You are on page 1of 42

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Persalinan adalah proses alamiah dimana terjadi dilatasi servik, lahirnya bayi
dan plasenta dari rahim ibu. Pada proses bersalin akan dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah kekuatan otot-otot rahim saat ibu mengejan, anatomi atau
kondisi jalan lahir, dan kondisi janin yang dilahirkan. Selain itu kondisi dari ibu
selama proses kehamilan juga berpengaruh besar dalam mendukung proses
persalinan.
Pada beberapa ibu sering dij umpai mengalami gangguan seperti penurunan
berat badan, hipertensi, nyeri, anemia, proteinuria, edema dan lain-lain yang berisiko
menyebabkan komplikasi persalinan pada ibu. Salah satu komplikasi pada proses
persalinan adalah Pre-Eklampsia yang dapat menjadi Eklampsia.
Pre-Eklampsia dan Eklampsia di Indonesia masih menjadi sebab utama
kematian pada ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi selain faktor infeksi dan
perdarahan. Oleh sebab itu diagnosis dini Pre-Eklampsia yang merupakan tingkat
pendahuluan Eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk
menurunkan angka kematian ibu dan anak.
Di Indonesia, setelah perdarahan dan infeksi, pre eklampsia masih merupakan
sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu
diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta
penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan
anak.
Preeklampsia adalah perkembangan hipertensi dengan proteinuria dan edema
atau keduanya, setelah 20 minggu masa kehamilan. Kenaikan tekanan darah yang
tidak normal adalah tanda-tanda untuk mendiagnosa preeklampsia. Ini adalah
komplikasi hipertensi yang paling serius dan merupakan ancaman bagi fetus dan ibu
jika hal ini tetap tidak terdeteksi atau jika terdapat peningkatan eklampsia. Potensi
bagi efek yang mematikan pada ibu dan fetus memerlukan diagnosa yang lebih teliti,
pada dasarnya untuk mencegah eklampsia.
Timbulnya preeklampsia hampir mencapai 7% dari semua kehamilan.
Kemungkinan besar para wanita cenderung mengalami komplikasi yang mematikan,
seperti pecahnya plasenta, DIC, perdarahan otak, kerusakan fungsi hati, dan

1
kerusakan ginjal yang kronis. Kematian ibu secara dominan disebabkan oleh
komplikasi, pecahnya plasenta dan yang paling sering adalah eklampsia.
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat
derajat kesehatan perempuan. AKI merupakan salah satu target yang telah ditentukan
dalam tujuan pembangunan millennium yaitu tujuan ke 5, meningkatkan kesehatan
ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾
resiko jumlah kematian ibu. Terdapat dua kategori kematian ibu yaitu disebabkan oleh
penyebab langsung obstetri yaitu kematian yang diakibatkan langsung oleh kehamilan
dan persalinannya, dan kematian yang disebabkan oleh penyebab tidak langsung yaitu
kematian yang terjadi pada ibu hamil yang disebabkan oleh penyakit dan bukan oleh
kehamilan atau persalinannya.
Berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,
angka kematian ibu (yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sekitar
359/100.000 kelahiran hidup angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2007
yaitu sekitar 228/100.000 kelahiran hidup. Trias utama kematian ibu adalah
perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK) dan infeksi. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2014, hampir 30% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010
disebabkan oleh HDK. Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan kelainan
vaskular yang terjadi sebelum kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada
masa nifas.
Data Laporan Kematian Ibu di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat
kasus kematian ibu di Sumatera Barat pada tahun 2012 adalah 99 kasus, tahun 2013
adalah 90 kasus, sedangkan pada tahun 2014 adalah 116 kasus. Meningkat dari tahun
sebelumnya. Kota Padang merupakan daerah yang memiliki kematian ibu tertinggi
yaitu 16 kasus pada tahun 2013 dan 2014. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota
Padang penyebab kematian maternal pada tahun 2012 dan 2013 adalah preeklampsia-
eklampsia, perdarahan, infeksi. Pada tahun 2014 penyebab kematian ibu adalah
preeklamsia-eklampsia 31,25%, perdarahan 18,75%, dan infeksi 12,5% dapat
diketahui bahwa setiap tahunnya penyebab utama kematian ibu secara langsung di
kota Padang masih sama. Preeklampsia merupakan penyebab kematian maternal dan
perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan.
Secara umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan
proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah
minggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul

2
pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes
mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan
berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi
uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat.
Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio
plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat (IUGR).
Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan kelainan
hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi berat,
kejang grand mal, dan kerusakan end organ lainnya.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Pre-Eklampsia dan Eklampsia?
2. Apa penyebab dan gejala yang muncul pada Pre-Eklampsia dan Eklampsia?
3. Bagaimana pencegahan serta penanganan pada Pre-Eklampsia dan Eklampsia?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Pre-Eklampsia dan Eklampsia
2. Untuk mengetahui apa penyebab dan gangguan yang muncul pada Pre-Eklampsia
dan Eklampsia
3. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan serta penanganan pada Pre-Eklampsia-
Eklampsia

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pre-Eklampsia
A. Pengertian
Pre-Eklampsia adalah suatu sindrom khas-kehamilan yang ditandai dengan
hipertensi, edema, proteinuria yang timbul pada masa kehamilan. Penyakit ini biasa
timbul pada triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada
mola hidatidosa.
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Untuk
menegakkan diagnosis pre-eklampsia, maka kenaikan tekanan sistolik setidaknya
mencapai 30 mmHg atau lebih diatas tekanan yang biasa ditemukan atau mencapai
140 mmHg. Tekanan diastole juga bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis bila
tekanan naik 15 mmHg atau lebih dari biasanya atau mencapai 90 mmHg.
Edema atau penimbunan cairan yang berlebihan dalam tubuh dapat diketahui
dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema
pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa
berarti untuk penentuan diagnosis pre-eklampsia. Kenaiakan berat badan ½ kg setiap
minggu dalam kehamilan tetap dianggap normal, namun jika kenaikan 1 kg dalam
seminggu dan terjadi dalam beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan
terhadap timbulnya pr-eklampsia.
Pre-eklampsia adalah salah satu kasus gangguan kehamilan yang bisa menjadi
penyebab kematian ibu. Kelainan ini terjadi selama masa kehamilan, persalinan, dan
masa nifas yang akan berdampak pada ibu dan bayi. Pre-eklampsia dalam kehamilan
adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu
(akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bisa lebih awal terjadi.
Preeklamsi adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria dan
edema yang ditimbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan
ke 3 pada kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya misalnya pada mola hidatidosa
(prawirohardjo, 2005).
Preeklamsi adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan
dalam masa nifas yang terdiri dari trias yaitu hipertensi, proteinuria dan edema yang
kadang-kadang disertai konvulsi sampai koma, ibu tersebut tidak menunjukkan tanda-
tanda kelainan vascular atau hipertensi sebelumnya (muchtar, 1998)
Hipertensi (tekanan darah tinggi) di dalam kehamilan terbagi atas pre-
eklampsia ringan, preklampsia berat, eklampsia, serta superimposed hipertensi (ibu

