You are on page 1of 60

1

MEMBANGUN KUALITAS BANGSA DENGAN


BUDAYA LITERASI
Oleh H. Ma’mun Zahrudin

A. PENDAHULUAN
Salah satu fungsi pendidikan yang tertuang dalam
UUD 1945 adalah untuk mencerdasakan bangsa. Hal
tersebut juga diamanatkan dalam undang-undang No. 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan
tersebut secara jelas menggambarkan bagaimana urgensitas
pendidikan dalam mempersiapkan manusia atau masyarakat
dalam menghadapi tantangan global.
Pendidikan nasional diibaratkan sebagai bangunan
gedung yang sangat kuat dan mewah sehingga dibutuhkan
dasar dan fondasi yang kuat untuk menjaga kualitas
sehingga tidak mudah roboh.

2
Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kecerdasan
dan pengetahuannya, sedangkan kecerdasan dan
pengetahuan di hasilkan oleh seberapa ilmu pengetahuan
yang didapat, sedangkan ilmu pengetahuan di dapat dari
informasi yang diperoleh dari lisan maupun tulisan.
Semakin banyak penduduk suatu wilayah yang semangat
mencari ilmu pengetahuan, maka akan semakin tinggi
peradabannya. Budaya suatu bangsa biasanya berjalan
seiring dengan budaya literasi, faktor kebudayaan dan
peradaban dipengaruhi oleh membaca yang dihasilkan
dari temuan- temuan kaum cendekia yang diabadikan
dalam tulisan yang menjadikan warisan literasi informasi
yang sangat berguna bagi proses kehidupan sosial yang
dinamis.

B. BUDAYA LITERASI
Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai
sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita
mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan.

3
Namun sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga
keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan
mengandung beragam arti (multi literacies). Ada
bermacammacam keberaksaraan atau literasi , misalnya
literasi komputer (computer literacy), literasi media
(media literacy), literasi teknologi (technology literacy),
literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi
(information literacy), bahkan ada literasi moral (moral
literacy). Jadi, keberaksaraan atau literasi dapat diartikan
melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka
terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik.
Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami
sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan
melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap
isi bacaan tersebut. Kepekaan atau literasi pada
seseorang tentu tidak muncul begitu saja. Tidak ada
manusia yang sudah literat sejak lahir. Menciptakan
generasi literat membutuhkan proses panjang dan sarana
yang kondusif. Proses ini dimulai dari kecil dan dari

4
lingkungan keluarga, lalu didukung atau dikembangkan
di sekolah, lingkungan pergaulan, dan lingkungan
pekerjaan. Budaya literasi juga sangat terkait dengan
pola pembelajaran di sekolah dan ketersediaan bahan
bacaan di perpustakaan. Tapi kita juga menyadari bahwa
literasi tidak harus diperoleh dari bangku sekolah atau
pendidikan yang tinggi. Kemampuan akademis yang
tinggi tidak menjamin seseorang akan literat. Pada
dasarnya kepekaan dan daya kritis akan lingkungan
sekitar lebih diutamakan sebagai jembatan menuju
generasi literat, yakni generasi yang memiliki
ketrampilan berpikir kritis terhadap segala informasi
untuk mencegah reaksi yang bersifat emosional.
Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab
rendahnya budaya literasi, namun kebiasaan membaca
dianggap sebagai faktor utama dan mendasar. Padahal,
salah satu upaya peningkatan mutu sumber daya manusia
agar cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan
global yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia

5
adalah dengan menumbuhkan masyarakat yang gemar
membaca (reading society). Kenyataannya masyarakat
masih menganggap aktifitas membaca untuk
menghabiskan waktu (to kill time), bukan mengisi waktu
(to full time) dengan sengaja. Artinya aktifitas membaca
belum menjadi kebiasaan (habit) tapi lebih kepada
kegiatan ’iseng’.
Menurut Kimbey (1975,662) kebiasaan
adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang
tanpa adanya unsur paksaan. Kebiasaan bukanlah sesuatu
yang alamiah dalam diri manusia tetapi merupakan hasil
proses belajar dan pengaruh pengalaman dan keadaan
lingkungan sekitar. Karena itu kebiasaan dapat dibina
dan ditumbuhkembangkan. Sedangkan membaca
(Wijono 1981, 44 dan Nurhadi 1978, 24) merupakan
suatu proses komunikasi ide antara pengarang dengan
pembaca, di mana dalam proses ini pembaca berusaha
menginterpretasikan makna dari lambanglambang atau
bahasa pengarang untuk menangkap dan memahami ide

6
pengarang. Maka kebiasaan membaca adalah kegiatan
membaca yang dilakukan secara berulangulang tanpa ada
unsur paksaan. Kebiasaan membaca mencakup waktu
untuk membaca, jenis bahan bacaan, cara mendapatkan
bahan bacaan, dan banyaknya buku / bahan bacaan yang
dibaca.Kemampuan membaca merupakan dasar bagi
terciptanya kebiasaan membaca. Namun demikian
kemampuan membaca pada diri seseorang bukan
jaminan bagi terciptanya kebiasaaan membaca karena
kebiasaan membaca juga dipengaruhi oleh faktor lainnya
(Winoto, 1994 : 151), seperti ketersediaan bahan bacaan.
Perkembangan kebiasaan melakukan kegiatan
merupakan proses belajar yang dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Gould (1991, 27) menyatakan
bahwa dalam setiap proses belajar, kemampuan
mendapatkan ketrampilan-ketrampilan baru tergantung
dari dua faktor, yaitu faktor internal dalam hal ini
kematangan individu dan ekternal seperti stimulasi dari
lingkungan.

7
C. BUDAYA LITERASI DAN KUALITAS BANGSA
Sering kita bertanya dalam hati, mengapa negara
kita susah bersaing dengan negara-negara lain, apa ada
yang salah dalam system perikehidupan rakyat kita.
Seberapakah strata pendidikan, kemampuan dan
penguasaan ilmu pengetahuan yang dimiliki, inovasi dan
rekayasa teknologi yang sudah kita buat, apa yang telah
dihasilkan karya-karya monumental putra-putri Bangsa
Indonesia saat ini, semua itu menggelitik di sanubari para
kaum cerdik pandai yang merumuskan dari titik mana
kita mau mulai membenahi bangsa kita.
Indonesia sebagai negara berkembang, belum
memiliki budaya membaca seperti halnya Jepang.
Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik berkenaan
dengan perilaku sosial budaya di dalam masyarakat
diketahui persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas
yang membaca surat kabar atau majalah sebesar 18.94%
pada tahun 2009 atau turun dari angka sebelumnya

8
sebesar 23.46% pada tahun 2006. Tentu saja ini
merupakan berita yang menyedihkan bagi Negara
berkembang yang ingin maju. Indonesia temasuk salah
satu Negara yang paling sedikit peminat membacanya.
Rendahnya minat baca masyarakat kita sangat
mempengaruhi kualitas bangsa Indonesia, sebab dengan
rendahnya minat baca, tidak bisa mengetahui dan
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
informasi di dunia, di mana pada ahirnya akan
berdampak pada ketertinggalan bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, untuk dapat mengejar kemajuan yang telah
dicapai oleh negara-negara tetangga, perlu kita kaji apa
yang menjadikan mereka lebih maju. Ternyata meraka
lebih unggul di sumber daya manusianya. Budaya
membaca mereka telah mendarah daging dan sudah
menjadi kebutuhan mutlak dalam kehidupan sehari
harinya. Untuk mengikuti jejak merekadalam
menumbuh-kan minat baca sejak dini perlu ditiru dan
diterapkan pada masyarakat, terutama pada tunas-tunas

