You are on page 1of 129

PENDAHULUAN

Gambaran Isi Modul

Modul ini berisi gambaran konsep kesehatan reproduksi dan seksualitas, dan
diintegrasikan pada mata kuliah BD307 (Kesehatan Reproduksi). Secara
keseluruhan, dibutuhkan sekitar 21 jam. Pada setiap akhir pelajaran, terdapat test
uji kemampuan diri untuk membantu mahasiswi mengetahui sejauh mana mereka
telah memahami isi dari setiap sesi pelajaran. Proses pembelajaran dirancang
untuk memfasilitasi penggunaan modul dan membantu meningkatkan pemahaman
mahasiswi. Pelajaran pertama tentang ruang lingkup kesehatan dan hak-hak
reproduksi, serta kebijakan pemerintah Indonesia mengenai kesehatan reproduksi.
Pelajaran kedua menjelaskan kerangka pikir Dixon-Mueller tentang seksualitas,
tradisi Indonesia terkait dengan seksualitas serta pembagian peran di masyarakat
berdasarkan gender. Pelajaran ketiga membahas tentang kesehatan reproduksi
remaja meliputi ciri-ciri perkembangan remaja, perubahan-perubahan yang terjadi,
pengaruh buruk akibat hubungan seks pra nikah dan permasalahan yang terjadi
serta perlunya pembinaan sehingga dapat melibatkan perempuan dalam
pengambilan keputusan.

Kompetensi Awal

Para mahasiswi diharapkan telah mendapat materi mata kuliah Biologi


Reproduksi (BD203), Konsep Kebidanan (BD401) dan Agama (BD102).

Tujuan Umum

Pada akhir pembahasan modul ini, mahasiswa diharapkan memahami konsep-


konsep dan teori tentang kesehatan reproduksi, seksualitas, dan kesehatan
reproduksi remaja, serta keterkaitannya dengan isu-isu kesetaraan (equity),
keadilan (equality), dan mitos-mitos yang berkembang.

1|Modul Kesehatan Reproduksi


Petunjuk Penggunaan Modul

1. Mahasiswi harus membaca modul ini sebelum kelas dimulai.


2. Mahasiswi diminta menjawab pertanyaan pada uji kemampuan diri (self-
Check test), dan melakukan kegiatan yang tercantum pada akhir setiap sesi.

2|Modul Kesehatan Reproduksi


Pelajaran 1

Konsep

Kesehatan Reproduksi

Waktu 8 Jam

3|Modul Kesehatan Reproduksi


Konsep

Kesehatan

Reproduksi

4|Modul Kesehatan Reproduksi


Tujuan Khusus

Mahasiswi diharapkan mampu:

1. Mendefinisikan kesehatan reproduksi (KR) dan hak-hak reproduksi serta kesehatan


dan hak-hak seksual;
2. Memahami sejarah kesehatan reproduksi secara global dan implementasinya di
Indonesia;
3. Mengetahui siklus hidup dan kaitannya dengan hak-hak reproduksi;
4. Mengetahui berbagai elemen kesehatan reproduksi dalam system kesehatan
masyarakat Indonesia; dan
5. Menjelaskan keterkaitan seksualitas dan gender dalam setiap elemen kesehatan
reproduksi.

5|Modul Kesehatan Reproduksi


Konsep Inti

Sehat (WHO)

Adalah keadaan sejahtera sempurna fisik, mental dan social yang utuh, bukan hanya
terbebas dari penyakit dan kecacatan. (WHO, 1948)

Reproduksi

Adalah melanjutkan keturunan pada manusia.

Kesehatan Reproduksi (Definisi ICPD)

Adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan social yang utuh, bukan hanya terbebas
dari penyakit dan kecacatan dalam segala hal yang berkaitan dengan system, fungsi
dan proses reproduksinya. (FCI, 1995)

Hak-hak Reproduksi

Mengacu pada hak-hak asasi manusia seperti tercantum pada hukum-hukum


internasional dan nasional serta dokumen hak asasi manusia (HAM), mencakup:

 Hak dasar pasangan dan individu untuk menentukan secara bebas dan
bertanggung jawab atas jumlah dan jarak kelahiran anak, menddapatkan
informasi, serta cara-cara untuk melaksanakan hal tersebut;
 Hak untuk mencapai standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual; dan
 Hak untuk membuat keputusan yang terbebas dari diskriminasi, paksaan dan
kekerasan. (FWCW Platform 95, 97, 216, 223; ICPD Principle 8, 7.3; WCHR
Programme 41; CEDAW 16.1 (e) in FCI, 1995)

Kesehatan Seksual

Merupakan keharmonisan hubungan antar manusia, dimana setiap individu merasa


nyaman dengan seksualitasnya dan mampu mengkomunikasikan perasaan-perasaan
dan kebutuhan-kebutuhan seksualnya, serta menghormati kebutuhan seksual orang
lain (FWCW Platform 94; ICPD).

6|Modul Kesehatan Reproduksi


Hak-hak Seksual

Termasuk Hak Asasi Perempuan (HAP) untuk dapat secara bebas dan bertanggung jawab
mengontrol dan memutuskan hal-hal yang terkait dengan seksualitasnya, termasuk kesehatan
reproduksi dan seksual, bebas dari paksaan, diskriminasidan kekerasan. (FWCW Platform 96)

7|Modul Kesehatan Reproduksi


SESI 1

1. Definisi dan Sejarah

Sejarah perkembangan konsep kesehatan reproduksi sudah mulai dirintis sejak


terjadinya peningkatan penduduk. Pertambahan penduduk yang semakin cepat,
dibanyak negara mulai menimbulkan keprihatinan. Pada pertemuan PBB yang
diadakan pada tahun 1954 dan 1965 hal ini menjadi isu yang sangat penting.

Pada tahun 1960 Perkumpulan Keluarga Berencana Internasional (IPPF)


memperkenalkan program Keluarga Berencana (KB), yang mendapatkan
dukungan dari banyak Negara. Namun, karena ada efek samping dari program
KB, pada tahun 1975-1985 timbullah isu kependudukan.

Pada tahun 1975 dilangsungkan Konferensi Perempuan ke I (Forum Word


Conference on Women/FWCW) yang mendiskusikan tentang isu perempuan.
Pada tahun 1980 dilangsungkan Konferensi Perempuan ke II yang masih
membahas isu perempuan dan belum mendiskusikan tentang gender. Pada tahun
1985 dalam Konferensi Perempuan ke III isu gender mulai dibahas.

Pada tahun 1990-an mulai muncul pandangan baru mengenai seksualitas dan
kesehatan reproduksi perempuan dan laki-laki berdasarkan HAM. Hal ini ditandai
dengan terselenggaranya beberapa konferensi internasional yang membahas hal
tersebut (Wallstam, 1997), diantaranya:

 Konferensi Wina (1993)


Konferensi Internasional tentang HAM di Wina tahun 1993 mendiskusikan HAM
dalam perspektif gender serta isu-isu controversial mengenaihak-hak reproduksi
dan seksual. Deklarasi dan Platform Aksi Wina menyebutkan bahwa “Hak asasi
perempuan dan anak perempuan adalah mutlak, terpadu, dan merupakan bagian
dari HAM” (Wallstam, 1997)

 ICPD Kairo (1994)


Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (Internasional
Conference on Population and Development/ICPD) yang disponsori oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kairo – Mesir pada tahun 1994, dihadiri

8|Modul Kesehatan Reproduksi


oleh 11.000 perwakilan dari lebih 180 negara. Konferensi tersebut melahirkan
kebijakan baru tentang pembangunan dan kependudukan, seperti tercantum dalam
Program Aksi 20 tahun, yang tidak lagi terfokus pada pencapaian target populasi
tertentu tetapi lebih ditujukan untuk menstabilkan pertumbuhan penduduk yang
berorientasi pada kepentingan pembangunan manusia. Program aksi inni
menyerukan agar setiap Negara meningkatkan status kesehatan, pendidikan dan
hak-hak individu-khususnya bagi perempuan dan anak-anak – dan
mengintegrasikan program keluarga berencana (KB) ke dalam agenda kesehatan
perempuan yang lebih luas (Wallstam, 1997).
Bagian terpenting dari program tersebut adalah penyediaan pelayanan KR
menyeluruh, yang memadukan KB, pelayanan kehamilan dan persalinan yang
aman, pencegahan dan pengobatan infeksi menular seksual/IMS (termasuk HIV),
informasi dan konseling seksualitas, serta pelayanan kesehatan perempuan
mendasar lainnya. Termasuk penghapusan bentuk-bentuk kekerasan terhadap
perempuan seperti sunat perempuan, jual-beli perempuan dan berbagai bentuk
kekerasan lainnya (Wallstam, 1997)

 Konferensi Perempuan se-Dunia ke empat di Beijing/FWCW


(1995)
Deklarasi dan Platform Aksi Beijing (Forum Word Conference on Women/FWCW
(4-15 September 1995), yang diadopsi oleh perwakilan dari 189 negara
mencerminkan komitmen internasional terhadap tujuan kesetaraan,
pengembangan dan perdamaian bagi seluruh perempuan di dunia. Platform
tersebut terdiri dari 6 BAB, mengidentifikasikan 12 “area kritis kepedulian” (12
critical areas of concern) yang dianggap sebagai penghambat utama kemajuan
kaum perempuan (Wallstam, 1997), yaitu:
1. Kemiskinan. Jumlah perempuan yang hidup dalam kemiskinan
lebih banyak di bandingkan laki-laki karena terbatasnya akses
perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi (misalnya: lapangan
pekerjaan, kepemilikan harta-benda), pendidikan dan pelatihan
serta pelayanan masyarakat (misalnya: kesehatan).
2. Pendidikan dan Pelatihan. Pendidikan merupakan HAM dan
sarana penting untuk mencapai kesetaraan, pengembangan dan
perdamaian. Namun, anak perempuan masih mengalami

9|Modul Kesehatan Reproduksi


diskriminasi akibat pandangan budaya, pernikahan dan kehamilan
dini, keterbatasan akses pendidikan dan materi pendidikan yang
bias gender.
3. Kesehatan. Kesehatan perempuan mencakup kesejahteraan fisik
dan emosi mereka, yang tidak hanya dipengaruhi oleh factor
biologi tetapi juga turut ditentukan oleh konteks social, politik dan
ekonomi. Tercapainya standar kesehatan fisik tertinggi penting bagi
kehidupan dan kesejahteraan perempuan. Hal ini akan mendukung
perempuan untuk berpartisipasi baik di masyarakat maupun dalam
kehidupan pribadinya. Hak kesehatan perempuan harus terpenuhi
secara adil sepanjang siklus hidupnya.
4. Kekerasan. Perempuan dan anak perempuan merupakan subyek
kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi tanpa dibatasi
oleh status social ekonomi dan budaya baik di kehidupan pribadi
maupun masyarakat. Segala bentuk kekerasan berarti melanggar,
merusak atau merenggut kemerdekaan perempuan untuk
menikmati hak asasinya.
5. Konflik bersenjata. Selama konflik bersenjata, perkosaan
merupakan cara untuk memusnahkan kelompok masyarakat/suku.
Praktik-praktik tersebut harus di hentikan dan pelakunya harus
dikenai sanksi hukum.
6. Ekonomi. Perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan
keputusan ekonomi, dan sering diperlakukan secara tidak layak
(seperti gaji rendah, kondisi kerja yang tidak memadai dan
terbatasnya kesempatan kerja professional).
7. Pengambilan keputusan. Keterwakilan perempuan dalam
pengambilan keputusan belum mencapai target 30% di hampir
semua tingkatan pemerintahan, sebagaimana ditetapkan oleh
Lembaga Sosial dan Ekonomi PBB (The UN Economic and Sosial
Council) pada tahun 1995.
8. Mekanisme Institusional. Perempuan sering terpinggirkan dalam
struktur kepemerintahan nasional, seperti tidak memiliki mandate
yang jelas, keterbatasan sumber daya dan dukungan dari para
politis nasional.

10 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
9. Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia bersifat universal.
Dinikmatinya hak tersebut secara penuh dan setara oleh perempuan
dan anak perempuan merupakan kewajiban pemerintah dan PBB
dalam mencapai kemajuan perempuan.
10. Media. Media masih terus menonjolkan gambaran yang negative
dan merendahkan perempuan, misalnya menampilkan kekerasan,
pelecehan dan pornografi yang berdampak buruk bagi perempuan.
11. Lingkungan. Perusakan alam menimbulkan dampak negative bagi
kesehatan, kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat terutama
terhadap perempuan di segala usia.
12. Diskriminasi. Diskriminasi sudah dialami perempuan sejak awal
kehidupannya. Perilaku dan praktik-praktik yang berbahaya
menyebabkan banyak anak perempuan tidak mampu bertahan
hidup hingga usia dewasa. Kurangnya perlindungan hukum atau
kegagalan dalam penerapannya, menyebabkan anak perempuan
rentan terhadap segala bentuk kekerasan, serta mengalami
konsekuensi hubungan seksual usia dini dan tidak aman, termasuk
HIV/AIDS (Center for Women Policy Studies, 2000).

 Telaah Lima Tahunan : ICPD +5 (1999)


Lima tahun setelah ICPD Kairo (ICPD+5), PBB mengundang para pemimpin
Negara untuk membahas tentang kemajuan dan kegagalan pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan yang terkait dengan pembangunan dan kependudukan
(PRB, 2000).

PADA icpd+5, isu seksualitas remaja dan aborsi, masih mengundang kontroversi.
Selain itu, muncul kontroversi baru mengenai kontrasepsi darurat dan peran
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam negosiasi antar pemerintah.
Pertemuan ICPD+5 ditutup dengan mengadopsi “beberapa tindak lanjut
penerapan program aksi ICPD (Key Actions for the Further Implementation of the
Programme of Action of the International Conference on Population and
Development).” Termasuk di dalamnya adalah target baru untuk tahun 2015 yang
mempertajam focus dari tujuan-tujuan pada tahun 1994 (PRB,2000)

11 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Target Baru 2015
ICPD+5 menetapkan target baru untuk mengukur penerapan ICPD, yaitu:
Akses pada pendidikan dasar pada tahun 2015. Meningkatnya
keikutsertaan anak laki-laki dan perempuan di sekolah dasar hingga
sekurang-kurangnya 90% sebelum 2010; serta menurunnya angka
buta huruf pada perempuan dan anak perempuan pada tahun 2010
hingga setengahnya pada tahun 2005.
Semua fasilitas kesehatan menyediakan metode-metode KB yang
aman dan efektif, pelayanan kebidanan, pencegahan dan
penanganan infeksi saluran reproduksi dan infeksi menular seksual
(ISR/IMS), serta metode pelindung untuk mencegah infeksi, baik
secara langsung maupun rujukan.
Mengurangi kesenjangan antara pemakaian kontrasepsi dengan
proporsi individu yang ingin membatasi jumlah anak atau
menjarangkan kehamilan, tanpa menggunakan target atau kuota.
Memastikan bahwa sekurangnya 60% persalinan ditalong oleh
tenaga terlatih, terutama di Negara-negara dengan kematian ibu
yang tinggi.
Pelayanan pencegahan HIV pada laki-laki dan perempuan muda
usia 15-24 tahun. Termasuk penyediaan kondom laki-laki dan
perempuan, pemeriksaan secara sukarela, konseling dan tindak
lanjut. (www.unfpa.org/icpd)


Millenium Development Goals (2000)
UN Millenium Summit di New York tahun 2000 menghasilkan Millenium
Development Goals yang disetujui 189 negara; mengandung 8 goals, 18 target,

12 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
dan 48 indikator (lihat lampiran 1). Beberapa tujuan yang ingin dicapai berkaitan
dengan wewenang bidan, antara lain: menurunkan angka kematian bayi sebesar
2/3 menjadi hanya 1/3 antara tahun 1990 dan 2015. Dan juga menurunkan angka
kematian ibu menjadi ¼ dari tahun 1990 hingga 2015, dan meningkatkan
pencegahan dan penyebaran HIV/AIDS antara tahun 1990 sampai tahun 2015
(WHO, 2004;Safe Motherhood, 2004)

2. PENDEKATAN SIKLUS KESEHATAN


Hambatan social, budaya dan ekonomi yang dihadapi sepanjang hidup perempuan
merupakan akar masalah buruknya kesehatan maternal (saat hamil, bersalin dan
nifas). Dengan menggunakan pendekatan siklus hidup diketahui bahwa masalah
mendasar kesehatan perempuan telah terjadi jauh sebelum memasuki usia
reproduksi (15-49 tahun). Status kesehatan perempuan semasa kanak-kanak dan
remaja mempengaruhi kondisi kesehatannya saat hamil dan bersalin. Jenis
makanan, tingkat pendidikan, nilai dan sikap yang di anut, sistem kesehatan yang
tersedia dan bisa diakses, situasi ekonomi, serta kualitas hubungan seksualnya –
mempengaruhi perempuan dalam menjalankan masa-masa produksi dan
reproduksinya (ISSA, 1993).

Antisipasi kebutuhan perempuan sepanjang hidupnya, mulai dari saat konsepsi


hingga masa pasca usia reproduksi dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan siklus hidup. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya perilaku
pencapaian pelayanan kesehatan yang memenuhi kebutuhan perempuan karena
mereka memiliki kebutuhan khusus. System kesehatan harus mengenali dan
memperhatikan masalah kesehatan perempuan karena kondisi dan upaya pada satu
tahap kehidupan akan mempengaruhi sepanjang hidupnya. Sebagai contoh (FCI,
2000):

 Pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan memberi antibodi (kekebalan


tubuh) dan gizi yang dibutuhkan bayi untuk memulai hidup sehat;
 Kekurangan gizi yang dialami remaja perempuan di masa kanak-kanak
bisa menghambat pertumbuhannya (tulang panggul tidak berkembang
sempurna), sehingga beresiko mengalami persalinan macet; dan

13 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
 Perempuan muda yang terkena Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) dan tidak
diobat dengan benar, berisiko mengalami kemandulan.

MASALAH USIA PENDEKATAN SIKLUS


LANJUT HIDUP UNTUK PELAYANAN
KESEHATAN REPRODUKSI
Penyakit system sirkulasi Pasca (Dipengaruhi oleh pengalaman
Menopause reproduksi sebelumnya)
Prolaps/osteoporosis Diagnosa; informasi; dan
pengobatan dini
Kanker saluran Pencegahan dan pengobatan IMS;
reproduksi dan payudara diagnosis; informasi; dan
pengobatan dini
Malnutrisi/Anemi (semua Suplementasi; pendidikan
usia)
Kemandulan Konseling; pencegahan primer
Komplikasi aborsi Pengobatan, konseling; KB;
pendidikan tentang prilaku seksual
bertanggung jawab
Kesakitan dan kematian KB; pelayanan antenatal,
Ibu persalinan dan post partum;
pelayanan kebidanan darurat;
imunisasi tetanus
Pengaturan kesuburan Usia KB; Kontrasepsi; informasi dan
Reproduksi pendidikan
Seks Komersial Konseling; perubahan
hukum/sosial
Penyalahangunaan obat Pendidikan; pengobatan;

14 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
(alcohol, obat, tembakau) konseling
Kekerasan gender Konseling; perubahan
(semua usia) hukum/social; pendidikan
Praktik tradisional Pemberdayaan; perubahan
berbahaya hukum/social; pendidikan
IMS/HIV (pada bayi di Deteksi; pengobatan; konseling;
tularkan melalui ibunya) pendididkan; pencegahan;
kontrasepsi yang sesuai
Nutrisi (semua usia) Suplementasi; pendidikan
Perilaku seksual tidak Remaja Pendididkan dalam keluarga
aman
Kehamilan remaja Pendidikan dalam keluarga;
konseling; KB
Penyakit lain (semua Kesehatan lingkungan; kesehatan
usia) kerja; pelayanan; kesehatan
primer; pendidikan; imunisasi
Kesakitan dan kematian Anak Pelayanan antenatal, persalinan
bayi baru lahir (neonatal) dan post-partum; menyusui
Bayi berat lahir rendah Saat lahir Suplementasi; pendidikan;
pelayanan antenatal; promosi
kesehatan; pencegahan penyakit
(WHO,WHO/FHE/RHP7,WHO/FHE/RHP9 dalam UNFPA, 1995)

Gambar 1. Pendekatan Siklus Hidup Kesehatan Reproduksi

3. ELEMEN-ELEMEN PELAYANAN KESEHATAN


REPRODUKSI
Ada 10 elemen pelayanan KR yang ditetapkan pada ICPD Kairo untuk mengatasi
masalah berkaitan dengan organ reproduksi dan fungsinya pada laki-laki dan perempuan.

Seseorang bisa mengalami masalah KR lebih dari satu pada waktu yang bersamaan.
Misal: ibu yang memeriksakan kehamilannya bias saja merupakan korban KDRT, dan
mengidap ISR. Dalam system kesehatan, bidan yang sensitif akan menerapkan paket KR

15 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Pelayanan kesehatan reproduksi dalam konteks pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan reproduksi dalam konteks pelayanan kesehatan
dasar mencakup elemen-elemen berikut:
dasar mencakup elemen-elemen berikut:
Pelayanan dan konseling, informasi edukasi dan komunikasi KB
Pelayanan dan konseling, informasi edukasi dan komunikasi KB
yang berkualitas;
yang berkualitas;
Pelayanan prenatal, persalinan dan postpartum yang aman,
Pelayanan prenatal, persalinan dan postpartum yang aman,
termasuk menyusui;
termasuk menyusui;
Pencegahan dan pengobatan kemandulan;
Pencegahan dan pengobatan kemandulan;
Pencegahan dan penanganan aborsi tidak aman;
Pencegahan dan penanganan aborsi tidak aman;
Pelayanan aborsi aman, bila tidak melanggar hukum;
Pelayanan aborsi aman, bila tidak melanggar hukum;
Pengobatan ISR, IMS dan kondisi lain dalam system reproduksi;
Pengobatan ISR, IMS dan kondisi lain dalam system reproduksi;
Informasi dan konseling mengenai seksualitas, menjadi orang tua
Informasi dan konseling mengenai seksualitas, menjadi orang tua
yang bertanggung jawab serta kesehatan reproduksi dan seksual;
yang bertanggung jawab serta kesehatan reproduksi dan seksual;
Pencegahan secara aktif praktik-praktik berbahaya seperti sunat
Pencegahan secara aktif praktik-praktik berbahaya seperti sunat
perempuan/mutilasi kelamin;
perempuan/mutilasi kelamin;
Pelayanan rujukan untuk komplikasi KB, kehamilan, Persalinan
Pelayanan rujukan untuk komplikasi KB, kehamilan, Persalinan
dan aborsi, kemandulan, ISR,IMS dan HIV/AIDS, serta kanker
dan aborsi, kemandulan, ISR,IMS dan HIV/AIDS, serta kanker
kandungan; dan
kandungan; dan
Jika mungkin program KR dan KB harus meliputi fasilitas
Jika mungkin program KR dan KB harus meliputi fasilitas
diagnosis dan pengobatan IMS seiring dengan meningkatnya
diagnosis dan pengobatan IMS seiring dengan meningkatnya
risiko penularan HIV. (Alcala,1994)
risiko penularan HIV. (Alcala,1994)
dan memberikan penanganan yang lebih dari sekedar pelayanan prenatal, tetapi juga
memadukannya dengan penanganan kekerasan dan ISR.

Idealnya, ke-10 elemen harus diberikan di setiap tingkatan system kesehatan. Namun
banyak Negara miskin menghadapi kendala mengenai pembiayaan penyelenggaraan
pelayanan tersebut. Selain itu, lembaga donor biasanya hanya memfokuskan pada
program KR tertentu seperti KB dan HIV/AIDS.

4. HAK ASASI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN


HAK REPRODUKSI

16 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Sejarah Hak Reproduksi
Sebelum tahun 1960, beberapa konsensus PBB tentang populasi tidak
memfokuskan pada hak. Demikian pula dengan konvensi tentang perempuan, juga
belum memberi penekanan pada Hak Asasi Manusia atau isu yang mempedulikan
reproduksi dan seksualitas.
Pada konferensi Hak Asasi Manusia I yang diselenggarakan di Teheran tahun
1960, mulai menyebutkan adanya hak untuk menentukan jumlah dan jarak anak.
Konferensi Hak Asasi Manusia II pada tahu 1993 di Viena mulai membuat
tahapan mengenai hasil konvensi di Kairo dan Beijing yang menegaskan bahwa
hak perempuan adalah Hak Asasi Manusia yang memangkas semua bentuk
diskriminasi berdasarkan seks harus menjadi prioritas pemerintah. Dari konvensi
ini akhirnya perempuan mempunyai hak untuk menikmati standar tertinggi dari
kesehatan fisik dan psikis sepanjang kehidupan. Termasuk hak untuk akses dan
pelayanan kesehatan yang adekuat. Ada beberapa hak yang di gunakan untuk
melindungi dan meningkatkan kesehatan gender dalam kesehatan reproduksi dan
kesehatan seksual.