4
hamil yang sebelum kehamilannya sudah memiliki hipertensi dan hipertensi berlanjut
selama kehamilan). Tanda dan gejala yang terjadi serta tatalaksana yang dilakukan
masing-masing penyakit di atas tidak sama.
Preeklamsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil,
bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema dan proteinuria tetapi tidak
menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan
gejalanya biasanya muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih (Rustam
Muctar, 1998).
Preeklamsia adalah sekumpulan gejala yang secara spesifik hanya muncul
selama kehamilan dengan usia lebih dari 20 minggu (Helen Varney, 2007).
Preeklamsia adalah sekumpulan gejala yaitu hipertensi, edema dan proteinuria
yang timbul pada wanita hamil dengan usia kehamilan lebih dari 20 minggu, pada ibu
bersalin dan nifas.
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3
gr/liter dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1 atau 2 +
atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kateter yang
diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Proteinuria biasa terjadi paling
lambat atau setelah timbulnya hipertensi dan edema, sehingga dianggap menajdi
gejala cukup serius pada pre-eklampsia.
Pre-Eklampsia diolongkan menjadi ringan dan berat. Penyakit ini digolongkan
berat bila satu atau lebih tanda/gejala di bawah ini ditemukan:
1. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolic 110 mmHg
atau lebih
2. Proteinuria 5g atau lebih dalam 24 jam, 3 atau 4 + pada pemeriksaan
kualitatif
3. Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4. Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri pada epigastrium
5. Edema paru atau sianosis

B. Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti,
sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa faktor
yang berkaitan dengan terjadinya pre-eklampsia adalah :
1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkina terjadinya
Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini
didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik
setelah plasenta lahir.
2. Faktor Imunologik
5
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang
timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa
pada kehamilan pertama pembentukan “Blocking Antibodies” terhadap antigen
plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak
menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan
berikutnya, pembentukan “Blocking Antibodies” akan lebih banyak akibat respos
imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi.
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem
imun pada penderita Preeklampsia-Eklampsia :
a. Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai
komplek imun dalam serum.
b. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen
pada Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan
bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada Preeklampsia,
tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan Preeklampsia.
3. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron antagonis,
sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan retensi air
dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.
4. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia/eklampsia bersifat
diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan peran
faktor genetic pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-
Eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia Eklampsia pada
anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan
bukan pada ipar mereka.
5. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam
lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis
Prostaglandin akan menyebabkan “Loss Angiotensin Refraktoriness” yang
memicu terjadinya preeklampsia.
Jumlah primigravi, terutama primigravida muda
6. Distensi rahim berlebihan : hidramnion, hamil ganda, mola hidatidosa
7. Penyakit yang menyertai hamil : diaetes melitus, kegemukan
6
8. Jumlah umur ibu diatas 35 tahun ( Ida Bagus. 1998).
9. Pre-eklampsia ringan jarang menyebabkan kematian ibu, namun dapat berisiko
menjadi pre-eklampsia berat bahkan timbul eklampsia. Pada primigravida
frekuensi pre-eklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida,
terutama primigravida muda. Diabetes militus, mola hidatidosa, kehamilan ganda,
hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor
predisposisi untuk terjadinya pre-eklampsia.
C. Manifestasi Klinis Pre-Eklampsia
Biasanya tanda-tanda pre-eklampsia timbul pertambahan berat badan yang
berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre-eklampsia
ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada pre-eklampsia berat didapatkan
sakit kepala didaerah frontal, skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah
epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada pre-
eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul.
Tekanan darah pun meningkat lebih tinggi, edema menjadi lebih umum, dan
proteinuria bertambah banyak.
Pada umumnya diagnosis pre-eklampsia didasarkan atas adanya 2 dari trias
tanda utama: hipertensi, edema, dan proteinuria. Hal ini memang berguna untuk
kepentingan statstik, tetapi dapat merugikan penderita karena tiap tanda merupakan
bahaya kendatipun ditemukan tersendiri. Adanya satu tanda harus menimbulkan
kewaspadaan, apalagi karena cepat tidaknya penyakit meningkat tidak dapat
dipastikan, dan bila eklampsia terjadi maka prognosis bagi ibu maupun janin menjadi
jauh lebih buruk.
D. Patofisiologi Pre-Eklampsia

Pada beberapa wanita hamil, terjadi peningkatan sensitifitas vaskuler terhadap


angiotensin II. Peningkatan ini menyebabkan hipertensi dan kerusakan vaskuler,
akibatnya akan terjadi vasospasme. Vasospasme menurunkan diameter pembuluh
darah ke semua organ, fungsi fungsi organ seperti plasenta, ginjal, hati dan otak
menurun sampai 40-60 %. Gangguan plasenta menimbulkan degenerasi pada plasenta
dan kemungkinan terjadi IUGR dan IUFD pada fetus. Aktivitas uterus dan sensitivitas
terhadap oksitosin meningkat.

Penurunan perfusi ginjal menurunkan GFR dan menimbulkan perubahan


glomerolus, protein keluar melalui urin, asam urat menurun, garam dan air di tahan,
tekanan osmotik plasma menurun, cairan keluar dari intravaskuler, menyebabkan

7
hemokonsentrasi. Peningkatan viskositas darah dan edema jaringan berat dan
peningkatan hematokrit. Pada preeklamsia berat terjadi penurunan volume darah,
edema berat dan berat badan naik dengan cepat.

Penurunan perfusi hati menimbulkan gangguan fungsi hati, edema hepar dan
hemoragik sub-kapsular menyebabkan ibu hamil mengalami nyeri epigastrium atau
nyeri pada kuadran atas. Ruptur hepar jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi
yang hebat dari PIH, enzim enzim hati seperti SGOT dan SGPT meningkat.
Vasospasme arteriola dan penurunan aliran darah ke retina menimbulkan symptom
visual seperti skotoma (blind spot) dan pandangan kabur.

Patologi yang sama menimbulkan edema cerebral dan hemoragik serta


peningkatan iritabilitas susunan saraf pusat (sakit kepala, hiperfleksia, klonus
pergelangan kaki dan kejang serta perubahan efek). Pulmonari edema dihubungkan
dengan edema umum yang berat, komplikasi ini biasanya disebabkan oleh
dekompensasi kordis kiri.

