You are on page 1of 21

LAPORAN TUTORIAL

KULIT DAN KELAMIN


SKENARIO I

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5

Tutor:
Meidyta Sinantryana, dr. Sp.KK

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2018
KELOMPOK PENYUSUN

IMAM DWI WAHYUDI 6130014041


LINTAN KURNIA F. 6130014042
ALMEIR PRADHIPTA ANDRAS A. 6130014043
MARLIA ALIEf RACHMAWATI 6130014044
ALDANIA FAJRIN 6130014045
RIZKY AMALIA 6130014046
APRINA TRIMURTININGRUM 6130014047
PUTRI LAILATUL MAGHFIROH 6130014048
PUTRI FITRIA ERDIANTI 6130014049
NURLIDYA RIZKI LATIFAH 6130014050

2
SKENARIO
Seorang perempuan usia 45 tahun datang dengan keluhan kulit melepuh dan ruam
merah hampir di seluruh badan sejak 2 hari yang lalu.
Data tambahan :
 Mata merah dan bersekret
 Bibir terasa bengkak, ketat dan nyeri seperti sariawan
 Nyeri pada saat buang air kecil
 Riwayat minum obat sebelumnya (+) yaitu “Panadol”
 Pemeriksaan fisik : TD 130/90 mmHg, Nadi 100x/menit, RR 24x/menit,
temp 38oC
 Pada pemeriksaan dermatologi : Nikolsky sign (+), Epidermolisis 20%
 Pemeriksaan penunjang : Hb 11gr%, Leukosit 15.000, GDA 120mg/dL,
Ureum 40mg/dL
STEP 1
1. Nikolsky sign : (+) bila dilakukan penekanan minimal terjadi lekukkan
2. Epidermolisis : sekelompok penyakit jaringan ikat yang menyebabkan
lecet pada kulit
STEP 2
Kata kunci
 Perempuan usia 45 tahun, kulit melepuh dan ruam merah, hampir seluruh
badan, Mata merah dan bersekret, Bibir terasa bengkak, ketat dan nyeri
seperti sariawan, Nyeri pada saat buang air kecil, Riwayat minum obat
sebelumnya (+) yaitu “Panadol”, Nikolsky sign (+), Epidermolisis 20%,
riwayat demam, leukosit meningkat, tekanan darah meningkat.
STEP 3
Rumusan masalah
1. Apa diagnosa dan diagnosa banding pada skenario ?
2. Apa penyebab timbulnya gejala pada skenario ?
3. Bagaimana efloresensi pada skenario ?
4. Bagaimana hubungan riwayat pasien perihal minum Panadol dengan
gangguan yang timbul?
5. Bagaimana penatalaksanaan yang sesuai pada skenario ?
6. Apa saja komplikasi yang mungkin terjadi ?
STEP 4
Jawaban Rumusan masalah
1. DX : Steven Johnson Syndrome
DD : Pemfigus vulgaris, pemfigoid bullosa, Dermatitishepertiformis

3
2. Hipersensivitas
3. Regio : Mata: Palpebra bersekret ; Mulut: edema
Makula eritema, ada bulla dan vesika
Nyeri saat kencing : kemungkinan lecet
4. Konsumsi obat Panadol  hipersensitivitas type 3 dan 4  Terbentuknya
autoantibodi  ke jaringan kapiler  menimbulkan reaksi radang  tibul
ruam  timbul gejala yang di alami
5. Penatalaksanaan :
- Kortikosteroid
- Pemberian infus untuk menghindari syok
- Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi
6. Mata : Uveitis anterior, Ulserasi kornea, Kebutaan
Paru : pneumonia
Infeksi sistemik (sepsis)
Syok
STEP 5
Learning Objective
1. Menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding pada skenario
2. Menjelaskan etiologi dari diagnosa pada skenario
3. Menjelaskan patofisiolgi dari diagnosa pada skenario
4. Menjelaskan manifestasi klinis dari diagnosa pada skenario
5. Menjelaskan definisi pada penyakit-penyakit vesikobulosa
6. Menjelaskan indikasi pemeriksaan Nikolsky sign
7. Menjelaskan penatalaksanaan dan edukasi dari diagnosa pada skenario
8. Menjelaskan prognosis menurut SCORTEN
9. Menjelaskan tipe hipersensitifitas

Hipotesis
Berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan pasien di diagnosa Steven Johson
Syndrome dan dipicu oleh konsumsi obat Panadol sehingga terjadi
hipersensitifitas.

