You are on page 1of 18

UJIAN AKHIR SEMESTER

KAPITA SELEKTA HUKUM ADMINISTRASI NEGARA


TENTANG
“KINERJA DPR DALAM PROSES ALIH FUNGSI HUTAN LINDUNG
AIR TELANG MENJADI PELABUHAN TANJUNG API-API DIKAITKAN
DENGAN PRINSIP PEMERINTAHAN YANG BAIK”

Juluanta Kaibun 110110070382

UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2010
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Artikel

TEMPO Interaktif, Jakarta - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi
S.P. menegaskan, tak tertutup kemungkinan KPK akan menelusuri nama-nama mantan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat lainnya yang diduga menerima duit alih fungsi hutan
Pantai Air Telang. Hal itu sangat bergantung pada persidangan terhadap Azwar dan
kawan-kawan. "Bisa saja muncul info atau nama-nama baru di persidangan. Kita lihat
saja nanti," kata Johan.

Penegasan itu mengomentari pertanyaan wartawan setelah KPK kemarin menahan tiga
tersangka dugaan korupsi dalam alih fungsi hutan Pantai Air Telang, Kabupaten
Banyuasin, Sumatera Selatan. Ketiganya adalah Azwar Chesputra, Hilman Indra, dan
Fachri Andi Leluasa. Mereka adalah anggota Komisi Kehutanan (Komisi IV) Dewan
Perwakilan Rakyat periode 2004-2009. Pada masanya, mereka dikenal dengan sebutan
"Tim Gegana", yang bertugas melakukan lobi bagi Komisi IV.

Azwar, Hilman, dan Fachri juga ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan


pengembangan kasus dan putusan pengadilan sebelumnya. Jaksa KPK, Muhammad Rum,
dalam persidangan dengan terdakwa Sarjan Taher, November 2008, menyebut Hilman,
Azwar, dan Fachri sebagai salah satu penerima dana alih fungsi hutan Pantai Air
Telang. "Ini kasus lama, baru sekarang kita lakukan penahanan," kata Kepala Biro
Hubungan Masyarakat KPK Johan Budi S.P. di kantornya kemarin. Penahanan dilakukan
setelah ketiganya menjalani pemeriksaan sekitar tujuh jam sejak pukul 10 pagi. "Berkas
ketiganya sudah lengkap. Dalam waktu dekat, kemungkinan akan kita naikkan ke
penuntutan."

Meski terjerat kasus yang sama, ketiga tersangka ditahan di tempat terpisah. Azwar
ditahan di ruang tahanan Markas Kepolisian Resor Jakarta Utara, Hilman di Mapolda
Metro Jaya, dan Fachri di Mapolres Jakarta Pusat. "Kita hormati proses hukum yang
ada," kata Fachri seusai pemeriksaan. Sedangkan Azwar dan Hilman enggan
berkomentar. Johan menyebutkan, ketiganya dikenai Pasal 12 (a) serta Pasal 5 ayat 2 dan
Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat ke-
1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penetapan status tersangka atas Anwar, Hilman,
dan Fachri sudah dilakukan komisi antikorupsi sejak pertengahan Mei tahun lalu.

Menurut Johan, ketiga orang itu, bersama Sarjan Taher dan Yusuf Erwin Faishal--
keduanya juga anggota Komisi IV DPR 2004-2009 dan sudah divonis 4,5 tahun penjara--
diduga menerima uang senilai Rp 5 miliar guna memperlancar alih fungsi hutan Pantai
Air Telang untuk dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api.
Uang Rp 5 miliar tersebut diberikan oleh Direktur PT Chandratex Chandra Antonio Tan
dan Direktur Badan Pengembangan Pelabuhan Tanjung Api-api Sofyan Rebuin. Uang
berbentuk cek pelawat itu kemudian dibagikan ke sejumlah anggota Komisi Kehutanan
dalam dua tahap. Dalam kasus itu, Chandra telah divonis majelis hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi 3 tahun penjara, pertengahan Maret tahun lalu. Sementara itu, di
pengadilan yang sama, mantan Gubernur Sumatera Selatan Syahrial Oesman dijatuhi
hukuman 1 tahun penjara dan dikuatkan oleh pengadilan banding. Adapun Al-Amien Nur
Nasution, kolega Sarjan, dan kawan-kawan di Komisi IV DPR sudah divonis penjara 8
tahun.