Perubahan pokok yang didapatkan pada pre-eklampsia adalah spasmus


pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Dengan biobsi ginjal ,Altchek
dkk (1968) menemukan spasmus yang hebat pada arteriola glomerulus. Pada beberapa
kasus lumen arteriola demikian kecilnya,sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel
darah merah. Bila dianggap bahwa spasmus arteriola juga ditemukan di seluruh
tubuh,maka mudah dimengerti bahwa tekanan darah yang mengikat tampaknya
merupakan usaha mengatasi kenaikan tahanan perifer, agar oksigenasi jaringan dapat
dicukupi. Telah diketahui bahwa pada pre-eklampsia dijumpai kadar aldosteron yang
rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggidari pada kehamilan normal. Aldosteron
penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air dan natrium.
Pada pre eklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.

1. Perubahan pada plasenta dan uterus


Menurunya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta.
Pada hipertensi yang agak lama pertumbuhan janin terganggu, pada hipertensi
yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin sampai kematianya karena kekurangan
oksigenasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering
didapatkan pada pre-eklampsia dan eklampsia ,sehingga mudah terjadi partus
prematurus.
8
2. Perubahan pada ginjal
Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah kedalam ginjal menurun,
sehingga menyebabkan filtrasi glomelurus mengurang. Kelainan pada ginjal yang
penting ialah dalam hubungan dengan proteinuria dan mungkin sekali juga dengan
retensi garam dan air.Penurunan filtrasi glomelurus akibat spasmus arteriolus
ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomelurus menurun ,yang
menyebabkan retensi garam dan demikian juga retensi air.
3. Perubahan pada retina
Pada pre-eklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh
pada satu atau beberapa arteri, jarang terlihat perdarahan atau eksudat.
Retinopatia arteriosklerotika menunjukan penyakit vaskuler yang menahun.
Keadaan tersebut tak tampak pada pre-eklampsia, kecuali bila terjadi atas dasar
hipertensi menahun atau penyakit ginjal.
Pada pre-eklampsia jarang terjadi ablasio retina, keadaan ini disertai dengan
buta sekonyong-konyong. Pelepasan retina disebabkan oleh edema intraokuler dan
merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan segera. Biasanya setelah
persalinan berakhir, retina melekat lagi dalam 2 hari sampai 2 bulan.gangguan
penglihatan secara tetap jarang ditemukan.
Skotoma ,diplopia ,dan ambliopia pada penderita pre-eklampsia merupakan gejala
yang menunjukan akan terjadinya eklampsia.keadaan ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam
retina.
4. Perubahan pada paru
Edema paru paru merupakan sebab utama kematian penderita pre-eklampsia
dan eklampsia. Komplikasi ini biasanya disebabkan oleh dekompensasio kordis
kiri.
5. Perubahan pada otak
MeCall melaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada
hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi lagi pada eklampsia.walaupun
demikian ,aliran darah ke otak dan pemakaian oksigen pada pre-eklampsia tetap
dalam batas normal.pemakaian oksigen oleh otak hanya menurun pada eklampsia.
6. Metabolisme air dan elekterolit
Hemokonsentrasi yang menyertai pre-eklampsia dan eklampsia tidak diketahui
sebabnya. Terjadi disini pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstitial. Kejadian ini,yang diikuti oleh kenaikan hematokrit, peningkatan
protein serum, dan sering bertambahnya edema, menyebabkan volume darah
mengurang, viskositet darah meningkat, waktu peredaran darah tepi lebih

9
lama.karena itu, aliran darah ke jaringan di berbagai bagian tubuh mengurang,
dengan akibat hipoksia.
Jumlah air dan natrium dalam badan lebih banyak pada penderita pre-
eklampsia dari pada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi
menahun. penderita pre-eklampsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air
dan garam yang diberikan.hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun,
sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak berubah.

10
11
E. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Prinsip Penatalaksanaan Pre-Eklampsia

1) Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah

2) Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia

3) Mengatasi atau menurunkan risiko janin (solusio plasenta,


pertumbuhan janin terhambat, hipoksia sampai kematian janin)

4) Melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat sesegera
mungkin setelah matur, atau imatur jika diketahui bahwa risiko janin
atau ibu akan lebih berat jika persalinan ditunda lebih lama.

b. Penatalaksanaan pre-eklamsia Ringan

1) Kehamilan kurang dari 37 minggu. (Saifuddin et al. 2002) Lakukan


penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :

a) Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), refleks, dan kondisi


janin.

b) Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya


preeklampsia dan eklampsia.

c) Lebih banyak istirahat, tidur miring agar menghilangkan tekanan pada


vena cava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan
menambah curah jnatung.

d) Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam).

e) Tidak perlu diberi obat-obatan.

f) Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit :

 Diet biasa

 Pantau tekanan darah 2 kali sehari dan urin (untuk proteinuria)


sekali sehari.

 Tidak perlu diberi obat-obatan.


12
 Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat edema paru,
dekompensasi kordis, atau gagal ginjal akut.

 Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat


dipulangkan :

 Nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda


preeklampsia berat.

 Kontrol 2 kali seminggu untuk memantau tekanan darah, urin,


keadaan janin, serta gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.

 Jika tekanan diastolik naik lagi, rawat kembali.Jika tidak ada tanda-
tanda perbaikan, tetap dirawat. Lanjutkan penanganan dan
observasi kesehatan janin.

 Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat,


pertimbangkan terminasi kehamilan. Jika tidak rawat sampai aterm.

 Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai PE berat.

2) Kehamilan lebih dari 37 minggu

a) Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan induksi persalinan dengan


oksitosin atau prostaglandin.

b) Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan


prostaglandin atau kateter Foley atau lakukan seksio sesarea.

c. Penatalaksanaan Preeklampsia Berat

Tujuannya: mencegah kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan,


pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat yang tepat
untuk persalinan. (Angsar MD, 2009; Saifuddin et al. 2002):

a) Tirah baring miring ke satu sisi (kiri).

b) Pengelolaan cairan, monitoring input dan output cairan.

c) Pemberian obat antikejang.

13
d) Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung. Diuretikum yang dipakai adalah furosemid.

e) Pemberian antihipertensi

Masih banyak perdebatan tentang penetuan batas (cut off) tekanan darah,
untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off
yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmHg dan MAP ≥ 126 mmHg. Di RSU
Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah
apabila tekanan sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110
mmHg.

f) Pemberian glukokortikoid

Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan


ibu. Diberikan pada kehamilan 32 – 34 minggu, 2 x 24 jam. Obat ini juga
diberikan pada sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan
low
platelet) yang sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi
hati, hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif
(cepat lelah, mual, muntah, nyeri epigastrium), hemolisis akibat kerusakan
membrane eritrosit oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh.
Trombositopenia (<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di dinding
vaskuler), kerusakan tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom.

