You are on page 1of 31

MAKALAH OBGYN TERKINI

“TORCH”
(Dosen Pengampu :Prof. Dr. Jusuf. S. Effendi, dr, SpOG (K))

Disusun oleh

Kelompok

1. HERNI KURNIA (131020140011)


2. SUSILAWATI (131020140012)
3. RANTI WIDIYANTI (131020140013)
4. NENY YULI SUSANTI (131020140014)
5. DEWI ANDARIYA NINGSIH (131020140015)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
TAHUN 2014
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit TORCH merupakan kelompok infeksi beberapa jenis virus yaitu


parasit Toxoplasma gondii, virus Rubella, CMV (Cytomegalo Virus), virus
Herpes Simplex (HSV1 – HSV2) dan kemungkinan oleh virus lain yang dampak
klinisnya lebih terbatas (misalnya Measles, Varicella, Echovirus, Mumps,
Vassinia, Polio dan Coxsackie-B). Penyakit TORCH ini dikenal karena
menyebabkan kelainan dan berbagai keluhan yang bisa menyerang siapa saja,
mulai anak-anak sampai orang dewasa, baik pria maupun wanita. Bagi ibu yang
terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan pada bayinya,
yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka ragam. Infeksi TORCH juga dapat
menyerang semua jaringan organ tubuh, termasuk sistem saraf pusat dan perifer
yang mengendalikan fungsi gerak, penglihatan, pendengaran, sistem kadiovaskuler
serta metabolisma tubuh (Wordpres, 2012).
Di Indonesia, kasus toksoplasmosis pada manusia berkisar antara 43 kasus
(88%). Pada masa lalu, toksoplasmosis dinyatakan hanya dapat mengakibatkan
gejala klinis pada individu yang memiliki sistem imun yang lemah. Namun bukti-
bukti yang ada dewasa ini memperlihatkan bahwa pada individu yang
imunokompeten (sistem imun dapat berespon optimal) juga dapat menunjukkan
gejala klinis. Hat ini disebabkan patogenitas Toxoplasma gondii sangat variatif,
tergantung klonet atau tipenya. Klonet atau tipe T. gondii terkait dengan struktur
populasi klonal berdasar homologi dan kekerabatan genetiknya. Masing-masing
tipe memiliki kemampuan merusak, memodulasi sistem imun inang dan
kemampuan menghindar (evasi) dari sistem imun inang yang berbeda beda. Hal
tersebut berdampak pada perbedaan karakter biologis, patogenitas dan
imunopatogenesis serta implikasi klinik dari perbedaan imunopatogenesis yang
akan dibahas pada tulisan ini (Subekti, 2008).
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis klasik yang dapat dijumpai
hampir di seluruh dunia. Menurut data WHO (World Health organisation),
diketahui sekitar 300 juta orang (0,8%) menderita toxoplasmosis. Penyakit ini
dapat menyerang manusia dan berbagai jenis mamalia. Toxoplasmosis juga
memiliki dampak ekonomis yang penting karena dapat menimbulkan gangguan
pertumbuhan dan fertilitas, termasuk abortus. Hingga saat ini, toxoplasmosis
masih banyak menjadi perhatian karena penyakit ini dapat ditularkan dari
hewan ke manusia melalui daging, sayuran, dan buah-buahan, serta air yang
tercemar.
Pada wanita hamil yang mengalami infeksi primer pada kehamilan
trisemester pertama dapat mengakibatkan keguguran dan juga kelainan pada janin,
seperti hidrosefalus, mikrosefalus, anesefalus, serta bisa mengakibatkan retardasi
mental, retinokorioditis, dan kebutaan, dan toxoplasmosis dapat juga
mengakibatkan cacat seumur hidup, kematian pada bayi, bahkan menjadi fatal
bagi pengidap HIV. Gejala toxoplasmosis dapat berlangsung selama beberapa
minggu hingga akhirnya berkurang, Tanda-tandanya dapat berupa lesu, sakit
kepala, nyeri otot-sendi, disertai demam. Dalam pidato yang berjudul “Biologi
Molekuler Toxoplasma dan Aplikasinya pada Penanggulangan Toxoplasma”,
dituturkan Wayan bahwa penyakit ini terkadang kurang diperhatikan karena gejala
klinis yang muncul mirip dengan penyakit lain, misalnya flu. Kecurigaan terhadap
penyakit ini baru timbul jika gejala klinis diertai dengan pembesaran kelenjar
limfe. Karena tingginya prevalensi penyakit ini di masyarakat, perlu
dikembangkan berbagai upaya diagnosis dini dan pencegahan, baik pada manusia
maupun hewan (Siswanto, 2010)
Berdasarkan data prevalensi toxoplasmosis, sebagian besar penduduk
Indonesia pernah terinfeksi parasit toxoplasma gondii. Pemeriksaan antibodi pada
donor darah di Jakarta memperlihatkan 60% di antaranya mengandung antibodi
terhadap parasit tersebut. Penyebaran toxoplasmosis dapat disebabkan oleh pola
hidup yang kurang higienis, seperti tidak mencuci tangan sebelum makan dan
makan daging setengah matang yang tanpa disadari mengandung sista.
Pemberian obat, seperti sulfonamide dan pyrimethamine, dapat
membunuh toxoplasma pada stadium takizoit. Namun, pengobatan tersebut
tidak efektif pada stadium bradizoit. Selain itu, obat-obat tersebut bersifat toksik
sehingga tidak disarankan untuk digunakan dalam jangka waktu lama. Lebih
lanjut disampaikannya bahwa pencegahan merupakan faktor utama dalam
mengurangi prevalensi toxoplasma pada manusia. Untuk menghindari penularan
toxoplasma melalui oosit infektif dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara
lain, selalu menjaga kebersihan hewan kesayangan (kucing diketahui sebagai
induk semang definitif toxoplasma), tidak memberikan daging mentah pada
kucing piaraan, dan mencuci buah serta sayur sebelum dikonsumsi. Sementara
itu, untuk mencegah penularan toxoplasma melalui sista dapat dilakukan
dengan mencuci daging sebelum dimasak dan mengurangi mengonsumsi daging
setengah matang. Risiko toxoplasma individu sangat tergantung pada imunitas
seseorang, bahkan sangat bervariasi sesuai dengan situasi. Salah satu misalnya
adalah ibu hamil yang telah imun sebelum konsepsi, tidak mempunyai risiko
toxoplasma terhadap fetus yang dikandung. Akan tetapi, beberapa individu yang
immunocompromise berisiko bila terjadi reinfeksi toxoplasma. “Oleh sebab itu,
pencegahan congenital toxoplasma dapat dicapai melalui promosi kesehatan
dibanding dengan program screening antenatal,” tutur peraih British Council
Research Awards ini (Kurniawan, 2008).
Parasit ini biasanya menggunakan hewan kucing sebagai inang utamanya di
samping hewan-hewan herbivora, karnivora, omnivora termasuk mamalia dan
burung yang mungkin juga terinfeksi. Secara geografis, umumnya infeksi terjadi
pada daerah beriklim hangat dan jarang-jarang pada beriklim dingin atau
pegunungan. Hasil penelitian Sayoga melaporkan, dari 288 ibu hamil yang
diperiksa, angka kejadian ibu hamil yang di dalam darahnya positif terinfeksi
toxoplasma adalah 14,25%. Dari ibu-ibu yang terinveksi itu didapatkan, 4
persalinan prematur dan 1 kasus dengan kelainan saat lahir. Hasil survei kesehatan
rumah tangga yang dilakukan Hartono pada 1995 menemukan angka prevalensi
zat anti terhadap toxoplasma pada wanita-wanita hamil sebesar 60,01%.
Sedangkan jumlah penderita penyakit pada hewan-hewan yang hidupnya
dekat dengan manusia dagingnya dikonsumsi manusia menunjukkan angka
prevalensi yang cukup tinggi yakni 15 - 75% (Koesharyono, 2009).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui mengenai Torch dalam kehamilan secara keseluruhan

