Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
Tutor:
Meidyta Sinantryana, dr. Sp.KK
2
SKENARIO
Seorang perempuan usia 45 tahun datang dengan keluhan kulit melepuh dan ruam
merah hampir di seluruh badan sejak 2 hari yang lalu.
Data tambahan :
Mata merah dan bersekret
Bibir terasa bengkak, ketat dan nyeri seperti sariawan
Nyeri pada saat buang air kecil
Riwayat minum obat sebelumnya (+) yaitu “Panadol”
Pemeriksaan fisik : TD 130/90 mmHg, Nadi 100x/menit, RR 24x/menit,
temp 38oC
Pada pemeriksaan dermatologi : Nikolsky sign (+), Epidermolisis 20%
Pemeriksaan penunjang : Hb 11gr%, Leukosit 15.000, GDA 120mg/dL,
Ureum 40mg/dL
STEP 1
1. Nikolsky sign : (+) bila dilakukan penekanan minimal terjadi lekukkan
2. Epidermolisis : sekelompok penyakit jaringan ikat yang menyebabkan
lecet pada kulit
STEP 2
Kata kunci
Perempuan usia 45 tahun, kulit melepuh dan ruam merah, hampir seluruh
badan, Mata merah dan bersekret, Bibir terasa bengkak, ketat dan nyeri
seperti sariawan, Nyeri pada saat buang air kecil, Riwayat minum obat
sebelumnya (+) yaitu “Panadol”, Nikolsky sign (+), Epidermolisis 20%,
riwayat demam, leukosit meningkat, tekanan darah meningkat.
STEP 3
Rumusan masalah
1. Apa diagnosa dan diagnosa banding pada skenario ?
2. Apa penyebab timbulnya gejala pada skenario ?
3. Bagaimana efloresensi pada skenario ?
4. Bagaimana hubungan riwayat pasien perihal minum Panadol dengan
gangguan yang timbul?
5. Bagaimana penatalaksanaan yang sesuai pada skenario ?
6. Apa saja komplikasi yang mungkin terjadi ?
STEP 4
Jawaban Rumusan masalah
1. DX : Steven Johnson Syndrome
DD : Pemfigus vulgaris, pemfigoid bullosa, Dermatitishepertiformis
3
2. Hipersensivitas
3. Regio : Mata: Palpebra bersekret ; Mulut: edema
Makula eritema, ada bulla dan vesika
Nyeri saat kencing : kemungkinan lecet
4. Konsumsi obat Panadol hipersensitivitas type 3 dan 4 Terbentuknya
autoantibodi ke jaringan kapiler menimbulkan reaksi radang tibul
ruam timbul gejala yang di alami
5. Penatalaksanaan :
- Kortikosteroid
- Pemberian infus untuk menghindari syok
- Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi
6. Mata : Uveitis anterior, Ulserasi kornea, Kebutaan
Paru : pneumonia
Infeksi sistemik (sepsis)
Syok
STEP 5
Learning Objective
1. Menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding pada skenario
2. Menjelaskan etiologi dari diagnosa pada skenario
3. Menjelaskan patofisiolgi dari diagnosa pada skenario
4. Menjelaskan manifestasi klinis dari diagnosa pada skenario
5. Menjelaskan definisi pada penyakit-penyakit vesikobulosa
6. Menjelaskan indikasi pemeriksaan Nikolsky sign
7. Menjelaskan penatalaksanaan dan edukasi dari diagnosa pada skenario
8. Menjelaskan prognosis menurut SCORTEN
9. Menjelaskan tipe hipersensitifitas
Hipotesis
Berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan pasien di diagnosa Steven Johson
Syndrome dan dipicu oleh konsumsi obat Panadol sehingga terjadi
hipersensitifitas.
4
Peta konsep
Anamnesis
Mata merah
Bibir bengkak Kulit melepuh Nyeri saat BAK
bersekret
Diagnosais Pemeriksaan
banding penunjang
Diagnosis
Reaksi
hipersensitivitast
as
Penatalaksanaan n
5
1. Menjelaskan diagnosa dan diagnosa banding pada skenario
Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang
secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi
kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG
dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat
dideteksi adanya kompleks imun beredar.Biopsi kulit direncanakan bila lesi
klasik tak ada. Imunoflurosesensi direct bisa membantu diagnosa kasus-kasus
atipik.
