You are on page 1of 17

PANDUAN PRAKTIS KLINIS

PENYAKIT DALAM

RSUD PATUT PATUH PATJU

KABUPATEN LOMBOK BARAT

2019

SYOK ANAFILAKSIS

Pengertian ( Definisi) Reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang beronset


cepat, sistemik dan mengancam nyawa
Anamnesis 1. Penyebab: paling sering gigitan serangga
2. Onset gejala akut (menit hingga jam)
3. Gejala prodromal: timbul gejala kulit seperti
gatal dan kemerahan; gejala gastrointestinal
berupa kram perut, mual, muntah sampai
diare
4. Gejala respirasi: sesak napas
5. Gejala sirkulasi
Pemeriksaan Fisik 1. Respirasi meningkat
2. Sianosis karena edema laring dan
bronkospasme
3. Hipotensi
4. Taki kardia
5. Sinkop
6. Edema periorbital, mata berair, hiperemi
konjungtiva
7. Tanda pada kulit: urtikaria dan eritema
Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi kriteria anamnesis
2. Memenuhi kriteria pemeriksaan fisik
Diagnosis Syok anafilaksis
Diagnosis Banding 1. Serangan asma akut
2. Sinkop
3. Urtikaria akut generalisata
4. Syok jenis lain
Pemeriksaan
Penunjang
1. Darah lengkap
2. Skin prick test

Tata Laksana :  Posisi Trendelenburg


 Oksigen 3-5 lpm
 Trakeostomi/krikotiroidektomi perlu
dipertimbangkan
 Pemasangan infus: cairan plasma ekspander
(dekstran), RL, NaCl
 Adrenalin 0,3-0,5 ml dari larutan 1:1000
diberikan secara intramuscular, dapat
diulang 5-10 menit. Jika respon pemberian
secara IM kurang efektif, dapat diberi secara
intravenous setelah 0,1-0,2 ml adrenalin
dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl
fisiologis, diberikan perlahan-lahan.
Pemberian subkutan sebaiknya dihindari
pada syok anafilaktik karena efeknya lambat
bahkan mungkin tidak ada akibat
vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbs
obat tidak terjadi.
 Aminofilin dapat diberikan dengan sangat
hati-hati apabila bronkospasme belum
hilang dengan adrenalin. Berikan 250 mg
aminofilin perlahan-lahanselama 10 menit
intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi
melalui infus drip bila perlu.
 Antihistamin dan kortikosteroid merupakan
pilihan kedua setelah adrenalin. Diberikan
setelah gejala klinik mulai membaik untuk
mencegah komplikasi. Difenhidramin 5-20
mg IV dan deksametason 5-10 mg IV atau
hidrokortison 100-250 mg IV.
 RJP seandainya terjadi henti jantung
Prognosis Tergantung kecepatan diagnosis dan
penanganan, umumnya dubia ad bonam.

Edukasi 1. Penjelasan diagnosa, diagnosa banding,


pemeriksaan penunjang
2. Penjelasan rencana tindakan, resiko dan
komplikasi
Penelaah Kritis dr. Winangun, Sp.PD

