You are on page 1of 32

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Leukemia merupakan nama kelompok penyakit maligna yang
dikarakteristikan oleh perubahan kualitatif dan kuantitatif dalam leukosit
sirkulasi. Leukemia dihubungkan dengan pertumbuhan abnormal leukosit
yang menyebar mendahului sumsum tulang. Kata kata leukemia diturunkan
dari bahasa Yunani leukos dan aima yang berarti “putih” dan “darah” yang
mengacu pada peningkatan abnormal dari leukosit. Peningkatan tidak
trkontrol ini akhirnya menimbulkan anemia, infeksi, trobositopenia, dan pada
beberapa kasus menyebabkan kematian (Jan Tambayong, 2000).
Salah satu penyakit non-infeksi (degeneratif) adalah kanker. Kanker
merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. World
Health Organization (WHO) mengestimasikan bahwa 84 juta orang
meninggal akibat kanker dalam rentang waktu 2005 dan 2015.3 Pada tahun
2000 terdapat 10 juta orang (5,3 juta laki-laki dan 4,7 juta wanita) menderita
kanker di seluruh dunia dan 6,2 juta diantaranya meninggal dunia (Case
Fatality Rate/CFR 62%) (WHO, 2003).
Data American Cancer Society (2004), angka kejadian leukemia di
Amerika Serikat 33.440 kasus, 19.020 kasus diantaranya pada laki-laki
(56,88%) dan 14.420 kasus baru lainnya pada perempuan (43,12%). Insiden
rate (IR) leukemia pada laki- laki di Canada 14 per 100.000 penduduk dan
pada wanita 8 per 100.000 penduduk pada tahun yang sama. Data The
Leukemia and Lymphoma Society (2009) menyebutkan bahwa setiap 4 menit
terdapat 1 orang meninggal karena kanker. Diperkirakan 139.860 orang di
Amerika terkena leukemia, lymphoma dan myeloma dan 53.240 orang
meninggal karena kasus ini (CFR 38,1%). IR leukemia yaitu 12,2 per 100.000
penduduk.
Penyakit tersebut mempunyai banyak faktor penyebab namun belum
ada yang mendominasi hingga terjadinya penyakit tersebut. Oleh karena itu,
untuk mencegah leukemia atau kanker darah kita harus mengenal lebih jauh

1
tentang leukemia, bagaimana gejala-gejalanya, dampak dari penyakit
leukemia, cara diagnosa dan penyembuhannya. Penyakit leukimia ini harus
ditangani dengan tepat agar penderita tidak terjangkit penyakit lainnya karena
tranfusi yang tidak steril. Berdasarkan paparan dari fakta inilah maka kami
selaku penulis tertarik untuk membahas kasus mengenai penyakit leukimia ini
dan sebagai pemenuhan tugas pada blok sistem imun dan hematologi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian penyakit Leukemia?
2. Apa jenis – jenis penyakit Leukemia?
3. Bagaimanakah etiologi penyakit Leukemia?
4. Bagaimana Faktor Risiko Perkembangan penyakit Leukemia?
5. Bagaimanakah Patofisiologi penyakit Leukemia?
6. Apa sajakah manifestasi klinis penyakit Leukemia?
7. Apa sajakah pemeriksaan diagnostic penyakit Leukemia?
8. Bagaiamankah penatalaksanaan penyakit Leukemia?
9. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien penyakit Leukemia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan istruksional umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien gangguan sel darah putih
(leukemia).
1.3.2 Tujuan instruksional khusus
Mengetahui etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan
diagnostic, penatalaksanaan dan pencegahan pada penyakit Leukemia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Leukemia

2
Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di sumsum
tulang, yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis sel darah putih dengan
menyingkirkan jenis sel lain (Reeves, Charlene J et al, 2001).
Leukemia tampak merupakan penyakit klonal, yang berarti satu
sekelompok sel anak yang abnormal. Sel-sel ini menghambat semua sel darah
lain di sumsum tulang untuk berkembang secara normal, sehingga mereka
tertimbun di sumsum tulang. Karena factor-faktor ini, leukemia disebut
gangguan akumulasi sekaligus gangguan klonal. Paa akhirnya, sel-sel
nonleukemik di dalam darah yang merupakan penyebab berbagai gejala umum
leukemia.

2.2 Jenis Leukemia


Leukemia digambarkan sebagai akut atau kronis, bergantung pada cepat
tidaknya kemunculan dan bagaimana diferensiasi sel-sel kanker yang
bersangkutan. Sel-sel leukemia akut berdiferensiasi dengan buruk, sedangkan
sel-sel leukemia kronis biasanya berdiferensiesi dengan baik.
Leukemia juga digambarkan berdasarkan jenis sel yang berproliferasi.
Sebagai contoh, leukemia limfoblastik akut, merupakan leukemia yang paling
sering di jumpai pada anak, menggambarkan kanker dari turunan sel limfosit
primitive. Leukemia granulostik adalah leukemia eosinofil, neutrofil, atau
basofil. Leukemia pada orang dewasa biasanya limfositik kronis atau
mielobastik akut. Angka kelangsungan hidup jangka panjang untuk leukemia
bergantung pada jenis sel yang terlibat, tetapi berkisar sampai lebih dari 75%
untuk leukemia limfositik akut pada masa kanak-kanak, merupakan angka
statistic yang luar biasa karena penyakit ini hamper brsifat fatal.