4
Peta konsep

Anamnesis

Riwayat mengkonsumsi Panodol

Mata merah
Bibir bengkak Kulit melepuh Nyeri saat BAK
bersekret

Diagnosais Pemeriksaan
banding penunjang

Diagnosis

Etiologi Manifestasi Patofisiolgi Prognosis Komplikasi

Reaksi
hipersensitivitast
as

Penatalaksanaan n

5
1. Menjelaskan diagnosa dan diagnosa banding pada skenario
Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang
secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi
kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG
dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat
dideteksi adanya kompleks imun beredar.Biopsi kulit direncanakan bila lesi
klasik tak ada. Imunoflurosesensi direct bisa membantu diagnosa kasus-kasus
atipik.
Diagnosis SJS ditegakkan bila epidemolisis hanya ditemukan pada <10%
LPB, NET bila epidemiolisis >30% LPB dan overlap SSJ NET bila
epidemermolisis 10-30%. (Menaldi,2016)
Diagnosa Banding
a. Pemfigus Vulgaris

Diagnosis pemfigus vulgaris dapat ditegakkan jika ditemukan hasil


positif pada pemeriksaan klinis, pemeriksaan histologi, dan uji
imunologik, atau dua tanda yang mengarah diagnosis pemfigus vulgaris
dan adanya uji imunologik. Pada pemeriksaan fisik terdapat Nikolsky
sign, tanda ini sensitif tetapi tidak spesifik. Nikolsky sign dilihat dengan
cara menggosokkan tangan dari daerah normal hingga ke lesi, hasil positif
jika kulit mengelupas, menandakan pelepasan lapisan superfisial lapisan
basal epidermis. Selain itu, terdapat Asboe-Hansen sign berupa gambaran
bulla yang melebar jika bagian tengah bulla ditekan. Gambaran histologi
pada biopsi lesi pemfigus vulgaris berupa gambaran bulla suprabasiler
dengan akantolisis. Lapisan antara stratum basale epidermis dan bagian
epidermis lain yang lebih superfisial tampak lepas dan membentuk bulla.
Kadang tampak sel keratinosit yang lepas ke dalam bulla. Gambar

6
histopatologi pemfigus vulgaris2 Pemeriksaan imunologi berperan
penting; pemeriksaan imunofluorosensi direk ataupun indirek baik
terhadap antibodi serum maupun lesi kulit dapat mendukung diagnosis,
pemeriksaan antibodi pada lesi lebih spesifik dan sensitif dibandingkan
pada antibodi serum. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk
mengetahui adanya antibodi yang menyerang desmoglein 1 dan
desmoglein 3 menunjang diagnosis pemfigus vulgaris, sedangkan adanya
antibodi yang hanya menyerang desmoglein 1 menunjang diagnosis
pemfigus foliaceus. Pemeriksaan ELISA bersifat spesifik, sedangkan
pemeriksaaan imunofloresensi lebih sensitif. Pemeriksaan antibodi juga
dapat membantu menilai keberhasilan terapi, pada penderita yang telah
remisi tidak terdapat lagi antibodi.9 Ikeda, et al, membuat skoring derajat
pemfigus vulgaris, skoring tersebut berhubungan dengan pengobatan.
(William,2016)

b. Pemfigoid Bulosa
Etiologi PB adalah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi
produksi autoantibodi pada Pemfigoid Bulosa masih belum diketahui.
Sistem imun tubuh kita menghasilkan antibodi untuk melawan bakteri,
virus, atau zat asing yang berpotensi membahayakan. Untuk alasan yang
masih belum diketahui, tubuh dapat menghasilkan antibodi untuk suatu
jaringan tertentu dalam tubuh. Dalam Pemfigoid Bulosa, sistem kekebalan
menghasilkan antibodi terhadap membran basal kulit, lapisan tipis dari
serat yang menghubungkan lapisan luar kulit (dermis) dan lapisan
berikutnya dari kulit (epidermis). Antibodi ini memicu aktivitas inflamasi
yang menyebabkan kerusakan pada struktur kulit dan rasa gatal pada kulit.
Pemfigoid Bulosa (PB) ditandai oleh adanya bula subepidermal yang
besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik
ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement
membrane zone, IgG sirkulasi, dan antibodi IgG yang terikat pada
basement membrane zone. Nikolsky’s Sign negatif. (Indrawan, 2016)
c. NET

