You are on page 1of 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita berbagai

macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan,

baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua

cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.

Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Guru serta teman-teman

sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moril maupun material, sehingga makalah

ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Kami menyadari sekali, didalam

penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya,

baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada guru serta teman-teman

sekalian, yang kadangkala hanya menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika

ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makah kami dilain

waktu.

Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa

yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin

mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari judul ini ( proses

terbentuknya batubara ) sebagai tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.

Tinggiran Baru, 28 Juli 2017


Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………. ii


DAFTAR ISI …………………………………………………………………. iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ………………………………………………………. 1
2. Tujuan ………………………………………………………….. 3
3. Rumusan Masalah …………………………………………………. 3

BAB II
PEMBAHASAN
1. Genesa Batubara ………………………………………………… 4
2. Materi Penyusun Batubara ………………………………………. 4
3. Jenis-Jenis Batu Bara ……………………………………………… 7
4. Skema “Rank Of Coal” …………………………………………….. 9

BAB III
PROSES PEMBENTUKAN BATUBARA
1. Teori Pembentukan Batu Bara ………………………………………… 10
1) Teori Insitu ………………………………………………. 10
2) Teori Drift ……………………………………………………. 11

BAB IV
PENUTUP
1) Kesimpulan ……………………………………………………….. 18
2) Saran ………………………………………………………………. 19

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumber daya alam yang

melimpah, baik itu sumber daya alam hayati maupun sumber daya alam non-hayati. Sumber

daya mineral merupakan salah satu jenis sumber daya non-hayati. Sumber daya mineral yang

dimiliki oleh Indonesia sangat beragam baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Endapan

bahan galian pada umumnya tersebar secara tidak merata di dalam kulit bumi. Sumber daya

mineral tersebut antara lain: minyak bumi, emas, batu bara, perak, timah, dan lain-lain.

Sumber daya itu diambil dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.

Sumber daya alam merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional, oleh karena

itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dengan memperhatikan

kelestarian hidup sekitar. Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan sumber daya alam adalah

kegiatan penambangan bahan galian, tetapi kegiatan penambangan selain menimbulkan dampak

positif juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup terutama

perusahaannya ,bentang alam, berubahnya estetika lingkungan, habitat flora dan fauna menjadi

rusak, penurunan kualitas tanah, penurunan kualitas air atau penurunan permukaan air tanah,

timbulnya debu dan kebisingan. Sumber daya mineral yang berupa endapan bahan galian

memiliki sifat khusus dibandingkan dengan sumber daya lain yaitu biasanya disebut wasting

assets atau diusahakan ditambang, maka bahan galian tersebut tidak akan “tumbuh” atau tidak

dapat diperbaharui kembali. Dengan kata lain industri pertambangan merupakan industry dasar

tanpa daur, oleh karena itu di dalam mengusahakan industri pertambangan akan selalu

berhadapan dengan sesuatu yang serba terbatas, baik lokasi, jenis, jumlah maupun mutu

materialnya. Keterbatasan tersebut ditambah lagi dengan usaha meningkatkan keselamatan kerja

serta menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian dalam mengelola
sumberdaya mineral diperlukan penerapan system penambangan yang sesuai dan tepat, baik

ditinjau dari segi teknik maupun ekonomis,agar perolehannya dapat optimal (Prodjosoemanto,

2006 dalam Ahyani, 2011).

Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan

pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh syn-sedimentary dan

post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat

(rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi.

Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik,

utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Potensi

batubara Indonesia masih memungkinkan untuk lebih ditingkatkan lagi dengan memberikan

prioritas yang lebih besar pada pengembangan dan pemanfaatannya untuk meningkatkan peranan

batubara.

Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier,

yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada

umumnya endapan batubara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur

Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar

Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi. Di Indonesia

produksi batubara pada tahun 1995 mencapai sebesar 44 juta ton. Sekitar 33 juta ton dieksport

dan sisanya sebesar 11 juta ton untuk konsumsi dalam negeri. Dari jumlah 11 juta ton tersebut 60

% atau sekitar 6.5 juta ton digunakan untuk pembangkit listrik, 30 % untuk industri semen dan

sisanya digunakan untuk rumah tangga dan industri kecil.

2. Tujuan
Tujuan menyusun makalah ini ialah :

1. Mengetahui asal-usul (Ganesa) dari Batubara

2. Mengertahui Proses Pembentukan Batubara

3. Perumusan Masalah

1. Darimana batubara berasal

2. Bagaimana proses terbentuknya batubara


BAB II
PEMBAHASAN

1. Genesa Batubara

Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode Pembentukan

Karbon atau Batu Bara) – dikenal sebagai zaman batu bara pertama – yang berlangsung antara

360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh

suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’.

Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite (batu bara muda) atau ‘brown coal (batu bara

coklat)’ – Ini adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batu

bara jenis lainnya, batu bara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai

kecoklat-coklatan.

Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batu bara

muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan

mengubah batu bara muda menjadi batu bara ‘sub-bitumen’. Perubahan kimiawi dan fisika terus

berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebh hitam dan membentuk

‘bitumen’ atau ‘antrasit’. Dalam kondisi yang tepat, penigkatan maturitas organik yang semakin

tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.

2. Materi Penyusun Batubara

Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan

pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:

1. Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit endapan

batubara dari perioda ini.


2. Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan

batubara dari perioda ini.

3. Pteridofita, umur Devon Atas hingga KArbon Atas. Materi utama pembentuk batubara berumur

Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak

dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.

4. Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan

heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin)

tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama

batubara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.

5. Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang

menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae

sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.

3. Jenis-jenis Batubara

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan

waktu, batu bara umumnya dibagi dalam lima kelas antara lain antrasit, bituminus, sub-

bituminus, lignit dan gambut.

1. Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan metalik, mengandung

antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
2. Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya.

Kelas batu bara yang paling banyak ditambang di Australia.


3. Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi

sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.

4. Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75%

dari beratnya.

5. Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.Pada

umumnya endapan batu bara ekonomis dapat dikelompokkan sebagai batu bara berumur Eosen

atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier

Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi. Batu bara ini terbentuk dari

endapan gambut pada iklim purba sekitar khatulistiwa yang mirip dengan kondisi kini. Beberapa

diantaranya tergolong kubah gambut yang terbentuk di atas muka air tanah rata - rata pada iklim

basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut ini terbentuk pada kondisi dimana

mineral - mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk ke dalam sistem dan membentuk

lapisan batu bara yang berkadar abu dan sulfur rendah dan menebal secara lokal. Hal ini sangat

umum dijumpai pada batu bara Miosen. Sebaliknya, endapan batu bara Eosen umumnya lebih

tipis, berkadar abu dan sulfur tinggi. Kedua umur endapan batu bara ini terbentuk pada

lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta.

4. Skema “Rank of Coal”


BAB III
PROSES PEMBENTUKAN BATUBARA

1. Teori Pembentukan Batubara


Pada dasarnya semua teori setuju bahwa batubara berasal dari fosil tumbuhan. Namun

demikian ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana proses terjadinya batubara tersebut.

Untuk memahami bagaimana proses terbentuknya batubara dari tumbuh tumbuhan perlu

diketahui dimana batubara tersebut terbentuk dan faktor apa saja yang mempengaruhinya.

Adapun dua teori yang terkenal mengenai terbentuknya batubara yaitu :

1. Teori Insitu

Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terbentuknya

ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian setelah tumbuhan tersebut

mati, belum mengalami proses transportasi, segera tertimbun oleh lapisan sedimen dan

mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai

penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif kecil, Dapat

dijumpai pada lapangan batubara Muara Enim (SumSel).

2. Teori Drift

Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terbentuknya

ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian

setelah tumbuhan tersebut mati, diangkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, segera

tertimbun oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang

terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas tetapi dijumpai dibeberapa tempat,

kualitasnya kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama
selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi. Dapat dijumpai

pada lapangan batubara delta Mahakam Purba, Kaltim.

Proses pembentukan batubara dari tumbuhan mengalami dua tahap, yaitu : tahap

pembentukan gambut (peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification) :

A. Tahap Pembentukan Gambut (peatification)

Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, maka dapat terjadi proses biokimia yang secara

vertikal dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu zona permukaan yang umumnya perubahan

berlangsung dengan bantuan oksigen dan zona tengah sampai kedalaman 0,5m yang disebut

dengan peatigenic layer (Teichmuller, 1982). Pada zona peatigenic terdapat bakteri aerob, lumut,

dan actinomyces yang aktif. Bakteri aerob akan menyebabkan oksidasi biologi pada komponen-

komponen tumbuhan yang material utamanya adalah cellulose.

Senyawa-senyawa protein dan gula cenderung terhidrolisa. Cellulose akan diubah

menjadi glikose dengan cara hidrolisis:

C6H10O5 + H2O Þ C6H12O6

(cellulose) (glukose)

Jika suplai oksigen berlangsung terus, maka proses ini akan menuju pada penguraian

lengkap dari senyawa organik, yaitu:

C6H10O5 + 6 O2 Þ 6 CO2 + 5 H2O


Bagian-bagian dari material tumbuhan tersebut cenderung membentuk koloid dan

umumnya disebut dengan asam humus (humic acid). Lemak dan material resin umumnya hanya

mengalami perubahan sedikit.