Pembagian penyakit leukemia terdiri dari:


1. Leukemia limfositik akut (LLA)
Leukemia limfoblastik akut adalah leukemia utama pada masa anak-anak,
dan membentuk hamper semua leukemia pada anak berusia kurang dari 4
tahun, dan lebih dari separuh leukemia selama masa pubertas. Penyakit ini
jarang pada pasien berusia lebih dari 30 tahun. Walaupun LLA dijumpai pada
sekitar 15% leukemia pada orang dewasa, namun dari kasus ini mungkin

3
sebenarnya adalah gambaran awal dari transformasi akut LMK. (Ronald A.
Sacher, 2004)
Leukemia limfoblastik akut (ALL) adalah keganasan yang paling sering
dijumpai pada populasi anak-anak. Di Amerika Serikat, leukemia limfoblastik
akut lebih sering dijumpai pada pria daripada wanita dan lebih sering pada ras
kaukasia daripada Afrika-Amerika. Puncak usia terjadinya leukemia
limfoblastik akut adalah kira-kira 4 tahun, walaupun walaupun penyakit ini
dapat mengenai semua usia. Individu-individu tertentu, seperti penderita
Sindrom Down dan ataksia-telangieksis sangat beresiko mengalami penyakit
ini. Penyebabnya tidak di ketahui, walaupun dapat berkaitan dengan factor
genetic, lingkungan, infeksi, dan di pengaruhi imun. Gejala pada saat pasien
datang berobat adalah pucat, fatigue, demam, pendarahan, memar. Nyeri
tulang sering di jumpai, dan anak kecil dapat datang untuk dievaluasi karena
karena pincang atau tidak mau berjalan. Pada pemeriksaaan fisik dijumpai
adanya memar, petekie, limfadenopati dan hepatosplenomegali. Evaluasi
laboratorium dapat menunjukan leukositosis, anemia, dan trombositopenia.
Pada kira-kira 50% pasien pasien di temukan jumlah leukosit melebihi
10.000/mm3 pada saat didiagnosis, dan pada 20% pasien melebihi
50.000/mm3. Neutopenia (jumlah neutrofil absolute kurang dari 500/mm 3)
sering dijumpai. Limfoblas dapat melaporkan di darah perifer, tetapi
pemeriksa yang berpengalaman dapat melaporkan limfoblas tersebut sebagai
limfosit atipik. Diagnosis pasti leukemia di tegakkan dengan melakukan
aspirasi sumsum tulang yang meperlihatkan limfoblas lebih dari 25%.
Sebaikmya juga dilakukan pe,eriksaan imunologik,sitogenik, dan karakter
biokimiawi sel. Cairan spinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat
merupakan tempat persembunyian penyakit ekstramedular. Factor-faktor
prognostic seperti jumlah leukosit awal dan usia pasien menetukan
pengobatan yang diindikasikan. Pasien-pasien yang berisiko tinggi memrlukan
terapi yang lebih intensif. Kebanyakan rencana-rencana pengobatan
berlangsung selama 2-3 tahun dan dimulai dengan fase induksi remisi yang
bertujuan untuk menurunkan beban leukemik yang berdeteksi menjadi kurang
dari 5%. Fase terapi berikutnya bertujuan untuk menurunkan dan akhirnya

4
menghilangkan semua sel leukemik dari tubuh. Terapi preventif pada saraf
pusat termasuk didalam semjua protocol terapi. Kemoterapi dengan beberapa
obat merupakan terapi utama, walaupun pada beberapa pasien yang berisiko
tinggi dilakukan radiasi pada sistem saraf pusat. Transplantasi sumsum tulang
merupakan pendekatan pengobatan lain yang dilakukan pada anak yang
mengalami relaps sumsum tulang. Tempat relaps lain adalah sistem saraf pusat
dan testis. Prognosis untuk daya tahan tubuh hidup bebas penyakit yang lain
lama adalah kira-kira 75% pada semua kelompok resiko.
Sindrom lisis tumor (trias metabolic hiperurisemia, hiperkalemia, dan
hiperfofatemia) merupakan komplikasi terapi yang terjadi ketika sel leukemia
mengalami lisis sebagai respons terhadap kemoterapi sitotoksik dan pelepasan,
kandungan interaselulernya ke dalam aliran darah. Sindrom ini sering terjadi
di dalam sel yang memiliki fraksi pertumbuhan tinggi (leukemia/limfosema
sel T dan limfoma burkitt). Hidrasi, alkalinisasi, dan pemberian aluporinal
secara agresif sebelum memulai kemoterapi dapat meringankan disfungsi
ginjal yang serius. Kedua tidakan pertama membantu ekskresi fosfat dan asam
urat, dan alupurinol mengurangi pembentukan asam urat. Kalium sebaiknya
tidak ditambahkan ke dalam cairan hidrasi. Dengan memantau konsentrasi
elektrolit dan fungsi ginjal secara kilat, seseorang dapat menghindari
berkembangnya gagal ginjal. (M.william schawtz,2005)
2. Leukemia mielositik kronis (CML)
Leukemia mielositik kronis (CML) terhitung kira-kira 3% dari semua
kasus leukemia pada anak-anak. Penyakit ini dapat mengenai semua usia,
tetapi sebagian besar kasus terjadi pada akhir masa kanak-kanak. Penyakit ini
relative lebih lambat disbanding leukima akut. Penyebabnya tidak diketahui.
Pasien sering asimtomatik dan dapt terdapat jumlah leukosit yang tinngi atau
splenomegali yang ditemukan pada pemeriksaan rutin anak yang sehat. Akan
tetapi, dapat trejadi gejala seperti demam, keringat malam, nyeri abdomen atau
nyeri tulang. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya splenomegali nhyata.
Hepatomegali dapat juga terjadi. Evaluasi laboratorium secara tipikal
memperlihatkan leukositosis nyata, trombositis, dan anemia ringan. Sumsum
tulang hiperselular tetapi sisertai maturasi myeloid yang normal. Sel blas tidak

