You are on page 1of 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini adalah
“Systemic Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah Lupus berasal dari bahasa latin yang
berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa Yunani
berarti kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di
sekitar hidung dan pipi ini disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit ini
diberi nama “Lupus”.
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak
sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang
penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap
tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat.
Namun, apa jadinya jika kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat.
Penyakit lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Penyakit ini
tergolong misterius. Lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di seluruh dunia
telahterdiagnosis menyandang lupus atau SLE (Systemic Lupus Erythematosus), yaitu
penyakit auto imun kronis yang menimbulkan bermacam-macammanifestasi sesuai
dengan target organ atau sistem yang terkena. Itusebabnya lupus disebut juga penyakit
1000 wajah.
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai 50,8 per 100.000.
Di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya. Sedangkan di RS
Ciptomangunkusumo Jakarta, dari 71 kasus yang ditangani sejak awal 1991 sampai akhir
1996 , 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki. Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di
seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak,
dewasa, laki-laki, dan perempuan. Sembilan puluh persen kasus Lupus Eritematosus
Sistemik menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama
masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1.
Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit Lupus biasanya
menyerang wanita produktif. Meski kulit wajah penderita Lupus dan sebagian tubuh
lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak menular. Terkadang kita
meremehkan rasa nyeri pada persendian, seluruh organ tubuh terasa sakit atau terjadi

1
kelainan pada kulit, atau tubuh merasa kelelahan berkepanjangan serta sensitif terhadap
sinar matahari. Semua itu merupakan sebagian dari gejala penyakit Lupus.
Faktor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah faktor
lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa jenis obat, dan virus. Oleh
karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau
sesudah pukul 16.00. Saat bepergian, penderita memakai sun block atau sun screen
(pelindung kulit dari sengatan sinar matahari) pada bagian kulit yang akan terpapar. Oleh
karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit autoimun sistemik dimana pengaruh
utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam penyakit lupus ini antara lain:
1. Apa pengertian dari penyakit lupus?
2. Bagaimana patogenesis pada penyakit lupus?
3. Apa saja penyebabnya seseorang terkena penyakit lupus?
4. Bagaimana pencegahan yang harus dilakukan pada penyakit lupus?
5. Apa saja jenis-jenis penyakit lupus?
6. Bagaimana diagnosis (gejala) yang muncul pada penyakit lupus dan cara membuktikan
diagnosisnya?
7. Bagaimana tata laksana penyakit pada penderita lupus?

2
C. TUJUAN
Adapun tujuan dalam pembahasan makalah ini mengenai penyakit lupus antara lain:
1. Mampu mendeskripsikan pengertian penyakit lupus.
2. Mampu mengetahui patogenesis pada penyakit lupus.
3. Mampu mendeskripsikan penyebab timbulnya penyakit lupus.
4. Mampu menjelaskan cara pencegahan penyakit lupus.
5. Mampu mendeskripsikan jenis-jenis penyakit lupus.
6. Mampu mengetahui diagnosis/gejala-gejala yang ditimbulkan pada penyakit lupus dan
cara membuktikan diagnosisnya.
7. Mampu mendeskripsikan tata laksana penyakit lupus.

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Lupus Eritematous Sistemik (SLE) atau dikenal dengan lupus adalah suatu
penyakit autoimun yang kronik danmenyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan
gejala dari penyakit ini bisa bermacam – macam, bersifatsementara, dan sulituntuk
didiagnosiskarena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh
penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih
sering dari pada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau
awal dewasa. Di Amerika Serikat, penyakit ini menyerang perempuan Afrika Amerika
tiga kali lebih sering daripada perempuan Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada
usia di atas 60 tahun, biasanya akan lebih mudah untuk diatasi (Sylvia& Lorraine, 2005).
Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit,pada sekitar tahun 1800-
an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”, melintasi
tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan
serigala(lupusadalah kata dalam bahasa Latin yang berarti serigala). Lupus discoid
adalah nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya
terbatas pada gangguan kulit. SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat
difusi yang etiologinya tidak diketahui. Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma,
polimiositis, artritis rheumatoid, dan sindrom Sjogren. Gangguan – gangguan ini
seringkali memiliki gejala yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan
dapat menjadi semakin slit untuk ditegakkan secara akurat. (Sylvia& Lorraine, 2005).
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun
yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme
sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan
organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang
jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan
kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan (Underwood,
1999).
SLE merupakan prototipe kelainan autoimun sistemik, ditandai dengan bermacam-
macam antibodi, terutama antibodi antinukleus. Antibodi antinukleus tidak memasuki sel

4
utuh. Namun, nukleus sel yang rusak bereaksi dengan antibodi antinukleus, kehilangan
pola kromatinnya, dan menjadi badan LE yang homogen, (badan hematoksilin).
Fagositosis badan LE oleh neutrofil atau makrofag in vitro akan membentuk sel LE
smapai kira-kira 70 % penderita SLE. Selain antibodi antinukleus, penderita SLE juga
menunjukkan adanya berbagai macam autoantibodi antara lain terhadap elemen darah
(sel darah merah, trombosit, leukosit). Juga antara 20%-40% mempunyai antibodi
terhadap fosfolipid (Robbins dkk; 1999).
Terlihat terutama pada wanita, SLE adalah suatu penyakit generalisata yang
mengekspresikan dirinya sebagai vaskulitis yang melibatkan beberapa sistem organ. Sel
sasaran primernya adalah sistem hematopoetik, kulit, sendi dan ginjal. Organ-organ ini
dilibatkan dalam aneka macam cara oleh banyak sekali antibodi. Antibodi terhadap sel
darah merah, sel darah putih, dan trombosit masing-masing menyebabkan anemia
hemolitik, leukopenia dan trombositopenia (Joseph, 1993).

