middle Term)
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi di dalam silogisme kategoris yang
term penghubungnya tidak terdistribusikan pada premisnya baik dalam premis
mayor dan/atau premis term minor.
c. Proses Ilisit (Illicit Process)
Perubahan kuantitas term mayor dan/atau term minor yang lebih kecil
pada premis menjadi lebih luas pada kesimpulan di dalam silogisme kategoris.
d. Premis‐premis Afirmatif, Kesimpulan Negatif
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi jika dalam silogisme kategoris
digunakan premis mayor dan minornya proposisi afirmatif, tetapi dalam
kesimpulan digunakan proposisi negatif.
e. Salah Satu Premis Negatif, Kesimpulan Afirmatif
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi jika dalam silogisme kategoris
digunakan salah satu premis mengunakan proposisi negati, tetapi kesimpulan
yang dihasilkan berupa proposisi afirmatif.
f. Dua Premis Negatif
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi jika dalam silogisme kategoris baik
premis mayor dan premis minornya menggunakan proposisi negatif yang
menyebabkan kesimpulan tidak tepat.
g. Afirmasi Konsekuen
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi jika dalam silogisme hipotesis
mengafirmasi konsekuen dalam pembuatan kesimpulan.
h. Negasi Anteseden
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi dalam silogisme hipotesis menegasi
anteseden dalam pembuatan kesimpulan.
i. Kekeliruan Disjungsi
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi dalam silogisme disjungsi yang
mengafirmasi salah satu pilihan, kemudian menyimpulkan bahwa pilihan
lainnya tidak terjadi.
E. Kesimpulan
Pemikiran mengenai etika terus berlanjut dan memiliki banyak percabangan hingga
saat ini. Nyaris di seluruh profesi dan disiplin keilmuan memiliki dimensi etika.
Percabangan pemikiran etika itu terjadi karena kemajuan teknologi dan relasi antara
manusia dan makhluk hidup lain semakin kompleks. Satu hal yang dapat disadari dalam
kajian etika, dunia yang dihadapi tidak bersifat netral dan bebas nilai (value free).
Segala sesuatu yang melibatkan tindakkan memiliki dimensi nilai yang dapat
dipertanyakan kondisi baik atau buruknya.