5
banyak dijumpai. Pada kira-kira 90% kasus, tanda sitogenik yang khas pada
leukemia mielositik kronis yang terlihat adalah: kromosom lphiladelphia.
Kromosom ini berkaitan dengan t (9;22) klasik.
Ada tiga tipe leukemia mielositik kronis: fase kronis, fase akselerasi, dan
krisis blas. Fase kronis dapat berlangsung selama bertahun-tahun dan
menunjukkan hiperproliferasi elemen myeloid matur. Pengobatan selama fase
ini ditunjukkan pada sitoreduksi untuk mengurangi resiko berkembangnya
leukositosis dan splenomegali massif. Pemberian hidroksiuria merupakan
bagian penting pengobatan sitoredutif. Dengan berjalannya waktu, semua
pasien akan memasuki fase akselerasi dan fase blas, mengalami leukemia yang
nyata. Pada sebagian besar keadaan, secara morfologis ditemukan mieloblas,
tetapi dapat juga terjadi transformasi limfoblas. Saat dimulai fase blas,
prognosis biasanya buruk. Transplantasi sumsum tulang (BMT) merupakan
satu-satunya terapi kuratif dan sebaiknya dilakukan kaetika pasien masih
berada pada fase kronis. ( M.william schawtz,2005)
3. Multiple Myeloma
Multiple myeloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone
dari sel plasma yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di
sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah besar antibodi yang abnormal,
yang terkumpul di dalam darah atau air kemih. Multiple myeloma
(myelomatosis, plasma cell myeloma, Kahler's disease) merupakan keganasan
sel plasma yang ditandai dengan penggantian sumsum tulang, kerusakan
tulang , dan formasi paraprotein. Myeloma menyebabkan gejala-gejala klinik
dan tanda-tanda klinis melalui mekanisme yang bervariasi. Tumor
menghambat sumsum tulang memproduksi cukup sel darah. Hal ini dapat
menyebabkan masalah kesehatan pada ginjal, saraf, jantung, otot dan traktus
digestivus. Meskipun myeloma masih belum bisa diobati, perkembangan
terapi yang terbaru, termasuk penggunaan thalidomide dan obat-obatan lain
seperti bortezomib dan CC-5013 cukup menjanjikan. ( McPhee ,J.Stephen,
Maxine A. Papadakis, Jr.Lawrence M. Tierney, 2008).

2.3 Etiologi

6
Kanker adalah salah satu jenis penyakit degeneratif yang disebabkan
adanya pertumbuhan yang tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang
berubah menjadi sel kanker. Selanjutnya sel kanker ini dapat menyebar ke
bagian tubuh lainnya sehingga bisa menyebabkan kematian (Irawan, 2001).
Leukimia adalah suatu keadaan dimana terjadi pertumbuhan yang bersifat
irreversible dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari mana sel itu
berada. Sel-sel tersebut, pada berbagai stadia akan membanjiri aliran darah
yang berakibat sel yang spesifik akan dijumpai dalam jumlah yang banyak.
Sebagai akibat dari proliferasi sel abnormal tersebut maka akan terjadi
kompetisi metabolik yang akan menyebabkan anemia dan trombositopenia.
Apabila proliferasi sel terjadi di limpa maka limpa akan membesar, sehingga
dapat terjadi hipersplenisme yang selanjutnya menyebabkan makin
memburuknya anemia serta trombositopenia (Supandiman, 1997).
Etiologi leukimia sampai sekarang belum dapat dijelaskan secara
keseluruhan. Banyak para ahli menduga bahwa faktor infeksi sangat berperan
dalam etiologi leukimia. Infeksi terjadi oleh suatu bahan yang menyebabkan
reaksi seperti infeksi oleh suatu virus. Mereka membuat suatu postulat bahwa
kelainan pada leukimia bukan merupakan penyakit primer akan tetapi
merupakan suatu bagian dari respon pertahanan sekunder dari tubuh terhadap
infeksi tersebut. Respon defensif tubuh berbeda pada berbagai tingkat usia
oleh karena itu maka kita lihat bahwa leukimia limfoblastik akut terdapat
banyak pada anak-anak, leukimia mieoblastik akut pada usia dewasa muda,
leukimia granulositik kronik pada dewasa muda dan orang tua dan leukimia
limfositik kronik dapat dijumpai pada semua umur (Supandiman, 1997).
Terjadi peningkatan insiden leukimia pada orang-orang yang terkena
radiasi sinar rontgen (terkena radiasi ledakan bom aom, yang dapat terapi
radiologis dan para dokter ahli radiologis). Diduga peningkatan insiden ini
karena akibat radiasi akan merendahkan resistensi terhadap bahan penyebab
leukimia tersebut (Supandiman, 1997). Selain faktor diatas ada beberapa
faktor yang menjadi penyebab leukimia akut yaitu faktor genetika,
lingkungan dan sosial ekonomi, racun, status imunologi, serta kemungkinan
paparan virus keduanya.
Obat yang dapat memicu terjadinya leukimia akut yaitu agen pengalkilasi,
epindophy ilotoxin. Kondisi genetik yang memicu leukimia akut yaitu Down

7
sindrom, bloom sydrom, fanconi anemia, ataxia telangiectasia. Bahan kimia
pemicu leukimia yaitu benzen. Kebiasaan hidup yang memicu leukimia yaitu
merokok, minum alkohol keduanya (Dipiro, et al, 2005).

2.4 Faktor Risiko Perkembangan Leukemia


Faktor risiko untuk leukemia antara lain adalah predisposisi genetik yang
berhubungan dengan insiator (mutasi) yang diketahui atau tidak diketahui.
Saudara kandungan dari anak yang menderita leukemia memiliki
kecerendungan 2 sampai 4 kali lipat untuk mengalami penyakit ini
disbandingkan anak-anak lain. Kromosom abnormalitas kromosom tertentu,
termasuk sindrom Down, memiliki resiko menderita leukemia. Pajanan
terhadap radiasi, beberapa jenis obat yang menekan sumsum tulang, dan
berbagai obat kemoterapi telah dianggap meningkatkan risiko leukemia,
agens-agens berbahaya di lingkungan juga di duga dapat menjadi factor risiko.
Riwayat penyakit sebelumnya yang berkaitan dengan hematopoies
(pembentukan sel darah ) telah terbukti meningkatkan risiko leukehodgkin,
myeloma multiple. Riwayat leukemia kronis meningkatkan risiko leukemia
akut.

2.5 Patofisiologi
Sebuah sel induk majemuk berpotensi untuk mengalami diferensiasi,
poliferasi dan maturasi untuk membentuk sel-sel darah matang yang dapat
dilihat pada sirkulasi perifer.

