You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat

beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun

antara lain lupus eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan

penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multi

organ, seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga

rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi

terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut

memiliki patogenesis yang sama.1

Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit

yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian.

Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik,

seperti disregulasi sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang

terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum

diketahui penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat

luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas

pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode

remisi.2

Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis.

Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai

saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang

1
adekuat contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada

penyakit yang bermanifestasi pada kulit.1

Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia

maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan

penyakit ini membutuhkan kerjasama multidisiplin dan dukungan dari

berbagai pihak.3

1.2 Epidemiologi

Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi.

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus

eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi

wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65

tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga

dijumpai pada anak usia 10 tahun.1

Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan

etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan

prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin,

dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus

telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi

dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.4

Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan,

sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan

menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan

rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi

2
penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi

dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.2

SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-

Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah

penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia

yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras

Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita

keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal

yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.1

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Lupus Erythematosus

Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan

dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus

eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh

menyerang jaringannya sendiri.1

Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus.

Kata “lupus” dalam bahasa Latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari

bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai

daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped

malar rash. Tetapi pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari

bahasa Latin, melainkan dari istilah topeng perancis dimana dilaporkan

wanita memakainya untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng ini

dinamakan ”Loup”,yang dalam bahasa perancis berarti serigala atau ”wolf”

dalam bahasa Inggris.3

2.2 Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik

Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi

diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan

faktor lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik

yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human

Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek

4
utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu

juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya

peningkatan autoantibody. 4

Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar

dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa

sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi

genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat

menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau

regulasi sistem imun.3,

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis

Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's

Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)

Ultraviolet B light

Hormon sex

rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1

Faktor diet

Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine;

Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.

Faktor Infeksi

DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri

Faktor paparan dengan obat tertentu :

Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin;

Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a;

5
Interferon-a.

Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :

1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit

mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh

produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu

antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi

kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang

mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit

bereaksi menyerang selnya sendiri.

Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA)

dan (anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks

imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon

inflamasi banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal. 2

2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan

lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA. 2

2.3 Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik

Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis

SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.

6
1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan

resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.

Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan

dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep

bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi

autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi

komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin

(IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor

imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks

dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi

kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu

terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal

membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan

menimbulkan respon imun. 3,4

2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti

radiasi ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-

immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.

Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada

penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara

langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator

yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi

kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita

lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain

7
yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus,

dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. 3,4

3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel

limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik.

Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk

dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk

kompleks imun yang kemudian merusak jaringan. 3,4

Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis

autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis

autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah

antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein,

kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai

korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. 4

Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk,

yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat

juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel

makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis

mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula

autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat

berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin,

sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear

telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat

berperan sebagai penyebab vaskulitis.4

8
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis

ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi

antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam

darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui

pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif

dengan serum penderita lupus.4

Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES

didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang

terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan

aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan

hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi

komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan

terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang

sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).

Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan

aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi. 2

4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun

mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan

penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars

dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi

oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause

dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan

estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES. 2,4

9
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan

hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan

LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone),

LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan

dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan

estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan

postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat

perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi

prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.2,4

2.4 Klasifikasi LES

Kriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh

American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan

dimodifikasi pada tahun 1997. Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan

kriteria tersebut mempunyai sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%.

Meskipun sebagian besar penderita LES mempunyai ANA, namun titer yang

rendah atau moderat mempunyai spesifisitas yang rendah. Sedangkan

penderita yang mempunyai antibodi terhadap dsDNA dan Sm hampir pasti

juga mempunyai ANA.2

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit

dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem

dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang

lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.1

10
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah

5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan

remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat

seperti kontak dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya

golongan sulfa. 1

A. Gejala Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling

sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,

limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau

terus-menerus. 4

B. Gejala Muskuloskeletal

Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa

athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang

paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh

lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan

kaki. 4

Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris,

terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat

responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain

pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament

dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat

timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan

vaskulopati. 4

11
Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan

nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi.

Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan

pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun

kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis

pada SLE.4

C. Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.

1). Lesi Kulit Akut

Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit

berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit

edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam

kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah

pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. 4

12
Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua

daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya

bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang

tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat

sembuh tanpa bekas.5

2). Lesi Kulit Sub Akut

Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.5

3). Lesi Diskoid

Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah

15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5

tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan

13
laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang

disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.5

Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,

telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan

berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri

Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan

atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,

tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel.

Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.5

Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun,

mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada

sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua

DLE terjadi di masa kanak-kanak. 5

4). Livido Retikularis

Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil

14
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema

periungual.4,5

5). Urtikaria

Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah

penyakit tenang secara klinis dan serologis.5

D. Kelainan pada Ginjal

Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus

nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun

pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus

nefritis adalah :

(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis

(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis

(3) Kelas III: focal lupus nephritis

(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis

(5) Kelas V: membranous lupus nephritis

(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis

Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering

ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis

pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.

Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak

sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang

sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai

15
dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan

penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.2,3,4

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)

Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik

dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi

pleura lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan

pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang

adekuat.2,3,4

F. Pneuminitis Interstitial

Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan

sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai

tahap lanjut.4

G. Gastrointestinal

Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri

akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis

intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya

mendapat pengobatan yang adekuat. 2,3,4

H. Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi

jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang

atau kembali normal. 2,3,4

16
I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis

Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus.

Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak.

Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE. 2,3,4

J. Susunan Saraf Tepi

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan

motorik. Biasanya bersifat sementara. 6

K. Susunan Saraf Pusat

Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan

kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan

kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk

mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.

Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid.

Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.6

Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu

psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya

ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya.

Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas

kelainan organik otak.6

Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal.

Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena

17
mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri,

aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis,

neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan

saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara

lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus. 6

L. Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,

Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis

trombositopenia, dan lekopenia. 2,3,4

M. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan

kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium

pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal. 2,3,4

2.7 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis SLE

Secara umum anjuran pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah

Analisis darah tepi lengkap (darah rutin dan LED), Sel LE, Antibodi

antinuclear (ANA), Anti-dsDNA (anti DNA natif), Autoantibodi lain (anti

SM, RF, antifosfolipid, antihiston, dll), Titer komplemen C3, C4 dan CH50,

Titer IgM, IgG, IgA, krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis (VDRL),

Uji Coombs, Elektroforesis protein, Kreatinin dan ureum darah, Protein urin

18
(total protein dalam 24 jam), Biakan kuman, terutama dalam urin dan foto

rontgen dada. 4

Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat

berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka

dapat dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan

hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds

DNA. 4

Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan

tetapi yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of

Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit

4 dari 11 kriteria ACR tersebut. 2,3,4

Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology).

(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

No Kriteria Definisi

1 Bercak malar Eritema datar atau menimbul yang menetap

(butterfly rash) di daerah pipi, cenderung menyebar ke

lipatan nasolabial

2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan

adherent keratotic scaling dan follicular

plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut

atrofi

3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan

sinar matahari, pada anamnesis atau

19
pemeriksaan fisik

4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak

nyeri

5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih

persendian perifer, ditandai dengan nyeri

tekan, bengkak atau efusi

6 Serositif a. Pleuritis

Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural

friction rub atau terdapat efusi pleura pada

pemeriksaan fisik.

atau

b. Perikarditis

Dibuktikan dengan EKG atau terdengar

pericardial friction rub atau terdapat efusi

perikardial pada pemeriksaan fisik

7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau

pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif

tidak dapat dilakukan.

atau

b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular,

tubular atau campuran

8 Gangguan saraf Kejang

20
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan

metabolik (uremia, ketoasidosis atau

ketidakseimbangan elektrolit)

atau

Psikosis

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan

metabolik (uremia, ketoasidosis atau

ketidakseimbangan elektrolit)

9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah

Anemia hemolitik à dengan retikulositosis

Leukopenia à < 4000/mm3 pada > 1

pemeriksaan

Limfopenia à < 1500/mm3 pada > 2

pemeriksaan

Trombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya

intervensi obat

10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan

Anti ds-DNA diatas titer normal

Anti-Sm(Smith) (+)

Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan

kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang

abnormal

antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes

standar

21
tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan

dan dikonfirmasi dengan ditemukannya

Treponema palidum atau antibodi treponema

11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100%

spesifisitas

Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus

aktif. Ini adalah alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat

ditemukan tanpa penyakit atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik dan

lainnya. Tingkat anti-DNA rantai ganda, yang lebih spesifik untuk lupus,

mencerminkan tingkat aktivitas penyakit. Tingkat serum dari total hemolitik

komplemen (CH50), C3, dan C4 akan menurun pada penyakit aktif dan

memberikan ukuran kedua aktivitas penyakit. 4

2.8 Komplikasi

Komplikasi LES pada anak meliputi: 2,3

 Hipertensi (41%)

 Gangguan pertumbuhan (38%)

 Gangguan paru-paru kronik (31%)

 Abnormalitas mata (31%)

 Kerusakan ginjal permanen (25%)

 Gejala neuropsikiatri (22%)

 Kerusakan muskuloskeleta (9%)

22
 Gangguan fungsi gonad (3%).

2.9 Penatalaksanaan

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan

jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah

kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa

dipantau dari pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan

dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.