2.2 Etiologi
SLE didasari dengan adanya autoantibodi patogen (timbul beberapa tahun sebelum
timbulnya manifestasi penyakit) serta kompleks imun yang terikat pada jaringan dan
membentuk komplemen, aktivasi respon imun yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Etiologi SLE meliputi faktor genetik dan lingkungan. SLE merupakan penyakit
dengan faktor genetik kompleks, dimana aktivitas banyak gen sebagai predisposisi SLE,
bersama dengan faktor lingkungan dan faktor nongenetik lainya turut berperan dalam
patogenesis. Faktor – faktor ini berkembang menjadi kerusakan ireversibel gangguan
toleransi imun dan bermanifestasi sebagai respon imun terhadap antigen nuklear endogen.
Faktor genetik sepertinya merupakan faktor yang paling menentukan dalam
patogenesis SLE. Tingginya kejadian SLE pada saudara kandung menjadi dasar adanya faktor
genetik, dengan jenis kelamin perempuan sebagai faktor penting dalam patogenesis. Faktor
lingkungan seperti sinar ultraviolet, logam berat, bahan kimia, obat – obatan, organisme
patogen dan pola hidup dapat menjadi pencetus proses autoimun pada individu dengan
predisposisi genetik.
Terjadinya SLE juga dipengaruhi oleh efek epigenetik berupa gangguan metilasi DNA
yang menimbulkan ekspresi gen abnormal dan berujung pada hilangnya hambatan MHC
terhadap self antigen oleh sel T, dan peningkatkan produksi antibodi oleh sel B. Hal ini dapat
diturunkan atau termodifikasi oleh lingkungan.
Peran hormonal dalam patogenesis SLE terlihat pada hormon androgen sebagai faktor
5
imunoprotektif dalam terjadinya SLE. Mekanisme pasti mengenai peran estrogen pada
penyakit SLE masih belum jelas. Estrogen berperan melalui ER-α dan β yang diekspresikan
melalui sel B dan T.
Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3
faktor yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan. Namun sampai saat ini masih menjadi
perdebatan faktor mana yang menjadi penyebab utama sehingga masih menjadi fokus utama
penelitian.
1. Genetik
Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang mempunyai
riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita penyakit tidak
terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya seperti arthritis reomathoid
atau Sjorgen’s Syndrome. Pada kembar identik, risiko lupus meningkat menjadi 25%
pada saudara kembar dari pasien yang menyandang lupus (Djoerban, 2002).
2. Hormon
Penyandang lupus wanita:pria adalah 9:1. Dan sebagian besar penyandang wanita
adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor hormonal.
Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi aktifnya lupus dalam
penelitian hewan baik secara invitro maupun invivo. Sehingga harus benar-benar
dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan alat kontrasepsi yang mengandung
estrogen pada Odapus (Djoerban, 2002).
3. Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus, diantaranya
adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.
a. Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat adalah
EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar (mononucleosis).
Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus ini dalam riwayat
penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system imun mulai terganggu saat
berusaha menyerang EBV juga menyerang sel tubuhnya sendiri. Sehingga proses
tersebut diduga kuat berhubungan dengan penyebab lupus.
b. Zat kimia dan racun
Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia dan
racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.
c. Merokok
6
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan munculnya lupus.
Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun lainnya seperti arthritis
reumathoid dan multiple sclerosis.
d. Sinar matahari
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan perburukan
manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit dan munculnya gejala
lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar matahari dan menggunaka tabir
surya (sun block) adalah hal yang tidak mudah namun mutlak harus dilakukan oleh
odapus karena sangat bermanfaat (Djoerban, 2002).

2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (penyakit yang biasanya terjadi pada wanita
selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE
akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Patogenesis SLE melibatkan abnormalitas sistem imun yang kompleks, dimana
kelainan fungsi sel B dan sel T yang merangsang produksi autoantibodi oleh sel B dan
reaktivitas sel T menimbulkan inflamasi serta kegagalan multiorgan. Autoantigen yang
dilepaskan oleh sel apoptotik dipaparkan oleh sel dendritik kepada sel T yang kemudian
mengaktifkan sel T. Sel T teraktivasi kemudian memproduksi sitokin yang memicu sel B
untuk memproduksi antibodi. Disamping itu, terdapat pula produksi autoantibodi oleh sel B
yang tidak bergantung pada sel T. Mekanisme ini berlangsung karena adanya stimulasi sel B
melalui kombinasi β-cell antigen receptor (BCR) dan TLR signalling.

7
Gb.1 Patogenesis SLE
Beberapa aspek regulasi abnormal terhadap sel T berkontribusi dalam timbulnya SLE.
Signal abnormal pada reseptor sel T menimbulkan peningkatan regulasi FcRγ dan aktivasi
Syk kinase yang kemudian mengakibatkan gangguan toleransi imun, abnormalitas respon
terhadap autoantigen, gangguan presentasi antigen, serta gangguan transduksi signal pada
reseptor sel T.
Sel B memegang peranan penting dalam patogenesis SLE berupa prekursor sel
plasma yang mensekresi antibodi. Aktivasi dan diferensiasi abnormal sel B mengubah sel B
naif menjadi sel plasma yang teraktivasi. Sel – sel ini merupakan autoantigen terhadap sel T
dan bertanggung jawab terhadap produksi autoantibodi serta memodulasi sel T dalam sekresi
sitokin. Pada SLE terdapat peningkatan jumlah sel plasma, plasmablas dan sel B transisional
tahap akhir.
Meningkatnya aktivasi sel B diakibatkan oleh kadar growth factor yang meningkat,
termasuk di dalamnya B-lymphocyte stimulator (BlyS) yang dibutuhkan dalam pertahanan
hidup, maturasi dan aktivasi sel B, serta berembangnya sel B menjadi sel plasma.
Autoantibodi yang dihasilkan oleh sel B yang hiperaktif mengakibatkan kerusakan jaringan
melalui pembentukkan kompleks imun, aktivasi komplemen, dan efek langsung pada sel.
50% pasien SLE memiliki peningkatan kadar BlyS plasma dan terdapat korelasi bermakna
antara tingginya kadar BlyS plasma dengan aktivitas penyakit.
Abnormalitas sel B pada SLE berpusat pada transduksi signal aberan sepanjang
reseptor sel B (BCR). Peningkatan respon sel B juga diakibatkan oleh menurunnya ekspresi
Lyn kinase dan molekul - molekul yang terlibat dalam menurunkan regulasi signaling pada
sel B.
Reseptor permukaan lainnya yang banyak dipelajari adalah B-cell activating factor of