Sel induk berdiferensiasi,


poliferasi, maturasi

Sel Darah Merah


Enam jenis sel darah
Sel induk Majemuk
1. Eritrosit
Sel induk myeloid Sel induk limfoid
2. Trombosit
3. Monosit
Membentuk
4. Basofil 8
sirkulasi limfosit T
5. Neutrofil Band
Leukemia
6. Eusinofil berkembang
Kegagalan menjaga
Sel leukemia tunggal keseimbangan (proliferasi
dan diferensiasi
Berkembang dan memperoleh Sel ≠ bisa membedakan
mutasi tambahan melewati tahap tertentu sel
Populasi sel leukemia yang hematopelosis
monoklone
Bekembang tak terkendali
2.6 Manifestasi Klinis
Selain presentasi klinis, laboratorium dan evaluasi patologi diperlukan
untuk definitif diagnosis leukimia. Tes yang paling penting adalah sumsum
tulang biopsi dan aspirasinya yang disampaikan kepada hematopathology
untuk berbagai evaluasi. Noda cytochemical sangat membantu untuk
menentukan apakah leukimia akut adalah keturunan myeloid atau limfoid.
Umum:
Biasanya terjadi 1-3 bulan dengan gejala yang tidak jelas seperti kelelahan,
kurangnya toleransi latihan, nyeri dada dan perasaan yang tidak enak.
Gejala:
Pasien melaporkan penurunan berat badan, malaise, kelelahan, dan palpitasi
dan dyspnea saat beraktivitas. Gajala lain yang dapat muncul yaitu demam,
menggigil, dan kerasnya sugestif infeksi, memar (perdarahan vagina yang
berlebihan, epistaksis, ekimosis dan petechiae), nyeri tulang, kejang, sakit
kepala, dan diplopia.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan Diagnostik Leukimia Limfoblastik Akut (ALL)
Hitung darah lengkap dan diferensiasinya adalah indikasi utama bahwa
leukemia tersebut mungkin timbul.Semua jenis leukemia tersebut didiagnosis
dengan aspirasi dan biopsi sumsum tulang.Contoh ini biasanya didapat dari
tulang iliaka dengan pemberian anestesi lokal dan dapat juga diambil dari
tulang sternum. (Gale, 2000 : 185)
Pada leukemia akut sering dijumpai kelainan laboratorik seperti:

9
1) Darah tepi
 Dijumpai anemia normokromik-normositer, anemia sering berat dan
timbul cepat.
 Trombositopenia, sering sangat berat di bawah 10 x 106/l
 Leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal atau menurun.

Gambar Pemeriksaan Darah Tepi pada Pasien Leukemia


 Menunjukkan adanya sel muda (mieloblast, promielosit, limfoblast,
monoblast, erythroblast atau megakariosit) yang melebih 5% dari sel
berinti pada darah tepi.

Gambar Limfoblast pada penderita Leukemia


2) Sumsum tulang
Merupakan pemeriksaan yang sifatnya diagnostik.Ditemukan banyak
sekali sel primitif.Sumsum tulang kadang-kadang mengaloblastik; dapat
sukar untuk membedakannya dengan anemia aplastik. Hiperseluler,
hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast), tampak
monoton oleh sel blast, dengan adanya leukomic gap (terdapat perubahan
tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang, tanpa sel antara).
System hemopoesis normal mengalami depresi. Jumlah blast minimal 30%
dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam hitung 500 sel pada apusan
sumsum tulang).

10
Gambar Pemeriksaan Sumsum Tulang
3) Pemeriksaan sitogenetik
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat diperlukan
dalam diagnosis leukemia karena kelainan kromosom dapat dihubungkan
dengan prognosis.

Gambar Contoh Hasil Interpretasi Pemeriksaan Sitogenik


4) Pemeriksaan immunophenotyping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi
imunologik leukemia akut. Pemeriksaan ini dikerjakan untuk pemeriksaan
surface marker guna membedakan jenis leukemia.

11
Gambar Hasil Interpretasi immunophenotyping

2. Pemeriksaan Diagnostik pada Kronik Leukimia Myeloblast (CML)


1) Darah Tepi
 Leukositosis biasanya berjumlah >50 x 109 /L dan kadang – kadang
>500 x 109/L.
 Meningkatnya jumlah basofil dalam darah.
 Apusan darah tepi : menunjukkan spektrum lengkap seri granulosit
mulai dari mieloblast sampai netrofil, dengan komponen paling
menonjol ialah segmen netrofil dan mielosit. Stab, metamielosit,
promielosit dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast kurang dari 5%.
 Trombosit bisa meningkat, normal, atau menurun. Pada fase awal lebih
sering meningkat.
 Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase [NAP] score)
selalu rendah
2) Sumsum Tulang.
Hiperseluler dengan sistem granulosit dominan.Gambarannya mirip
dengan apusan darah tepi.Menunjukkan spectrum lengkap seri myeloid,
dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast
kurang dari 30%. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat.
3) Sitogenik: dijumpai adanya Philadelphia (Ph1) chromosome pada kasus
95% kasus.
4) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.

12
5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya
chimeric protein bcr – abl pada 99% kasus.
6) Kadar asam urat serum meningkat.
Perubahan CML dari fase kronik ke fase transformasi akut ditandai oleh:
1) Timbulnya demam dan anemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
2) Respons penurunan leukosit terhadap kemoterapi yang semula baik
menjadi tidak adekuat.
3) Splenomegali membesar yang sebelumnya sudah mengecil.
4) Blast dalam sumsum tulang >10%.
Diangnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO:
1) Blast 10 – 19 % dari WBC pada darah tepi atau dari sel sumsum tulang
berinti.
2) Basofil darah tepi > 20%.
3) Thrombositopenia persisten (<100 x 109/L) yang tidak dihubungkan
dengan terapi, atau thrombositosis (>1000 x 109/L) yang tidak responsive
pada terapi.
4) Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
5) Bukti sitogenetik adanya evolusi klonal.
Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO:
1) Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang
berinti.
2) Proliferasi blast ekstrameduler.
3) Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsy sumsum tulang.

