Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
2014
Analisis Poskolonialisme dan Orientalisme dalam Film Java Heat
Pendahuluan
Pemahaman kaum penjajah bahwa bekas negara jajahan adalah kaum yang
termarginalkan selalu disisipkan dalam berbagai cara. Bentuk penjajahan yang dilakukan
bukanlah dengan cara fisik, namun kekuasaan kolonial dipertahankan dan direproduksi melalui
disiplin ilmu, teks, dan wacana yang berbeda (Said, 1979). Secara tidak sadar, kaum terjajah
(yang sebenarnya sudah merdeka secara de facto dan de jure) ikut tunduk dalam bentuk jajahan
kaum imperial, bahkan bertekuk lutut dan berpihak pada mereka. Hegemoni “barat” dan “timur”
menjadi alat untuk memposisikan siapa yang berada dalam posisi dominan dan siapa yang
berada dalam posisi subordinat.
Sisipan paham penjajahan terhadap dunia timur yang umumnya dilakukan saat ini adalah
melalui berbagai macam produk media, salah satunya adalah film. Film sebagai salah satu media
yang di anggap efektif dalam penyampaian pesan atau maksud dan tujuan tertentu dari
pembuatnya dijadikan sebagai objek media kolonialisasi oleh kaum imperialis, walaupun tidak
semuanya (Loomba, 2003). Lewat film, orang – orang dunia timur dikendalikan oleh kaum barat
Salah satu film yang cukup kental dengan nuansa Indonesia adalah Java Heat (2013),
sebuah film garapan Margate House dari Amerika Serikat yang mengambil latar tanah Jawa
sebagai inti dari cerita ini. Secara singkat film “Java Heat” bercerita tentang sebuah tim rahasia
dari Amerika Serikat yang bekerjasama dengan polisi Indonesia. Mereka berusaha menangkap
sindikat internasional pelaku penculikan putri Sultan Jogjakarta dan pencuri perhiasan milik
keraton. Mengambil lokasi syuting di Jogjakarta dan sekitarnya, film ini berusaha
mempertemukan dua budaya yaitu Amerika (barat) dan Indonesia (timur) yang ceritanya
ditengahi dengan intrik-intrik dalam keindahan bangunan istana tua, candi-candi dalam labirin
terowongan bawah tanah dan dunia kriminal di sebuah kota di tengah-tengah Pulau Jawa.
Dikutip dari cineplex.com, film “Java Heat” sejatinya merupakan perwujudan kolaborasi budaya
barat dan timur untuk menunjukkan dan memberikan sudut pandang yang berbeda tentang
Indonesia. Connor Allyn, sang sutradara yang sebelumnya telah menggarap beberapa film
Indonesia seperti Trilogi Merah Putih dan tinggal di Indonesia selama 4 tahun ingin memberikan
fakta yang menarik tentang kebudayaan Jawa yang lembut dan keharmonisan antara umat
beragama. Ia ingin menyajikan suatu pandangan bahwa umat Islam di Indonesia tidak seperti
yang telihat di mata dunia.
Orang – orang Indonesia tentunya bangga akan hal ini. Betapa tidak, selain mengangkat
budaya Jawa ke mata dunia, film ini juga menempatkan beberapa artis asli Indonesia sebagai
pemeran utama dalam film ini. Atiqah Hasiolan, Aryo Bayu, Rio Dewanto serta beberapa
bintang top tanah air memegang peran yang cukup besar dalam film ini. Sebuah kebanggaan
besar bagi orang Indonesia ketika melihat mereka mampu bersanding dan beradu akting dengan
bintang – bintang kelas dunia seperti Kellan Lutz dan Mickey Rourke.
Film “Java Heat” akan dianalisis berdasarkan dikotomi oposisi biner yang dikemukakan
oleh Jacques Derrida. Konsep dikotomi dalam oposisi biner sebagai konsep awal dalam teori
poskolonial mendasarkan atas dua hal yang berlawanan, dan dalam film “Java Heat” kali ini,
bentuk dari oposisi biner antara barat dan timur adalah sebagai berikut :
Gayatri Spivak dalam bukunya Can the Subaltern Speak? mengungkapkan bahwa kaum
subaltern akan selalu tersisih karena penjajahan dilanjutkan dengan masyarakat terjajah yang
mewarisi pemikiran kolonial (penjajah). Hal ini juga direpresentasikan dalam “Java Heat.”
Konteks lemah dan kuat bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi mengenai lemah secara pola
Gambar diatas menjadi contoh bahwa pribumi akan selalu diperintah, dan asing akan
selalu memerintah. Para perempuan dengan pakaian adat lengkap, menjadi penari untuk
Mungkin terlihat mulia, bagaimana seorang barat yang sudah beberapa lama tinggal di
Indonesia mau memperkenalkan Indonesia ke mata dunia, mau mengangkat Indonesia naik ke
satu tingkat yang lebih tinggi bahwa negara ini dengan kebudayaannya beragam juga bisa
diperhitungkan dunia. Tapi apakah hal itu memang benar – benar sesuai dengan kenyataannya?
Dalam analisis kali ini ditunjukkan bahwa sebenarnya dalam film ini masih terasa unsur
poskolonialisme, dimana hegemoni yang kuat antara kaum barat terhadap kaum timur sangat
terasa. “Java Heat” masih terikat pada konsep orientalisme yang diungkapkan Edward Said
bahwa orientalisme adalah salah satu gaya dari kaum barat untuk mendominasi, membentuk dan
bahkan mengendalikan kaum timur.
Orientalisme bukan lagi sebuah kajian akademis yang netral, tapi juga dimotifi oleh
hasrat politik prasangka. Motivasi kaum kolonial untuk menguasai masih diaplikasikan dalam
bentuk penjajahan secara ideologis. Hal inilah yang terjadi pada film “Java Heat.” Secara
umum, film ini merupakan manifestasi dari pandangan seorang Connor Allyn dengan kacamata
barat menilai, menganalisa, lalu membentuk pandangan dia tentang Indonesia. Bertolak kepada
pandangan Said, bisa disimpulkan bahwa “Java Heat” adalah salah satu bentuk orientalisme.
Sudah tentu, sebagai suatu bentuk orientalisme, tidak semua orang menyadari bahwa film ini
adalah salah satu bentuk eksploitasi kebudayaan Indonesia di mata dunia barat, yang secara tidak
langsung tetap menempatkan Indonesia sebagai negara bekas jajahan dengan posisi rendah
dibanding negara – negara barat. Dunia timur tidak akan pernah bisa setara atau bahkan lebih
tinggi dari dunia barat, tetap akan dijajah dan dikendalikan oleh barat dengan cara apapun.
“Java Heat Kisah Apik Kolaborasi Budaya Timur Dan Barat – Review – CINEMA 21.N.p., n.d.
Web. 10 Dec. 2014.”
Spivak, Gayatri. Spivak In Other Words. 1st ed. Vol. 1. New York & London: Routledge Classic,
1998. Print.
Morton, Stephen. Gayatri Spivak : Ethic, Subalternity and Critique of Poscolonial Reason.
Penerjemah Wiwin Indiarti. Jogjakarta: Pararaton, 2008. Print.