Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari
lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin
perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum
datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa
ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak
menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk
menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting
perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan
demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi
otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari
ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya
perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan,
dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang,
kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus
Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa
dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu
ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang
menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan,
dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-
undangan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk
menulis makalah ini yang berjudul “Azaz Legalitas Dalam Perspektif
Penegakan Hukum Pidana”.
2
B. Rumusan Masalah
1. Makalah ini akan membahas tentang “Azas Legalitas Dalam Perspektif
Penegakan Hukum Pidana”.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan disusunnya makalah untuk menyelesaikan tugas yang telah
diberikan. Selain itu penyusunan ini juga untuk membuka jendela
permasalahan perspektif penegakan hukum pidana. Harapan penulis adalah
agar makalah ini tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, akan tetapi
bermanfaat juga bagi meraka yang membutuhkan untuk referensi ataupun
bahan bacaan semata.
3
BAB II
PEMBAHASAN
nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege
(tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena
sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege
(tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum
crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa
ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak
ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).
Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach
(1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des
penlichen recht pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan
jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach
beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya
tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam
pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya
untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy
dikemukakan bahwa Samuel von Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach,
maka Oppenheimer menganggap bahwa “Talmudic Jurisprudence” lah yang
mendahului teori von Feurbach. Bambang Poernomo menyebutkan bahwa, apa
yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam,
yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: “nulla poena sine lege; nulla poena sine
crimine; nullum crimen sine poena legali”.
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin,
ada menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum
Romawi kuno. Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris
Jerman, von Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19 dan
harus dipandang sebagai produk ajaran klasik. J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa
asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin
merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu. Moeljatno
menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam
hukum Romawi Kuno. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra
5
demikian, asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam
hukum pidana materiel, karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan
Belanda) “ketentuan perundang-undangan” (wettelijk strafbepaling) sedangkan
dalam hukum acara pidana disebut undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan
yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat
menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat aturan
acara pidana.
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang
pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus
delicti). Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar
dipidana maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum
perbuatan dilakukan. Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris
merumuskan dalam adagium moneat lex, priusquam feriat (undang-undang harus
memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang
terkandung di dalamnya), ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni
mencakup juga pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman
pidana yang muncul terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegahan,
menghukum dapat dibenarkan.
Dalam perspektif tradisi Civil law, ada empat aspek asas legalitas yang
diterapkan secara ketat, yaitu terhadap peraturan perundangan-undangan (law),
retroaktivitas (retroactivity), lex certa dan analogi. Roelof H. Haveman
menyebutkan keempat dimensi konteks di atas sebagai, though it might be said
that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects
gives a more true meaning to principle of legality. Moeljatno menyebutkan bahwa
asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
(kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
7
4. “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan
hukum pidana yang tidak jelas –unclear terms-).
Khusus terhadap pengecualian asas legalitas ditentukan asas “lex temporis delicti”
sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar asas ini
13
Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas
tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International
Criminal Court (ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article 22, article 23
dan article 24. Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat (1)
menyebutkan, “A person shall not be criminally responsible under this Statute
unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within
the jurisdiction of the court”, dan ayat (2) menyebutkan, “The definition of a
crime shall not be extended by analogy. In case of ambiguity. The definition shall
be intepreted in favour of the person being investigated, prosecuted, or
convicted”, dan ayat (3), “This article shll not affect the characterization of any
conduct as criminal under international law independently of the Statute”.
Kemudian article 23 berbunyi, “A person convicted by the court may be
punished only in accordance with the Statute”, dan article 24 ayat (1)
selengkapnya berbunyi bahwa, “No person shall be criminally responsible under
this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute”, dan ayat (2)
berbunyi bahwa, “In the event of change in the applicable to a given case prior to
a final judgment, the law more favorable to the person being investigated or
convicted shall apply”.
Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia
yang ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan
mulai berlaku pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas diformulasikan dengan
redaksional bahwa, “No one shall be convicted of any act or omission that did
notconstitute a criminal offence, under applicable law, at the time when it was
committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was
applicable at the time the criminal offence. If subsequent to the commission of the
offense that law provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty
person shall benefit thereform”. Berikutnya, asas legalitas juga terdapat dalam
15
Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum
PBB 217A (III) tanggal 10 Desember 1948 dimana pada Pasal 11 ayat (2)
disebutkan asas legalitas dengan redaksional bahwa, “No one shall be had guilty
of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a
penal offence, under national or international law, at the time when it was
commited. Not shall a heavier by imposed than the one that was applicable at the
time the penal offence was committed”. Selain itu, asas legalitas juga dikenal
dalam Pasal 7 ayat (2) African Charter on Human and People Rights yang
ditandatangani di Nairobi, Kenya, dan berlaku pada tangal 21 Oktober 1986 yang
menyebutkan bahwa, “No one may be condemmed for an act or omission which
did not constitute a legally punishable offence for which no provision was made at
the time it was committed. Punishment is personal and can be imposed only on
the offender”.
Kemudian pada KUHP Jerman yang diumumkan tanggal 13 November
1998 (Federal Law Gazette I, p. 945, p. 322) disebut Strafgesetzbuch (StGB) pada
Section 1 No Punishment Without a Law disebutkan bahwa, “Sebuah perbuatan
hanya dapat dipidana apabila telah ditetapkan oleh undang-undang sebelum
perbuatan itu dilakukan”, (An act may only be punished if its punishability was
determined by law before the act was committed). Pada asasnya, asas legalitas ini
di Jerman juga berorientasi kepada dimensi penuntutan, sehingga menurut George
P. Fletcher di Jerman menganut “positive legality principle”.
Kemudian asas legalitas ini juga dikenal di Negara Polandia. Pada ketentuan
Pasal 42 Konstitusi Republik Polandia maka asas legalitas dirumuskan dengan
redaksional, “Only a person who has commited an act prohibited by a statute in
force at the moment of commission there of, and which is subject to a penalty,
shall be geld criminally responsible. This principle shaal not prevent punishment
of any act which, at the moment of its commission, constituted an offence within
the meaning of international law”. Berikutnya asas legalitas ini dirumuskan dalam
Pasal 7 Konstitusi Perancis dengan menyebutkan bahwa, “A person may be
accused, arrested, or detained only in the cases specified by law and in accordance
with the procedures which the law provides. Those who solicit, forward, carry out
16
or have arbitrary orders carried out shall be punished; however, any citizen
summoned or apprehended pursuant to law obey forhwith; by resisting, he admits
his guilt”. Kemudian dalam Pasal 25 Konstitusi Spanjol ditegaskan asas legalitas
adalah, “No one may be convicted or sentenced for actions or omissions which
when committed did not constitute a criminal offence, misdemeanour or
administrative offence under the law then in force” dan dalam Pasal 25 Konstitusi
Italia asas legalitas dirumuskan sebagai, “No one shall be punished on the basic of
a law which has entered into force before the offence has been committed”.
Selain negara-negara di atas maka asas legalitas juga dikenal dalam Pasal
14 Konstitusi Negara Belgia sebagai, “No punishment can be made or given
except in pursuance of the law”. Kemudian Pasal 29 Konstitusi Republik Portugal
menentukan bahwa, ”No one shall be convicted under the criminal law except for
an act or omission made punishable under exiisting law; and no one shall be
subjected to a security measure, except for reasons authorised under existing law.
No sentences or security measures shall be ordered that are not expressly provided
for in existing lawas. No one shall bee subjected to a sentence or security measure
that is more severe than hose applicable at the time the act was committed or the
preparations for its commission were made. Criminal laws that are favourable to
the affender shall aply retroactively”. Selanjutnya pada Pasal 57 Konstitusi
Hongaria disebut asas legalitas dengan redaksional sebagai, “No one shall be
declared guilty and subjected to punishment for an offense that was not a criminal
offense under Hungarian law at the time such offense was committed”.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai salah satu yang ingin dicapai dalam asas legalitas adalah
memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi
terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah
penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law (Muladi, 2002).
Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan
sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum
dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap
sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar.
B. Saran
Besar harapan penulis agar apa yang dibahas dalam makalah yang
sangat sederhana ini dapat membuka wawasan atau cakrawala berfikir para
pembaca agar dapat memberikan penjelasan yang lebih akurat tentang betapa
pentingnya asas legalitas bagi masyarakat, dan penulis juga berharap agar
asas legalitas bebenar-benar diaplikasikan yaitu tiada suatu peristiwa dapat
dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang
mendahuluinya