8
the TNF family receptor (BAFF-R), dimana kemampuan bertahan hidup sel B bergantung
pada persaingannya dengan protein homolog A proliferation inducing ligand (APRIL) untuk
mencapai interaksi dengan BAFF. BAFF dapat berikatan dengan tiga buah reseptor – TACI,
BCMA dan BAFF-R, sedangkan APRIL berikatan hanya denga TACI dan BCMA.1 Pada
SLE terjadi peningkatan produksi BAFF oleh sel dendritik akibat respon terhadap CpG DNA
inducible cytokine (IFNa). Aktivasi sel B ini dapat merangsang produksi imunoglobulin tanpa
melibatkan sel T. Antagonis terhadap BAFF dan APRIL telah digunakan dalam pengobatan
SLE.
Selain β-cell activating factor (BAFF) atau β-lymphocyte stimulator (BlyS) terdapat
sitokin yang berperan dalam patologi SLE antara lain tumor necrosis factor (TNF) alpha,
IFNγ, interleukin (IL)-2, IL-4, IL-6, IL-10, TNF-α, dan TGF-β dan MCP-1.

9
2.4 Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai
dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan
gejala pada satu sistem, yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung
bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai gejala
umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun,
dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
 Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa artritis
(93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan
nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan
deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular
dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan
pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput
femoris.
 Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit
yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lasi kulit akut, subakut, diskoid, dan livido
retikularis.
Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada hidung
dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas luka.
Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut.Lesi kulit subakut yang khas berbentuk
anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin
disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk
silikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang
10
besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.Livido retikularis suatu bentuk
vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.
 Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi,
hanya terdapat pada 25% kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis
lupus membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya
tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai
berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik,
gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat
atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis
kronik, tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE
kronik.
 Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan
kejang-kejang.
Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada
sistem lain-lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik
otak seperti sukar menghitung dan tidak snggup mengingat kembali gambar-gambar yang
pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat
dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan
menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis
steroid dinaikkan dan sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang
mungkin ditemukan ialah afasia, hemiplegia.
 Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan adanya
badan sitoid di retina
 Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis
maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
11
 Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pluera
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut sering
timbul nyeri dada dan sesak napas.
 Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan diare.
Gejalanya menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan
adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh
darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga
menimbulkan pankreatitis.
 Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal, dengan
karakteristik tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah splenomegali yang
biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau trombosis
berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode
perkembangan penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-imun.

2.5 Diagnosis SLE


Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan
sebagai terpenuhinya minimum kriteria (de initif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang
mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR) revisi tahun
1997.7,9 Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan pada kondisi tertentu
seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE), maka dapat saja kriteria tersebut belum
terpenuhi. T e rkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini
tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit
lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya.
Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting.

12
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain
tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
American College of Rheumatology menetapkan “sebelas kriteria lupus” untuk
membantu dokter mendiagnosis lupus.Empat atau lebih dari kriteria berikut harus hadir untuk
membuat diagnosis lupus sistemik :
1. Ruam malar
Ruam berbentuk kupu-kupu dipipi dan hidung

13
2. Ruam kulit
Bercak merah yang menonjol

3. Photosensitivity
Ruam kulit akibat reaksi terhadap sinar matahari yang tidak biasa

4. Borok mulut atau hidung


Biasanya tanpa rasa sakit
5. Artritis non-erosif
Pada dua atau lebih sendi,sehingga terasa bengkak atau lunak
6. Gangguan paru dan jantung

14
Peradangan pada selaput sekitar jantung (perikarditis) dan/atau paru-paru (pleuritis)
7. Gangguan neurologis
Kejang-kejang dan/atau psikosis
8. Gangguan ginjal
Protein atau darah yang berlebihan dalam urine (proteinuria/hematuria)
9. Gangguan hematologi (darah)
Anemia hemolitik,jumlah sel darah putih atau trombosit rendah
10. Gangguan imunologi
Antibody terhadap DNA rantai ganda,antibody terhadap Sm,atau antibody terhadap
cardiolipin
11. Antinuclear antibody (ANA)
Hasil tes positif meskipun tidak memakai obat yang dikenal menyebabkan hal
itu.Sekitar 95% dari penderita lupus memiliki hasil tes ANA positif.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
adalah :
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6. Foto polos thorax
§ pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
* Setiap 3-6 bulan bila stabil
† Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif. ANA, antibodi
antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan
untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.