Hak-Hak Reproduksi
Hak-hak reproduksi merupakan hak asasi manusia. Baik ICPD 1994 di Kairo
maupun FWCW 1995 di Beijing mengakui hak-hak reproduksi sebagai bagian
yang tak terpisahkan dan mendasar dari kesehatan reproduksi dan seksual
(Cottingham dkk, 2001).

Pemenuhan hak-hak reproduksi merupakan bentuk perlindungan bagi setiap


individu, serta prakondisi untuk memperoleh hak-hak lainnya tanpa diskriminasi.
Hak-hak reproduksi mengawasi pemerintah dalam mematuhi dokumen-dokumen
HAM. Misalnya, tidak terpenuhinya hak atas pendidikan, pelayanan kesehatan
dan social yang menyebabkan kematian ibu. Hak-hak reproduksi berarti pasangan
dan individu berhak untuk memutuskan apakah dan kapan mereka ingin memiliki
anak tanpa diskriminasi, paksaan dan kekerasan. Hak-hak reproduksi berlaku
untuk semua perempuan dan laki-laki dewasa, tanpa memandang status
kewarganegaraan. Mereka berhak untuk mengetahui tentang seksualitas dan
kesehatan reproduksi, serta pelayanannya, termasuk pengaturan kesuburan
(Wallstam, 1997). Konsep informed choice (pilihan berdasarkan informasi) pada

17 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
pelayanan KB merupakan contoh penerapan
hak-hak reproduksi, karena mencerminkan Piagam IPPF Tentang Hak-Hak
Reproduksi dan Seksual
kebutuhan klien sesuai dengan keinginan dan
Hak untuk hidup;
nilai-nilai yang dianutnya. Perempuan berhak Hak mendapatkan kebebasan
memutuskan apakah dia menginginkan dan keamanan;
Hak atas kesetaraan, dan
pelayanan kesehatan reproduksi; dan jika iya,
terbebas dari segala bentuk
metode atau prosedur apa yang dipilih dan diskriminasi;
didapatkannya. Informed choice dalam Hak privasi;
Hak kebebasan berpikir;
pelayanan KB mencakup apakah perempuan
Hak atas informasi dan edukasi;
ingin mencegah kehamilan, menjarangkan Hak memilih untuk menikah
atau menunda kelahiran; jika ingin memakai atau tidak serta untuk
kontrasepsi, metode apa yang dipilih; apakah membentuk dan merencanakan
sebuah keluarga;
ingin meneruskan atau berganti metode KB. Hak untuk memutuskan apakah
Konsep informed choice merujuk kepada ingin dan kapan punya anak;
keputusan klien untuk dirinya sendiri, Hak atas pelayanan dan
proteksi kesehatan;
berdasarkan akses dan pemahaman
Hak untuk menikmati
menyeluruh atas semua informasi yang kemajuan ilmu pengetahuan;
terkait dengan pelayanan tersebut. Hak atas kebebasan berserikat
dan berpartisipasi dalam arena
Di Indonesia, seringkali hukum dan kebijakan politik; dan
tidak berpihak pada perempuan. Seperti Hak untuk terbebas dari
kesakitan dan kesalahan
halnya Undang-undang No. 10 tahun
pengobatan.
1992,perlunya izin tertulis dari suami untuk (www.ippf.org\charter)
pemasangan IUD. Begitu juga dengan
Undang-undang Perkawinan Nomor 1/1974
juga tidak memberikan perlindungan kepada
hak-hak reproduksi perempuan; Ayat (4) pada
Undang-undang ini mengijinkan suami untuk
memiliki lebih dari satu istri bila istrinya tidak dapat hamil, padahal tidak
terjadinya kehamilan kehamilan belum tentu akibat kemandulan istri.

18 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Pemerintah yang tidak memenuhi hak perempuan muda akan
pendidikan, pelayanan kesehatan dan social, dapat dikatakan
melanggar hak-hak reproduksi perempuan.

Perkembangan Hak Asasi Manusia


Pemerintah Indonesia yang sebelumnya telah meratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui Undang-undang No.
7/1984, bertanggung jawab untuk secara simultan melaksanakan peraturan-
peraturan di bawah Undang-undang tersebut. Hak-hak tersebut lebih ke arah hak-
hak sipil dan politis misalnya: hak untuk hidup, bebas dari tekanan, bersuara, dan
mendapat informasi. Sedangkan hak-hak ekonomi, social dan budaya misalkan:
mendapat pendidikan, bekerja, dan standar hidup yang sehat baik fisik maupun
mental.

Dalam setiap hak, pemerintah mempunyai 3 tingkat peraturan:

 Menghormati HAM yang berarti pemerintah tidak melakukan kekerasan;


 Melindungi HAM yang berarti pemerintah membuat suatu hukum yang
mengatur mekanisme untuk melindungi dari kekerasan;
 Memenuhi HAM yang berarti pemerintah mengambil suatu tindakan yang
bertahap dan ditempatkan dalam suatu peraturan yang procedural (sesuai
prosedur) dalam suatu institusi.

Pada refleksi lima tahun pertama pelaksanaan Deklarasi Beijing (1995-2000)


pemerintah Indonesia mencatat sejumlah besar advokasi yang dilakukan barbagai
pihak; baik di tingkat local; nasional maupun internasional; yang pada akhirnya
terbentuklah institusi baru dan menerbitkan beberapa Undang-undang baru yang
terkait langsung dengan perlindungan hak-hak asasi perempuan di tingkat
nasional. Diantaranya pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (1998), pengesahan Undang-undang No. 39/1999 untuk pertama
kalinya secara hukum dinyatakan bahwa hak-hak perempuan sebagai hak asasi
manusia. Hak Asasi Manusia, termasuk hak politik perempuan.

Dalam perkembangannya, tercatat ada dua Undang-undang yang diterbitkan untuk


menjamin perlindungan hukum dan penegakkan hak asasi perempuan yakni
Undang-undang No. 12/2003 tentang Pemilu dan Undang-undang No. 23/2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (FORUMNGO Indonesia
untuk BPFA +10, 2005)

Sebagai komitmen pemerintah Indonesia di tingkat Internasional diterbitkan


pembentukan institusi yang terkait dengan pelaksanaan komitmen tersebut, yaitu:

19 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
1. Kebijakan untuk mempertahankan keberadaan Kementrian Pemberdayaan
Perempuan pada setiap periode cabinet Pemerintah hingga saat ini.
2. Membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
3. Menerbitkan Kebijakan negara untuk menerapkan Pengarus Utamaan
Gender (Gender Mainstreaming) dalam Perencanaan Pembangunan
melalui Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000.

5. KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA


TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

1950an 1970an 1994 2006


Pro Natalis Orde Baru International  Laju pertumbuhan
 Soekarno  Anti Natalis Conference on penduduk 1990-
“Bangsa yang  Malthus: Laju Population and 2000 1,5%
besar adalah pertumbuhan Development (ICPD) (USAID, 2004)
bangsa dengan penduduk yang Kairo  TFR menjadi 2,6
jumlah penduduk tinggi adalah  Gender dan hak- (BPS,2003)
yang besar” ancaman bagi hak perempuan  CBR 21.1 per 1000
 Hatta: pertumbuhan mulai dibahas penduduk (USAID,
Kemiskinan dapat ekonomi  Perempuan harus 2004)
diatasi melalui  Program Safari memiliki pilihan-  MMR tetap tinggi
perencanaan Pencarian akseptor KB pilihan 380 pada tahun
ekonomi yang potensial merupakan 2002 (UNDP
akan  Program MKET indicator dari hak 2004) § CPR
menggunakan (Metode asasi perempuan 56,7% pada tahun
tenaga kerja yang Kontrasepsi Efektif 2002 (SDKI 2002)
berlimpah-limpah Terpilih)  Unmet need 9%
 TFR (5,6) dan perempuan (BPS, 2003)
MMR sangat memilih alat  Permasalahan baru
tinggi kontrasepsi yang dibidang kesehatan
 Laju “lebih disukai” reproduksi
pertumbuhan pengelola program (HIV/AIDS)
penduduk 1950- daripada
2000 3,7% per perempuan itu
tahun (BPS) sendiri
 TFR menurun,
CBR menurun,
MMR tinggi
 Laju Pertumbuhan
penduduk 1970-
1980 2,4%
pertahun (BPS)
Tabel 1. Sejarah Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Kesehatan Reproduksi dari
Keluarga Berencana ke Pelayanan Reproduksi: sebuah riwayat singkat

20 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Sesuai dengan komitmen pemerintah Indonesia (sejak inisiatif Safe Motherhood
tahun 1987, Pertemuan Dunia untuk anak-anak tahun 1990, hingga ICPD Kairo
tahun 1994 dan konferensi di Beijing tahun 1995), akses yang adil terhadap
pelayanan kesehatan primer merupakan jalan pintas dalam menjamin
kelangsungan hidup kelompok paling rentan (perempuan dan anak-anak). Hal ini
berarti akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas
harus tersedia dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Untuk

Empat komponen utama PKRE, yaitu:


Kesehatan ibu dan anak (KIA);
Keluarga Berencana (KB);
Pengobatan ISR/IMS-HIV/AIDS terpadu dengan (1) dan/atau (2);
Konseling dan pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).
Sedangkan PKRK terdiri dari keempat komponen di atas dilengkapi
dengan komponen kelima,yaitu:
Konseling dan pelayanan KR bagi usia lanjut, terutama untuk deteksi
gangguan gizi atau tanda-tanda keganasan (kanker).
(Lihat Lampiran 2)

Catatan : Kunci utama “kehamilan yang diinginkan” terletak pada


komponen KB yang harus dilengkapi dengan konseling.

menanggulangi masalah kesehatan reproduksi, sejak tahun 1996 pemerintah


Indonesia mengadopsi Paket Kesehatan Reproduksi Essensial (PKRE) dan Paket
Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK) (MOH dan WHO, 2000)

Kekerasan terhadap perempuan (KTP) merupakan isu kesehatan masyarakat


yang terabaikan dan harus diperhatikan dalam setiap komponen diatas. Biasanya
petugas kesehatan sudah menunjukan sikap simpati, namun hanya sedikit dari
mereka yang memiliki keterampilan untuk memberikan informasi ynag dapat
membantu perempuan dalam situasi ini. Untuk mengatasinya, diperlukan
kerjasama antara LSM dan rumah sakit; dimana konseling terhadap klien dapat
dilakukan oleh staf LSM, sementara diagnosis atau penanganan medis dapat
diberikan oleh tenaga kesehatan. Kolaborasi dan penyatuan sumber daya menjadi

21 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
penting dalam penangananKTP (Lebih lanjut menngenai KTP dapat dilihat pada
Modul KTP-A).

6. PAKET PELAYANAN KESEHATAN


REPRODUKSI TERPADU
Dalam hubungannya dengan tingkatan pelayanan:

1. Pelayanan kesehatan primer di tingkat kecamatan, mencakup:


 KB atau pengaturan kesuburan yang menawarkan berbagai
metode-metode bagi laki-laki dan perempuan berdasarkan pilihan
dan tidak bertentangan dengan hukum.
 Pelayanan kesehatan yang aman untuk perempuan selama masa
hamil, bersalin dan menyusui, agar ibu dan bayinya sehat.
 Pelayanan kesehatan yang aman untuk perempuan selama masa
hamil, bersalin dan menyusui, agar ibu dan bayinya sehat
 Pelayanan penanganan ISR dan IMS termasuk HIV/AIDS untuk
laki-laki dan perempuan yang bersifat rahasia dan tidak
menghakimi.
 Pelayanan remaja yang dapat diakses remaja perempuan dan laki-
laki tanpa mengalami diskriminasi atau pelecehan.

2. Pelayanan kesehatan sekunder di tingkat kabupaten, mencakup:


Diagnosis dan penanganan segala kondisi dalam system reproduksi yang tidak
dapat ditangani di tingkat pelayanan dasar , misalnya:
 Diagnosis dan penanganan komplikasi kehamilan dan persalinan.
 Diagnosis dan penanganan komplikasi ISR/PMS termasuk
HIV/AIDS.
 Diagnosis dan penanganan kemandulan.
 Diagnosis dan penanganan kanker system reproduksi dan
payudara.

3. Pelayanan kesehatan tersier di tingkat provinsi, mencakup:


Manajemen klinis system reproduksi yang tidak dapat ditangani di tingkat
pelayanan sekunder serta aplikasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran, misalnya:
 Manajemen klinis komplikasi kehamilan dan persalinan.
 Manajemen klinis komplikasi ISR/PMS termasuk HIV/AIDS.
 Manajemen klinis kanker system reproduksi dan payudara.
 Pengembangan ilmu pengetahuan kedokteran melalui pengkajian
dan penelitian.

22 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
 Aplikasi dan pengembangan teknologi kedokteran seperti cloning,
bayi tabung dll.
 Pendidikan tinggi ilmu reproduksi.

Gambar 2. Tingkatan Pelayanan Kesehatan

23 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
7. SITUASI KESEHATAN REPRODUKSI DI
INDONESIA

Di Indonesia, struktur Departemen Kesehatan terdiri dari beberapa direktorat yang


terpisah, akibatnya anggaran disalurkan secara vertical tanpa keterpaduan
perencanaan operasional. Contoh, manajemen dan anggaran program gizi terpisah
dari program kesehatan ibu dan anak (KIA), juga terpisah dari anggaran dan
pemantauan cakupan imunisasi. Belum lagi anggaran KB dan Infeksi Menular
Seksual (IMS) juga terpisah. Dengan system semacam ini kemungkinan bisa

24 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
terjadi duplikasi sumber daya, tenaga, biaya pelatihan dan biaya operasional
lainnya. Keterpaduan pelayanan PKRE yang dapat meningkatkan kualitas
kesehatan perempuan, akan menguragi segala permasalahan kesehatan reproduksi
yang tercemin dari indicator kesejahteraan dan kesehatan nasional – misalnya
menurunnya angka kematian ibu.

Penduduk
Tahun 2003 jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 210 juta (JICA,2003).
Angka pertumbuhan penduduk yang semula menurun dari 2,1% tahun 1980-an
menjadi 1,5% tahun 1999, kembali meningkat menjadi 1,6% (JICA, 2003).
Dilihat dari komposisinya, 10% penduduk Indonesia terdiri dari anak berusia 0-4
tahun, hampir 22% berusia 10-19 tahun, dan sekitar 7,5% berusia 60 tahun atau
lebih (MOH-RI dan WHO, 2003, hal 11).

Dampak Kritis Ekonomi


Krisis ekonomi tahun 1998, menjadikan pertumbuhan ekonomi di Indonesia
menurun hingga minus 13,7% dan inflasi meningkat hingga lebih dari 80%.
Akibatnya, Gross National Product (GNP) yang pernah mencapai USD 1.124
tahun 1996 turun menjadi USD 700 pada tahun 1998/9 dan masih berlanjut hingga
saat ini (MOH-RI dan WHO, 2003). Hal ini berdampak pada penyediaan
pelayanan kesehatan oleh pemerintah pusat dan daerah. Krisis ekonomi yang
berkelanjutan, disertai dengan krisis politik, meningkatkan kemiskinan.
Kemiskinan menurunkan derajat kesehatan perempuan dan anak karena
perempuan dari keluarga berpenghasilan rendah berisiko menderita gangguan gizi
dan kehilangan akses terhadap pelayanan kesehatan.

Kemiskinan
Tingkat kemiskinan meningkat dari 11% pada tahun 1996 menjadi antara 24%
hingga 50% pada tahun 1998 kemudian turun menjadi 17% sampai 18% pada
tahun 2002 dan 15% pada tahun 2004. Diperkirakan sekitar 22% penduduk di
perkotaan dan 26% di pedesaan berada di bawah garis kemiskinan. Secara umum,
dapat dikatakan “ satu dari lima penduduk di Indonesia hidup dalam kemiskinan”
(hasil susenas 1998, dikutip dalam MOH-RI dan WHO, 2003). Pengangguran di
Indonesia diperkirakan 18% (2003).

Perbedaan Gender dalam Pendidikan


Pada tahun 1999, angka melek huruf pada anak perempuan usia di atas 9 tahun
lebih rendah di bandingkan anak laki-laki (86% bernanding 94%) pada usia yang
sama. Pada tahun 2003 persentase penduduk buta huruf perempuan (12,28%)
mencapai dua kali lipat lebih dibandingkan kelompok laki-laki (5,84%)
(BPS,2003). Persentase anak perempuan yang mendaftar di tingkat sekolah dasar

25 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
(SD) pada tahun 1997, sedikit lebih kecil daripada anak laki-laki (92% berbanding
97%). Meskipun kebijakan pemerintah menetapkan wajib belajar 9 tahun, data
hasil survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/3 menunjukan
bahwa 62% perempuan hanya tamat SD atau kurang (MOH-RI dan WHO, 2003).
Data Susenas 1997 menunjukkan kecenderungan penurunan partisipasi sekolah
sehubungan dengan penambahan usia, dari 95% di tingkat SD (kelompok usia 7-
12 tahun) turun menjadi 77% di tingkat SMP (13-15 tahun), dan terus menurun
hingga kurang dari 49% di tingkat SMA (16-18 tahun). (MOH-RI dan WHO,
2003).

Gambar 3. Proporsi partisipasi sekolah di Indonesia, data Susenas 1997

Data Susenas 2002, menunjukkan penurunan partisipasi sekolah dengan


penambahan usia baik tahun 2000,2001 maupun 2002. Walaupun pada tahun 2002
ada peningkatan proporsi perempuan yang menamatkan SMA 50,8% (FORUM
NGO Indonesia untuk BPFA+10, 2005), tetapi secara keseluruhan partisipasi
perempuan hingga masuk tingkat SMA masih rendah.

Gambar3. Tren Proporsi perempuan yang sekolah di Indonesia tahun 2000-2002

26 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Hukum dan Peraturan yang Bertentangan dengan Hak
Reproduksi
Undang-undang Nomor 10/1992 tentang Pembangunan Kependudukan dan
Keluarga Sejahtera mendiskriminasi hak perempuan lajang terhadap pelayanan
KB. Sehingga, hak-hak reproduksi remaja dan perempuan lajang yang telah aktif
seksual dan berisiko mengalami kehamilan dan aborsi tidak aman tidak terpenuhi
oleh pelayanan yang ada. Kondisi ini bisa berkontribusi kepada tingginya angka
kematian ibu.

Pasal 15 Undang-undang Nomar 23/1992 tentang Kesehatan melarang aborsi


untuk alasan apapun. Undang-undang ini ‘cacat’ hukum karena pasal-pasalnya
saling bertentangan. Pada pasal 15 ayat 1 disebutkan bahwa kondisi gawat darurat
yang membahayakan kehidupan ibu merupakan indikasi untuk dilakukan prosedur
medis untuk menyelamatkan ibu dan bayi, sementara di bagian penjelasannya
disebutkan aborsi tidak diperbolehkan. Akibatnya, selama 10 tahun lebih (1992-
2003) Biro Hukum Departemen Kesehatan tidak mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) untuk menerapkan UU No.23/1992 tersebut, padahal kematian
ibu akibat komplikasi aborsi tidak aman berlangsung setiap hari.

Selain itu, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diwariskan


pemerintah Belanda tahun 1910 dan tidak pernah ditinjau ulang pada pasal 229
melarang segala bentuk tindakan aborsi bagi perempuan tanpa memberikan
alternative untuk menyediakan teknologi kesehatan reproduksi yang aman yang

27 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
dapat mengurangi risiko perempuan terhadap kematian. Sanksi diberikan bukan
hanya pada perempuan itu sendiri tetapi juga suami, keluarga dan/atau orang yang
membantu proses aborsi.

Undang-undang perkawinan Nomor1/1974 juga tidak memberikan perlindungan


kepada hak-hak reproduksi perempuan. Ayat (4) pada Undang-undang ini malah
mengizinkan suami untuk memiliki lebih dari satu istri bila istrinya tidak dapat
hamil. Padahal tidak terjadinya kehamilan belum tentu akibat kemandulan istri.

Anggaran Negara untuk Kesehatan


Alokasi pengeluaran untuk kesehatan dari total anggaran nasional (proporsi
terhadap GNP) sedikit meningkatkan dari 2,5% tahun 1996 menjadi 2,7% tahun
1998. Hal ini berarti anggaran kesehatan per orang hanya sekkitar 3 USD
(http://w3.whosea.org/cntryhealth/indonesia/indostatics.htm). Menurut WHO,
anggaran ideal untuk kesehatan >5% dari Anggaran Belanja Negara.

Bidan di Desa
Program bidan di Desa (BDD) di Indaonesia dimulai pada tahun 1989 dengan
tujuan agar setiap desa memiliki sekurangnya satu bidan pada tahun 1995/6.
Program ini berhasil meningkatkan jumlah bidan hingga 62.906 bidan hingga
tahun 2000. Namun, data Biro Kepegawaian Depkes bulan Juli 2003menunjukan
hanya 63% (39.906) bidan yang masih bertahan di posnya masing-masing. Bila
jumlah desa di Indonesia adalah 69.061 artinya sebanyak 29.115 desa tidak
memiliki tenaga bidan (Informasi langsung dari Ikatan Bidan Indonesia, tahun
2003).

Dalam kondisi tidak adanya jaminan pekerjaan dan gaji (kontrak dari pemerintah),
lulusan bidan di harapkan mampu menunjukan kepemimpinan memobilisasi
masyarakat dalam upaya menurunkan kematian ibu. Misalnya dengan cara
mengkoordinasi kegiatan Gerakan Sayang Ibu (diresmikan pada tahun 1996). Hal
ini, bidan juga diharapkan mampu mengkoordinasikan penyediaan transportasi
untuk merujuk ibu hamil ke tempat pelayanan terdekat atau RS
kabupaten(Ambulan Desa), tabungan masyarakat untuk ibu bersalin (Tabulin),
dan system monitoring kematian ibu berbasis masyarakat yang diketuai oleh
kepala desa. Dibawah kebijakan desentralisasi, terlihat pemerintah daerah tidak
menunjukan komitmen untuk meneruskan gerakan ini, sehingga BDD tidak
mendapat dukungan materi untuk menangani berbagai masalah dalam waktu yang
bersamaan. Padahal tanggung jawab BDD atas kegiatan posyandu, pondok
bersalin, pencatatan dan pelaporan ke puskesmas serta konsultasi sudah cukup
besar.

28 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Infrastruktur Kesehatan
Indonesia memiliki 68.724 desa (tahun 1998), dengan 7.602 puskesmas, 21.811
puskesmas pembantu, 7.035 puskesmas keliling, dan sekitar 243.700 posyandu
yang di kelola oleh lebih dari 1,2 juta kader
(http://w3.whosea.org/cntryhealth/indonesia/indostatics.htm). Unit-unit inilah
yang membentuk pelayanan kesehatan primer pemerintah Indonesia.

Diperkirakan terdapat 1.020 rumah sakit umum dan swasta di Indonesia –


sekurangnya di harapkan ada satu rumah sakit (tipe C dengan sedikitnya 4 dokter
spesialis) di setiap kabupaten, dan satu rumah sakit tipe B di tingkat propinsi.
Bersama dengan 4 rumah sakit rujukan kelas A tingkat nasional, membentuk
pelayanan kesehatan sekunder.

Jumlah dokter yang bekerja di Puskesmas dan RSU Depkes dan pemerintah
daerah per 100.000 penduduk pada tahun 1999 sebesar 10,8 yang menunjukkan
adanya penurunan dibanding angka tahun1998 (sebesar 11) (Depkes-RI, 2000:24).
Per Desember 2003 ada 1500 dokter spesialis kebidanan dan kandungan dengan
rata-rata jumlah dokter spesialis per tipe RS adalah sebagai berikut : 1) RS tipe
A29,25; 2)RS tipe B 5,61; 3) RS tipe C 1,34 dan; 4)RS tipe D 0,25 (Depkes-RI,
2000:24).

