Professional Documents
Culture Documents
RAKYATKU.COM, LUTRA - Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani membuka Diskusi
Panel Percepatan Pencapaian Target Universal Akses Air Minum, dan Sanitasi di Aula Bappeda
Lutra, Kamis (13/7/2017).
Kepala Bappeda Lutra, Rusdi Rasyid mengatakan, diskusi panel ini dilaksanakan kerena Pemkab
Lutra menargetkan bisa mencapai universal access air minum dan sanitasi pada akhir 2019.
"Ini dimaknai bahwa 100% masyarakat mendapatkan layanan air minum dan sanitasi yang
layak," kata Rusdi dalam sambutannya.
Dia juga menambahkan Luwu Utara menempati peringkat ke-7 di Provinsi Sul-Sel dalam
program Air Minum dan Sanitasi.
"Kita di Luwu Utara menempati peringkat ke-7 di Provinsi Sulawesi Selatan mengenai program
air minum dan sanitasi ini," ujarnya.
Sementara Bupati Luwu Utara, Indah Outri Indriani mengatakan, pembangunan sektor
air minum dan sanitasi di Lutra sudah mengalami banyak kemajuan.
"Walaupun kita akui masih banyak tantangan yang cukup berarti terutama dalam hal
upaya perubahan perilaku masyarakat," jelasnya.
Indah menambahkan, 54 Desa di Luwu Utara sudah mencapai ODF (open Defecation
free), dan tahun ini direncanakan mendeklarasikan minimal satu kecamatan ODF.
"Saya minta anggota DPRD agar diberikan kebijakan, dan dukungan mengenai
program air bersih dan sanitasi yang akan dijalankan ini," pungkasnya.
umat, 20 Juli 2018 20:04 WITA
Pendampingan ini khususnya daerah yang capaian air bersihnya masih dibawah 50 persen,
seperti daerah Tana Toraja dan Toraja Utara.
Adapun data BPS 2016 untuk capaian air bersih terendah Tana Toraja hanya 42,7 persen dan
Toraja Utara 51,5 persen. Sedangkan yang tertinggi Makassar (97,82 persen), Bantaeng (92,2
persen), Parepare (90,17 persen), Palopo (89,5 persen) dan Kepulauan Selayar (79,86 persen).
MoU ini terkait Program USAID Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan
Lingkungan Untuk Semua (USAID IUWASH PLUS) akan dilaksanakan selama 5 tahun untuk
mendukung Pemerintah Indonesia meningkatkan akses air minum dan layanan sanitasi serta
perbaikan perilaku hygiene masyarakat
miskin dan kelompok rentan di perkotaan.
Latar Belakang Kegiatan Air minum dan sanitasi adalah kebutuhan dasar manusia.
Pemerintah Indonesia mempunyai target yang cukup ambisius yaitu universal akses
100-0-100 tahun 2019 sesuai dengan Rencana Program Jangka Menengah (RPJM)
20015-2019 layanan dasar air minum dan sanitasi dapat dinikmati oleh seluruh rakyat
Indonesia, dan mendorong menuju "Suistanable Development Goal" tahun 2030.
Untuk mewujudkan cita-cita ini tentunya diperlukan partisipasi pelaku terkait yang
memiliki peran kunci dalam pemenuhan standar pelayanan minimum bagi masyarakat
untuk sektor air minum dan sanitasi, yaitu Pemerintah Daerah dan juga masyarakat.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan USAID IUWASH PLUS sebelumya telah
menyepakati kerjasama berdasarkan nota kesapahaman no. 043/N/PEM-MoU/2017
atau 0I/IUWASH PLUS/PA-Pr/V/2017 tentang Implementasi Program Indonesia
Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan Untuk Semua
(UWASH PLUS) yang telah berakhir pada tanggal 18 Mei 2018.
"Ini melanjutkan apa yang telah dilakukan di Sulsel. Komitmen pemerintah sangat
kuat, dan kebutuhan untuk air bersih ini besar. Kami sudah siap melakukan apapun
yang bisa kita lakukan untuk membantu memajukan kebutuhan air bersih," tutur Louis
O'Brien.
Program ini dilanjutkan dan di tahun 2019 melalui upaya penguatan kapasitas
pemerintah daerah di provinsi Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Barru, Kabupaten
Bantaeng, Kabupaten Bulukumba dan Kota Makassar.
"Saya melihat pemerintah Sulsel sangat profesioanl dan berpikir lebih maju dan
sangat mengetahui sektor ini, Pemprov Sulsel adalah parner yang baik," tutupnya.