3. Pemeriksaan Diagnostik pada Multiple Myeloma


1) Laboratorium
Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus.
Jumlah leukosit umumnya normal. Trombositopenia ditemukan pada
sekitar 15% pasien yang terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan
darah tepi jarang mencapai 5%, kecuali pada pasien dengan leukemia sel
plasma. Formasi Rouleaux ditemukan pada 60% pasien. Hiperkalsemiadite
mukan pada 30% pasien saat didiagnosis. Sekitar seperempat hingga
setengah yang didiagnosis akan mengalami gangguan fungsi ginjal dan
80% pasien menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence
Jones yang dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis atau imunofiksasi.

13
Gambar Hasil Pemeriksaan Adanya Protein M pada Penderita Multyple
Myeloma

Gambar Keganasan Multiple Myeloma


2) Radiologi
Gambaran foto x-ray dari multipel mieloma berupa lesi multipel, berbatas
tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan
pelvis. Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini
umumnya berawal di rongga medulla , mengikis tulang cancellous, dan
secara progresif menghancurkan tulang kortikal. Sebagai tambahan, tulang
pada pasien mieloma, dengan sedikit pengecualian, mengalami
demineralisasi difus.Pada beberapa pasien, ditemukan gambaran
osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi.Saat timbul gejala sekitar 80-
90% di antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos
memperlihatkan:
 Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang,
terutama tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum

14
pada jaringan mieloma. Hilangnya densitas tulang belakang mungkin
merupakan tanda radiologis satu-satunya pada mieloma multiple.
Fraktur patologis sering dijumpai.
 Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan
osteoprosis senilis.
 Lesi-lesi litik “punch out” yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi
yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.
 Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan
massa jaringan lunak.
 Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan
pada suatu penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna
vertebra 66%, iga 44%, tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%,
klavicula 10% dan scapula 10%.

Gambar Radiologi Pasien Multiple Myeloma

3) CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada mieloma. Namun,
kegunaan modalitas ini belum banyak diteliti, dan umumnya CT Scan
tidak dibutuhkan lagi karena gambaran pada foto tulang konvensional
menggambarkan kebanyakan lesi yang CT scan dapat deteksi.

15
Gambar CT Scan Pada Multiple Myeloma
4) MRI
MRI potensial digunakan pada multiple mieloma karena modalitas
ini baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada
deposit mieloma berupa suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di
gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.
Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas
dan pola menyerupai mieloma.MRI meskipun sensitif terhadap adanya
penyakit namun tidak spesifik.Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis
multiple mieloma seperti pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi
langsung sumsum tulang untuk menilai plasmasitosis.Pada pasien dengan
lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk menentukan tingkat
keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.

5) Angiografi
Gambaran angiografi tidak spesifik.Tumor dapat memiliki zona perifer
dari peningkatan vaskularisasi.Secara umum, teknik ini tidak digunakan
untuk mendiagnosis multipel mieloma.

2.7 Penatalaksanaan
1. Leukimia Limfoblastik Akut (ALL)

16
1) Pengobatan
Pengobatan khusus dan harus dilakukan di rumah sakit.Berbagai regimen
pengobatannya bervariasi, karena banyak percobaan pengobatan yang
masih terus berlangsung untuk menentukan pengobatan yang optimum.
 Obat-obatan kombinasi lebih baik daripada pengobatan tunggal.
 Jika dimungkinkan, maka pengobatan harus diusahakan dengan berobat
jalan.
 Daya tahan tubuh penderita menurun karena sel leukemianya
2) Terapi
Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
 Kemoterapi
a. Induksi Remisi.
Banyak obat yang dapat membuat remisi pada leukemia
limfositik akut.Pada waktu remisi, penderita bebas dari symptom,
darah tepi dan sumsum tulang normal secara sitologis, dan
pembesaran organ menghilang.Remisi dapat diinduksi dengan
obat-obatan yang efeknya hebat tetapi terbatas. Remisi dapat
dipertahankan dengan memberikan obat lain yang mempunyai
kapasitas untuk tetap mempertahankan penderita bebas dari
penyakit ini.
Berupa kemoterapi intensif untuk mencapai remisi, yaitu
suatu keadaan di mana gejala klinis menghilang, disertai blast
sumsum tulang kurang dari 5%.Dengan pemeriksaan morfolik
tidak dapat dijumpai sel leukemia dalam sumsum tulang dan darah
tepi. (Bakta,I Made, 2007 : 131-133)
Biasanya 3 obat atau lebih diberikan pada pemberian secara
berurutan yang tergantung pada regimen atau protocol yang
berlaku. Beberapa rencana induksi meliputi: prednisone, vinkristin
(Oncovin),daunorubisin (Daunomycin), dan L-asparaginase
(Elspar). Obat-obatan lain yang mungkin dimasukan pada
pengobatan awal adalah 6-merkaptopurin (Purinethol) dan
Metotreksat (Mexate).Allopurinol diberikan secara oral dalam
dengan gabungan kemoterapi untuk mencegah hiperurisemia dan
potensial adanya kerusakan ginjal.Setelah 4 minggu pengobatan,
85-90% anak-anak dan lebih dari 50% orang dewasa dengan ALL
dalam remisi komplit.Teniposude (VM-26) dan sitosin arabinosid

17
(Ara-C) mungkin di gunakan untuk menginduksi remisi juka
regimen awal gagal. (Gale, 2000 : 185)
b. Fase postremisi
Suatu fase pengobatan untuk mempertahankan remisi selama
mungkin yang pada akhirnya akan menuju kesembuhan. Hal ini
dicapai dengan:
a) Kemoterapi lanjutan, terdiri atas:
Terapi konsolidasi
Terapi pemeliharaan (maintenance)
Late intensification
b) Transplantasi sumsum tulang: merupakan terapi konsolidasi
yang memberikan penyembuhan permanen pada sebagaian
penderita, terutama penderita yang berusia di bawah 40 tahun.
 Terapi suportif
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya
dengan kemoterapi karena akan menentukan angka keberhasilan terapi.
Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif yang intensif
pula, kalau tidak penderita dapat meninggal karena efek samping
obat,.Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk
mengatasi efek samping obat. Terapi suportif yang diberikan adalah;
1) Terapi untuk mengatasi anemia
2) Terapi untuk mengatasi infeksi, sama seperti kasus anemia aplastik
terdiri atas Antibiotika adekuat, Transfusi konsentrat granulosit
Perawatan khusus (isolasi) dan Hemopoitic growth factor (G-CSF
atau GM-CSF)
3) Terapi untuk mengatasi perdarahan
4) Terapi untuk mengatasi hal-hal lain seperti pengelolaan leukostasis,
pengelolaan sindrom lisis tumor
2. Leukimia Myeloblastik Akut (CML)
Terapi CML tergantung pada dari fase penyakit, yaitu
1. Fase kronik, obat pilihannya meliputi:
 Busulpan (Myleran), dosis : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit
diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit
turun setengahnya. Obat dihentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi
dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek samping dapat

