You are on page 1of 17

Manajemen Angkutan Barang dan Logistik

Interaksi antara Incoterms dan CISG

Nama : Almira Dhamara Tyasari

Notar : 15.01.029

Program Studi Diploma IV Transportasi Darat

Sekolah Tinggi Transportasi Darat

Badan Pengembangan Sumber Daya Perhubungan

Bekasi, 2018
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi menjadi penting dalam konteks
perekonomian suatu negara karena dapat menjadi salah satu ukuran
dari pertumbuhan atau pencapaian perekonomian bangsa tersebut.
Menurut Wijono (2005) Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
indikator kemajuan suatu bangsa. Salah satu hal yang dapat
dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan adalah perdagangan
internasional. Jika aktifitas perdagangan internasional adalah ekspor
dan impor, maka salah satu dari komponen tersebut atau kedua-
duanya dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan. Kegiatan
ekspor impor didasari kondisi bahwa tidak ada suatu negara yang
benar-benar mandiri karena setiap negara memiliki karakteristik
yang berbeda, baik sumber daya alam, iklim, geografi, demografi,
struktur ekonomi dan struktur sosial. Perbedaan tersebut
menyebabkan perbedaan komoditas yang dihasilkan, komposisi
biaya yang diperlukan, kualitas dan kuantitas produk. Sehingga
dibutuhkan hubungan saling mengisi antar negara yang satu dengan
negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan
konsumen di suatu wilayah/negara.
Adanya interdependensi kebutuhan itulah yang menyebabkan
adanya perdagangan internasional. Perdagangan internasional
merupakan transaksi jual beli (atau imbal beli) lintas Negara, yang
melibatkan dua pihak yang melakukan jual beli yang melintasi
batasan kenegaraan. Dari segi legal, transaksi perdagangan
internasional berarti suatu transaksi yang melibatkan kepentingan
lebih dari satu hukum nasional. Suatu perdagangan dikatakan
sebagai perdagangan internasional, jika transaksi jual beli telah
menyebabkan terjadinya pilihan hukum antara dua sistem hukum
yang berbeda, dan benda yang diperjualbelikan harus diserahkan
melintasi batas-batas kenegaraan, dan keberadaan unsur asing atau
elemen asing bagi sistem hukum yang berlaku.
Dalam transaksi perdagangan internasional ini tidak lepas dari
suatu perjanjian/kontrak. Perjanjian atau kontrak adalah sebagai
jembatan pengaturan dari suatu aktivitas komersial ataupun aktivitas
bisnis. Dalam perdagangan internasional kontrak yang digunakan
adalah kontrak dagang internasional.
Pada umumnya masing-masing yang terkait dalam transaksi
perdagangan internasional menginginkan agar kontrak yang mereka
buat tunduk pada hukum di Negara mereka. Padahal setiap Negara
memiliki peraturan mengenai kontrak yang berbeda-beda. Hal ini
dapat menyebabkan suatu perselisihan dalam pelaksanaan kontrak.
Dengan begitu menjadi sangat penting peranan perjanjian regional
dan internasional dalam perdagangan internasional. Salah satu
usaha yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan melakukan
kerjasama regional maupun internasional. Tujuannya adalah untuk
mengharmonisasikan dan unifikasi hukum akibat dari adanya
perbedaan sistem hukum pada setiap Negara yang warga negaranya
melakukan perdagangan internasional.
B. Identifikasi Masalah?
1. Pengertian Perdagangan Internasional
2. Pengertian CISG
3. Pengertian Incoterms
4. Interaksi antara Incoterms dan CISG
BAB II