9
bangsa yang kelak akan mewarisi negeri ini.
Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kecerdasan
dan pengetahuannya, sedangkan kecerdasan
danpengetahuan dihasilkan oleh seberapa ilmu
pengetahuan yang di dapat, sedangkan ilmu pengetahuan
didapat dari informasi yang diperoleh dari lisan maupun
tulisan. Semakin banyak penduduk suatu wilayah yang
haus akan ilmu pengetahuan semakin tinggi kualitasnya.
Kualitas suatu bangsa biasanya berjalan seiring
dengan budaya literasi, faktor kualitas dipengaruhi oleh
membaca yang dihasilkan dari temuan- temuan para
kaum cerdik pandai yang terekam dalam tulisan yang
menjadikan warisan literasi informasi yang sangat
berguna bagi proses kehidupan social yang dinamis. Para
penggiat pendidikan sepakat bahwa pintu gerbang
penguasaan ilmu pengetahuan adalah dengan banyak
membaca. Sebab dengan membaca dapat membuka
jendela dunia. Ketika jendela dunia sudah terbuka,
masyarakat Indonesia akan dapat melihat keluar, sisi-sisi

10
apa yang ada dibalik jendela tersebut. Sehingga cara
berpikir masyarakat kita akan maju dan keluar dari zona
kemiskinan menuju kehidupan yang sejahtera.
Bila sebelumnya membaca identik dengan
buku atau media cetak saja, maka di zaman sekarang
yang sudah serba digital, membaca tidak lagi terpaku
pada membaca kertas karna segala informasi terkini teleh
tersedia di dunia maya/ internet dan media elektronik
lainnya. Dengan semakin mudahnya media untuk
mendapatkan informasi bacaan maka sudah seharusnya
kita tingkatkan minat baca kita.
Penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan
memang menjadi tulang punggung kemajuan peradaban
suatu bangsa. Tidak mungkin menjadi bangsa yang
besar, apabila hanya mengandalkan budaya oral yang
mewarnai pembelajaran di lembaga sekolah maupun
perguruan tinggi. Namun disinyalir bahwa tingkat literasi
khususnya di kalangan sekolah semakin tidak diminati,
hal ini jangan sampai menunjukkan ketidakmampuan

11
dalam mengelola sistem pendidikan yang mencerdaskan
kehidupan bangsa. Karena itulah sudah saatnya, budaya
literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak
bisa mengenal bahan bacaan dan menguasai dunia tulis-
menulis.

D. MENINGKATKAN DAYA BACA MASYARAKAT


Bagaimana cara meningkatkan daya baca
masyarakat Indonesia sehingga akan terbentuk budaya
literasi? Ada beberapa program yang layak dijalankan.
Pertama, kita perlu memperbaiki kualitas dan
pemerataan pendidikan agar bisa mendorong tingkat
melek huruf yang lebih tinggi. Infrastruktur (fasilitas)
dan suprastruktur (sumber daya manusia) perlu
dikembangkan hingga menjangkau pelosok Tanah Air.
Jangan sampai ada masyarakat di pedalaman Nusantara
yang masih sulit belajar gara- gara tidak ada sekolah,
kekurangan guru, atau minim fasilitas lain. Negara
bertanggung jawab memenuhi fasilitas pendidikan bagi
warganya.

12
Kedua, kita bangun lebih banyak perpustakaan di
semua daerah sebagai tempat yang nyaman untuk
membaca, jumlah koleksi buku yang banyak, dan
menawarkan kegiatan yang menarik.
Ketiga, dibutuhkan program- program
berkelanjutan untuk lebih memperkenalkan buku dan
mendorong minat baca buku ke sekolah dan masyarakat
umum. Jangan terpaku pada seremoni, tetapi fokus pada
terobosan yang lebih membumi dan memikat kaum muda
untuk membaca.
Keempat, dari sisi penerbit, kita dorong agar
semakin banyak buku diterbitkan, terutama buku-buku
yang berkualitas dari berbagai bidang. Kian banyak
tawaran buku menarik, kian banyak alternatif bacaan
bagi masyarakat.
Kelima, kita dukung kekuatan masyarakat madani
untuk bersama-sama pemerintah dan semua pihak
membangun peradaban membaca buku.

13
E. PENUTUP
Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah
kuncinya. Dengan membaca buku, ilmu pengetahuan
akan didapatkan. Kegiatan membaca akan menambah
wawasan sekaligus mem- pengaruhi mental
dan perilaku seseorang, dan bahkan memiliki pengaruh
besar bagi masyarakat. Pada gilirannya, kegemaran
membaca ini akan membentuk budaya literasi yang
berperan penting dalam menciptakan bangsa yang
berkualitas.
Rumusan ini mudah diucapkan, tetapi perlu kerja keras
untuk diwujudkan, apalagi bila kita bicara tentang
Indonesia. Penyebabnya, meski sudah 70 tahun merdeka,
angka melek huruf kita masih rendah. UNDP merilis,
angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5
persen. Sebagai perbandingan, angka melek huruf di
negeri jiran kita, Malaysia, mencapai 86,4 persen. Hal ini
terkait dengan pendidikan kita yang masih belum maju.
Sebagai gambaran, berdasarkan data UNESCO,

14
Indonesia berada di urutan ke- 69 dari total 127 negara
dalam indeks pembangunan pendidikan UNESCO. dan
mengingatkan pemerintah dan elit politik agar segera
mengambil kebijakan yang efektif. Jika tidak, Indonesia
akan terus terpuruk dan menjadi negara paria. Budaya
literasi adalah masalah serius.
Akhirnya, mari kita membangun kesadaran bersama,
budaya literasi Indonesia sudah berada dalam kondisi
kritis. Kalau para pemimpin kita kelihatan begitu tenang,
bahkan tidak peduli, tampaknya sudah saatnya
kelompok- kelompok masyarakat sipil
memperjuangkan budaya literasi dan mengingatkan
pemerintah dan elit politik agar segera mengambil
kebijakan yang efektif. Jika tidak, Indonesia akan terus
terpuruk dan menjadi negara paria. Budaya literasi
adalah masalah serius.

15
DAFTAR PUSTAKA

Gould, Toni S., 1991. Get Ready to Read : a Practical Guide for
Teaching Young Children at Home and in School, New
York : Walker Company.

Kimbley, Gregory A., 1975. “Habit”.


Encyclopedia Americana,

Nurhadi, Mulyani Ahmad., 1978. “Pembinaan Minat Baca dan


Promosi Perpustakaan”. Berita Perpustakaan Sekolah,

Wijono, 1981. “Bimbingan Membaca”. Berita Perpustakaan


Sekolah,

Winoto, Yunus. 1994. ”Bagaimana Caranya Mengetahui


Kemampuan Membaca Anda.” Pembimbing Pembaca,

Republika, 12 september 2015

16
Penulis

H. Ma’mun Zahrudi, M.Pd.I lahir di Bekasi pada


tanggal 04 Mei tahun 1968. Pekerjaan sebagai Guru
Bahsa Arab di Madrasah Tsanawiyah Nur El Ghazy
Tambun. Mulai mengajar tahun 1987 ketika masih kuliah
di Institut Agama Islam Shalahudin ( INISA ) tambun.
Tahun 1990 Lulus dari INISA pada Fakultas Adab
Jurusan Sastra Arab. Tahun 1991 kuliah pada Fakultas
Tarbiyah Universitas Singaperbangsa Krawang jurusan
Pendidikan Agama Islam dan lulus tahun 1994
kemudian melanjutkan kuliah ke jenjang Strata 2 pada
Sekolah Panca Sarjana Universitas Islam “45” dan lulus