F. Fokus Pengkajian Pre-Eklampsia

1. Data subyektif:

a) Umur: biasanya sering terjadi pada primi gravida, < 20 tahun atau > 35
tahun · Riwayat kesehatan ibu sekarang: terjadi peningkatan tensi,
oedema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur.

b) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya: penyakit ginjal, anemia, vaskuler


esensial, hipertensi kronik, DM.

14
c) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa,
hidramnion serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia
sebelumnya.

d) Pola nutrisi: Jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun
selingan ·

e) Psiko sosial spiritual: Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan


kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi
resikonya

2. Data Obyektif:

a) Inspeksi: edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam

b) Palpasi: untuk mengetahui Tinggi Fundus Uteri, letak janin, lokasi edema

c) Auskultasi: mendengarkan Detak Jantung Janin untuk mengetahui adanya


fetal distress

d) Perkusi: untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian Sulfas


Magnesicus (jika reflek +)

e) Pemeriksaan penunjang:

1) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali
dengan interval 6 jam o Laboratorium : protein uri dengan kateter atau
midstream (biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2
pada skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat,
serum kreatini meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml

2) Berat badan: peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu

3) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan


pada otak

4) USG: untuk mengetahui keadaan janin

5) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin

f) Pemeriksaan Umum:
15
1) Keadaan umum: baik, cukup, lemah

2) Kesadaran: composmentis, samnolen, delirium, koma

3) TTV:

 TD: ≥ 140 / 110 mmHg

 N : 80 – 90 x/mnt

 S : 36 – 37 ºC

 Rr : 16 – 20 x/mnt

g) Pemeriksaan Khusus:

a. Inspeksi

 Muka: oedema.

 Mata: palpebra oedema, conjungtiva pucat/tidak, sklera


icterus/tidak

 Mamae: papila mamae normal/tidak

 Abdomen:adakah bekas operasi/tidak, adakah strie lividae/tidak.

 Genetalia: adakah pengeluaran pervaginam berupa lendir


bercampur darah, adakah pembesaran kelenjar bartholini/tidak,
adakah varices, adakah oedema/tidak

 Ekstremitas atas: kuku pucat/tidak, oedema

 Bawah: oedema/tidak, varices/tidak

b. Palpasi

 Leher: adakah pembesaran kelenjar limpe/tidak, adakah


pembesaran kelenjar thyroid/tidak, adakah bendungan vena
jugularis/tidak

 Mamae: adakah nyeri tekan/tidak


16
 Abdomen:

 Leopold I: untuk mengetahui TFU dan menentukan usia


kehamilan serta untuk mengetahui bagian janin yang berada di
fundus

 Leopold II: untuk mengetahui punggung dan bagian kecil janin

 Leopold III: untuk menentukan apa yang terdapat di bagian


bawah ini sudah atau belum terpegang oleh PAP (Pintu Atas
Pinggul)

 Leopold IV : untuk menentukan apa yang menjadi bagian


bawah dan berapa masuknya bagian bawah ke dalam rongga
panggul ·

 Ekstremitas: oedema, adakah varices/tidak

c. Auskultasi

Yang dicari yaitu punctum proximum dan DJJ (frekuensi teratur/tidak)


yaitu : 120 – 160 x/mnt. Dari pemeriksaan ini dapat diketahui
bagaimana keadaan janin

G. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Pre-Eklampsia

Diagnosa 1:

Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan kardiak


output sekunder terhadap vasopasme pembuluh darah.

Tujuan:

setelah dilakukan tindakan keperawatan elama 1x24 jam diharapkan perfusi


jaringan serebral klien adekuat

Intervensi:

1. Monitor tekanan darah tiap 4 jam

17
R/: Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan
indikasi dari PIH

2. Catat tingkat kesadaran pasien

R/: Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak

3. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia (hiperaktif, reflek patella dalam,


penurunan nadi, dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria)

R/: Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal,
jantung dan paru yang mendahului status kejang

4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi


uterus

R/: Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan


terjadinya persalinan

5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi

R/: Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah

Diagnosa 2:

Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penimbunan cairan pada paru:


oedem paru.

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pertukaran


gas adekuat.

Intervensi:

1. Auskultasi bunyi jantung dan paru

R/: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur

2. Kaji adanya hipertensi

18
R/: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada system aldosteron-renin-
angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)

3. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)

R/: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri

4. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas

R/: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

Diagnosa 3:

Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan aliran balik vena, payah
jantung.

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan curah jantung
dapat adekuat.

Intervensi:

1. Observasi EKG atau telematri untuk perubahan irama.

R/: Perubahan pada fungsi eletromekanis dapat menjadi bukti pada respon
terhadap berlanjutnya gagal ginjal/akumulasi toksin dan ketidakseimbangan
elektrolit.

2. Selidiki laporan kram otot kebas/kesemutan pada jari, dengan kejang otot,
hiperlefleksia.

R/:Neuromuskular indikator hipokalemia, yang dapat juga mempengaruhi


kontraktilitas dan fungsi jantung.

3. Pertahankan tirah baring atau dorong istirahat adekuat

R/:Menurunkan konsumsi oksigen/kerja jantung.

4. Awasi pemeriksaan laboratorium: kalium, kalsium, magnesium.

19
R/: Selama fase oliguria, hiperkalemia dapat terjadi tetapi menjadi hipokalemia
pada fase diuretik atau perbaikan.

5. Berikan/batasi cairan sesuai indikasi.

R/:Curah jantung tergantung pada volume sirkulasi (dipengaruhi oleh kelebihan


dan kekurangan cairan) dan fungsi otot miokardial.

6. Berikan tambahan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi.

R/: Memaksimalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokardial untuk


menurunkan kerja jantung dan hipoksia seluler.

Diagnosa 4:

Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kerusakan fungsi glomerolus skunder


terhadap penurunan cardiac output.

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tidak terjadi kelebihan
volume cairan dengan kriteria hasil:

Klien menunjukkan haluaran urin tepat dengan berat jenis/hasil laboratorium


mendekati normal, berat badan stabil, tanda vital dalam batas normal, tak ada edema.

Intervensi:

1. Awasi denyut jantung, TD, dan CVP.

R/: Takikardia dan hipertensi terjadi karena kegagalan ginjal untuk mengeluarkan
urin, pembatasan cairan berlebihan selama mengobati hipovolemia/hipotensi atau
perubahan fase oliguria gagal ginjal dan perubahan pada sisten renin-angiotensin.

2. Catat pemasukan dan pengeluaran akurat.

R/: Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, penggantian cairan dan penurunan
resiko kelebihan cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan.