Apabila kandungan oksigen air rawa sangat rendah dan dengan bertambahnya

kedalaman, sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri aerob hidup, maka sisa tumbuhan

tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna, dengan kata

lain tidak terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri

anaerob saja yang berfungsi melakukan proses pembusukan yang kemudian membentuk gambut

(peat).

Prosesnya adalah dengan bertambahnya kedalaman, maka bakteri aerob akan mati dan

diganti dengan bakteri anaerob sampai kedalaman 10 m, dimana kehidupan bakteri makin

berkurang dan hanya terjadi perubahan kimia, terutama kondensasi primer, polymerisasi, dan

reaksi reduksi. Pada bakteri anaerob akan mengkonsumsi oksigen dari substansi organik dan

mengubahnya menjadi produk bituminous yang kaya hidrogen, selanjutnya dengan tidak

tersedianya oksigen, maka hidrogen dan karbon akan menjadi H2O, CH4, CO, dan CO2.

Apabila ditinjau secara vertikal, maka lapisan gambut paling atas mempunyai

pertambahan kandungan karbon relatif cepat sesuai kedalamannya sampai peatigenic layer, yakni

45-50% sampai 55-60%. Lebih dalam lagi, pertambahan kandungan karbon mencapai 64%.

Kandungan karbon yang tinggi pada peatigenic layer disebabkan karena pada lapisan tersebut

kaya substansi yang mengandung oksigen, terutama cellulose dan humicellulose yang diubah

secara mikrobiologi.
Dari keseluruhan proses, maka pembentukan substansi humus merupakan proses penting

yang tidak tergantung pada fasies dan tidak semata-mata pada kedalaman. Oleh karena itu, faktor

yang mempengaruhi proses humifikasi dimana bakteri dapat beraktivitas dengan baik adalah

kondisi lingkungan berikut ini:

a) Keasaman air, yaitu pada pH 7,0-7,5.

b) Kedalaman, yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 m untuk bakteri aerob, sedangkan untuk bakteri

anaerob bisa sampai kedalaman 10 m.

c) Suplay oksigen, akan menurun mengikuti kedalaman.

d) Temperatur lingkungan, pada suhu yang hangat akan mendukung kehidupan bakteri.

Potonie (1920 dalam Teichmuller, 1982 dan Diessel, 1984), menyebutkan bahwa pada

rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang sama, maka potensial redox

(Eh) memegang peranan penting untuk aktifitas bakteri dan penggambutan. Ketersediaan

oksigen menentukan apakah proses penggambutan berjalan atau tidak. Berikut ini transformasi

organik dalam kaitannya dengan ketersediaan oksigen, dimana salah satu dari empat proses

biokimia di bawah ini akan terjadi pada tumbuhan yang telah mati, yaitu:

1. Bahan tumbuhan bereaksi dengan oksigen dan merapuh (desintegration), menghasilkan zat

terbang, terutama CO2, metan, dan air. Umumnya menghasilkan sisa yang tidak padat. Beberapa

unsur utama tumbuhan akan lebih tahan pada tipe ubahan ini, misal resin (getah) dan lilin.

2. Proses humifikasi atau pembusukan, yaitu bahan tumbuhan akan berubah menjadi humus akibat

oleh terbatasnya oksigen dari atmosfir dan tingginya kandungan air lembab. Batubara yang

dihasilkan berupa humic coal.


3. Proses penggambutan (peatification), yaitu keadaan muka air tinggi di atas lapisan yang

terakumulasi dapat mencegah terjadinya oksidasi, akibatnya pada lingkungan yang reduksi dan

adanya bakteri anaerob, jaringan-jaringan tumbuhan menjadi hancur, kemudian terakumulasi dan

menjadi gambut, selanjutnya akan menghasilkan humic coal.

4. Putrefaction (permentasi) yaitu penguraian hancuran tanaman akuatik (terutama algae), bahan

hanyutan, dan plankton dalam lingkungan reduksi pada kondisi air diam (stagnant), hasilnya

membentuk sapropel, sedangkan batubara yang dihasilkan adalah batubara sapropelik.

Ciri umum gambut adalah sebagai berikut:

a. Berwarna kecoklatan sampai hitam.

b. Kandungan air > 75% (pada brown coal < 75%)

c. Kandungan karbon umumnya < 60% (pada brown coal > 60%).

d. Masih memperlihatkan struktur tumbuhan asal, terdapat cellulose (pada brown coal cellulose

tidak hadir).

e. Dapat dipotong dengan pisau (pada brown coal tidak dapat dipotong).

f. Bersifat porous, bila diperas dengan tangan, keluar airnya.

Berdasarkan ciri di atas adalah tidak mudah secara pasti membedakan antara peat dan

brown coal, apalagi proses perubahannya berlangsung secara bertahap.