Kepustakaan 1. Panduan praktik klinis penatalaksanaan di


bidang ilmu penyakit dalam
PANDUAN PRAKTIS KLINIS

PENYAKIT DALAM

RSUD PATUT PATUH PATJU

KABUPATEN LOMBOK BARAT

2019

GIGITAN ULAR

Pengertian ( Definisi) Penyakit akibat gigitan ular yang dapat


menyebabkan gangguan hematotoksik dan
neurotoksik
Anamnesis 1. Waktu dan tempat kejadian
2. Jenis dan ukuran ular
3. Lokasi yang tergigit
4. Gejala sistemik: berkeringat, menggigil,
mual, muntah, hipersalivasi, nyeri kepala,
pandangan kabur, sesak, nyeri
Pemeriksaan Fisik 1. Status local pada bekas gigitan: luasnya
edema, nyeri tekn, pembesaran getah bening,
ekimosis, suhu kulit, pergerakan bebas atau
terbatas dan palpasi nadi arteri. Mencari
tanda-tanda thrombosis intravascular atau
sindrom kompartemen, serta tanda-tanda
nekrosis
2. Status umum: periksa tekanan darah,
denyut jantung, , periksa seluruh tubuh
apakah ada peteki, purpura, ekimosis
konjungtiva, kemosis, perdarahan gusi,
epistaksis. Nyeri tekan abdomen perlu
dicurigai perdarahan saluran cerna. Jika ada
gangguan neurologis seperti pupil anisokor,
kejang dan gangguan kesadaran, perlu
dibuktikan apakah ada perdarahn
intracranial.
Klasifikasi Menurut schwartz:
 Derajat 0: venerasi (0); luka (+); nyeri (-);
edema atau eritema (<3 cm/12 jam); sistemik
(0)
 Derajat I: venerasi (+/-); luka (+); nyeri (+/-);
edema atau eritema (3-12 cm/12 jam);
sistemik (0)
 Derajat II: venerasi (+); luka (+); nyeri (+++);
edema atau eritema (12-25 cm/12 jam);
sistemik (neurotoksik, mual, pusing, syok)
 Derajat III: venerasi (+); luka (+); nyeri (+++);
edema atau eritema (>25 cm/12 jam);
sistemik (peteki, syok, ekimosis)
 Derajat IV: venerasi (+++); luka (+); nyeri
(+++); edema atau eritema (> ekstremitas);
sistemik (gagal ginjal akut, koma,
perdarahan)
Diagnosis Gigitan ular
Diagnosis Banding
Gigitan hewan lain
Pemeriksaan 1. Darah lengkap: Hb, leukosit, trombosit
Penunjang 2. Ureum, kreatinin
3. Elektrolit
4. Waktu perdarahan
5. Faal hepar
6. Urine lengkap: hematuria, glikosuria,
proteinuria
7. EKG
8. Foto dada
Tata Laksana :  Penatalaksanaan jalan napas dan sirkulasi
 Pertolongan pertama pada gigitan: verban
ketat dan luas diatas luka, imobilisasi
dengan bidai
 Berikan SABU: 2 vial (@ 5 ml) dalam 500 ml
NaCl 0,9% atau D5% diberikan Iv dengan
kecepatan 40-80 tpm. Jumlah maksimal
100 ml (20 vial). Tidak boleh dibeikan secara
infiltrasi pada luka.
Pedoman terapi SABU berdasarkan Schwartz
dan Way:
Derajat 0 dan I: tidak memerlukan SABU,
evaluasi dalam 12 jm, jika ditemukan
peningkatan derajat maka diberikan
SABU
Derajat II:3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial
SABU
 Terapi suportif:
Gangguan koagulasi berat: derikan FFP
dan antivenom
Perdarahan: transfuse darah segar atau
komponen darah, vit K, transfuse
trombosit
Hipotensi: infus cairan
Rabdomiolisis: cairan dan natrium
bikarbonat
Sindrom kompartemen: fasiotomi
Beri tetanus profilaksis jika diperlukan
Analgetik: aspirin atau codein
 Terapi profilaksis: antibiotic spectrum luas,
ampisilin/sulbaktam1,5 – 3 mg IV setiap 6
jam, atau ciprofloksasin 2 x 500 mg PO
Prognosis Tergantung kecepatan diagnosis dan
penanganan, umumnya dubia ad bonam.
Edukasi 1. Penjelasan diagnosa, diagnosa banding,
pemeriksaan penunjang
2. Penjelasan rencana tindakan, resiko dan
komplikasi
Penelaah Kritis dr. Winangun, Sp.PD

