Professional Documents
Culture Documents
Conflict of interest:
Nothing 1 1
Sukmawati, S.Kep ., Baharia Laitung, S.Kep.,CWCCA .,
Muhammad Irwan, S.Kep1., Saiful Rassa, S.Kep1.,
Funding resources: 1,2
Saldy Yusuf, MHS.,ETN .
Nothing
Corresponding authors:
zikra_sukma@yahoo.com
1
Griya Afiat Makassar, Wound Care and Home Care Clinic, Makassar,
Indonesia.
2
Note: Advanced Wound Care Department, ETN Centre Indonesia
*Part of this articles has been
presented in 1st WOC-SM
Yogyakarta as poster
presentation.
ABSTRACT
Background: Diabetic foot ulcer (DFU) gangrene is commonly chronic
wound in home care setting, it takes high cost and long term care.
Aim: The aims of this study was to evaluate burden time and cost of DFU
gangrene.
Results: Forty eight participants included in this study (43 DFU non gangrene
and 5 DFU gangrene) with mean age were (58.8 SD ± 9.7 vs 60 SD ± 11.3 years)
respectively. Nursing cost (Rp. 123.412 vs Rp. 218.653) and dressing cost (Rp.
243.844 vs Rp. 711.558) were lower for DFU non gangrene. Wound care
shorter for non gangrene (27.3 vs 91.8 days), dressing change less frequently
(7.5 vs 21.6 times) and interval dressing change was equal (3.5 vs 3.2 days)
respectively.
Conclusion: There are different burden cost and burden time between DFU
non gangrene and DFU gangrene clinically.
65
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(1): Februari-Mei 2016
iabetes mellitus (DM) telah menjadi persoalan global baik di dunia timur
LATAR
BELAKANG D maupun barat. Secara global prevalensi DM menempatkan Indonesia
sebagai salah satu dari sepuluh besar penderita DM di Asia (Chan et al.,
2014) dan di dunia (Whiting, Guariguata, Weil, & Shaw, 2011). Pada tahun 2011
diperkirakan ada sekitar 4.7 juta jiwa penderita DM di Indonesia dan
diperkirakan terus meningkat hingga 5.9 juta jiwa di tahun 2030 (Whiting et al.,
2011).
Telah diketahui bersama bahwa salah satu komplikasi utama DM adalah
terjadinya luka kaki diabetik. Sayangnya di Indonesia pencegahan dan
perawatan luka kaki diabetik belum menjadi bagian dari program standar di
unit pelayanan primer (Widyahening, van der Graaf, Soewondo, Glasziou, &
van der Heijden, 2014). Hal ini semakin kompleks mengingat tingginya kasus
luka kaki diabetik. Penelitian kami sebelumnya melaporkan bahwa mayoritas
luka kronis di home care setting adalah luka kaki diabetik dengan prevalensi
26%, serta tingginya angka drop out sebesar 26.3% (Yusuf, Kasim, Okuwa, &
Sugama, 2013) dan 12% di rumah sakit (Yusuf et al., 2016)
Sayangnya belum begitu banyak informasi terkait biaya perawatan DM di
Indonesia (Soewondo, Ferrario, & Tahapary, 2013) termasuk biaya perawatan
luka kaki diabetik gangren. Oleh karena itu tujuan penelitian ini untuk
mengevaluasi waktu, biaya dan hasil perawatan luka kaki diabetik gangren di
unit pelayanan home care.
HASIL Dari 61 kasus luka diabetes, 13 kasus dieksklusi (bukan LKD), tersisa 48
kasus. Dari 48 kasus ada 43 pasien dengan LKD non gangren (89.5%) dan 5
Demografi pasien dengan LKD gangren (10.4%) (Gambar 1). Data demografi antara LKD
non gangren dan gangren; rata-rata usia (58.8 SD ± 9.7 tahun vs 60 SD ± 11.3
tahun), wanita 28 (58.3 %), umumnya ibu rumah tangga 21 (43.8 %) dan
mayoritas dari suku Bugis 23 (47.9 %). Tidak ada perbedaan signifikan diantara
kedua group (Tabel 1).