Diagnosis SJS ditegakkan bila epidemolisis hanya ditemukan pada <10%
LPB, NET bila epidemiolisis >30% LPB dan overlap SSJ NET bila
epidemermolisis 10-30%. (Menaldi,2016)
Diagnosa Banding
a. Pemfigus Vulgaris
6
histopatologi pemfigus vulgaris2 Pemeriksaan imunologi berperan
penting; pemeriksaan imunofluorosensi direk ataupun indirek baik
terhadap antibodi serum maupun lesi kulit dapat mendukung diagnosis,
pemeriksaan antibodi pada lesi lebih spesifik dan sensitif dibandingkan
pada antibodi serum. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk
mengetahui adanya antibodi yang menyerang desmoglein 1 dan
desmoglein 3 menunjang diagnosis pemfigus vulgaris, sedangkan adanya
antibodi yang hanya menyerang desmoglein 1 menunjang diagnosis
pemfigus foliaceus. Pemeriksaan ELISA bersifat spesifik, sedangkan
pemeriksaaan imunofloresensi lebih sensitif. Pemeriksaan antibodi juga
dapat membantu menilai keberhasilan terapi, pada penderita yang telah
remisi tidak terdapat lagi antibodi.9 Ikeda, et al, membuat skoring derajat
pemfigus vulgaris, skoring tersebut berhubungan dengan pengobatan.
(William,2016)
b. Pemfigoid Bulosa
Etiologi PB adalah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi
produksi autoantibodi pada Pemfigoid Bulosa masih belum diketahui.
Sistem imun tubuh kita menghasilkan antibodi untuk melawan bakteri,
virus, atau zat asing yang berpotensi membahayakan. Untuk alasan yang
masih belum diketahui, tubuh dapat menghasilkan antibodi untuk suatu
jaringan tertentu dalam tubuh. Dalam Pemfigoid Bulosa, sistem kekebalan
menghasilkan antibodi terhadap membran basal kulit, lapisan tipis dari
serat yang menghubungkan lapisan luar kulit (dermis) dan lapisan
berikutnya dari kulit (epidermis). Antibodi ini memicu aktivitas inflamasi
yang menyebabkan kerusakan pada struktur kulit dan rasa gatal pada kulit.
Pemfigoid Bulosa (PB) ditandai oleh adanya bula subepidermal yang
besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik
ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement
membrane zone, IgG sirkulasi, dan antibodi IgG yang terikat pada
basement membrane zone. Nikolsky’s Sign negatif. (Indrawan, 2016)
c. NET
7
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) ialah reaksi mukokutan akut
yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis > 30% luas
permukaan badan (LPB), disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan
kematian. Makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas,
berkembang progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan
epidermis. 1 NET dibedakan dengan Sindrom Steven Johnson (SSJ) dari
luas permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. SSJ dan NET
ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena
kemiripan penemuan klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta
mekanisme, SJS dan NET ini dianggap variasi dan kontinu penyakit yang
dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta persentase permukaan
tubuh yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan
menggunakan istilah eritema multiforme mayor untuk SSJ dan NET. SJS
menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan kulit <
10% dari permukaan tubuh NET melibatkan perluasan > 30% dari luas
permukaan tubuh. SJS/NET menampilkan pasien dengan perluasan kulit
10-30% dari luas permukaan tubuh.(Yulisna,2017)
2. Menjelaskan etiologi dari diagnosa pada skenario
8
berlangsung selama 1-14 hari. Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai
gejala awal.
Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain (Djuanda,
2007) :
Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang pecah sewaktu-
waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak kehitaman
terutama pada bibir penderita. Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa
9
orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan
penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran
genital urinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.
10
hiperpigmentasi tanpa jaringan parut. Pada Pemphigus Vulgaris keadaan
umum buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur, dan biasanya generalisata
(Prihanti, 2013).
b. Pemfigoid Bulosa
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik residif pada kulit dan
membran mukosa yang ditandai dengan timbulnya bula subepidermal. Pada
penelitian dilaporkan bahwa pemfigoid bulosa memiliki tiga karakteristik
klinis berupa pruritus, urtikaria dan bula yang tegang. Penyakit ini sering
diderita pada orang tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh
dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang
tinggi. Pemfigoid bulosa merupakan salah satu penyakit autoimun yang
insidensinya meningkat mengikuti usia. Sebagian besar pasien dengan
pemfigoid bulosa berusia lebih dari 60 tahun dengan puncak insidensi pada
usia 80 tahun dan lebih tua (Nurhidayati, 2017).
Etiologi pemfigoid bulosa adalah autoimun, tetapi penyebab yang
menginduksi produksi autoantibodi pada pemfigoid bulosa masih belum
diketahui. Pada pemfigoid bulosa, dikenal autoantibodi Bullous Pemphigoid
Antigen 180 (BP180) yang juga dikenal sebagai kolagen tipe XVII atau
antigen BP2,dan Bullous Pemphigoid Antigen 230 (BP230) yang juga dikenal
sebagai BPAG1-e atau antigen BP1. Protein tersebut merupakan komponen
kompleks junctional adhesion disebut hemidesmosom yang tampak di epitel
kompleks dan berlapis,seperti pada kulit, membran mukosa,telinga, hidung,
dan area tenggorokan. Sebagian kecil kasus dapat dipicu oleh obat seperti
furosemid, sulfasalazine, penisilamin, dan kaptopril (Nurhidayati, 2017).
