Professional Documents
Culture Documents
Kerja fikir sangat dipengaruhi oleh kerja indra. Kerja akal sangat memungkinkan
bagi adanya pelurusan konklusi hasil pengamatan. Aturan-aturan alam yang berjalan
secara cermat dan teratur serta menakjubkan sangat memungkinan ketelitian dan
konsistensi kerja akal dalam melakukan pengamatan dan menganalisa.
Rangkaian kegiatan mulai dari observasi dan pengukuran yang dilakukan dalam
survey, dan penggunaan akal serta fikiran untuk menganalisa data untuk sampai
kepada kesimpulan yang rasional adalah kegiatan utama pengembangan ilmu
pengetahuan dalam rangkaian pembinaan intelek.
Ungkapan-ungkapan al-Quran dan juga al-Sunnah mengenai pembinaan aspek intelek
mengandung hal-hal pokok yang menjadi sasaran. Pertama, sebagai sarana pengenalan
jati diri manusia melalui proses pengamatan, perenungan, dan pengkajian terhadap
alam. Metode yang digunakan sama sekali tidak mengandung unsur pemaksanaan.
Allah, dalam hal ini, mengkondisikan sistem berfikir yang liberal dengan
mendorong manusia melakukan perenungan-perenungan hal-hal metafisik. Dan,
terakhir Allah mengajak manusia melakukan penyimpulan (natijah, conclusion)
tentang keesaan dan kemahakuasaan-Nya.
Kedua, terciptanya pola hidup manusia secara perseorangan sebagai pencipta
kemaslahatan. Metode yang digunakan adalah penanaman pengertian dan pemahaman yang
lurus, sesuai kadar dan tingkatan berfikir manusia. Allah memberlakukan azas
kebebasan berbuat tanpa rasa takut atau tekanan. Untuk itulah Allah mengajak
manusia melakukan pengamatan, peneyelidikan dan pengkajian terhadap alam semesta
ciptaan-Nya.
B. TINJAUAN EPSITEMOLOGIS ILMU
Manusia memiliki ruh, jiwa (nafs), hati (qalb), dan intelek (‘aql). Oleh
karena itu, manusia di satu sisi disebut al-Nafs al-Bahimiyyah dan di sisi lain
disebut al-Hayawan al-Nathiqah. Ruh, ketika bergelut dengan sesuatu yang
berkaitan dengan intelektual dan pemahaman, ia disebut jiwa (nafs). Ketika
sedang mengalami pencerahan intuisi, ia disebut hati (qalb). Ketika kembali ke
dunianya yang abstrak, ia disebut ruh. Ia selalu memanifestasikan dirinya dalam
keadaan-keadaan ini.
Manusia, dalam pandangan para ahli filsafat pendidikan Islam, adalah totalitas
antara aspek jasmaniah, akal dan ruh. Prinsip unifikasi inilah yang menjadi dasar
pendidikan Islam, dan kemudian mengilhami secara langsung dengan model-model
pendidikan: pendidikan intelektual, pendidikan ruhani, dan pendidikan jasmani.
Akal manusia, sebagaimana digambarkan al-Quran, memiliki keistimewaan dapat
menjelaskan hal-hal metafisik. Anjuran dan perintah Allah kepada manusia untuk
memelihara, membina dan mengembangkan potensi kognitif, akal banyak didapati
didalam al-Quran dan al-Sunnah. Diantara hadits Nabi SAW yang berisikan perintah
adalah sebagai berikut :
قاَل اغْد
َ ٍ ْحَس َ ََ َ ُنا قَبيص َ
ُ عود
ُْ
َسِ م
ْنِ الله ب َْ
بدَنْ ع
ِ عَن َنْ ال
ِ عِب
سائّ ِ ال
ْنِ ب
طاء َنْ ع
ُ عيانُْ
َفنا س
ََ
برَْة أخَ ِ ََ
برَْأخ
َ َهَت َ ُ
َكن َ َم َ ََّ َ َ)
ّلك )رواه الدارمي ِْ َ ف
ِعراب
ّ ِ ال ول تَ عاًِ ْت
ُسو م
ْما أًِعلُتو م
ْما أ ًل
ِعا
Hadits ini termasuk hadits mawquf shahabi (sanad berhenti hanya sampai kepada
sahabat Rasulullah SAW). Para perawinya termasuk perawi yang jujur (shaduq).