Pembahasan

A. Pengertian Perdagangan Internasional


Perdagangan internasional adalah perdagangan yang
dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain
atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat
berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu
dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara
dengan pemerintah negara lain. Perdagangan internasional turut
mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan
kehadiran perusahaan multinasional.
B. Pengertian CISG
Convention on Contracts for the International Sales of Goods
(CISG) adalah konvensi yang mengatur aturan hukum materiil yang
akan diberlakukan pada setiap transaksi perdagangan internasional.
CISG berlaku untuk perjanjian jual beli antara pihak-pihak dengan
domisili usaha yang berada pada Negara yang berbeda yang
merupakan anggota Konvensi Vienna 1980 ini atau ketentuan hukum
perdata internasional yang berlaku menunjuk pada berlakunya
hukum dari Negara yang merupakan anggota konvensi Vienna 1980.
CISG hanya mengatur mengenai pembentukan perjanjian jual
beli, hak dan kewajiban dari penjual dan pembeli yang terbit dari
perjanjian jual beli tersebut, dan tidak mengatur mengenai
keabsahan perjanjian dan atau setiap pasal daripadanya atau
penerapannya, dan akibat perjanjian terhadap kepemilikan dari
benda yang diperdagangkan. CISG juga tidak berlaku terhadap
kewajiban penjual untuk kematian atau luka pribadi dari setiap orang
yang disebabkan oleh benda yang diperdagangkan.
Para pihak dalam konvensi ini bebas untuk mengesampingkan
pemberlakuan CISG ini, ataupun mengatur secara berbeda
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam CISG ini, atas kehendak
mereka.
Ketentuan Pasal 4 CISG, seperti telah disinggung di atas, tidak
mengatur mengenai keabsahan perjanjian jual beli yang dibentuk
oleh para pihak. Ketentuan ini menerbitkan kesulitan bagi
penyelesaian sengketa, dimana salah satu pihak dalam perjanjian
jual beli tersebut mendalilkan ketidakabsahan perjanjian jual beli
yang dibuat. Disamping itu, perlu untuk diperhatikan dan
dipertimbangkan dengan seksama, yaitu tujuan para pihak untuk
memilih CISG dan karenanya tunduk pada ketentuan CISG adalah
untuk mengecualikan pemberlakuan hukum nasional dari Negara
tertentu, termasuk hukum dari para pihak dalam perjanjian tersebut.
Persoalan akan menjadi rumit jika ternyata ketentuan dalam CISG ini
bertentangan dengan hukum nasional (hukum domestic) dari salah
satu atau para pihak yang membuat perjanjian jual beli ini,
khususnya yang menyangkut keabsahan perjanjian.
Terkait dengan hal keabsahan dari suatu perjanjian, ada dua
hal yang dapat dikemukakan yaitu terkait dengan subjek yang
berhubungan dengan pihak yang melakukan perjanjian dan objek
terkait dengan pelaksanaan perjanjian jual beli itu sendiri.
Dalam permasalahan kedua ini, perlu diperhatikan bahwa
dalam hal ketentuan hukum materiil mengenai pelaksanaan
perjanjian jual beli yang diatur dalam CISG bertentangan dengan
ketentuan hukum domestic yang berlaku di suatu Negara tertentu
yang merupakan Negara salah satu pihak dalam perjanjian jual beli,
maka hal ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan
perjanjian jual beli menjadi tidak sah dan harus dibatalkan.
Selanjutnya, terkait dengan hal-hal yang meliputi objek
perjanjian, khususnya pelaksanaan perjanjian, maka selain benda
yang diperjualbelikan haruslah benda yang diperbolehkan untuk
diperjualbelikan di Negara dimana benda tersebut di transportasikan,
maka seluruh ketentuan CISG harus dinyatakan berlaku dan sah,
manakala terdapat pertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan
hukum domestic yang berlaku di suatu Negara tertentu yang
merupakan Negara dari salah satu pihak dalam perjanjian jual beli.
Dalam konteks ini ketentuan hukum domestik yang diberlaku dalam
Negara tertentu yang merupakan Negara dari salah satu pihak dalam
perjanjian jual beli yang bertentangan atau berbeda dari ketentuan
CISG harus dinyatakan tidak berlaku.
Dengan demikian berarti untuk menghindari terjadinya
permasalahan yang terkait dengan keabsahan perjanjian jual beli
yang dibuat berdasarkan CISG dan karenanya tunduk pada
ketentuan CISG ini, perlu dikatakan bahwa terhadap masalah
kecakapan dan kewenangan subjektif dari para pihak untuk masuk
dalam perjanjian jual beli ini dan kesepakatan bebas dalam
pembentukan perjanjian jual beli, kedua hal ini tunduk sepenuhnya
pada aturan hukum domestik dari Negara dimana para pihak
berkedudukan hukum dan atau menjalankan kegiatan usahanya.
Dengan demikian persoalan terkait dapat diselesaikan.
Selanjutnya untuk menentukan berlakunya CISG, hal berikut
yang perlu diperhatikan :
1. Mengenai para pihak dalam perjanjian jual beli
a. Para pihak haruslah pihak-pihak yang memiliki tempat
yang berada pada Negara yang berbeda yang keduanya
telah ikut serta memberlakukan CISG;
b. Para pihak dalam perjanjian jual beli haruslah pihak-pihak
yang memiliki tempat usaha pada Negara yang berbeda,
dan hanya salah satu pihak yang negaranya telah ikut
serta memberlakukan CISG, tetapi kaidah hukum
internasional menunjuk hukum dari Negara ini (peserta
CISG) sebagai hukum yang berlaku bagi transaksi jual beli
tersebut.
2. Mengenai isi perjanjian
a. Perjanjian jual beli yang diatur dalam CISG adalah
perjanjian komersial dan tidak meliputi penjualan kepada
konsumen atau pengguna akhir dan;
b. Tidak semua benda-benda yang diperdagangkan dapat
tunduk kepada ketentuan CISG. Dalam hal ini dapat
diperhatikan ketentuan Pasal 2 CISG.