2.7 Penanganan
Perawatan penyakit lupus bertujuan untuk mengurangi dan menekan sistem kekebalan
tubuh yang terlalu aktif.Obat-obatan yang paling umum digunakan untuk lupus adalah
15
NSAID (obat anti inflamasi non-steroid),obat antimalaria dan steroid.Obat-obatan tersebut
dapat diberikan sendiri-sendiri atau dalam kombinasi.Dalam kasus yang parah,obat penekan
imun seperti cytoxan,azathioprine dan methotrexate mungkin digunakan.
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit.Luas dan jenis gangguan
organ harus ditentukan secara hati-hati.dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah
terjadi.Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan
serologis.Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang
dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
a. Pendidikan terhadap pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan
penyakit,komplikasi,prognosis),sehingga dapat bersikap positif terhadap penanggulangan
penyakit.
b. Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan pada SLE
1. Monitoring yang teratur
2. Penghematan energi.pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang
menonjol.Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan
pentingnya tidur yang cukup.
3. Fotoprotesik.Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindari.Dapat juga
digunakan lotion tertentu untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung.
4. Mengatasi infeksi.Pasien SLE rentan terhadap infeksi.jika ada demam yang tak jelas
sebabnya,pasien harus memeriksanya.
5. Merencanakan kehamilan.Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika
pasien sedang mendapatkan pengobatan dengan obat imunosupresif.
c. Pengobatannya
- Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi,antimalaria dan steroid topikal.Krim luocinonid 5%
lebih efektif dibandingkan krim hidrokortison 1%.terapi dengan hidrosiklorokuin
efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.
- Serosis lupus (pleuritis,perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan
ginjal),antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
- Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal,standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan
ketat terhadap gangguan ginjal dan anti malaria,sedangkan untuk keluhan myalgia dan
16
gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin)
- Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai dengan prednison dosis 1-2
mg/kg/hr dalam dosis terbagi),bila kadar komplemen meningkat mencapai dosis
efektif terendah.Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping
pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih
tinggi (5 mg/kg/hr,tak lebih 150-250 mg) metrotreksat atau azathioprine terenbdah
nitrat,misalnya isosorbid mononitrat.
- Lupus nefritis
Lupus nefritis kelas II mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi
minimal.Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena menggambarkan perubahan
status penyakit menjadi lebih parah.
Lupus nefritis III memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan DPGN.Pada lupus
nefritis IV kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena.Siklofosfamid
intravena diberikan setiap bulan,setelah 10-14 hr pemberian,diperiksa kadar
leukositnya.Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan
tergantung pada jumlah leukositnya (normalnya 3.000-4.000/ml).Pada lupus nefritis V
regimen terapi yang diberikan adalah :
1. Monoterapi dengan kortikosteroid
2. Terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A
3. Sikofosfamid,azathioprine atau klorambusil.

Pada nefritis V tahap lanjut,pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.
- Gangguan hematologis
Untuk trobositopeni,terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah
kortikosteroid,imunoglobulin intravena.Sedangkan untuk anemia hemolitik,terapi
yang dipertimbangkan adalah kortikosteroid,danazol dan spelenektomi.
- Pneumonitis intersititialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus inimadalah kortikosteroid dan siklofosfamid
intravena
- Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklofosfamid
intravena.

17
Pilar Pengobatan Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan
strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya
dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu
dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat
dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa
a. OAINS
b. Anti malaria
c. Steroid
d. Imunosupresan / Sitotoksik
e. Terapi lain

I. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik,
mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar
matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan
secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi
akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun
akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 2.

18
Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka setiap
pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial. Berdasarkan
data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan fungsi kognitif sebesar 86,49%.
Pembuktian dilakukan menggunakan alat pemeriksaan yang lebih teliti seperti TRAIL A,
TRAIL B maupun Pegboard. Hal ini memperlihatkan besarnya gangguan neuropsikiatrik
yang tersembunyi pada SLE, karena secara nyata gangguan tersebut tidak melebihi 20%.
Adanya stigmata psikologik pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian lebih
lanjut. Namun adanya gangguan fisik dan kognitif pada pasien SLE dapat memberikan
dampak buruk bagi pasien didalam lingkungan sosialnya baik tempat kerja atau rumah.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat
adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak
berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak
keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya.

II. Program Rehabilitasi


Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung
maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan
turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi
immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan
terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk
mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin
diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot.
Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan

19
otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan teknis pelaksanaan program
rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain.

III. Terapi Medikamentosa


Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya,
selanjutnya dapat dilihat pada tabel 3.

20
21
Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan
obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan
juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka
dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.

Indikasi Pemberian Kortikosteroid


Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis
rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi
berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis
akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.

Efek Samping Kortikosteroid


Efek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan
meminimalkan jumlah KS, akan meminimalkan juga risiko efek samping.
Efek samping yang sering ditemui pada pemakaian kortikosteroid dapat dilihat pada

22
tabel dibawah ini

Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.


a. Pengobatan SLE Ringan Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan
dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas
tercapai, yaitu:
Obat-obatan
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan
nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi
ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg
mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan
pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5
mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang - kurangnya
15 (SPF 15)
b. Pengobatan SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg /
hari prednison atau yang setara. Lihat algoritme terapi SLE.

23
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan
obatobatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum di bawah ini.
Glukokortikoid Dosis Tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1 mg/kgBB)
prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap,
dengan didahului pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g / hari selama 3
hari bertutut-turut.
Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan
pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. P a
da keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia,
seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.

24
d. Terapi Lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari,
terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis,
neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan
terapi konvensional.
- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus
serberitis. Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid. Danazol pada
trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect pada
SLE ringan.
- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan
obat lainnya.
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang berat.
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit
sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE(saat ini belum tersedia di Indonesia).
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.

2.7 Komplikasi
Komplikasi SLE meliputi :
- Hipertensi (41%)
- Gangguan pertumbuhan (38%)
- Gangguan paru-paru kronik (31%)
- Abnormalitas mata (31%)
- Kerusakan ginjal permanen (25%)
- Gejala neuropsikiatri (22%)
- Kerusakan muskuloskeletal (9%)
- Gangguan fungsi gonad (3%)

25
2.7.1 Komplikasi SLE dengan hipertensi
Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia,
sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat umum dilakukan
diberbagai tingkat fasilitas kesehatan.
Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam walaupun luar negeri,
menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik
≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang
berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi pada
seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi (disadur dari A
Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of
Hypertension2013).

Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan


yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang akan diambil.
Algoritme diagnosis ini diadaptasi dariCanadian Hypertension Education Program. The
Canadian Recommendation for The Management of Hypertension 2014

26
Tatalaksana Hipertensi
Non farmakologis
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan darah,
dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan
kardiovaskular.
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :
- Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak
asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat yang lebih selain
penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia.
- Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak
merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien
tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging

27
olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk
mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan
untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari
- Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari,
minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien
yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap
dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam
aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.
- Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alkohol belum menjadi pola
hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alcohol semakin hari semakin
meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota
besar. Konsumsi alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari
pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau
menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.
- Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung
dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko
utama penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti
merokok.
Terapi farmakologi
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi
derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola
hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi
farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek
samping, yaitu :
- Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
- Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
- Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada usia 55 – 80
tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
- Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i) dengan
angiotensin II receptor blockers (ARBs)
- Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi
- Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

28
Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines
memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme tatalaksana hipertensi secara
umum, yang disadur dari A Statement by the American Society of Hypertension and the
International Society of Hypertension2013;

29
Tabel 7. Obat antihipertensi yang direkomendasikan dalam JNC 8

2.7.2 Komplikasi SLE dengan dyslipidemia


Dislipidemia adalah suatu kelainan metabolisme lipoprotein. Gangguan ini ditandai
dengan meningkatnya total serum kolesterol, low density lipoprotein (LDL) dan penurunan
konsentrasi high density lipoprotein (HDL). Dalam proses terjadinya aterosklerosis,
ketiganya memiliki peran yang penting dan sangat erat kaitannya satu sama lain.
Dislipidemia dapat menimbulkan aterosklerosis yang termanifestasi menjadi PJK, nyeri perut
berulang yang disebabkan oleh peningkatan kadar trigliserid (TG) darah dan dapat tejadi
pankreatitis akut yang membahayakan jiwa bila kadar TG darah cukup tinggi.Nilai normal
kolesterol darah dan resiko PJK (Tabel 8).

30
Tabel 8. Nilai Kolesterol Darah
Terapi Farmakologi
Obat-obat terkini yang lazim digunakan meliputi statin, niasin, dan fibrat. Obat-obat
ini memiliki mekanisme kerja yang berbeda dalam menurunkan kolesterol darah.
Statin adalah penghambat kompetitif HMG-CoA reduktase, suatu enzim yang
mengkontrol biosintesis kolesterol.Senyawatersebut merupakan analog struktural dari HMG-
CoA (3-hydroxy-3-methylglutarylcoenzyme A). Adabeberapa penghambat HMG-CoA
reduktase yang dikenal, yaitu: lovastatin, atorvastatin, fluvastatin, pravastatin, simvastatin,
dan rosuvastatin. Obat-obat ini sangat efektif dalam menurunkan kadar LDL kolesterol
plasma.

31
Tabel 9. Nama-Nama Obat Statin

Tabel 9. Dosis statin maksimal yang direkomendasikan


Terapi Non Farmakologi
Bukti penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular yang berhubungan dengan
intervensi gaya hidup tidak sekuat bukti yang berhubungan dengan intervensi farmakologis.
Pentingnya konseling intervensi gaya hidup terutama berhubungan dengan perubahan positif
terhadap perilaku untuk mengontrol profil lipid.47 Tujuan intervensi gaya hidup adalah untuk
mengurangi kolesterol LDL, mengurangi konsentrasi TG, dan meningkatkan kolesterol HDL.
Intervensi gaya hidup dilakukan pada semua orang, dengan atau tanpa tambahan obat
penurun lipid, kecuali pada pasien risiko rendah dengan kolesterol LDL awal <100 mg/dL.

32
Tabel 10. Intervensi gaya hidup yang dapat dilakukan untuk mengurangi kolesterol LDL, kolesterol
HDL dan TG.

33
BAB III
PEMBAHASAN

Kelompok 1
Nona Ab adalah wanita berumur 23 tahun dengan riwayat diffuse proliverative
glomerulonephritis (DPGN) karena menderita SLE (systemic lupus erymatosus) &
mengalami penurunan dalam berkativitas sesudah mendapatkan 2 siklus Cycophosphamid iv
(10 dan 6 tahun yg lalu). Pada kunjungan kali ini ke poliklinik nephrology, dari hasil
urinalisis menunjukkan peningkatan aktivitas penyakitnya
Riwayat penyakit : Lupus induced DPGN selama 10 tahun, riwayat oligomenorrhea,
hipertensi, dispilidemia
Pengobatan : prednison 15 mg po setiap hari, atenolol 25 mg po setiap hari, clonidine patch
0,2 mg setiap minggu
Tanda – tanda vital :
BP : 160/115, RR : 18x/menit; T: 36,5°C, BB : 49 kg

Pemeriksaan laboratorium
Data Lab Nilai Lab
Natrium 144 mEq/mL
K 4,2 mEq/ml
Cl 110 mEq/ml
BUN 45 mg/dl
Scr 2,2 mg/dl
Glukosa 71nmg/dl
Hb 10,4 g/dL
HCt 31,7 %
WBC 8,9 x 103/mm3
Ca 7,8 mg/dL
Mg 2,1 mg/dL
Phosphat 5,1 mg/dL
ASt 25 IU/L
ALT 23 IU/L
Alk Phos 54 IU/L