Matan hadits ini, adalah infirad Sunan al-Darimiy, tidak terdapat pengulangan di
dalam berbagai kitab shahih atau sunan selainnya.
Ahli ra’yu menetapkan kewajiban pertama umat Islam adalah mendengarkan informasi
tentang ilmu-ilmu keislaman. Kewajiban kedua, adalah menuntut ilmu atau menjadi
peserta didik. Menuntut ilmu, berdasarkan hadits tersebut, adalah kewajiban bagi
setiap umat Islam (fardhu a’in) dan karenanya ia termasuk kedalam aqidah Islamiah
serta cabang keimanan. Kewajiban berikutnya adalah pengembangan diri peserta
didik menjadi pribadi yang memiliki kemauan dan kemampuan mentransfer ilmu
pengetahuan kepada orang lain, setelah mengaplikasikannya bagi kepentingan
internal peningkatan kepribadian.
Pendidikan intelektual sangat terkait dan cenderung memprioritaskan pembinaan
aspek rasio atau potensi akal peserta didik. Berdasarkan kapasitas dasar (bakat,
bawaan) peserta didik dapat dikategorikan menjadi : peserta didik dengan
kemampuan berfikir rendah, peserta didik dengan kemampuan berfikir agak cerdas,
serta peserta didik dengan kemampuan berfikir cerdas. Peserta didik kategori
pertama berkecenderungan besar memenuhi kebutuhan-kebutuihan konumstif seperti
makan dan minum. Peserta didik kategori kedua masih tergolong tidak terpuji
meskipun sudah menunjukkan peningkatan karena cara kerja fikirnya belum dapat
mendatangkan manfaat secara sosial. Peserta didik kategori ketiga adalah peserta
didik yang lebih baik dari kategori kedua dan kesatu.
Hadits Ibnu Mas’ud tersebut ternyata tidak saja berisikan perintah Rasulullah,
melainkan juga berisikan larangan. Larangan bagi siapa saja yang tidak melakukan
pilihan antara menjadi pendengar, atau menjadi peserta didik, atau menjadi
pendidik. Larangan itu di sisi lain, mengisyaratkan bahwa ilmu dalam Islam tidak
sekadar untuk diketahui atau dimengerti. Hal ini sangat ditentukan oleh motif atau
niat seseorang ketika mencari ilmu. Ilmu musti diaplikasikan dan direalisaskan
dalam bentuk amal saleh, yakni dengan jalan setiap orang yang berilmu menerapkan
setiap ilmu yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari dan kemudian
mengajarkannya kepada orang lain, dimulai dari anggota keluarga, tetangga dan
masyarakat serta bangsa.
Hadits Nabi SAW tentang pendidikan merupakan justifikasi wahyu terhadap kondisi
keseharian umat Islam yang secara empiris dengan potensi ruhaniah dan ‘aqliahnya
menghajatkan proses pembinaan kreatif dan inovatif aspek intelek untuk berkembang
secara wajar dan imbang dalam kerangka pelaksanaan amanat kekhalifahan di bumi.
Hadits ini menunjukkan kepada kita tentang tahapan-tahapan yang mesti dilalui
dalam proses pemeliharaan, pembinaan dan pengembangan potensi akliah peserta
didik.
C. TINJAUAN AKSIOLOGIS ILMU
Hadits di bawah ini menggariskan langkah-langkah pembinaan aspek intelektual
peserta didik yang menjadi tugas pendidikan. Jenis ilmu berdasarkan kegunaan atau
manfaatnya bagi kehidupan sosial kemasyarakatan Rasulullah menegaskan secara
gamblang sebagaimana dalam hadits berikut.