CISG mengecualikan penjualan barang dimana pembeli


memasok sejumlah besar dari barang tersebut untuk keperluan
produksi. CISG juga tidak berlaku bagi penjualan dimana kewajiban
pokok dari jual belinya adalah pemberian jasa tenaga kerja atau
sejenisnya.

CISG mengecualikan :

1. keabsahan perjanjian;
2. akibat terhadap benda yang diperjualbelikan, termasuk hak pihak
ketiga atas benda tersebut;
3. tanggung jawab terhadap cidera atau kematian yang disebabkan
oleh benda yang diperjualbelikan tersebut.

Untuk hal-hal tersebut, penunjukan pilihan hukum tetap


disarankan untuk mengisi kekosongan hukum.

C. Pengertian Incoterms
Perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya
kata “sepakat” mengenai barang dan harga, maka lahirlah perjanjian
jual-beli yang sah. Dalam masalah jual-beli internasional masing-
masing pihak akan menentukan syarat-syarat, bagaimana
seharusnya barang akan diserahkan. Untuk mengatasi kesulitan
tersebut, maka oleh The International Chamber of The Interpretation
of Trade Terms (Peraturan Internasional tentang penafsiran
mengenal ketentuan/istilah perdagangan) yang dalam dunia
perdagangan internasional dikenal dengan “incoterms”.
Incoterms atau International Commercial Terms adalah
kumpulan istilah yang dibuat untuk menyamakan pengertian antara
penjual dan pembeli dalam perdagangan internasional. Incoterms
menjelaskan hak dan kewajiban pembeli dan penjual yang
berhubungan dengan pengiriman barang. Hal-hal yang dijelaskan
meliputi proses pengiriman barang, penanggung jawab proses
ekspor–impor, penanggung biaya yang timbul dan penanggung risiko
bila terjadi perubahan kondisi barang yang terjadi akibat proses
pengiriman.
Menurut The International Chamber of Commerce tersebut
dikatakan, bahwa tujuan dan Incoterms adalah untuk
memperlengkapi seperangkat peraturan internasional tentang
penafsiran ketentuan/istilah yang penting yang boleh dipilih oleh
pengusaha yang lebih suka menggunakan ketentuan-ketentuan
internasional yang seragam dan pada penafsiran yang bermacam-
macam untuk istilah yang sama yang digunakan oleh berbagai
negara.
Melalui Incoterms ini diusahakan untuk mengatasi masalah yang
timbul dan perbedaan dalam hukum antar negara dan
mengusahakan ketentuan dan kesamaan tafsiran dengan
menetapkan suatu pedoman dalam ketentuan perdagangan
Internasional. Pedoman ini ditetapkan melalui pembaharuan yang
mendalam oleh para ahli yang mewakili dunia perdagangan dan
seluruh dunia. Jika suatu pihak yang telah mengadakan transaksi
jual-beli tidak mau mengikuti sistem hukum yang berlaku dinegara
pihak lain, maka penggunaan lncoterms merupakan pemecahannya.
lncoterms tidak menentukan peraturan terhadap penafsiran
atas keseluruhan perdagangan yang digunakan dalam perdagangan
internasional, tetapi memusatkan perhatian pada hal-hal yang
penting saja. Dengan menggunakan lncoterms ini akan jelas terlihat
kedudukan para pihak yaitu pembeli dan penjual, terutama yang
menyangkut hak dan kewajiban mereka masing-masing dalam
kaitannya dengan penyerahan barang dan pihak penjual kepada
pihak pembeli. Dengan digunakannya Incoterms, maka setiap
kontrak internasional dalam bidang perdagangan memuat
ketentuan-ketentuan/syarat-syarat yang sesuai dengan Incoterms.
Pada Incoterms 2010, istilah dibagi dalam 2 kategori berdasar
metode pengiriman, yaitu 7 istilah yang berlaku secara umum, dan
4 istilah yang berlaku khusus untuk pengiriman melalui transportasi
air.
Terdapat 13 persyaratan perdagangan internasional di dalam
Incoterm yang berbentuk singkatan:
1. EXW : Ex Work (named place)
Adalah syarat yang merupakan kewajiban paling ringan bagi
penjual dan pembeli, yaitu masing – masing pihak wajib memikul
semua biaya dan resiko yang terkait dengan kewajiban untuk
mengambil barang – barang itu dari tempat penjual.
Apabila pihak – pihak menginginkan penjual bertanggung jawab
untuk memuat barang – barang pada saat pemberangkatan dan
memikul semua resiko dan biaya pemuatan, maka hal tersebut
harus dijelaskan dengan cara menambah kata – kata yang tegas
di dalam kontrak jual beli.
2. FCA : Free Carrier (named place)
Bahwa penjual melakukan penyerahan barang – barang yang
sudah mendapat ijin ekspor, kepada pengangkut yang ditunjuk
pembeli di tempat tersebut.
Catatan:
Pemilihan tempat penyerahan barang – barang mempunyai
dampak pada kewajiban bongkar muat barang – barang d tempat
itu.
Jika penyerahan terjadi di tempat penjual maka penjual
bertanggung jawab untuk memuat. Jika penyerahan terjadi di
tempat lain maka penjual tidak bertanggung jawab untuk