Kontribusi Bidan Terhadap Pemanfaatan Pelayanan


Data SDKI terbaru (2003) menunjukan sekitar 81% ibu hamil melakukan
kunjungan antenatal 4 kali atau lebih, dan 66% melahhirkan dengan pertolongan
petugas kesehatan (tertinggi di DKI Jakarta dengan 94% dan terendah di Nusa
Tenggara Timur dengan 36%). Gambaran ini merefleksikan kontribusi yang
signifikan dari 54.120 bidan di desa yang meningkat persentase persalinan oleh
petugas kesehatan dari 32% di tahun 1992 menjadi 46,59% di tahun 1995.
Tentunya hal ini telah menurunkan angka kematian ibu di beberapa wilayah,
walaupun ada fakta bahwa pelayanan kebidanan darurat tidak tersedia di beberapa
tempat, dan faktor sosio- budaya dan geografis masih merupakan hambatan untuk
menjangkau kelompok masyarakat tertentu atau yang berada dipelosok daerah.

Isu-isu Kesehatan Reproduksi di Indonesia


Walaupun pemerintah Indonesia telah mengadopsi kebijakan PKRE sejak tahun
1996, tetapi sejumlah kendala dan tantangan masih perlu mendapatkan perhatian
serius, yaitu:

29 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
1. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
 Kehamilan dan persalinan merupakan penyebab kematian, penyakit
dan kecacatan pada perempuan usia reproduksi di Indonesia.
Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/3,
melaporkan Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 307 per 100.000
kelahiran hidup (BPS, BKKBN, Depkes, MEASURE/DHS, 2003).
Tinggi kesalahan dalam pengambilan sampel (sampling error)
sehingga angka tidak memperlihatkan penurunan yang bermakna
dari data SDKI dari tahun 1994, yaitu sebesar 390 per 100.000
(BPS, BKKBN, Depkes, MEASURE/DHS, 2003).

 Masih 34% perempuan di Indonesia tidak mendapatkan akses


terhadap pelayanan kesehatan ibu (hanya 66% persalinan dibantu
oleh petugas kesehatan seperti dokter dan/atau bidan) (ESCAP,
2003). Padahal sebagian besar kematian ibu terbanyak terjadi pada
saat atau berkisar persalinan, di mana 9 dari 10 kematian ibu terjadi
di seputarnya (Depkes, 2004)

 Ada dua penyebab kematian ibu, penyebab langsung dan penyebab


tidak langsung (Depkes dan FKMUI, 1999; Depkes, 2000; WHO,
2004). Penyebab langsung mempunyai persentase terbesar, di
seluruh dunia mencapai 70% (WHO,2004), sedangkan di Negara
berkembang berkisar 95% (Depkes dan FKMUI, 1999). Di
Indonesia, menurut Departemen Kesehatan lebih dari 90%
kematian ibu disebabkan oleh penyebab langsung: komplikasi
kebidanan (pendarahan, infeksi, dan eklamsia); persalinan lama
(lebih dari 12 jam); dan aborsi tidak aman (Depkes, 2000).

 Perdarahan merupakan penyebab terjadinya kematian ibu di


seluruh dunia (25%), setelah itu infeksi/sepsis (15%), aborsi tidak
aman (13%), eklamsia (12%), dan persalinan obstruksi (8%)
(WHO,2004).

 Untuk di Negara berkembang, khususnya Indonesia, kematian


maternal seringkali berkaitan dengan factor keterlambatan
(Depkes, FKMUI, dan WHO, 1997) yang dikenal dengan 3
terlambat (Thaddeus dan Maine, 1994:1092), yaitu:
a) Terlambat memutuskan untuk mencari pelayanan
b) Terlambat mencapai fasilitas kesehatan
c) Terlambat menerima pelayanan yang adekuat

30 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Pada terlambat pertama dan kedua, yang seringkali juga sebagai factor
terbanyak,peran pengambil keputusan menjadi penting baik keputusan kapan
harus mendapat pertolongan atau keputusan dalam memilih tenaga penolong. Di
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih sering di temukan
ketidakberdayaan perempuan dalam mengambil keputusan, sementara peran
suami dan mertua sangat dominan (Depkes, 1997b). Akhirnya isu gender menjadi
hal yang krusial.

 Selain perdarahan, aborsi tidak aman juga merupakan salah satu


penyebab tingginya AKI di Indonesia. SKRT 1995, memperkirakan
bahwa aborsi tidak aman berkontribusi terhadap kematian ibu
sebesar 11,1% atau 1 dari setiap 9 kematian ibu. Di duga angka
sebenarnya bisa mencapai 30% (Kompas, 2002).

 Penelitian di 10 kota besar dan 6 kabupaten di Indonesia


memperkirakan bahwa secara nasional ada 2 juta kasus aborsi
setiap tahunnya (Utomo dkk, 2001) atau sekitar 70% dari seluruh
kasus aborsi di Asia Tenggara setiap tahunnya. Dengan perkataan
lain, pada setiap 1.000 perempuan berusia 15-49 tahun, ada sekitar
37 kasus aborsi per tahun.

 Temuan dari studi di delapan kota di Indonesia (Medan, Jakarta,


Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Lombok dan Manado)
memperlihatkan bahwa kebanyakan klien aborsi (87%) adalah
perempuan menikah yang sudah mempunyai anak (YKP, 2002).
Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa factor psikososial
(57,5%) dan “gagal KB” (36%) merupakan alasan utama
menghentikan kehamilan yang tidak dikehendaki (YKP, 2002).

KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA (KRR)

Pelayanan gawat darurat (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Darurat -


PONED); merupakan hal mutlak yang harus tersedia dan terjangkau oleh semua
ibu hamil/bersalin. Komplikasi persalinan yang harus ditangani dengan cepat/tepat
dapat menghindari kematian ibu.

Kesehatan anak, terutama kelangsungan hidup bayi baru lahir. Kondisi bayi
dengan berat lahir rendah (BBLR) sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi

31 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
ibu, baik pada saat hamil maupun jauh sebelumnya. Risiko kematian pada bayi
BBLR (berat lahir <2500 gram) adalah 7 sampai 13 kali dibandingkan dengan
bayi yang lahir dengan berat 3000 hingga 3499 gram (Budiharsana, 2002).

1. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)

Ada sekitar 60.861.350 remaja berusia 10 - 24 tahun, atau sekitar 30,2% dari
total penduduk Indonesia (BPS, 2001).

a. Angka pernikahan dini (menikah sebelum berusia 16 tahun) hamper


dijumpai di seluruh propinsi di Indonesia. Sekitar 10% remaja putrid
melahirkan anak pertamanya pada usia 15-19 tahun. Kehamilan remaja
akan meningkatkan risiko kematian dua hingga empat kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan yang hamil pada usia lebih dari 20 tahun.
Demikian pula dengan risiko kematian bayi, 30% lebih tinggi pada ibu
usia remaja, dibandingkan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu usia 20
tahun atau lebih (GOI dan UNICEF, 2000).
b. Walaupun terjadi peningkatan rata-rata umur pernikahan pertama, dari
17,7 tahun 1991 menjadi 1 $,6 tahun 1997, tidak berarti usia pertama
aktif seksual juga meningkat. Beberapa penelitian justru memperlihatkan
bahwa usia aktif seksual pertama cenderung bergeser ke usia yang lebih
muda. Survei terhadap 3.978 remaja perempuan menikah dan tidak
menikah usia 15-24 tahun di 20 kabupaten di 4 propinsi (Jawa Timur,
Jawa Tengah, Jawa barat dan Lampung) menemukan 0,4% perempuan
yang sudah menikah dan 5% remaja perempuan yang pernah menikah
mengaku bahwa mereka telah melakukan hubungan seksual sebelum
menikah (GOI dan UNICEF, 2000).

c. Kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat tentang


kesehatan reproduksi dan seksualitas. Selain itu mereka juga tidak
memiliki akses terhadap pelayanan dan informasi KR, termasuk
kontrasepsi (FCI, 2000). Informasi biasanya hanya diperoleh dari teman
dan/atau media, yang biasanya sering tidak akurat. Hal inilah yang
menyebabkan remaja perempuan rentan terhadap kematian maternal,
kematian anak dan bayi, aborsi tidak aman, IMS, kekerasan/pelecehan

32 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
seksual, dan Iain-lain (MOH-GOI, 1999).

2. Keluarga Berencana

a. Ketersediaan dan akses terhadap informasi dan pelayanan KB, dapat


mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Jika semua perempuan mempunyai
akses terhadap kontrasepsi yang aman dan efektif, diperkirakan kematian ibu
menurun hingga 50%, termasuk menurunnya risiko kesehatan reproduksi yang
terkait dengan kehamilan, persalinan dan aborsi tidak aman (GOI dan UNICEF,
2000).

b. Angka kesuburan total/total fertility rate (TFR) di Indonesia turun dari 5,6
pada tahun 1967/70 menjadi 2,6 tahun 2002/2003 (BPS, BKKBN, Depkes,
MEASURE/DHS, 2003). Meskipun terlihat penurunan tajam, berbagai aspek
kebutuhan kesehatan reproduksi perempuan banyak yang belum terpenuhi.
Dukungan dan ketersediaan konseling dan pelayanan KB yang memadai
merupakan hal terpenting dalam menurunkan risiko ini. Pada tahun 1997, dua per
tiga (66.7%) perempuan menikah di Indonesia menggunakan kontrasepsi modern,
28,2% untuk pil dan 35,6% untuk suntik. Metode modern lain meliputi
AKDR/IUD (14,8%), susuk (11,0%), sterilisasi (5,5% MOW dan 0,7% MOP) dan
kondom (1,3%). Sekitar 2,7% perempuan usia reproduksi menggunakan metode
kontrasepsi tradisional (MOH-GOI, 1999).

c. Dikhawatirkan, kemiskinan dan kebijakan baru BKKBN yang justru


diskriminatif akan menurunkan akses terhadap pelayanan KB. Dan hal ini akan
berakibat naiknya jumlah kelompok "unmet need'. SDKI 1997 memperlihatkan
sekitar 9,2% perempuan menikah yang ingin menunda kehamilan namun tidak
menggunakan cara kontrasepsi apapun (GOI dan UNICEF, 2000). Mereka ini
disebut kelompok “unmet need”, dan perilaku ini berisiko timbulnya yang tidak
dikehendaki. Perempuan dengan kehamilan yang tidak dikehendaki nekad
mencari pertolongan aborsi tidak aman karena ketiadaan pelayanan aborsi yang
aman (FCI, 2000).

33 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
3. Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) dan Infeksi Menular Seksual (IMS)

a. Berbagai IMS meningkatkan risiko penularan HIV sekurangnya tiga atau


empat kali (UNAIDS, 1996 dalam Qomariyah dkk., 2002). Jenis yang paling
sering ditemui di masyarakat adalah - trikomoniasis, klamidia, gonore, dan sifilis -
yang sebenarnya mudah diobati. Dari laporan rutin puskesmas dan rumah sakit
pemerintah, setiap tahun terdapat sekitar 30.000 orang menderita IMS yang bisa
diobati (Qomariyah dkk., 2002). Sebagian besar perempuan yang terkena IMS
(50%), tidak menyadari dirinya terinfeksi sehingga berkembang menjadi penyakit
kronis (FCI, 2000).

b. Dari 8.251 kasus HIV/AIDS di Indonesia, terdiri dari 4.186 kasus AIDS
dan 4.065 kasus HIV (September 2005). Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi
dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun (54,04%), disusul kelompok umur
30-39 tahun (25,01%) dan kelompok umur 40-49 (8,58%). Sebagian besar tertular
melalu hubungan heteroseksual. Saat ini, ada peningkatan infeksi HIV pada
pengguna narkoba jarum suntik dan penularan dari ibu ke anak (Subdit
PMS&AIDS Ditjen PPM&PL Depkes R.I, 2005). Angka infeksi HIV/ AIDS dan
infeksi menular seksual lainnya diperkirakan jauh lebih tinggi daripada angka
yang dilaporkan tersebut karena sampai saat ini system pelaporan masih pasif dan
biaya pemeriksaan darah relatif masih mahal. Sehingga jumlah kasus HIV/AIDS
hanya memperlihatkan bagian kecil dari masalah sebenarnya (fenomena “gunung
es”).

c. Perempuan, menikah dan tidak menikah, sering tidak melindungi diri


mereka sendiri dari IMS dan HIV karena kurangnya informasi dan otonomi untuk
memutuskan atau bernegosiasi sebelum berhubungan seksual. Contoh yang umum
adalah tidak mampu meminta pasangan seksualnya menggunakan kondom
(Penjelasan lebih lanjut mengenai ISR/IMS-HIV/AIDS, lihat Lampiran 3a dan
3b).

4. Usia Lanjut

a. Sampai tahun 2000, jumlah penduduk usia lanjut (di atas 60 tahun) di
Indonesia diperkirakan sekitar 15,3 juta atau 7,4% total penduduk. Jumlah ini

34 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya angka harapan hidup. Umur
harapan hidup perempuan meningkat dari 62,4 menjadi 65,3 tahun, dan pada pria
dari 59,6 menjadi 61,5 tahun, selama periode 1990-1995 (Budiharsana, 2002).

Kelompok usia lanjut juga memerlukan pelayanan KR. Menurut


UNAIDS, perilaku berisiko seperti hubungan seks tanpa pelindung, pasangan
seksual lebih dari satu, IMS, dan penggunaan narkoba, juga terlihat pada
kelompok ini. Risiko pada perempuan usia lanjut terlihat lebih tinggi
dibandingkan pada pria usia lanjut, dan selama periode lima tahun jumlah kasus
baru HIV pada kelompok ini. Meningkat hingga 40%. Sayangnya, angka yang
tersedia tidak mencerminkan pada usia berapa mereka terinfeksi, besar
kemungkinan sudah terinfeksi pada usia lebih muda. Pada saat terdiagnosa,
kebanyakan sudah pada tahap infeksi lanjut. Faktor penyebab terbesar di
kelompok usia 50 tahun ke atas sama dengan kelompok usia lainnya yaitu -
hubungan heteroseksual.

b. Pelayanan KR terpadu dapat mengurangi stigma seputar masalah


kebutuhan seks pada usia lanjut misalnya lewat konseling agar mereka mampu
berdiskusi dengan tenaga kesehatan dan keluarganya (Shane dan Ellsberg. 2002).

5. Kekerasan Terhadap Perempuan

(Lihat Modul Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak)


a. Tanda adanya kekerasan terhadap perempuan (KTP) harus diperhatikan
dan dideteksi dalam setiap komponen PKRE (pelayanan KIA, KB, KRR dan
pelayanan ISR), sehingga penanganannya harus tercakup di dalamnya. Walaupun
tidak ada data nasional tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di
Indonesia, sejumlah pusat krisis perempuan (Women Crises Center/WCC) dan
pusat krisis terpadu (PKT) di rumah sakit memiliki database yang
mendokumentasikan kasus-kasus KDRT dan masalah lain yang dihadapi
perempuan dan anak-anak. Saat ini ada sekitar 21 organisasi di 15 kota di
Indonesia yang memberikan pelayanan untuk perempuan dan anak-anak korban
kekerasan. Sebagai contoh, sebuah WCC di Jakarta mencatat 272 kasus kekerasan

35 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
pada tahun 2003 di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Mitra
Perempuan, 2003). Di antara kasus-kasus tersebut, 84,4% terjadi pada istri yang
mengalami kekerasan oleh suami atau mantan suami mereka. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa pelaku KDRT dan korbannya bisa di dalam ikatan
perkawinan maupun di luar perkawinan (Mitra Perempuan, 2003). (Lihat
Lampiran 3).

b. Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat ada


5.563 kasus kekerasan yang dilaporkan oleh 21 organisasi pada tahun 2002, 63%
lebih tinggi dari kasus yang dilaporkan pada tahun 2001 (Kompas, 1 Desember
2003). Peningkatan kasus tersebut bukan berarti lebih banyak kasus yang terjadi,
bisa saja karena meningkatnya kesadaran korban untuk melapor. Penderitaan
perempuan karena kekerasan terjadi sepanjang siklus hidup mereka, dan dalam
waktu yang sama, perempuan juga menanggung beban risiko mengalami penyakit
yang terkait dengan proses KR dan seksual termasuk risiko kematian.

c. Gambaran berikut menunjukkan berbagai tipe aksi KDRT dan akibatnya


terhadap kesehatan yang mungkin akan dialami seorang perempuan sepanjang
hidupnya (Umardkk., 2003):

1. Kekerasan dalam hubungannya dengan poligami.


2. Kekerasan akibat memiliki wall mujbir
3. Kekerasan karena perceraian (talak)

36 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
(Shane dan Ellssberg, 2002)

Gambar 1. Dampak kekerasan terhadap kesehatan menurut siklus hidup

Sebagai kesimpulan, Indonesia saat ini menghadapi:

1. Angka kematian maternal yang tetap tinggi, karena ketidakmampuan


memecahkan masalah komplikasi kehamilan dan persalinan, termasuk yang
disebabkan oleh KDRT dan gender;

2. Kurangnya penyebaran dan kualitas pelayanan yang berhubungan dengan


masalah maternal, misalnya: pelayanan kebidanan darurat dan tranfusi darah yang
aman (KIA), dan tidak efektifnya rujukan untuk kasus gawat darurat termasuk
yang disebabkan oleh aborsi tidak aman; dan

37 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
3. Tidak adanya pelayanan kesehatan reproduksi terpadu di tingkat pelayanan
dasar termasuk terbatasnya akses terhadap informasi dan pelayanan KB.

Catatan: Baca kembali definisi kesetaraan dan keadilan gender pada Modul
Gender dalam HAM dan Asuhan Kebidanan

Kegiatan Pembelajaran

1. Identifikasikan minimal 2 masalah kesehatan reproduksi dengan


menggunakan pendekatan siklus hidup.

2. Buatlah contoh 12. area kritis (sesuai definisi di Beijing-FWCW 1995) yang
kamu lihat di sekitar tempat tinggal kamu.

3. Jelaskan mengapa ketidaksetaraan gender membuat masalah kesehatan


reproduksi menjadi lebih buruk.

4. Jelaskan mengapa kematian ibu tinggi di Indonesia?

5. Seberapa jauh perempuan berperan dalam pengambilan keputusan?

6. Identifikasikan faktor sosial budaya agama yang menghambat dalam


mengakses pelayanan kesehatan reproduksi?

CONTOH KASUS:

Mengapa Lena Meninggal?

Lena seorang perempuan berasal dari sebuah dusun nelayan pantai utara
Masyarakat dusun kecil itu mayoritas bekerja sebagai buruh nelayan yang
pendapatannya tergantung pada laut, cuaca dan upah dari pemilik perahu. Di
ujung kampung ada sebuah rumah kecil tempat seorang mantri memberikan
layanan kesehatan. Menjelang matahari terbenam di kampung nelayan tersebut,
suasana terasa menyenangkan bagi Lena, la bermain dan belajar mengaji bersama

38 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
teman-temannya. Ustadznya selalu mengajarkan kebaikan bagi santri-santri belia
itu. Kepada mereka ditanamkan nilai-nilai kebaikan, menjaga hubungan harmonis
dengan tetangga, berbakti, taat dan tidak membantah orang tua. Khusus pada
anak-anak perempuan diajarkan agar menyiapkan diri untuk berumahtangga dan
berbakti kepada suami. Suami adalah kepala rumah tangga sehingga kelak jika
sudah berkeluarga harus tunduk pada perintahnya.

Keluarga Lena tergolong miskin, ayahnya sakit encok, kakinya pegal-pegal


sepanjang hari sehingga tidak bisa dituntut untuk bekerja keras. Satu-satunya
sumber penghidupan berasal dari ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci pada
keluarga-keluarga pemilik perahu. Sebagai anak perempuan satu-satunya dari
enam bersaudara, Lena diharapkan orangtuanya segera mendapatkan jodoh agar
tidak mendapat julukan perawan tua. Ayah Lena menganggap bahwa perkawinan
anak perempuan berarti bisa mengurangi beban keluarga karena hidup perempuan
adalah tanggung jawab suaminya.

Menjelang hari raya Idul Adha, Lena genap berusia 14 tahun. Ayahnya
menjodohkan Lena dengan seorang pemuda yang baru datang dari perantauan.
Pemuda bernama Badri kemudian menikahinya. Tahun pertama perkawinannya,
Badri masih kerja merantau, hanya tiga bulan sekali ia pulang. Pada akhir tahun
Lena dinyatakan positif hamil. Mereka menyambut gembira, lengkaplah Lena
sebagai perempuan, ia bisa memberikan anak kepada suami dan memberikan cucu
kepada orangtuanya.

Selama hamil ia memeriksakan kandungannya kepada pak mantri, satu-


satunya tenaga kesehatan yang bisa dijangkau. Menjelang kehamilannya berusia
sembilan bulan, Lena sakit, perutnya kejang, lemas tidak bertenaga. la mengalami
perdarahan berkepanjangan. Suaminya kebetulan sedang berada di rumah, tetapi
ia tidak membawa Lena ke tempat praktik bidan yang adanya hanya di kecamatan
dan letaknya cukup jauh. Badri malah menyalahkan Lena yang tidak hati-hati
menjaga diri dan menghabiskan banyak uang untuk periksa ke pak mantri. Ayah
Lena juga mengatakan bahwa melahirkan adalah kejadian biasa, jadi tidak perlu
ribut-ribut. Buktinya, istrinya telah melahirkan enam anak tanpa satu kalipun
pertolongan dari bidan. Maka mereka memutuskan tidak membawa Lena ke

39 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
bidan, karena semua akan berjalan alamiah. Setiap perempuan pasti bisa
melahirkan tanpa harus diVnanjakan.

Selang dua hari sakit berlangsung, Lena sudah kehabisan darah dan
meninggal. Semua berduka, di luar duka mereka tersimpan harapan terhadap Lena
nantinya masuk surga karena mati melahirkan diyakini oleh mereka adalah mati
syahid. Bermain peran: simulasikan kasus di atas, diskusikan hak-hak apa saja
yang dilanggar?

Uji Kemampuan Diri

Instruksi: Jawab pertanyaan berikut secara seksama!

1. Jelaskan pengertian dan ruang lingkup kesehatan reproduksi.

2. Mengapa kesehatan reproduksi dan seksual merupakan isu yang sangat


sensitif dan pribadi?

3. Jelaskan bagaimana memfasilitasi kelompok-kelompok di masyarakat untuk


menggali kemampuan mereka menjawab permasalahan kesehatan reproduksi dan
seksual mereka?

40 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Pelajaran 2

Seksualitas dan Komponennya


41 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Seksualitas dan
Komponennya

42 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Tujuan Khusus

Mahasiswi diharapkan mampu:

1. Menjelaskan pengertian seks, seksualitas dan gender secara benar dan


komprehensif;

43 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
2. Menjelaskan kerangka kerja Dixon-Mueller yang menggambarkan hubungan
berbagai komponen-komponen seksualitas yang berbeda dengan gender dan
kesehatan reproduksi; dan

3. Menjelaskan hubungan antara peran gender dan mitos-mitos seksualitas yang


berbahaya.

Konsep Inti
Seks adalah perbedaan badani atau biologis perempuan dan laki-laki, yang
sering disebut jenis kelamin.
Gender
Adalah perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi perempuan dan laki-
laki yang dibentuk oleh budaya. Misalnya, karakteristik sosial bagi perempuan
sebagai ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai pencari nafkah dibentuk oleh
budaya. Karena gender timbul akibat konstruksi sosial, maka dapat-berbeda pada

44 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
suatu budaya dengan budaya yang lain, dari waktu ke waktu dan dapat diubah bila
diinginkan.
Seksualitas
Seksualitas dalah konsep yang meliputi kemampuan fisik seseorang dalam
menerima rangsangan dan kenikmatan seksual serta pembentukan identitas
seksual dan gender yang melekat pada perilaku seksual yang dipahami oleh
individu maupun masyarakat.
Perilaku Seksual
Mencakup tindakan-tindakan seksual terhadap orang lain atau diri sendiri
yang dapat diamati.
Kesehatan Seksual:
1. Didefinisikan sebagai peningkatan kualitas hidup dan hubungan pribadi.
2. Bertujuan agar setiap orang memiliki kehidupan seksual yang memuaskan
dan aman.
3. Memadukan konsep tubuh, intelektual dan sosial individu dengan
memperkaya dan memperkuat kepribadian, komunikasi, cinta dan hubungan antar
manusia.
4. Mencakup isu-isu berikut:
a. Terlindungi dari IMS, praktik seksual berbahaya dan kekerasan
b. Pengendalian akses seksual dan penikmatan seksual; dan
c. Informasi esensial tentang seksualitas.
d. Pelayanan kesehatan seksual tidak hanya terdiri dari konseling dan
pelayanan kesehatan reproduksi termasuk IMS. (Brokenshire Resource Center,
2003; Dixon-Mueller, 1996)
Hak-hak Seksual
Termasuk hak asasi perempuan agar secafa bebas dan bertanggung jawab
mengontrol dan memutuskan hal-hal yang terkait dengan seksualitasnya
(kesehatan reproduksi dan seksual, bebas dari paksaan, diskriminasi dan
kekerasan).