َث َ
ُْ
م علِْ
َ ال َِ
لك َذ
ِ فْب َْ
قل ِ ال م في ٌْ
علَِ
ِ فمانَْ
ِلم عُْعلِْقاَل الَ ِ ْحَس
َن َنْ ال
م عٌشاَِ ََ
نا ه ّ
م حَد
َهي
ِ را
َْإب
ِ ُْن
ّ بُِّي
َكنا م
ََبرَْأخ
َلى ابَ ُ الله ع َ َ
لك حُجّةََِذ ّ َ م ْ َ
ّم )رواه الديلمي ََِ آد ْن ِ فسانََِ اللعلى ٌِلوع ِع
َ ُ نافّ) ال
Hadits ini termasuk hadits marfu’ (sanad bersambung sampai kepada Rasulullah SAW).
Makki bin Ibrahim dan Hisyam serta Hasan dikenal sebagai perawi yang tsiqah.
Matan hadits ini, adalah infirad dalam Sunan al-Darimiy, tidak terdapat
pengulangan di dalam berbagai kitab shahih atau sunan selainnya.
Dengan menggunakan kata dan kalimat yang jelas dan tegas (sharih) hadits yang
menggunakan kalam khabar itu, hadits ini memberikan pemahaman bahwa ilmu yang
dikehendaki Islam adalah ilmu yang tidak mengandung keraguan sedikit pun di
hati pemilikinya. Ilmu inilah yang dikategorikan ilmu yang bermanfaat dan ilmu
jenis ini pula yang dapat melahirkan rasa takut kepada Allah (khasyyah) serta
akan memberikan nilai guna bagi perbaikan dan kemaslahatan serta kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat. Dengan demikian, ilmu menuntut adanya kompetensi spiritual
(ruhaniah), personal, dan sosial si pemiliknya, sebagaimana dianut para ahli
pendidikan dari masa ke masa.
Di sisi lain hadits ini menyadarkan kita akan nilai aksiologis (etika) ilmu
pengetahuan. Ia berisikan sindiran bagi orang-orang yang berilmu tetapi secara
aksiologis ilmu mereka tidak memberikan manfaat kepada orag lain. Hal ini
didukung oleh hadits di bawah ini.
َ َث
قاَل حَد
َ ّ ْحِم َث ِ قَي َْ َ ُ بن َ
بوُ ني أَِ ّ ُْصِي ٍ ال
َ
ْفَي
ُ سْنُ ب
ُسيونُ ني َِ ّ
ْسٍ حَد ْن
م ب
ِِقاس ِ ال َنْ اب
ْن َ عبان
َُ أ ْ عيلِمَْإسِ ناََ
برَْأخ
َّ ال َ َ َ ُ َُ َ َ قاَل س َُّ
ة
َِيامَقِْ
م ال َو
َْ ة يًَ
ِل ْزَن
ِ مله ْدِن
ِ عناسِّ ال ِنْ أشَر
ّ ّ مإنِ قول ِ يداءَّْر
با الد َُ أعت
ِْ
َم َ ّ
ُلي
ِلو َ السبشَةَْك
ي)الدارم ه
ِ م
ِ ْ
ل ع
ِ ب
ِ ع
ُ ف
َِ
ت ْ
نَي لَ ماًل
ِعاَ )
ّ
D. KEDUDUKAN AKAL BAGI ILMU
Faktor utama yang menyebabkan manusia menjadi makhluk paling mulia adalah potensi
akalnya. Apabila syara’ dapat dianalogikan dengan sinar matahari, maka akal adalah
cahaya binatang-binatang. Ia dapat menunjukkan dan mengantarkan manusia kepada
kemaslahatan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.