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui Toksoplasma, meliputi :
1) Untuk mengetahui Definisi Toksoplasma
2) Untuk mengetahui Siklus Hidup Toksoplasma
3) Untuk mengetahui Gejala Klinis Toksoplasma
4) Untuk mengetahui Diagnosis Toksoplasma
5) Untuk mengetahui Penatalaksanaan Toksoplasma
6) Untuk mengetahui Pencegahan Toksoplasma
b. Untuk mengetahui Rubella, meliputi :
1) Untuk mengetahui Definisi Rubella
2) Untuk mengetahui Patogenesis Rubella
3) Untuk mengetahui Gejala Klinis Rubella
4) Untuk mengetahui Diagnosis Rubella
5) Untuk mengetahui Penatalaksanaan Rubella
c. Untuk mengetahui Sitomegalovirus, meliputi :
1) Untuk mengetahui Definisi Sitomegalovirus
2) Untuk mengetahui Patofisiologi Sitomegalovirus
3) Untuk mengetahui Gejala Klinis Sitomegalovirus
4) Untuk mengetahui Diagnosis Sitomegalovirus
5) Untuk mengetahui Penatalaksanaan Sitomegalovirus
d. Untuk mengetahui Herpes Simpleks, meliputi :
1) Untuk mengetahui Definisi Herpes Simpleks
2) Untuk mengetahui Penyebaran Herpes Simpleks
3) Untuk mengetahui Gejala Klinis Herpes Simpleks
4) Untuk mengetahui Diagnosis Herpes Simpleks
5) Untuk mengetahui Penatalaksanaan Herpes Simpleks
BAB II
TORCH DALAM KEHAMILAN

A. TOKSOPLASMA
1. Definisi
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa
obligat intraseluler yaitu Toksoplasma gondii. Penyakit ini mempunyai gejala
klinik dengan manifestasi yang sangat bervariasi bahkan pada banyak pasien
tidak menimbulkan gejala. Pada banyak pasien termasuk bayi dan pasien
dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, toksoplasmosis dapat mengancam
jiwa. Pada bagian obstetri dan gynekologi, toksoplasmosis penting karena
dapat menyebabkan penyakit pada ibu yang tidak diketahui penyebabnya dan
sangat potensial menyebabkan infeksi bayi dalam kandungan yang dapat
menyebabkan keguguran, kematian bayi dalam kandungan, dan kecacatan pada
bayi.2,3,4,5,6