45 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
1. SEKSUALITAS DALAM KERANGKA PIKIR GENDER (DIXON-
MUELLER'S FRAMEWORK)

Seksualitas bisa dipahami secara berbeda pada setiap orang. Dixon-


Mueller (1996) mengembangkan sebuah kerangka pikir sederhana, terdiri dari
empat dimensi seksualitas dan perilaku seksual yang berbasis keadilan gender.

46 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Perilaku seksual meliputi segala tindakan yang dapat diamati secara
empiris. Perilaku ini bisa berupa tindakan seksual seseorang terhadap orang lain
atau dirinya sendiri, mengungkapkan diri secara seksual, cara berbicara dan cara
bertindak.

Sebaliknya, seksualitas adalah konsep terpadu yang meliputi kemampuan


fisik seseorang dalam menerima rangsangan dan kenikmatan seksual serta
pembentukan identitas seksual dan gender yang melekat pada perilaku seksual
yang dipahami oleh individu maupun masyarakat. Jadi, seksualitas tidak hanya
meliputi konsep biologis saja, tetapi juga hubungan sosial. Misalnya, pada saat
pubertas, seorang remaja tidak hanya terjadi perubahan fisik saja tetapi juga ada
ketertarikan secara emosi dengan teman di sekitarnya.

Dua dimensi pertama dalam kerangka pikir ini adalah perilaku yang
dipandang secara obyektif (pasangan dan tindakan seksual); dua dimensi lainnya
terkait dengan fisiologis atau budaya yang bersifat subyektif. Setiap dimensi
seksualitas saling terkait dan dipengaruhi oleh pengalaman peran gender; jadi,
perbedaan dan persamaan gender dalam perilaku, arti dan dorongan seksual harus
dianalisis secara sistematis pada setiap kelompok sosial. Dengan demikian,
kebijakan dan program kesehatan reproduksi harus sesuai dengan permasalahan
yang muncul pada setiap dimensi seksualitas.

Empat Dimensial Kebijakan/Program yg

Seksualitas dibutuhkan

47 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
1) Pasangan Seksual
Elemen pertama dari kerangka pikir seksualitas-gender membicarakan:
a. Jumlah pasangan seksual, saat ini dan masa lalu;
b. Waktu dan lamanya hubungan seksual seseorang selama hidupnya;
c. Identitas sosial pasangan (karakteristik sosio-ekonomi, hubungan);
d. Kondisi dalam memilih: sukarela atau terpaksa; dan
e. Lamanya suatu hubungan (berganti pasangan).

48 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Biasanya, jumlah dan identitas pasangan dapat memprediksi jejaring seksual
dan penularan penyakit.
Perbedaan gender pada awal (atau pemutusan) aktifitas seksual, termasuk
pada saat'menentukan pasangan seksual berikutnya (identitas dan jumlah)
menimbulkan standar ganda di masyarakat. Kekuatan struktural maupun ideologis
tersebut menimbulkan pergeseran kemampuan perempuan dalam menentukan
proses reproduksi dan seksual mereka. Walaupun petugas kesehatan telah
menyadari bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk memilih kontrasepsi
dan melindungi dirinya dari IMS, namun yang paling penting adalah kemampuan
perempuan dalam memutuskan untuk melakukan hubungan seksual atau tidak.
Aktifitas seksual yang terlihat suka sama suka, sebenarnya mungkin
terdorong oleh kebutuhan ekonomi. Di Jakarta, sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Yayasan Pelita llmu menemukan ada dua jenis transaksi seksual pada remaja.
Pertama, perex (perempuan experimen, bebas dibawa kemana-mana), istilah yang
dipakai untuk perempuan muda yang memberikan pelayanan seks sebagai balasan
atas pemberian materi dari "Om Senang." Kedua, pecun (perex cuma-cuma),
istilah untuk perempuan muda yang menyediakan pelayanan seks bagi mereka
yang bersedia memberikan "barang mewah," seperti tiket nonton bioskop, makan
malam di restoran mewah, sepotong baju, mobil baru dan/atau apartemen.
Meskipun ada transaksi seksual, perex dan pecun tidak suka disebut pelacur
karena mereka menganggap hubungan seksual yang dilakukan didasari oleh suka
sama suka. Mereka juga merasa tidak menjual tubuh mereka untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti yang dilakukan oleh pekerja seks (Djauzi dan Djoerban,
2003).

2) Tindakan Seksual

Elemen kedua meliputi naluri alami, frekuensi dan kondisi pilihan (sukarela
atau terpaksa). Frekuensi dan bentuk ekspresi seksual merupakan elemen penting
kesehatan reproduksi dan seksual. Beberapa praktik seksual mungkin
membutuhkan kontrasepsi atau upaya pencegahan penyakit; yang lainnya

49 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
mungkin membutuhkan keduanya. Contohnya, perempuan yang telah menopause
memiliki suami/pasangan HIV+, tidak lagi membutuhkan kontrasepsi untuk
mencegah kehamilan tetapi membutuhkan kondom untuk mencegah penularan
HIV. Pasangan usia subur yang sedang dalam pengobatan IMS dan tidak ingin
punya anak, sebaiknya menggunakan kondom untuk mencegah kehamilan dan
tertular IMS kembali.

3) Makna Hubungan Seksual

Konstruksi sosial tentang seksualitas berasal dari pemikiran, perilaku dan


kondisi seksual yang diinterpretasikan menurut budaya setempat (misalnya
keperawanan). Dimensi ini menyatukan kepercayaan kolektif dan individu tentang
sifat alami tubuh, seperti hal-hal yang dianggap erotis atau "jorok", tentang apa
dan dengan siapa masalah seksualitas pantas dibicarakan. Pada /teberapa budaya,
ideologi tentang seksualitas menekankan resistensi atau "penolakan" perempuan,
agresifitas laki-laki dan tindakan seks yang saling berlawanan; pada beberapa
budaya yang lain, mereka menekankan saling berbagi dan menikmati.
Konstruksi sosial tentang seksualitas mau tidak mau terkait dengan konsep
budaya tentang maskulinitas dan femininitas. Inti dari "kelaki-lakian" dan
"keperempuanan" ini diwujudkan dalam bentuk ideologi seksual.' Studi lintas
budaya menunjukkan bahvva laki-laki harus mengikuti aturan baik dianggap
menyenangkan atau tidak. Menjadi "laki-laki yang sesungguhnya" sering
dihubungkan dengan kejantanan atau keberanian, kehormatan dan tanggung
jawab. Mereka paling tidak senang bila kelaki-lakiannya dilecehkan oleh orang
tua, teman sebaya, dan perempuan.
Kontradiksi dari seksualitas dan kekuasaan laki-laki diekspresikan dalam
bentuk dominasi terhadap perempuan, karena kelebihan mereka secara fisik,
materi, ideologis dan takut kehilangan muka. Meskipun tingkat kepemilikan laki-
laki atas perempuan itu besar, namun ia menyadari bahwa istri dan anak
perempuannya merupakan target bagi laki-laki seperti dirinya. Hal ini
menimbulkan ketakutan kehilangan kekuasaan dan kelaki-lakian mereka (tidak
percaya diri) sehingga menumpahkan kemarahan kepada perempuan. Potensi
seksual disamakan dengan otoritas laki-laki terhadap perempuan; oleh karena itu

50 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
menyerang potensi seksual mereka berarti mengancam kekuasaannya sebagai
laki-laki dan sebaliknya.
Perubahan makna dan ekspresi seksualitas terjadi sepanjang siklus hidup laki-
laki dan perempuan, khususnya sebagai respon terhadap kemungkinan konsepsi.
Di beberapa masyarakat Asia Selatan yang konservatif, hubungan seksual hanya
layak dalam ikatan pernikahan pada saat mereka menginginkan dan membesarkan
anak. Seks sebelum nikah, di luar nikah, atau di usia senja dianggap tidak layak.
Hal ini bisa berbeda di budaya lainnya, di mana seks sebelum atau di luar nikah di
tolerir dengan berbagai alasan.

4) Dorongan dan Kenikmatan Seksual

Aspek fisiologis dan sosiopsikologis seksualitas berinteraksi menghasilkan


berbagai tingkat kemampuan menerima rangsangan dan orgasme yang berbeda
pada setiap orang. Elemen ini dipengaruhi oleh pengetahuan laki-laki dan
perempuan tentang kapasitas seksual tubuhnya untuk mendapatkan kenikmatan
secara fisik dan emosional melalui fantasi, hubungan seksual atau merangsang diri
sendiri. Persepsi tentang dorongan dan kenikmatan seksual dipengaruhi oleh
konstruksi sosial seksualitas. Di beberapa penelitian menunjukkan laki-laki
merasa perempuan kurang tertarik terhadap seks. Keempat dimensi seksualitas
terkait dengan perilaku pemakaian kontrasepsi, risiko IMS, dan aspek lain dari
kesehatan reproduksi dan seksual (lihat gambar). Setiap elemen juga saling
berhubungan, baik dalam satu dimensi atau dengan elemen dari dimensi yang lain.
Seorang laki-laki yang menikah dan berpengalaman dalam berbagai jenis tindakan
seks mempunyai pikiran yang berbeda tentang kenikmatan, kehamilan dan
penyakit saat berhubungan dengan seorang pekerja seks dan saat berhubungan
dengan istrinya. Dengan kata lain, setiap elemen dibentuk oleh sistem sosial yang
lebih besar, seperti: institusi sosial dan ekonomi yang menentukan hierarki
kekuasaan dan pilihan hidup berdasarkan gender, umur, kelas, etnis, dan
perbedaan lain; serta ideologi gender yang dielaborasi setiap sistem.

2. SEKSUALITAS DAN MITOS-MITOS

51 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Seksualitas dari Sudut Pandang Tradisional

Seksualitas adalah konsep yang meliputi kemampuan fisik seseorang


dalam menerima rangsangan dan kenikmatan seksual serta pembentukan identitas
seksual dan gender yang melekat pada perilaku seksual yang dipahami oleh
individu maupun masyarakat. Utomo (1999) menyatakan bahwa seksualitas
sangat dipengaruhi oleh sejarah dan budaya, karena itu setiap masyarakat
memiliki norma-norma dan nilai-nilai seksual sendiri. Perilaku seksual yang
dianggap normal oleh suatu masyarakat mungkin dianggap tidak normal oleh
masyarakat yang lain.

Konsep seksual di Indonesia sebagian besar berasal dari India dan


selebihnya berasal dari tradisi masyarakat tradisional. Pada saat itu, seks tidak
dihubungkan dengan 'moralitas' tetapi sebagai sesuatu yang alami seperti
kebutuhan akan makanan dan minuman. Bukti-bukti keterbukaan terhadap
seksualitas terlihat pada pahatan di candi-candi India yang menunjukkan berbagai
posisi hubungan seksual.

Kebudayaan Jawa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Serat


Centini, sebuah mahakarya sastra Jawa yang terdiri 12 volume dan ditulis pada
awal abad 19 Masehi oleh Sultan Pakubuwana V, secara terbuka membahas
seksualitas: Salah satu cerita menggambarkan bagaimana tiga bersaudara berbagi
informasi dan pengalaman mereka saat berhubungan seksual dengan seorang tamu
laki-laki yang bermalam di rumah mereka. Seks dalam cerita ini terlihat alami dan
digambarkan secara jelas. Yang menarik, perempuan bisa meminta, memulai dan
menentukan posisi yang diingini saat hubungan seksual. Mereka tidak takut
meminta laki-laki agar mereka bisa mencapai orgasme. Hal ini sangat berbeda
dengan konsep seksualitas pada masa modern, di mana perempuan diharapkan
tidak mengekspresikan kebutuhan seksualitas mereka termasuk meminta atau
memulai hubungan seksual.

Sebelum penyebaran agama Islam dan Kristen, hubungan seksual pra-


nikah diperbolehkan di Kalimantan Utara dan Indonesia Timur. Di dua wilayah
tersebut berkembang pemahaman yang salah bahwa hubungan seks dengan

52 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
"perempuan sehat" dapat menyembuhkan seorang pria dari penyakit kelamin
karena dia telah mengembalikan "makhluk asing" ke perempuan tersebut. Hal ini
menjelaskan mengapa pengidap gonore sangat tinggi di Murut (Kalimantan Utara)
pada tahun 1930 dan Sumba pada tahun 1960, masing-masing 80% dan 90%, dari
perempuan yang diperiksa.

Pada Masa Perdagangan, laki-laki bersedia menahan sakit dengan


memasang benda-benda, seperti pin logam, roda-roda, taji atau kancing ke
penisnya. Praktik ini masih dilakukan di bagian barat laut Kalimantan. Di
Makasar, praktik ini dapat ditekan sehubungan dengan kedatangan Islam, tetapi di
Toraja Sulawesi (non-Islam) kegiatan melukai penis masih dilakukan hingga akhir
abad 20. Praktik-praktik ini juga ditemukan di Jawa, tetapi melalui Islamisasi dan
Kristenisasi, kebiasaan ini hilang pada pertengahan abad 17.

Reformasi Islam pada abad 19 dan awal abad 20 membawa perubahan


sosial besar di Indonesia. Sebagai contoh, konservatisme seksual dominan di
Sumatera karena gerakan reformasi Islam paling kuat terjadi di sini, sedangkan di
Indonesia Timur di mana gerakan reformasi Islam lemah sikap liberal terhadap
seksualitas masih berlaku.

Mitos-Mitos yang Merugikan Seksualitas Perempuan

Perilaku seksual mencakup tindakan-tindakan seksual terhadap orang lain


atau diri sendiri yang dapat diamati. Makna sebagai seorang perempuan atau laki-
laki di masyarakat tidak terlepas dari mitos-mitos seksualitas yang berkembang,
yaitu tentang perilaku seksual dan bagaimana perasaan seseorang terhadap
tubuhnya sendiri (Burns dkk., 1997). Burns dkk (1997) memaparkan beberapa
mitos yang merugikan seksualitas perempuan. Mitos-mitos ini dan efek-efek
yang merugikan peran gender, menjadikan perempuan tidak memiliki kontrol
terhadap kehidupan seksualnya. Sehingga mereka menjadi rentan terhadap
problema kesehatan seksual.

a. Tubuh Perempuan itu Memalukan

53 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Seorang anak perempuan dalam masa pertumbuhan, diliputi rasa
keingintahuan yang besar terhadap tubuhnya. la ingin tahu nama bagian-bagian
tubuh dan mengapa alat kelaminnya berbeda dengan anak laki-laki. Bila orangtua
mengajarkannya bahwa tubuh perempuan itu "memalukan", ia akan sulit bertanya
mengenai tubuhnya saat memasuki masa puber. Dia mungkin akan sangat malu
untuk bicara mengenai menstruasi atau mengenai seks kepada petugas kesehatan;
bahkan ketika tumbuh dewasa dan mulai aktif seksual, dia tidak memahami
bagaimana tubuhnya bisa merasakan kenikmatan seksual, atau mengetahui
bagaimana cara melindungi tubuhnya dari kehamilan tak diinginkan atau penyakit
menular seksual.
b. Kebahagiaan perempuan tergantung pada keberadaan laki-laki
Asumsi bahwa kebahagiaan perempuan hanya bila bersama laki-laki, sering
digunakan sebagai senjata untuk mengatur kehidupan perempuan dan bahkan
dlgunakan untuk justifikasi perkosaan. Ini berarti bahwa kemampuan, perempuan
untuk melayani kebutuhan seks adalah hal terpenting dan harus/ terpenuhi. Hal ini
sering kali menyebabkan perempuan frustasi dan menghalanginya untuk lebih
maju dan berkembang.
c. Tubuh perempuan milik laki-laki
Banyak masyarakat memperlakukan perempuan seperti barang milik ayah
atau suami. Saat kecil, ia menjadi milik sang ayah yang bisa menikahkannya
dengan siapa saja yang dikehendakinya dan meminta mengerjakan apa saja yang
dimintanya. Layaknya sebuah barang, calon suami menginginkan calon istri yang
suci dan belum ternoda, sehingga keperawanan menjadi tuntutan. Setelah
menikah, suami merasa berhak memanfaatkan tubuh istrinya untuk mendapatkan
kesenangan yang diinginkannya. Suami mungkin selingkuh dengan perempuan
lain, tetapi istri hanya melayani satu laki-laki saja (suami). Tetapi laki-laki tidak
memiliki tubuh perempuan. Tubuh perempuan adalah milik dirinya sendiri, dan ia
berhak untuk memutuskan bagaimana, kapan dan dengan siapa akan berbagi.
d. Perempuan Kurang memiliki hasrat seksual
Perempuan sering diajarkan bahwa salah satu tugasnya adalah melayani
kebutuhan seksual suami. Sebagai perempuan "baik-baik," dia tidak akan
berinisiatif memulai hubungan seks. Mitos ini merugikan kesehatan seksual
perempuan. Pertama, perempuan yang beranggapan memikirkan seks adalah hal
yang tabu, tak akan siap menjalani seks secara aman. Dia tidak terlalu tahu

54 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
mengenai KB atau mendapatkan dan menggunakan kondom. Sekalipun tahu, ia
akan kesulitan untuk mendiskusikan hal ini sebelumnya kepada pasangan.
Berbicara mengenai seks hanya akan menimbulkan anggapan bahwa ia sudah
"berpengalaman," dan berarti perempuan nakal.

llustrasi kasus:

Pada 18 Januari 2004, Metro TV menampilkan seorang perempuan dengan


tiga orang anaknya yang masih kecil. Perempuan tersebut terpaksa meninggalkan
ketiga anaknya karena ia diancam suami yang marah akibat ia menolak
berhubungan seksual. Sebelumnya di hari yang sama ia minta suami untuk bayar
utang di warung terdekat tetapi suami mengacuhkannya. Pada malam harinya
ketika suami ingin berhubungan seks, perempuan tersebut menolak.

e. Sunat perempuan mencegah perempuan menjadi "nakal"


Praktik sunat perempuan merupakan refleksi konstruksi sosial dari
seksualitas, di mana laki-laki memiliki kewenangan untuk menentukan dan
mengontrol seksualitas dan organ reproduksi perempuan. Praktik ini diterima
sebagai cara untuk mencegah perempuan menjadi nakal (CPPS-UGM, 2003).
Bahaya dari sunat perempuan meningkat dengan dilakukannya secara medis.
Bidan sebagai pelaksana cenderung menggunakan gunting untuk memotong
bagian kelamin perempuan (biasanya klitoris), sedangkan tenaga tradisional
(seperti dukun) biasanya menggunakan pisau lipat yang digunakannya untuk
kegiatan simbolik. Sunat perempuan secara medis ditemukan di Padang (91,7%
dari 349 kasus yang diobservasi), Padang Pariaman (68,7% dari 323 kasus yang
diobservasi), Kutai Kertanegara (20,9% dari 215 kasus yang diobservasi),
Sumenep - Madura (18,2 dari 275 kasus yang diobservasi), dan Serang (14,5%
dari 344 kasus yang diobservasi) (Budiharsana dkk., 2003).

3. KAITAN RERAN GENDER DAN SEKSUALITAS

55 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Setiap orang dilahirkan dalam bentuk tubuh perempuan atau tubuh laki-laki.
Perbedaan fisik ini menentukan jenis kelamin seseorang. Reran gender seseorang
mengacu pada apa saja menurut masyarakat merupakan makna menjadi seorang
perempuan atau laki-laki. Setiap masyarakat mengharapkan agar perempuan dan
laki-laki melihat, berpikir, merasa dan bertindak dengan cara tertentu, hanya
karena mereka perempuan atau laki-laki. Sebagai contoh, perempuan diharapkan
untuk menyediakan makanan, merawat anak-anak dan suaminya. Sedangkan
Laki-laki diharapkan untuk mencari nafkah di luar rumah untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya dan orangtuanya, serta melindungi keluarga dari
marabahaya (Burns dkk., 1997).

Berbeda dengan perbedaan fisik laki-laki dan perempuan, peran gender


diciptakan oleh masyarakat. Beberapa kegiatan seperti mencuci dan menyetrika
pakaian dianggap sebagai pekerjaan perempuan. Tetapi pembagian peran ini
berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, tergantung pada adat istiadat, hukum,
dan agama yang berlaku di masyarakat. Bahkan dalam satu masyarakat pun peran-
peran gender bisa beraneka ragam, tergantung pada tingkat pendidikan, status
sosial, dan usia. Sebagai contoh, di beberapa komunitas perempuan dari kelas
tertentu diharapkan bertanggung jawab pada pekerjaan rumah tangga, sementara
perempuan lain mungkin mempunyai lebih banyak pilihan pekerjaan (Burns dkk.,
1997).

Peran gender diturunkan dari orangtua kepada anaKnya. Anak mengamati


perilaku orangtuanya, menduga bagaimana mereka berperilaku, bagaimana
mereka memperlakukan yang lainnya, dan apa perannya di masyarakat. Ketika
tumbuh besar, mereka menerima peran-peran ini karena ingin menyenangkan
orangtuanya atau karena orangtua lebih memiliki otoritas. Peran ini juga
membantu anak mengetahui siapa mereka dan apa yang diharapkan dari mereka
(Burns dkk, 1997).

Peran gender dapat diubah. Saat ini banyak anak-anak muda yang ingin
berbeda dari orangtuanya. Ketika perempuan berjuang untuk menentukan sendiri
peran gendernya, mereka memperoleh kendali atas hal-hal yang menentukan
kesehatan seksualnya (Burns dkk., 1997).

56 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Memenuhi peran-peran yang diharapkan masyarakat memang bisa
mendatahgkan rasa puas dan rasa memiliki. Namun peran-peran tersebut juga
dapat membatasi pilihan perempuan, serta membuatnya merasa rendah diri
terhadap laki-laki. Ketika hal itu sampai terjadi, yang merugi tidak hanya
perempuan itu sendiri, tetapi juga keluarga serta masyarakatnya (Burns dkk,
1997). Berikut ini adalah peran-peran gender yang merugikan perempuan.

a. Perempuan diharapkan masyarakat menjadi istri atau ibu. Banyak perempuan


menyukai peran ini karena dapat memuaskannya serta memberinya status di
masyarakat. Ada juga yang sebenarnya lebih memilih mengikuti minat mereka
sendiri, tetapi sering terhalang oleh keluarga dan masyarakat. Saat ia diharapkan
untuk memiliki banyak anak, seorang perempuan mungkin tidak punya waktu
untuk mempelajari keterampilan-keterampilan baru atau menempuh pendidikan.
Sebagian besar waktu dan energinya akan terbuang hanya untuk mengurusi
kebutuhan orang lain. Sementara saat ia tidak mampu memiliki keturunan,
masyarakat akan menilainya rendah.

b. Pekerjaan laki-laki sering dianggap lebih berarti dibandingkan pekerjaan


perempuan. Sebagai contoh, walaupun seorang perempuan mungkin bekerja
sepanjang hari - memasak, membersihkan rumah dan merawat anak-tetapi karena
pekerjaan suami dianggap lebih penting, dia akan lebih mengutamakan saat
istirahat suami, dan bukan dirinya. Sehingga ketika sang anak tumbuh besar
mereka akan berpikir bahwa pekerjaan laki-laki lebih penting sedangkan
pekerjaan perempuan tidak penting.

c. Perempuan dianggap lebih emosional dibandingkan laki-laki, dan mereka


bebas mengekspresikan perasaannya di hadapan orang lain. Sementara laki-laki
selalu diajarkan bahwa menunjukkan kesedihan dan kelembutan sebagai tindakan
"tidak jantan" sehingga membuat mereka cenderung menyembunyikan
perasaannya. Justru jika laki-laki mengekspresikan perasaan daiam bentuk
kemarahan atau kekerasan, lebih bisa diterima. Kesulitannya adalah saat seorang
laki-laki menunjukkan perasaannya seperti hal tersebut, justru hanya akan
menciptakan jarak terhadap anak-anaknya, dan ia sulit mendapatkan dukungan
dari orang lain saat menghadapi masalah.

57 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
d. Perempuan dilarang berbicara dalam pertemuan di masyarakat. Artinya
masyarakat hanya mendengarkan apa yang dipikirkan laki-laki tentang suatu
permasalahan dan pemecahannya. Padahal banyak perempuan yang juga memiliki
pengetahuan dan pengalaman tetapi tidak dilibatkan dalam urun rembuk,
akibatnya masyarakat yang merugi.