Amanat kekhalifahan yang dibebankan Allah kepada Adam adalah bukti penghormatan
terhadap potensi intelek manusia, yang secara fungsional menentukan masa depan dan
nasibnya. Dengan akalnya, manusia dapat qurb dengan Allah. Akal merupakan
media bagi ilmu pengetahuan dan ilham. Akal ini pula yang diberi kepercayaan
(amanah) untuk memimpin aspek-aspek hewani agar bisa menyadari misi kehidupannya
di dunia ini. Akal jenis ini, oleh al-Ghazali, disebut akal muktasab atau akal
mustafad, seperti dimaksudkan hadits Nabi SAW yang berbunyi :
رب أنت بعقلك ّ ّ فتق رب الناس بأبواب البر ّ إذا تق.
Konsepsi keberadaan dan keesaan Allah dapat dicapai melalui akal. Walaupun
demikian, akal yang tidak memiliki persiapan tidak akan dapat mengetahui nama-
nama-Nya dan tidak pula dapat memahami dengan baik hubungan Allah dengan semua
ciptaan-Nya, dan sebaliknya. Itulah sebabnya mengapa pemikir-pemikir Yunani
meskipun menguasai permalasahan-permalasahan intelektual secara mendalam, mereka
tidak sampai pada ilmu dan keyakinan yang benar menegani Tuhan dan hubungan-Nya
dengan maklhluk.
Keistimewaan akal dibandingkan penglihatan lahiriah (mata kepala) adalah:
1. Akal dapat mengetahui (idrak) sesuatu selain dirinya.
2. Sesuatu yang dekat dan jauh bagi akal adalah sama saja.
3. Akal dapat mengetahui kehidupan di ‘arasy, kursi, ‘alam samawi serta ‘alam
malakut (alam yang dapat dicapai dengan kekuatan akal).
4. Akal dapat mengetahui bagian luar dan bagian dalam serta hakikat sesuatu.
5. Akal dapat mengetahui hal-hal yang bersifat indrawi dan juga non indrawi
seperti suara, bau, rasa, panas, dingin, rasa senang dan bahagia, rasa sedih dan
gelisah, rasa rindu, kehendak, dan lain-lain.
6. Akal dapat mengetahui sesuatu yang tidak memiliki batas akhir
7. Akal dapat mengetahui pergerakan dan perubahan yang bersifat kuantitatif dan
kualitatif.
F. PENUTUP
Objek materi filsafat adalah seagala sesuatu yang ada dan mungkin ada baik yang
konkrit (fisik) ataupun abstrak (metafisik). Sedangkan objek forma filsafat
adalah hakikat segala sesuatu. Sesuatu itu termasuk didalamnya ilmu pengetahuan.
Ilmu adalah produk dari filsafat, filsafat adalah the mother of knowledges.
Ilmu tidak bisa dipisahkan dari filsafat karena filsafat-lah yang melahirkan ilmu
dan ilmu membutuhkan cara kerja filsafat.
Tetapi kemudian, ilmu memisahkan diri dari filsafat. Ilmu dalam pengertiannya
sebagai pengetahuan merupakan suatu sistem pengetahuan sebagai dasar teoritis
untuk tindakan praktis. Ilmu, dengan demikian, adalah pengetahuan yang memiliki
struktur tersendiri. Ilmu sebagai sekumpulan pengetahuan sistematik terdiri dari
komponen-komponen yang saling berkaitan.
Pemahaman yang lazim bahwa ilmu tidak bisa bebas dari nilai dalam arti ilmu harus
dapat dipertanggung jawabkan secara sosial. Dalam bahasa “agama” ilmu dan amal
saleh tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Ilmu adalah sinar dan amal
saleh adalah yang disinari. Islam mengajarkan, ilmu yang berbuah amal saleh bisa
menjadi pendukung peningkatan keimanan, dan kedekatan hamba dengan Allah.
BAB II
PENDIDIKAN NILAI
A. PENGANTAR
Peperangan antara kebaikan dengan kejahatan telah berlangsung cukup lama melalui
periode pre modern, modern dan post modern saat ini. Secara spiritual kejahatan
merupakan suatu bukti atas ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan nafsu, motif
dan alam bawah sadar.
