You are on page 1of 21

MAKALAH FARMAKOLOGI II

“Obat Hormon Kortikosteroid”

Oleh:
Kelompok 4
Nama anggota :

Putri Indah Rini (1801132)

Dosen Pengampuh:
Nofri Hendri Sandi,M.Farm,Apt

Yayasan Univ Riau Pekanbaru


Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Pekanbaru
2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Panyayang. Kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah -Nya kepada kami, sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah Farmakologi II “Obat Hormon Kortikosteroid”.

Makalah ini telah kami susun sedemikian rupa untuk menyelesaikan

tugas bidang ilmu Farmakologi II dengan dosen pengampuh Nofri Hendri

Sandi,M.Farm,Apt. Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh

karenanya kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari

pembaca demi kesempurnaan makalah ini dan harapan kami semoga makalah ini

dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Farmakologi II tentang Obat

Hormon Kortikosteroid ini dapat memberikan manfaat.

Pekanbaru, Februari 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar

adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon

inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid

dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting pada metabolisme

karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralokortikoid memiliki efek kuat

terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit (Katzung, 2012; Gilman, 2012).

Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan karena efek yang kuat

dan reaksi antiinflamasi yang cepat. Kortikosteroid banyak digunakan untuk

tatalaksana penyakit inflamasi seperti reumathoid arthritis (RA) dan systemic

lupus erythematosus (SLE) (Arthritis Australia, 2008).

Kortikosteroid juga diresepkan dalam berbagai pengobatan seperti

replacement therapy pada penderita insufisiensi adrenal, supresor sekresi

androgen pada congenital adrenal hyperplasia (CAH), dan terapi kelainan-

kelainan non endokrin seperti penyakit ginjal, infeksi, reaksi transplantasi, alergi,

dan lain-lain (Azis, 2006). Kortikosteroid juga banyak diresepkan untuk penyakit

kulit, baik itu penggunaan topikal maupun sistemik (Johan,2015).

Penggunaan yang luas dan manfaat yang banyak, membuat kortikosteroid

menjadi obat yang digemari. Selain memiliki manfaat yang banyak,

kortikoseteroid memiliki banyak efek samping, yaitu sekitar sembilan puluh lima

efek samping pengobatan. Kortikosteroid sering disebut life saving drug karena
dalam penggunaanya sebagai antiinflamasi, kortikosteroid berfungsi sebagai

terapi paliatif, yaitu menghambat gejala saja sedangkan penyebab penyakit

masih tetap ada. Hal ini akhirnya menyebabkan kortikosteroid banyak digunakan

tidak sesuai indikasi, dosis, dan lama pemberian (Suherman & Ascobat, 2005;

Azis, 2006; Guidry et al., 2009).

Penggunaan yang terus menerus menyebabkan efek samping yang serius dan

bersifat merugikan. Efek samping yang ditimbulkan oleh kortikosteroid akan

menjadi semakin buruk apabila digunakan tidak sesuai dengan aturan pakainya,

baik itu dosis maupun lama pemakaian (Gilman, 2012). Guidry et al. (2009)

menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara durasi pemakaian

kortikostroid dengan mean severity score efek samping kortikosteroid.

Salah satu efek samping dari kortikosteroid adalah menurunkan jumlah

limfosit dan monosit di perifer dalam 4 jam. Hal ini terjadi karena adanya

redistribusi temporer limfosit dari intravaskuler ke dalam limpa, kelenjar limfe,

duktus torasikus dan sumsum tulang (Aziz, 2006). Pemberian glukokortikoid

menyebabkan penurunan jumlah limfosit, eosinofil, monosit, dan basofil dalam

sirkulasi, tetapi glukokortikoid juga menyebabkan peningkatan leukosit

polimorfonuklear (netrofil) dalam sirkulasi. Penggunaan kortikosteroid dalam

jumlah banyak dan waktu yang lama juga dapat menurunkan proses

pembentukan
fibroblas serta menurunkan jumlah gerakan dan fungsi leukosit (Aziz, 2006;

David & Dolores, 2007; Hidayanti et al., 2014).