Karakteristik lesi kulit pemfigoid bulosa adalah lesi luas, bula berdinding
tegang yang timbul di kulit normal atau eritematosa, kadang-kadang
hemoragik, eksudat, Nikolsky’s sign negatif. Bula biasanya terdistribusi
simetris dan bertahan selama beberapa hari kemudian terjadi erosi dan
meninggalkan daerah berkrusta. Predileksi lesi yang terlibat meliputi fleksura
ekstrimitas dan abdomen (Nurhidayati, 2017).
c. Dermatitis Herpetiformis
11
Dermatitis herpetiformis (DH) atau dikenal juga sebagai morbus Duhring
adalah penyakit kulit autoimun yang bersifat kronik dan sangat gatal, disertai
timbulnya lesi papulovesikular yang berulang. Penyakit ini ditandai dengan
papul, vesikel, plak, urtika, eritema dan kelompok ekskoriasi di daerah
ekstensor, siku, lutut, bokong dan punggung yang terdistribusi secara
simetris.2,3 Dermatitis herpetiformis dikenal berhubungan dengan gluten-
sensitive enteropathy (GSE) atau celiac disease (CD) yang diyakini berperan
penting pada patogenesisnya. Lebih dari 90% pasien terbukti sensitif terhadap
gluten, dimulai dari limfositosis intraepitel jejunum sampai atrofi total vili
usus halus (Widyastuti, dkk., 2014).
Gluten adalah sejenis protein yang terdapat pada gandum, barley dan
gandum hitam, yang berperan pada patogenesis DH. Gluten mengandung
gliadin, yaitu suatu fraksi alkohol terlarut yang dipercaya sebagai komponen
antigen yang nantinya akan menimbulkan reaksi alergi. Penelitian HLA
menunjukkan adanya predisposisi genetik pada DH. Pasien dengan DH
menunjukkan peningkatan ekspresi HLA-A1, HLA-B8, HLA-DR3 dan HLA-
DQ2 (Widyastuti, dkk., 2014).
Lesi primer DH dapat berupa papul eritematosa, plak menyerupai
urtikaria, atau yang paling sering adalah vesikel. Bula besar jarang terjadi.
Vesikel, terutama yang timbul pada telapak tangan, dapat hemoragik. Hilang
timbulnya lesi secara terus menerus dapat menimbulkan hiperpigmentasi dan
hipopigmentasi. Pasien dapat datang dengan lesi berkrusta tanpa lesi primer.
Lesi berkelompok menyerupai herpes (herpetiformis) sering timbul pada
beberapa daerah, namun lesi dapat juga individual dan tidak berkelompok
(Widyastuti, dkk., 2014).
Keuntungan diet bebas gluten adalah terhindarnya efek samping yang
berhubungan dengan terapi dapson dan perbaikan gejala intestinal. Kerugian
terapi diet bebas gluten adalah ketidaknyamanan dan menyebabkan tidak
nafsu makan. Diet bebas gluten akan menghilangkan seluruh gejala kulit,
tetapi tidak menyembuhkan. Diet teratur dapat mencegah kekambuhan
penyakit dalam waktu lama pada sebagian besar pasien (Widyastuti, dkk.,
2014).
12
Pemberian dapson hanya akan menekan aktivitas penyakit, dan gejala akan
kambuh dalam 24-72 jam setelah penghentian terapi. Pilihan kedua adalah
sulfapiridin, tetapi obat ini sukar didapat karena jarang diproduksi, hanya
tersedia dan digunakan secara terbatas di Amerika Serikat. Sulfapiridin
dianggap mempunyai mekanisme kerja yang sama tetapi tingkat efektivitasnya
kurang dan insidens toksisitas lebih rendah dibandingkan dengan dapson.
Dosis awal yang dianjurkan adalah 500 mg tiga kali sehari, kemudian dosis
dapat dinaikkan dengan hati-hati sampai 2 gram tiga kali sehari. Pasien
dianjurkan banyak minum dan mengusahakan agar urin menjadi alkalis untuk
meminimalkan risiko nefrolitiasis (Widyastuti, dkk., 2014).
6. Menjelaskan indikasi pemeriksaan Nikolsky sign
13
Pembentukan lepuhan baru pada tekanan kecil (Nikolsky langsung) dan
pencukuran kulit karena penggosokan (Nikolsky tidak langsung) adalah tanda
pemfigus vulgaris, meskipun bukan diagnosis yang 100% andal. Selain itu,
pemeriksaan fisik lain, tanda Asboe-Hansen, harus digunakan untuk
menentukan tidak adanya hubungan intraseluler yang memegang sel epidermis
bersama (Corwin, 2016).