3. Kaji kulit, wajah area tergantung untuk edema. Evaluasi derajat edema (pada skala
+1 sampai +4).

20
R/: Edema terjadi terutama pada jaringan yang tergantung pada tubuh contoh
tangan, kaki, area lumbosakral. BB pasien dapat meningkat sampai 4,5 kg cairan
sebelum
edema pitting terdeteksi. Edema periorbital dapat menunjukkan tanda perpindahan
cairan ini karena jaringan rapuh ini mudah terdistensi oleh akumulasi cairan
walaupun minimal.

4. Kaji tingkat kesadaran , selidiki perubahan mental, adanya


gelisah.

R/ Dapat menunjukkan perpindahan cairan, akumulasi toksin asidosis,


ketidakseimbangan elektrolit atau terjadinya hipoksia.

5. Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh: BUN, kreatinin, natrium dan kretinin


urin, natrium serum, kalium serum, Hb/Ht, foto dada.

R/ Mengkaji berlanjutnya dan penanganan disfungsi/gagal ginjal.

6. Siapkan untuk dialisis sesuai indikasi.

R/ Dilakukan untuk memperbaiki kelebihan volume, ketidak seimbangan


elektrolit, asam/basa dan untuk menghilangkan toksin.

Diagnosa 5:

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 12x24 jam diharapkan klien


menunjukkan toleransi aktivitas.

Intervensi:

1. Tingkatkan tirah baring /duduk, berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung


sesuai keperluan.

R/: Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan energi yang digunakan


untuk penyembuihan.

2. Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.


21
R/ Meningkatkan fungsi pernapasan dan meminimalkan tekanan pada area
tertentu untuk menurunkan resiko kerusakan jaringan.

3. Lakukan tugas dengan cepat sesuai toleransi

R/: Memungkinkan periode tambahan istirahat tanpa gangguan.

4. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, Bantu melakukan latihan rentang jarak sendi
pasif /aktif.

R/: Tirah baring lama menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena
keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat.

Diagnosa 6:

Nyeri (Akut) berhubungan dengan kontraksi uterus dan pembukaan jalan lahir

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakn keperaeatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri klien
berkurang.

Intervensi:

1. Kaji tingkat intensitas nyeri pasien

R/: Ambang nyeri setiap orang berbeda ,dengan demikian akan dapat menentukan
tindakan perawatan yang sesuai dengan respon pasien terhadap nyerinya

2. Jelaskan penyebab nyerinya

R/: Ibu dapat memahami penyebab nyerinya sehingga bisa kooperatif

3. Ajarkan ibu mengantisipasi nyeri dengan nafas dalam bila HIS timbul

R/: Dengan nafas dalam otot-otot dapat berelaksasi , terjadi vasodilatasi pembuluh
darah, expansi paru optimal sehingga kebutuhan 02 pada jaringan terpenuhi

4. Bantu ibu dengan mengusap/massage pada bagian yang nyeri

R/: untuk meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan nyeri

Diagnosa 7:
22
Risiko cedera pada ibu berhubungan dengan diplopia

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan resiko cidera
tidak terjadi.

Intervensi:

1. Monitor tekanan darah tiap 4 jam

R/: Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi
dari PIH

2. Catat tingkat kesadaran pasien

R/: Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak

3. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia (hiperaktif, reflek patella dalam, penurunan


nadi,dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria)

R/: Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal,
jantung dan paru yang mendahului status kejang

4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus

R/: Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan


terjadinya persalinan

5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi

R/: Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah

Diagnosa 8:

Resiko tinggi terjadinya kejang pada ibu berhubungan dengan penurunan fungsi organ
(vasospasme dan peningkatan tekanan darah).

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi kejang pada ibu


Kriteria Hasil:

23
Kesadaran: compos mentis, GCS : 15 ( 4-5-6 )

Tanda-tanda vital:

Tekanan Darah 100-120/70-80 mmHg

Suhu 36-37 C

Nadi 60-80 x/mnt

Resprasi 16-20 x/mnt

Intervensi:

1. Monitor tekanan darah tiap 4 jam

R/ Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi
dari PIH

2. Catat tingkat kesadaran pasien

R/ Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak

3. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia (hiperaktif, reflek patella dalam, penurunan


nadi,dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria)

R/ Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal,


jantung dan paru yang mendahului status kejang

4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus

R/Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan


terjadinya persalinan

5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi dan SM

R/ Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan SM untuk mencegah


terjadinya kejang

Diagnosa 9:

Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan
pada plasenta
24
Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi foetal distress pada janin

Kriteria Hasil:

DJJ ( + ): 12-12-12

Intervensi:

1. Monitor DJJ sesuai indikasi

R/ Peningkatan DJJ sebagai indikasi terjadinya hipoxia, prematur dan solusio


plasenta

2. Kaji tentang pertumbuhan janin

R/ Penurunan fungsi plasenta mungkin diakibatkan karena hipertensi sehingga


timbul IUGR

3. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta (nyeri perut, perdarahan, rahim


tegang, aktifitas janin turun)

R/ Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala solutio plasenta dan tahu akibat hipoxia
bagi janin

4. Kaji respon janin pada ibu yang diberi SM

5. R/ Reaksi terapi dapat menurunkan pernafasan janin dan fungsi jantung serta
aktifitas janin

6. Kolaborasi dengan medis dalam pemeriksaan USG dan NST

R/ USG dan NST untuk mengetahui keadaan/kesejahteraan janin

H. Pencegahan Pre-Eklampsia

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat mengetahui tanda-tanda


pre-eklampsia untuk bisa diminimalkan sejak dini. Adanya factor-faktor predisposisi
yang dapat menimbulkan pre-eklampsia juga perlu diwaspadai. Walaupun timbulnya
pre-eklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun angka kejadiannya dapat

25
dikurangi dengan pemberian penyluhan secukupnya dan pelaksanaan pengawasan
yang baik pada wanita hamil.

Penyuluhan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan.


Istirahat tidak selalu berbaring di tempat tidur, namun pekerjaan sehari-hari perlu
dikurangi, dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein, dan
rendah rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak
berlebihan perlu dianjurkan.

2. Eklampsia

A. Pengertian

Istilah eklamsia berasal dari bahasa yunani dan berarti “halilintar”. Kata
tersebut di pakai karena seolah-olahgejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba
tanpa di dahului oleh tanda-tanda lain.

Eklamsia adalah Penyakit akut dengan kejang dan coma pada wanita hamil dan dalam
nifas dengan hipertensi, oedema dan proteinuria (Obtetri Patologi,R. Sulaeman
Sastrowinata, 1981) Eklamsia adalah suatu komplikasi kehamilan yg ditandai dengan
peningkatan TD (S > 180 mmHg,D > 110 mmHg),proteinuria,oedema,kejang dan/atau
penurunan kesadaran.

B. Etiologi

Etiologi penyakit ini belum diketahui pasti, banyak teori diungkapkan oleh
para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya. Teori yang sekarang dipakai oleh
para ahli sebagai penyebab eklampsi adalah teori ischemia plasenta namun teori ini
belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.