membongkar.
3. FAS : Free Alongside Ship (named port of shipment)
Bahwa penjual melakukan penyerahan barang – barang, bila
barang – barang itu ditempatkan di samping kapal di
pelabuhan pengapalan yang disebut. Hal ini berarti bahwa
pembeli wajib memikul semua biaya dan semua resiko kehilangan
atau kerusakan atas barang – barang mulai saat itu.
4. FOB : Free on Board (named port of shipment)
Penjual melakukan penyerahan barang – barang bila barang –
barang melewati pagar kapal di pelabuhan pengapalan yang
disebut.
Hal tersebut bearti bahwa pembeli wajib memikul semua biaya
dan resiko atas kehilangan atau kerusakan barang mulai dari titik
itu. Syarat ini menuntut penjual untuk mengurus formalitas
ekspor.
Syarat ini hanya dapat dipakai untuk angkutan laut dan sungai
saja.
5. CFR : Cost on Freight (named port of destination)
Penjual melakukan penyerahan barang – barang bila barang –
barang melewati pagar kapal di pelabuhan pengapalan. Dalam
hal ini penjual wajib membayar biaya – biaya dan ongkos angkut
yang perlu untuk mengangkut barang – barang itu sampai ke
pelabuhan tujuan yang disebut.
Resiko kehilangan ataupun kerusakan atas barang – barang
tersebut termasuk setiap biaya tambahan sehubungan dengan
peristiwa yang terjadi setelah waktu penyerahan itu berpindah
dari penjual kepada pembeli.
Syarat ini hanya dapat berlaku untuk angkutan laut dan sungai.
6. CIF : Cost, Insurance, and freight (named port of destination)
Bahwa penjual melakukan penyerahan barang – barang kepada
pengangkut yang ditunjuknya sendiri, tetapi penjual wajib pula
membayar ongkos – ongkos angkut yang perlu untuk
mengangkut barang – barang itu sampai ke tempat tujuan.
7. CPT: Carriage Paid To (named place of destination)
Adalah bahwa penjual menyerahkan barang – barang kepada
pengangkut yang ditunjuknya sendiri, tetapi penjual wajib
membayar ongkos angkut yang perlu untuk mengangkut barang
– barang tersebut sampai ke tempat tujuan.
Hal ini berarti bahwa pembeli memikul semua resiko dan
membayar setiap ongkos yang timbul setelah barang – barang
yang diserahkan secara demikian.
Syarat ini mewajibkan penjual mengurus formalitas ekspor dan
berlaku untuk alat angkut apa saja termasuk angkutan aneka
wahana (multimode transport).
8. CIP : Carriage an Insurance Paid To (named place of destination)
Penjual menyerahkan barang – barang kepada pengangkut yang
ditunjuknya sediri, namun penjual wajib pula membayar ongkos
angkut yang perlu untuk mengangkut barang – barang itu sampai
ke tempat tujuan yang telah disebut. Berarti pembeli memikul
semua resiko dan membayar semua ongkos yang timbul setelah
barang – barang yang diserahkan secara demikian.
Penjual juga wajib menutup asuransi terhadap resiko kerugian
dan kerusakan atas barang – barang yang menimpa pembeli
selama barang – barang dalam perjalanan.
Syarat ini berlaku bagi alat angkut apa saja.
9. DAF : Delivered at frontier (named place)
Bahwa penjual menyerahkan barang – barang bila barang –
barang tersebut telah ditempatkan ke dalam kewenangan
pembeli saat datangnya alat angkut, belum dibongkar, sudah
diurus formalitas impornya di tempat atau pada titik yang disebut
di wilayah perbatasan tetapi belum memasuki wilayah pabean
dari negara yang bertetangga.
Syarat ini berlaku untuk alat angkut apasaja bilamana barang –
barang tersebut harus diserahkan di perbatasan darat. Bila
penyerahan dilakukan di pelabuhan maka penyerahan harus
dilakukan di pelabuhan tujuan, di atas kapal, atau di dermaga
agar dapat dipakai syarat DES dan DEQ.
10. DES : Delivered Es Ship (named port of destination)
Adalah apabila penjual menyerahkan barang – barang bila barang
– barang itu ditempatkan ke dalam kewenangan pembeli di atas
kapal, belum diurus formalitas impornya, dipelabuhan tujuan
yang disebut.
Penjual wajib memikul semua biaya dan resiko yang terkait
dengan pengangkutan barang – barang itu samapi ke pelabuhan
tujuan yang disebut sebelum dibongkar.
Syarat ini hanya dipakai bila barang – barang akan diserahkan
melalui laut atau sungai atau dengan alat angkut aneka wahana
di atas kapal di pelabuhan tujuan.
11. DEQ : Delivered Ex Quay (named port of destination)
Penjual menyerahkan barang – barang bila barang – barang itu
ditempatkan ke dalam kewenangan pembeli di atas dermaga,
belum di urus formalitas impornya, di pelabuhan tujuan yang
disebut. Penjual wajib membayar semua biaya dan resko yang
terkait dengan pengangkutan barang – barang itu sampai ke
pelabuhan tujuan yang disebut dan membongkar barang –
