You are on page 1of 8

MAKALAH

Transdensi Diri

Untuk Memenuhi Mata Kuiah Psikologi Transpersonal

Dosen Pengampu :

Ahmad Fauzan S.S., M.Pd.I

Oleh Kelmpok:

1. LATIFATUL ATIQAH (17303153002)


2. NUR HALIMAH (17303153027)

JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG

TAHUN AKADEMIK 2018


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan ini telah dipahami bahwa setiap orang memili tujuan
hidupnya masing-masing. Tujuan hiduppun akan sangat bervaeasi. Sebagian
orang akan terorientasi terhadap tujuan-tujuan yang bersifat materialistis,
seperti memiliki pekerjaan yang lebih dari satu, memeiliki kekayaan yang
melimpah, memeiliki rumah yang bear dan sebagainya. Tidak dapat
dipungkiri hal-hal tersebut merupakan sifat yang manusiawi. Namun, selain
tujuan-tujuan seperti disebut diatas beberapa orang memilih untuk memiliki
tujan hidup yang lebih condong ke arah kerohanian.

Abraham Maslow, seorang tokoh Psikologi Humanistik telah


memunculkan teori tentang herarki kebutuhan. Dalam herarki teratas Maslow
menyebutkan pengalaman puncak yang mana saat seseorang mencapai
pengalaman tersebut ia sudah dapat dikatakan mencapai puncak kebutuhanya.
Maslow juga mengatakan adanya transendensi diri. Hal terseut diartikan
sebagai pribadi yang terlepas dari segala keterikata. Dalam makalah ini,
pemakalah bermaksud untuk sedikit membrikan pemahaman mengenadi
transendensi diri (self-trancendense).

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Self Trancendense?

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian Self Trancendense.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Self-Transendense
Di akhir hayatnya, Maslow melakukan pengamatan komprehensif
terhadap individu yang telah memenuhi kriteria self-actualizers (individu
yang telah mencapai aktualisasi-diri). Hasil pengamatan tersebut
menyatakan bahwa self actualizers dimotivasi oleh kebutuhan maupun
nilai-nilai yang sifatnya lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang
belum mencapai aktualisasi-diri. Kebutuhan maupun nilai yang dimaksud
meliputi kebutuhan untuk bergerak melampaui diri, menghubungkan diri
dengan kuasa yang lebih besar, juga dorongan untuk membantu sesama
agar dapat menyadari potensi mereka (Dorling Kindersley Staff, 2012).
Kondisi motivasional tersebutlah yang kemudian menjadi definisi
representatif atas penemuan Maslow berikutnya, yakni kebutuhan
transendensi-diri.

Menurut Maslow pencapaian transendensi-diri ini dibangun oleh


dua elemen penting, yakni peak experience dan plateau experience.
Maslow mendefinisikan peak experience sebagai momen yang memuat
beberapa (pada umumnya memang tidak semua) karakteristik berikut:
“rasa suka cita yang mendalam, euphoria atau kebahagiaan, perasaan
harmoni atau menyatu dengan alam semesta, munculnya kesadaran atau
apresiasi yang lebih tinggi terhadap keindahan, atau perasaan lain yang
sulit diungkapkan dengan kata-kata”. Pada momen tersebut individu
memiliki kesadaran lebih akan adanya insight yang selama ini
tersamarkan; otak berada pada performa optimal sehingga memungkinkan
individu mencapai hampir semua intellectual goals yang ia tetapkan.1

Teori aktualisasi diri yang dikembangkan oleh Maslow disebut


dengan “Hierarki Kebutuhan”. Dalam hierarki ini terdapat lima lapisan
kebutuhan yang luas diantaranya kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa
aman, kebutuhan cinta dan rindu, kebutuhan harga diri dan kebutuhan

1 http://repository.maranatha.edu/8886/3/0830078_Chapter1.pdf
untuk aktualisasi diri. Jenis kebutuhan terdiri dari dua macam yaitu D-
needs (Deficit needs) dan B-needs (Being Needs). Deficit needs terdiri dari
4 level terbawah, yaitu kebutuhan fisiologis hingga kebutuhan self-esteem.
Kebutuhan ini disebut defisit karena kebutuhan ini perlu dipenuhi terlebih
dahulu, karena jika tidak, maka seseorang akan merasa defisit yang mana
ia tidak mampu mencapai aktualisasi diri.
Ketika seseorang sudah mencapai aktualisasi diri, maka akan
banyak mengalami peak experiences—yang merupakan pengalaman penuh
cinta, pengertian, kebahagiaan, dan penuh syukur—sehingga merasa
terinspirasi untuk secara aktif memperdalam dan menstabilkan
pengalaman tersebut. Maslow meletakkan transendensi diri dalam posisi
tertinggi dalam hierarki kebutuhan karena pada tahap ini manusia
berhasrat untuk berada pada kesadaran yang melampaui kapasitas manusia
dan merasakan pengalaman ke-Esa-an yang meyeluruh, pemegang
kekuasaan tertinggi, dalam bentuk apapun itu.
Teori yang dikemukakan Maslow, yang disebutnya sebagai pribadi
yang lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan transendental
ini dinilainya sebagai tingkat dari kesempurnaan manusia sebagai pribadi
(self). “Self is lost and transenden”, kata Maslow. Gambaran tentang
kesempurnaan tingkat kepribadian manusia ini mirip dengan konsep insan
Al-Kamil, pribadi manusia sempurna yang kembali fitrah kesuciannya.
Fitrah ini menurut M. Quraish Shihab memiliki ciri-ciri berupa
kecenderungan manusia untuk menyenangi yang benar, baik dan indah.2
Dalam beberapa tahun terakhir, diketahui bahwa sebelum Maslow
meninggal, ia mengidentifikasi tingkat kebutuhan dan motivasi manusia
yang keenam. Dia menyebut tingkat ini sebagai transendensi diri. Selama
penelitiannya, Maslow mencatat bahwa beberapa individu telah
melampaui tingkat aktualisasi diri sebagai motivasi yang menonjol. Dia
sampai pada gagasan transendensi-diri karena dia merasa bahwa terlalu
banyak teoretisi mendefinisikan Diri hanya dalam istilah dari apa yang