17
tahun 2004.
Pada tahun 1995 menjadi dosen luar biasa pada Sekolah
Tinggi Agama Islam Nur El Ghazy sampai sekarang (
2019 ).
Tahun 2006 menulis buku Statistik Pendidikam, Metodologi
Penelitian Pendidikan ( 2007 ), Evalusi Pembelajaran
tahun ( 2011 ), Menulis Karya Ilmiah ( 2014 ) di samping
itu juga aktif menulis di blog di antaranya;

a. https://mutiarahikmahmamun.blogspot.com
b. https://evaluasipembelajaranelghazy.blogspot.com
c. https://akhlaqtasawufmamun.blogspot.com
d. https://haditstarbawielghazy.blogspot.com
e. https://mediapembelajaranelghazy.blogspot.com
f. https://metodologinurelghazy.blogspot.com
g. https://statistikelghazy.blogspot.com
h. https://karyatulisilmiahelghazy.blogspot.com

18
Safari Literasi Bangkitkan Tradisi Ilmiah
Oleh : Wahyudin, M.Pd.I (Pengawas PAI Kemenag Kab.
Bekasi)

Dunia literasi akhir-akhir ini sedang sampai pada


momentumnya. Sebagai bukti, Kemendikbud menggulir-
kan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Setiap sekolah dari
TK hingga SLTA bahkan Perguruan Tinggi berlomba
meng-kampanyekan literasi dengan berbagai bentuknya.
Seperti termaktub dalam Hands-Out Bahan Pelatihan
Kurikulum 2013 (Kemendikbud: 2017: 44) diungkapkan
bahwa “literasi berarti kemampuan untuk memahami,
mempergunakan, dan menciptakan berbagai bentuk
informasi untuk perkembangan diri dan sosial dalam rangka
pembangunan dan kehidupan yang lebih baik. Literasi
mengacu pada kemampuan membaca, menulis dan
mempergunakan berbagai media sebagai sumber belajar
secara kritis. Literasi yang dibutuhkan di abad 21
diantaranya adalah kemampuan komunikasi, berbahasa,
keterampilan mempergunakan dan mengolah informasi. Ini

19
semua membutuhkan kemampuan berpikir kritis dan
kreatif”. Sangat universal makna literasi ini, bukan hanya
membaca atau menulis ansich tetapi memproduksi gagasan
dan mengolah data termasuk literasi pada era digital yang
penuh tantangan ini.
Lebih intens lagi kita pahami bahwa literasi itu
bukan hanya membaca tetapi satu paket dengan menulis.
Orang yang menjadikan habit membaca idealnya mampu
menuliskannya. Sangatlah jelas yang diutarakan Alquran,
Iqra dan dihubungkan dengan Allazi Allama Bilqolam. (QS.
Al Alaq : [96] : 1 dan 4), diawali dengan membaca dan
dilanjutkan dengan menuliskannya. Bahkan Quraish Shibab
(2000: 167) mengartikan kata iqra dari kata qaraa artinya
“menghimpun”. Lebih luas dikatakan bahwa iqra artinya
menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya. Betapa luasnya
makna iqra sehingga hal ini memberi peluang kepada kita
untuk meningkatkan kualitas diri. Baik ilmu secara teoritis

20
maupun dalam tataran praktis. Inilah makna iqra dalam
membangun peradaban.
Merujuk pada hasil statistik yang sangat
menggemparkan menjadi bahan evaluasi bangsa ini
diungkapkan Satria Dharma Penggiat Literasi Nasional
dalam Catur Nurrohman Octavian (2016) menyatakan
bahwa untuk urusan most literate nation (kaitan membaca
dan menulis) bangsa Indonesia berada di peringkat 60 dari
61 negara. Menurut hemat saya hasil statistik ini sangat
ironis. Mengapa demikian? Karena NKRI nota bene
berpenduduk mayoritas muslim sudah memahami urgensi
iqra yang dijelaskan di dalam Alquran. Idealnya memahami
betul bahwa sumber menggali dan menguasai ilmu
pengetahuan mutlak dengan iqra yaitu membaca dan
menulis. Untuk memberikan kontribusi sesuai kapasitas,
sebagai ASN Kemenag berupaya untuk menggaungkan
kesadaran berliterasi dengan safari literasi. Gayung
bersambut, realiasi safari ini diawali dengan mengikuti
beberapa kali acara kepenulisan untuk meningkatkan minat

21
membaca dan menulis. Sehingga ada spirit membara untuk
membangkitkan energi membaca dan menulis. Terutama hal
menulis, mayoritas orang sangat enggan. Ada semacam
stigma negatif bahwa menulis itu susah. Menulis membuat
seseorang menjadi stress tertekan dan mindset negatif
lainnya. Saya teringat dengan pendapat Hernowo Hasim
(2017) dalam bukunya Free Writing dalam Kata
Pengantarnya Haidar Bagir mengutip pemikiran Goldberg
mengatakan “ada surga menulis, yaitu jika seseorang
berhasil mengalirkan pemikirannya sendiri secara bebas dan
tanpa tekanan. Atau menulis secara spontan tanpa
memikirkan terlalu dalam apa yang ditulis. Suatu saat ada
waktunya untuk mengkorelasikan secara fenomenologis.”.
Menulis bebas cikal bakal semangat seseorang untuk
menuliskan sebuah karya.
Terlebih di zaman serba digital ini masih menurut
Haidar Bagir bahwa di zaman maraknya copy paste maka
free writing sangat penting. Pertama, memberikan peluang
kepada siapa saja untuk membangkitkan potensi menulis

22
dalam cara-cara yang mudah, ringan dan menyenangkan.
Kedua, ia juga akan memperkaya strategi menulis karena
memanfaatkan otak belahan kanan yang sangat potensial,
dan ketiga, ia berpeluang mengubah banyak orang yang
tidak suka menulis atau sudah bertahun-tahun mengalami
trauma menulis menjadi senang dengan menulis.
Realitas di atas membangkitkan semangat diri untuk
mengadakan Safari Literasi dalam upaya mem-bangkitkan
tradisi ilmiah. Setelah bersafari ke sekolah dan madrasah
ternyata motivasi literasi di kalangan Guru dan Tenaga
Kependidikan sangat lemah. Terutama dalam hal menulis
karya ilmiah, baik Penelitian Tindakan Kelas (PTK), artikel,
assay, puisi, prosa atau reportase sederhana baik yang
berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)
maupun yang ada hubungannya dengan fenomena sosial. Di
antara penyebabnya yaitu minimnya daya baca sehingga
sulit sekali untuk menggoreskan pena. Seperti dijelaskan
Hernowo Hasim (2017: 7) mengutip pesan penting Dr.
Krashen dalam bukunya, The Power of Reading bahwa

23
“membaca adalah memasukkan kata ke dalam diri. Semakin
sang diri banyak membaca dan buku-buku yang dibacanya
memiliki keragaman serta kekayaan kata yang luar biasa
maka diri tersebut juga akan memiliki perbendaharaan kata
yang kaya dan beragam”. Saya menjadi tertantang untuk
membuka misteri fenomena tersebut. Mengapa guru yang
nota bene berkecimpung di dunia pendidikan dan ilmiah
sangat lemah dalam hal berliterasi terutama menulis?
Pertanyaan ini bisa dijawab saat saya mengadakan safari
literasi.