2. Siklus Hidup
Siklus hidup toksoplasma ada 5 tingkat :
 fase proliferatif
 stadium kista
 fase schizogoni
 gametogoni
 fase ookista
Siklus aseksual terdiri dari fase proliferasi dan stadium kista. Fase ini
dapat terjadi dalam bermacam-macam inang. Siklus seksual secara spesifik
hanya terdapat pada kucing.7,8,9
Fase proliferatif, yang menghasilkan tropozoit, terjadi secara intraseluler
dalam banyak jaringan saat terjadi infeksi primer. Tropozoit menjadi berkurang
jumlahnya pada saat imunitas inang terbentuk, dan infeksi dapat masuk ke
dalam stadium kronis. Apabila terjadi penurunan dan penekanan daya tahan
tubuh, tropozoit dapat kembali berproliferasi dan menjadi banyak. Fase
proliferasi ini juga terjadi saat pembelahan sel.6,7,8,10
Kista dapat terbentuk setelah terjadi beberapa siklus proliferasi dimana
terbentuk tropozoit. Kista ini dapat terbentuk selama infeksi kronis yang
berhubungan dengan imunitas tubuh. Kista terbentuk intrasel dan kemudian
terdapat secara bebas di dalam jaringan sebagai stadium tidak aktif dan dapat
menetap dalam jaringan tanpa menimbulkan reaksi inflamasi. Pada saat ini
antibodi dapat menurun meskipun masih terdapat infeksi. Pada saat daya tahan
tubuh menurun dan pada saat fase proliferasi, kista tidak terbentuk. Kista pada
binatang yang terinfeksi menjadi infeksius bila termakan oleh karnivora dan
toksoplasma masuk melalui usus.6
Siklus seksual Toksoplasma gondii hanya terdapat pada kucing. Kucing
dapat terinfeksi saat makan kista, pseudokista, atau ookista. Kemudian
tropozoit masuk ke dalam epitel usus kucing dan membentuk schizon dan
kemudian membentuk makrogamet dan mikrogamet. Ookista kemudian
terbentuk dan dikeluarkan bersama feses kucing 3-5 hari setelah terinfeksi dan
menetap didalamnya selama 1-2 minggu. Ookista kemudian menjadi sangat
infeksius saat terjadi sporulasi setelah 1-3 hari pada suhu 22º C. Ookista dapat
bertahan pada berbagai macam kondisi lingkungan dan pada udara bebas
selama 1 tahun atau lebih.3,8
Infeksi pada manusia dapat terjadi saat makan daging yang kurang
matang, sayur-sayuran yang tidak dimasak, makanan yang terkontaminasi
kotorasn kucing, melalui lalat atau serangga. Juga ada kemungkinan terinfeksi
saat menghirup udara yang terdapat ookista yang berterbangan.2,7,8,9
Cara penularan lain yang sangat penting adalah pada jalur maternofetal.
Ibu yang mendapat infeksi akut saat kehamilannya dapat menularkannya pada
janin melalui plasenta.2,3,8,9. Risiko terjadinya infeksi janin dalam rahim
meningkat menuruit lamanya atau umur kehamilan. Pada ibu yang mendapat
infeksi sebelum terjadinya konsepsi sangat jarang menularkannnya pada janin.
Meskipun resiko infeksi meningkat sesuai umur kehamilan, tetapi > 90% dari
infeksi yang didapat saat trimester III biasanya tidak memberikan gejala saat
bayi lahir.11

3. Gejala Klinis
Pada toksoplasmosis kongenital berat dapat menyebabkan kematian
janin, tetapi pada keadaan yang lain, infeksi dapat tidak memberikan gejala dan
bayi dapat lahir normal. Kelainan pada janin dengan toksoplasmosis kongenital
dapat berupa gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, hidrosefali,
anensefali, mikrosefali, korioretinitis. Pada bayi dapat juga lahir tanpa gejala
tetapi kemudian timbul gejala lambat seperti korioretinitis, katarak, ikterus,
mikrosefali, pneumonia, dan diare.
Komplikasi jangka panjang yang serius adalah timbulnya kejang,
retardasi mental dan gangguan penglihatan. Kebanyakan bayi yang meninggal
karena infeksi toksoplasma mengalami kerusakan yang berat pada otak.2,3,5,7
4. Diagnosis
Pada pemeriksaan secara makroskopis, plasenta yang terinfeksi biasanya
membesar dan memperlihatkan lesi yang mirip dengan gambaran khas dari
eritroblastosis fetalis. Villi akan membesar, oedematus dan sering immatur
pada umur kehamilan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran
organisme dalam sel. Organisme sulit ditemukan pada plasenta, tetapi bila
ditemukan biasanya terdapat dalam bentuk kista di korion atau jaringan
subkorion. Identifikasi sering sulit, sebab sinsitium yang mengalami degenerasi
sering mirip dengan kista.5,12
Pemeriksaan yang baru dan saat ini sering digunakan adalah
dengan enzyme-linnked immunosorbent assay (ELISA). Pemeriksaan yang
sering digunakan adalan dengan mengukur jumlah IgG, IgM atau keduanya.
IgM dapat terdeteksi lebih kurang 1 minggu setelah infeksi akut dan menetap
selama beberapa minggu atau bulan. IgG biasanya tidak muncul sampai
beberapa minggu setelah peningkatan IgM tetapi dalam titer rendah dapat
menetap sampai beberapa tahun.3,4,5
Secara optimal, antibodi IgG terhadap toksoplasmosis dapat diperiksa
sebelum konsepsi, dimana adanya IgG yang spesifik untuk toksoplasma
memberikan petunjuk adanya perlindungan terhadap infeksi yang lampau. Pada
wanita hamil yang belum diketahui status serologinya, adanya titer IgG
toksoplasma yang tinggi sebaiknya diperiksa titer IgM spesifiktoksoplasma.
Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi yang baru saja terjadi, terutama
dalam keadaan titer yang tinggi. Tetapi harus diingat bahwa IgM dapat
terdeteksi selama lebih dari 4 bulan bila menggunakan fluorescent antibody
test, dan dapat lebih dari 8 bulan bila menggunakan ELISA.
Diagnosis prenatal dari toksoplasmosis kongenital dapat juga dilakukan
dengan kordosintesis dan amniosintesis dengan test serologi untuk IgG dan
IgM pada darah fetus. Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi akrena IgM
tidak dapat melewati barier plasenta sedangkan IgG dapat berasal dari ibu.
Meskipun demikian antibodi IgM spesifik mungkin tidak dapat ditemukan
karena kemungkinan terbentuknya antibodi dapat terlambat pada janin dan
bayi.3,5
Pedoman yang digunakan dalam menilai hasil serologi 2 :
1. Infeksi primer akut dapat dicurigai bila4
a. Terdapatnya serokonversi IgG atau peningkatan IgG 2-4 kali lipat
dengan interval 2-3 minggu.
b. Terdapatnya IgA dan IgM positif menunjukkan infeksi 1-3 minggu
yang lalu.
c. IgG avidity yang rendah
d. Hasil Sabin-Feldman/ IFA >300 IU/ml atau 1:1000
e. IgM-IFA 1:80 atau IgM-ELISA 2.600 IU/ml
2. IgG yang rendah dan stabil tanpa disertai IgM diperkirakan merupakan
infeksi lampau.
3. Satu kali pemeriksaan dengan IgG dan IgM positif tidak dapat dipastikan
sebagai infeksi akut dan harus dilakukan pemeriksaan ulang atau
pemeriksaan lain.