ILUSTRASI KASUS:

Kisah Supinah

Supinah adalah seorang gadis berusia 15 tahun, masih duduk di kelas 1 SMU.
Ija mempunyai pacar bernama Yunus, seniornya yang duduk di kelas 3. Suatu
hari, ketika kedua orang tuanya sedang pergi, Yunus datang. Kondisi rumah yang
sepi membuat Yunus berani merayu Supinah untuk melakukan hubungan seksual.
Supinah semula menolak, tapi karena diancam akan diputuskan bila menolak dan
Yunus berjanji menikahinya bila terjadi kehamilan, akhirnya Supinah bersedia
menerima ajakan pacarnya itu. Ternyata Yunus tidak menepati janjinya. Ketika
tahu Supinah hamil, Yunus melarikan diri. Akibat rasa takut serta rasa malu bila
kehamilannya diketahui orang lain, Supinah mencoba untuk menggugurkan
kandungannya. Berbagai macam pil dan jamu peluntur sudah dicobanya, tapi tetap
tidak berhasil menggugurkan kehamilannya. Ketika kehamilannya mencapai usia
4 bulan, atas informasi seorang teman, Supinah mendatangi seorang dukun.
Dukun mencoba menggugurkan kandungan Supinah dengan cara memijatnya.

Janin dalam kandungan Supinah berhasil dikeluarkan dukun, tetapi Supinah


mengalami perdarahan. Segera Supinah dibawa ke rumah sakit, sehingga
nyawanya masih bisa terselamatkan. Akibat rasa malu, Supinah kemudian
dititipkan di rumah neneknya.

Ketika Supinah menginjak usia 17 tahun, orangtuanya menjemputnya.


Seorang duda kaya bernama Babe Ali (43 tahun) ingin menikahinya. Babe Ali
adalah seorang pengusaha sukses yang mempunyai perusahaan di beberapa kota.
Supinah terpaksa menerima perjodohan tersebut karena tidak ingin

58 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
mengecewakan orang tuanya, walaupun sebenarnya ia masih ingin melanjutkan
sekolahnya yang tinggal beberapa bulan lagi.

Sejak menikah, Supinah tinggal di rumah yang dibelikan Babe Ali. Tidak
jarang, suaminya meninggalkannya untuk jangka waktu yang lama, alasannya
untuk mengurus keperluan usahanya. Beberapa bulan terakhir ini, Supinah
mengalami keputihan yang tidak biasanya. la telah berusaha untuk mengobatinya
dengan cara mandi menggunakan air sirih atau meminum jamu-jamuan seperti
yang disarankan oleh ibunya, tapi keputihan ini tidak kunjung sembuh. Hal ini
menyebabkan ia tidak nyaman (rasa sakit), terutama saat bersenggamsi dengan
suaminya. Pernah ia menolak bersenggama, akibatnya sang suami marah dan
menamparnya.

Kegiatan Pembelajaran

1. Identifikasikan beberapa mitos yang terkait dengan seksualitas perempuan


dan laki-laki.

2. Identifikasikan pengaruh gender dalam kemitraan seksual dan menerima


makna seksual.

3. Carilah contoh-contoh bagaimana perbedaan gender mempengaruhi


pelayanan kesehatan seksual di Indonesia dalam program kesehatan masyarakat
Indonesia.

59 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
4. Analisa kisah Supinah di bawah ini dengan menggunakan kerangka pikir
Dixon-Mueller.

Uji Kemampuan Diri

Instruksi: Jawab pertanyaan berikut secara seksama!

1. Apa pengaruh gender pada kesehatan seksual dan reproduksi perempuan?

2. Menurut kamu apakah perempuan tidak berhak menikmati hubungan seksual?

3. Kesehatan Remaja

a. Penurunan prevalensi anemia pada remaja menjadi kurang dari 20%


Cakupan pelayanan kesehatan remaja melalui jalur sekolah 85%, dan melalui jalur
luar sekolah minimal 20%

b. Prevalensi permasalahan remaja secara umum menurun

4. Kesehatan Reproduksi Usila

Cakupan pelayanan kepada usia lanjut minimal. 60%

Strategi Operasional yang Diterapkan Dalam Mencapai Target


Tersebut Sebagai Berikut :

1. Memantapkan pemanfaatan Komisi Kesehatan Reproduksi. Sebagai forum


koordinasi antar-sektor/pihak terkait guna mendapat kesepakatan dan dukungan
politis dalam pelaksanaan upaya kesehatan reproduksi.

2. Upaya kesehatan reproduksi di daerah dikembangkan untuk mengatasi


masalah setempat dan disesuaikan dengan kebutuhan, namun minimal mencakup
paket PKRE.

60 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
3. Mengembangkan standar pelayanan tiap jenis pelayanan kesehatan reproduksi
yang secara relevan menampung aspek kesehatan reproduksi lainnya.

4. Pelayanan kesehatan reproduksi dilaksanakan secara terpadu di tiap tingkat


pelayanan, diberikan sesuai dengan kebutuhan dan mengacu kepada standar
pelayanan masing-masing.

5. Upaya kesehatan reproduksi diterapkan dengan pendekatan kesetaraan dan


keadilan gender.

6. Mengembangkan mekanisme pemantauan program dan pelayanan kesehatan


reproduksi yang berwawasan gender, untuk menilai kemajuan dalam mengatasi
masalah kesehatan reproduksi setempat.

7. Optimalisasi keterlibatan secara aktif pihak-pihak terkait, misalnya: sector


terkait, organisasi profesi, agen donor, LSM dan masyarakat dalam upaya
peningkatan kesehatan reproduksi, termasuk penelitian pendukungnya.

Kegiatan Pokok yang Perlu Dilakukan Sebagai Penjabaran


Strategi di Atas Dapat Dikategorikan Dalam Tiga Kelompok
Sebagai Berikut:

1. Pemantapan Manajemen Program Kesehatan Reproduksi:


a. Penetapan kebijaksanaan dan strategi yang mendukung terlaksananya
pelayanan kesehatan reproduksi yang integratif sesuai dengan kebutuhan
klien.
b. Penetapan standar pelayanan yang mengacu kepada masing-masing
komponen sesuai dengan kebijaksanaan dan strategi program yang telah

61 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
ada.
c. Perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan reproduksi integratif.
d. Pemantauan dan evaluasi program serta pelayanan kesehatan reproduksi,
dengan menggunakan instrumen (indikator) pemantauan yang disepakati.

2. Penerapan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Integratif:

Agar pelayanan kesehatan reproduksi bersifat responsif terhadap kebutuhan


klien, maka setiap pelayanan yang diberikan perlu bersifat integratif. Dengan
demikian, pelayanan kesehatan reproduksi yang dibutuhkan seorang klien perlu
menampung aspek pelayanan kesehatan reproduksi lainnya yang relevan, dengan
tetap mengikuti standar pelayanan yang berlaku bagi masing-masing jenis
pelayanan. Beberapa contoh keterpaduan pelayanan sebagai berikut, yang secara
skematis juga digambarkan pada Bagan Alur Pelayanan seperti pada Lampiran.

a. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir:

1) Pelayanan antenatal, persalinan dan nifas memasukkan unsur pelayanan


pencegahan dan penanggulangan PMS serta melakukan motivasi klien untuk
pelayanan KB dan memberikan pelayanan KB postpartum. Dalam
pertolongan persalinan dan penanganan bayi baru lahir perlu diperhatikan
pencegahan umum terhadap infeksi.

2) Pelayanan pasca abortus memasukkan unsur pelayanan pencegahan dan


penanggulangan PMS serta konseling pelayanan KB pasca-abortus.

b. Pelayanan KB:

1) Pelayanan KB memasukkan unsur pelayanan pencegahan dan


penanggulangan PMS, HIV/AIDS.

2) Pelayanan KB difokuskan selain kepada sasaran muda-usia paritas-rendah


(mupar) yang lebih mengarah kepada kepentingan pengendalian populasi;
juga diarahkan untuk sasaran dengan "4 terlalu" (terlalu muda, terlalu banyak,
terlalu sering dan terlalu tua untuk hamil).

c. Pencegahan dan Penanggulangan PMS, termasuk HIV/AIDS.

62 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
d. Pelayanan pencegahan dan penanggulangan PMS, termasuk HIV/AIDS
dimasukkan ke dalam setiap komponen pelayanan kesehatan reproduksi.

e. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja:

1) Pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang bersifat promotif dan preventif


terfokus pada pelayanan KIE/konseling, yang memasukkan materi-materi
Family Life Education (meliputi 3 komponen di atas) dan Life Skill
Education.

2) Pelayanan kesehatan reproduksi remaja memperhatikan aspek fisik, termasuk


kesehatan dan gizi, agar remaja- khususnya remaja putri - dapat dipersiapkan
menjadi calon ibu yang sehat.

3) Pelayanan kesehatan reproduksi remaja secara khusus bagi remaja


bermasalah dengan memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan
masalahnya, misalnya kehamilan di luar nikah, kehamilan remaja, remaja
dengan ketergantungan napza, dll.

f. Kesehatan Reproduksi Usia Lanjut:

Pelayanan kesehatan reproduksi usia lanjut lebih ditekankan untuk


meningkatkan kualitas hidup pada usia lanjut. Selain upaya promotif dan
preventif, pengembangan upaya kesehatan reproduksi usia lanjut juga
ditujukan untuk mengatasi masalah yang sering ditemukan pada usia lanjut,
misalnya masalah menopouse/andropause dan pencegahan osteoporosis serta
penyakit degeneratif lainnya.

3. Penerapan Kegiatan Pendukung:

Kegiatan pendukung meliputi berbagai kegiatan untuk mengatasi masalah


yang berkaitan dengan program dan pelayanan kesehatan reproduksi.

63 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
a. Penanganan masalah sosial yang terkait erat dengan kesehatan reproduksi
antara lain:

1) Kesetaraan dan keadilan gender.

2) Kekerasan terhadap perempuan.

3) Kegiatan untuk mengatasi masalah ini dilaksanakan secara lintas


program dan lintas sektor, khususnya Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan oleh sektor kesehatan antara
lain:

a) Meningkatkan pemahaman petugas kesehatan di tiap tingkatan


tentang kesetaraan dan keadilan gender serta berbagai bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan akibatnya terhadap kesehatan.

b) Meningkatkan keterampilan pengelola program dalam melakukan


analisis gender serta mengarusutamakan gender dalam kebijaksanaan dan program
kesehatan.

c) Meningkatkan peran serta laki-laki dalam kesehatan reproduksi.

d) Menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, baik dalam aspek


medis, maupun KIE/konseling dalam mengatasi masalah klien, dan
menghubungkan klien untuk mendapatkan pelayanan lainnya.

b. Advokasi dan mobilisasi sosial.

Kegiatan advokasi dan mobilisasi sosial diperlukan untuk pemantapan dan


perluasan komitmen serta dukungan politis dalam upaya mengatasi masalah
kesehatan reproduksi. Instansi pemerintah yang banyak bergerak dalam aspek ini
di tingkat nasional a.l. BKKBN dan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan. Contoh kegiatan advokasi dan mobilisasi sosial antara lain adalah
Gerakan Sayang Ibu (GSI).

c. Koordinasi lintas sektor.

64 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Dalam penanganan masalah kesehatan reproduksi diperlukan koordinasi
lintas sektor dan lintas program. Untuk itu di tingkat nasional digunakan forum
Komisi Kesehatan Reproduksi dan forum-forum lain yang bersifat fungsional.

d. Pemberdayaan masyarakat.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat diperlukan untuk meningkatkan


kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan reproduksi, misalnya
pengorganisasian transportasi untuk rujukan ibu hamil/bersalin, arisan peserta KB,
tabulin, dsb.

e. Pemenuhan kebutuhan logistik.

Dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas


diperlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai.

f. Peningkatan keterampilan petugas.

Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi antara lain


diperlukan kegiatan untuk meningkatkan keterampilan. Kegiatan ini diupayakan
agar terlaksana secara terpadu, efektif dan efisien.

Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut

Mdsalah kesehatan reproduksi pada usia lanjut terutama dirasakan oleh


wanita ketika masa suburnya berakhir, atau ketika mengalami menopause, Pria
juga mengalami penurunan fungsi seksual dan kesuburan, atau andropause,
namun hal tersebut terjadi pada usia yang lebih lanjut.

A. Menopaouse

Menopause adalah keadaan pada seorang wanita yang mengalami penurunan


fungsi indung telur, yang berakibat menurunnya produksi hormon estrogen.
Keadaan ini antara lain mengakibatkan terhentinya haid untuk selamanya (mati
haid), Umur menopause pada wanita Indonesia sekitar 49 tahun pada tahun 2000
dari semula 46 tahun pada tahun 1980.

65 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Biasanya sejak wanita berusia di atas 40 tahun, Haid sudah tidak teratur dan
siklus haid seringkali terjadi tanpa pengeluaran sel telur (ovulasi), Dengan
dem'kian, seorang wanita pada usia 40-tahunan sering dikatakan tidak subur lagi,
dan kecil kemungkinannya untuk hamil. Bila terjadi kehamilan pada usia tersebut
kemungkinannya akan lebih besar untuk memperoleh anak yang cacat atau
dengan kualitas yang kurang baik.

Sejak 4-5 tahun sebelum menopause, yang disebut ma?a klimakterium,


wanita akan merasakan perubahan dalam tubuh. Perubahan atau gejala yang
timbul tidak sama, dan belum tentu dialami oleh setiap wanita. Berat ringannya
gejala yang timbul dapat berbeda-beda tergantung dari faktor budaya, tingkat
pendidikan, lingkungan dan genetik.

Masalah Kesehatan Akibat Menopause

Dampak negatif yang terjadi akibat penurunan fungsi indung telur adalah
dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang. Masalah kesehatan Jangka
pendek yang terjadi akibat menopause dapat berupa:

1. Rasa panas di dada yang menjalar kearah wajah, sering disebut hot flush.

Gejala ini sering timbul pada malam hari, sehingga menyebabkan terbangun
dari tidur. Gejala ini terjadi dalam hitungan menit tapi kadang-kadang dapat
sampai 1 jam. Pada saat terjadi gejolak panas, warna kulit menjadi kemerahan di
sekitar dada, leher dan wajah, dan terasa sedikit hangat pada perabaan. Gejala ini
akan berkurang bila udara dingin, sedangkan dalam keadaan stres psikis akan
timbul lebih sering dan sangat mengganggu. Rasa panas ini akan semakin
berkurang dan menghilang setelah 4-5 tahun pasca menopause.

2. Gangguan psikologis

Penurunan hormon estrogen pada wanita juga dapat mengakibatkan gangguan


psikologis berupa depresi, mudah tersinggung, mudah marah, kurang percaya diri,

66 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
sukar berkonsentrasi, perubahan perilaku, menurunnya daya ingat, dan kehilangan
gairah seksual.

3. Kelainan kulit, rambut, gigi, dan keluhan sendi/tulang

Kehilangan jaringan penunjang atau kolagen pada wanita menopause akan


mengakibatkan kulit menjadi tipis, kering dan keriput, rambut tipis dan kering,
serta mudah rontok, gigi mudah goyang dan gusi mudah berdarah, bibir menjadi
pecah-pecah dan rasa sakit serta ngilu pada daerah persendian.

4. Gangguan mata

Mata terasa kering dan kadang terasa gatal karena produksi air mata
berkurang.

5. Gangguan saluran kemih dan alat kelamin

Wanita menopause antara lain sering tidak dapat menahan kencing


dan mudah menderita infeksi saluran kencing. Vagina akan terasa kering. Gatal,
mudah luka, sering keputihan, nyeri pada senggama, atau perdarahan pasca
senggama.

Berkurangnya hormon estrogen pada wanita menopause mungkin


menyebabkan berbagai keluhan/akibat jangka panjang sebagai berikut:

a. Osteoporosis

Osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang pada wanita akibat


penurunan kadar hormon estrogen, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah
patah. Umumnya osteoporosis terjadi pada tulang yang berongga, yaitu tulang
belakang, leher, paha, panggul, dan lengan bawah. Osteoporosis dapat dipercepat
oleh kekurangan kalsium, sinar matahari, aktivitas fisik dan olahraga; kurang gizi,
kelainan kelenjar gondok (hipertiroid), merokok, minum alkohol, dan penggunaan
kortiseroid, misalnya pada penderita asma, lupus.

b. Penyakit Jantung Koroner

67 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Kadar estrogen yang oukup mampu melindungi wanita dari penyaklit jantung
koroner. Berkurangnya hormon estrogen dapat menurunkan kadar kolesterol baik
(HDL High density Lipoprotein) dan meningkatnya kolesterol tidak baik (LDL
Low density Lipoprotein), yang meningkatkan kejadian penyakit jantung koroner
pada wanita.

c. Kepikunan

Kekurangan hormon estrogen juga mempengaruhi susunan saraf pusat atau


otak. Penurunan hormon estrogen juga mempengaruhi susunan saraf pusat atau
otak. Penurunan hormon estrogen menyebabkan kesulitan berkonsentrasi,
kehilangan ingatan akan peristiwa jangka pendek, sukar tidur, gelisah, depresi
sampai pada kepikunan tipe Alzheimer. Penyakit kepikunan Alzheimer dapat
terjadi bila kekurangan estrogen sudah berlangsung cukup lama dan berat, yang
dipengaruhi faktor keturunan serta proses penuaan.

Pencegahan Masalah Menopause

Upaya pencegahan terhadap keluhan/masalah menopause yang dapat


dilakukan di tingkat pelayanan dasar antara lain:

1. Pemeriksaan alat kelamin

Pemeriksaan alat kelamin wanita bagian luar. Liang rahim, dan leher rahim
untuk melihat kelainan yang mungkin ada, misalnya lecet, keputihan,
pertumbuhan abnormal, seperti benjolan atau tanda radang.

2. Pap Smear

Pemeriksaan ini dapat dilakukan setahun sekali untuk melihat adanya tanda
radang dan deteksi awal bagi kemungkinan adanya kanker pada saluran
reproduksi. Dengan demikian pengobatan terhadap adanya kelainan dapat segera
dilakukan.

3. Perabaan payudara

68 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Ketidakseimbangan hormon yang terjadi akibat penurunan kadar hormon
estrogen, dapat menimbulkan pembesaran atau tumor payudara. Hal ini juga
dapat terjadi pada pomberian hormon pengganti untuk mengatasi masalah
kesehatan akibat menopause, perabaan payudara sendiri atau yang dikenal
SADARI (Periksa Payudara Sendiri) dapat dilakukan secara teratur untuk
menemukan tumor payudara sedini mungkin.

4. Penggunaan bahan makanan yang mengandung unsur fito-estrogen

Hormon estrogen yang kadarnya menurun pada masa menopause dapat


digantikan dengan memakan makanan yang mengandung unsur fito-estrogen
dalam jumlah cukup, yaitu kedelai (tahu, tempe, kecap), pepaya, semanggi merah.

5. Penggunaan bahan makanan sumber kalsium (susu, yoghurt, keju, teri,


dll)

6. Menghindari makanan yang mengandung banyak lemak, kopi dan


alkohol.

B. Andropause

Seperti halnya pada wanita, pada usia tua pria mengalami keadaan yang
disebut andropause. Bedanya andropause pada pria terjadi secara perlahan dan
pada usia yang lebih lanjut, akibat penurunan secara perlahan kadar hormone
testosteron, androgen (DHEA, Dehidro-epiandrosteron), hormon pertumbuhan,
melatonin, dll. Keadaan ini biasanya terjadi pada usia 55 tahun keatas.

Masalah Kesehatan Akibat Andropause

Berkurangnya beberapa hormon tersebut, mengakibatkan beberapa keluhan


antara lain:

69 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
1. Keluhan Seksual

Kekurangan hormon testosteron akan mengurangi keinginan seksual dan


gangguan ereksi pada laki-laki

2. Penurunan kekuatan otot

Menurunnya beberapa hormon androgen pada laki-laki, mengakibatkan


penurunan metabolisme protein, oksidasi lemak, peningkatan timbunan lemak dan
penurunan kekuatan otot. Akibatnya terjadi penurunan massa otot bila
dibandingkan massa otot pada usia lebih muda.

3. Osteoporosis

Kejadian osteoporosis pada laki-laki tidak sebanyak pada wani a, karena


massa tulang laki-laki lebih besar. Osteoporosis pada laki-laki dapat diperberat
oleh penggunaan alkohol, kortikosteroid, faktor genetik, penuaan.

4. Kepikunan/demensia Alzheimer

Penurunan kadar testosteron pada laki-laki akan mempengaruhi daya ingat


dan fungsi kognitifnya. Pada kondisi yang berat akan terjadi gejala kepikunan
hebat yang disebut sebagai kepikunan Alzheimer.

Untuk menilai seorang pria sudah mengalami andropause atau belum


digunakan 10 kriteria ADAM yang dikembangkan oleh bagian Geriatri Fakultas
Kedokteran Universitas St Louis, Amerika Serikat. Yaitu:

a. Penurunan keinginan seksual (libido)

b. Kekurangan tenaga/lemah

c. Penurunan kekuatan/ketahanan otot

d. Penurunan tinggi badan

e. Berkurangnya "kenyamanan dan kesenangan hidup"

f. Sedih dan atau sering marah tanpa sebab yang jelas

g. Berkurangnya kemampuan ereksi

70 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
h. Kemunduran kemampuan olah raga

i. Tertidur setelah makan malam

j. Penurunan kemampuan bekerja

Jika mengalami keluhan nomor 1 dan 7, atau beberapa kombinasi dan 4 atau
lebih keluhan, maka laki-laki dikatakan sudah mengalami andropause.

Pencegahan Masalah Andropause

Pencegahan terhadap keluhan yang terjadi akibat andropause dapat dilakukan


dengan:

1. Pemeriksaan kelenjar prostate

2. Pembesaran prostate meningkat pada usia 40 tahun keatas, yang mungkin


disebabkan oleh mulai menurunnya kadar androgen dalam tubuh. Gejalanya:
teraba pembesaran kelenjar prostate, sering buang air kecil terutama pada malam
hari, yang tidak lancar atau menetes setelah berkemih, tidak dapat menahan
kencing

2. Pemberian multivitamin

Multivitamin seperti vitamin B, C, E dan D3 dapat mencegah osteoporosis.

3. Pemberian Kalsium

Kalsium yang diberikan dengan dosis 800-1000 mg/hari dapat mencegah


terjadinya ostoporosis. Tapi perlu juga diwaspadai kemungkinan terjadinya batu
saluran kencing karena penimbunan kalsium.

71 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Infeksi Saluran Repoduksi yang Disebabkan
Infeksi Menular Seksual

72 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
73 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
74 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
75 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
* Tidak boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui dan anak berumur kurang
dari 12 tahun
** Pemberian Antiretroviral (ARV) didasarkan pada: gejala klinis, CD4, viral
load & kemampuan penderita pakai obat jangka panjang. ARV direkomendasikan
utk penderita dgn sindrom HIV akut akibat infeksi primer HIV dan mereka yg
mengalami serokonversi dalam waktu 6 bulan serta semua yang menunjukkan
gejala. Pada yg tanpa gejala ARV diberikan bila CD4<350/dl atau viral
load>55000/ kopi/ml. Sekali diberikan pengobatan harus berkelanjutan.

76 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Apa Itu HIV/AIDS?

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yang berarti


'Virus Penyerang Kekebalan Tubuh Manusia'. Virus ini tak bisa dilihat dengan
mata telanjang karena ukurannya teramat-sangat kecil. Tiap manusia memiliki
sistem pertahanan atau sistem kekebalan. Sistem inilah yang melindungi tubuh
Anda setiap hari dari berbagai serangan penyakit. Virus HIV menyerangnya
sehingga tubuh Anda kehilangan 'benteng' penahan penyakit, dan Anda pun
menjadi rentan alias gampang diserang dan tak bisa membela diri.

AIDS juga singkatan berbahasa Inggris, Acquired Immune Deficiency Syn-


drome, atau 'himpunan kekurangan kekebalan tubuh yang ditularkan'. Jika virus
HIV adalah pembawa, AIDS adalah penyakit yang dibawanya, baru berkembang
belakangan sesudah orang terinfeksi oleh virus HIV.

HIV

Bila orang terinfeksi virus HIV, virus ini menyerang sistem kekebalan
tubuhnya - bagian tubuh yang tugasnya memerangi infeksi. Pelan-pelan virus HIV
membunuh sel-sel kekebalan tubuh sampai tubuh orang itu sama sekali tak punya
'benteng' lagi, dan semua jenis penyakit bisa menyergapnya, ia tak berdaya.