I.2 Latar Belakang

Pada dasarnya pemerintah harus menjalankan aktivitas pemerintahan berdasarkan


undang-undang, akan tetapi karena adanya keterbatasan/ kelemahan dan kekurangan dari
peraturan perundang-undangan, maka dalam pelaksanaanya aktivitas pemerintahan tidak
dapat berlandaskan pada peraturan perundang-undangan saja, namun pemerintah harus
bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang ada.
Dalam praktiknya, tindakan-tindakan yang berdasar pada inisiatif pemerintah sendiri ini
dapat mengakibatkan timbulnya benturan-benturan kepentingan antara pemerintah
dengan warga negaranya, seperti dalam kasus alih fungsi hutan lindung ini menjadi suatu
pelabuhan,kasus yang mencuat ini seharusnya tidak terjadi karena pada dasarnya
pemerintah (khususnya lembaga DPR) harus mengemban amanat rakyat secara benar dan
bertanggung jawab.
Maka dari pada itu, untuk menghindari adanya kesemena-menaan yang dilakukan
oleh pemerintah, maka harus ada batas-batas yang dapat menjaga sikap pemerintah,
batas-batas tersebut dikenal dengan istilah asas-asas pemerintahan yang layak. Dengan
adanya hal tersebut, maka diharapkan pemerintah memiliki tolak ukur yang jelas dalam
menjalankan aktivitas pemerintahan.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis
memilih judul “Kinerja DPR dalam Proses Alih Fungsi Hutan Lindung Air Telang
Menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api Dikaitkan dengan Prinsip Pemerintahan yang
Baik”

I.3 Identifikasi Masalah


Bagaimanakah keterkaitan antara kinerja anggota DPR mengenai kebijakannya
dalam alih fungsi hutan lindung air telang menjadi pelabuhan tanjung api-api
dengan asas pemerintahan yang baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Negara Hukum

Konsep negara hukum tidak terlepas dari sejarahnya karena negara hukum merupakan
suatu produk sejarah. Sehingga sebelum mengetahui secara tepat apa yang dimaksud
dengan konsep negara hukum maka kita pun harus mengetahui sejarah yang mendorong
dan mendukung lahirnya konsepsi negara hukum itu sendiri. Perkembangan pemikiran
filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai Negara Hukum sudah berkembang
semenjak 1800 s. Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran Negara Hukum
adalah pada masa Yunani kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie adanya gagasan mengenai
kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani
kuno menjadi sumber dari lahirnya gagasan mengenai kedaulatan hukum.

Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum dikembangkan oleh para filusuf
besar Yunani Kuno seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M). Dalam
bukunya Politikos yang dihasilkan dalam penghujung hidupnya, Plato (429-347 s.M)
menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada
dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk
melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum. Konsep
Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 s.M) adalah negara yang berdiri diatas
hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada
keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara
yang baik. Dan bagi Aristoteles (384-322 s.M) yang memerintah dalam negara bukanlah
manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya
pemegang hukum dan keseimbangan saja. Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang
Negara Hukum lahir sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja. Menurut
Paul Scholten dalam bukunya Verzamel Geschriften, deel I, tahun 1949, hlm. 383, dalam
pembicaraan Over den Rechtsstaat, istilah Negara Hukum itu berasal dari abad XIX, tetapi
gagasan tentang Negara Hukum itu tumbuh di Eropa sudah hidup dalam abad tujuh belas.
Gagasan itu tumbuh di Inggris dan merupakan latar belakang dari Glorious Revolution
1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan
dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang
berisi hak dan kebebasan daripada kawula negara serta peraturan penganti raja di Inggris.
Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law.
Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide
tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial
politik Eropa didominir oleh absolutisme raja. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-
ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich
Julius Stahl. Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey
pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The
Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau
Common law system. Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya
Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara
hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit,
yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak
individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara
ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan
nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats.1
Menurut Julius Stahl, konsepsi negara hukum yang digunakan dengan istilah rechstaat
terbagi kedalam empat unsur penting yaitu : perlindungan hak asasi manusia, pembagian
kekuasaan, pemerintahan berdasarkan kepada undang-undang dan peradilan tata usaha
negara. Sedangkan konsepsi negara hukum yang berdasarkan pada istilah The Rule of Law
yang dikembangkan oleh A.V Dicey, terbagi ke dalam 3 ciri penting yaitu : Supremacy of
Law, Equality before the Law, dan Due Process of Law. Menurut Prof Jimly Asshiddiqie,
penggabungan antara keempat ciri negara hukum menurut Julius Stahl dapat digabungkan
dengan tiga ciri The Rule of Law yang dikembangkan oleh A.V Dicey sehingga digunakan
untuk menandakan negara hukum pada zaman modern ini.
A Hamid S. Attamimi mengungkapkan bahwa negara hukum (rechtstaat) adalah negara
yang menempatkan sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan
tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. H.W.R. Wade
mengatakan bahwa negaa hukum adalah segala sesuatu harus dapat dilakukan menurut
hukum (everything must be done according to Law), negara hukum juga menentukan
bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada
pemerintah.2
Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan
negara hukum materiel atau Negara hukum modern3. Negara hukum formil menyangkut
pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-
undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih
mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Pembedaan ini dimaksudkan
untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta
akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu
sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi
oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam
arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang
dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan
substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga
1
Teori Negara Hukum, http://wahy.multiply.com/journal/item/5, Sabtu, 17 Oktober 2009,
12:50 WIB
2
H.W.R Wade. 1971. Administrative Law. Third Editions. Clarendon Press. Oxford University.
Hlm 6.
3
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9.
dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian
kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada
sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah
yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang
diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut
konsepsi tentang Negara hukum di zaman sekarang.4
Dari apa yang telah tersebutkan dapat disimpulkan bahwa ada empat unsur yang pada
hakikatnya melekat pada konsep negara hukum. Pertama, asas legalita bahwa menurut asas
ini pemerintah melakukan dan mendapatkan kekuasaan serta kewenangannya berdasarkan
dan tunduk pada undang-undang. Kedua, perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi
manusia, di dalam konsep negara hukum adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak
asasi merupakan tanggung jawab dari pemerintah. Ketiga, pemisahan kekuasaan diantara
kekuasaan negara agar kekuasaan tidak menumpuk pada satu tangan dan juga tidak
menyebabkan adanya penyalahgunaan kekuasaan, seperti yang Lord Acton sebutkan
bahwa “Power tends to corrupt, Absolutely Power Corrupt Absolutely” yang dapat
diartikan bahwa sebenarnya kekuasaan itu cenderung untuk menyimpang sedangkan
kekuasaan yang besar (mutlak) akan menyimpang (disalahgunakan) secara mutlak juga.
Dan yang terakhir, penegakan hukum melalui pengawasan hakim yang independen serta
mengawasi tindak-tanduk pemerintah apakah kekuasaan yang diperoleh dari undang-
undang dijalankan sesuai dengan undang-undang atau hukum yang berlaku.
Menurut Prof. Bagir Manan, konsepsi negara hukum pada zaman modern merupakan suatu
perpaduan antara konsep negara hukum dengan negara kesejahteraan. Dalam artian bahwa
negara tidak hanya semata-mata hanya sebagai penjaga malam, penjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat saja, tetapi juga sebagai pemikul tanggung jawab dalam memenuhi
keadilan sosial, kesejahteraan serta kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya dan beliau
pun menyebutkan bahwa negara hukum yang bertopang pada sistem demokrasi adalah
negara hukum demokratis atau democratische rechtstaat.
Prof Jimly Asshiddiqie pun mengungkapkan bahwa sesungguhnya dalam negara hukum itu
ada pilar-pilar yang utama dalam menyangga berdiri tegaknnya suatu negara hukum
moderm (baik rechtstaat dan Rule Of Law) sehingga dapat menjadi negara hukum modern
dalam arti yang sebenarnya. Beliau menyebutkan setidaknya ada 12 pilar, yaitu :
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)

3. Asas Legalitas (Due Process of Law)


4. Pembatasan Kekuasaan
5. Organ-Organ Eksekutif Independen

4
Orasi ilmiah Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23
Maret 2004
,
6. Peradilan bebas yang tidak memihak
7. Peradilan Tata Usaha Negara
8. Peradilan Tata Negara (Constitusional Court)
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat Demokratis
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat)
12. Transparansi dan Kontrol Sosial.

Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan.
Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak
dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia
menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide
negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950,
kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh
karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3)
yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara hukum
yang mengandung 12 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.5
B. Good Governance
Lord Acton mengatakan bahwa “Power tends to corrupt, Absolute Power Corrupt
Absolutely” yang kemudian dapat diartikan bahwa sebenarnya kekuasaan itu cenderung
untuk menyimpang dan akan sangat menyimpang apabila kekuasaan tersebut sangat besar
bahkan tidak terbatas. Kekuasaan tersebut bisa dikatakan sebagai pemerintah suatu negara,
yang apabila tidak diberikan batasan-batasan mengenai apa saja yang menjadi tugas dan
kewenangannya akan membuat pemerintah tersebut menjadi suatu institusi yang memiliki
kewenangan yang super (superbody). Sehingga pemerintah akan membuat kebijakan-
kebijakan sesuai dengan penguasa saja tanpa memikirkan lagi apa yang diinginkan dan
dibutuhkan oleh masyarakat. Akibat kekuasaan yang tidak terbatas ini lah yang kemudian
menjadi awal dari perkembangan teori mengenai “Good Governance” .
Istilah governance dalam bahasa Inggris berarti “the act, fact, manner of governing”, yang
berarti adalah suatu proses kegiatan. Kooiman dalam Sedarmayanti (2004:2)
mengemukakan bahwa governance ialah”…serangkaian proses interaksi sosial politik
antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan
tersebut”. Pada dasarnya, istilah governance bukan hanya berarti kepemerintahan sebagai
5
Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Prof. Jimly Asshiddiqie, Simbur Cahaya, 2004.
suatu kegiatan saja, melainkan juga mengacu kepada arti pengurusan, pengarahan,
pengelolaan, dan pembinaan penyelenggaraan. Dan berdasarkan dari apa yang
diungkapkan oleh Kooiman di atas, dapat dipahami bahwa keterlibatan masyarakat dalam
sistem pemerintahan merupakan semangat yang terdapat dalam konsep good governance6.
Kemudian bisa kita simpulkan bahwa Good Governance adalah sebuah penyelenggaraan
pemerintah yang kuat dan bersih (Clean and Strong Government).

Secara teoritis, Good Governance ditopang oleh prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh
penyelenggara pemerintah sehingga kemudian kita dapat menilai mengenai baik-buruknya
penyelenggara pemerintah tersebut berdasarkan pemenuhan prinsip-prinsip Good
Governance. Prinsip-prinsip tersebut akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
1. Partisipasi Masyarakat.

Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik


secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan
berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara
konstruktif.

2. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi
masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-
lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut
3. Tegaknya Supremasi Hukum.

Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di
dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

4. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses
pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak
yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat
dimengerti dan dipantau.

5. Peduli pada Stakeholder

6
SINERGITAS GOOD GOVERNANCE, DEMOKRASI, DAN E-GOVERNMENT DALAM MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan.

6. Berorientasi pada Konsensus


Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda
demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi
kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-
kebijakan dan prosedur-prosedur.

7. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan
kesejahteraan mereka.

8. Efektifitas dan Efisiensi


Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai
kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada
seoptimal mungkin. berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang
bersangkutan.

9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas
tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja
yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga
harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang
menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
BAB III
Pembahasan

3.1 Kasus Posisi


Tim JPU menguraikan, kasus itu berawal ketika Direktur Utama Badan Pengelolaan dan
Pengembangan Pelabuhan Tanjung Apiapi/mantan Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera
Selatan, Sofyan Rebuin meminta bantuan Sarjan untuk membantu proses persetujuan DPR
berkaitan dengan usulan pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air Telang untuk
dijadikan pelabuhan Tanjung Apiapi.
Pada Oktober 2006, Sarjan membahas permintaan Sofyan tersebut dengan sejumlah anggota
DPR lainnya, yaitu Yusuf E. Faishal, Hilman Indra, Azwar Chesputra, Fachri Andi Leluasa.