18
berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya
timbulnya leukemia akut (Bakta, 2007).
 Kemoterapi Hydroxiurea bersifat efektif dalam mengendalikan
penyakit dan mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase
kronik, tetapi biasanya perlu diberikan seumur hidup (Hoffbrand,
2005) dan memerlukan pengaturan dosis lebih sering, tetapi efek
samping minimal. Dosis mulai dititrasi dari 500 mg – 2000 mg.
Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit
10.000 – 15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit dan bahaya,
keganasan sekunder hampir tidak ada (Bakta, 2007).
 Inhibitor tirosin kinase. Obat ini sekarang sedang diteliti dalam
percobaan klinis dan tampaknya hasilnya menjanjikan. Zat STI 571
adalah suatu inhibitor spesifik terhadap protein ABL yaitu tirosin
kinase dan mampu menghasilkan respons hematologik yang lengkap
pada hampir semua pasien yang berada dalam fase kronik dengan
tingkat konversi sumsum tulang yang tinggi dari Ph+ menjadi Ph-
(Hoffbrand, 2005).
 Interferon alfa biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol
oleh hidroksiurea. Pada CML fase kronik interferon dapat memberikan
remisi hetologik pada 80% kasus, tetapi remisi sitogenetik hanya
tercapai pada 5 – 10% kasus (Bakta, 2007;Hoffbrand, 2005).
2. Terapi fase akselerasi : sama dengan terapi leukemia akut, tetapi respons
sangat rendah.
3. Transplantasi sumsum tulang: memberikan harapan penyembuhan jangka
panjang terutama untuk penderita yang berumur <40 tahun. Sekarang yang
umum diberikan adalah allogeneic peripheral blood stem cell
transplantation. Modus terapi ini merupakan satu – satunya yang dapat
memberikan kesembuhan total.
4. Sekarang sedang dikembangkan terapi yang memakai prinsip biologi
molekuler (targeted therapy). Suatu obat baru imatinib mesylate (Gleevec)
dapat menduduki ATP – binding site of abl oncogen sehingga menekan
aktifitas tyrosine kinase sehingga menekan proliferasi seri myeloid (Bakta,
2007).
3. Multiple Myeloma

19
1) Kemoterapi
Kemoterapi adalah penggunaan obat yang ampuh untuk membunuh sel-sel
kanker.Kemoterapi merupakan terapi sistemik, artinya beredar melalui
aliran darah dan mempengaruhi hampir seluruh bagian tubuh. Yang umum
sebagian besar efek samping kemoterapi termasuk kelelahan,
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, mual dan muntah, kehilangan
selera makan, rambut rontok , luka di mulut dan saluran pencernaan, nyeri
otot, dan mudah memar atau pendarahan. obat khusus mungkin berunding
lainnya khusus efek samping.
2) Terapi radiasi
 Dalam myeloma, radiasi digunakan terutama untuk mengobati tumor
yang lebih besar, atau untuk mencegah fraktur patologis dalam-
dikompromikan tulang myeloma.
 Pada orang dengan penyakit yang luas, radiasi dapat diterapkan ke area
yang lebih besar untuk membunuh beberapa situs myeloma.
 Radiasi dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit dan gejala
lain yang berhubungan dengan area kecil kerusakan parah terutama
tulang.
3) Pengobatan ditujukan untuk:
1. Mencegah atau mengurangi gejala dan komplikasi
2. Menghancurkan sel plasma yang abnormal
3. Memperlambat perkembangan penyakit.
4) Penatalaksanaan yang bisa diberikan
1. Obat pereda nyeri (analgetik) yang kuat dan terapi penyinaran pada
tulang yang terkena, bisa mengurangi nyeri tulang.
2. Penderita yang memiliki protein Bence-Jones di dalam air kemihnya
harus bayak minum untuk mengencerkan air kemih dan membantu
mencegah dehidrasi, yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal.
3. Penderita harus tetap aktif karena tirah baring yang berkepanjangan
bisa mempercepat terjadinya osteoporosis dan menyebabkan tulang
mudah patah. Tetapi tidak boleh lari atau mengangkat beban berat
karena tulang-tulangnya rapuh.
4. Pada penderita yang memiliki tanda-tanda infeksi (demam, menggigil,
daerah kemerahan di kulit) diberikan antibiotik.

20
5. Penderita dengan anemia berat bisa menjalani transfusi darah atau
mendapatkan eritropoetin.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus Semu
An. Budi usia 7 tahun, agama Islam, alamat tinggal jln. Ratu Jambi
Cidolod, kelas 2 SD, masuk rumah sakit tanggal 8/11/2011. Klien masuk
rumah sakit dengan keluhan sesak nafas, demam, sakit kepala, lemah, nyeri
tulang dan sendi. Saat pemeriksaan fisik didapatkan: menggunakan otot bantu
nafas, CRT > 3 detik, , konjungtiva anemis, akral dingin, BB klien turun dari
25 kg menjadi 22 kg, mual (+) dan muntah (+). Selain itu terdapat pembesaran
limfa (splenomegali) dan hati (hepatomegali). Dari hasil pemeriksaan tanda-
tanda vital diperoleh : TD : 80/50 mmHg, N : 80x/menit, RR : 34 x/menit , S :
38,60C. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil lab : Hb: 6,7
gr/dl, leukosit: 70.500 ml3, trombosit: 44.000 ml.