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Kortikosteroid adalah hormon yang tergolong dalam kelompok hormon

steroid yang dihasilkan oleh kelenjar korteks adrenal. Pada kondisi ‘fight & fight’,

hipotalamus beraksi dengan menghasilkan ‘corticotropin releasing factor’ (CRF),

CRF kemudian akan menstimulasi kelenjar pituitari anterior untuk menghasilkan

‘adrenocorticotrophin stimulating hormone’ (ACTH). ACTH akan memasuki

sistem sirkulasi dan menuju ke kelenjar korteks adrenal dan menstimulasi

produksi hormon korticosteroid. Hormon ini berperan penting mengatur respon

tubuh terhadap stress, system kekebalan tubuh,pengaturan

inflamasi,gluconeogenesis, metabolism lemak, protein dan juga emosi (Dorlan,

2002).

Gambar 1. Kelenjar korteks adrenal

Kelenjar korteks adrenal dapat dibagikan kepada tiga bagian, yaitu zona

glomerulosa, zona fasikulata dan zona retikularis. Hormon kortikosteroid juga


terbagi kepada tiga, yaitu glukokorticoid, aldosterone dan androgen. Aldosteron

diproduksi di zona glomerulosa yang paling luar, glukokorticoid diproduksi pada

zona fasikulata yang berada di tengah, dan terkakhir, hormon androgen diproduksi

pada zona paling dalam yaitu zona retikularis (Gillman, 2012).

Glukokortikoid berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak,

dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan

fosfolipid, serta dapat menurunkan kerja eosinophil,contoh dari glukokortikoid

adalah kortisol. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid, yang

berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di

ginjal,contoh dari mineralokorticoid adalah aldosteron. Beberapa kortikosteroid

menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya

hanya mengeluarkan satu jenis efek.

Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek

seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting.

Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison

dan turunannya memiliki kerja mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid.

2.2 ADRENOKORTIKOSTEROID DAN ANALOG SINTETIKNYA

2.2.1 BIOSINTESIS DAN KIMIA

Biosintesis kortikosteroid dapat dilihat pada gambar 2. Korteks adrenal

mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan bantuan berbagai

enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan

androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan sumber
estradiol. Sebagian besar kolesterol digunakan untuk steroidgenesis ini berasal

dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.

Meskipun kelenjar adrenal dapat mensintesis androgen, pada wanita sekitar 50%

androgen plasma berasal dari luar kelenjar adrenal. Pada pria androgen berasal

dari adrenal hanya sebagian kecil dari seluruh androgen plasma. Dalam korteks

adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus.

Jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk mempertahankan

kebutuhan normal bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit

saja. Oleh karenanya kecepatan biosintesis disesuaikan dengan kecepatan

sekresinya.

Gambar 2. Biosintesis adrenokortikosteroid dan androgen adrenal.

2.2.2 PENGATURAN SEKRESI

Fungsi sekresi korteks adrenal sangat dipengaruhi oleh ACTH. Sistem

saraf tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap fungsi sekresi korteks


adrenal. Ini terbukti pada percobaan transplantasi kelenjar adrenal dimana fungsi

sekresinya tetap normal.

ACTH terutama berpengaruh pada zona fasikulata, sedangkan terhadap

zona glomerulusa pengaruhnya hanya sedikit. Akibat pengaruh ACTH ini zona

fasikulata akan mensekresi kortisol dan kortikosteron. Sebaliknya bila kadar

kedua hormone dalam darah meningkat, terutama kortisol, terjadi penghambatan

sekresi ACTH. Keadaan tersebut tidak berlaku untuk aldosterone, yang

disekresikan oleh zona glomerulusa. Peninggian kadar aldosterone dalam darah

tidak menyebabkan penghambatan sekresi ACTH. Sekresi aldosterone terutama

dipengaruhi oleh system renin angiotensin dalam darah. Angiotensin II

merupakan oktapeptida yang dibentuk dari dekapeptida yaitu angiotensin I. reaksi

yang terakhir ini dikatalisis oleh converting enzyme dalam paru-paru. Angiotensin

I berasal dari globulin plasma. Untuk perubahan ini dibutuhkan renin yang

dihasilkan oleh ginjal. Pengeluaran renin ini diatur oleh tekanan perfusi ginjal dan

system saraf yang mekanismenya belum jelas. Penghambatan sekresi renin tidak

dipengaruhi oleh kadarnya dalam darah tetapi oleh volume darah.