Pertemuan itu menyepakati Sarjan Tahir sebagai perantara Komisi IV DPR dengan
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Kemudian Sarjan menghubungi Sofyan Rebuin dan
mengatakan kebutuhan dana Rp5 miliar untuk pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air
Telang. Atas usulan tersebut, menurut tim JPU, Sofyan menemui Syahrial Oesman yang
waktu itu menjadi Gubernur Sumatera Selatan dan pengusaha Chandra Antonio Tan. Pada
pertemuan tersebut, Chandra Antonio Tan setuju untuk menyiapkan uang sebesar Rp2,5
miliar. Chandra kemudian menyerahkan Rp2,5 miliar dalam bentuk cek kepada Sarjan
Tahir, yang kemudian dibagikan kepada beberapa anggota Komisi IV DPR.
Mereka yang diduga menerima adalah Sarjan Tahir (Rp150 juta), Yusuf E. Faishal (Rp275
juta), Hilman Indra (Rp175 juta), Azwar Chesputra (Rp325 juta), Fachri Andi Leluasa
(Rp175 juta) dan beberapa anggota DPR yang lain. Pada Juni 2007, Sarjan kembali
menghubungi Sofyan Rebuin untuk meminta sisa pembayaran Rp2,5 miliar.
Penyerahan uang itu dilakukan di Hotel Mulia Jakarta, pada 25 Juni 2007. Uang Rp2,5
miliar itu kemudian dibagi-bagi kepada Sarjan Tahir (Rp200 juta), Yusuf E. Faishal (Rp500
juta), Hilman Indra (Rp260 juta), Azwar Chesputra (Rp125 juta), dan Fachri Andi Leluasa
(Rp235 juta). Uang itu juga mengalir ke Suswono (Rp150 juta), Sujud Sirajudin (Rp25
juta), Ishartanto (Rp50 juta), dan Imam Syuja` (Rp20 juta).
Tim JPU menyatakan, aliran cek itu membuktikan tindakan Chandra yang telah memberikan
atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain. Pemberian itu terkait dengan proses alih fungsi
hutan lindung Pemberian itu agar Komisi IV mempercepat proses rekomendasi alih fungsi
hutan lindung Pantai Air Telang," kata JPU Supardi.
Atas perbuatannya, Chandra dijerat dengan pasal 5 ayat (1) huruf a UU nomor 31 tahun
1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP. Direktur PT Chandratex Indo Arta,
Chandra Antonio Tan yang menjadi rekanan pembangunan pelabuhan Tanjung Apiapi di
Sumatera Selatan dituntut empat tahun penjara oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU),
karena diduga memberikan cek senilai Rp5 miliar kepada sejumlah anggota DPR.
Tim JPU dalam surat tuntutan yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta, juga menuntut pembayaran denda sebesar Rp250 juta subsider enam bulan
kurungan. Didalam kasus tersebut, Al Amin Nasution juga ikut tersandung didalamnya, karena
beliau telah tertangkap tangan oleh KPK sebesar Rp 71 juta atas dugaan suap alih fungsi hutan
lindung di Kepulauan Riau. Al Amin didakwa menerima suap dan melakukan pemerasan dalam
proyek pengadaan alat kehutanan. Selain itu, ia juga diduga memeras dua perusahaan yakni PT
Almega Goesystem dan PT Data Script terkait proyek pengadaan GPS Geodetik, GPS Handheld,
dan Total Station pada Departemen Kehutanan (Dephut). Al Amin dijerat Pasal 12 huruf a UU No.
31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP pada dakwaan I primer. Selain itu, Al Amin juga dijerat dengan
Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP pada dakwaan I
subsider.

3.2 Dampak Lingkungan Alih Fungsi Hutan Air Telanng menjadi Pelabuhan Tanjung
Api-Api
Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api semula adalah kawasan hutan mangrove seluas 600
Ha yang termasuk kedalam Kawasan Hutan Lindung Air Telang Kabupaten Banyuasin
Propinsi Sumatera Selatan. Kawasan ini tercatat sebagai daerah penyangga konservasi
Taman Nasional Sembilang yang telah ditetapkan sebagai hutan konservasi dunia.