7
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) ialah reaksi mukokutan akut
yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis > 30% luas
permukaan badan (LPB), disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan
kematian. Makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas,
berkembang progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan
epidermis. 1 NET dibedakan dengan Sindrom Steven Johnson (SSJ) dari
luas permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. SSJ dan NET
ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena
kemiripan penemuan klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta
mekanisme, SJS dan NET ini dianggap variasi dan kontinu penyakit yang
dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta persentase permukaan
tubuh yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan
menggunakan istilah eritema multiforme mayor untuk SSJ dan NET. SJS
menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan kulit <
10% dari permukaan tubuh NET melibatkan perluasan > 30% dari luas
permukaan tubuh. SJS/NET menampilkan pasien dengan perluasan kulit
10-30% dari luas permukaan tubuh.(Yulisna,2017)
2. Menjelaskan etiologi dari diagnosa pada skenario

Etiologi dari SJS sulit ditentukan dengan pasti karena penyebabnya


meliputi berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan
respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SJS
diantaranya: infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa,
penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan
(coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), Graft Versus Host
Disease dan radioterapi.

3. Menjelaskan patofisiolgi dari diagnosa pada skenario


4. Menjelaskan manifestasi klinis dari diagnosa pada scenario

Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat


akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala,
batuk berdahak, pilek,nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat

8
berlangsung selama 1-14 hari. Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai
gejala awal.

Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain (Djuanda,
2007) :

a. Kelainan pada kulit

Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson,


antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula,
vesikel, dan bula. Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya
lesi target atau targetoid lesions. Berbeda dengan lesi target pada eritema
multiforme, lesi target pada sindrom Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal
datar yang hanya memiliki 2 zona warna dengan batasan yang buruk. Selain
itu, makula purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh
penderita sindrom Stevens-Johnson. Lesi yang muncul dapat pecah dan
meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan
terhadap infeksi sekunder. Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini.
Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tert
ekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menye
bar kurang dari10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson.
Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic Epidermal Necrolysis
(SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh, maka disebut Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN).

b. Kelainan pada mukosa

Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan


esofageal,namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian
genital. Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema,
pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis. Pada mukosa mulut, kelainan
dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, mukosa bukal mulut. 

Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang pecah sewaktu-
waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak kehitaman
terutama pada bibir penderita. Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa

9
orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan
penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran
genital urinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.

c. Kelainan pada mata

Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.


Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat
merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat
menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata.
Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata

5. Menjelaskan definisi pada penyakit-penyakit vesikobulosa


a. Pemfigus Vulgaris
Pemphigus Vulgaris merupakan penyakit autoimun dengan manifestasi
berupa kondisi lepuhan pada permukaan kulit dan atau mukosa. Hal ini dapat
terjadi karena kerusakan atau hilangnya adhesi intersel akibat autoantibody
IgG, kadang-kadang IgA dan IgM terutama terhadap desmoglein, dapat juga
pada desmoglein, sehingga menyebabkan pelepasan sel epitel yang dikenal
dengan akantolisis (Prihanti, 2013).
Penyebab pasti timbulnya penyakit ini belum diketahui, namun
kemungkinan yang relevan adalah berkaitan dengan faktor genetik, lebih
sering menyerang pasien yang sudah menderita penyakit autoimun lainnya
(terutama miastenia gravis dan timoma), serta dapat dipicu karena penggunaan
penisilin dan captopril. Kelainan pada kulit yang ditimbulkan akibat PV dapat
bersifat lokal ataupun menyebar, terasa panas kulit yang ditimbulkan akibat
PV dapat bersifat lokal ataupun menyebar, terasa panas, sakit, dan biasanya
terjadi pada daerah yang terkena tekanan dan lipatan paha, wajah, ketiak, kulit
kepala, badan, dan umbilicus (Prihanti, 2013).
Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan effloresensi primer berupa
makula eritema dan bula. Sedangkan effloresensi sekundernya berupa krusta
dan erosi. Hal ini terjadi karena dinding bula mudah pecah dan menimbulkan
daerah – daerah erosi yang luas (denuded area), basah, mudah berdarah, dan
tertutup krusta. Bila terjadi penyembuhan, lesi meninggalkan bercak – bercak