66
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(1): Februari-Mei 2016
Tabel 1.
Distribusi data
demografi berdasarkan
kelompok gangren dan
non gangren.
Biaya Secara umum total biaya perawatan lebih rendah pada LKD non
gangren ( Rp. 386.790 vs Rp. 950.211), biaya bahan habis pakai relatif sama
diantara kedua kelompok (Rp.19.534 vs Rp.20.000). Adapun jasa
perawatan relatif lebih rendah pada non gangren (Rp.123.412 vs Rp.
218.653), begitu juga dengan biaya balutan (Rp. 243.844 vs Rp. 711.558)
meskipun demikian tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua
kelompok (p >.05) (Tabel 2). Analisa lanjutan terkait proporsi biaya
menunjukkan bawa 4.6% biaya untuk bahan habis pakai, 29.9% untuk jasa
perawatan, dan 65.5% untuk biaya balutan (Gambar 2).
Tabel 2
Proporsi biaya perawatan
berdasarkan biaya bahan,
jasa perawatan dan
balutan.
Gambar. 1
Proporsi biaya bahan, jasa
perawatan dan balutan.
67
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(1): Februari-Mei 2016
Durasi perawatan lebih singkat pada non gangren (27.3 SD ± 41.8 vs 91.8 SD ±
Waktu
94.1 hari), frekuensi perawatan lebih cepat (7.5 SD ± 10.6 vs 21.6 SD ± 19.4 kali).
adapun interval pergantian balutan relatif sama (3.5 SD ± 2.2 vs 3.2 SD ± 1.4
hari) namun tidak ada perbedaan signifikan diantara kedua kelompok (p > .05)
(Tabel 3).
Tabel 3.
Deskripsi proses
perawatan berdasarkan
durasi, frekuensi dan
interval perawatan
DISKUSI
DISKUSI LKD tetap menjadi persoalan utama di unit pelayanan home care.
Demografi Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan demografis diantara
kelompok gangren dan non gangren. Sejalan dengan penelitian sebelumnya,
pengaruh faktor demografis terhadap perkembangan LKD masih simpang siur
(Monteiro-Soares, Boyko, Ribeiro, Ribeiro, & Dinis-Ribeiro, 2012). Menariknya
rata-rata usia pasien pada fase lanjut usia, hal ini tentunya menjadi tantangan
tersendiri karena secara fisiologis proses penyembuhan semakin sulit (Sgonc &
Gruber, 2013).
Beban Biaya Salah satu temuan menarik dari penelitian ini, bahwa total biaya
perawatan LKD gangren lebih besar tiga kali lipat dibandingkan non gangren.
Penelitian sebelumnya juga melaporkan beban biaya berbanding lurus dengan
derajat keparahan LKD (Ali et al., 2008). Proporsi beban biaya perawatan
sebagian besar untuk alokasi balutan. Disisi lain pasien relatif mengalami
kesulitan ekonomi dimana sebagian besar pasien 29 (60.4%) tidak memiliki
pendapatan rutin (ibu rumah tangga dan pensiunan). Meskipun tidak ada
perbedaan signifikan secara statistik, namun ada perbedaan yang bermakna
pada alokasi biaya perawatan dan balutan. Biaya perawatan lebih tinggi 1.9 kali
lipat dan biaya balutan 2.9 kali lipat pada LKD gangren menjadikan total biaya
perawatan 2.4 kali lebih besar pada LKD gangren.
Beban Waktu Meski tidak signifikan secara statistik, tapi secara klinis durasi perawatan
lebih lama pada penderita gangren. Faktor lain adalah tingginya mortalitas LKD
gangren sehingga rasio komparasi LKD non gangren dan gangren berbeda.