MAKASSAR
SULSELSATU.com, MAKASSAR – Pemprov Sulsel dan USAID IUWASH PLUS
melanjutkan kerja sama terkait ketersediaan air bersih dan sanitasi di sejumlah daerah di Sulsel.
Kerja sama ini ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) yang dilakukan
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( Bappeda) Sulsel dan Chief of Party
USAID/Indonesia IUWASH PLUS, Louis O’Brien disaksikan langsung oleh Pj Gubernur Sulsel,
Sumarsono di Rujab Gubernur, Kamis, (19/07/2018).
“Jadi itu, terkait mereka melakukan asistensi terkait ketersedian air bersih di Makassar, Barru,
Bulukumba dan Banteng dan pesan Pak Gubernur kalau bisa rentang perjanjian itu sampai tahun
2021. Tetapi tidak menutup kemungkinan bisa memeperluas cakupan pendampingan,” kata Jufri.
Pendampingan ini khususnya daerah yang capaian air bersihnya masih dibawah 50 persen,
seperti daerah Tana Toraja dan Toraja Utara.
Adapun data BPS 2016 untuk capaian air bersih terendah Tana Toraja hanya 42,7 persen dan
Toraja Utara 51,5 persen. Sedangkan yang tertinggi Makassar (97,82 persen), Bantaeng (92,2
persen), Parepare (90,17 persen), Palopo (89,5 persen) dan Kepulauan Selayar (79,86 persen).
MoU ini terkait Program USAID Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan
Lingkungan Untuk Semua (USAID IUWASH PLUS) akan dilaksanakan selama 5 tahun untuk
mendukung Pemerintah Indonesia meningkatkan akses air minum dan layanan sanitasi serta
perbaikan perilaku hygiene masyarakat miskin dan kelompok rentan di perkotaan.
Program dilaksanakan oleh DAI Global LLC bekerjasama dengan instansi Pemerintah, donor,
pihak swasta, LSM, kelompok masyarakat serta mitra lainnya untuk mendukung pencapaian
target Akses Universal 2019 untuk sektor air minum dan sanitasi.
Meski berada di pinggir pantai, akses masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
terhadap air bersih ternyata sangat buruk. Ditambah lagi ancaman keberadaan
kawasan industri.
“Kita mendapati fakta bahwa sebagian besar wilayah pesisir terutama pulau kecil
sangat sulit mendapatkan air bersih dan terus bertambah sulit dari waktu ke waktu.
Jika pun ada mereka perlu mengeluarkan biaya yang lumayan untuk menikmati air,”
kata Yusran Nurdin Massa, Direktur Blue Forests, di Makassar, Sulawesi Selatan,
Kamis (22/3/2018).
Kawasan pesisir memang memiliki sumber daya air terbatas, ditambah privatisasi
dan penggunaan air skala besar justru dilakukan oleh industri, baik itu pabrik
ataupun perhotelan, yang sebagian besar berada di wilayah pesisir. Belum lagi
ancaman intrusi air laut dan terganggunya kualitas air tanah akibat sanitasi
lingkungan yang buruk maupun pencemaran.
perempuan mendorong gerobak berisi air bersih di Makassar, Sulawesi Selatan. Perempuan di
kota dan pesisir memiliki kerentanan terkena dampak perubahan iklim, termasuk soal
keterbatasan air bersih. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
“Mereka mengandalkan air hujan kala musim hujan. Sama halnya yang dirasakan
masyarakat di Asmat,” ungkap Yusran.
Padahal aksesibilitas masyarakat dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat
2, di mana dikatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyediakan akses air
minum bagi masyarakat.
“Intrusi air laut semakin banyak mengganggu kualitas air tanah di pesisir. Air
semakin asin. Beberapa hal menyebabkan hal ini, seperti pengambilan air tanah
yang besar dan tidak adanya filter alamiah yaitu mangrove di green belt.”
Banyak sumber air yang belum optimal dikelola untuk kebutuhan masyarakat pesisir
dan pulau. Misalnya, teknologi desalinasi air laut, yang bisa menjadi salah satu
sumber potensial.
“Hanya saja memang biayanya lumayan mahal dan butuh perawatan yang
memadai.”
“Dari hasil pemantauan hak atas air yang pernah kami lakukan menemukan bahwa
pelayanan atas hak air bersih di Kota Makassar belum adil dan merata, di mana
masyarakat miskin khususnya perempuan mengalami situasi ketidakadilan dalam
mengakses air bersih.”