Safari Literasi dengan Pelatihan Menulis dan Melatih


Menulis

Diawali mengikuti pelatihan menulis di Sawangan


pada tahun 2016 sangat menggugah spirit menulis, karena
saat itu berkumpul Guru, Dosen, Widya Iswara dan
Pengawas dari beberapa provinsi. Secara umum mereka
sudah giat menulis bahkan banyak yang sudah menerbitkan

24
beberapa buku. Mulai saat inilah ada hasrat untuk menulis
setelah tahun 2005 menyelesaikan tugas akademik menulis
tesis ketika Studi Pasca Sarjana di UNISMA Bekasi. Setiap
Sarjana atau yang sudah kuliah di Pasca Sarjana pasti bisa
membudayakan menulis. Ternyata realitasnya tidak
demikian banyak hal yang memengaruhinya.
Sangat relevan yang diungkapkan Renald Kasali
dalam Hernowo Hasim (2016:28),”banyak orang berpikir,
para sarjana otomatis bisa menulis. Faktanya, banyak dosen
yang mengambil program doktor kesulitan merajut
pemikirannya menjadi tulisan yang baik. Hanya dengan
mengajar saja tidak ada jaminan seorang pendidik bisa
menulis. Menulis membutuhkan latihan dan, seperti seorang
pemula, ia pasti memulai dengan karya yang biasa-biasa
saja, bahkan cenderung buruk. Namun sepanjang itu
original, patut dihargai. Karya-karya original yang dialami
terus-menerus lambat laun akan menemukan “pintu”-nya”,
yaitu jalinan pemikiran yang berkembang. Sayangnya,
tradisi menulis di kampus sangat rendah. Bahkan dosen-
dosen yang menulis di surat kabar sering dicibir koleganya
sebagai llmuwan Koran. Ada pandangan, lebih baik tidak
menulis dari pada dipermalukan teman sendiri. Padahal dari
situ, seorang ilmuwan mendapatkan latihan menulis”.
(Dalam “Orang Pintar Plagiat”- Kompas Edisi Selasa, 20
April 2010).

25
Ungkapan Renald Kasali itu tahun 2010, tetapi
masih sesuai untuk membangkitkan spirit menulis di
kalangan dosen, guru, ustaz, ASN dan masyarakat pada
umunya. Sehingga semuanya berjiwa literate. Ada upaya
untuk berbagi informasi, ilmu, wawasan dan pengalaman
berharaga untuk menginspirasi kehidupan. Gayung
bersambut, saya diikutsertakan pada Program Gerakan
Menulis bagi Guru dalam Rangka Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutkan (PKB) yang diselenggara-kan
oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan
Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Bahasa Bekerjasama
dengan Media Guru Indonesia pada tanggal 22 s.d. 24 April
2017 bertempat di PPPPTK Bahasa Kemendikbud di
Sawangan. Banyak hal yang dibahas dalam acara tersebut
terutama motivasi menulis bangkit kembali. Semua peserta
mayoritas sudah memiliki tulisan bahkan banyak yang
sudah menerbitkan buku. Pengalaman luar biasa didapat,
ternyata menulis itu bukan bakat tetapi dibutuhkan pelatihan

26
kontinu. Tidak ada orang yang menulis langsung bagus
tulisannya tetapi ada proses yang terus dilakukan.
Umumnya orang mengatakan, saya ini sibuk sehingga tidak
bisa menulis dan tidak ada waktu untuk menulis. Kondisi
seperti ini yang mematahkan semanagat untuk menulis.
Much. Khoiri dalam bukunya Sapa Ora Sibuk “Menulis
dalam Kesibukan” (2016 :3) menyatakan “jangan
atasnamakan kesibukan untuk tidak menulis, kerena
menulis itu panggilan yang sama wajibnya dengan
membaca”. Ungkapan ini membangkitkan saya untuk terus
menulis baik di surat kabar, majalah, esay, artikel, jurnal
kampus, makalah, power point untuk mengisi bahan
pelatihan, diskusi dan seminar, termasuk menyampaikan
Khutbah Jumat dan pengajian di Kampung.
Untuk melebarkan sayap dalam Safari Literasi,
bersyukur diberi kesempatan menjadi Nara Sumber di
STAI Haji Agus Salim Cikarang Bekasi dalam acara
Seminar pada 15 Oktober 2017 dengan tema : Literacy:
Revealing a Scientific Tradition Building a Civilization.

27
Banyak hal yang dibahas pada acara ini, terutama membuka
wacana akademis dan sekaligus mempraktik-kan membaca
dan menulis. Sumber ilmu dari membaca kemudian
berupaya menuliskannya. Seorang peserta bertanya:
“Apakah bisa menulis, sedangkan belum pernah
mencobanya. Berusaha untuk memberi motivasi, bahwa
menulis itu adalah komunikasi dengan pikiran dan hati
kemudian dilesakkan dengan kata dan kalimat bermakna
maka terwujudlah sebuah karya. Juga, dengan menulis akan
melanggengkan peradaban. Tulisan yang digoreskan akan
abadi. Bisa jadi menginspirasi dunia. Mulai lah menulis
untuk mengabadikan peradaban. Kita lihat, Karya basar
seperti Mazahibul Arbaah dengan Empat Mazhab, Buya
hamka dengan Tafsir Al Azhar, M. Quraish Shihab dengan
Tafsir Al Misbah dan para Mufassir lain yang membuahkan
karya monumental sampai detik ini kita ambil manfaatnya.
Semuanya dengan literasi yang melestarikan ilmu
pengetahuan sepanjang zaman. Kesempatan lain dari Ust.
Irfan Fahrizal Kepala SMPIT Insan Kamil Cikarang Utara

28
menjadikan penulis sebagai Nara Sumber dalam acara
Bedah Buku pada tanggal 23 Juli 2018. Sebuah pengalaman
luar biasa untuk Safari Literasi memotivasi peserta didik
sebagai cikal bakal ulul albab di masa akan datang. Hasil
dari acara ini terbentuk lah komunitas penulis di kalangan
siswa melahirkan Buku Antologi Siswa. Kian jelas, menulis
itu kewajiban untuk meningkatkan tradisi ilmiah. Paling
tidak membuka wawasan kepada peserta didik untuk
menjadi ilmuan harus “gila membaca”. Bahkan orang
mengatakan membaca itu jendela dunia. Di tengah era
digital yang menyeruak, peserta didik tetap konsisten
membaca buku.

Pengalaman sangat berharga terus menghiasi


pengalaman berliterasi, dengan menjadi Narasumber sebuah
acara Academic Writing Workshop di STAI Haji Agus
Salim dengan tema: Budayakan Menulis Ilmiah Menuju
Profesionalitas Intelektual di kalangan Dosen dan
Mahasiswa”. Acara ini digagas oleh Litbang STAI HAS,
Daan Dini Khairunida sebagai Direkturnya disupport juga

29
Kaprodi Hukum Ekonomi Syariah (HES) Dadang
Hermawan dan Kaprodi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Noor Azida Batubara. Sangat bermanfaat acara ini sehingga
pada diri mahasiswa tumbuh kesadaran untuk berliterasi dan
menguatkan tradisi ilmiah di tengah akademisi. Seiring
zaman internet mudah sekali mencari informasi, mahasiswa
kehilangan idea. Analisis kian tumpul karena disuguhkan
informasi yang mudah dari google. Masalah apapun bisa
diakses sehingga budaya Copy Paste merajalela di mana-
mana. Para akademisi relatif enggan untuk berkarya.
Sebuah tantangan luar biasa. Karena bila hal ini menggejala
akan memberangus kreativitas dalam literasi.