3.2 Pengkajian
Anamnesa:
1. Identitas
Nama : An. Bd
Usia : 7 tahun
JK : Laki-laki
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Jalan Ratu Jambi Cidolod

21
2. Keluhan Utama
An. Bd mengatakan sesak napas, demam, sakit kepala, lemah, nyeri
tulang dan sendi.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Saat dilakukan pemeriksaan pada fisik An. Bd, CRT > 3 detik,
konjungtiva anemis, akral dingin, BB turun, mual dan muntah. Selain
itu, terdapat pembesaran limfa dan pembesaran hati.
4. Riwayat Penyakit dahulu: -
5. Riwayat Penyaki Keluarga: -
6. Riwayat Psikososial: -

3.3 Pemeriksaan Fisik


B1 (Breath):
RR 37x/menit, sesak napas, menggunakan otot bantu pernapasan yaitu otot
sternokleidomastoid.
B2 (Blood):
TD 80/50 mmHg, CRT >3detik, akral dingin, HR 80x/menit, Hb 6,7 gr/dl,
leukosit 70.500 ml3, trombosit 44.000ml3
B3 (Brain): sakit kepala
B4 (Bladder): -
B5 (Bowel):
BB turun, mual, muntah, pembesaran limfa, pembesaran hati
B6 (Bone):
Nyeri tulang dan sendi

3.4 Analisis data


No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1. DS : Faktor eksternal (agent, obat- Gangguan
 Sesak nafas obatan, radiasi) pertukaran gas
 Sakit kepala ↓
Menyebabkan sel tumbuh
DO: melebihi normal dan ganas

22
 RR 19 x/menit ↓
(takipnea) Sel muda yang seharusnya
 HR 80x/menit membentuk limfosit berubah
 CRT >3 detik
 Akral dingin ganas
 Hb 6,7 gr/dl ↓
 SaO2 90%
Muncul sel kanker
 AGD

menunjukkan
Menghasilkan leukosit yang
hasil:
Asidosis imatur lebih banyak
respiratorik ↓
Leukosit imatur menyusup
ke sumsum tulang

Limfosit imatur
berproliferasi di sumsum
tulang belakang dan sel
perifer

Mengganggu perkembangan
sel normal

Haemopoesis normal
terhambat

Penurunan produksi eritrosit

Hemoglobin menurun

Pengangkutan O2 oleh darah
menurun

Oksigen tidak terdistribusi

23
dengan baik

Gangguan pertukaran gas
2. DS : F aktor eksternal (agent, Hipertermi
 Merasa obat-obatan, radiasi)
badannya ↓
panas Menyebabkan sel tumbuh
melebihi normal dan ganas
DO : ↓
 Suhu 38,60˚C Sel muda yang seharusnya
 Demam
 Turgor kulit membentuk limfosit berubah

menurun ganas
 Membrane ↓
mukosa Muncul sel kanker
kering ↓
 Kulit merah
Menghasilkan leukosit yang
 Kulit teraba
imatur lebih banyak
hangat
 Leukosit ↓
70.500 ml3 Leukosit imatur menyusup
ke sumsum tulang

Limfosit imatur
berproliferasi di sumsum
tulang belakang dan sel
perifer

Mengganggu perkembangan
sel normal

Haemopoesis normal
terhambat

Penurunan produksi leukosit

24

Mempengaruhi system
retikulo endothelial

Gangguan pertahanan tubuh

Infeksi

Peningkatan laju metabolism

Hipertermi
3. DS : Faktor eksternal (agent, obat- Gangguan nutrisi
 Mual obatan, radiasi) kurang dari
 Muntah ↓ kebutuhan tubuh
Menyebabkan sel tumbuh
DO : melebihi normal dan ganas
 BB turun ↓
yang semua Sel muda yang seharusnya
25 kg membentuk limfosit berubah
menjadi 22 ganas
kg ↓

Pembesaran
Muncul sel kanker
limfa

Pembesaran ↓

hati Menghasilkan leukosit yang



Penurunan imatur lebih banyak
turgor kulit ↓

Membrane
Leukosit imatur menyusup
mukosa
ke sumsum tulang
kering
 ↓
Kelemahan

Limfosit imatur
Hb: 6,7 gr/dl

berproliferasi di sumsum
leukosit:70.50
tulang belakang dan sel
0 ml3
perifer

25

trombosit: ↓
44.000 ml. Mengganggu perkembangan
sel normal

Haemopoesis normal
terhambat

Penurunan produksi eritrosit

Anemia

Nutrisi tidak terdistribusi
dengan baik

Lemah, nafsu makan
menurun

Nutrisi kurang dari
kebutuhan

3.5 Diagnosis Keperawatan


1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan oksigen tidak dapat
terdistribusi dengan baik.
2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
3. Resiko gangguan nutrisi kutrang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia, mual, dan muntah.

3.6 Intervensi
Diagnosis Keperawatan I
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan oksigen tidak terdistribusi
dengan baik
Tujuan : Pertukaran gas dapat terdistribusi dengan baik

26
Kriteria Hasil : RR 24x/menit, pasien tidak mengeluhkan sakit kepala, Hb
normal, SaO2 > 95%, Hasil AGD menunjukkan nilai normal PO 2 80-100,
PCO2 35-45, pH 7-7,5.

INTERVENSI RASIONAL
Atur posisi klien semifowler Posisi fowler memaksimalkan ekspansi
paru dan menurunkan upaya bernapas.
Berikan oksigen dan pantau Terapi oksigen dapat mengoreksi
efektifitasnya hipoksemia yang terjadi akibat
penurunan ventilasi paru.
Tingkatkan pola pernapasan yang Mengoptimalkan pertukaran gas alveoli
optimal dalam memaksimalkan dengan pembuluh darah
pertukaran oksigen dan karbondioksida
dalam paru
Tingkatkan bedrest, batasi aktivitas dan Menurunkan konsumsi oksigen selama
bantu kebutuhan perawatan diri sehari- periode penurunan pernapasan dan
hari sesuai keadaan pasien. dapat menurunkan beratnya gejala
Ajarkan breathing exercise Meredakan pola nafas yang tidak teratur
Berikan obat antiaritmia, jika perlu Memberikan perawatan dengan
memberikan bantuan farmakologi yang
dapat menunjang proses perawatan