34
GGT 27 IU/L
T bilirubin 0,2 mg/dL
Albumin 2,5 g/dL
Ferritin 200 ng/mL
Kolesterol 400 mg/dL
LDL 204 mg/dL
HDL 34 mg/dL

Penjabaran Hasil Laboratorium


Pemeriksaan natrium (Na) berguna untuk mengetahui konsentrasi Na (elekrolit dan
mineral) di dalam darah. Natrium berfungsi untuk menjaga keseimbangan air (sejumlah
cairan di dalam maupun di luar sel tubuh) dan elektrolit di dalam tubuh, mengontrol tekanan
darah, serta berperan penting dalam fungsi kerja saraf dan otot. Konsentrasi Na banyak
terdapat di dalam darah dan cairan limfa. Keabnormalan Na dalam darah mengindikasikan
adanya gangguan kesehatan. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan elektrolit darah yang lain seperti kalium (K), klorida (Cl), kalsium (Ca), dan
magnesium (Mg). Tujuan pemeriksaan laboratorium ini adalah menilai keseimbangan
elektrolit tubuh dan asam basa, dehidrasi, sindrom nefrotik, gagal jantung kongestif, dan
keadaan klinis lainnya.
Nilai normal analisa elektrolit ini adalah :
- Natrium : 136-145 mmol/l
- Kalium : 3.5-5.0 mmol/l
- Klorida : 98-106 mmol/l
- Calcium : 7.6-11.0 mg/dl
- Phosphor : 2.5-7.0 mg/dl
- Magnesium: 1,5-2,5 mEq/lt
Analisa :
- Kadar natrium pasien 144 mEq/mL (normal)
- Kadar kalium pasien 4,2 mEq/ml (normal)
- Kadar klorida pasien 110 mEq/ml (tinggi > 106 mmol/l)
- Kadar kalsium pasien 7,8 mg/dL ( normal)
- Kadar magnesium pasien 2,1 mg/dL (normal)

35
Fosfat

Dalam kimia, sebuah fosfat adalah sebuah ion poliatomik atau radikal terdiri dari satu atom
fosforus dan empat oksigen.Fosfat merupakan anion buffer pada CIS dan CES.

Fungsi Fosfat dalam tubuh sebagai :

 peningkat kegiatan neuromuskuler.


 Metababolisme Karbohidrat
 Buffer dalam darah dan cairan tubuh.

Kadar normal phosfat dalam darah adalah : 2,5 – 4,8 mg/dL. Kadar phosfat pasien yang
terukur adalah 5,1 mg/dL (tinggi > 4,8 mg/dL).

Pemeriksaan kimia darah :

- BUN : 45 mg/dL (tinggi > 24 mg/dL)  kadar normal BUN : 6 - 24 mg/dL (Blood
Ureum Nitrogen)
- Scr : 2,2 mg/dL (tinggi > 1,2 mg/dL)  kadar normal Scr : 0,5-1,2 mg/dL (serum
creatinin)
- Glukosa : 71nmg/dl (normal)  (Sebelum makan: sekitar 70-130 mg/dL)
- Hb : 10,4 gr/dL ( rendah < 12,1 gr/dL)  kadar normal Hb wanita (12,1 – 15,1 gr/dL)
- HCt : 31,7% (rendah < 35%)  kadar HCt normal wanita : 35% - 45% (hematocrit)
- WBC : 8,9 x 103 /mm3(normal)  kadar WBC normal untuk wanita : 4,3 – 11,3 x 109 /l
- ASt : 25 IU/L (normal)  kadar normal Ast adalah 3 - 45 u/L (mikro per liter)
- ALT : 23 IU/L (normal)  kadar normal ALT adalah 0-35 u/L (mikro perliter)
- Alk Phos : 54 IU/L  (normal) kadar alkaline phosphate normal perempuan : 49-232
U/L
- GGT : 27 IU/L (normal)  kadar normal GGT wanita : 10 - 80 U/L
- T bilirubin : 0,2 mg/dL(normal)  kadar normal T bilirubin 0-0,4 mg/dL
- Albumin : 2,5 g/dL (rendah) kadar normal albumin 3,4-5,4 g / dL
- Ferritin : 200 ng/mL (tinggi)  kadar normal ferritin 12-150 ng / mL
- Kolesterol : 400 mg/dL (tinggi)  kadar normal kolesterol < 200 mg/dL
- LDL : 204 mg/dL (tinggi)  kadar normal LDL < 130 mg/dL
- HDL : 34 mg/dL (rendah)  kadar normal HDL > 60 mg/dL

36
Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat termasuk ginjal,
dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinik yang
kompleks,sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, terkendali
ataupun remisi. Pasien LES dengangangguan ginjal sering terjadi, hal inilah yang
menyebabkan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Diagnosa LES yang tepat
menurut WHO adalah dengan biopsi pada ginjal.
Pada hasil laboratorium, BUN dan serum creatinine dalam darah cenderung tinggi
BUN 45 mg/dL dan Scr 2,2 mg/dL. Meningkatnya kadar urea darah BUN (Blood Urine
Nitrate) dan kreatinin merupakan salah satu indikasi kerusakan pada ginjal.Semakin buruk
fungsi ginjal, semakin tinggi kadar ureum darah. Kadar ureum normal adalah kurang dari 40
mg/dl, jika kadar ureum darah sudah lebih dari 150 mg/dl maka dapat mengalami (uremia)
keracunan ureum.
Pemeriksaan hematologi darah meliputi hematokrit dan hemoglobin. Hematokrit
menunjukan persentase sel darah merah tehadap volume darah total. Penurunan nilai Hct
merupakan indikator anemia (karena berbagai sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis,
kehilangan banyak darah dan hipertiroid. Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien
mengalami anemia sedang hingga parah.Begitu juga hemoglobin, penurunannya juga
menandakan pasien mengalami anemia.
Nilai klorida berguna dalam menilai gangguan asam-basa yang menyertai gangguan
fungsi ginjal. Konsentrasi klorida dalam plasma dapat dijaga agar tetap mendekati nilai
normal, walaupun dalam keadaan gagal ginjal.Peningkatan konsentrasi klorida dalam serum
dapat terjadi karena dehidrasi, hiperventilasi, asidosis metabolik dan penyakit ginjal.Kadar
kolesterol terbagi dua, yaitu LDL dan HDL. LDL (kolesterol jahat) dan HDL (kolesterol
baik). Karena sifatnya yang jahat, LDL atau kolesterol jahat sebaiknya berada pada tingkat
yang rendah atau dapat ditoleransi tubuh, yaitu kurang dari 100 mg/dL. Jumlah LDL 100-129
mg/dL dapat dikatakan sebagai ambang batas toleransi. Jika melebihi jumlah tersebut
kolesterol jahat dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti ateroma, penyakit
jantung, dan stroke.Jumlah LDL 130-159 mg/dL dapat dikatakan memasuki ambang batas
tinggi, dan jika jumlahnya telah mencapai 160-189 mg/dL sudah masuk level tinggi.
Sedangkan jumlah LDL 190 mg/dL dan selebihnya, sudah berada pada level sangat tinggi.
Semakin tinggi tingkat kolesterol baik atau HDL, maka akan semakin baik untuk
kesehatan. Ini karena HDL melindungi dari penyakit jantung. Tingkat HDL minimal 60
mg/dL atau lebih dapat membantu mengurangi risiko penyakit jantung. Sebaliknya, tingkat