Upaya Membangkitkan Tradisi Ilmiah

Ada sebuah statemen pada salah satu Pondok


Pesantren di Subang : “Banyak Orang Berijazah tetapi
Sedikit yang Ilmiah”. Sebuah kritik pedas dilontarkan.
Mengapa tidak? Karena umumnya setelah seseorang
memiliki ijazah SD/MI, SLTP,SLTA, Strata 1, S2, bahkan

30
S3 banyak yang berhenti untuk belajar. Sudah segan
membaca buku terlebih menulis. Mereka mengira belajar
sudah selesai seiring dengan prosesi wisuda. Hal ini cukup
beralasan karena mayoritas sarjana yang sudah selesai studi
turun drastis minat membaca dan menulisnya. Tradisi
ilmiah berhenti. Padahal saat kuliah mereka sangat
produktif membuat makalah dan menyusun karya tulis
ilmiah lainnya. Sebuah era menuangkan dan berpetualang
dalam dunia idealisme tenggelam sudah. Yang ada hanya
tinggal kenangan. Untuk membangkitkan spirit literasi dan
membangkitkan tradisi ilmiah, saya terus berupaya
memotivasi diri dan lingkungan agar proses belajar literasi
terus berlanjut teruatama membaca dan menulis. Untuk
merespon hal ini, pada tanggal 16 Maret 2019 di buatlah
artikel dengan judul “Literasi Mengguncang Peradaban”.
Artikel ini di share kepada beberapa Group WhatsApp
yang konsen pada dunia literasi.

Membangun tradisi ilmiah terus kita lakukan dengan


mengisi ruang Web.kemenag Kabupaten Bekasi dengan

31
menulis Reportase Kegiatan, Esay dan Artikel yang di-link
kan dengan Web.kemenag Provinsi Jawa Barat sehingga
sebagai bahan pengetahuan insan akademis di provinsi Jawa
Barat. Tulisan yang sudah di-publish pada tahun 2019 ini
seperti Reportase tentang kegiatan lomba Pentas PAI
diantaranya: Nilai Karakter Tumbuh Melalui Pentas PAI
dan artikel Profesionalisme Guru Berbasis SIAGA dan
karya lainnya. Ini satu indikator dalam upaya meningkatkan
tradisi ilmiah di kalangan guru, Kemenag dan juga
stakeholders.

32
Wahyudin,
NS.M.Pd.I, adalah putra keempat dari pasangan orang
tua Babah M. Syawaludin (Alm.-almagfurlah) dan Ibu
Nafsiyah (Ema).

Menjalani keseharian sebagai Guru yang diberi


Tugas sebagai Pengawas Satuan Pendidikan (PAI) di bawah
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi sejak 2010-
Sekarang. Sebelumnya diangkat menjadi Guru PAI di SDN
Pasir Gombong 04 Cikarang Utara (2000-2009). Ketika
sebagai Guru PAI diberikan amanah sebagai Ketua
KKGPAI Kabupaten Bekasi (2002-2009) dan DPP
AGPAII.
Selain sebagai guru dan dosen, aktif juga di organisasi
profesi: Kelompok Kerja Pengawas (Pokjawas) PAI
Kabupaten Bekasi, Pokjawas PAI Provinsi Jawa Barat,
APSI Kabupaten Bekasi, MUI Kabupaten Bekasi dan

33
terakhir dilantik sebagai Pengurus PD Ikatan Guru
Indonesia Kabupaten Bekasi.

34
LITERASI IQRO MEMBANGUN PERADABAN
GENERASI MILENIAL

Membaca dan menulis merupakan jantung bagi


kemajuan sebuah generasi, bila ia tidak membaca dan
menulis, maka tidak punya jantung. Sekarang zaman
paradoks, tekhnologi menguasai kaum muda, memudahkan
Ia mendapatkan informasi secara mudah dan cepat. Kapan
pun dan dimana pun ingin mendapatkan informasi, maka
bisa didapatkan secara langsung seketika itu, tersedia di
depan mata.
Membumikan kegiatan literasi menjadi kultur, budaya,
habit, sikap, dan karakter hidup kepada kaum muda
merupakan substansi yang mesti dilakukan. Akselerasi lalu
lintas komunikasi online dan medsos di era melenial ini
bersicepat merubah paradigma manusia di seantero dunia.
Dunia terhubung menjadi tak berantara dan berjarak, abad
melenial yang memukau, fenome-nal dan ajaib.
Apakah literasi itu?
Literasi adalah kemampuan seseorang dalam

35
mengolah dan memahami informasi saat mela-kukan proses
membaca dan menulis. Dalam perkembangannya selalu
berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Jika dulu literasi
adalah kemampuan membaca dan menulis, sat ini istitah
literasi sudah mulai digunakan dalam arti yang lebih luas.
Dan sudah merambah pada praktik kultur yang berkaitan
dengan persoalan social dan politik.
Definisi literasi menunjukan paradigma baru dalam
upaya memaknai literasi dan pembelajarannya. Kini
ungkapan literasi memiliki banyak variasi seperti literasi
media, literasi computer, literasi sains, literasi sekolah, dan
masih banyak yang lainnya.
Hakikat ber-literasi secara kritis dalam era milenial
paling tidak diringkas dalam lima verbal; memahami,
melibati, menggunakan, menganalisa, dan
mentransformasikan teks. Kesemuanya merujuk pada
kompetensi atau kemampuan yang lebih dari sekedar
kecakapan membaca dan menulis. Literasi merupakan
kemampuan mereka huruf atau aksara yang didalamnya

36
meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih
dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual yang
artinya; kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-
ide yang disampaikan secara visual (adegan, video,
gambar).
National Institute For Litercy, mendefini-sikan
litersi sebagai kemampuan individu untuk membaca,
menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah
pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan,
keluarga, dan masyarakat. Definisi ini memaknai literasi
dari perspektif yang lebih konstekstual, tergantung pada
keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.
Eductioan Development Centre (EDC) menyatakan
bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis.
Namun, lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu
untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki
dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa lierasi
mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Menurut UNESCO, pemahaman orang tentang

37
literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik,
institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan
pengalaman. Pemahaman yang paling umum dari literasi
adalah seperangkat keterampilan nyata, khususnya
keterampilan kognitif membaca dan menulis, yang terlepas
dari konteks dimana keterampilan itu diperoleh dan dari
siapa memperolehnya.
Untuk apa literasi?
Menilik dari beberapa pendapat tentang literasi, maka
dapatlah kita maknai secara sederhana, bahwa literasi
adalah kompetensi skill yang dimiliki oleh seorang, setelah
melewati masa berlatih baik kognitif, psikomotorik,
maupun afektif. Ketika kompetensi itu sudah given dalam
diri seseorang, maka akan berpengaruh kepada pola pikir,
tingkah laku, dan karakter.
Terjadinya perubahan pola pikir, tingkah laku, dan
karakter akan menciptakan sebuah tatanan social, menuju
destinasi peradaban, bagian kebudayaan yang halus, indah,
maju, luhur, sopan dan tinggi yang diagungkan. Masyarakat

38
yang mempunyai kebudayaan berarti sudah mencapai
peradaban yang tinggi.
Teringat pada produk literasi seorang Professor Doctor
Koencaraningrat, menyuratkan bahwa peradaban adalah
bagian yang halus dan indah laksana seni masyarakat yang
sudah maju didalam kebudyaan tertentu artinya mempunyai
kebudayaan yang tinggi. Seseorang yang mempunyai sifat
dan karakter, halus, indah, sopan, santun, luhur , maka
dikatakan sudah mempunyai peradaban. Maka dapatlah
diambil benang merah bahwa literasi membangun
peradaban.
Pada tulisan ini, mari kita memahami bersama tentang
teori konsep dan peta jalan yang telah dicontohkan oleh
tokoh atau bapak literasi dunia yakni Nabi dan Rasul
Muhammad Saw, sekitar 1400 tahun yang lampau. Beliau
menerima titah dan daulat dari Allah SWT sebagai literasi
pertama dan perdana dengan “bacalah”. Ini merupakan
kebutuhan fitrah yang primer bagi kita. Dapat dibayangkan
bila suatu kelompok, komunitas dan himpunan orang-orang

39
yang tidak cakap membaca, menulis, menghitung, dan
menggambar?
Akurasi ketepatan diksi narasi yang paripurna dan
sempurna. Literasi pertama baginda nabi Muhammad Saw
menerima dari Sang Pemilik perbendaharaan ilmu, Allah
Ya Aliim, Qur’an Surat Al-Alaq (96) ayat 1, “ Bacalah
dengan nama Tuhanmu yang menciptakan,” . Perintah
membaca pertama dan perdana kepada utusanNya,
membaca alam semesta dan manusia. Maklumat Allah SWT
untuk mengung-kap, menyingkap, membabar segala yang
tersirat dan tersurat.