10
hiperpigmentasi tanpa jaringan parut. Pada Pemphigus Vulgaris keadaan
umum buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur, dan biasanya generalisata
(Prihanti, 2013).
b. Pemfigoid Bulosa
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik residif pada kulit dan
membran mukosa yang ditandai dengan timbulnya bula subepidermal. Pada
penelitian dilaporkan bahwa pemfigoid bulosa memiliki tiga karakteristik
klinis berupa pruritus, urtikaria dan bula yang tegang. Penyakit ini sering
diderita pada orang tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh
dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang
tinggi. Pemfigoid bulosa merupakan salah satu penyakit autoimun yang
insidensinya meningkat mengikuti usia. Sebagian besar pasien dengan
pemfigoid bulosa berusia lebih dari 60 tahun dengan puncak insidensi pada
usia 80 tahun dan lebih tua (Nurhidayati, 2017).
Etiologi pemfigoid bulosa adalah autoimun, tetapi penyebab yang
menginduksi produksi autoantibodi pada pemfigoid bulosa masih belum
diketahui. Pada pemfigoid bulosa, dikenal autoantibodi Bullous Pemphigoid
Antigen 180 (BP180) yang juga dikenal sebagai kolagen tipe XVII atau
antigen BP2,dan Bullous Pemphigoid Antigen 230 (BP230) yang juga dikenal
sebagai BPAG1-e atau antigen BP1. Protein tersebut merupakan komponen
kompleks junctional adhesion disebut hemidesmosom yang tampak di epitel
kompleks dan berlapis,seperti pada kulit, membran mukosa,telinga, hidung,
dan area tenggorokan. Sebagian kecil kasus dapat dipicu oleh obat seperti
furosemid, sulfasalazine, penisilamin, dan kaptopril (Nurhidayati, 2017).
Karakteristik lesi kulit pemfigoid bulosa adalah lesi luas, bula berdinding
tegang yang timbul di kulit normal atau eritematosa, kadang-kadang
hemoragik, eksudat, Nikolsky’s sign negatif. Bula biasanya terdistribusi
simetris dan bertahan selama beberapa hari kemudian terjadi erosi dan
meninggalkan daerah berkrusta. Predileksi lesi yang terlibat meliputi fleksura
ekstrimitas dan abdomen (Nurhidayati, 2017).
c. Dermatitis Herpetiformis

11
Dermatitis herpetiformis (DH) atau dikenal juga sebagai morbus Duhring
adalah penyakit kulit autoimun yang bersifat kronik dan sangat gatal, disertai
timbulnya lesi papulovesikular yang berulang. Penyakit ini ditandai dengan
papul, vesikel, plak, urtika, eritema dan kelompok ekskoriasi di daerah
ekstensor, siku, lutut, bokong dan punggung yang terdistribusi secara
simetris.2,3 Dermatitis herpetiformis dikenal berhubungan dengan gluten-
sensitive enteropathy (GSE) atau celiac disease (CD) yang diyakini berperan
penting pada patogenesisnya. Lebih dari 90% pasien terbukti sensitif terhadap
gluten, dimulai dari limfositosis intraepitel jejunum sampai atrofi total vili
usus halus (Widyastuti, dkk., 2014).
Gluten adalah sejenis protein yang terdapat pada gandum, barley dan
gandum hitam, yang berperan pada patogenesis DH. Gluten mengandung
gliadin, yaitu suatu fraksi alkohol terlarut yang dipercaya sebagai komponen
antigen yang nantinya akan menimbulkan reaksi alergi. Penelitian HLA
menunjukkan adanya predisposisi genetik pada DH. Pasien dengan DH
menunjukkan peningkatan ekspresi HLA-A1, HLA-B8, HLA-DR3 dan HLA-
DQ2 (Widyastuti, dkk., 2014).
Lesi primer DH dapat berupa papul eritematosa, plak menyerupai
urtikaria, atau yang paling sering adalah vesikel. Bula besar jarang terjadi.
Vesikel, terutama yang timbul pada telapak tangan, dapat hemoragik. Hilang
timbulnya lesi secara terus menerus dapat menimbulkan hiperpigmentasi dan
hipopigmentasi. Pasien dapat datang dengan lesi berkrusta tanpa lesi primer.
Lesi berkelompok menyerupai herpes (herpetiformis) sering timbul pada
beberapa daerah, namun lesi dapat juga individual dan tidak berkelompok
(Widyastuti, dkk., 2014).
Keuntungan diet bebas gluten adalah terhindarnya efek samping yang
berhubungan dengan terapi dapson dan perbaikan gejala intestinal. Kerugian
terapi diet bebas gluten adalah ketidaknyamanan dan menyebabkan tidak
nafsu makan. Diet bebas gluten akan menghilangkan seluruh gejala kulit,
tetapi tidak menyembuhkan. Diet teratur dapat mencegah kekambuhan
penyakit dalam waktu lama pada sebagian besar pasien (Widyastuti, dkk.,
2014).