37
HDL kurang dari 40 mg/dL justru menaikkan risiko penyakit jantung.
Menggunakan metode PAM (Problem, Assistment / action, dan monitoring), berikut
ini penjelasannya :
Problem
Nona Ab, wanita 23 tahun
 Pasien mengalami penurunan dalam berkativitas sesudah mendapatkan 2 siklus
Cycophosphamid iv (10 dan 6 tahun yg lalu)
 Pasien mengalami hipertensi dengan BP : 160/115
 Berdasarkan hasil urinalisis menunjukkan pasien mengalami peningkatan aktivitas
penyakitnya
 Berdasarkan hasil pemeriksaan lab menunjukkan kadar yang tidak normal, antara lain
:
- Kadar klorida pasien 110 mEq/ml (tinggi > 106 mmol/l)
- BUN : 45 mg/dL (tinggi > 24 mg/dL)dan Scr : 2,2 mg/dL (tinggi > 1,2 mg/dL)
- Hb : 10,4 gr/dL ( rendah < 12,1 gr/dL)
- HCt : 31,7% (rendah < 35%)
- Albumin : 2,5 g/dL (rendah)
- Ferritin : 200 ng/mL (tinggi)
- Kolesterol : 400 mg/dL (tinggi)
- LDL : 204 mg/dL (tinggi)
- HDL : 34 mg/dL (rendah)

Riwayat penyakit : Lupus induced DPGN selama 10 tahun, riwayat oligomenorrhea,


hipertensi, dispilidemia
Riwayat pengobatan : pasien mengkonsumsi prednison 15 mg po setiap hari, atenolol 25 mg
po setiap hari, clonidine patch 0,2 mg setiap minggu.

Assesment-Action
Assesment :
- Gejala yang dialami pasien bahwa pasien menderita lupus (SLE) dengan kondisi DPGN
- Pasien juga mengalami hipertensi derajat 2 dengan tekanan darah 160/115 dengan riwayat
pengobatan atenolol 25 mg po setiap hari dan clonidine patch 0,2 mg setiap minggu

Berdasarkan hasil lab dari pasien dapat disimpulkan sebagai berikut :

38
o Kadar klorida ureum tingg  peningkatan konsentrasi klorida dalam serum dapat
terjadi karena dehidrasi, hiperventilasi, asidosis metabolik dan penyakit ginjal.
o Kadar BUN tinggi dan kreatinin tinggi  BUN dan kreatinin tinggi, maka rasio ini
biasanya menunjukkan kerusakan ginjal.
o Kadar Hb rendah  penurunan nilai Hb dapat terjadi pada anemia (terutama anemia
karena kekurangan zat besi), sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan asupan
cairan dan kehamilan.
o Kadar hematokrit rendah dapat menunjukkan adanya: penyakit inflamasi kronik,
kekurangan nutrisi seperti (zat besi, folat, atau vitamin B-12), pendarahan di organ-
organ dalam, anemia hemolitik, gagal ginjal, leukemia, limfoma, dan anemia sel sabit
o Kadar albumin rendah  nilai menurun pada keadaan, indikasi : malnutrisi, sindroma
absorpsi, hipertiroid, kehamilan, gangguan fungsi hati, infeksi kronik, luka bakar,
edema, asites, sirosis, nefrotik sindrom, SIADH, dan perdarahan.
o Kadar ferritin tinggi  tingginya kadar ferritin bisa menjadi indikasi gangguan
penyimpanan besi seperti hemochromatosis. Hemochromatosis adalah warisan
(genetik) kelainan di mana terjadi penumpukan besi yang berlebihan di dalam tubuh
(iron overload).
o Kadar kolesterol tinggi  tingginya kadar kolesterol pada tubuh wanita bisa
menyebabkan banyak gangguan kesehatan seperti penyakit jantung dan gangguan
kardiovaskular lainnya
o Kadar LDL tinggi  nilai LDL tinggi dapat terjadi pada penyakit pembuluh darah
koroner atau hiperlipidemia bawaan. Peninggian kadar dapat terjadi pada sampel yang
diambil segera. Hal serupa terjadi pula pada hiperlipoproteinemia tipe Ha dan Hb,
DM, hipotiroidism, sakit kuning yang parah, sindrom nefrotik, hiperlipidemia bawaan
dan idiopatik serta penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen.
o Kadar HDL rendah  penurunan HDL terjadi dapat terjadi pada kasus fibrosis sistik,
sirosis hati, DM, sindrom nefrotik, malaria dan beberapa infeksi akut. Penurunan
HDL juga dapat terjadi pada pasien yang menggunakan probucol, hidroklortiazid,
progestin dan infus nutrisi parenteral.