Banyak orang yang terkena virus HIV hidup seperti biasa, merasa sehat dan
kelihatan sehat, sampai 5 hingga 10 tahun sesudah HIV bersarang di tubuhnya
(ada juga yang hanya sempat merasa sehat sebentar saja). Jadi mungkin saja Anda
merasa tak kurang suatu apa selagi HIV sudah menjalari tubuh Anda.

Namun akhirnya tubuh Anda akan kehilangan semua sel yang dalam keadaan
normal melindungi Anda dari serangan kuman-kuman. Setelah semua sel
pertahanan itu mati, kuman-kuman yang dulunya tak mampu membuat Anda sakit
jadi merajalela.

77 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
PENTING! Begitu Anda kemasukan HIV, Anda sudah bisa menulari orang lain,
biarpun Anda merasa sehat dan nampak sehat pula. Mustahil Anda bisa
mengatakan seseorang terjangkit HIV dari penampilan luarnya saja. Bila belum
parah, takkan kelihatan apakah orang itu tertular atau tidak. Satu-satunya cara
untuk mengetahui ini hanya lewat tes HIV.

AIDS

Ada problema-problema kesehatan yang umum dan mudah diatasi sendiri


oleh tubuh Anda, umpamanya yang biasa disebut 'flu' atau 'masuk angin'. Tanpa
obat pun bisa sembuh dengan sendirinya karena tubuh Anda melawan serangan
itu. Tapi kalau Anda mengidap AIDS, tubuh Anda tak sanggup lagi memerangi
penyakit yang ringan sekalipun. Tanda-tanda AIDS berbeda-beda, tiap orang
menunjukkan gejala yang berlainan. Antara perempuan dengan laki-laki pun
berbeda. Seringkali tanda-tandanya adalah penyakit yang serangannya
berkepanjangan (tak sembuh-sembuh).

Bila Anda telanjur mengidap AIDS, gizi yang baik dan obat-obat tertentu
dapat membantu tubuh Anda memerangi infeksi akibat AIDS, dan memungkinkan
Anda mempertahankan nyawa lebih lama. Tapi AIDS-nya sendiri tak bisa
dilawan. Jadi, sesudah beberapa lama, Anda akan makin sakit-sakitan, penyakit

78 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
apa pun jadi menyusup dengan gampang, sampai akhimya tubuh Anda tak mampu
lagi bertahan hidup.

Arti HIV/AIDS Bagi Perempuan; Mengapa Berbeda ?

Meskipun HIV bisa menghinggapi tubuh semua manusia, laki-laki maupun


perempuan, namun bagi perempuan penyakit ini berbeda, karena:

Perempuan lebih mudah terkena HIV/AIDS ketimbang laki-laki. Dalam


hubungan seks, laki-laki memasukkan air maninya ke dalam tubuh perempuan,
dan air mani itu tertinggal di sana dalam waktu cukup lama. Bila air mani itu
mengandung virus HIV, dengan gampang virus itu bisa masuk ke dalam tubuh
perempuan melalui vagina dan mulut rahim, terutama kalau di sana ada lecet atau
luka.

Perempuan sering terjangkit HIV di usia yang lebih muda ketimbang


laki-laki. Ini karena gadis-gadis remaja dan anak-anak perempuan lebih rentan
terhadap hubungan seks yang tak aman atau paksaan seksual, kurang bisa
membela diri.

Perempuan lebih berpeluang mendapat transfusi (tambahan) darah


lebih banyak, sebab pada saat persalinan kerap terjadi kehilangan banyak
darah.

Sesudah kemasukan virus HIV, perempuan lebih cepat jatuh sakit akibat
AIDS ketimbang laki-laki; Seperti telah dikemukakan sebelumnya, setelah virus
HIV masuk ke tubuh, orang yang diserangnya masih merasa sehat wal'afiat
selama beberapa waktu. Jangka waktu antara masuknya virus HIV dengan kondisi
AIDS yang sudah merebak dalam tubuh ini lebih singkat buat perempuan.

Gizi yang buruk dan kehamilan/persalinan menyebabkan tubuh perempuan


lebih lemah jika menghadapi kuman penyakit.

79 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Telah menyebar informasi yang salah dan tidak adil bagi perempuan, yakni
bahwa perempuanlah biang-keladi penularan AIDS. Padahal laki-laki juga
memiliki andil yang sama (bahkan mungkin lebih!) atas persebaran penyakit
mematikan ini. Umpamanya, para pekerja seks (perempuan tunasusila) selalu
dituding menyebarkan AIDS, padahal tentu para pemakai jasa mereka juga
bersalah.

Perempuan pengidap AIDS yang sedang hamil bisa menularkannya langsung


pada bayinya. Perempuanlah yang biasanya merawat penderita AIDS, bahkan bila
mereka sendiri juga sakit.

80 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Bagaimana HIV/AIDS Menular ?

Virus HIV hidup dalam cairan tubuh orang yang sudah terkena HIV.
Misalnya, dalam darah, air mani, dan lendir vagina. Virus ini menular bila cairan
itu masuk ke tubuh orang lain. Jadi virus HIV menular melalui:

81 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Virus HIV hanya bisa hidup selama beberapa menit saja bila berada di luar
tubuh manusia. Virus ini tidak bisa hidup sendiri di udara atau di dalam air.
Jadi, anda TIDAK MUNGKIN tertular ataupun menularkan HIV dengan

82 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
cara: :

83 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Mencegah HIV/AIDS’

Cegahlah AIDS dengan cara:

1. Usahakan hanya berhubungan seks dengan 1 orang saja, yang juga hanya
berhubungan seks dengan Anda saja.
2. Lakukan hubungan seks yang lebih aman: di mana kuman-kuman dalam air
mani laki-laki jangan sampai masuk ke vagina, anus, atau mulut Anda.
3. Hindari menusuk atau memotong kulit Anda dengan jarum atau alat apa pun
yang tidak disucihamakan dulu setelah dipakai oleh orang lain.
4. Perempuan, remaja maupun dewasa, harus memiliki hak untuk melindungi
keselamatan mereka dari ancaman AIDS yang mematikan. Untuk itu kita
memerlukan:

84 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Mencegah HIV/AIDS Tak Selalu Mudah …..

85 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
TES HIV

Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh Anda, tubuh Anda menghasilkan
antibodi untuk memerangi virus itu. Antibodi biasanya terlihat dalam darah orang
yang dimasuki virus HIV antara 4 sampai 8 minggu kemudian, namun bisa juga
makan waktu lebih lama, sampai 6 bulan, baru ada jumlah antibodi yang cukup
untuk menampakkan diri jika dites. Selang waktu antara masuknya virus HIV
dengan munculnya antibodi dalam darah disebut 'periode jendela'.

Dalam tes HIV, petugas mengambil darah Anda untuk diteliti di laboratorium
oleh para pemeriksa yang ahli. Mereka akan mencari antibodi dalam contoh darah
Anda itu. Tanpa pemeriksaan seperti ini, tak mungkin kita tahu apakah seseorang
terkena virus HIV atau tidak. Namun tes ini hanya untuk mengetahui masuk atau
tidaknya virus HIV; bukan tes untuk AIDS itu sendiri.

Setelah darah Anda selesai diperiksa (biasanya makan waktu paling lama 2
minggu) petugas laboratorium akan memberikan hasilnya:

Bila tes Anda dinyatakan positif, berarti Anda terinfeksi virus HIV dan tubuh
Anda sudah mulai menghasilkan antibodi. Hasil tes positif tak berarti Anda pasti
dalam keadaan sakit; mungkin Anda merasa sehat seperti biasa. Namun Anda
sudah bisa menularkan virus HIV pada orang lain. Bila tes Anda dinyatakan
negatif, artinya salah satu dari 2 kemungkinan ini:

* Anda tidak terinfeksi virus HIV atau

* Anda sudah terinfeksi tapi menghasilkan antibodi cukup nampak dalam


tes.

Karena dua kemungkinan itu sangat jauh bedanya, lebih baik bila Anda
menjalani tes lagi beberapa bulan kemudian agar memperoleh kepastian. Bahkan
ada hasil tes yang positif pun harus diulang. Mintalah nasihat pekerja kesehatan
untuk mengambil keputusan tentang itu.

86 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Periode Jendela

Yakni selang waktu antara masuknya virus HIV ke dalam tubuh dengan
munculnya antibodi dalam darah yang bisa dilacak dalam tes HIV. Lain orang,
lain pula periodenya.

Di bawah ini satu contoh kasus seorang perempuan:

87 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Periode jendela bisa makan waktu cukup lama, sampai 6 bulan. Maka, lebih
baik menunggu dulu sebelum menjalani tes HIV. Bila dalam jangka waktu 6 bulan
itu (sewaktu anda menunggu untuk menjalani tes HIV) anda merasa mungkin
akan mengalami kontak dengan HIV lagi, sebaiknya anda menjalani tes kedua 6
bulan sesudah kontak kedua itu. Tes pertama tetap harus anda lakukan.

KAPAN SEBAIKNYA MENJALANI TES HIV?

Memang biasanya lebih penting mengubah perilaku yang tak aman ketimbang
menjalani tes HIV. Tapi Anda dan pasangan Anda mungkin harus menjalani tes
bila: Kalian ingin menikah (atau ingin menjalin hubungan seksual
monogamis/tanpa pacar-pacar lain) atau kalian ingin punya anak.

Anda, pasangan Anda, atau bayi kalian menunjukkan tanda-tanda AIDS.


Anda atau pasangan Anda pernah menjalankan hubungan seks yang tak aman.

MENGAPA HARUS TES?

Tes HIV penting karena menjadi tonggak penentuan keputusan Anda untuk
masa selanjutnya. Bila hasil tes ternyata negatif, Anda bisa belajar untuk
melindungi diri sendiri agar jangan sampai terkena virus HIV di masa depan.

Bila hasil tes positif, Anda bisa mulai melakukan hal-hal ini:

1. Mencegah penularan pada pasangan seksual Anda.

2. Segera mendapatkan perawatan sedini mungkin bila ada masalah kesehatan


apa pun mengubah cara hidup Anda yang sekarang, agar Anda bisa hidup sehat
dalam waktu lebih lama lagi.

3. Mendapat kekuatan hati dan sebaliknya juga membangkitkan semangat


sesame pengidap HIV di sekitar Anda.

4. Merencanakan masa depan Anda beserta keluarga.

88 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Begitu hasil tes Anda terima dan ternyata positif, barangkali perasaan Anda
akan kacau-balau atau campur-aduk pada mulanya. Adalah normal bila Anda
membantah hasil tes itu, menyangkal kepositifan HIV di tubuh Anda, dan
menolak mempercayainya. Anda bisa merasa marah dan nelangsa, menyalahkan
diri sendiri atau orang lain.

Masa itu akan sangat berat, namun bila Anda bisa menemukan seseorang
yang dapat dipercaya untuk diajak bicara, barangkali akan meringankan hati.
Tetapi berhati-hatilah memilih orang yang akan Anda beritahu bahwa Anda positif
terkena HIV. Suami atau pasangan Anda akan menyalahkan Anda sebagai biang
penyakit ini, meski boleh jadi dialah yang lebih dulu membawa virus itu.
Keluarga, tetangga dan teman-teman mungkin akan mundur ketakutan tiap kali
melihat Anda. Mereka mungkin akan menjauh dan mengasingkan Anda karena
takut ketularan. Maafkanlah mereka semua, karena mereka tidak memahami cara
penyebaran virus HIV/AIDS. Kalau mereka sue ah tahu, tentu takkan begitu
sikapnya. Bila mungkin, datangilah seorang penasihat HIV/AIDS yang sudah
terlatih, yang bisa membantu Anda mengambil keputusan tentang bagaimana cara
menghadapi perubahan besar dalam kehidupan Anda ini.

89 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
PENTING!

Bila hasil tes HIV anda negatif, BUKAN berarti anda tidak akan pernah
terkena HIV. Anda akan tetap berpeluang terkena virus HIV bila anda
mempraktikkan hubungan seks yang tidak aman.

PENTING! TES HIV HANYA BOLEH DILAKUKAN:

1. Atas izin anda sendiri

2. Di dahului dan diakhiri dengan bimbingan/konseling

3. Hanya anda sendiri saja yang tahu bagaimana hasil tes itu, kecuali bila anda
ingin memberitahu orang-orang tertentu

(dikutip dari burns, A. August et al. Where Women Have No Doctor; A Health
Guide for Women. Berkeley, California: a Hesperian Foundation, 1997)

90 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Indikator Sosio-Ekonomi Indonesia

Populasi Penduduk 201.2 juta8

Angka Pertumbuhan Penduduk 1.6%8


GDP 153.3 Miliar (US$)12
GNP (1999) 580 per capita12 <us*>

Persentase Pengeluaran untuk Konsumsi 26.7%'°


Kelompok ekonomi atas (kaya) Kelompok 4.0%10
ekonomi rendah (miskin)
Penduduk di bawah garis kemiskinan internasiona!1999 (total 66.1 %12
penduduk 204.783.931) bawah $2 per hari bawah $1 per hari 15.2%12

Penduduk di bawah garis kemiskinan nasional 11 - 18% (pengeluaran bulanan per


kapita Rp 79,113)'
Anggaran Pemerintah10 Kesehatan (% dari GDP 0.7% 1 .
1993) Pendidikan (% dari GNP 1995-97) 4%

Angka melek huruf 86.3%10


Populasi penduduk usia 13-15 tahun tidak/belum tamat
17.6%1
sekolah dasar
Populasi perempuan usia 13-15 tahun tidak/belum tamat
16.4%1
sekolah dasar
Angka harapan hidup7 Laki- 65 tahun
laki Perempuan 69 tahun
Anqka kematian bayi 41 % per 1,000 kelahiran hidup 7
Angka kematian ibu 380 per 100,000 kelahiran hid up11
396 per 100,000 kelahiran hidup 6
Unmet Need Keluarga Berencana 9%2
Persentase persalinan dibantu oleh petugas 56%7
kesehatan terlatih
Rasio dokter umum 7.6 per 100,000 penduduk 5
Jumlah dokter umum 15,428 atau 8.98% dari total
petugaskesehatan 5
Jumlah bidan 16,103 atau 9.38% dari total
petugaskesehatan 5
Total petugas kesehatan 171,738s
Rasio Bidan 7.91 per 100,000 penduduk 5
Akses, pelayanan, & sumber daya 10 Penduduk menggunakan 66%
fasilitas sanitasi yang memadai Penduduk menggunakan 76%
sumber air bersih Penduduk mendapatkan akses obat- 80%
obatan esensial
Kasus HIV hingga September 2003 Tercatat 2,6854 80,000-
Estimasi aktual 120.000=
Kasus AIDS hingga September 2003 1 ,2394

HIV/AIDS dari pengguna obat-obatan terlarang 43,000s


Kematian karena AIDS hingga September 2003 4294
Kasus Tuberculosis 20 per 100,000 orang10

91 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Kekerasan Terhadap Perempuan

A. PENGERTIAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (KTP)

Kekerasan terhadap perempuan (KTP) menurut Deklarasi Penghapusan


Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 1993 adalah:

….. segala bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender, yang mengakibatkan
atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan,
termasuk ancaman, paksaan, pembatasan kebebasan, baik yang terjadi di arena
publik maupun domestik" (pasal 1 Deklarasi).

Kekerasan ini berakar kepada nilai-nilai sosial yang berkembang di dalam


masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat terhadap laki-
laki. Karena itu istilah KTP kerap disebut sebagai Kekerasan Berbasis Gender
(KBG).

Pada tingkat tertentu, nilai-nilai sosial yang bias gender juga dibakukan oleh
negara dan dijustifikasi oleh otoritas lembaga agama. Pembakuan nilai-nilai sosial
atas perempuan oleh negara terwujud dalam kebijakan publik yang tidak berpihak
atau diskriminatif terhadap perempuan, misalnya ketentuan dalam UU Perkawinan
(UU No. 1/74) yang menentukan bahwa istri hanyalah sebagai ibu rumah tangga
dan pendamping suami. KTP kemudian terjadi karena anggapan bahwa laki-laki
atau suami memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan sehingga perempuan
dianggap hanya sebagai subyek yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya.
Keadaan ini diperburuk oleh tidak memadainya aturan-aturan tentang
perlindungan keamanan terhadap perempuan.

Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dapat dibedakan sebagai kekerasan


fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Berikut
beberapa gambaran tentang bentuk- bentuk KTP.

Kekerasan fisik berupa tindakan seperti pemukulan, penyiksaan dan lain


sebagainya yang menimbulkan deraan fisik bagi perempuan yang menjadi korban.

92 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Kekerasan emosional merupakan tindakan pencemoohan, pengucilan, tidak
memberikan nafkah (bagi istri) serta tindakan-tindakan lain yang bertujuan untuk
merendahkan martabat perempuan dan menelantarkan atau mengabaikan
kepentingannya.

Kekerasan seksual adalah tindakan agresi seksual berupa perkosaan,


pencabulan maupun pelecehan seksual.

Kekerasan Ekonomi adalah pengabaian hak ekonomi tidak memberi nafkah


padahal isteri tidak mempunyai peluang untuk mencari nafkah sendiri, atau justru
melakukan pemerasan dan eksploitasi ekonomi.

Walaupun KTP dibedakan berdasarkan bentuknya, tetapi pada realitasnya


berbagai bentuk KTP ini terjadi bersamaan dan tidak bisa dipisahkan. Misalnya,
seorang isteri yang mengalami kekerasan emosional, seringkali juga mengalami
kekerasan fisik atau kekerasan ekonomi, dan sebaliknya. Demikian juga korban
perkosaan; korban tidak hanya mengalami serangan seksual, tapi juga dilukai fisik
dan emosionalnya.

Dampak KTP cukup serius baik bagi perempuan itu sendiri maupun bagi
anak-anaknya. Secara psikologis, korban akan diliputi oleh perasaan teitekan,
depresi, dan hilangnya rasa percaya diri; secara fisik, berupa luka-luka, cacat
permanen, hingga kematian. Secara umum, dampak KTP dibedakan sebagai
dampak jangka pendek (short-term effect) dan dampak jangka panjang (long term
effect).

Dampak jangka pendek biasanya dialami beberapa saat hingga beberapa hari.
Secara fisik muncul dalam bentuk gangguan pada organ reproduksi (infeksi,
kerusakan selaput dara dsb) dan luka-luka pada bagian tubuh yang lain, akibat
perlawanan atau penganiayaan fisik. Secara psikologis, biasanya korban merasa
sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu dan terhina. Gangguan ini biasanya
menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia) dan kehilangan nafsu makan.

Sedangkan dampak jangka panjang dapat berupa sikap atau persepsi yang
negatif terhadap diri sendiri maupun terhadap laki-laki. Dampak jangka panjang
dapat terjadi apabila korban tidak mendapatkan penanganan dan bantuan yang
memadai.

93 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
B. SITUASI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI INDONESIA

Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) merupakan fenomena dunia yang


telah lama ada. Selama berabad-abad, KTP dianggap sebagai suatu tindakan yang
lazim dan dapat diterima. Di Cina, misalnya, ada pepatah yang mengatakan
"seorang istri seperti seekor kuda poni yang dapat diperlakukan sesuai keinginan
suami". Di Inggris, pada abad ke 18 ada ketentuan bahwa seorang suami dapat
memukul istrinya dengan alat yang tidak lebih besar dari jari telunjuknya dengan
tujuan untuk mendisiplinkan istrinya.

Demikian pula halnya di Indonesia. Di masa penjajahan Jepang kita


mendengar banyak perempuan Indonesia yang dijadikan sebagai budak seks oleh
para tentara Jepang, yang dikenal sebagai "Jugun lanfu". Ketika terjadi kerusuhan
massal bulan Mei 1998 kembali perempuan menjadi korban aksi kerusuhan dalam
bentuk perkosaan dan pelecehan seksual. Perempuan biasanya merupakan
kelompok yang rentan terhadap kekerasan dan pelecehan pada saat terjadi
berbagai perubahan kondisi sosial politik di suatu negara.

Berdasarkan tempat berlangsungnya, KTP bisa terjadi di dalam lingkup


keluarga dan relasi personal, dalam masyarakat, dan dalam lingkup negara. Dalam
lingkup keluarga antara lain terdiri dari tindak kekerasan terhadap istri, dan
kekerasan terhadap anak perempuan. Dalam lingkup masyarakat antara lajn
berupa KTP di tempat kerja, dan kekerasan dalam media. Sedangkan dalam
lingkup negara berwujud tidak adanya perlindungan hukum yang/memadai. KTP
juga terjadi seiring dengan meluasnya wilayah konflik di Indonesia.

Kekerasan terhadap istri merupakan fenomena yang banyak terjadi, namun


jarang muncul ke permukaan dikarenakan terbentengi oleh dinding-dinding rumah
tangga. Data yang dikumpulkan oloh sebuah Pusat Krisis di Yogyakarta
menunjukkan bahwa kekerasan terhadap istri merupakan salah satu jenis
kekerasan yang paling banyak dialami oleh perempuan, dan angkanya
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Angka ini hanyalah sebagian kecil
dari insiden KTP yang terungkap, angka sebenarnya mungkin lebih besar lagi
(fenomena gunung es).

94 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Kekerasan terjadi lintas kelas, suku, agama, latar belakang pendidikan
maupun jenis pekerjaan. Data-data di lapangan bahkan menunjukkan bahwa
pelaku kekerasan bukanlah orang yang sakit jiwa, justru merupakan orang-orang
dari lingkungan dekat korban (pasangan, keluarga, tetangga, pendidik, pengasuh,
dsb).

Tabel 1: Data kasus kekerasan terhadap perempuan

Kasus/Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001

Kekerasan terhadap istri 55 64 116 125 225 225 234


Kekerasan dalam pacaran 23 27 63 57 59 92 103
Pelecehan Seksual 0 3 4 13 18 25 13
Perkosaan 4 8 5 11 31 28 29
Kekerasan Dalam 0 0 0 0 16 12 16
Rumah Tangga

Sumber: Rifka Annisa Women Crisis Centre, data Litbang 2001

C. UPAYA MENGHENTIKAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Upaya penghapusan KTP harus dilakukan secara preventif dan interventif.


Upaya preventif merupakan upaya-upaya struktural untuk menghilangkan akar
penyebab KTP. Karena akar KTP berasal dari pembakuan nilai-nilai bias gender
yang ada di dalam keluarga, masyarakat maupun negara, maka perlu dilakukan
dekonstruksi (pembongkaran) nilai-nilai tersebut. Dekonstruksi nilai-nilai tersebut
dapat dilakukan melalui proses penyadaran masyarakat dan perubahan kebijakan
negara. Sedangkan upaya interventif adalah upaya memberikan bantuan dan
dampingan langsung kepada korban agar tidak mengalami dampak jangka
panjang.

Perjuangan penghapusan KTP dimulai pada tahun 1984 dengan lahirnya


CEDAW yang merupakan tonggak sejarah yang penting dalam mengangkat isu
KTP ke permukaan. Disebutkan agar negara-negara yang meratifikasi konvensi
CEDAW memasukkan masalah KTP ke dalam laporan mereka. KTP baru diakui

95 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
sebagai masalah global pada tahun 1993 ketika berlangsung Sidang PBB di Wina
yang menghasilkan Deklarasi Anti KTP. Selanjutnya, dalam BFOA (Beijing
Platform for Action-Kerangka Aksi Beijing) yang dicanangkan tahun 1995 KTP
menjadi salah satu dari duabelas (12) area kepedulian (area of concern).

Upaya penghapusan KTP secara nasional mendapatkan perhatian yang serius


dengan dibentuknya Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada bulan Oktober
1998 melalui suatu Dekrit Presiden. Komnas Perempuan dibentuk menyusul
terjadinya kerusuhan sosial bulan Mei 1998 di mana banyak perempuan
mengalami perkosaan dan pelecehan seksual. Hingga kini Komnas Perempuan
telah bekerja secara nasional, khususnya dalam upaya advokasi kebijakan.