Penyakit ini dianggap sebagai suatu “Maldaptation Syndrom” dengan akibat


suatu vasospasme general dengan akibat yang lebih serius pada organ hati, ginjal,
otak, paru-paru dan jantung yakni tejadi nekrosis dan perdarahan pada organ-organ
tersebut. (Pedoman Diagnosis dan Terapi, 1994: 49)

Berdasarkan waktu terjadinya eklamsia dapat dibagi menjadi

1. Eklamsi gravidarum

26
Kejadian 50-60 % serangan terjadi dalam keadaan hamil.

2. Eklamsi parturientum

Kejadian sekitar 30-35% terjadi saat inpartu dimana batas dengan eklamsi
gravidarum sukar dibedakan terutama saat mulai inpartu.

3. Eklamsi puerperium

Kejadian jarang sekitar 10 % terjadi serangan kejang atau koma setelah persalinan
berakhir.

C. Manifestasi Klinis

Terjadi pada kehamilan 20 minggu atau lebih Terjadi kejang-kejang atau


koma. Kejang dalam eklamsi ada 4 tingkat, meliputi:

1. Tingkat awal atau aura (invasi)

Berlangsung 30-35 detik, mata terpaku dan terbuka tanpa melihat (pandangan
kosong) kelopak mata dan tangan bergetar, kepala diputar kekanan dan kekiri.

2. Stadium kejang tonik

Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku tangan menggenggam dan kaki
membengkok kedalam, pernafasan berhenti muka mulai kelihatan sianosis, lodah
dapat trgigit, berlangsung kira-kira 20-30 detik.

3. Stadium kejang klonik

Semua otot berkontraksi dan berulang ulang dalam waktu yang cepat, mulut
terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa dan lidah dapat tergigit. Mata melotot,
muka kelihatan kongesti dan sianosis. Setelah berlangsung selama 1-2 menit kejang
klonik berhenti dan penderita tidak sadar, menarik mafas seperti mendengkur.

4. Stadium koma

Lamanya ketidaksadaran ini beberapa menit sampai berjam-jam. Kadang


antara kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya penderita tetap dalam keadaan
koma. (Muchtar Rustam, 1998: 275)

27
Terdapat tanda-tanda pre eklamsi:

 Hipertensi

 Edema

 Proteinuri

 Sakit kepala yang berat

 Penglihatan kabur

 Nyeri ulu hati

 Kegelisahan atau hiperefleksi

 Kadang kadang disertai dengan gangguan fungsi organ (Wirjoatmodjo,


1994: 49)

Komplikasi yang dapat timbul saat terjadi serangan kejang adalah:

 Lidah tergigit

 Terjadi perlukaan dan fraktur

 Gangguan pernafasan

 Perdarahan otak

 Kematian ibu dan janin.

D. Patofisiologi Eklampsia

Patofifologi kejang pada eklampsia sampai sekarang belum diketahui pasti


penyebabnya. Pada dasarnya eklampsia timbul setelah adanya pre-eklampsia berat.
Gejala-gejala yang muncul sam dengan pre eklampsia seperti hipertensi, edema,
proteinuria kelumpuhan serebral dan oliguria. Pada eklampsia akan terjadi kontraksi
otot-otot sehingga terjadi kejang bahkan terjadi koma. Kejang dapat disebabkan oleh
hipoksia karena vasokontriksi lokal otak, dan focus perdarahan di korteks otak.

28
Kejang juga manifestasi tekanan pada pusat motorik di lobus frontalis. Beberapa
mekanisme yang diduga sebagai etiologi kejang adalah sebagai berikut:

a) Edema serebral

b) Perdarahan serebral

c) Infark serebral

d) Vasospasme serebral

e) Pertukaran antara intra dan ekstra seluler

f) Koagulopati intravaskuler

g) Ensefalopati hipertensi

Sedangkan koma yang terjadi pada eklampsia dapat disebabkan oleh kerusakan
dua organ vital:

a) Kerusakan hepar yang berat: gangguan metabolisme-asidosis, tidak mampu


mendetoksikasi toksis material

b) Kerusakan serebral: edema serebri, perdarahan dan nekrosis disekitar


perdarahan, hernia batang otak.

E. Penatalaksanaan Eklampsia

Prinsip pengobatan eklampsia adalah Menghindari tejadinya kejang berulang,


mengurangi koma, meningkatkan jumlah diuresis.

Sedangkan menurut (Mansjoer, 2000) penanganan pada pasien eklamsi:

Pasien eklamsia harus ditangani di Rumah Sakit dirujuk sebelumnya paslu


diberi pengobatan awal untuk mengatasi kejang dan pemberian obat
Antihiperentensipa. Berikan O2 4-6 liter/menit. Pasang infus D5 % 500 ml/ 6 jam
dengan kecepatan 20 tetes permenit.pasang kateter urin, pasang guedel atau spatel.
Bahu diganjal kainsetebal 5 cm agar lebih defleksi sedikit. Posisi tempat tidur dibuat
sedikit fowler agar kepala tetap tinggi. Fiksasi pasien agar tidak jatuh.

29
Dirumah sakit, berikan MgSO4 2 g IV kemudian 2 gr/jam dalam drip infuse
dekstrosa 5 % untuk pemeliharaan sampai kondisi atau tekanan darah stabil (1400-
150 mmHg). Bila kondisi belum stabil obat tetap diberikan.

Bila timbul kejang, berikan dosis tambahan MgSO4 2 gr Intravena sekurang-


kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Dosis tambahan hanya dapat
diberikan sekali saja. Bila masih tetap kejang, berikan Amobarbital 3-5 mg/kg BB IV
perlahan atau fenobarbital 250 mg atau deazepam 10 mg IV. Bila syarat pemberian
MgSO4 tidak terpenuhi di berikan:

 Diazepam: dosis awal 20 mg IM atau 10 mg IV perlahan dalam 1 menit


atau lebih. Dosis pemeliharaan D5% 500 ml + 40 mg diazepam tpm dan
dosis maksimum 2000 ml/ 24 jam. Pemberian diazepam lebih disukai pada
eklamsia puerpuralis karena pada dosis tinggi menyebabkan hipotonik
neonatus.

 Fenobarbital: 120-140 mg IV perlahan dengan kecepatan tidak melebihi 60


mg/ menit. Dosis maksimal 1000 mg.

Pada pasien koma, monitor kesadaran dengan skala Gasgow.

Obat suportif sama seperti penanganan preeklamsi berat. Penanganan obstetri


ialah dengan mengakhiri tanpa melihat usia kehamilan dan keadaan janin. Akhir
kehamilan bila sudah terjadi pemulihan hemodinamika dan metabolisme ibu yaitu
dalam 4-8 jam setelah pemberian obat anti kejang terakhir. Setelah kejang terakhir,
setelah pemberian obat antihipertensi terakhir atau setelah pasien mulai sadar. Cara
terminasi kehamilan sesuai preeklamsi berat.