5. Penatalaksanaan
Infeksi toksoplasma pada ibu hamil dapat dicegah dengan cara
menghindari tertelannya kista atau ookista berbentuk spora dengan menjaga
kebersihan diri. Perlu kebiasaan mencuci tangan sebelum makan atau setelah
kontak dengan kucing/ kotoran kucing, memasak makanan sampai matang
benar (>66º C) dan menggunakan sarung tangan sewaktu berkebun. Buah-
buahan dan sayur mentah harus dicuci bersih dan makanan dilindungi supaya
tidak dihinggapi lalat, kecoa, dan serangga atau binatang lain yang mungkin
dapat membawa kontaminasi dari kotoran kucing.2,13,14
Pengobatan terhadap ibu hamil yang terinfeksi akut dengan tujuan
mengurangi infeksi ke janin, dosis yang dianjurkan WHO adalah :13,14,15
1. Kombinasi antara sulfa, pirimethamin, dan asam folat dengan dosis :
a. Sulfonamide/ sulfadiazin 1000 mg per hari
b. Pirimethamin (Daraprim) 25 mg per hari
c. Asam folat 10 mg/ minggu (mencegah depresi sumsum tulang)
Dosis ini diberikan selama 4 minggu dan diulang lagi dengan interval 4
minggu dengan maksimum 3 siklus pemberian sampai terjadinya
persalinan. Karena teratogenik maka kombinasi pirimethamin dan sulfa
baru dapat digunakan setelah kehamilan 20 minggu.
2. Pada kehamilan trimester I digunakan spiramisin, suatu antibiotika
golongan makrolid dengan dosis 3x1 gram selama 4 minggu (9 juta unit)
dan diulang tiap 4 minggu.

6. Pencegahan
a. Hindari kontak dengan kucing, tanah & daging mentah
b. Cuci tangan dengan sabun setelah memegang daging mentah & sebelum
makan
c. Jangan memegang mulut & mata pd waktu mengolah daging mentah
d. Cuci sayur/lalap & buah
e. Hindari kontak dg bahan-bahan yang mungkin tercemar kotoran kucing
f. Pakai sarung tangan saat berkebun16

B. RUBELLA
1. Definisi
Rubella atau campak jerman adalah infeksi virus RNA dari golongan
Togavirus yang ditandai dengan ruam merah muda, demam, dan pembesaran
kelenjar limfe. Penyakit ini relatif tidak berbahaya dengan morbiditas dan
mortalitas yang rendah pada manusia normal. Tetapi jika infeksi didapat saat
kehamilan, dapat menyebabkan gangguan pada pembentukan organ dan
mengakibatkan kecacatan.2,3,4,14
2. Patogenesis
Infeksi terjadi melalui selaput lendir saluran pernafasan bagian atas.
Setelah tujuh hari timbal viremia yang berlangsung sampai timbulnya antibodi
pada hari ke 12-14. Pembentukan antibodi bertepatan dengan timbulnya ruam.
Setelah timbulnya ruam, virus dapat ditemukan dalam nasopharing.17

3. Gejala Klinis
Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi pada
trimestre I. Mula-mula replikasi virus terjadi dalam jeringan janin, dan menetap
dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin sehingga
menimbulkan kecacatan atau kelainan yang lain.
Infeksi ibu pada trimester II juga dapat menyebabkan kelainan yang luas
pada organ. Menetapnya virus dan interaksi antara virus dan sel di dalam
uterus dapat menyebabkan kelainan yang luas pada periode neonatal, seperti
anemiahemolitika dengan hematopoesis extra meduler, hepatitis, nefritis
interstitial, encefalitis, pancreatitis interstitial, dan osteomielitis.
Gejala rubella kongenital dapat dibagi dalam 3 kategori :
1. Sindroma rubella kongenital yang meliputi 4 defek utama yaitu:
a. Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi terjadi
sebelum umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat merupakan satu-
satunya gejala yang timbul.
b. Gangguan jantung meliputi PDA, VSD, dan stenosis katup pulmonal.
c. Gangguan mata : katarak dan glukoma. Kelainan ini jarang berdiri
sendiri
d. Retardasi mental
2. Extended-sindroma rubella kongenital. Meliputi cerebral palsy, retardasi
mental, keterlambatan pertumbuhan dan berbicara, kejang, ikterus, dan
gangguan imunologi (hipogamaglobulin).
3. Delayed-sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis, dan
Diabetes Mellitus tipe 1, gangguan pada mata dan pendengaran yang baru
muncul bertahun-tahun kemudian.2,14
4. Diagnosis
Antibodi rubella biasanya lebih dahulu muncul saat timbul ruam.
Diagnosis rubella ditegakkan bila titer meningkat 4 kali saat fase akut, dan
biasanya imunitas menetap lama. Apabila pasien diperiksa beberapa hari
setelah timbul ruam, diagnosis dapat ditegakkan dengan analisis antibodi IgM
anti rubella dengan menggunakan sistem ELISA. IgM spesifik rubella dapat
terlihat 1-2 minggu setelah infeksi primer dan menetap selama 1-3 bulan.
Adanya antibodi IgM menunjukkan adanya infeksi primer, tetapi bila negatif
belum tentu tidak terinfeksi.
Diagnosis prenatal ditegakkan dengan memeriksa adanya IgM dari darah
janin melalui CVS(chorionic villus sampling) atau kordosintesis. Konfirmasi
infeksi fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan adanya antigen
spesifik rubella dan RNA pada CVS. Metode ini adalah yang terbaik untuk
isolasi virus pada hasil konsepsi.
Berdasar gejala klinik dan temuan serologi, sindroma rubella kongenital
(CRS, Congenital Rubella Syndrome) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. CRS confirmed. Defek dan satu atau lebih tanda/ gejala berikut :
a. virus rubella yang dapat diisolasi
b. adanya IgM spesifik rubella
c. menetapnya IgG spesifik rubella
2. CRS compatible. Terdapat defek tetapi konfirmasi laboratorium tidak
lengkap. Didapatkan 2 defek dari item a atau satu dari item a dan b
a. katarak dan/ atau glaucoma kongenital. Penyakit jantung kongenital,
tuli, retinopati
b. purpura, splenomegali, kuning, mikrosefali, retardasi mental, meningo
encefalitis, penyakit tulang radiolusen.
c. CRS posible. Defek klinis yang tidak memenuhi kriteria untuk CRS
compatible.
d. CRI (Congenital Rubella Infection). Temuan serologi tanpa defek
e. Stillbirth. Stillbirth yang disebabkan rubella maternal.
f. Bukan CRS. Temuan hasil laboratorium tidak sesuai dengan CRS,
yaitu tidak adanya antibodi rubella pada anak umur <24>2