14
jam yang diberikan selama 7 hari, lalu dilakukan tappering off sampai dosis 5
mg/hari lalu kemudian diganti dengan kortikosteroid oral saat pasien pulang.
Lalu diberikan pula antibiotik sistemik berupa gentamisin 80 mg/12 jam
diberikan selama 5 hari.
Kegawatdaruratan
Mortalitas secara primer ditentukan oleh banyaknya kulit yang terkelupas.
Ketika pengelupasan kulit terjadi kurang dari 10%, angka kematian berkisar
1-5%. Akan tetapi, ketika pengelupasan kulit mencapai lebih dari 30%, angka
mortalitas menjadi 25-35% dan mungkin mencapai 50%. Bakteremia atau
sepsis juga berkontribusi terhadap kematian.
Lesi akan terus bererupsi pada jasad sampai 2-3 minggu. Pembentukan
pseudomembran mukosa dapat mengakibatkan scar mukosa dan kehilangan
fungsi dari sistem organ yang terkena. Striktur esofagus dapat terjadi ketika
terdapat manifestasi yang hebat pada esofagus. Rusaknya mukosa di
trakeobronkial dapat mengakibatkan gagalnya pernapasan.
Sekuele okular dapat berupa ulserasi kornea dan uveitis anterior. Kebutaan
dapat terjadi sekunder terhadap keratitis berat atau panoftalmitis pada 3-10%
pasien. Stenosis vaginal dan scar penis pernah dilaporkan. Komplikasi renal
jarang terjadi (Djuanda,2007)
15
Prognosis pasien SJS diukur dengan sistem skoring SCORTEN. Tolak
ukur SCORTEN dalam menentukan prognosis adalah prediksi angka
kematian, bukan komplikasi. Penilaian meliputi tujuh faktor, yaitu usia, luas
permukaan tubuh yang terlibat, komorbiditas malignansi, takikardia, dan
beberapa pemeriksaan laboratorium. Setiap hasil positif diberi nilai 1,
sehingga total nilai SCORTEN adalah 0 hingga 7, dengan skor lebih tinggi
mengindikasikan prognosis yang lebih buruk. Parameter lain yang dapat
mempengaruhi prognosis pasien adalah neutropenia, trombositopenia, dan
kecepatan pemberhentian konsumsi obat penyebab pada pasien tersebut
(Mockenhaupt, 2008).
Faktor prognostik yang dinilai pada SCORTEN dan interpretasi adalah
sebagai berikut (Mockenhaupt, 2014):
- Usia > 40 tahun = 1
- Nadi > 120x/menit = 1
- Kanker atau keganasan hematologis = 1
- Urea serum >10 mmol/L (BUN >27 mg/dl) = 1
- Bikarbonat serum (20 mEq/L) = 1
- Glukosa serum > 14 mmol/L (>250 mg/dl)
Setiap hasil yang ditemukan positif diberi nilai 1, sehingga total nilai
SCORTEN adalah 0 hingga 7. Nilai SCORTEN lebih tinggi mengindikasikan
prognosis yang lebih buruk. Angka kematian berdasarkan nilai SCORTEN
adalah (Mockenhaupt, 2008).
1.1 = 3,2%
2 = 12,1%
3 = 35,3%
4 = 58,3%
5-7 = 90%
16
Reaksi hipersensitivitas dibagi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi: Tipe I, II, III, IV (Baratawidhay, 2006 )
17
menit sampai beberapa jam. Hipersensitivitas tipe II terutama diperantarai
oleh antibodi IgM atau IgG dan komplemen. Sel fagosit dan sel K juga
berperan. Lesinya mengandung antibodi, komplemen dan neutrofil. Test
diagnostik meliputi pendeteksian antibodi terhadap jaringan yang terlibat,
yang terdapat dalam sirkulasi, terdapatnya antibodi serta komplemen dalam
biopsi dengan imunofluoresen Pengobatan melibatkan agen anti-inflamasi dan
imuno-supresif.
18
autoimun dan infeksi (tuberkulosis, leprosi, blastomikosis, histoplasmosis,
leishmaniasis, dll.) dan granuloma yang terjadi karena infeksi dan antigen
asing. Bentuk lain dari hipersensitivitas tipe IV adalah dermatitis kontak
(racun Ivy, senyawa kimia, logam berat, dll.), dimana lesinya lebih papular.
Hipersensitivitas tipe IV dapat diklasifikasi menjadi 3 katagori tergantung
pada waktu onset, presentasi klinik dan histologikal.
19
Daftar Pustaka
20
Yulisna et all., (2017)Nekrolisis Epidermal Toksik: Laporan Kasus pada Pasien
Geriatri Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung 2 RSUD dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung
21