Kepustakaan 1. Panduan praktik klinis penatalaksanaan di


bidang ilmu penyakit dalam
PANDUAN PRAKTIS KLINIS

PENYAKIT DALAM

RSUD PATUT PATUH PATJU

KABUPATEN LOMBOK BARAT

2019

HIPOGLIKEMIA

Pengertian ( Definisi) Kadar glukosa darah <70 mg/dl, atau glukosa


darah < 80 mg/dl dengan gejala klinis
Anamnesis 1. Pengguanaan preparat insulin atau obat
hipoglikemia oral: dosis terakhir, waktu
pemakaian terakhir, perubahan dosis
2. Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
3. Riwayat jenis pengobatan dan dosis
sebelumnya
4. Lama menderita DM, komplikasi DM
5. Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll
6. Penggunaan obat sistemik lainnya:
penghambat adrenergic beta, dll
7. Gejala klinis:nstadium parasimpatik (lapar,
mual); stadium gangguan otak ringan
(blemah, lesu, sulit bicara); stadium simpatik
(keringat dingin pada muka, bibir ayau
tangan gemetar); stadium otak berat (tidak
sadar, dengan atau tanpa kejang)
Pemeriksaan Fisik 1. Pucat
2. Diaphoresis
3. Tekanan darah
4. Frekuensi denyut jantung meningkat
5. Penurunan kesadaran
6. Deficit neurologic fokal transien
Kriteria Diagnosis Trias whipple:
1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa plasma yang rendah
3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma
meningkat
Diagnosis Hipoglikemia
Diagnosis Banding Hipoglikemia karena penyebab lain: obat,
hiperinsulinisme endogen, gagal ginjal, sepsis,
gagal hati, gagal jantung, defisisensi endokrin
Pemeriksaan
Penunjang
1. Kadar glukosa darah
2. Tes fungsi ginjal
3. Tes fungsi hati

Tata Laksana : Stadium permulaan (sadar):


 Berikan gula murni 30 gram (2sendok
makan) atau sirop/permen gula murni dan
makanan yang mengandung karbohidrat
 Hentikan obat hipoglikemik sementara
 Pantau glukosa darah sewaktu
 Pertahankan gula darah diatas 100 mg/dl
(bila sebelumnya tidak sadar)
 Cari penyebab
Stadium lanjut( koma hipoglikemia atau tidak
sadar):
 Berikan larutan D40% sebanyak 2 flakon
(50 ml) bolus IV
 Berikan cairan D10% perinfus, 8 jam per
kolf bila tanpa penyulit lain
 Periksa gula darah sewaktu, kalua mungkin
dengan glucometer:
Jika GDS <50 mg/dl  + bolus D40% 50
ml IV
Jika GDS <100 mg/dl  + bolus D40%
25 ml IV
Jika GDS 100-200 mg/dl  tanpa bolus
D40%
Bila GDS > 200 mg/dl  pertimbangkan
menurunkan kecepatan drip D10%
 Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali
berturut-turut, pemantauan GDS setiap 2
jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila
GDS > 200 mg/dl  pertimbangkan
mengganti infus dengan D5% atau NaCl
0,9%
 Bila GDS >100 mg/dl sebanyak 3 kali
berturut-turut masing-masing selang 2 jam,
pemantauan GDS setiap 4 jam
 Bila GDS >100 mg/dl sebanyak 3 kali
berturut-turuut masing-masing selang 4
jam, pemeriksaan GDS dapat diperpanjang
sesuai kebutuhan sampai efek obat
penyebab hipoglikemia diperkirakan sudah
habis dan pasien sudah dapat makan
seperti biasa
 Bila hipoglikemia belum teratasi,
dipertimbangkan pemberian antagonis
insulin, seperti glucagon 0,5-1 mg IV/IM
atau kortison, adrenal
 Bila pasien belum sadar, sementara
hipoglikemia sudah teratasi, maka cari
penyebab lain atau sudah terjadi brain
demage akibat hipoglikemia
berkepanjangan
Prognosis Hipoglikemia meningkatkan angka mortalitas
pada pasien dalam kondisi kritis. Pada 22%
pasien mengalami episode hipoglikemia lebih
dari 1 kali. Angka mortalitas meningkat sesuai
dengan parahnya derajat hipoglikemia.
Edukasi 1. Penjelasan diagnosa, diagnosa banding,
pemeriksaan penunjang
2. Penjelasan rencana tindakan, resiko dan
komplikasi
Penelaah Kritis dr. Winangun, Sp.PD