12
Pemberian dapson hanya akan menekan aktivitas penyakit, dan gejala akan
kambuh dalam 24-72 jam setelah penghentian terapi. Pilihan kedua adalah
sulfapiridin, tetapi obat ini sukar didapat karena jarang diproduksi, hanya
tersedia dan digunakan secara terbatas di Amerika Serikat. Sulfapiridin
dianggap mempunyai mekanisme kerja yang sama tetapi tingkat efektivitasnya
kurang dan insidens toksisitas lebih rendah dibandingkan dengan dapson.
Dosis awal yang dianjurkan adalah 500 mg tiga kali sehari, kemudian dosis
dapat dinaikkan dengan hati-hati sampai 2 gram tiga kali sehari. Pasien
dianjurkan banyak minum dan mengusahakan agar urin menjadi alkalis untuk
meminimalkan risiko nefrolitiasis (Widyastuti, dkk., 2014).
6. Menjelaskan indikasi pemeriksaan Nikolsky sign

Tanda Nikolsky adalah tanda dermatologis klinis, dinamai Pyotr


Nikolsky (1858-1940), seorang dokter Rusia yang terlatih dan bekerja di
Kekaisaran Rusia. Tanda ini hadir ketika sedikit menggosok kulit
menghasilkan pengelupasan lapisan terluar. Contoh umum adalah
menempatkan penghapus pensil di atap lesi dan memutar pensil dengan
gerakan memutar antara ibu jari dan telunjuk. Jika lesi dibuka (yaitu, kulit
mengelupas), maka tanda Nikolsky ada / positif (Moss, 1986).

Tanda Nikolsky hampir selalu ada di Stevens-Johnson Syndrome /


nekrolisis epidermal toksik dan sindrom kulit tersiram kulit stafilokokus, yang
disebabkan oleh toksin eksfoliatif Staphylococcus aureus. Hal ini juga terkait
dengan pemfigus vulgaris dan pemphigus foliaceus. Hal ini berguna dalam
membedakan antara diagnosis pemphigus vulgaris atau pemfigoid membran
mukosa (di mana tanda hadir) dan pemfigoid bulosa (jika tidak ada). Tanda
Nikolsky adalah dislodgement dari epidermis superfisial yang utuh oleh
kekuatan geser, menunjukkan bidang pembelahan pada kulit di persimpangan
dermal-epidermal. Gambaran histologis melibatkan lesi yang lebih tipis dan
lemah dari lesi kulit itu sendiri ke kulit normal - yang mengakibatkan
pelepasan lebih mudah (Moushey, 2006).

13
Pembentukan lepuhan baru pada tekanan kecil (Nikolsky langsung) dan
pencukuran kulit karena penggosokan (Nikolsky tidak langsung) adalah tanda
pemfigus vulgaris, meskipun bukan diagnosis yang 100% andal. Selain itu,
pemeriksaan fisik lain, tanda Asboe-Hansen, harus digunakan untuk
menentukan tidak adanya hubungan intraseluler yang memegang sel epidermis
bersama (Corwin, 2016).

7. Menjelaskan penatalaksanaan dan edukasi dari diagnosa pada


skenario

Penatalaksanaan umum pada pasien meliputi perawatan di tempat khusus


untuk mencegah infeksi, mengidentifikasi dan menghentikan penggunaan
obat penyebab, serta memberikan informasi mengenai penyakit pasien. Pasien
dan keluarga juga diberikan edukasi bahwa penyakit ini bukanlah penyakit
menular, melainkan disebabkan karena adanya alergi obat, sehingga
diperlukan identifikasi obat yang dikonsumsi oleh pasien. pasien yang pernah
mengalami SSJ akan mudah mengalami rekurensi. Pasien harus diberikan
edukasi untuk lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi obat. Hal-hal yang
harus diperhatikan adalah:
 Mencatat riwayat alergi
 Mencatat nama-nama obat yang menyebabkan alergi
 Pelaporan kasus SSJ dan pencatatan rekam medis yang baik
 Tidak menggunakan obat yang sama ataupun obat dalam golongan yang
sama dengan obat penyebab
 Tidak menggunakan obat secara sembarangan tanpa resep dokter
Dokter juga perlu berhati-hati untuk tidak memberikan obat-obatan yang
diketahui memiliki risiko tinggi ataupun sedang untuk SSJ, kecuali sangat
dibutuhkan.
Bila gejala muncul, sebaiknya pasien segera dibawa ke rumah sakit.
Penatalaksanaan khusus meliputi pemberian IVFD RL 20 tetes/menit,
kortikostreroid topikal Triamsinolon 0,1% yang dioleskan pada bibir pasien
dan kortikosteroid sistemik berupa deksametason dengan dosis awal 5 mg/8