Selain itu diluar Pembangunan Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api juga diperketat dengan
adanya wilayah industri seluas 12.300 Ha yang nantinya menjadi (South Sumatera Eastern
Corridor Development) SECDe yang dicanangkan oleh Kabupaten Banyuasin dan Provinsi
Sumatera Selatan dapat menjadikan kota industri mandiri terpadu yang akan menyerap
banyak tenaga kerja dari dalam Propinsi Sumatera Selatan serta membuka peluang investasi.
Alih fungsi lahan hutan Tanjung Api-api menurut menteri Kehutanan, M.S. Kaban, sudah
sesuai dengan prosedur. Alasannya karena berdasarkan UU Kehutanan No 41 Tahun 1999
pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan status apakah lahan itu merupakan
hutan lindung, konservasi, atau produksi. Kewenangan pemerintah itu juga meliputi
pengalihan status hutan-hutan tersebut.
Dalam proses pengalihan status lahan hutan lindung menjadi kawasan industri setidaknya
harus melalui 18 tahapan yang diantaranya harus ada penilaian dari tim terpadu yang
meneliti kawasan itu, biasanya melibatkan Kementerian Kehutanan, LIPI, Kementerian
Negara Lingkungan Hidup, Lembaga Akademis, Departemen Kehutanan setempat dan
pihak lainnya, kemudian tahap selanjutnya adanya persetujuan DPR, dan ada lahan
pengganti minimal dua kali dari luas lahan yang dialihfungsikan. Untuk alih fungsi Hutan
lindung Tanjung Api-api sudah ada lahan penggantinya seluas 1.200 Ha yang ditujukan
untuk memperluas kawasan Taman Nasional Sembilang.
Rekomendasi Tim Terpadu ini juga disertai sejumlah syarat yang harus diperhatikan
pemerintah setempat. Misalnya, pembangunan sarana perkantoran dan prasarana
pemerintahan lainnya serta Jalan Lintas Barat, dilaksanakan dengan tidak menimbulkan
gangguan terhadap aliran air/saluran drainase yang telah ada, meminimalkan cut and fill,
membuat jalur hijau dan saluran drainase di kiri dan kanan jalan dengan memperhitungkan
kapasitas tampung sesuai dengan volume air yang masuk ke dalam saluran drainase,
memperhatikan rekomendasi analisis dampak lingkungan, apabila terdapat vegetasi
mangrove yang terkena pembangunan diharuskan menanam mangrove di lokasi lain dengan
luas yang sama. Untuk pembangunan pelabuhan di pantai, harus diperhatikan bahaya-
bahaya pelayaran karena kedangkalan dan sempitnya alur di jalur tertentu, faktor
sedimentasi, serta belum adanya Sarana Bantu Navigasi Pelayaran dan berbagai hal lain,
termasuk perlunya ganti rugi terhadap hak-hak masyarakat.
Dari hal diatas berarti perlu juga diketahui apabila hendak melakukan alih fungsi lahan
hutan lindung dalam hal hal ini hutan mangrove Tanjung Api-api diperlukan adanya
pertimbangan yang komprehensif termasuk akjian tata ruang dan lingkungan. Ada baiknya
jika pemerintah mempertimbangkan keseriusan dalam prosedur alih fungsi yang benar.
Yaitu alih fungsi dilakukan setelah dikeluarkannya peretujuan, walaupun faktanya banyak
alih fungsi dilakukan sebelum peretujuan DPR. Hal ini pulalah kiranya yang menyebabkan
mencuatnya kasus Tanjung Api-api ke permukaaan karena disinyalir adanya permainan di
DPR yang menyebabkan pelaksanaan alih fungsi telah dilakukan sebelum dikeluarkannya
persetujuan dari DPR atau dengan kata lain adanya alasan grativikasi. Namun beredar
sumber yang menyatakan bahwa untuk meluluskan alih fungsi hutan mangrove, disebar
berlembar-lembar travellers cheque ke komisi IV. Nilainya antara 25 juta samapai 35 juta
rupiah perlembar. Total yang digelontorkan adalah lebih kurang sepuluh miliar. Terlepas
dari pro kontra perizinan dan penyelewengan wewenang tersebut diatas Pembangunan
pelabuhan Tanjung Siapi-api ternyata pada Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) masih
meninggalkan permasalahan. Seperti dampak terhadap Taman Nasional Sembilang karena
masih menyisakan kematian dan keanekaragaman hayati didalamnya.
Sri Lestari, selaku ketua Walhi, Sumsel mengemukakan pengerukan yang dilakukan
berdampak terhadap daerah istirahat dan mencari makan bagi burung-burung air, mulai dari
sungai Borang hingga Muara Sungai Sembilang. Juga daerah Tanjung Carat, Muara Sungai
solok. Selain itu perubahan tersebut berakibat menurunnya kualitas perairan disekitar lokasi
pembangunan dan hilangnya berbagai plasma nutfah yang menjadi makanan burung.
Pencemaran daerah perairan akan meningkat seiring mneingkatkatnya lalu lintas kapal.
Semua ini akan berdampak buruk bagi kehidupan liar di semenanjung Banyuasin.
"Pemerintah tidak pernah memberikan solusi atas permasalahan tersebut dan faktanya
pembangunan masih jalan," tegas Sri.(Dewi Handayani).
Diduga Pencemaran lingkungan oleh pabrik memberi kontribusi sekitar 30 persen dari total
kerusakan lingkungan. Pabrik-pabrik tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama ketiadaan Analisis mengenai
dampak lingkungan hidup (Amdal). Sedangkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup
sendiri adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan.
Untuk mempertegas pelaksanaan sanksi, telah ada UU Persampahan yang baru disahkan.
"Dengan adanya UU Persampahan maka saya punya senjata jika ada yang mengadu soal
sampah. Sanksinya bisa pidana, penjara dan denda mencapai miliaran. (sumber : Rachmat
Witoelar).Selain itu guna mendukung alih fungsi dapat sesuai peruntukkannya sebenarnya
telah dibatasi oleh UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur beberapa
ketentuan yang terdiri atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Dalam UU tersebut juga dinyatakan ruang terbagi habis antara kawasan
lindung dan kawasan budi daya. Sedangkan secara fungsional ruang terdiri atas kawasan
perkotaan, pedesaan, dan kawasan tertentu. Meskipun telah ada UU Penataan Ruang, namun
pada kenyataan di lapangan masih terdapat kelemahan dalam memanfaatkan alih fungsi
lahan. Masih lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang dalam penerapan sanksi terhadap
pemanfaatan ruang yang menyebabkan bencana seperti banjir, tanah longsor, kebakaran
hutan, dan pencemaran lingkungan.
Salah satu penyebabnya adalah tidak konsistennya antara kondisi eksisting pemanfaatan
ruang dengan penetapan kawasan terutama pada kawasan-kawasan yang berfungsi lindung
dan masih terdapatnya perbedaan pemahaman nomenklatur di bidang kehutanan.
Meskipun telah ada UU Penataan Ruang namun kerap kali terjadi timbul konflik antara
kebijakan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, Kabupaten/Kota dalam hal
perizinan. Ia menilai konflik tersebut timbul akibat tumpang tindih kepentingan sektor. Ia
mencontohkan seperti yang terjadi pada sektor pertambangan. Pemanfaatan ruang
khususnya di sektor pertambangan sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum harus
segera di cari solusinya dan segera diatur dalam bentuk peraturan perundangan sehingga ada
kejelasan dalam pelaksanaan pengaturannya.
Dalam penataan ruang,posisi kawasan hutan bisa terdapat dalam kawasan budi daya dan
bisa pula dalam kawasan lindung. Kawasan hutan yang masuk dalam kawasan budi daya
adalah hutan-hutan produksi, baik itu hutan alam maupun hutan tanaman, termasuk hutan
rakyat. "Kawasan hutan yang masuk dalam kawasan hutan lindung adalah hutan lindung
yang bisa terdiri dalam beberapa jenis hutan seperti taman nasional, suaka marga satwa,
cagar alam hutan pendidikan dan lain-lain