barang itu sampai ke pelabuhan tujuan yang disebut dan
membongkar barang – barang tersebut di atas dermaga.
Bila pihak – pihak terkait menginginkan untuk memasukkan
menjadi tanggung jawab penjual, semua resiko dan biaya
pengelolaan barang – barang mulai dari dermaga ke tempat –
tempat lain di dalam kawasan pelabatau diluar kawasan, maka di
pakai syarat DDU atau DDP
12. DDU : Delivered Duty unpaid (named place of destination)
Adalah penjual menyerahkan barang – barang kepada pembeli,
belum diurus formlitas impornya, dan belum dibongkar dari atas
alat angkut yang baru datang di tempat tujuan yang disebut.
Penjual wajib memikul semua biaya dan resiko yang terkait
dengan pengangkutan barang – barang itu sampai ke sana,
kecuali bea masuk yang diperlukan di negara tujuan. Bea masuk
ini menjadi tanggung jawab pembeli, termasuk semua biaya dan
reiko yang disebabkan oleh kegagalan mengurus formalitas impor
pada waktunya.
Syarat ini dipakai untuk alat angkut apa saja, tetapi apabila
penyerahan barang akan dilakukan di pelabuhan tujuan di atas
kapal atau di atas dermaga, supaya dipakai syarat DES atau DEQ
13. DDP : Delivered Duty Paid (named place of destination)
Yaitu penjual menyerahkan barang – barang kepada pembeli
sudah diurus formalitas impornya, tetapi belum dibongkar dari
atas alat angkut yang baru datang di tempat tujuan yang disebut.
Penjual wajib memikul semua biaya dan resiko yang terkait
dengan pengangkutan barang – barang itu sampai ke sana,
termasuk bea masuk apa pun yang diperlukan di negara tujuan.
Syarat ini boleh dipakai untuk jenis alat angkut mana saja
D. Interaksi antara Incoterms dan CISG
CISG adalah perjanjian PBB yang memberikan hukum yang
berlaku untuk penjualan barang antara perusahaan yang berlokasi
di berbagai negara. Incoterms, dikembangkan oleh International
Chamber of Commerce, adalah seperangkat aturan (bukan hukum)
yang perjanjian dapat menggabungkan untuk menentukan hak-hak
dan kewajiban masing-masing pihak yang berkaitan dengan
transportasi dan pengiriman barang (dan bukan hanya secara
internasional).
Sebuah kontrak penjualan internasional yang diberikan
mungkin tunduk pada CISG dan mungkin memasukkan Incoterms,
tetapi tidak ada persyaratan bahwa terkait dengan kasus yang ada.
Sama mudahnya, sebuah kontrak dapat menolak CISG, dan
mungkin tidak menggunakan Incoterms.
Bagian interaksi terbesar dari Incoterms dan CIGS adalah pengiriman
dan penurunan resiko. Pengaturan resiko pada incoterms dan CIGS
memiliki beberapa kemiripan yang memfasilitasi interaksi antar
kedua instrumen. Dalam hal ini resiko berarti kecelakaan berupa
kehilangan maupun kerusakan barang yang disebabkan oleh perilaku
penanganan atau kelalaian dari satu pihak. Keduanya mengacu pada
resiko harga diluar dari lingkup regulasi resiko non-kinerja.
Baik incoterms dan CISG memiliki pengaturan yang berbeda
untuk situasi transportasi yang berbeda dan dimodelkan pada pola
dasar dari kontrak yang sama yaitu pembagian antara pengiriman
dan kontrak pengiriman. Kedua instrumen menghubungkan
berlalunya resiko ke transfer kontrol fisik atau ditempatkan pada
posisi memegang kendali atas barang dan mengasuransikan barang
terhadap bahaya apapun. Tampak pada perancang CISG yang
meminjam gagasan dasar aturan incoterms modern bahwa transfer
resiko saat menyerahkan barang ke pembawa seperti FCA, CPT, dan
CIP. Kedua instrumen membutuhkan idenfikasi barang ke kontrak
sebelumnya agar risiko dapat diteruskan ke pembeli.
Namun meskipun memiliki kesamaan, aturan CISG tidak selalu
mampu mengakomodasi perdagangan dengan jelas. Dalam kasus-
kasus tertentu ada yang kurang rinci atau lebih condong pada
incoterms. Sejauh itu, aturan incoterms menyimpang dari atau
memodifikasi aturan CISG tentang pengiriman dan berlalunya risiko.
Incoterms tidak mengatur situasi di mana kehilangan atau
kerusakan yang terjadi setelah risiko telah berlalu disebabkan oleh
tindakan atau kelalaian penjual. Di mana selama pelayaran di laut
apabila barang memburuk karena kegagalan penjual untuk
menginstruksikan operator untuk menyimpan barang di suhu
spesifik, incoterms tidak akan mencakup situasi seperti itu, tapi
hanya berurusan dengan risiko kehilangan atau kerusakan insidentil.
Akibatnya itu pembeli akan tetap harus membayar harga pembelian.
Di sisi lain, CISG menyatakan bahwa pembelian akan
diberhentikan hari kewajibannya untuk membayar harga ketika
kerusakan disebabkan oleh tindakan atau kelalaian penjual. Ini
adalah contoh dari CISG bisa melengkapi aturan incoterms yang
kurang memadai.
BAB III