14
jam yang diberikan selama 7 hari, lalu dilakukan tappering off sampai dosis 5
mg/hari lalu kemudian diganti dengan kortikosteroid oral saat pasien pulang.
Lalu diberikan pula antibiotik sistemik berupa gentamisin 80 mg/12 jam
diberikan selama 5 hari.
Kegawatdaruratan
Mortalitas secara primer ditentukan oleh banyaknya kulit yang terkelupas.
Ketika pengelupasan kulit terjadi kurang dari 10%, angka kematian berkisar
1-5%. Akan tetapi, ketika pengelupasan kulit mencapai lebih dari 30%, angka
mortalitas menjadi 25-35% dan mungkin mencapai 50%. Bakteremia atau
sepsis juga berkontribusi terhadap kematian.
Lesi akan terus bererupsi pada jasad sampai 2-3 minggu. Pembentukan
pseudomembran mukosa dapat mengakibatkan scar mukosa dan kehilangan
fungsi dari sistem organ yang terkena. Striktur esofagus dapat terjadi ketika
terdapat manifestasi yang hebat pada esofagus. Rusaknya mukosa di
trakeobronkial dapat mengakibatkan gagalnya pernapasan.
Sekuele okular dapat berupa ulserasi kornea dan uveitis anterior. Kebutaan
dapat terjadi sekunder terhadap keratitis berat atau panoftalmitis pada 3-10%
pasien. Stenosis vaginal dan scar penis pernah dilaporkan. Komplikasi renal
jarang terjadi (Djuanda,2007)

8. Menjelaskan komplikasi dan prognosis menurut SCORTEN


Komplikasi
Komplikasi primer yang didapatkan pada pasien SJS yakni bercak
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi, komplikasi sekunder yakni kelainan
pada mata (keratitis, lagoftalmus, simblefaron, erosi kornea) dan komplikasi
tersier adalah kelainan pada liver, yakni didapatkan peningkatan serum
transaminase. Penurunan sistem pertahanan tubuh, luasnya epidermolisis akan
menurunkan fungsi kulit sebagai barrier tubuh sehingga dapat sebagai pintu
masuknya kuman ke dalam tubuh, hal ini dapat menyebabkan sepsis
(Mockenhaupt, 2008).
Prognosis

15
Prognosis pasien SJS diukur dengan sistem skoring SCORTEN. Tolak
ukur SCORTEN dalam menentukan prognosis adalah prediksi angka
kematian, bukan komplikasi. Penilaian meliputi tujuh faktor, yaitu usia, luas
permukaan tubuh yang terlibat, komorbiditas malignansi, takikardia, dan
beberapa pemeriksaan laboratorium. Setiap hasil positif diberi nilai 1,
sehingga total nilai SCORTEN adalah 0 hingga 7, dengan skor lebih tinggi
mengindikasikan prognosis yang lebih buruk. Parameter lain yang dapat
mempengaruhi prognosis pasien adalah neutropenia, trombositopenia, dan
kecepatan pemberhentian konsumsi obat penyebab pada pasien tersebut
(Mockenhaupt, 2008).
Faktor prognostik yang dinilai pada SCORTEN dan interpretasi adalah
sebagai berikut (Mockenhaupt, 2014):
- Usia > 40 tahun = 1
- Nadi > 120x/menit = 1
- Kanker atau keganasan hematologis = 1
- Urea serum >10 mmol/L (BUN >27 mg/dl) = 1
- Bikarbonat serum (20 mEq/L) = 1
- Glukosa serum > 14 mmol/L (>250 mg/dl)

Setiap hasil yang ditemukan positif diberi nilai 1, sehingga total nilai
SCORTEN adalah 0 hingga 7. Nilai SCORTEN lebih tinggi mengindikasikan
prognosis yang lebih buruk. Angka kematian berdasarkan nilai SCORTEN
adalah (Mockenhaupt, 2008).
1.1 = 3,2%
2 = 12,1%

3 = 35,3%

4 = 58,3%

5-7 = 90%

9. Menjelaskan tipe hipersensitifitas

16
Reaksi hipersensitivitas dibagi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi: Tipe I, II, III, IV (Baratawidhay, 2006 )

Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

Juga dikenal sebagai hipersensitivitas tipe cepat atau anafilaksis, yang


dapat terjadi pada kulit (urtikaria dan eksim), mata (konjungtivitas),
nasofaring (rinorea, rinitis), jaringan bronkhopulmonari (asma) dan traktus
gastro-intestinal (gastroenteritis). Reaksinya dapat menyebabkan simtom
ketidaknyamanan minor sampai kematian. Waktu yang diperlukan 15-30
menit dari saat terjadinya paparan antigen (alergen), meskipun kadang-kadang
mempunyai onset yang lebih panjang (10-12 jam ).

Reaksi hipersensitivitas tipe I, diperantarai antibodi IgE. Komponen sel


utama yang terlibat: sel mast atau basofil. Reaksi dapat diperbesar dan/atau
dimodifikasi oleh platelet, neutrofil dan eosinofil. Biopsi dari tempat
terjadinya reaksi, mengandung terutama sel mast dan basofil. Mekanisme
reaksi didahului dengan produksi IgE dalam respon terhadap antigen tertentu
(alergen). IgE mempunyai afinitas yang tinggi untuk reseptornya pada sel
mast dan basofil. Paparan berikutnya dengan alergen yang sama, membentuk
ikatan silang dengan IgE yang terikat pada sel dan membebaskan berbagai
senyawa aktif secara farmakologis. Ikatan silang diatas penting dalam
memacu sel mast. Degranulasi sel mast dan didahului dengan kenaikan Ca++
influk, merupakan proses yang menentukan; ionofor yang meningkatkan Ca++
sitoplasmik juga mendukung degranulasi, sedangkan antigen yang
mengosongkan Ca++ sitoplasmik menekan terjadinya degranulasi.

Reaksi Hipersensitivitas Tipe II

Juga dikenal sebagai hipersensitivitas sitotoksik dan mempengaruhi


bermacam-macam organ dan jaringan. Antigen secara normal adalah
endogenus, meskipun senyawa kimia eksogenus yang dapat mengikat
membran sel, juga dapat menyebabkan hipersensitivitas tipe II. Sebagai
contoh adalah obat yang menginduksi terjadinya anemia hemolitik,
granulositopenia dan trombositopenia. Waktu timbulnya reaksi, beberapa

17
menit sampai beberapa jam. Hipersensitivitas tipe II terutama diperantarai
oleh antibodi IgM atau IgG dan komplemen. Sel fagosit dan sel K juga
berperan. Lesinya mengandung antibodi, komplemen dan neutrofil. Test
diagnostik meliputi pendeteksian antibodi terhadap jaringan yang terlibat,
yang terdapat dalam sirkulasi, terdapatnya antibodi serta komplemen dalam
biopsi dengan imunofluoresen Pengobatan melibatkan agen anti-inflamasi dan
imuno-supresif.

Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Juga dikenal sebagai hipersensitivitas kompleks imun. Reaksinya umum


(mis. Serum Sickness) atau melibatkan organ, misal kulit (mis. S L K, Arthus
Reaction), ginjal (mis. Lupus Nephritis), paru-paru (mis. Aspergillosis),
pembuluh darah (mis. Polyarthritis), sendi (mis. Rheumatoid Arthritis) atau
organ yang lain. Reaksi ini merupakan gambaran mekanisme patogenik suatu
penyakit yang disebabkan oleh beberapa bakteri. Waktu reaksi terjadi 3-10
jam setelah paparan antigen. (Arthus Reaction), diperantarai kompleks imun
larut, terutama IgG, meskipun IgM juga terlibat. Antigennya, eksogenus
(Chronic bacterial, infeksi atau parasit) atau endogenus (non-organ
autoimunitas spesifik, misal SLE). Antigennya, antigen larut dan tidak
melekat pada organ yang terlibat. Komponen utama adalah kompleks imun
dan produk komplemen larut (C3a, 4a dan 5a). Kerusakan yang terjadi
disebabkan oleh platelet dan neutrofil. Lesinya mengandung, terutama
neutrofil dan timbunan kompleks imun serta komplemen. Masuknya makrofag
pada tahap akhir, terlibat dalam proses penyembuhan. Afinitas antibodi dan
besarnya kompleks imun, adalah hal yang penting untuk timbulnya penyakit
dan determinasi jaringan yang terlibat.

Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

Dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau


hipersensitivitas tipe lambat (tertunda). Contoh hipersensitivitas tipe IV adalah
Tes Tuberkulin (Mantoux) yang dapat diketahui puncaknya pada jam ke 48
setelah suntikan antigen. Lesi karakteristik, terjadinya indurasi dan eritema.
Hipersensitivitas tipe IV terlibat dalam patogenesis dari beberapa penyakit

18
autoimun dan infeksi (tuberkulosis, leprosi, blastomikosis, histoplasmosis,
leishmaniasis, dll.) dan granuloma yang terjadi karena infeksi dan antigen
asing. Bentuk lain dari hipersensitivitas tipe IV adalah dermatitis kontak
(racun Ivy, senyawa kimia, logam berat, dll.), dimana lesinya lebih papular.
Hipersensitivitas tipe IV dapat diklasifikasi menjadi 3 katagori tergantung
pada waktu onset, presentasi klinik dan histologikal.

Mekanisme terjadinya kerusakan dalam hipersensitivitas tipe IV , meliputi


sel T dan monosit, dan / atau makrofag. Sel T sitotoksik menyebabkan
kerusakan langsung, sedangkan sel Th 1 mensekresi sitokin yang
mengaktifkan sel T sitotoksik dan merekrut dan mengaktifkan monosit dan
makrofag, yang menyebabkan besarnya kerusakan. Lesinya mengandung
monosit dan sejumlah sel T. Limfokin yang terutama terlibat dalam reaksi
hipersensitivitas tipe IV, yaitu: MCF (Monocyte Chemotactic Factor), EL-2,
INF-γ, TNF-α/β, dll. Tes diagnostik in vivo, misal reaksi Mantoux dan Tes
Goresan (untuk dermatitis kontak). In vitro: respon mitogenik, produksi
limfositotoksisitas dan EL-2. Pengobatan: kortikosteroid dan imuno-supresif
yang lain.

19
Daftar Pustaka

Asz J, Asz D, Moushey R, Seigel J, Mallory SB, Foglia RP (December 2006).


"Treatment of toxic epidermal necrolysis in a pediatric patient with a
nanocrystalline silver dressing". J. Pediatr. Surg. 41 (12): e9–
12. doi:10.1016/j.jpedsurg.2006.08.043. PMID 17161178.
Baratawidhaya KG. 2006. Reaksi Hipersensitivitas. Dalam : Imunologi Dasar.
Edisi ke-7. Jakarta. Balai penerbit FKUI pp. 157-161

Corwin, J (2016). "Pemphigus vulgaris. In: Ferri FF, editor". Ferri’s clinical


advisor: 945–6.
Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi
5.Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
UniversitasIndonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.2007:163-5
Indrawan Desta Eko et all., (2016)., Jurnal Pemfigoid Bullosa pada Wanita Usia
54 Tahun Vol. 6Bagian Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Abdoel Moeloek
Lampung
Menaldi, Sri Linuwih SW., Bramono, Kusmarinan., dan Indriatmi, Wresti (ed).
(2016). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh (Cetakan Kedua).
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Mockenhaupt M et al. 2008. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis: clinical patterns, diagnostic considerations, etiology, and
therapeutic management. Semin Cutan Med Surg. The EuroScar study.

Moss C, Gupta E (September 1998). "The Nikolsky sign in staphylococcal


scalded skin syndrome". Arch. Dis. Child. 79 (3):
290. doi:10.1136/adc.79.3.290. PMC 1717681 . PMID 9875032.
Nurhidayati, Z., M. Syafei, H. 2017. Diagnosis Dan Tatalaksana Pemfigoid
Bulosa : Tinjauan Kasus Pada Pasien Geriatri. Majority, Vol. 6, No. 3; 81.
Prihanti, A.M., Jusri, M. 2013. Management of suspected Pemphigus Vulgaris in
elderly patients with chronic disease. Journal of Dentistry Indonesia, Vol.
20, No. 1; 20-24.
Widyastuti, S., Sari N., Rinawati W., Wardhana, M., Adiguna, M.S. 2014. Terapi
Dapson Pada Dermatitis Herpetiformis. MDVI, Vol. 41, No. 4; 165-169.
William Vincencius., (2016) Pemfigus Vulgaris: Diagnosis dan Tatalaksana
Dokter RSUD Karangasem, Karangasem, Bali, Indonesia

20
Yulisna et all., (2017)Nekrolisis Epidermal Toksik: Laporan Kasus pada Pasien
Geriatri Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung 2 RSUD dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung

21

You might also like