Lanjutkan MgSO4 sampai 2 jam pasca persalinan atau sampai tekanan darah
belum dapat dikendalikan. Berikan asupan kalori sebesar 1500 kal Iv atau dengan
selang NGT dalam 24 jam perawatan selama pasien belum dapat makan akibat
kesadaran menurun.

F. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Eklampsia

Kala I

Diagnosa 1:
30
Resiko tinggi terjadinya kejang pada ibu berhubungan dengan penurunan fungsi
organ (vasospasme dan peningkatan tekanan darah).

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi kejang pada ibu

Kriteria Hasil:

 Kesadaran: compos mentis, GCS : 15 ( 4-5-6 )

 Tanda-tanda vital:

 TD: 100-120/70-80 mmHg

 Suhu: 36-37 C

 Nadi: 60-80 x/mnt

 RR : 16-20 x/mnt

Intervensi:

1. Monitor tekanan darah tiap 4 jam

R/ Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi
dari PIH

2. Catat tingkat kesadaran pasien

R/ Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak

3. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia (hiperaktif, reflek patella dalam,


penurunan nadi, dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria)

R/ Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal,


jantung dan paru yang mendahului status kejang

4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi


uterus

R/ Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan


terjadinya persalinan
31
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi dan SM

R/ Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan SM untuk mencegah


terjadinya kejang

Diagnosa 2:

Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan
pada plasenta

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi foetal distress pada janin
Kriteria Hasil:

 DJJ ( + ) : 12-12-12

Intervensi:

1. Monitor DJJ sesuai indikasi

R/Peningkatan DJJ sebagai indikasi terjadinya hipoxia, prematur dan solusio


plasenta

2. Kaji tentang pertumbuhan janin

R/ Penurunan fungsi plasenta mungkin diakibatkan karena hipertensi sehingga


timbul IUGR

3. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta (nyeri perut, perdarahan, rahim


tegang, aktifitas janin turun)

R/ Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala solutio plasenta dan tahu akibat bagi
janin

4. Kaji respon janin pada ibu yang diberi SM

R/ Reaksi terapi dapat menurunkan pernafasan janin dan fungsi jantung


aktifitas janin

5. Kolaborasi dengan medis dalam pemeriksaan USG dan NST

32
R/ USG dan NST untuk mengetahui keadaan/kesejahteraan janin

Diagnosa 3:

Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan kontraksi uterus dan


pembukaan jalan lahir

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan ibu mengerti penyebab nyeri dan dapat
mengantisipasi rasa nyerinya

Kriteria Hasil:

 Ibu mengerti penyebab nyerinya

 Ibu mampu beradaptasi terhadap nyerinya

Intervensi:

1. Kaji tingkat intensitas nyeri pasien

R/ Ambang nyeri setiap orang berbeda ,dengan demikian akan dapat


menentukan tindakan perawatan yang sesuai dengan respon pasien terhadap
nyerinya

2. Jelaskan penyebab nyerinya

R/ Ibu dapat memahami penyebab nyerinya sehingga bisa kooperatif

3. Ajarkan ibu mengantisipasi nyeri dengan nafas dalam bila HIS timbul

R/ Dengan nafas dalam otot-otot dapat berelaksasi , terjadi vasodilatasi


pembuluh darah, expansi paru optimal sehingga kebutuhan pada jaringan
terpenuhi

4. Bantu ibu dengan mengusap/massage pada bagian yang nyeri

R/ untuk mengalihkan perhatian pasien

Diagnosa 4:

33
Gangguan psikologis ( cemas ) berhubungan dengan koping yang tidak efektif
terhadap proses persalinan

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan perawatan kecemasan ibu berkurang atau hilang

Kriteria Hasil :

 Ibu tampak tenang

 Ibu kooperatif terhadap tindakan perawatan

 Ibu dapat menerima kondisi yang dialami sekarang

Intervensi:

1. Kaji tingkat kecemasan ibu

R/Tingkat kecemasan ringan dan sedang bisa ditoleransi dengan pemberian


pengertian sedangkan yang berat diperlukan tindakan medikamentosa

2. Jelaskan mekanisme proses persalinan

3. R/Pengetahuan terhadap proses persalinan diharapkan dapat


mengurangi emosional ibu yang maladaptive

4. gali dan tingkatkan mekanisme koping ibu yang efektif

R/Kecemasan akan dapat teratasi jika mekanisme koping yang


dimiliki ibu efektif

5. Beri support system pada ibu

R/ ibu dapat mempunyai motivasi untuk menghadapi keadaan yang sekarang


secara lapang dada asehingga dapat membawa ketenangan hati

Kala II

Diagnosa 1:

Resiko terjadi injury pada ibu dan bayi berhubungan dengan dampak dari tindakan
ekstraksi dengan forceps
34
Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi injury pada ibu dan janin

Kriteria Hasil:

 APGAR SCOR diatas 7

 Tidak terjadi ruptur perineum

 Tidak terjadi ruptur uteri

Intervensi:

1. Pastikan bahwa pembukaan sudah lengkap

R/ Jika pembukaan belum lengkap bibir serviks bisa terjepit antara kepala
anak dan sendok sehingga terjadi robekan pada serviks

2. pastikan bahwa ketuban sudah pecah

R/ Bila ketuban belum pecah maka selaput janin akan ikut tertarik oleh forceps

3. Anjurkan ibu untuk tidak mengedan

R/ mengedan membutuhkan tenaga yang akhirnya dapat meningkatkan


tekanan darah sebagai kompensasi tubuh, bila tekanan darah semakin
meningkat akan memicu timbulnya kejang dan terjadi injury pada ibu maupun
janin

4. bantu dokter dalam melakukan tindakan ekstraksi dengan forceps sesuai


standarisasi

R/ Tindakan forceps yang dilakukan dengan benar/ sesuai standart serta skill
yang memadai tanpa adanya penyulit akan terhindar dari terjadinya
komplikasi pada ibu maupun janin

Kala III

Diagnosa 1:

35
Resiko deficit cairan berhubungan dengan perdarahan post
partum

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi deficit cairan


Kriteria Hasil :

 Keadaan umum baik

 Mukosa mulut basah

 Turgor kulit baik

 Tanda vital:

 TD: 100-120/70-80 mmHg

 Nadi: 60-80 x/mnt

 RR : 16-20 x/mnt

 Suhu : 36-37 C

 Perdarahan dalam batas normal : < 500 cc

Intervensi :

1. Kaji kontraksi uterus

R/ kontraksi uterus dapat membantu pelepasan plasenta

2. Cegah terjadinya perdarahan dengan mengobservasi pelepasan plasenta dan


mengeluarkan plasenta dengan peregangan tali pusat terkendali serta bekerja
dengan hati-hati