B. Tahap pembatubaraan (coalification)

Menurut Stach (1982) tahap geokimia atau tahap pembatubaraan disebut sebagai tahap

fisika-kimia (physicochemical stage), yaitu tahap perubahan dari gambut menjadi batubara
secara bertingkat (brown coal, sub-bituminous coal, bituminous coal, semi anthracite, anthracite,

meta-anthracite) yang disebabkan oleh peningkatan temperatur dan tekanan.

Prosesnya, jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen,

maka akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen tersebut, tekanan akan meningkat dengan

bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah akan mengakibatkan

peningkatan temperatur. Disamping itu, temperatur juga akan meningkat dengan bertambahnya

kedalaman yang disebut gradien geotermal. Kenaikan temperatur dan tekanan juga disebabkan

oleh aktivitas magma dan aktivitas tektonik lainnya. Peningkatan tekanan dan temperatur pada

lapisan gambut akan mengkonversi gambut menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan

kandungan air, pelepasan gas-gas (H2O, CH4, CO, dan CO2), peningkatan kepadatan dan

kekerasan, serta peningkatan kalor. Faktor tekanan dan temperatur serta waktu merupakan

faktor-faktor yang menentukan “kualitas” batubara. Pada tahap ini terjadi perubahan rombakan

tumbuhan dari kondisi reduksi ke suatu seri menerus dengan prosentase karbon makin meningkat

dan prosentase oksigen serta hidrogen makin berkurang. Juga sifat fisik maseral mulai terbentuk,

seperti kenaikan reflektansi maseral batubara seiring dengan naiknya derajat proses kimia-fisika.

Perubahan-perubahan fisika-kimia yang berlangsung secara bertahap dapat dijelaskan sebagai

berikut, dan singkatnya dapat dilihat pada gambar.

1) Tahap pertama adalah pembentukan peat, proses berlangsung terus sampai membentuk endapan,

di bawah kondisi asam menguapnya H2O, CH4, dan sedikit CO2 membentuk C65H4O30 yang

dalam kondisi dry basis besarnya analisa pada ultimate adalah karbon 61,7%, hidrogen 0,3%,

dan oksigen 38,0%.


2) Tahap kedua adalah tahap lignit kemudian meningkat ke bituminous tingkat rendah dengan

susunan C79H55O141 yang pada kondisi dry basis adalah karbon 80,4%, hidrogen 0,3%, dan

oksigen 19,1%.

3) Tahap ketiga adalah peningkatan dari batubara bituminous tingkat rendah sampai tingkat

medium dan kemudian sampai batubara bituminous tingkat tinggi. Pada tahap ini kandungan

hidrogen tetap dan oksigen berkurang sampai satu atom oksigen tertinggal di molekul.

4) Tahap keempat, kandungan hidrogen berkurang, sedangkan kandungan oksigen menurun lebih

lambat dari tahapan sebelumnya. Hasil sampingan tahap tiga dan empat adalah CH4, CO2, dan

sedikit H2O.

5) Tahap kelima adalah proses pembentukan antrasit dimana kandungan oksigen tetap dan

kandungan hidrogen menurun lebih cepat dari tahap-tahap sebelumnya.


BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan

1. Ganesa Batubara

Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode Pembentukan

Karbon atau Batu Bara) – dikenal sebagai zaman batu bara pertama – yang berlangsung antara

360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh

suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’.

Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite (batu bara muda) atau ‘brown coal (batu bara

coklat)’ – Ini adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batu

bara jenis lainnya, batu bara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai

kecoklat-coklatan. Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan

tahun, batu bara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas

organiknya dan mengubah batu bara muda menjadi batu bara ‘sub-bitumen’. Perubahan kimiawi

dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebh hitam dan

membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’. Dalam kondisi yang tepat, penigkatan maturitas organik

yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.

2. Proses pembentukan batubara

Proses pembentukan batubara dari tumbuhan mengalami dua tahap, yaitu :

a) Tahap Pembentukan Gambut (peatification)

b) Tahap pembatubaraan (coalification)

2. Saran
Sebaiknya sumber daya alam seperti Batubara yang ada di Indonesia dipergunakan sebaik

mungkin sehingga kemanfaatan bahan bakar fosil dapat berjalan secara maksimal,karena bahan

bakar fosil tidak dapat diperbarui dan juga dalam proses pembentukannya membutuhan waktu

yang sangat lama.


DAFTAR PUSTAKA

Prodjosoemanto, 2006 dalam Ahyani, 2011

Dongke, dannu 2016. Makalah Batubara, toraja-mining.blogspot.com

Rais, M Arif Arifin 2016.Teknik Industri, Pengetahuan Lingkungan, Makassar

Fuadi, Muhammad Luhfi 2016. Tehnik Elektro, Pertambangan, Depok

Eibroo.com 2017, Pengantar Makalah

You might also like