Kepustakaan 1. Panduan praktik klinis penatalaksanaan di


bidang ilmu penyakit dalam
PANDUAN PRAKTIS KLINIS

PENYAKIT DALAM

RSUD PATUT PATUH PATJU

KABUPATEN LOMBOK BARAT

2019

KRISIS HIPERGLIKEMIA

Pengertian ( Merupakan komplikasi metabolic akut yang


Definisi) terjadi akibat defisiensi insulin dan peningkatan
hormone counterregulatory (glucagon,
katekolamin, koerisol dan growth hormone). Krisis
hiperglikemia mencakup ketoassidosis diabetik
(KAD) dan status hiperglikemia hyperosmolar
(HHS).
Anamnesis KAD:
1. Gejala klinis: Mual/muntah, haus/polyuria,
nyeri perut, sesak napas, gejala berkembang
dalam waktu <24 jam
2. Faktor presipitasi: riwayat pemberian insulin,
infeksi, infark, obat, kehamilan
HHS:
1. Gejala klinis: riwayat polyuria, berat badan
turun, dan berkurangnya asupan oral yang
terjadi dalam beberapa minggu dan akhirnya
terjadi letargi/koma
2. Faktor presipitasi: infark miokard, stroke
sepsis, pneumonia, infeksi berat lainnya
Pemeriksaan Fisik KAD:
1. Takikardia
2. Dehidrasi
3. Hipotensi
4. Takipnea, Pernapasan kussmaul, distress
pernapasan
5. Napas bau keton, nyeri tekan perut
6. Letargi/koma
HHS:
1. Takikardia
2. Dehidrasi
3. Hipotensi
4. Perubahan status mental
Kriteria Diagnosis

Diagnosis Krisis hiperglikemia


Diagnosis Banding Starvation ketosis
Alcoholic ketoacidosis
Asidosis laktat
Penyalah gunaan obat
Akut pada gagal ginjal kronik
Pemeriksaan KAD:
Penunjang 1. Hiperglikemia (>250 mg/dl)
2. Ketonemia dana tau ketonuria
3. Asidosis metabolic (HCO3 <18) dengan anion
gap meningkat
HHS:
1. Hiperglikemia (dapat >600 mg/dl)
2. Hiperosmolaritas (>350 mOsmol/L)
3. Azotemia prerenal
4. Asidosis dan ketonemia tidak ada atau ringan
5. pH> 7,3
6. bikarbonat >18 mEq/L
Tata Laksana :  Pemberian cairan
 Terapi insulin

 Koreksi kalium

 Bikarbonat
Jika pH vena <6,9 berikan 100 mmol
natrium bikarbonat dalam 400 ml normal
saline ditambah 20 mEq KCl diberikan
selama 2 jam. Jika pH masih <7, ulangi
setiap 2 jam sampai pH > 7. Periksa kadar
kalium serum setiap 2 jam
Jika pH vena ≥6,9: tidak perlu diberikan
natrium bikarbonat
 Pemantauan: tekanan darah, nadi, napas,
status mental, asupan cairan dan urin setiap
1-4 jam
Prognosis KAD memiliki angka kematian 2% untuk uia <65
tahun dan 22% untuk usia >65 tahun. HHS
memiliki angka mortalitas 20-30%.
Edukasi 1. Penjelasan diagnosa, diagnosa banding,
pemeriksaan penunjang
2. Penjelasan rencana tindakan, resiko dan
komplikasi
Penelaah Kritis dr. Winangun, Sp.PD