Secara umum proses penyembuhan luka kaki diabetik membutuhkan
perawatan jangka panjang. Sebuah studi menyimpulkan bahwa rasio
pengecilan luka kaki diabetik hanya sebesar 0.0065 mm per hari (Zimny, Schatz,
& Pfohl, 2002). Selain itu etiologi luka kaki diabetik juga menentukan lamanya
proses penyembuhan. Untuk LKD neuropati rata-rata penyembuhan 70 hari,
68
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(1): Februari-Mei 2016
sedangkan neuro-ischemic 133 hari serta 233 hari untuk ischemic murni (Yotsu
et al., 2014). Sebuah penelitian mengkonfirmasikan bahwa luka superficial
memiliki peluang kesembuhan 7.3 kali dibandingkan dengan luka pada jaringan
yang lebih dalam (Bakheit et al., 2012).
KETERBATASAN Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama ketidakseimbangan
jumlah sampel diantara kedua kelompok, kedua lokasi penelitian hanya pada
PENELITIAN satu tempat. Oleh karena itu penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang
lebih besar dan proporsional akan memberi informasi lebih detail terkait biaya
perawatan luka kaki diabetik di Indonesia.
KESIMPULAN Secara klinis ada perbedaan beban biaya perawatan dan beban waktu
perawatan LKD gangren dan non gangren.
REFERENSI Ali, S. M., Fareed, a, Humail, S. M., Basit, a, Ahmedani, M. Y., Fawwad, a, &
Miyan, Z. (2008). The personal cost of diabetic foot disease in the
developing world--a study from Pakistan. Diabetic Medicine : A Journal of
the British Diabetic Association, 25(10), 1231–3. doi:10.1111/j.1464-
5491.2008.02529.x
Bakheit, H. E., Mohamed, M. F., Mahadi, S. E. I., Widatalla, A. B. H., Shawer, M. a,
Khamis, A. H., & Ahmed, M. E. (2012). Diabetic heel ulcer in the Sudan:
determinants of outcome. The Journal of Foot and Ankle Surgery : Official
Publication of the American College of Foot and Ankle Surgeons, 51(2),
152–5. doi:10.1053/j.jfas.2011.10.032
Chan, J. C. N., Malik, V., Jia, W., Kadowaki, T., Yajnik, C. S., Yoon, K. H., & Hu, F. B.
(2014). Diabetes in Asia. JAMA, 301(20), 2129–2140.
Monteiro-Soares, M., Boyko, E. J., Ribeiro, J., Ribeiro, I., & Dinis-Ribeiro, M.
(2012). Predictive factors for diabetic foot ulceration : a systematic review.
Diabetes/metabolism Research and Reviews, 28(January), 574–600.
doi:10.1002/dmrr
Oyibo, S. O., Jude, edward B., Tarawneh, I., Nguyen, H. C., Harkless, L. B., &
Boulton, An. J. (2001). A Comparison of Two Diabetic Foot Ulcer
Classification System. The Wagner and the University of Texas wound
classification systems. Diabetes Care, 24(1), 84–88.
Sgonc, R., & Gruber, J. (2013). Age-related aspects of cutaneous wound healing:
A mini-review. Gerontology, 59(2), 159–164. doi:10.1159/000342344
Soewondo, P., Ferrario, A., & Tahapary, D. L. (2013). Challenges in diabetes
management in Indonesia: a literature review. Globalization and Health, 9,
63. doi:10.1186/1744-8603-9-63
Whiting, D. R., Guariguata, L., Weil, C., & Shaw, J. (2011). IDF diabetes atlas:
global estimates of the prevalence of diabetes for 2011 and 2030. Diabetes
Research and Clinical Practice, 94(3), 311–21.
doi:10.1016/j.diabres.2011.10.029
Widyahening, I. S., van der Graaf, Y., Soewondo, P., Glasziou, P., & van der
Heijden, G. J. M. G. (2014). Awareness, agreement, adoption and
adherence to type 2 diabetes mellitus guidelines: a survey of Indonesian
69
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(1): Februari-Mei 2016
70