5. Penatalaksanaan
Penanggulangan infeksi rubella adalah dengan pencegahan infeksi salah
satunya dengan cara pemberian vaksinasi. Pemberian vaksinasi rubella secara
subkutan dengan virus hidup rubella yang dilemahkan dapat memberi
kekebalan yang lama dan bahkan bisa seumur hidup.
Vaksin rubella dapat diberikan bagi orang dewasa terutama wanita yang
tidak hamil. Vaksin rubella tidak boleh diberikan pada wanita yang hamil atau
akan hamil dalam 3 bulan setelah pemberian vaksin. Hal ini karena vaksin
berupa virus rubella hidup yang dilemahkan dapat beresiko menyebabkan
kecacatan meskipun sangat jarang.
Tidak ada preparat kimiawi atau antibiotik yang dapat mencegah viremia
pada orang-orang yang tidak kebal dan terpapar rubella. Bila didapatkan
infeksi rubella dalam uterus, sebaiknya ibu diterangkan tentang resiko dari
infeksi rubella kongenital. Dengan adanya kemungkinan terjadi defek yang
berat dari infeksi pada trimester I, pasien dapat memilih untuk mengakhiri
kehamilan, bila diagnosis dibuat secara tepat.18,19,20

C. SITOMEGALOVIRUS
1. Definisi
Sitomegalovirus merupakan virus DNA dari golongan herpesviridae
seperti : Herpes simplex virus tipe 1 dan 2, Varicella-Zoster, Eipstein Barr virus.
Karakteristik virus dari golongan ini adalah kemampuannya untuk beradaptasi di
dalam tubuh manusia sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan masa latent
atau dormant. Virus ini merupakan penyebab utama infeksi kongenital, dan
diperkirakan 0,2-2,2 % janin yang terinfeksi intrauterin dapat fatal bagi janin dan
bila bertahan hidup dapat terjadi retardasi mental, buta atau tuli.2,3,7
2. Patofisologi
Infeksi CMV dimulai dengan interaksi antara virus dengan reseptor di
permukaan sel, kemudian diikuti dengan penetrasi dan maturasi. Interaksi dan
penetrasi ini dapat terjadi pada sel yang memungkinkan maupun yang tidak
memungkinkan bagi CMV untuk tumbuh. Ha ini menunjukkan bahwa reseptor
untuk CMV ini terdapat pada berbagai sel, dengan demikian sel spesifik untuk
CMV ini lebih ditentukan oleh hal-hal setelah penetrasi.
Infeksi CMV menyebabkan pembesaran sel disertai inklusi intranuklear.
Inti sel sering menunjukkan gambaran kromatin yang terdesak ke tepi, serta
inklusi yang dikelilingi oleh suatu hallo yang jernih. Pada infeksi yang berat,
semua sistem organ dapat terlibat. CMV secara khas menginfeksi sel-sel epitel
duktal, sedangkan permukaan serosa dan mukosa juga terinfeksi dengan derajad
yang lebih ringan.21
Meskipun bersifat sitopatik dan mampu merusak jaringan, CMV memiliki
virulensi yang rendah. Replikasi virus yang lambat mengakibatkan lebih banyak
virion intraseluler daripada ekstraseluler serta lebih banyak terdapat virion yang
defektif. Disamping efek sitopatik, CMV juga merspon imun host dan vaskulitis
yang biasa menyertai infeksi yang menyebabkan infeksi organ yang terlibat.
Setelah lepas dari sel yang terinfeksi, CMV dapat berikatan dengan dan
diselubungi oleh 2-mikroglobulin sehingga virus dapat terlindungi dari antibodi
penetral. CMV yang berasosiasi dengan sel menginduksi sintesa protein yang
terlokalisir pada permukaan sel dan dapat berperan sebagai reseptor Fc
immunoglobulin. Protein ini melindungi sel yang terinfeksi terhaadap efek
sitotoksik sistem imun.
CMV bersifat imunosupresif. Respon proliferasi limfosit dihambat selama
infeksi akut dan dan hal ini lebih memudahkan terjadinya infeksi CMV yang
persisten. Setelah menginfeksi, CMV masuk dalam peredaran darah, dan
menyebar diseluruh tubuh. Viruria dan viremia berlangsung beberapa minggu
sampai dengan beberapa bulan. Pada infeksi subklinik Ig M spesifik akan
muncul pada awal infeksi dan menghilang setelah 12-16 minggu. Ig G spesifik
mencapai puncak dalam 2 bulan pertama setelah infeksi, dan akan menetap
seumur hidup.21

3. Gejala klinis
Hanya pada individu dengan penurunan daya tahan dan pada masa
pertumbuhan janin sitomegalovirus menampakkan virulensinya pada manusia.
Tidak seperti virus rubella, sitomegalovirus dapat menginfeksi hasil konsepsi
setiap saat dalam kehamilan. Bila infeksi terjadi pada masa organogenesis
(trimester I) atau selama periode pertumbuhan dan perkembangan aktif
(trimester II) dapat terjadi kelainan yang serius.
Pada trimester I infeksi kongenital sitomegalovirus dapat menyebabkan
prematur, mikrosefali, IUGR, kalsifikasi intrakranial pada ventrikel lateral dan
traktus olfaktorius, sebagian besar terdapat korioretinitis, juga terdapat retardasi
mental, hepatosplenomegali, ikterus, purpura trombositopeni, DIC.
Infeksi pada trimester III berhubungan dengan kelainan yang bukan
disebabkan karena kegagalan pertumbuhan somatik atau pembentukan
psikomotor. Bayi cenderung normal tetapi tetap beresiko terjadinya kurang
pendengaran atau retardasi psikomotor.
Mortalitas infeksi kongenital cukup tinggi yaitu sebesar 20-30 % dan dari
yang bertahan hidup 90% akan menderita komplikasi lambat seperti retardasi
mental, buta, defisit psikomotor, tuli dan lain-lain. Gejala lambat juga timbul
pada 5-15% dari mereka yang lahir asimtomatik seperti gangguan pendengaran
tipe sensorik sebelum tahun kedua.2,7