Action :
- Pengobatan SLE secara farmakologis dapat dilakukan sebagai berikut :
Cyclophosmamide IV: 500-750 mg/m2 dalam Dextrose 250 ml, infus selama 1 jam +
prednisone (0,5 - 0,6 mg/kg/hr selama 4 – 6 minggu).
39
Cyclophosphamide berfungsi untuk melemahkan responsistem imun terhadap beberapa
penyakit. Obat ini juga digunakan untuk mengobati beberapa penyakit ginjal pada anak-anak
jika pengobatan lain tidak berfungsi maksimal.Obat ini juga dapat diguakan untuk mengobati
penyakit lupus dan rheumatoid arthitis dan untuk mencegah penolakantransplantasiorgan.
Masalah timbul pada pasien karena setelah diinjeksi cyclophosmamide, pasien mengalami
penurunan aktivitas. Memang efek samping obat ini mengakibatkan sebagai berikut :
- Muka pucat, tubuh lemah, detak jantung tidak stabil, dan susah konsentrasi
- Sakit kepala yang parah dan muntah, tubuh melemah
- Rambut rontok
- Luka tidak sembuh-sembuh
- Siklus haid yang tidak teratur
- dll
Action : mengganti obat cyclophosmamide dengan azathioprine dengan dosis 2 mg/ kgBB /hr
Azathioprine yang diberikan adalah 2 x 49 = 98 mg /hr ± 100 mg /hr.
Sediaan obat ini adalah :25, 50, 75 dan juga 100 mg
Jadi sebaiknya kita berikan Azathioprine 100 mg po setiap hari. Obat ini dikonsumsi setelah
makan atau dalam keadaan perut tidak kosong.

40
- Penggunaan kortikosteroid (prednisone) sudah benar sehingga dilanjutkan saja. Dosis KS
(0,5 – 0,6 mg/kg/hr).
Perhitungan dosis = 0,5 x 49 = 24,5 mg/hr.
Bila kita menggunakan prednisone 5 mg  pasien minum prednison5 mg 5 kali sehari per
oral selanjutnya untuk dosis pemeliharaan bias diturunkan secara perlahan – lahan.
- Untuk anti hipertensi :
Pasien mengkonsumsi atenolol 25 mg po setiap hari, clonidine patch 0,2 mg setiap minggu.
Berdasarkan tata laksana hipertensi, pengobatan hipertensi derajat 2 adalah golongan CCE /
thiazide dikombinasikan dengan golongan ACEi atau ARB. Jadi obat antihipertensinya kita
ganti dengan amlodipine 5 mg sekali sehari dikombinasikan dengan captopril 25 mg 3 kali
sehari.

41
42
 Pasien diberi edukasi
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari

43
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah
aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit
dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau
topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami
infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau
terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ,
baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.
 Pasien disarankan menjalankan program rehabilitasi selain menjalankan pengobatan
secara patuh.
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung
maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan
turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi
immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan
terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan
untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau
dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau
spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri
atau kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan
program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu: a.
Istirahat b. Terapi fisik c. Terapi dengan modalitas d. Ortotik e. Lain-lain.
 Pasien disarankan melakukan pemeriksaan laboratorium secara rutin
 Pasien juga mengalami kadar kolsterol yang tinggi : LDL tinggi dan HDL rendah,
sehingga pasien diberi obat golongan statin satu kali sehari.
Obat : simvastatin 10 mg po sekali sehari
 Untuk pengobatan nyeri bisa kita gunakan paracetamol 500 mg 3x1 sehari atau
OAINS seperti natrium diclofenac 50 mg 3 x 1 sehari

44
KESIMPULAN

Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun
yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem
kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing
(misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh
sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun
(antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan. SLE atau lupus menyerang perempuan
kira-kira delapan kali lebih sering daripada laki-laki.
Penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan
lingkungan. Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus,
diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.
Diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 gejala spesifik yang ditetapkan seperti Malar
Rash/Butterfly Rash, Discoid Rash, Fotosensitif, Luka di mulut dan lidah seperti sariawan
(oral ulcers), Nyeri pada sendi-sendi, Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput
pembungkusnya terisi cairan, gangguan pada ginjal. Gangguan pada otak atau sistem saraf
mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-lain. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah
sel darah putih dan trombosit berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia. Tes ANA
(Antinuclear Antibody), sebagai pertanda aktifnya lupus bila ditemukan dalam darah pasien,
dan gangguan sistem kekebalan tubuh. Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus
Sistemik) dengan Uji Imunologik.
Penatalaksanaan lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat,
sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul. Lupus ringan, gejala tersebut cukup
dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir
surya, dan Hidroksikloroquin. Lupussedang, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan,
Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang obat
imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan Methotrexate. Lupus berat,
steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan tambahan obat immunosupresan.
Pengobatan tambahan yang digunakan untuk lupus berat meliputi immunoglobulin intravena,
plasma exchange, dan antibodi monoclonal (agen biologi) terutama rituximab. Pada
pengobatan Lupus digunakan dua kategori obat yaitu Kortikosteroid dan Nonkortikosteroid.

45
DAFTAR PUSTAKA

Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM 2002, Systemic Lupus Erythematosus,Yayasan


Lupus Indonesia, Jakarta.
Joseph A. Bellanti, M.D. 1993, Imunologi III, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.
Michelle Petri, M.D., M.P.H. 1998, Treatment of Systemic Lupus Erythematosus, Johns
Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Maryland.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015, Pedoman Tatalaksana
Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular, Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2013, Pedoman Tatalaksana
Dislipidemia, Jakarta.
Perhimpunan Rheumatologi Indonesia, 2011, Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik, Jakarta
Robbins, S.L, Cotran R.S & Kumar, V 1999, Dasar Patologi Penyakit, EGC, Jakarta.
Sjaiffoellah, Noer 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI,Jakarta.
Sylvia, A.P & Lorraine, M.W 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
EGC, Jakarta.
Underwood, J.C.E 1999, Patologi Umum dan Sistematik, EGC, Jakarta.
Wallace, J.D 2007, The Lupus Book: Panduan Lengkap Bagi Penderita Lupus dan
Keluarganya, B first, Jakarta.

46

You might also like