2 http://psikologisufistikislam.blogspot.co.id/2011/12/pengalamantranspersonal-
menurut-abraham.html
orang lain pikirkan atau persepsi mereka tentang seseorang, yang dilihat
Maslow sebagai relativitas budaya yang ekstrim yang individualitas yang
hilang sehat sama sekali. Dia beralasan bahwa orang yang sehat dan
berkembang sepenuhnya adalah tidak dicirikan oleh perilaku egosentris,
egois, tetapi oleh transendensi pendapat orang lain.3
Menurut Maslow kepribadian yang sehat ialah sukses dalam
perilaku yang tepat melibatkan penguasaan, efektifitas, dan kompetensi
(atau aktualisasi diri), juga harus mencakup titik di mana individu
dibebaskan dari pengaruh lingkungannya, khususnya dari cara lingkungan
itu mempengaruhi perkembangan pribadi mereka. Salah satu kekuatan
utama yang menghambat pertumbuhan pribadi yang ia identifikasi adalah
budaya. Meskipun budaya itu penting, ia beralasan bahwa seseorang perlu
mencapai transendensi, kemandirian, atau perlawanan terhadap
enkulturasi, atau kekuatan lain semacam itu dapat mengubah cara
seseorang memandang dunia dengan cara seperti itu. Maslow mendalilkan
bahwa satu karakteristik utama dari orang-orang yang mengaktualisasikan
diri adalah otonomi dan kemandirian dari budaya dan lingkungan. Mereka
tidak membutuhkan persetujuan orang lain pendapat mereka tidak
terbentuk karena keadaan mereka sendiri.4
Maslow berpendapat bahwa transendensi-diri tercapai ketika
seseorang mencari lebih jauh penyebab di luar diri dan mengalami
persekutuan di luar batas-batas diri. Ini melampaui individu yang
mencapai puncak hirarki revisi Maslow biasanya mencari manfaat di luar
pribadi semata, mengidentifikasi dengan sesuatu yang lebih besar daripada
individu semata diri, sering terlibat dalam pelayanan tanpa pamrih kepada
orang lain. Aspek pandangan dunia yang secara khusus dipengaruhi oleh
transendensi-diri Maslow adalah tujuan atau makna hidup seseorang, yang

3 Jurnal, Henry J Venter, Maslow’s Self-Transcendence: How It Can Enrich Organization


Culture and Leadership, Nasional University 20 River Park Place West Fresno CA USA
93720,2012.

4 Ibid.
memungkinkan untuk lebih kaya dalam konseptualisasi makna hidup,
orang seperti itu mengembangkan rasa tujuan yang lebih dalam, rasa
tujuan yang tidak hanya fokus pada kebutuhan diri, tetapi rasa tujuan
berlabuh di tengah penderitaan seluruh dunia.
Menurut Koltko-Rivera di tingkat transendensi-diri, kebutuhan-
kebutuhan individu itu disisihkan, untuk sebagian besar, demi pelayanan
kepada orang lain dan untuk beberapa kekuatan yang lebih tinggi atau
sebab dikandung sebagai berada di luar diri pribadi. Individu yang pernah
mengalami pengalaman puncak (pengalaman mistik pada individu yang
melibatkan perasaan dan sensasi mendalam baik secara psikologis maupun
fisiologis sehingga dapat merubah dirinya secara cukup signifikan). Begitu
juga Individu yang mengalami self-transedense berfokus pada kosmos,
bahwa dirinya merupakan satu kesatuan dengan semesta dan saling terkait
satu sama lain dengan mahkluk hidup lainnya sehingga ego dirinya tidak
lagi menjadi hal utama.
Sesungguhnya dalam pembahasan self-transendensi memiliki
banyak pandangan dalam berbagai tokoh. Namun, dalam ranah Psikologi
Transpersonal nama tokoh yang paling utama adalah Abraham Maslow.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Self-trancendens dikemukanakan oleH seirang tokoh Psikologi


Humanis yang juga sering juga disebut-sebut dalam psikologi
transpersonal. Menrut Abraham Maslow yang disebutnya sebagai pribadi
yang lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan transendental
ini dinilainya sebagai tingkat dari kesempurnaan manusia sebagai pribadi
(self). “Self is lost and transenden”, kata Maslow. Gambaran tentang
kesempurnaan tingkat keparibadian manusia ini mirip dengan konsep
insan Al-Kamil, pribadi manusia sempurna yang kembali fitrah
kesuciannya. Fitrah ini menurut M. Quraish Shihab memiliki ciri-ciri
berupa kecenderungan manusia untuk menyenangi yang benar, baik dan
indah.

DAFTAR PUSTAKA

http://repository.maranatha.edu/8886/3/0830078_Chapter1.pdf, diakses
pada tanggal 13 Mei 2018, pukul 19.37 WIB.

http://psikologisufistikislam.blogspot.co.id/2011/12/pengalamantransperso
nal-menurut-abraham.html, diakses pada tanggal 13 Mei 2018, puku; 20.03 WIB.
Jurnal, Henry J Venter, Maslow’s Self-Transcendence: How It Can Enrich
Organization Culture and Leadership, Nasional University 20 River Park Place
West Fresno CA USA 93720,2012.

You might also like