4. Diagnosis
Untuk dapat menegakkan diagnosis infeksi sitomegalovirus ibu
dibutuhkan antara lain:14
a. peningkatan titer antibodi anti sitomegalovirus sebesar lebih dari 4 kali
(konversi serologi)
b. adanya antibodi IgM ibu, atau
c. isolasi virus
Pada bayi baru lahir, kultur CMV dapat diambil dari urine dan cairan
amnion. TORCH screen antibody assays, terutama mengukur IgG, memerlukan
2 contoh serum untuk diagnosis yang lebih tepat, yang pertama diambil pada
neonatus saat lahr, dan yang kedua pada umur 4-6 bulan. Penurunan titer
antiboodi CMV menunjukkan bahwa antibodi dari ibu ke janin, dialirkan melalui
plasenta. Titer yang menetap atau meninggi akan membantu diagnosis infeksi
kongenital, perinatal atau paska natal.21
Bila ditemukan adanya IgM pada bayi baru lahir menujukkan suatu infeksi
kongenital, sedangkan IgG pada bayi dapat terjadi karena transfer pasif melalui
plasenta ibu.
Pemeriksaan penunjang lainnya untuk mendiagnosis abnormalitas fetus
dalam kandungan adalah dengan pemeriksaan USG. Melalui USG, dapat
diketahui adanya kalsifikasi intrakranial, IUGR, hidrosefalus, ventrikulomegali,
oligohidramnion, plasenta besar, asites, dan peritonitis mekoneum.22
Karakteristik yang penting dan perlu diperhatikan pada infeksi maternal,
neonatal dan kongenital adalah kemampuan penyebaran infeksi pada lingkungan
sekitarnya. Bayi dengan infeksi sitomegalovirus kongenital dapat mengeluarkan
virus yang infeksius dari orofaring dan traktus urinarius. Untuk itu diharapkan
ibu hamil dengan seronegatif tidak melakukan kontak dengan bayi tersebut.
Kemungkinan peningkatan transmisi kongenital hanya bila :14
a. Didapatkan titer virus yang tinggi (menandakan adanya infeksi yang baru
terjadi)
b. Adanya peningkatan lebih dari 4 kali antibodi spesifik.
c. Adanya antibodi IgM anti sitomegalovirus.

5. Penatalaksanaan
Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk mengatasi infeksi
maternal, dan karena resiko terjadinya morbiditas fetal adalah rendah
pemeriksaan penyaring serologisselama kehamilan mempunyai nilai yang
terbatas. Berbeda dengan infeksi virus rubella, antibodi sitomegalovirus tidak
dapat melindungi kemungkinan infeksi kongenital pada kehamilan yang
berikutnya, sehingga kegunaan vaksinasi untuk sitomegalovirus diragukan.
Yang penting dan perlu diperhatikan bagi wanita hamil yang seronegatif
harus mencegah agar tidak terlalu sering kontak dengan anak-anak usia 2-4
tahun terutama yang diketahui menderita infeksi infeksi sitomegalovirus, dan
selalu menjaga kebersihan diri dengan membiasakan selalu mencuci tangan
setelah kontak dengan produk cairan anak-anak seperti muntahan, popok, dan
lain-lain.21