Adanya regulasi sekresi kortisol dan aldosterone yang terpisah, dapat

dilihat pada pasien udem, dimana ekskresi metabolit kortisol normal, sedangkan

metabolit aldosterone meningkat.

2.2.3 MEKANISME KERJA

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.

Molekul hormone memasuki sel jaringan melalui membrane plasma secara difusi
pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik

dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid.

Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nucleus

dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan

sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara

fisiologik steroid.

Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormone steroid merangsang

transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid

dan fibroblast, hormone ini bersifat katabolic. Beberapa peneliti menunjukkan

bahwa hormone steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat

atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal inilah mungkin yang menimbulkan efek

kataboliknya.

2.2.4 FAAL DAN FARMAKODINAMIK

Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan

lemak; dan mempengaruhi juga fungsi system kardiovaskular, ginjal, otot lurik,

system saraf dan organ lain. Karena fungsi kortikosteroid penting untuk

kelangsungan hidup organisme, maka dikatakan bhwa korteks adrenal berfungsi

homeostatic, artinya : penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri

dalam menghadapi perubahan lingkungan. Dalam keadaan tersebut hewan tanpa

korteks adrenal hanya dapat hidup apabila diberikan makanan yang cukup dan

teratur, NaCl dalam jumlah cukup banyak dan temperature sekitarnya

dipertahankan dalam batas-batas tertentu.


Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologis atau

farmakologis, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan

tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan

kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Tetapi bila

keadaan disekitarnya tidak optimal, maka dibutuhkan dosis obat yang lebih tinggi

untuk dapat mempertahankan hidupnya. Bila dosis obat yang relative tinggi ini

diberikan berulang kali pada hewan yang sama dalam keadaan optimal, akan

terjadi hiperkortisisme, yaitu gejala kelebihan kortikosteroid. Diduga, adanya

fluktuasi aktivitas sekresi kortikosteroid pada orang normal dapat menunjukkan

adanya variasi kebutuhan organisme akan hormone tersebut.

Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan

besar yaitu glukokortikoid dan mineralkortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah

pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi juga nyata, sedangkan

pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan

ini ialah kortisol. Golongan mineralkortikoid efek utamanya terhadap

keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan

glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan ini ialah desoksikortikosteron.

Umumnya golongan mineralkortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi

yang berarti kecuali 9 alfa-fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini tidak

pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan

air dan elektrolit terlalu besar.

Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai

berikut:
1. METABOLISME.

Metabolisme karbohidrat dan protein. Mekanisme bagaimana

glukokortikoid mempengaruhi metabolisme karbohidrat sebenarnya sangat

kompleks. Hormin ini menyebabkan gluconeogenesis di perifer dan di hepar. Di

perifer steroid ini menyebabkan mobilisasi asam amino dari beberapa jaringan,

jadi mempunyai efek katabolic. Efek katabolic inilah yang menyebabkan

terjadinya atrofi jaringan limfoid, penghancuran jaringan dengan akibat

pengecilan masa jaringan otot, terjadi osteoporosis tulang (pengurangan matriks

protein tulang yang diikuti pengurangan kalsium), penipisan kulit, dan

keseimbangan nitrogen menjadi negative. Asam amino tersebut dibawa ke hepar

dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa

dan glikogen.

Dalam hepar glukokortikoid merangsang sintesis enzim yang berperanan

dalam proses gluconeogenesis dan metabolisme asam amino, antara lain

terjadinya peningkatan enzim fosfoenolpiruvat-karboksinase, fruktosa-1,6-

difosfatase, dan glukosa-6-fosfatase, yang mengkatalisis sintesis glukosa.