SLE yang tidak diobati dapat diikuti oleh penyembuhan spontan, dapat

menjadi penyakit menahun, atau kematian yang cepat. 4

Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan

relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua

dan anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan.

Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam

menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja. Nefrologis perlu

dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap

komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis.

Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja. 1

1. Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya

kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu

dihindari makanan “junk food” atau makanan mengandung tinggi sodium

untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih.

23
2. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan

pada anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar

UVB.

3. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko

infeksi meningkat pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai

profilaksis dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur.

Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita

lupus, yaitu ;

1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama

infeksi bakterial

2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis

(leukosit >10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi,

3) gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu

sebagai infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan

4) setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis. 1

Lupus diskoid

Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim

luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi

dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif

terhadap 50% pasien. 2,3,4

Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)

24
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap

gangguan ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis

rendah. 2,3,4

Arthritis lupus

Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan

pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan

untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake

inhibitor antidepresan (amitriptilin). 2,3,4

Miositis lupus

Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan

prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen

meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-

3 tahun sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang

digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan

cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari,

tak lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine. 2,3,4

Fenomena Raynaud

Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin;

alfa 1 adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid

mononitrat. 2,3,4

25
Lupus nefritis

Kelas I : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO

Kelas II : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan

terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena

menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah.

Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama

agresifnya dengan DPGN, khususnya bila ada lesi focal

necrotizing.

Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena

ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison.

Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk

DPGN maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah

terbukti memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN.

Prednison dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan,

bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di

tapering off secara hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid

intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian,

diperiksa kadar lekositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan

dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah lekositnya

(normalnya 3.000-4.000/ml).

Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan

kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan

siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil.

Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada

26
Lupus nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya adalah

dialisis dan transplantasi renal. 2,3,4

Gangguan hematologis

Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini

adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena,

vinblastin, danazol dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik,

terapi yang dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena,

danazol dan splenektomi. 2,3,4

Pneumonitis interstitialis lupus

Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan

siklfosfamid intravena. 2,3,4

Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting

Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan

siklfosfamid intravena. 2,3,4

Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES

1. Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat

(maksimal 400 mg/hari)

2. Kortiko-steroid : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis

alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg);

prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama

27
methylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum

mg) per minggu.

3. Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari

selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus

terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap

dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3). Azathioprine 1-3

mg/kg/hari PO 4 kali sehari.

4. Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)

Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari

Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari

Diclofenac

< 12 tahun : tak dianjurkan

> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari

5. Suplemen Kalsium dan vitamin D

Kalsium karbonat

< 6 bulan : 360 mg/hari

6-12 bulan : 540 mg/hari

1-10 bulan : 800 mg/hari

11-18 bulan : 1200 mg/hari

Calcifediol

< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu

> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu

6. Anti-hipertensi

28
Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg,

diulang tiap 4-8 jam.

Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa

ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari

Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan

bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari 2,3,4

2.10 Prognosis

Masa kanak-kanak SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit

fatal seragam. Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan, 5-yr

survival rate lebih besar dari 90%.. Penyebab utama kematian pada pasien

dengan lupus saat ini termasuk infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan

paru-paru, dan infark miokard; yang terakhir mungkin komplikasi akibat

administrasi kortikosteroid kronis dalam pengaturan kekebalan penyakit

kompleks. 1

LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%.

Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal

ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun.

Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival

rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates

sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien

LES dapat hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami

sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan

menetap. 4

29
BAB III

KESIMPULAN

Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana

sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri.

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat

timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis

gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan

organ yang sudah terjadi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus.

Diunduh 6 November 2012 : http://www.aafp.org

2. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Diunduh 6 November 2012

: http://www.childrenclinic.wordpress.com.

3. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Diunduh

6 November 2012 : http://www.pediatrik.com.

4. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. 2009.

Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam

Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.

5. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus

Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,

Philadelphia. 2003. p810-813.

6. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Diunduh 6 November 2012 :

htttp://www.emedicine.com.

7. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus

Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.

31

You might also like