D. HERPES SIMPLEKS
1. Definisi
Virus herpes simpleks adalah merupakan virus DNA, dan seperti virus
DNA yang lain mempunyai karakteristik melakukan replikasi didalam inti sel
dan membentuk intranuclear inclusion body. Intranuclear inclusion body yang
matang perlu dibedakan dari sitomegalovirus. Karakteristik dari lesi ini adalah
adanya central intranuclear inclusion body eosinofilik yang ireguler yang
dibatasi oleh fragmen perifer darin kromatin pada tepi membran inti.
Berdasarkan perbedaan imunologis dan klinis, virus herpes simpleks
dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu :
a. virus herpes simpleks tipe 1 yang menyebabkan infeksi herpes non genital,
biasanya pada daerah mulut, meskipun kadang-kadang dapat menyerang
daerah genital. Infeksi virus ini biasanya terjadi saat anak-anak dan
sebagian besar seropositif telah didapat pada waktu umur 7 tahun.
b. virus herpes simples tipe 2 hampir secara ekslusif hanya ditemukan pada
traktus genitalis dan sebagian besar ditularkan lewat kontak seksual.2,3,4,7
2. Penyebaran
Virus herpes simpleks menyebar melalui kontak tubuh secara langsung
dan sebagian besar dengan kontak seksual. Dalam keadaan tanpa adanya
antibodi, kontak dengan partner seksual yang menderita lesi herpes aktif,
sebagian besar akan mengakibatkan panyakit yang bersifat klinis.
Penyebaran transplasenta sangat jarang terjadi dan masih belum jelas,
tetapi diduga tidak jauh berbeda dengna penularan virus herpes yang lain
seperti sitomegalovirus, Eipstein-Barr virus dan lain-lain.
Penularan pada bayi dapat terjadi bila janin yang lahir kontak dengan
virus pada ibu yang terinfeksi virus aktif dari jalan lahirnya dan ini merupakan
penularan pada neonatal yang paling sering terjadi. Meskipun demikian
kejadian herpes neonatal kecil sekali yaitu 1:25.000 kelahiran. Beberpaa
keadaan yang mempengaruhi terjadinya herpes neonatal adalah banyak
sedikitnya virus, kulit ketuban masih utuh atau tidak, ada atau tidaknya lesi
herpes genital, dan ada atau tidaknya antibodi virus herpes simpleks. Pada ibu
hamil dengan infeksi primer dan belum terbentuk antibodi maka penularan
dapat terjadi sampai 50% sedangkan pada infeksi rekuren hanya 2,5-5%.
3. Gejala Klinik
Secara umum gejala klinik infeksi virus herpes simpleks dapat dibagi
dalam 2 bentuk yaitu :2,7
a. Infeksi primer yang biasanya disertai gejala (simtomatik) meskipun dapat
pula tanpa gejala (asimtomatik). Keadaan tanpa gejala kemungkinan
karena adanya imunitas tertentu dari antibodi yang bereaksi silang dan
diperoleh setelah menderita infeksi tipe 1 saat anak-anak. Masa inkubasi
yang khas selama 3-6 hari yang diikuti dengan erupsi papuler dengan rasa
gatal, atau pegal-pegal yang kemudian menjadi nyeri dan pembentukan
vesikel dengan lesi vulva dan perineum yang multipel dan dapat menyatu.
Vesikel yang terbentuk pada perineum dan vulva mudah terkena trauma
dan dapat terjadi ulserasi serta terjangkit infeksi sekunder. Lesi pada vulva
cenderung menimbulkan nyeri yang hebat dan dapat mengakibatkan
disabilitas yang berat.Dalam waktu 2-4 minggu, semua keluhan dan gejala
infeksi akan menghilang tetapi dapat kambuh lagi karena terjadinya
reaktivasi virus dari ganglion saraf.
b. Infeksi rekuren. Setelah infeksi mukokutaneus yang primer, partikel-
partikel virus akan menyerang sejumlah ganglion saraf yang berhubungan
dan menimbulkan infeksi laten yang berlangsung lama. Infeksi laten
dimana partikel-partikel virus terdapat dalam ganglion saraf secara berkala
akan terputus oleh reaktivasi virus yang disebut infeksi rekuren yang
mengakibatkan infeksi yang asimtomatik secara klinis (pelepasan virus)
dengan atau tanpa lesi yang simtomatik. Lesi ini umumnya tidak banyak,
tidak begitu nyeri serta melepaskan virus untuk periode waktu yang lebih
singkat (2-5 hari) dibandingkan dengan yang terjadi pada infeksi primer,
dan secara khas akan timbul lagi pada lokasi yang sama. Walaupun sering
terlihat pada infeksi primer, infeksi serviks tidak begityu sering terjadi
pada infeksi virus yang rekuren.
Infeksi primer pada ibu dapat menular pada janin melalui plasenta atau
lewat koriopamnion yang utuh dan dapat menyebabkan abortus spontan,
prematuritas, ataupun kelainan kongenital dengan gejala mirip infeksi pada
sitomegalovirus seperti mikrosefali, korioretinitis, IUGR. Janin hampir selalu
terinfeksi oleh virus yang dilepaskan dari serviks atau traktus genitalis bawah
setelah ketuban pecah atau saat bayi dilahirkan. Infeksi herpes pada bayi baru
lahir mempunyai salah satu dari ketiga bentuk berikut ini :2,14
a. Diseminata (70%), menyerang berbagai organ penting seperti otak, paru,
hepar, adrenal, dan lain-lain dengan kematian lebih dari 50% yang
disebabkan DIC atau pneumonitis, dan yang berhasil hidup sering
menderita kerusakan otak. Sebagian besar bayi yang terseranng bayi
prematur.
b. Lokalisata (15%) dengan gejala pada mata, kulit, dan otak dengan
kematian lebih rendah dibanding dengan bentuk disseminata, tetapi bila
tidak diobati 75% akan menyebar dan menjadi bentuk diddeminata yang
fatal. Bentuk ini sering berakhir dengan kebutaan dan 30% disertai
kelainan neurologis.
c. Asimtomatik hanya terjadi pada sebagian kecil penderita herpes neonatal.
4. Diagnosis
Ditemukannya virus dalam kultur jaringan. Sayangnya pemeriksaan ini
cukup mahal dan membutuhkan waktu lebih dari 48 jam. Cara yang lebih cepat
adalah dengan memeriksa adanya antibodi secara ELISA, dengan sensitivitas
97,5 % dan spesifitas 98% meskipun waktu yang dibutuhkan tetap lebih dari 24
jam.

5. Penatalaksanaan
Prinsip utama adalah jangan biarkan virus dan bayi bertemu. Wanita
yang terkena infeksi virus herpes genitalia dianjurkan untuk tidak hamil.
Apabila ibu sudah terlanjur hamil hati-hati dengan ancaman partus prematuria
dan viremia pada ibu karena penurunan daya tahan tubuh. Ibu yang terkena
virus herpes genitalia dan bayi yang lahir dengan herpes neonatal dapat diobati
dengan acyclovir atau vidarabine yang aman terhadap kehamilan maupun pada
bayinya.
Karena beratnya ancaman infeksi virus herpes pada neonatus, persalinan
perabdominam dianjurkan pada kasus-kasus dengan dugaan lesi herpes pada
genitalia atau dengan kultur atau Pap smear terakhir yang memperlihatkan hasil
positif untuk virus herpes. Kultur hanya dilakukan pada ibu dengan lesi
herpetik yang mencurigakan. Bila tidak terdapat lesi, persalinan dapat
dilakukan pervaginam.
Bayi yang lahir dengan ibu atau bapak yang sedang terserang herpes
genital atau oral dapat dirawat gabung dengan ibu, dan dapat diberikan ASI
bila tidak ada lesi pada puting dan dihindari kontak langsung dengan setiap lesi
yang ada.
Sejak tahun 1980an mulai digunakan pengobatan antivirus untuk infeksi
herpes dengan acyclovir. Acyclovir dapat digunakan dalam beberapa bentuk
preparat antara lain krim untuk topikal, powder untuk intravena, kapsul oral
dan suspensi oral. Preparat tiopikal digunakan dengan dioleskan pada daerah
terinfeksi setiap 3 jam, 6 kali perhari, selama 7 hari. Acyclovir intravena
diberikan pada kasus yang berat dengan dosis 5 mg/kg setiap 8 jam selama 5
hari.
Kapsul oral acyclovir diindikasikan untuk 3 keadaan yaitu : Pengobatan
infeksi primer, pengobatan infeksi ulang yang berat dan penekanan rekurensi
yang serinng dan berat. Dosis pemberian acyclovir oral adalah 200 mg, 5 kali
perhari selama 10 hari.
Sampai saat ini belum ditemukan vaksinasi yang efektif untuk infeksi
virus herpes simpleks, meskipun pada model binatang didapatkan vaksin yang
efektif untuk mencegah infeksi dan untuk mengurangi pembentukan fase laten
di ganglion saraf.2,7
BAB III
KESIMPULAN