R/.untuk mencegah terjadinya rest plasenta sehingga tidak terjadi perdarahan

3. Kaji banyaknya darah yang keluar

R/ dengan mengetahui jumlah darah yang hilang akan dapat menentukan


jumlah darah/intake cairan yang diberikan agar terjaga keseimbangan

36
4. Beri minum peroral

R/ dapat menggantikan sairan yang hilang

5. Lakukan observasi tanda-tanda vital

R/ untuk memantau tanda –tanda gangguan keseimbangan cairan

Kala IV

Diagnosa 1:

Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan luka episiotomy

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan perawatan rasa nyeri berkurang atau hilang

Kriteria hasil :

 mengatakan nyerinya berkurang atau hilang

 keadaan luka baik

 tanda-tanda infeksi tidak ada

Intervensi :

1. Beri penjelasan pada ibu penyebab nyerinya

R/ dengan mengerti penyebab nyerinya diharapkan ibu dapat kooperatif dan


menerima rasa nyerinya secara wajar

2. Anjurkan pada ibu untuk menghindari pergerakan yang berlebihan terutama


yang berkaitan dengan daerah sekitar luka episiotomy

R/ Pergerakan yang bisa membuat peregangan daerah luka akan menambah


rasa nyeri

3. Lakukan perawatan luka episiotomy secara aseptik dan anti septic

37
R/ Perawatan luka secara aseptic dan anti septic dapat mempercepat proses
penyembuhan luka sehingga nyeri bisa berkurang/hilang

4. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik

R/ analgetik dapat mengurangi/menghilangkan rasa nyeri

Diagnosa 2:

Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan adanya luka episiotomy


Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan perawatan infeksi tidak terjadi

Kriteria Hasil :

 luka episiotomy tampak kering dan bersih

 luka tidak ada tanda-tanda infeksi

 tanda-tanda vital dalam batas normal

Intervensi :

1. Anjurkan ibu untuk menjaga kebersihan daerah luka episiotomy

R/ Kebersihan yang kurang terjaga bisa menimbulkan infeksi pada luka karena
masuknya kuman

2. Lakukan perawatan luka episiotomy secara aseptik dan anti septic

R/ Perawatan luka secara aseptic dan anti septic dapat mempercepat proses
penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi

3. Ajari ibu cara merawat luka

R/ ibu dapat mengerti cara merawat luka yang benar sehingga bisa mencegah
timbulnya infeksi

4. Kolaborasi dengan medis dalam pemberian antibiotic

R/ anti biotic dapat membunuh kuman

38
G. Pencegahan

Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi.


Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas:

1. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar


semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil muda

2. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya


segera

3. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu keatas


apabila setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat
dihilangkan.

39
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Pre-eklampsia adalah penyakit kehamilan yang belum diketahui penyebabnya,


di tandai dengan adanya hipertensi, edema, dan proteinuria. Pre-eklampsia ringan
yang tidak segera ditangani dapat menjadi berat bahkan menimbulkan eklampsia atau
kejang pada ibu hamil dan menyebabkan kematian pada ibu maupun janin. Sampai
saat ini pre-eklampsia dan eklampsia masih menjadi salah satu penyebab utama
kematian perinatal. Oleh karena itu penting bagi ibu untuk mengetahui sejak dini
gejala-gejala pre-eklampsia dan segera mengobati agar tidak menjadi pre-eklampsia
berat maupun eklampsia.

Preeklamsi ialah suatu gangguan kehamilan yang menjadi penyebab kematian


ibu dan bayi. Preeklamsi terbagi menjadi dua yaitu preeklamsi ringan dan preeklamsi
berat. Penyebab terjadinya prekklamsi sampai saat ini belum dapat diketahui secara
pasti. Itulah sebabnya preklamsi disebut juga “disease of theory”, gangguan kesehatan
yang diasumsikan pada teori. Preklamsi ringan ditandai dengan : kehamilan lebih dari
20 minggu; kenaikan tekanana darah 140/90 mmHg atau lebih dangan pemeriksaan 2
kali selang 6 jam dalam keadaan istirahat (untuk pemeriksaan pertama dilakukan 2
kali setelah istirahat 10 menit); edema tekan pada tungkai (pretibia), dinding perut,
lumbosakral, wajah atau tangan; proteinuria lebih 0,3 gr/liter/2jam, kualitatif +2.

Preeklamsi berat di tandai dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg,
diastolik > 110 mmHg, peningkatan kadar enzim hati atau ikterus, trombosit <
100.000/ mm3, oliguria < 400 ml/24 jam, protein urine > 3 gr/liter, nyeri
episgtastrium, skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat,
perdarahan retina, odem pulmonum.

Jika preeklamsi ringan dan berat tidak dapat ditangani dengan baik pada ibu
hamil, maka akan dapat mengakibatkan terjadinya eklamsi pada ibu hamil. Eklamsi
adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau masa nifas yang
ditandai dengan timbulnya kejang (bukan karena kelainan neorologik) atau koma
dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala pre eklamsi

40
2. Saran

Demikianlah makalah kami ini dapat dipaparkan, semoga berguna dan


bermanfaat bagi kita semua. Kami sebagai penulis menyadari bahwa apa yang kami
tulis dan kami paparkan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan saran
dan kritikannya yang membangun demi kelancaran makalah kami ini.

41
DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, Chrisdiono M. 2004. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC

Astuti, Sri Lestari Dwi, Sunaryo , Tri. Haryati, Susi Dwi. 2013. Analisis FaktorResiko Yang

Terjadinya Pre Eklampsi Berat Pada Ibu Hamil Trimester Ketiga. Jurnal Nasional.

Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Keperawatan.

Leveno, Kenneth J. 2009. Williams Manual of Obstetrics. Ed, 21. Jakarta: EGC

Wiknjosastro, Hanifa. Saifuddin, Abdul Bari. Rachimhadhi, Trijatmo. 2005. Ilmu

Kebidanan.. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Yeyeh, Ai Rukiah. Lia Yulianti. 2010. Asuhan Kebidanan 4 Patologi Kebidanan. Jakarta2011

Gusta, Dien Anggraini Nursal. Dkk. Faktor Resiko Kejadian Preeklamsi Pada Ibu Hamil di

RSUP M. DJAMIL Padang Tahun 2014. From :

http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/161, 30 juli 2018

Magdalena, Mariah. Diah Hisoryati. Gambaran Faktor Penyebab Preeklampsia Pada

Kehamilan Di Wilayah Kerja Puskesmas Tembelang Jombang. From :

file:///C:/Users/asus/Downloads/30-Article%20Text-58-1-10-20160828.pdf, 30 Juli 2018

42

You might also like