Pada tanggal 25 November 1999, bertepatan dengan hari internasional anti


KTP, diluncurkan Deklarasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan KTP (RAN
PKTP) yang merupakan komitmen pemerintah dan masyarakat untuk menghapus
KTP secara holistik dengan menggunakan metode kemitraan (partnership). RAN
PKTP mengadopsi pendekatan Zero Tolerance Policy yakni pendekatan di mana
semua kebijakan tidak mentoleransi kekerasan baik dalam substansi maupun
implementasinya. Pendekatan ini diadopsi karena disadari bahwa kebijakan-
kebijakan negara seringkali menjadi sumber KTP. Selain itu RAN PKTP berupaya
mengkritisi aspek sosial budaya yang juga kerap menjadi sumber KTP. Setahun
kemudian, 25 November 2000, diluncurkan 5 Dokumen RAN PKTP: Landasan
Aksi, Rencana Aksi. catatan untuk Bidang-bidang Strategis, Catatan dari
Konsultasi Regional, serta Akuntabilitas, Pendanaan dan Otonomi Daerah. Ada 7
bidang strategis dalam RAN PKTP, yaitu: 1) Negara dan Miljteristik; 2) Hukum
dan Perundang-undangan; 3) Ketenagakerjaan; 4) Sosial Budaya; 5) Pendidikan;
6) Media Masa; dan 7) Kesehatan. Bidang-bidang ini disentuh karena selama ini
dianggap menjadi penyebab terjadinya kekerasan.

Di tingkat masyarakat, upaya penghapusan KTP sudah dimulai sejak tahun


1980, ditandai dengan munculnya beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang secara khusus melakukan pendampingan terhadap perempuan korban
kekerasan. Mencapai puncaknya pada awal tahun 1990an dengan lahirnya
sejumlah Women Crisis Centre (WCC) seperti Rifka Annisa Yogyakarta, Mitra

96 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Perempuan Jakarta, Savy Amira Surabaya, dan lainnya. Beberapa tahun terakhir
ini lembaga-lembaga pendamping ini mengembangkan sistem pelayanan terpadu
bagi perempuan korban dengan Rumah Sakit dan Kepolisian, yang dikenal
dengan sistem tripartite. Salah satu contoh sistem tripartite yang dikembangkan
adalah pelayanan terpac u antara Rifka Annisa WCC, Rumah Sakit Panti Rapih,
dan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang ada di 5 Polres di lingkungan POLDA
DIY.

Dalam rangka penghapusan KTP, beberapa lembaga juga mengembangkan


jaringan dan kelompok kerja. Kegiatan difokuskan kepada advokasi perubahan
sistem hukum dan perubahan sikap masyarakat. Contoh jaringan dan kelompok
kerja antara lain: JKPIT (Jaringan Kerja Perempuan Indonesia Timur), Jangka dan
Jangkar (Jaringan Kerja untuk mendesakkan RUU anti Kekerasan dalam Rumah
Tangga, Kelompok Kerja Wilayah Sumbagsel (Sumatera Bagian Selatan), dsb.

Deklarasi Komitmen Negara dan Masyarakat untuk Penghapusan


Kekerasan Terhadap Perempuan

Memperhatikan adanya berbagai kekerasan yang selama ini terjadi, baik di


lingkungan keluarga, tempat kerja, masyarakat, dan negara, dalam bentuk
kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi yang dilakukan oleh perorangan,
kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, maupun oleh institusi negara
sehingga menimbulkan penderitaan bagi perempuan baik anak, dewasa, maupun
lanjut usia; Melihat bahwa kekerasan yang terjadi di atas akibat dari relasi
kekuasaan yang tidak seimbang baik relasi gender, kelas, usia, etnis, ras, maupun
kenegaraan di mana kekerasan tersebut sudah mengakar dan menjadi sistem yang
begitu kuat." Banyak pihak berperan dalam 'melembagakan' kekerasan dan
menjadikannya sebagai kebiasaan dalam berelasi secara pribadi, bermasyarakat,
dan bernegara;

Menyadari bahwa kita adalah bagian dari masyarakat internasional yang telah
membuat komitmen internasional dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap
perempuan. Menyadari pula keadaan tersebut harus dihentikan dan diperbaiki

97 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
dengan sungguh-sungguh demi terciptanya rasa aman, damai, adil, dan sejahtera,
dengan memegang prinsip-prinsip keadilan gender, peduli lingkungan,
demokratis, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak
perempuan; Dengan ini kami, negara dan masyarakat Indonesia, menyatakan
komitmen bersama untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dengan:

Pertama, meningkatkan tanggung jawab semua pihak untuk menghentikan dan


tidak mentoleransi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Kedua, meningkatkan perlindungan hak asasi manusia dan menciptakan rasa


aman kepada semua warga negara, khususnya perempuan.

Ketiga, membangun gerakan bersama untuk mencegah dan menghapuskan


kekerasan terhadap perempuan di segala lini kehidupan.

Keempat, mengupayakan penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang terjadi secara


adil dan tuntas, termasuk menindak tegas pelaku kekerasan serta memberikan
perlindungan kepada korban dan saksi (Jakarta, 24 November 1999).

98 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
KESEHATAN REPRODUKSI
REMAJA

99 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Tujuan Khusus

Mahasiswi diharapkan mampu:

1. Memahami definisi Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR);


2. Memahami tumbuh kembang remaja;
3. Menjelaskan permasalahan kesehatan yang berkaitan dengan

remaja dan solusi-solusinya; dan


4. Mengetahui program kesehatan reproduksi remaja.

100 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Konsep Inti
Remaja adalah individu baik perempuan maupun laki-laki yang berada
pada usia antara 10 tahun hingga 19 tahun. Pada masa remaja, individu
akan mengalami situasi pubertas di mana ia akan mengalami perubahan
yang mencolok secara fisik maupuan emosional/psikologis. Secara
psikologis masa remaja merupakan masa persiapan terakhir dan
menentukan untuk memasuki tahapan perkembangan kepribadian
selanjutnya yaitu menjadi dewasa. Kematangan biologis remaja
perempuan pedesaan biasanya diikuti dengan perkawinan usia belia yang
mengantarkan remaja pada risiko kehamilan dan persalinan; sementara
kematangan biologis remaja laki-laki dan perempuan perkotaan dibayang-
bayangi kemungkinan lebih dininya usia pertama aktif seksual, kehamilan
tak diinginkan, aborsi tidak aman, infeksi saluran reproduksi termasuk
penyakit menular seksual dan akibat kecacatan yang dialami (Kollman,
1998).

101 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
SESI 3

A. DEFINISI KESEHATAN REPRODUKSI

REMAJA
Masa remaja adalah masa dimana anak sudah meninggalkan masa kanak-
kanaknya menuju dunia orang dewasa. Literatur menganai remaja biasanya
merujuk pada kurun usia 10 sampai 19 tahun, atau 15 sampai 24 tahun. Menurut
WHO batasan usia remaja adalah 10 sampai 24 tahun sedangkan di Indonesia
sendiri menurut Undang-Undang nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
menetapkan definisi anak sebagai seorang yang belum mencapai usia 21 tahun
dan belum menikah. Batasan ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa
pada usia inilah tercapai kematangan mental, pribadi dan sosial, walaupun
kematangan biologis mungkin sudah terjadi lebih awal pada waktu usia belasan
tahun (Kollman, 1998; PKBI, nd).

Kesehatan Reproduksi Remaja didefinisikan sebagai suatu keadaan sehat jasmani,


psikologis, dan sosial yang berhubungan dengan fungsi dan proses sistem
reproduksi pada remaja. Pengertian sehat tersebut tidak semata-mata berarti
terbebas dari penyakit atau kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial-
kultural. Pada masa ini, seorang anak mengalami kematangan biologis. Kondisi
ini dapat menempatkan remaja pada kondisi yang rawan bila mereka tidak
dibekali dengan informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai
faktor yang ada di sekitarnya (Hasmi, 2001).

Remaja adalah pemimpin bangsa masa depan, namun saat ini mereka menghadapi
sekumpulan masalah besar yang dapat menentukan kualitas suatu bangsa di masa
yang akan datang. Masalah-masalah seperti pendidikan, lapangan pekerjaan,
pelecehan, kekerasan, seksualitas dan pernikahan merupaka sebagian dari
permasalahan yang dihadapi remaja yang memerlukan perhatian dari para peneliti,
akademis, aktifis, orang tua dan juga pembuat kebijakan. Dalam upaya mengatasi
isu yang kompleks ini, tidak jarang kita dihadapkan pada kendala ketidakpedulian,

102 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
kontroversi dan budaya. Kebijakan dan strategi yang jelas dan terfokus
memainkan peranan penting dalam menangani masalah-masalah yang dihadapi
oleh remaja Indonesia (Murdijana, 1998).

B. TUMBUH KEMBANG REMAJA


Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa
dimana terjadi perubahan fisik, mental, dan psikososial yang cepat sehingga
berdampak pada aspek kehidupannya. Perubahan ini dapat membingungkan
remaja, oleh karena itu perlu perhatian, bimbingan dan dukungan lingkungan di
sekitarnya, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa
yang sehat baik jasmani, mental dan psikososial. Dalam lingkungan sosial masa
remaja bagi laki-laki merupakan saat diperolehnya kebebasan sedangkan remaja
perempuan merupakan saat mulainya segala bentuk pembatasan.
Masa remaja dapat dikatakan masa yang paling kritis bagi perkembangan pada
tahap-tahap kehidupan selanjutnya, ini dikarenakan pada masa ini terjadi begitu
banyak perubahan dalam diri individu baik itu perubahan fisik maupun psikologis.
Perubahan dari ciri-ciri kanak-kanak menuju kedewasaan pada perempuan
ditandai dengan mulainya menstruasi atau buah dada yang membesar; pada laki-
laki antara lain ditandai dengan perubahan suara, otot yang semakin membesar
serta mimpi basah. Dalam kondisi perubahan tersebut, remaja biasanya tidak mau
lagi dikatakan sebagai anak-anak, namun remaja pun belum dapat dikatakan
sebagai orang dewasa jika dilihat dari berbagai kesiapan yang mereka miliki
(Hasmi, 2001).

1. Perubahan Fisik pada Remaja

Berbagai perubahan fisik yang terjadi pada remaja merupakan proses yang alami,
yang akan dilalui oleh semua individu. Namun seringkali ketidaktahuan remaja
terhadap perubahan itu sendiri membuat mereka hidup dalam kegelisahan dan
perasaan was-was. Ditambah dengan perubahan konsep diri dan pencarian
identitas diri maka banyak permasalahan yang muncul jika mereka tidak
dibimbing dengan baik untuk melewati masa tersebut (Kollmann, 1998).

103 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Pada masa remaja organ seksual mulai berfungsi, baik untuk reproduksi maupun
rekreasi (mendapatkan kenikmatan) (Imran, 1998 dalam Herdalena, 2003). Terjadi
perubahan penampilan, bentuk maupun proporsi tubuh, serta fungsi fisiologis.
Hormon yang mulai berfungsi juga mempengaruhi dorongan seks. Sehingga
remaja mulai tertarik orang lain dan ingin mendapat kepuasan seksual. Meski
fungsi reproduksinya sudah bisa, namun kondisinya belum aman dan sehat.
Menurut PKBI (1984, dalam Herdalena, 2003) secara fisik, usia reproduksi sehat
untuk perempuan adalah 20-30 tahun.

Perubahan Fisik
LAKI-LAKI PEREMPUAN
 Tumbuh bulu-bulu halus di sekitar ketiak,  Mulai tumbuh payudara
 Panggul mulai melebar dan
janggut, kumis dan kemaluan laki-laki
 Perubahan suara membesar
 Mulai diproduksinya sperma pada waktu-  Mengalami menstruasi atau haid
 Tumbuh bulu-bulu halus di sekitar
waktu tertentu (mimpi basah)
 Tumbuh bertambah berat dan tinggi ketiak dan kemaluan
 Keringat bertambah banyak  Kulit dan rambut mulai berminyak
 Kulit dan rambut mulai berminyak  Keringat bertambah banyak
 Lengan dan tungkai kaki bertambah  Lengan dan tungkai bertambah
panjang panjang
 Tangan dan kaki bertambah besar  Tangan dan kaki bertambah besar
 Tulang wajah mulai memanjang dan  Tulang-tulang wajah mulai
membesar memanjang dan membesar, sehingga
 Pundak dan dada bertambah besar dan
tidak terlihat seperti anak kecil lagi
bidang  Pantat berkembang lebih besar
 Tumbuh jakun
 Suara berubah menjadi berat
 Penis dan buah zakar bertambah besar

2. Perubahan Emosional/Psikologis Pada Remaja

Pada remaja juga terjadi perubahan-perubahan emosi, pikiran, lingkungan


pergaulan dan tanggung jawab yang dihadapi. Pada masa ini remaja akan mulai
tertarik pada lawan jenis. Remaja perempuan akan berusaha untuk kelihatan
atraktif dan remaja laki-laki ingin terlihat sifat kelaki-lakiannya. Berapa

104 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
perubahan mental lain yang juga terjadi adalah berkurangnya kepercayaan diri
(malu, sedih, khawatir dan bingung). Remaja juga merasa canggung terhadap
lawan jenis. Remaja akan lebih senang pergi bersama-sama dengan temannya
daripada tinggal di rumah dan cenderung tidak menurut pada orang tua, cari
perhatian dan bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu. Hal ini akan membuat
meraka lebih mudah terpengaruh oleh temannya. Remaja perempuan, sebelum
menstruasi akan menjadi sangat sensitif, emosional, dan khawatir tanpa alasan
yang jelas. Perkembangan psikis ditandai dengan adanya benturan nilai dan faktor
kehidupan seperti keluarga, teman, sekolah dan lain-lain. Menurut Myles dkk
(1993) ada tiga aspek kepribadian yang cukup penting dalam perkembangan
seksualitas. Seperti harga diri, kemampuan komunitas, dan kemampuan
mengambil keputusan (Herdelena, 2003).

Proses-proses perkembangan psikologi dan sosial remaja ditandai dengan urutan


perilaku remaja sebagai berikut:

Remaja Usia Dini Remaja Usia Tengah Dewasa Muda (17-


(10-13 tahun) (14-16 tahun) 19 tahun)
Tahap  Transisi dari anak  Esensi remaja  Transisi ke masa
Perkembangan  Kuatnya pengaruh
ke remaja dewasa
 Masa pubertas kelompok sebaya  Asumsi peran
orang dewasa
Kemandirian  Tantangan  Menjauh dari orang  Mulai bekerja
otoritas, orang tua dan cenderung atau
tua, dan anggota mendekati teman meneruskan
keluarga lain sebaya pendidikan
 Tidak suka  Mulai  Memasuki
diperlakuakan mengembangkan kehidupan
seperti anak-anak sistem nilai sendiri dewasa
 Menginginkan  Bergabung ke
privacy dalam keluarga
sebagai orang
dewasa baru
Perkembangan  Sulit berpikir  Mulai  Mahir berpikir
Kognitif abstrak mengembangkan abstrak
 Mencoba  Menunjukan
pikiran abstrak
membuat banyak  Mulai merespon perkembangan

105 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
keputusan berdasarkan analisa pemecahan
 Berubah-ubah
konsekuensi masalah
mood  Memiliki perasaan  Mampu
yang memecahkan
mempengaruhi konflik
perilaku tapi bukan
mengendalikan
Kelompok Sebaya  Bersahabat akrab  Suka berkelompok  Berkurangnya
dengan sesama dengan sebaya pengaruh sebaya
 Mulai menunjukan
jenis untuk membuat
 Mungkin ketertarikan pada
keputusan dan
berhubungan lawan jenis
nilai-nilai
dengan lawan  Hubungan
jenis individual,
bukan kelompok
sebaya
Tampilan Tubuh  Mulai terjadi  Tidak terlalu  Nyaman dengan
(Body Image) perubahan tubuh perhatian terhadap tampilan tubuh
 Kritis terhadap  Menerima
tampilan tubuh
penampilan  Lebih tertarik pada penampilan
 Perhatian
hal-hal yang perorangan
terhadap
menarik
menstruasi,
mimpi basah,
masturbasi dan
ukuran payudara
maupun penis
Seksualitas  Mulai merasa  Menunjukan  Mulai menbina
tertarik pada peningkatan pada hubungan serius
orang lain ketertarikan seksual
 Mungkin  Mungkin berusaha
melakukan mencari identitas
masturbasi seksual
 Membandingkan  Mungkin mulai
tubuh sendiri mencoba hubungan
dengan teman seksual
sebaya

106 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Dengan mengetahui tugas perkembangan dan ciri-ciri usia remaja diharapkan para
orang tua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami hal-hal yang harus dilalui
pada masa remaja ini sehingga bila remaja diarahkan dan dapat melalui masa
remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya remaja akan tumbuh sehat
kepribadian dan jiwanya (sumber: www.iqeq.web.id).

Termasuk dalam periode ini remaja juga mengalami pencarian orientasi seksual.
Orientasi seksual adalah ketertarikan seseorang terhadap jenis kelamin tertentu,
orientasi seksual sendiri dibagi menjadi dua yaitu heteroseksual (orang yang
secara seksual lebih tertarik dengan lawan jenis) dan homoseksual (orang yang
secara seksual lebih tertarik dengan orang lain dengan jenis kelamin yang sama).

Dorongan seksual bisa diekspresikan dalam berbagai perilaku, walaupun tidak


semua perilaku merupakan ekspresi dorongan seksual seseorang. Ekspresi
dorongan seksual atau perilaku seksual ada yang aman dan ada yang tidak aman,
baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Perilaku seksual adalah perilaku yang
muncul karena adanya dorongan seksual. Bentuk perilaku seksual bermacam-
macam mulai dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, petting, sampai
berhubungan seks.Perilaku seks aman adalah perilaku seks tanpa mengakibatkan
terjadinya pertukaran cairan vagina dengan cairan sperma, misalnya dengan
bergandengan tangan, berpelukan, berciuman, sementara hubungan seks tanpa
menggunakan kondom bukan merupakan perilaku seks yang aman dari kehamilan
dan PMS (Yayasan Galang, 2002).

C. PERMASALAHAN KESEHATAN
REPRODUKSI REMAJA

KRR sulit dipisahkan dari kesehatan remaja secara keseluruhan, karena gangguan
kesehatan remaja akan menimbulkan gangguan pada sistem reproduksi remaja.
Beberapa permasalahan kesehatan yang paling sering dialami oleh remaja adalah:

1. Masalah Gizi (Depkes RI 2000 Hal 60-62)

107 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 1998/1999
di dua propinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timmur meliputi 10 kabupaten
menemukan bahwa sekitar 82% remaja putri mengalami anemia (Hb<12gr%) dan
sekitar 70% calon pengantin wanita juga mengalami hal yang sama. Anemia
terjadi karena kurangnya zat besi dan asam folat dalam tubuh. Masalah gizi ini
pada remaja dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan pada remaja putri
sehingga menimbulkan panggul sempit yang dapat meningkatkan risiko
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Masalah ini juga berpotensi
menyebabkan kematian ibu dan bayinya pada saat proses persalinan (Hasmi,
2001). Beberapa masalah gizi yang terjadi pada remaja diantaranya adalah
(Depkes RI 2000):

a. Obesitas atau badan gemuk, lebih banyak terjadi pada remaja perempuan
daripada laki-laki, obesitas dapat memberikan pengaruh negatif terhadap
imajinasi diri, perkambangan psikis serta sosial sehingga dapat menimbulkan
isolasi dan depresi yang dapat memacu makan lebih banyak lagi.
b. Anemia karena kurang zat besi adalah masalah yang umum ditemui pada
remaja perempuan akibat kekurangan zat besi. Remaja perempuan lebih
banyak membutuhkan zat besi dibandingkan dengan laki-laki. Zat besi
diperlukan untuk membentuk sel-sel darah merah, dikonversi menjadi
hemoglobin, beredar ke seluruh jaringan tubuh dan berfungsi sebagai
pembawa oksigen.
c. Kurang Energi Kronis (KEK), terjadi pada remaja umumnya karena makan
yang telalu sedikit, remaja perempuan yang berat badannya turun drastis erat
kaitannya dengan faktor emosional seperti takut gemuk atau kurang seksi bila
dipandang lawan jenis. Banyak remaja kurang mengetahui bahwa deposit
lemak paha, bahu, dada dan abdomen adalah normal bagi seorang perempuan.

2. Masalah Seks dan Kesehatan Seksualitas

Perkembangan seksualitas pada remaja ditandai dengan matangnya organ


reproduksi. Setelah seorang gadis mengalami menstruasi yang pertama dan mimpi
basah pada laki-laki, maka sejak itu fungsi reproduksinya bekerja dengan segala
konsekuensinya.

108 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Ketidaksiapan remaja menghadapi perubahan-perubahan dalam dirinya termasuk
diantaranya menerima kenyataan dorongan seks mulai meningkat dan sulit
dikendalikan, sering kurang dipahami oleh orang dewasa yang ada di sekitarnya.
Nilai dan norma yang ada tidak jarang meyebabkan konflik yang khas remaja,
misalnya masalah masturbasi mereka tahu menurut agama itu dilarang, tetapi
mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengelola dorongan seksnya.
Akibatnya tidak sedikit remaja pria yang mempunyai masalah dengan masturbasi.

Situasi di atas diperburuk dengan terbatasnya akses remaja memperoleh informasi


seks yang benar dan lengkap. Dalam ketidaksiapannya remaja harus berhadapan
stimulus seks dari lingkungan, dorongan seks yang muncul dari dalam dirinya,
norma masyarakat dan nilai agama yang harus dipegang teguh. Sementara mereka
berjalan sendiri tanpa kawan seiring. Orang tua hingga saat ini masih sulit
menjadi kawan seiring remaja untuk masalah seksualitas. Karena masih banyak
orang tua yang masih bingung akan apa yang mereka perbuat. Kebingungan itu
meliputi informasi apa yang pantas diberikan pada remaja, dan bagaimana cara
memulainya dan lain-lain? Kompleksitas masalah ini sering menempatkan remaja
pada situasi yang sulit. Karenanya tidak bisa lagi dihindari meningkatnya jumlah
remaja yang berhubungan seks sebelum menikah, mengalami kehamilan yang
tidak diinginkan dan melakukan aborsi.

Upaya pemberian pendidikan seks sendiri di Indonesia masih banyak ditentang,


bahkan di dunia internasional pun masih merupakan perdebatan dua pandangan.
Pandangan yang kurang setuju dengan pendidikan seks mengkhawatirkan
pendidikan seks yang diberikan pada anak remaja akan mendorong mereka
melakukan hubungan seks lebih dini dan melakukan promiskuitas. Sementara
pandangan yang setuju pada pandangan seks beranggapan dengan semakin dini
mereka mendapat informasi, mereka akan lebih siap menghadapi perubahan-
perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan mampu menghindarkan diri dari
kemungkinan yang bisa terjadi, misalnya tertular AIDS atau PMS (Kollmann,
1998).

3. Masalah KRR

109 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Sejak tahun 1994, masalah remaja dibicarakan secara terbuka sebagai salah satu
masalah kesehatan reproduksi di konferensi kependudukan di Kairo. Di negara-
negara berkembang, salah satu penyebab masalah kesehatan reproduksi seperti
angka kematian ibu yang tinggi diduga terkait erat dengan masalah kesehatan
reproduksi dan seksualitas remaja. Antara lain, karena masa transisi dari periode
anak-anak ke orang dewasa berlangsung terlalu cepat di negara-negara
berkembang. Kematangan biologis remaja perempuan pedesaan (haid pertama)
biasanya segera diikuti dengan perkawinan usia belia yang mengantarkan remaja
perempuan pada risiko kehamilan dan persalinan. Hal ini berkontribusi pada
tingginya angka kematian ibu akibat komplikasi kehamilan dan persalinan pada
usia dini. Di sisi lain, kematangan biologis remaja laki-laki dan perempuan di
perkotaan dibayang-bayangi kemungkinan lebih dininya usia pertama aktif
seksual, kehamilan tak diinginkan, upaya pengguguran kandungan secara tidak
aman, infeksi saluran reproduksi termasuk penyakit menular seksual dan akibat
kecacatan yang harus dialami (Kollmann, 1998).

Kesehatan reproduksi sendiri seringkali berkaitan dengan risiko-risiko (Outlook,


2000):

a. Kehamilan. Masih banyak ditemukan perempuan menikah dan melahirkan di


usia remaja. Kehamilan dan persalinan membawa risiko kesakitan dan
kematian yang lebih besar pada remaja dibandingkan pada perempuan yang
telah berusia 20 tahunan, terutama di wilayah di mana pelayanan medis
sangat langka atau tidak tersedia. Remaja perempuan berusia bawah 18 tahun
berisiko 2-5 kali terhadap kematian (maternal mortality) dibandingkan
perempuan usia 18-25 tahun akibat persalinan lama dan persalinan macet,
perdarahan maupun faktor lain. Kegawat-daruratan akibat kehamilan,
misalnya tekanan darah tinggi (hipertensi) dan anemia juga lebih sering
terjadi pada ibu-ibu berusia remaja, terutama pada daerah di mana
kekurangan gizi merupakan endemis.