Rangsangan sintesis enzim ini tidak timbul dengan segera, tetapi membutuhkan

waktu beberapa jam. Efek yang lebih cepat timbulnya ialah pengaruh hormone

terhadap mitokondria hepar, dimana sintesis piruvat karboksilase sebagai

katalisator pembentukan oksaloasetat dipercepat. Pembentukan oksaloasetat ini

merupakan reaksi permulaan sintesis glukosa dari piruvat.

Penggunaan glukortikoid untuk jangka lama dapat menyebabkan

peninggian glucagon plasma yang dapat merangsang gluconeogenesis. Keadaan


ini dapat pula merupakan salah satu penyebab penyimpanan glikogen di hepar

setelah pemberian glukokortikoid diduga akibat aktivasi glikogen sintetase di

hepar.

Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikosteroid dosis besar

jangka panjang atau pada sindrom Cushing, terjadi gangguan distribusi lemak

tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak;

leher bagian belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka

(moon face), sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang. Salah satu

hipotesa yang menerangkan keadaan di atas ialah sebagai berikut : jaringan

adipose yang mengalami hipertrofi pada sindroma Cushing bereaksi terhadap efek

lipogenik dan antilipolitik insulin, yang kadarnya meningkat akibat hiperglikemia

yang ditumbulkan oleh glukokortikoid.

Pada keadaan dimana tidak terdapat korteks adrenal atau adenohipofisis,

mobilisasi lemak dari depot di perifer oleh epinefrin, norepinefrin dan hormone

pertumbuhan akan dihambat. Ketonemia dan ketonuria yang terjadi akibat

pankreatektomi atau pemberian diet tinggi lemak, akan berkurang pada hewan

tanpa adrenal, kecuali itu transport dan penyimpanan lemak di hepar juga

dihambat.

2. KESEIMBANGAN AIR DAN ELEKTROLIT

Mineralkortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi ion Na serta ekskresi K+

dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisme

terjadi : retensi Na yang disertai ekspansi volume hipokortisisme terjadi keadaan


sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan

hidrasi sel.

Aldosterone merupakan mineralkortikoid alam yang paling kuat.

Pemberian 10mg aldosterone per hari pada hewan tanpa kelenjar adrenal dapat

mempertahankan kadar plasma Na+ dan K+, dan tekanan darah dalam batas-batas

normal. Sedangkan untuk kortisol, dosis yang dibutuhkan untuk keadaan di atas

lebih besar, sekitar 5.000mg. Peranan aldosterone dalam mengatur keseimbangan

Na+ dan K+ plasma, dibuktikan dengan adanya keseimbangan elektrolit yang

relative normal pada hewan yang mengalami hipofisektomi. Keseimbangan ini

dipertahankan oleh aldosterone yang tetap disekresikan oleh korteks adrenal.

Efek aldosterone dalam jumlah berlebihan dan berlangsung terus menerus

dapat dilihat pada sindrom Conn (aldosteronisme primer). Keseimbangan Na+

biasanya normal dan Na+ dalam plasma normal atau sedikit meninggi. Ekskresi

terjadi walaupun telah ada hipokalemia, dan ini menyebabkan kelemahan otot.

Karena ekskresi ion juga berlebihan, terjadilah alkalosis metabolic. Adanya

hipokalemia serta gangguan keseimbangan air dan elektrolit, menyebabkan ginjal

tidak sanggup memekatkan urine.

Desoksikortikosteron merupakan mineralkortikoid yang pertama

disintesis dan digunakan untuk pengobatan pasien penyakit Addison. Hormone

ini hampir tidak mempunyai efek glukokortikoid.

Kortisol dapat menyebabkan retensi Na+ dan meningkatkan ekskresi K+,

tetapi efek ini jauh lebih kecil daripada aldosterone, oleh karena itu penggunaan
kortisol dalam waktu singkat biasanya tidak menambah sekresi asam. Berlawanan

dengan aldosterone, kortisol pada keadaan tertentu dapat meningkatkan ekskresi

Na+; hal ini mungkin disebabkan karena hormone tersebut dapat menambah

kecepatan filtrasi glomeruli. Selain itu kortisol juga dapat meningkatkan sekresi

tubuli ginjal.