Begitu pun dalam surat Al-Baqarah ayat 31 “ Dan Dia


ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya,
kemudin Dia perlihatkan kepada para malikat seraya
berfirman, sebutkan kepada Ku nama semua (benda) ini,
jika kamu yang benar”. Pelajaran pertama untuk Nabi Adam
As, Allah ajarkan semua nama-nama benda.

Dalam Al-Qur’an, kata menulis diulang sebanyak 303

40
kali dan kata membaca sebanyak 89 kali. Ada banyak
kesamaan prinsip ibadah dalam agama lain. Namun, ada
satu yang tidak sama di Islam dengan agama lain, yaitu
perintah tegas membaca. Membaca seharusnya menjadi ciri
khas genersi melenial khususnya generasi Islam.
Ada pun contoh produk literasi dari Nabi dan Rasul
Muhammas Saw, apa yang disebut dengan Piagam
Madinah. Mahakarya fenomenal dan monumental yang tak
terbantahkan. Traktat konsensus dan komitmen, kerja sama
dan kesepakatan Baginda Nabi kepada para pihak,
masyarakat Yastrib yang kelak beralih nama menjadi
Madinah.
Sosok manusia agung utusan Allah SWT, dalam
dirinya mengejawantah sikap dan karakter hidup empat
pilar integritas kepribadian yaitu;
Pertama; siddiq artinya benar, Benar dalam perkataan
maupun perbuatannya. Sebagaimana Allah SWT
maklumatkan dalam quran surat An-Najm ayat 4 dan 5; “
Dan tiadalah yang diucap-kannya itu (Al-Qur’an) menurut

41
kemampuan hawa nafsunya”, “ Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”
Kedua; amanah, bisa dipercaya. Jika suatu urusan
diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan
itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Terbukti
dengan gelar Al-Amin, terpercaya jauh sebelum Beliau
diangkat jadi Rasul, gelar yang disematkan oleh penduduk
kota Mekkah.
Ketiga; tabligh. Menyampaikan segala perin-tah Allah
yang ditujukan kepada manusia, disam-paikan oleh nabi.
Tidak ada yang disembunyikan meski itu menyinggung
Nabi.
Keempat; fathonah, artinya cerdas. Dalam
menyampaikan 6.236 ayat Al-Qur’an kemudian
menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan
kecerdasan yang luar biasa. Nabi harus mampu menjelaskan
firman-firman Allah kepada kaumnya sehingga mereka mau
masuk ke dalam Islam.
Dari narasi deskripsi tentang literasi yang dipraktekan

42
oleh Nabi Muhammad Saw dalam kehidupan bermasyarakat
seperti uraian di atas, maka munculah pertanyaan dibenak
kita, apakah empat pilar kepribadian litersi itu relevan
membangun peradaban generasi milenial?
Saat era kekinian, bahasa gaul menjadi pilihan, biasa
kita sebut zaman now. Seantero dunia hampir tak tersekat
lagi oleh hijab pembatas. Nun jauh diujung desa peloksosk
negeri, lewat tekhnologi informasi dan internet kita dapat
berkomunikasi tanpa jeda dengan khalayak dibagian dunia
lainnya.
Kita telah berada di era yang disebut milenial, abad ke
dua puluh. Dua dasawasa, kan kita jelang bersicepat waktu
berpacu, berbanding lurus dengan capaian prestasi gemilang
sains tekhnologi informasi. Maha karya otak manusia
bernama gadget juga menjadi ladang subur informasi. Bak
berada di persimpangan jalan, menuju taman bunga eden
atau taman api membara.
Ruang surga bernama mall, kereta api, bis kota,
kapal verry dan ruang tunggu bandara menjadi wahana

43
orgasme buat kita untuk bersenggama dengan tuhan abad
ini, yang jamak kita sebut gadget. Mesin canggih
komunikasi ini, dapat kita baca pada kamus besar bahasa
indonesia dengan sebutan: Gawai_ perkakas peranti
elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis yang
diartikan pula sebagai gadget pesan redaksi.
Rotasi waktu 24 jam, tanpa lelah kita semua menjadi
maniak menggunakan mesin gadget untuk banyak
kepentingan. Dengan berbagai fitur dan server super cepat.
Kita dapat melakukan transaksi perbankan di kantor, rumah,
dan kamar tidur. Deliveri order untuk hampir semua kuliner
dapat kita pesan dengan mesin gadget. Hampir bahkan
untuk semua produk dapat kita beli lewat toko online,
langsung transaksi lalu pesanan sampai ke alamat rumah.
Media super pintar gadget juga menyediakan
perpustakaan maya, melayani publik pengguna untuk
hampir semua jenis kitab dan buku juga kitab suci. Jangan
bingung kendala bahasa. Pengelola jasa server, meladeni
berbagai translete berbagai bahasa. Arab, Inggris, Prancis,

44
dan bahkan hampir untuk semua bahasa pengantar. Sangat
fantastis tuhan gadget abad ini.
Layanan server untuk transportasi udara, kereta api,
dan kapal laut juga transportasi darat telah menggunakan
jasa online. Beli tiket pesawat, kereta dan pesan gojek dan
grab langsung lewat si gadget untuk pesannya. Tali-temali
komonikasi persaudaraan tersedia dalam banyak pilihan.
Pengelola jasa server, sebut saja massengger, sms,
whatsapp, imo, dan email. Siap meladeni ontime para
pengguna jasanya. Siang malam operator bekerja demi
kepuasan pengguna jasanya.
Ketika seorang ibu kangen dengan anaknya yang
sedang sekolah di negeri jauh Mesir. Dengan tuhan gadget
dapat melakukan video-call whatsapp, massengger dan
komonikasi visual dengan suara yang jernih berlangsung
tanpa hijab, bak tak terpisah oleh ruang dan waktu.
Segala peristiwa dan momentum. Gadget super
lengkap menyediakan perangkat kamera dengan banyak
pilihan. Teknologi kamera pintar, siap mengabadikan

45
momen itu. Bersicepat dapat diposting dan upload
difacebook, instagram, dan viral diwhatsapp, massengger.
Berbagai aktifitas pun dapat dipublikasi live, dengan tuhan
gadget. Kapan dan dimana saja, selagi tersedia layanan
jaringan internet. Pesta dunia sepak bola dengan mudah,
dapat diakses lewat gadget.
Jadwal pertandingan, skor pertandi-ngan, sovenir
dan pernak pernik bola mania dapat diketahui dengan cepat.
Kita telah berada di era yang disebut milenial. Abad ke dua
puluh. Dua asawarsa, kan kita jelang. Bersicepat waktu
berpacu. Berbanding lurus dengan capaian prestasi
gemilang sains dan teknologi informasi.
Dengan produk IT bergelar gadget atau gawai tak
dapat kita pungkiri dan hindari ekses dampak negatif yang
ditimbulkan. Maha karya otak manusia bernama gadget
juga menjadi ladang subur informasi kriminal, prostitusi
online, konten pornografi, perjudian online. Konten
beraroma kebencian, fitnah, berita hoax, dan radikalisme
juga terorisme menggunakan teknologi komonikasi gadget.