Diagnosis Keperawatan II
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam suhu tubuh pasien kembali normal (36,6 C –
37,2 C).
Kriteria Hasil : Suhu Normal antara 36,6 C – 37,2 C, tanda-tanda infeksi
berkurang atau hilang, kulit berwarna normal, turgor lentur, membrane mukosa
lembab.
INTERVENSI RASIONAL
Monitor tanda-tanda vital, Untuk menentukan tindakan dan
mengumpulkan dan menganalisis dara mencegah komplikasi pada pasien.
kardiovaskular pernapasan dan suhu

27
tubuh.
Kompres menggunakan waslab Konduksi suhu membantu menurunkan
dingin( atau kantong es yang dibalut suhu tubuh yang memungkinkan
dengan kain) di aksila, kening, tengkuk, pelepasan panas secara konduksi dan
dan lipatan paha. evaporasi.
Anjurkan menggunakan pakaian yang Pakaian yang minimal akan membantu
berlebihan dan tutupi pasien d mengurangi pengupan tubuh.
engan selimut saja
Anjurkan asupan cairan oral, sedikitnya Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan
2 L per/hari, dengan tambahan cairan penguapan cairan tubuh meningkat,
selama aktivitas yang berlebihan atau sehingga perlu diimbangi dengan intake
aktivitas sedang dalam cuaca panas. cairan yang banyak.
Pantau suhu dan warna kulit minimal Untuk mengetahui adanya perubahan
setiap 2 jam, sesuai dengan kebutuhan. yang terjadi pada pasien
Aktivitas kolaboratif: Memberikan perawatan dengan
Berikan obat antipiretik, jika perlu memberikan bantuan farmakologi yang
dapat menunjang proses perawatan

Diagnosis Keperawatan III


Resiko Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
anoreksia, mual dan muntah,
Tujuan : Nutrisi pasien terpenuhi sesuai dengan angka kebutuhan nutrisi pasien.
Kriteria Hasil : pasien menunjukkan nafsu makan meningkat, tidak adanya
anoreksia, berat badan klien dalam keadaan stabil atau naik.
INTERVENSI RASIONAL
Identifikasi faktor pencetus mual dan Mengetahui faktor yang menyebaabkan
muntah mual dan muntah.
Sajikan makanan dengan tampilan Meningkatkan nafsu makan anak agar
menarik yang berprotein/ kalori sangat kebutuhan nutrisi tercukupi atau
tinggi yang disajikan pada saat individu terpenuhi dan mendukung proses
ingin makan metabolic pasien yang berisiko tinggi
terhadap malnutrisi
Berikan porsi makan porsi kecil tapi Untuk mengurangi perasaan tegang
sering (enak kali per hari ditambah pada lambung sehingga diberikan
dengaan makanan kecil) makanan sedikit tapi sering.

28
Pantau kebutuhan cairan dan elektrolit Mencegah terjadinya kekurangan
klien cairan dan elektrolit pada klien
Kolaborasi dengan ahli gizi dalam Bekerjasama dalam pemberian nutrisi
memnutukan protein pasien yang pasien agar adekuat dan tepat.
mengalami ketidakadekuatan asupan
protein

BAB IV
PENUTUP

5.1 Simpulan
Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di sumsum
tulang, yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis sel darah putih dengan
menyingkirkan jenis sel lain. Leukemia juga digambarkan berdasarkan jenis
sel yang berproliferasi. Sebagai contoh, leukemia limfoblastik akut,
merupakan leukemia yang paling sering di jumpai pada anak, menggambarkan
kanker dari turunan sel limfosit primitive. Leukemia granulostik adalah
leukemia eosinofil, neutrofil, atau basofil. Leukemia pada orang dewasa

29
biasanya limfositik kronis atau mielobastik akut. Angka kelangsungan hidup
jangka panjang untuk leukemia bergantung pada jenis sel yang terlibat, tetapi
berkisar sampai lebih dari 75% untuk leukemia limfositik akut pada masa
kanak-kanak, merupakan angka statistic yang luar biasa karena penyakit ini
hamper brsifat fatal. Obat yang dapat memicu terjadinya leukimia akut yaitu
agen pengalkilasi, epindophy ilotoxin. Kondisi genetik yang memicu leukimia
akut yaitu Down sindrom, bloom sydrom, fanconi anemia, ataxia
telangiectasia. Bahan kimia pemicu leukimia yaitu benzen. Kebiasaan hidup
yang memicu leukimia yaitu merokok, minum alkohol keduanya.
Sebagai salah satu tenaga kesehatan, khususnya perawat yang sering
bersama dengan pasien tentunya harus mampu untuk melakukan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan sel darah putih (leukemia).
Diagnose keperawatan yang dapat ditemukan dari pasien dengan gangguan sel
darah putih adalah gangguan pertukaran gas, hipertermi dan resiko ketidak
adekuatan nutrisi. Oleh karena itu sebagai seorang perawat harus mampu
memberikan asuhan keperawatan untuk mengembalikan kondisi pasien ke
keadaan yang lebih baik.

5.2 Saran
1. Makalah ini adalah makalah yang membahas tentang asuhan keperawatan
pasien dengan Leukemia, sehingga diharapkan bermanfaat bagi pembaca
yang membutuhkan.
2. Makalah ini belum memenuhi kesempurnaan, oleh karena itu dibutuhkan
perbaikan makalah ini agar lebih baik dan lengkap.
3. Setelah membaca makalah ini, pembaca dapat menerapkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Leukemia.

30
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily. 2002. Keperawatan Pediatrik Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Beda. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik


Klinis. EGC : Jakarta.

Marilyn E. Doenges, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler.2002.


Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Reeves, Charlene J et al. 2001.Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko


Setyono. Ed. I. Jakarta : Salemba Medika.

Sacher, Ronald A., Rochard A. McPherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil


pemeriksaan laboratorium. Jakarta. EGC.

Schwartz, M.Willam. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. 2002. Patofisiologi (Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Wilkinson, Judith. M, Nancy R. Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan


(Nanda, NIC,NOC). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

31
32

You might also like