Menurut Azwar Chesputara selama ini dalam penataan ruang,luas kawasan hutan seakan-
akan statis karena dikaitkan masalah kewenangan sektor kehutanan, tidak peduli apakah
hutan tersebut bervegetasi atau tidak. Luas hutan di tetapkan dalam sistem dinamis yang
mengaitkan fungsi hutan yang multi fungsi dengan sub system biogeofisik, sub sistem
ekonomi dan sub sistem sosial, budaya dan kependudukan bahkan pertahanan keamanan.
"Dengan demikian dapat ditentukan luas hutan minimum yang harus ada di suatu wilayah
yang dapat menjamin keberlanjutan proses pembangunan dalam arti mampu meminimalisir
kemungkinan bencana yang muncul," jelas Azwar. Azwar menilai pelestarian lingkungan
dan mitigasi bencana dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan keterlibatan dunia
internasional dalam pengelolaan kawasan hutan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan terutama dalam mendukung upaya pencegahan pemanasan global dan
perubahan iklim. "Mengembangkan hutan tanaman rakyat dan hutan kemasyarakatan untuk
mengatasi deforestasi serta mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kemampuan
wilayah dalam pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten/kota
3.3 Keterkaitan antara kinerja anggota DPR mengenai kebijakannya dalam alih fungsi
hutan lindung air telang menjadi pelabuhan tanjung api-api dengan asas
pemerintahan yang baik
Pemerintahan yang baik dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar
dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian
penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil,dan terhormat, bebas dari kedzaliman,
pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.