Untuk mendapatkan air, perempuan harus mengantre di depan Masjid, mulai pukul
19.00-03.00, atau membeli di agen air.
Hal itu memberatkan perempuan karena kebutuhan air untuk kesehatan reproduksi
dan kegiatan keseharian seperti mencuci, memasak dan lainnya. Apalagi konstruksi
sosial menempatkan posisi perempuan pada ranah domestik.
“Jadi ketika krisis air terjadi maka perempuan akan merasakan dampak yang
berlapis. Padahal air adalah hak asasi manusia yang merupakan kewajiban negara
untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air bagi warga negaranya,”
katanya.
Perempuan dinilai sebagaim pihak yang paling merasakan dampak dari krisis air yang terjadi
karena peran produksi dan reproduksi mereka dalam keluarga. Mereka yang sangat dekat air
untuk kesehatan reproduksinya dan kegiatan rumah tangga seperti mencuci, memasak, mengurus
anak, dan lainnya. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
Menurut Asmar Exwar, Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, saat ini ancaman terhadap
krisis air lebih banyak pada wilayah kabupaten yang memiliki banyak konsesi IUP
dan kawasan perkotaan.
Kota Makassar misalnya, suplai airnya dapat dilihat dari kondisi yang
mempengaruhi, seperti kelestarian kawasan pada daerah aliran sungai Lekopacing
di Kabupaten Maros dan sungai Moncongloe dan Jeneberang di Kabupaten Gowa.
Di sisi lain, kondisi kota Makassar juga sudah sangat rapuh mempertahankan
ketersediaan air tanah untuk konsumsi. Lahan kota berubah menjadi kawasan
pemukiman dan bisnis. Ruang hijau dan wilayah resapan sangat minim, kurang dari
10% dari luas kota.
Penggunaan air tanah yang masif oleh sektor industri dan perhotelan berdampak
negatif bagi lingkungan dan memicu penurunan muka tanah.
Wilayah seperti Biringkanayya, Daya atau kawasan industri telah mengalami intrusi
air laut sehingga air tanah menjadi asin sehingga tidak dapat dikonsumsi.
“Penurunan permukaan tanah jika dibiarkan maka akan mudah terpapar banjir
genangan atau rob karena pengaruh pasang air laut ditambah kerentanan akibat
penimbunan laut yang sementara berjalan. Rencana besar proyek reklamasi seluas
4.000 ha akan memberikan pengaruh negatif pada lingkungan khususnya pada
wilayah pesisir Kota Makassar dan sekitarnya,” jelasnya.
Proses reklamasi Pantai Makassar untuk area Centerpoint of Indonesia (CPI) atau COI masih
terus berlangsung, meski belum mendapat izin dari KKP. Pemprov Sulsel menggandeng PT
Ciputra Group bekerjasama dengan PT Yasmin. Dari 157 hektar pantai yang ditimbun, hanya 50
hektar yang akan dikelola oleh Pemprov Sulsel, selebihnya akan dikelola oleh swasta dengan
mekanisme HGU. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
Asmar juga menyoroti ketersediaan air terkait kondisi ekosistem karst di Kabupaten
Maros dan Pangkep. Kawasan karst dengan sistem hidrologinya sebagai cadangan
air alami, juga tereksploitasi pertambangan semen dan marmer.
Terkait hal ini, Asmar berharap pemerintah melakukan moratorium izin baru
pertambangan dan secara bertahap melakukan pengurangan IUP.
Secara nasional, terkait peringatan Hari Air 2018 22 Maret, sejumlah NGO yang
terdiri dari WALHI, Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat Hak Atas Air, Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan Advokasi Tambang, Debt
Watch dan Konsorsium Pembaruan Agraria menyerukan dua hal.
Pertama, kembalikan hak rakyat atas air, karena sejatinya air merupakan hak yang
harusnya dikembalikan pengelolaannya pada komunitas, masyarakat adat,
komunitas perempuan, dan lain-lain.
Kedua, penegakan hukum bagi korporasi perusak lingkungan ekosistem air. Selama
ini, air oleh pengambil kebijakan masih dilihat secara parsial, bukan sebagai
ekosistem yang menyeluruh. Akibatnya kasus-kasus kejahatan korporasi yang
menyebabkan kerusakan ekosistem karst, ekosistem gambut, maupun pencemaran
limbah industri jarang dikaitkan sebagai tanggung jawab korporasi terhadap
kerusakan lingkungan hidup, secara khusus pada ekosistem air.