Hiperkortisisme akibat sekresi kortisol berlebihan atau karena pemberian

kortisol dosis besar terus menerus, sesekali menyebabkan alkalosis hipokloremik

yang tidak berat. Keadaan ini menunjukkan bahwa efek kortisol terhadap

keseimbangan air dan elektrolit tidak sekuat aldosterone. Kelemahan otot yang

timbul pada keadaan inidisebabkan oleh berkurangnya masa jaringan otot, jadi

bukan karena kehilangan K+.

3. SISTEM KARDIOVASKULAR

Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut:

permeabilitas dinding kapiler meninggi, respons vasomotor pembuluh darah kecil

berkurang, jantung mengecil dan curah jantung menurun.

4. OTOT RANGKA

Kelemahan otot pada pasien aldosterone primer, terutama karena adanya

hipokalemia. Pada pasien sindrom Cushing atau pemberian glukokortikoid dosis

besar untuk waktu lama dapat timbul wasting otot rangka yaitu pengurangan

massa otot.
5. SUSUNAN SARAF PUSAT

Adanya efek steroid pada susunan saraf pusat ini dapat dilihat dari

timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG dan kepekaan otak pada mereka

yang sedang menggunakan kortikosteroid terutama untuk waktu lama atau pada

pasien penyakit Addison. Penderita penyakit Addison dapat menunjukkan gejala

apatis, depresi dan cepat tersinggung bahkan psikosi. Gejala tersebut dapat diatasi

dengan kortisol, sedangkan desoksikortikosteron tidak elektif.

6. ELEMEN PEMBENTUK DARAH

Glukokortikoid dapt meningkatkan kadar haemoglobin dan jumlah sel

darah merah. Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit

polimorfonuklear, karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah

dari sum-sum tulang dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi.

Sebaliknya jumlah sel limfosit, eosinosit, monosit dan basophil dalam darah dapat

menurun sesudah pemberian glukokortikoid.

7. EFEK ANTI-INFLAMASI.

Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnys

gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau allergen. Gejala

ini umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan di tempat

radang. Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti-inflmasi merupakan terapi

paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit tetap ada hanya gejalanya yang

dihambat.
8. JARINGAN LIMFOID DAN SISTEM IMUNOLOGI

Pada insufisiensi korteks adrenal terjadi peningkatan masa jaringan limfoid

dan limfositosis, pasien sindrom Cushing menujukkan limfositopenia dan masa

jaringan limfoid berkurang. Hal ini diduga berhubungan dengan perubahan

kecepatan pembentukan atau pengrusakan sel pada hiper- atau hipokortisisme

ronik, yang timbul setelah jangka lama.

9. PERTUMBUHAN

Penggunaan glukokortikoid pada anak dalam jangka panjang dapat

menghambat pertumbuhan, karena efek antagonisnya trhadap kreja hormone

pertumbuhan di perifer. Pada beberapa jaringan, terutama di otot dan tulang,

glukokortikoid menghambat sintesis dan menambah degradasi protein dan RNA.

Hal inilah yang sering menyebabkan kegagalan fungsi hormone pertumbuhan bila

digunakan bersama kortikosteroid.

2.2.5 FARMAKOKINETIK

Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup

baik. Desoksikortisteron asetat tidak efektif pada pemberian oral. Glukokortikoid

dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang synovial. Penggunaan

jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek

sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.

2.2.6 SEDIAAN DAN POSOLOGI

Sediaan kortikosteroid dapat diberikan oral, parenteral (IV, IM,

intrasinovial dan intralesi) dan topical pada kulit atau mata (dalam bentuk salep,
krem, losio) atau aerosol melalui jalan napas. Pada tabel 33-4 dicantumkan

berbagai sediaan kortikosteroid dan cara pemberiannya.

Tabel 1. BEBERAPA SEDIAAN KORTIKOSTEROID & ANALOG

SINTETIKNYA

1.7 INDIKASI

You might also like