A. Torch
1. Toxoplasmosis
2. Others (Syphilis, GBS, Listeriosis, dsb)
3. Rubella
4. Cytomegalovirus (+ Chlamydia trachomatis)
5. Herpes Simplex (+Virus Hepatitis B, HIV, HPV, Human Parvovirus B 19)

B. Cara infeksi fetal/neonatal


1. Intrauterin
a. Transplasental
b. Korioamnionitis
2. Intrapartum
a. Paparan maternal
b. Kontaminasi eksternal
3. Neonatal
a. Transmisi dari orang lain
b. Peralatan

C. Prevalensi dan Transmisi


Toxo Rubella CMV HSV

Prevalensi seropositif 3-50% 10-15% 35-90% No data

Transplasental + + + +

Intrapartum - - + +

Postnatal + + + +
D. Test Diagnostik
1. Direk: deteksi antigen (kultur & teknik diagnostik molekuler)
a. Teknis sulit, makan waktu, mahal
2. Indirek: respon imunologik maternal
a. Mengatasi kelemahan cara direk
b. Meramalkan perjalanan penyakit
c. Mengikuti perjalanan alamiah penyakit
d. Monitoring respon terapi

E. Teknik menentukan saat terjadi infeksi maternal


1. Adanya serokonversi
2. Aviditas IgG
3. Pola hasil test negatif atau positif yang dilakukan secara pararel
4. Model matematik berdasar hasil test yang dilakukan secara berpasangan
(paired testing)
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedersen B.S, Infeksi TORCH pada kehamilan, Departemen of Obstetric and


Gynaecology, national Hospital, University of Oslo, Norway.
2. Nies BM, Lien JM, Grossman JH III. TORCH Virus-induced Fetal Disease, in.
Reece EA, Hobbins JC, Mahoney MJ. Medicine of the Fetus and Mother.
Philadelpia : JB Lippincott Co, 1992 ; 349-52.
3. Cunningham FG, Mac Donald PC, Leveno KJ, Gant NF, Gilstrap LC III. William’s
Obstetrics. 19th ed. Connecticut : Prentice-Hall International Inc, 1993 : 1281-97.
4. Sever JL. Viral-Induced teratogenesis, in. Reece EA, Hobbins JC, Mahoney MJ.
Medicine of the Fetus & Mother. Philadelpia : JB Lippincott Co, 1992 ; 342-6.
5. Friedman EA, Acker DB, Sachs BP. Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan
Obstetri (terjemahan). Edisi kedua. Jakarta ; Binarupa Aksara, 1998, 150-60.
6. Naeye Rl. Disorder of the Placenta, Fetus and Neonate. 1992 ; 211-3.
7. Sweet RL, Gibbs RS. Infection Diseases of The Female Genital Tract. 3rd ed.
Baltimore: Williams & Wilikins, 1995; 35-308.
8. Ritchie AC. Boyd’s Textbook of Pathology. 9th ed. 1: 502-3.
9. Marcial MA, Marcial RA, Rojas. Protozoal and Helminthic Diseases, in Kissane
JM, ed, Anderson’s Pathology. 9th ed. Toronto : The Mosby Co, 1990: 1: 448-50.
10. Rahman MS, Rahman J. Toxoplasma in Pregnancy in Keith LG, Berger GS,
Edelman DA. Uncommon Infectious and Special Topics. 1985; 2: 45-55.
11. Chandra G. Toxoplasma Gondii : Aspek Biologi, Epidemiologi, Diagnosis dan
Penatalaksanaannya. Medika. 2001, No 1; 297-304.
12. Saifuddin AB, ed. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : JNPKKR – POGI – Yayasan Bina Pustaka-Sarwono
Prawirohardjo, 2000; 221-9.
13. Hadijanto B. Toksoplasmosis dalam Kehamilan. Simposium Kemajuan Obstetri III.
Semarang : POGI Cab. Semarang, 2001.
14. Monif GRG. TORCH syndrome. Omaha : IDI Publications, 1993.
15. Gandahusada S, Sutanto I. Kumpulan Makalah Simposium Toxoplasmosis. Jakarta
: FK UI, 1990.
16. Ibnu Pranoto, Pengaruh Toksoplasmosis pada Kehamilan, SMF Obstetri &
Ginekologi, FK UGM, RSUP Dr. Sardjito. Yogyakarta, 2005.
17. Jawetz F. Melnick J.L, Adelberg E.A, Famili Virus Paramyxo dan Virus Rubella,
dalam Review of Medical Microbiology, 18th edition, 1990, Lange Medical
Publication, California.
18. Hadono S.T, Penyakit Menular dalam Ilmu Kandungan, Edisi Kedua, 1999,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
19. Rubella (German Measles) from The Centers for Disease Control and Prevention,
Imunization Information-Riubella (German Measles) Overview. Date Last Rewd,
March 9, 1995
20. Herman B., Perry S.K., The Twelve Month Pregnancy, by arrangement with RGA
Publising. Inc.
21. Praseno, Iman. S., Loehoeri, S., Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini
Toksoplasmosis dan Citomegalovirus pada Anak dan Dewasa, dalam Siang Klinik,
IDI cab. Sleman DIY, 2001.
22. Bodensteiner ,JB., Congenital infection of the nervous system, Semin Pediatr
Neurol, 1971.

You might also like