46
Perederan narkoba oleh bandar besar dan mafia,
menjadi media transaksi triliunan dollar. Kita semua bak
berada dipersimpangan jalan. Menuju taman bunga eden
atau taman api membara. Keniscayaan destinasi yang tak
terelakan bagi kita insan abad melenia. Sebagai sesama
insan pengguna tuhan gadget. Pilihan itu ada pada kita
semua. Untuk perenungan, mari kita berhikmat.
Pertama, sepintar dan secanggih apapun tuhan
gadget, hanyalah media atau mesin komonikasi buatan
manusia. Jadikan tuhan gadget sebagai alat atau media dan
bukan tujuan.
Kedua, bijak itu penting. Kita boleh bereforia
dengan tuhan gadget. Satu hal prinsif, mari kita sadar diri
dan tahu diri serta tepat guna, tepat sasaran, dan tepat waktu
dalam berdaget ria.
Ketiga, mari kita jadikan tuhan gadget untuk
kemanfaatan dan wahana menyintai dan mengasihi sesama,
sebagai hamba Tuhan Yang Maha Kuasa. Gawai atau tuhan

47
gadget, alat perekat persaudaraan kita semua. Gunakan
dengan bijak!
Setelah kita narasi dan deskripsikan tentang literasi
media era kekinian dengan segala manfaat dan dampak
negatifnya dalam kepribdian peradaban individu dan sosial
tentu saja sikap dan karakter hidup amanah, siddiq, tabligh,
dan fahonah adalah wajib untuk kita ejawantahkan dalam
dunia literasi.
Bila hal ini kita aplikasi dan imple-mentasikan
menjadi budaya, kultur, habit, dan budi daya dalam prakter
hidup berliterasi maka kita bersama-sama sedang menujun
destinasi kesuksesan dan keselamatan membangun
peradaban milenial.

48
MELACAK AKAR TRADISI LITERASI DALAM
ISLAM
Oleh : Yasir Amrullah

Literasi berasal dari bahasa latin Literatus yang


berarti a learned person atau orang yang belajar, maknanya
adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan
memahami informasi saat melakukan proses membaca dan
menulis. Secara bahasa, literasi adalah keberaksaraan, yaitu
kemampuan membaca dan menulis, atau dalam bahasa
Inggris : the ability to read and write, atau juga mempunyai
makna comptence or knowlegde in a specified area.
Membaca pada hakikatnya adalah suatu kegiatan yang
rumit yang melibatkan banyak hal. Dalam membaca tidak
hanya sekedar melafalkan tulisan akan tetapi juga
melibatkan aktivitas visual, berfikir, psokolinguistik, dan
metakognitif. Sebagai visual, yaitu proses menerjemahkan
simbol tulis (huruf) ke dalam kata-kata lisan. Sebagai proses
berfikir artinya membaca mencakup aktivitas pengenalan

49
kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis dan
pemahaman kreatif. Sedangkan menulis ialah menurunkan
atau melukiskan lambang-lambang grafik yang
menggambarkan suatu bahasa yang difahami oleh seseorang
sehingga orang lain dapat membaca lambang grafik
tersebut, yang didalamnya mengandung pesan yang dibawa
penulis. Membaca dan menulis adalah dua hal yang sangat
erat kaitannya. Seseorang yang akan menulis maka tentu dia
akan melakukan kegiatan membaca terlebih dahulu,
meskipun kegiatan membaca tidak harus diikuti oleh
kegiatan menulis.
Apabila diperhatikan secara seksama, maka boleh
dikatakan bahwa agama Islam adalah agama literasi.
Mengapa demikian ? Hal ini bisa dilihat dari ayat pertama
dari Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, Surat Al-Alaq 1-5 :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang maha mulia. Yang

50
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak mengetahuinya. ( QS.
Al-Alaq 1-5 ).
Muhammad Ali Ashabuni menjelaskan dalam kitab
Showa At-Tafsir terkait ayat pertama surat Al-Alaq ini
bahwa ayat ini merupakan Kitab Allah yang ditampakan
pertama kali dalam wahyu kepada Nabi Muhammad SAW,
yang bertujuan sebagai ajakan untuk membaca, menulis dan
belajar. Ayat-ayat ini pula merupakan petunjuk akan
keutamaan belajar dan ilmu pengetahuan.
Terdapat banyak istilah yang bermakna membaca
dalam Al-Qur’an, baik itu secara hakiki ataupun secara
majazi. Istilah-istilah yang menunjukan makna membaca
tersebut dalam Al-Qur’an, antara lain qara’a ( ‫ )قرأ‬Tilawah
(‫ )تالوة‬dan tartila ( ‫)ترتيال‬. Adapun qara’a ( ‫)قرأ‬ dalam
berbagai bentuknya terdapat sebanyak 87 kali dan tersebar
dalam 41 surat Al-Qur’an. Sedangkan kata Tilawah (‫)تالوة‬
dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 64 kali,
sementara kata tartila ( ‫ )ترتيال‬diulang dalam 2 ayat al-

51
Qur’an. Dan dari ketiga istilah tersebut sering
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan makna
membaca. Jadi disini jelas bahwa membaca merupakan
perintah Allah melalui Al-Qur’an.
Secara umum literasi dalam Islam adalah sebagai
upaya untuk melaksanakan perintah Allah, dan upaya untuk
mengabadikan Al-Qur’an itu sendiri, yaitu dengan cara
menuliskannya sejak masa nabi Muhammad SAW.
Memang budaya yang berkembang di Arab pada waktu itu
tidak dikenal dengan budaya menulis. Budaya yang
mendominasi di sana adalah budaya lisan Arab (lisanul
Arab). Masyarakat Arab memilliki tradisi menghafal syair-
syair, puisi-puisi, termasuk garis keturunan mereka. Tradisi
tersebut diwariskan secara turun-menurun secara lisan. Pada
masa itu, mayoritas penduduk Arab tidak dapat membaca
dan menulis. Barulah pada masa permulaan Nabi
Muhammad SAW mengajarkan agama Islam muncul
beberapa orang yang pandai membaca dan menulis, seperti
Umar Bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan,

52
Muawiyyah bin Abi Sufyan dan lain-lain. Nabi Muhammad
mulai mengganti kebiasaan tersebut dengan membaca Al-
Qur’an. Setiap kali wahyu turun Nabi Muhammad
menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabat, dan
memerintahkan mereka untuk membaca dan
menghafalkannya, sehingga membaca Al-Qur’an menjadi
tradisi dalam kehidupan mereka menggantikan kebiasaan
melafalkan syair-syair Arab. Selain itu penulisan Al-Qur’an
juga diperintahkan oleh Nabi Muhammad sebagai upaya
untuk memperbaharui tradisi dan peradaban sehingga
dengan tradisi ini nantinya agama Islam akan dikenal di
berbagai penjuru dunia.
Literasi besar-besaran dalam Islam terjadi pada masa
Daulah Bani Abbasiyah. Memang masa Dinasti Umayyah-
pun sudah terdapat budaya literasi, hanya saja masih berupa
budaya ilmu pengetahuan secara verbal. Berbeda dengan
masa Abbasiyah, Masa itu diawali ketika muncul khalifah
bernama Abu Jafar Al-Manshur. Ia adalah orang yang
sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga memberikan