Kesimpulan

Incoterms menggabungkan penggunaan perdagangan ke dalam


kontrak baik melalui perjanjian atau dengan menggunakan pasal 9 CISG.
Karena incoterms berurusan dengan masalah seperti pengiriman dan
pengesampingan risiko yang juga diatur oleh CISG.

Disimpulkan bahwa incoterms tidak menggantikan CISG tetapi hanya


menggantikan mereka dalam beberapa hal khusus. Untuk selebihnya,
kedua instrumen berfungsi bersama-sama sebagai pelengkap dan
instrumen tambahan sebagai penyatuan hukum perdagangan. Melihat
bahwa baik CISG dan incoterms memiliki keterbatasan masing-masing, ada
banyak kemungkinan untuk kolaborasi. Aspek yang tidak mudah diatur atau
diatur secara tidak memadai oleh aturan incoterms dapat ditangani secara
efektif oleh CISG, begitu pula sebaliknya.

Kesimpulannya hubungan antara incoterms dan CISG adalah salah


satu koeksistensi dan komplementasi. Kedua instrumen menyediakan
kerangka hukum seragam yang ditujuan untuk memfasilitasi penjualan
internasional. Kerja sama dan interaksi di antara mereka memperkuat
hukum yang mengatur penjualan internasional, yang pada akhirnya
menguntungkan perdagangan internasional.
Referensi :

Coetzee, Juana (2013). The Interplay Between Incoterms and The CISG.
Journal of Law and Commerce, Vol. 32 No. 1

You might also like