Akan tetapi dengan tertangkap tangannya Al Amin Nasution, hal tersebut semakin mencoreng nama
baik DPR sebagai lembaga yang dapat menampung aspirasi rakyat. Dengan terbongkarnya kasus
pengalihan hutan lindung menjadi pelabuhan di Riau ini dapat memperlihatkan kepada kita bahwa
DPR sebagai salah satu lembaga Negara RI tidak mencerminkan suatu pemerintahan yang baik, hal
tersebut dapat terlihat dengan adanya unsur-unsur pemerintahan yang baik diabaikan, yaitu :

Pertama, asas rule of law atau asas kepastian hukum, undang-undang dasar 1945 sudah mengatur
mengenai fungsi, tugas, dan wewenang DPR, selain itu di dalamnya juga diatur mengenai bagaimana
mengambil kebijakan yang baik, namun DPR melanggarnya dengan mengambil kebijakan yang
tidak bersumber pada kepentingan rakyat, peraturan perundang-undangan dan mengacuhkan norma-
norma yang ada, sehingga terjadilah penyuapan oleh pihak-pihak tertentu yang dapat melahirkan
kebijakan yang diinginkan oleh mereka untuk memperlancar proyeknya.

Kedua, asas akuntabilitas atau dapat juga disebut pertanggungjawaban, setiap kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah, dalam hal ini DPR, harus berdasar atau memiliki dasar yang kuat untuk
dapat kebijakan tersebut dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, DPR dalam hal ini tidak dapat
mempertanggungjawabkan kebijakan pengalihan hutan lindung menjadi pelabuhan Tanjung Api-api
karena mereka mengeluarkan kebijakan ini dilatarbelakangi oleh suatu penyuapan tanpa
memperhatikan misalnya, unsur-unsur lingkungan yang seharusnya dipertimbangkan. Sehingga
dimungkinkan kedepannya terjadi kerusakan-kerusakan pada lingkungan sekitar hutan lidung
tersebut yang dijadikan suatu pelabuhan, akibat dari kebijakan DPR tersebut. Kalau sudah terjadi
hal demikian, hampir dapat dipastikan DPR lepas tangan akan hal tersebut.

Setiap kebijakan pemerintah, dalam hal ini kebijakan yang dikeluarkan oleh DPR mengenai masalah
kebijakan alih fungsi hutan lindung menjadi pelabuhan, sebenarnya harus mengutamakan pada
kepentingan rakyat, peraturan perundang-undangan, dan prinsip pemerintahan yang baik. Karena
prinsip ini juga dapat dijadikan tolak ukur dalam tindakan-tindakan pengambilan kebijakan yang
dilakukan oleh DPR ini.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah diatas :
1. Adanya keterkaitan yang erat antara kinerja anggota DPR mengenai
kebijakannya dalam alih fungsi hutan lindung air telang menjadi pelabuhan
tanjung api-api dengan asas pemerintahan yang baik
2. Prinsip pemerintahan yang baik ini dapat menjadi salah satu tolak ukur
penilaian dalam penyelenggaraan aktivitas pemerintah

4.2 Saran
1. Anggota DPR dalam mengeluarkan kebijakan sebaiknya lebih mengutamakan
kepentingan rakyat, dan mematuhi norma-norma yang ada
2. Dalam mengeluarkan sebuah kebijakan anggota DPR diharapkan tidak
mengeluarkan kebijakan yang “dapat dipesan”
DAFTAR PUSTAKA

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006.

Kusnardi, Moh dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN FH UI,
Jakarta, 1976.

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/02/18/brk,20100218-226607,id.html
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1986.

Asshiddiqie, Jimly, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta,
2006.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

You might also like