53
dorongan dan kesempatan yang luas bagi para cendekiawan
untuk mengembangkan riset ilmu pengetahuan,
penerjemahan buku-buku Romawi ke dalam bahasa Arab
yang menjadi bahasa internasional saat itu, dilakukan secara
khusus dan profesional. Ilmu pengetahuan sangat berharga.
Penghargaan hasil terjemahannya misalnya akan ditimbang
dibandingkan dengan emas. Bila hasil penerjemahan itu
seberat satu kilogram, maka akan dibayar dengan satu
kilogram emas.
Abu Jafar Al-Manshur juga adalah pemimpin negara
yang pertama kali meminta imam Malik untuk menjadikan
Kitab Al-Muwattha sebagai panduan resmi negara. Ini
adalah indikasi kuat kepedulian sang khalifah akan ilmu
pengetahun. Namun disayangkan Imam Malik menolak
keinginan Al-Manshur tersebut, dengan alasan Islam telah
berkembang sedemikian rupa ke wilayah di luar Arab dan
masing-masing imam telah memiliki pendapat sendiri yang
boleh jadi akan berbeda pandangan dengan isi kitab Al-
Muwatha’. Abu Ja’far Al-Mashur meninggal dalam

54
perjalanan ibadah haji, namun makamnya tidak diketahui,
karena dibuat banyak hingga ratusan, untuk mengelabui dari
dendam golongan bani Umayyah. Ia digantikan oleh
anaknya Muhammad Bin Mashur Al-Mahdi. Dalam ilmu
pengetahuan, Al-Mahdi hampir sama dengan ayahnya,
menghargai lebih tinggi ilmu pengetahuan. Ia yang
memperkenalkan kertas dari India lewat orang-orang
Barmakid, atau orang Barmak, yang diangkatnya sebagai
pegawai kerajaan, Barmak dulunya beragama Budha dan
merupakan orang-orang keturunan Persia.
Al-Mahdi digantikan oleh anaknya bernama Al-Hadi
kemudian digantikan oleh adiknya bernama Harun Al-
Rasyid. Pada masa ini ilmu Islam sampai pada puncak
keemasannya. Pada masa Harun Al-Rasyid, didirikan
sebuah lembaga bernama Baitul Hikmah, atau rumah
kebijaksanaan. Lembaga ini salah satu institusi kunci dari
gelombang masuknya literatur asing yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab, dan dianggap sebagai jembatan besar

55
dalam transfer ilmu pengetahuan pada masa zaman
keemasan Islam.
Lembaga yang didirikan Al-Rasyid ini, nanti
mencapai puncaknya dimasa kepemimpinan Al-Makmun.
Lembaga ini pula menjadi tempat memunculkan banyak
ilmuan terkenal untuk saling berbagi informasi, pandangan
dan budaya, dengan berbagai latar belakang berbeda, ada
Persia, Arab, Kristen dan lain-nya. Beberapa ilmuwan
terkenal yang berafilisasi dengan Baitul Hikmah antara lain
: Sahl bin Harun yang merupakan kepala perpustakaan
Baitul Hikmah, Hunain bin Ishak seorang ilmuwan yang
hali dalam ilmu Fisika, Muhammad bin Musa Al-
Khawarizmi seorang ilmuan Islam ahli dalam bidang
matematika, banu Musa bersaudara, teknisi dan ahli
matematika. Sin bin Ali seorang ahli dalam ilmu astronomi.
Abu Utsman al-Jahiz, yang lebih dikenal dengan Al-Jahiz,
merupakan ilmuwan terkenal sebagi penulis dan ahli
biologi. Selain itu ada Al-Jazari seorang ilmuwan dari Jazira
Mesopotamia, dia penulis kitab fi Ma’rifati Al-hiyal al-

56
Handasiyah (buku Pengetahuan ilmu mekanika). Dalam
buku tersebut Al-Jazari menjelaskan lima puluh peralatan
mekanik berikut instruksi tentang bagaimana cara
merakitnya.
Invasi Hulagu Khan dari Mongol tahun 1258 M
membumihanguskan rumah kebijaksanaan ini (Baitul
Hikmah), beserta seluruh literarur di dalamnya, sehingga
umat Islam kehilangan pusat Ilmu pengetahuan yang
berkuasa hampir 500 tahun.
Dari sisa-sisa peradaban Islam muncul salah satu
universitas yang sampai sekarang masih Eksis, bernama
Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir. Mulanya universitas
ini dibangun oleh Bani Fatimiyah yang menganut mazhab
Syiah Ismailiyah. Sebutan Al-Azhar diambil dari nama
Sayyidah Fatimah Az-Zahra Putri Nabi Muhammad.
Pelajaran dimulai di Masjid Al-Azhar pada bulan Ramadan
oktober tahun 975, ketika ketua Mahkamah Agung Abul
Hasan Ali Bin Al-Nu’man mulai mengajar dari buku Al-
Ikhtisar mengenai topik yurisprudensi Syiah. Madrasah

57
tempat pendidikan agama yang terhubung dengan masjid ini
kemudian berkembang menjadi sekolah bagi kaum Sunni
sejak abad pertengahan. Tujuan Universitas ini adalah
penyebaran Islam dan budaya Islam. Banyak dari penjuru
dunia yang belajar ke sana, hingga nantinya akan menjadi
ilmuan di negaranya, dan melanjutkan tradisi literasi di
negara tempat dia berada.
Di Indonesia tradisi literasi dilanjutkan dikalangan
pesantren. Literasi di kalangan pesantren bertumpu pada
kitab kuning. Istilah kitab kuning bagi pesantren bukan
merupakan hal yang asing, melainkan merupakan identitas
dirinya yang membedakan dengan lembaga pendidikan
lainnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa lembaga pendidikan
tidak bisa disebut dengan pesantren jika di dalamnya tidak
mengkaji kitab kuning.
Secara umum kitab kuning difahami sebagai kitab-
kitab kaagamaan berbahasa Arab. Menggunakan aksara
Arab yang dihasilkan oleh para ulama dan para pemikir
muslim lainnya. Terutama di Timur Tengah. Azyumardi

58
Azra menambahkan bahwa kitab kuning tidak hanya
menggunakan Bahasa Arab akan tetapi juga bahasa lokal,
seperti Melayu, Jawa dan bahasa lokal lainnya. Menurut
Abdullah Aly dalam dunia pesantren posisi kitab kuning
sangat strategis karena dijadikan sebagai teks book,
refference dan kurikulum sebuah pesantren. Selain
dijadikan sebagai pedoman bagi tata cara keberagamaan,
kitab kuning ini juga difungsikan juga oleh kalangan
pesantren sebagai refferensi universal dalam menyikapi
tantangan kehidupan.
Membaca merupakan kegiatan yang sangat penting
bagi siapa saja, termasuk bagi kalangan pesantren, di
pesantren sejak lama telah mengajarkan dan membudayakan
minat baca tulis, karena para santri setiap hari wajib
membaca kitab-kitab kuning serta memberi catatan-catatan
terhadap kitab yang dibacakan oleh Kyai Atau Ustadz, yang
tahap selanjutnya para santri akan diminta untuk
membacakannya dihadapan kyai dan ustadz.

59
Tradisi ini pula harus dimulai digalakan kembali di
madrasah, sebagai ujung tombak pendidikan di
Kementerian Agama. Sehingga dari sini akan muncul
kembali ilmuan-ilmuan yang kompeten dibidangnya.

60

You might also like