Pembunuhan paling primitif pun telah dilakukan sejak periode Nabi Adam AS. Al-
Quran menegaskan peperangan itu sudah terjadi jauh-jauh hari sebelum adanya
kehidupan di muka bumi ini. Keberatan para malaikat ketika Allah mengumumkan bahwa
Dia akan menciptakan seorang khalifah (Adam AS) di muka bumi adalah merupakan
’ibrah tentang nilai baik-buruk yang telah ditanamkan para khalifah sebelum Adam,
yakni bangsa jin yang telah mewariskan sebuah drama kemanusiaan atau axiological
tragicomedy.
ُ
فك َس
ِْ وي
َ ها ِ ُ
َ في ُْ
فسِدَنْ ي
ها م ِ ُ
َ في عل َت
ََْج لوا أُقا
َ ة ًفَليَِض خ في اْلَر
ِْ ِ ٌِلجاع
َ ني
ّ
ِإ َِ
ِ ة ِك َْ
مَلئلل ُك
ِ َ َب
ّ قاَل ر
َ ْ
إذِو
َ
َ َ َ َ َ َ َ َ َ
30) َ مون
ُعلَْما ل تَ مُْل
ني أع ّ
ِإِ لقا ك ل س
ُّ
د
ِ َ
قُ
ن و
َ ك د
ِ م
َْحب
ِ ُح ب
ّ
َِسُ
ن ن
ُْحَ
ن و
َ ء
َما
َّ
ِدال)
Artinya:
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
Kissah qurani yang sangat monumental dan menagabdikan kejahatan manusia
sebagai pelaku dan sekaligus pemberi contoh pertama pembunuhan, dapat diamati dari
peristiwa pembunuhan yang dilakukan putra Nabi Adam AS terhadap saudara
kandungnya. Allah SWT berfirman:
Artinya;
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar" (Q.S. al-Baqorih :
31).
Tergambar dengan jelas bahwa ayat tersebut di atas, tidak saja merekam proses
perencanaan melainkan juga melukiskan bagaimana seni Allah didalam merekrut sumber
daya yang akan membantu kepemimpinan (khilafah) Adam AS dibantu seluruh malaikat
Allah. Setelah memproklamirkkan Adam di hadapan sidang para malaikat dengan sangat
bijaksana Allah menggelar debat terbuka calon khalifah. Allah menunjukkan kepada
seluruh malaikat yang tunduk, taat, patuh dan berjiwa suci itu, untuk menguji
kapasitas dan integritas Adam sebagai calon khalifah.
Sementara para malaikat yang memiliki kecerdasan spiritual, ketika merasa
bahwa diri mereka benar-benar tidak mengetahui apapun selain yang telah Allah SWT
ajarkan kepada mereka, dengan penuh kesadaran diri mereka menyatakan ”Maha Suci
Allah”. Ungkapan ini merupakan perwujudan dari keluasan wawasan, kedalaman
berfikir, ketajaman intuisi dan kerendahan hati seorang makhluk ciptaan Allah. Al-
Quran menyatakan dengan bahasa yang sangat jelas dan provan (shorih) tentang
kecerdasan emosional dan spiritual para malaikat. ALlah SWT berfirman:
•
Namun demikian, lazimnya dalam sebuah komunitas atau pergaulan sosial, selalu ada
nilai-nilai buruk yang muncul di tengah-tengah keteladanan yang baik dan terpuji.
Al-Quran menggambarkan prakrasa nilai buruk yang peratama bernama Iblis
la’natullahi ’alaih. Iblis menghembuskan api permusuhan sebagai manifestasi dari
nilai buruk yang bersemanayam di dalam kubuk hatinya yang paling dalam, sifat atau
akhlak tercela yaitu iri. Sifat iri pun kemudian berkembang dan munculi permukaan
menjadi sifat sombong atau takabbur (merasa diri tinggi/superior dan menganggap
orang lain rendah/inferiror). Al-Quran menyatakan :