Kepustakaan 1. Panduan praktik klinis penatalaksanaan di


bidang ilmu penyakit dalam
PANDUAN PRAKTIS KLINIS

PENYAKIT DALAM

RSUD PATUT PATUH PATJU

KABUPATEN LOMBOK BARAT

2019

DEMAM BERDARAH DENGUE

Pengertian ( Penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue


Definisi) dan menular melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan
Aedes albopictus.
Anamnesis 1. Demam mendadak tinggi dengan tipe bifasik
2. Disertai kecenderungan perdarahan: perdarahan kulit,
gusi, epistaksis, hematemesis, melena, hematuria
3. Sakit kepala
4. Nyeri otot dan sendi
5. Ruam
6. Nyeri dibelakang mata
7. Mual-muntah
8. Riwayat penderita DBD disekitar tempat tinggal

Pemeriksaan 1. Demam
Fisik 2. Gejala infeksi viral: injeksi konjungtiva, myalgia,
atralgia
3. Tanda perdarahan: petekie, purpura, ekimosis
4. Hepatopegali
5. Tanda-tanda kebocoran plasma: efusi pleura, asites,
edema
Kriteria Probable – demam akut disertai dua atau lebih gejala
Diagnosis berikut:
 Sakit kepala
 Nyeri retro-orbital
 Myalgia
 Atralgia
 Ruam
 Manifestasi perdarahan
 Leukopenia; dan
 Hasil pemeriksaan serologi (+) atau adanya demam
dengue di lokasi dan waktu yang sama
Confirmed – kasus konfirmasi dengan kriteria
laboratorium
 Isolasi virus dengue dari serum atau sampel otopsi
 Kenaikan ≥ 4 kali titer antibody IgG atau IgM pada
sampel plasma
 Terdapatnya antigen virus dengu pada sampel otopsi
jaringan, plasma, atau dengan teknik histokimia,
imunofluoreses[ns, atau ELISA
 Deteksi sekuens genom virus dengue di sampel
jaringan atau LCS dengan cara PRC
Reportable – setiap kejadian kasus probable atau confirm
harus dilaporkan
Diagnosis Demam berdarah dengue
Diagnosis Demam akut lain yang disertai trombositopenia: tifoid,
Banding malaria, chikungnya
Pemeriksaan 1. pemeriksaan darah rutin: leukopenia,
Penunjang trombositopenia, hemokonsentrasi
2. Serologi: IgG-IgM antidengue (+), pemeriksaan protein
virus NS-1 dengue
3. Foto thoraks: penumpulan sudut kostofrenikus
4. USG abdomen: double layer pada dinding kandung
empedu, atau asites
Tata Laksana Nonfarmakologis:
:  Istirahat, makan lunak, tingkatkan asupan oral
 Panta tanda-tanda syok, terutama transisi fase febris
(hari 4-6)
Farmakologis:
 Simptomatik: antipiretik parasetamol bila demam
 Protokol tatalaksana DBD:
Cairan intravena: RL 4-6 jam/kolf, koloid atau
plasma ekspander pada DBD stadium II dan IV
bila perlu
Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai
indikasi
Pertimbangkan heparinisasi pada DBD stadium II
dan IV dengan KID
Protokol 1: penatalaksanaan probable DBD tanpa syok
Protokol 2: pemberian cairan pada tersangka DBD si
ruang rawat

Protokol 3: penatalaksanaan DBD dengan peningkatan


Ht > 20%
Protokol 4: penatalaksanaan perdarahan sontan pada
DBD

Protokol 5: tatalaksana DSS


Prognosis Tergantung kecepatan penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan.

Edukasi 1. Penjelasan diagnosa, diagnosa banding, pemeriksaan


penunjang
2. Penjelasan rencana tindakan, resiko dan komplikasi
Penelaah dr. Winangun, Sp.PD
Kritis

Kepustakaan 1. Panduan praktik klinis penatalaksanaan di bidang


ilmu penyakit dalam

You might also like