110 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Untuk menangani kasus kehamilan remaja petugas kesehatan harus bersikap
bersahabat dan tidak menghakimi terhadap remaja, memberikan konseling
pada remaja dan keluarganya, memberikan jalan keluar yang terbaik bila
menemukan masalah yang serius dan mengkonsultasikan ke tenaga ahli
(seperti SpOG, SpKK, psikolog atau psikiater) bila belum terselesaikan.

b. Aborsi yang tidak aman. Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja
seringkali berakhir dengan aborsi. Banyak survei yang telah dilakukan di
negara-negara berkembang menunjukan bahwa hampir 60% kehamilan pada
perempuan di bawah usia 20 tahun adalah kehamilan yang tidak dinginkan
atau salah waktu (mistimed). Mahasiswi atau pelajar yang hamil seringkali
mencari pelayanan aborsi agar mereka tidak dikeluarkan dari sekolah. Remaja
cenderung terlambat mencari bantuan akibat tidak adanya akses pelayanan
kesehatan atau tidak segera menyadari terjadinya kehamilan.

c. Penyakit Menular Seksual (PMS), termasuk HIV. Infeksi PMS dapat


menyebabkan masalah kesehatan seumur hidup, termasuk kemandulan dan
rasa sakit kronis, serta meningkatkan resiko penularan HIV. Sekitar 333 juta
kasus PMS yang dapat disembuhkan terjadi setiap tahunnya; dan data yang
ada menunjukan bahwa ⅓ dari infeksi PMS di negara-negara berkembang
terjadi pada mereka yang berusia 13-20 tahun.

Kaum muda cenderung lebih berisiko tertular PMS, termasuk HIV/AIDS


karena berbagai sebab. Seringkali hubungan seksual dilakukan tanpa
direncanakan atau tanpa diinginkan. Walaupun hubungan seksual dilakukan
atas keinginan bersama (“mau sama mau”). Seringkali remaja tidak
merencanakan lebih dahulu sehingga tidak siap dengan kondom atau
kontrasepsi lain, dan mereka yang belum berpengalaman berKB cenderung
menggunakan alat kontrasepsi tersebut secara tidak benar. Lebih lanjut,
remaja putri mempunyai risiko lebih tinggi terhadap infeksi dibandingkan
perempuan lebih tua karena belum matangnya sistem reproduksi mereka.

d. Female Genital Multilation (FGM) atau Sunat Perempuan adalah


pemotongan sebagian atau seluruh alat kelamin luar perempuan maupun
tindak perlukaan lainnya terhadap alat kelamin perempuan. FGM merupakan

111 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
praktik tradisional yang sudah berurat-berakar yang berdampak sangat parah
dan berat terhadap kesehatan reproduksi remaja putri atau perempuan.
Umumnya praktik semacam ini dilakukan di negara-negara Afrika; sekitar 2
juta remaja putri menjadi korban praktik ini setiap tahunnya. Selain trauma
psikologis yang dialami saat pemotongan, FGM dapat mengakibatkan infeksi,
perdarahan hebat dan shock. Beberapa bentuk FGM dapat menyebabkan rasa
sakit kronis setiap kali melakukan hubungan seks, infeksi radang panggul
yang berulang-ulang dan persalinan lama maupun macet. ICPD menyatakan
bahwa FGM merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan mendesak
penghapusan kebiasaan tersebut.

e. Faktor Sosial Budaya. Penganiayaan seksual dan pemaksaan seks


meningkatkan risiko kesehatan pada remaja, demikian pula norma kultural
yang berkaitan dengan gender dan hubungan seksual. Sebagai contoh:
1) Di berbagai negara, praktik pernikahan yang “diatur” orang tua pada
gadis di bawah usia 14 tahun masih sangat umum.
2) Hubungan seksual terjadi pada gadis usia 9-12 tahun karena banyak laki-
laki dewasa mencari gadis muda sebagai pasangan seksual untuk
melindungi diri mereka sendiri terhadap penularan PMS/HIV.
3) Di beberapa budaya, laki-laki muda diharapkan untuk memperoleh
pengalaman hubungan seks pertama kalinya dengan seoorang pekerja
seks komersial (PSK).
4) Remaja, terutama remaja putri seringkali dipaksa berhubungan seks. Di
Urganda misalnya, 40% dari siswi sekolah dasar yang dipilih secara acak
melaporkan telah dipaksa untuk berhubungan seks.
5) Di Sub-Sahara Afrika, pengalaman hubungan seks pertama bagi beberapa
remaja putri adalah dengan “Om Senang” yang memberikan mereka
pakaian, biaya sekolah, dan buku-buku sebagai imbalan atas jasa seks
yang diberikan.
6) Di negara berkembang, jutaan anak hidup dan bekerja di jalanan, dan
banyak diantara mereka yang terlibat dalam “seks demi bertahan hidup”
(survival sex) dimana mereka menukar seks untuk memperoleh makanan,
uang, jaminan keamanan maupun obat-obat terlarang. Sebagai contoh,
sebuah survei di Guatemala City menemukan bahwa 40% dari 143 anak
jalanan yang disurvei melakukan hubungan seksual pertama dengan

112 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
orang yang tidak mereka kenal; semua pernah berhubungan seks demi
uang, semua pernah dianiaya secara seksual, dan 93% pernah terinfeksi
penyakit menular seksual (PMS).
7) Di Thailand, diperkirakan 800.000 PSK berusia di bawah 20 tahun dan
dari jumlah ini, 200.000 diantaranya berusia di bawah 14 tahun.
Beberapa di antara mereka “dijual” sebagai PSK oleh orang tuanya guna
menghidupi anggota keluarga yang lain.

Oleh karena itu peran bidan dalam menghadapi masalah seperti ini adalah
mencegah semakin tingginya angka penyakit menular seksual (PMS) dengan cara
konseling – pelaksanaan praktis upaya preventif, dilakukan dengan meningkatkan
hubungan remaja dengan lingkungan keluarganya, memberikan pendidikan
seksual yang sehat, mengikutsertakan pada semua kegiatan yang pro aktif,
menganjurkan untuk menggunakan metode keluarga berencana (KB). Upaya
preventif ini bertujuan untuk menyelamatkan alat reproduksi remaja sehingga
tidak terjadi akibat buruk dan dapat meneruskan serta menurunkan generasi yang
tangguh bila nanti berkeluarga.

Hambatan Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja

Kebutuhan kesehatan remaja banyak sekali tetapi banyak hambatan yang dihadapi
dalam mencoba mempertahankan kesehatan reproduksi yang baik yaitu
kurangnya pengetahuan, informasi dan pelayanan. Remaja mungkin memiliki
risiko untuk masalah kesehatan reproduksi karena:

1. Kurangnya Pengetahuan dan Informasi


a. Remaja kurang pengetahuan dasar tentang anatomi dam fisiologi
reproduksi, bagaimana terjadinya hamil dan STI, bagaimana mencegahnya
dan dimana mendapatkan perlindungan
b. Orang tua yang merasa kurang aman, malu menceritakan tentang seks
dengan anak-anaknya
c. Orang tua dan dewasa lainnya yang memiliki pemahaman yang baik, ingin
sekali melindungi anaknya, mereka percaya bahwa pendidikan tentang

113 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
seks dan kesehatan reproduksi akan mendorong remaja menjadi seksual
aktif

2. Kurangnya akses terhadap pelayanan dan program


a. Remaja tidak punya atau memiliki sedikit uang untuk membayar
pelayanan, kurang sarana transportasi atau tidak tahu bagaimana
menggunakan pelayanan tersebut
b. Petugas kesehatan mungkin menghakimi terhadap remaja yang berperilaku
seksual aktif
c. Petugas kesehatan mungkin tidak memiliki informasi ilmiah terbaru
tentang kontrasepsi yang aman bagi remaja
d. Klinik tidak membuka jam-jam tertentu yang tepat untuk remaja
e. Klinik dirancang untuk perempuan yang sudah menikah bukan untuk
perempuan lajang atau laki-laki
f. Persyaratan untuk test medis dan pemeriksaan panggul mungkin tidak
mendukung remaja untuk mencari kontrasepsi
g. Kebijakan kesehatan nasional menjadi hambatan legal bagi remaja untuk
mencari informasi atau layanan kesehatan reproduksi

3. Terbatas karena hambatan sosial dan psikologis


a. Remaja takut untuk mengatakan bahwa mereka sudah melakukan seksual
aktif
b. Mereka memiliki gambaran yang tidak realistis tentang kehamilan dan STI
c. Mereka khawatir bahwa kontrasepsi akan merusak kesehatannya dan
kesuburannya kelak
d. Mereka mudah terkena kekerasan dan pelecehan
e. Remaja putri mungkin segan untuk mendiskusikan isu kesehatan
reproduksi, khawatir pengetahuan tersebut akan diterjemahkan sebagai
perempuan yang mudah diajak untuk melakukan seks
f. Remaja laki-laki mungkin segan untuk menanyakan tentang seks, khawatir
bahwa kurangnya pengetahuan berarti kehilangan status di kelompoknya.
g. Seksual aktif sering dilihat sebagai jalan bagi remaja laki-laki untuk
mendapat pengakuan status dari kelompoknya
h. Media cenderung untuk menekankan bahwa seks itu menyenangkan tapi
tidak bertanggung jawab terhadap perilaku seks

114 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
D. PROGRAM KESEHATAN REPRODUKSI
REMAJA

Permasalahan yang dihadapi oleh remaja membutuhkan perhatian dari banyak


pihak. Hasil dari International Conference on Population and Development
(ICPD) mendorong pemerintah dan LSM untuk mengembangkan program yang
tanggap terhadap permasalahan remaja.
Kegiatan pelayanan yang mendapat perhatian penting ICPD adalah (Outlook,
2000):
1. Informasi dan konseling KB;
2. Pelayanan klinis bagi remaja yang aktif secara seksual;
3. Pelayanan bagi remaja yang melahirkan dan remaja dengan anaknya;
4. Konseling yag berkaitan hubungan antar gender, kekerasan, perilaku seksual
yang bertanggung jawab, dan penyakit menular seksual; dan
5. Pencegahan dan perawatan terhadap penganiayaan seksual (sexual abuse) dan
hubungan seksual sedarah (incest)

Sebagai tindak lanjut dari komitmen tersebut, pemerintah mengembangkan dan


mengimplementasikan program KRR. Selama kurun waktu satu dekade, program
tersebut mengalami beberapa perkembangan sebagai berikut:

Tahun 1994-1995
Penyediaan materi konseling kesehatan remaja dan pelayanan konseling di
Puskesmas melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah), namun program ini
belum youth friendly serta tidak melibatkan partisipasi remaja.

Tahun 1996
Pemerintah menyelenggarakan Lokakarya Nasional Kesehatan Reproduksi
dengan melibatkan beberapa sektor terkait (LSM, profesi, akademis, dll).
Dalam lokakarya tersebut disepakati antara lain bahwa pelayanan KR

115 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
dilaksanakan secara integratif dalam paket PKRE. Salah satu komponen dari
paket tersebut adalah kesehatan reproduksi remaja.

Tahun 1997-1998
Pengembangan pelayanan kesehatan remaja di puskesmas dengan pendekatan
kemitraan dengan sektor terkait (BKKBN, Depdiknas, Depag, Depsos)
dilaksanakan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sejumlah materi KIE
dikembangkan (modul, buku saku). Namun, program ini belum berhasil
mempengaruhi remaja untuk memnfaatkan puskesmas dan fasilitas kesehatan
lainnya secara optimal.

Tahun 2000
Pengembangan pelayanan kesehatan remaja dengan pengenalan Youth
Friendly Health Services (YFHS), mulai terbentuk tim KRR di berbagai
tingkatan (propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan puskesmas) sampai tahun
2001 telah tersosialisasi ke 10 propinsi. Sebagaimana program sebelumnya,
program ini juga tidak berjalan baik.

Tahun 2002
Perkenalan program Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKPR)
dengan puskesmas diberikan keleluasaan berinovasi untuk meningkatkan
akses remaja melalui pendekatan UKS, Karang Taruna dan Anak Jalanan
maupun kegiatan remaja potensial lainnya. Remaja dilibatkan secara aktif
mulai dari perencanaa sampai evaluasi. Program ini juga mulai membina
jejaring kerja dengan LSM, swasta dan profesi. Beberapa buku panduan
untuk remaja turut dikembangkan, walaupun sayangnya tidak didesiminasi
secara luas.

Tahun 2003
Departemen Kesehatan meluncurkan website tentang informasi kesehatan
remaja (www.lincah.com). Tapi ini juga tidak efektif mengingat tidak semua
remaja bisa mengakses internet.

Tahun 2004

116 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Perluasan jangkauan dan pemantapan program PKPR berupa peningkatan
keterampilan petugas, pengembangan pedoman perencanaa PKPR tingkat
kabupaten/kota serta dilakukan peyempurnaan kebijakan dan strategi menjadi
kebijakan dan strategi nasional kesehatan remaja di Indonesia.

Dalam “penyempurnaan” kebijakan dan strategi nasional tentang KRR,


remaja tidak lagi diberikan akses terhadap pelayanan kesehatan melainkan
hanya pelayanan informasi. Mengingat remaja saat ini sudah terpapar dengan
derasnya arus globalisasi teknologi seperti majalah, TV/film, internet,
dampak buruknya tentu saja bisa mempengaruhi kondisi kesehatan
reproduksinya. Kompleksitas masalah KR yang dihadapi oleh remaja, hanya
pemberian informasi tidak lagi mencukupi. Remaja juga perlu mendapatkan
akses terhadap pelayanan kesehatan yang privacy dan non-judgemental.
Pengalaman menunjukan bahwa kombinasi dari beberapa pendekatan
seringkali paling efektif dalam menjangkau kelompok remaja. Namun hanya
sedikit program yang dievaluasi secara seksama berkaitan denga dampak atau
hasil akhirnya. Oleh karen itu, menentukan program seperti apa yang paling
efektif justru menjadi tantangan tersendiri. Berikut ini adalah beberapa
pendekatan yang umum dilakukan (Outlook, 2000).
Kegiatan Pembelajaran
1.Sebutkan
Pelayananfaktor-faktor apa saja
klinik berorientasi yang
remaja mempengaruhi
(Youth-oriented perilaku
clinic services)
 Klinik berbasis sekolah (School-based clinics)
seksual remaja
 Program penjangkauan berbasis masyarakat (Community-based
2. Banyak sekolah di Indonesia yang menerapkan peraturan
outreach programs)
mengeluarkan siswinya yang ketahuan sedang hamil, berikan
 Kelompok remaja
 pendapatmu
Program kesehatan di tempat kerja
3. Lakukan analisa mengapa program pemerintah tentang
kesehatan reproduksi remaja tidak berhasil meningkatkan kualitas
kesehatan reproduksi remaja di Indonesia

Uji Kemampuan Diri


Instruksi: Jawab pertanyaan beikut dengan seksama!

1. Kemungkinan apa saja yang terjadi bila remaja tidak


mendapatkan akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan
remaja yang memadai?
2. Mengapa remaja perempuan memerlukan gizi yang memadai?
117 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
118 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
119 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
120 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
121 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Lampiran

Tujuan Pembangunan Milenium


(Millenium Development Goals)
Latar Belakang
Pada bulan September 2000, 189 pemerintahan negara-negara anggota PBB,
termasuk Indonesia menandatangani Deklarasi Milenium (The Millenium
Declaration) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium. Tantangan utama
yang dibahas adalah mengarahkan globalisasi menjadi “inklusif dan setara”.

Tujuan Pembangunan Milenium (TPM) adalah komitmen dari komunitas


internasional terhadap pengembangan visi mengenai pembangunan; yang secara
kuat mempromosikan pembangunan manusia sebagai kunci untuk mencapai

122 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
pengembangan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan dengan menciptakan dan
mengembangkan kerjasama dan kemitraan global.

TPM mendorong pemerintah, lembaga donor dan organisasi masyarakat sipil di


manapun untuk mengorientasikan kembali kerja-kerja mereka untuk mencapai
target-target pembangunan yang spesifik, ada tenggat waktu dan terukur ke dalam
8 tujuan pembangunan milenium yaitu:
1. Menghapus tingkat kemiskinan dan kelaparan
Target 2015: mengurangi setengah dari penduduk dunia yang berpenghasilan
kurang dari 1 US$ sehari dan mengalami kelaparan.

2. Mencapai pendidikan dasar secara universal


Target 2015: memastikan bahwa setiap anak laki-laki dan perempuan
mendapatkan dan meyelesaikan tahap pendidikan dasar.

3. Mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan


Target 2005 dan 2015: mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam
pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan semua
tingkatan untuk 2015.
4. Mengurangi tingkat kematian anak
Target 2015: mengurangi tingkat kematian anak usia di bawah 5 tahun hingga
⅔.

5. Meningkatkan kesehatan ibu


Target 2015: mengurangi rasio kematian ibu hingga 75% dalam proses
melahirkan.

6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya


Target 2015: menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS
dan gejala malaria dan penyakit berat lainnya.

7. Menjamin keberkelanjutan lingkungan serta merehabilitasi sumber


daya yang hilang
Target 2015: jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang layak
dikonsumsi berkurang setengahnya.
Target 2020: perbaikan kehidupan yang signifikan bagi sedikitnya 100 juta
orang yang tinggal di daerah kumuh.

8. Mengembangkan kemitraan global


Target: mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem
keuangan yang melibatkan komitmen terhadap pengaturan manajemen yang

123 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
jujur dan bersih, pembangunan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara
nasional dan internasional (termasuk kebutuhan khusus dari negara-negara
terpencil dan kepulauan kecil; usaha produktif yang dijalankan oleh kaum
muda; penyerapan keuntungan dan teknologi baru, terutama teknologi
informasi dan komuniaksi)

Nilai-nilai yang mendasari deklarasi milenium adlah kebebasan hak asasi manusia
(HAM), kesetaraan, solidaritas, toleransi, penghargaan terhadap lama, dan
pertanggungjawaban sesama.

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN TPM


Berdasarkan laporan Indikator Pembangunan Dunia 2004 (World Development
Indicator 2004) dan Lapoan Monitoring Global (Global Monitoring Report),
target pertama untuk mengurangi setengah jumlah penduduk dunia yang
berpenghasilan kurang dari 1 US$ sepertinya dapat terpenuhi.

Ke-7 target lainnya akan sangat sulit tercapai. Negara-negara industri gagal
memenuhi komitmen mereka memberikan 0,7% dari GNP untuk pendampingan
pembangunan. Tujuan tersebut akan sulit terpenuhi dihampir 60 negara terutama
negara-negara miskin di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Di Indonesia, Laporan
Pembangunan Manusia 2003 yang berjudul Tujuan Pembangunan Milenium:
Perjanjian Antar Negara Untuk Mengakhiri Kemiskinan Manusia (Millenium
Development Goals: A Compact among to End Human Proverty), melaporkan
upaya pencapaian TPM dan membahas pembaharuan-pembaharuan nyata dalam
kebijakan dan komitmen anggaran pada proses pembangunan masih tersendat.
Tercermin dalam lambatnya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Forum masyarakat sipil se-Asia Pasifik di Bangkok, pada 6-8 Oktober 2003
secara spesifik mengkritik TPM antara lain: TPM merumuskan kemiskinan dalam
konteks visi, ruang lingkup dan arah secara sempit, kurang memperhatikan HAM;

124 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
perhatian negara-negara maju justru dialihkan untuk pelayanan hutang dan
pembelanjaan kebutuhan militer.

Fakta Mengenai TPM di Indonesia pada 1990-2002 (%)


Target 1990 2002
Memberantas kemiskinan dan kelaparan:
 Proporsi penduduk hidup di bawah US$ 1 per hari 20,6 7,2
 Proporsi di bawah garis konsumsi minimum
(2.100 kal/kapita/hari) 69,5 64,6
Mewujudkan pendidikan dasar bagi semua:
 Proporsi murid kelas 1 SD yang berhasil mencapai kelas 5 SD 75,6 82,2
 Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan SD 62,0 74,4
1992 2002
Mendorong kesejahteraan gender dan memberdayakan perempuan
 Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat
pendidikan tinggi 85,1 92,8
 Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki (15-24 tahun) 97,9 99,8
Mengurangi tingkat kematian anak
 Angka kematian balita (per 1.000 kelahiran hidup) - 46,0
 Angka kematian bayi (per 1.000 kelahiran hidup) - 35,0
Meningkatkan kesehatan ibu
 Proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih 40,7 68,4
 Angka pemakaian kontrasepsi pada perempuan menikah usia
15-49 tahun 50,5 54,2
Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya
 Angka pemakaian kontrasepsi kondom perempuan menikah usia
15-49 tahun 1,3 0,4
 Angka kesembuhan penderita tuberkolosis 76 -
Menjamin keberkelanjutan hidup
 Proporsi penduduk dengan akses terhadap fasilitas sanitasi layak 30,9 63,5
 Akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan - 50,0
berkelanjutan
Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan

125 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
Sumber:
Down to Earth. 2004. Factsheet tentang Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional No. 36.
www.developmentgoals.org
www.un.org/milleniumgoals
www.who.int/mdg

Referensi:
http://dte.gn.apc.org/Aif36.htm

Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang


Kesehatan Reproduksi

KEBIJAKSANAAN, STRATEGI DAN KEGIATAN POKOK

Kebijakan umum yang diterapkan dalam kesehatan reproduksi mengikuti


paradigma baru, yaitu sebagai berikut:

1. Mengutamakan kepentingan klien dengan memperhatikan hak reproduksi,


kesetaraan dan keadilan gender.
2. Menggunakan pendekatan siklus kehidupan dalam menangani masalah
kesehatan reproduksi.
3. Memperluas jangkauan pelayanan kesehatan reproduksi secara proaktif.
4. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui pelayanan kesehatan
reproduksi berkualitas.

Strategi yang diterapkan dalam melaksanakan kebijaksanaan umum tersebut


sebagai berikut:

1. Meningkatkan upaya advokasi dan komitmen politis di tiap tingkat


administrasi untuk menciptakan suasana yang mendukung dalam pelaksanaan
program kesehatan reproduksi.
2. Menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi terpadu yang merata dan sesuai
dengan kewenangan di tiap pelayanan.

126 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
3. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi dengan
memperhatikan kepuasan klien.
4. Mengembangkan upaya kesehatan reproduksi dengan prioritas sesuai dengan
masalah spesifik daerah, minimal meliputi paket PKRE, sebagai bagian dari
proses desentralisasi.
5. Menerapkan program kesehatan reproduksi melalui keterlibatan program,
sektor dan pihak terkait, termasuk organisasi profesi, agen donor, LSM dan
masyarakat.
6. Meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender, termasuk meningkatkan hak
perempuan dalam kesehatan reproduksi.
7. Meningkatkan penelitian dan pengumpulan data berwawasan gender yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi dalam rangka mendukung
kebijaksanaan program dan peningkatan kualitas pelayanan.

Target yang akan dicapai pada tahun 2010 sebagai berikut:

1. Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir


a. Penurunan AKI dari 373 (1997) menjadi 150 per 100.000 kelahiran hidup.
b. Penurunan AKB dari 52 (1997) menjadi 25 per 1.000 kelahiran hidup
c. Peningkatan cakupan akses pelayanan antenatal (K1) dari 89% (1998)
menjadi 95%
d. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dari 60% (1998)
menjadi 90%
e. Proporsi penanganan komplikasi/kasus obsetri minimal 12% dari
persalinan total
f. Cakupan pelayanan nifas bagi ibu dan bayi baru lahir 90%
g. Penurunan prevalensi anemia pada ibu hamil menjadi 35%
h. Penurunan prevalensi BBLR dari 7,9% (1995) menjadi 5%

2. Keluarga Berencana
a. Cakupan pelayanan KB pada PUS 70%
b. Penurunan prevalensi kehamilan “4 terlalu” menjadi 50% dari angka
tahun 1997
c. Penurunan kejadian komplikasi KB
d. Penurunan angka drop out

3. Penanggulangan PMS/HIV-AIDS
a. Prevalensi gonore di kalangan kelompok berperilaku risiko tinggi menjadi
kurang dari 10%

127 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i
b. Prevalensi infeksi HIV di kalangan kelompok berperilaku risiko tinggi
menjadi kurang dari 1%

128 | M o d u l K e s e h a t a n R e p r o d u k s i

You might also like