You are on page 1of 5

9.

Patanjala

Artikel ini membahas protes sosial yang melanda tanah partikelir/swasta di Tanjoeng Oost
Batavia yang merefleksikan adanya ketegangan vertikal antara rakyat dengan penguasa pada
masa kolonial. Protes tersebut merupakan respons masyarakat petani terhadap perubahan yang
terjadi di lingkungannya akibat tuan tanah yang mengeksploitasi tanah dan petani yang hidup di
wilayahnya demi kepentingan praktik komersialisasi dan kapitalisasi. Para petani yang bekerja
pada perkebunan memperoleh perlakuan yang sewenang-wenang, seperti pajak yang tidak tetap
dan pemberlakuan kerja wajib tanpa kecuali. Seorang tokoh, Entong Gendut memotivasi
masyarakat dengan semangat keagamaan untuk membawa mereka kembali pada kebebasan dan
kejayaan. Gerakan Entong Gendut bersifat sangat sporadis dan reaktif. Menurut artikel ini
gerakan tersebut mudah untuk dipatahkan, tidak seperti masa-masa sesudah lahirnya Sarekat
Islam yang lebih terorganisir. Dari perspektif pribumi, Entong Gendut adalah pahlawan yang
mencoba membebaskan petani dari belenggu ketidakadilan dan penindasan tuan tanah, namun
dari pandangan kolonial Entong Gendut dianggap sebagai kriminal yang mengganggu tatanan
kolonial. Kajian mengenai resistensi petani pada era kolonial ini penting sebagai bahan refleksi
sejarah. Selain itu, kajian ini juga dapat meninjau kasus resistensi petani yang sedang
berlangsung pada era sekarang.

10. Islam

Artikel ini membahas konflik tanah berbasis hutan pada masa kolonial, dijabarkan mulai dari
akar masalah, faktor, serta solusinya. Artikel ini juga dilengkapi dengan kajian yang jarang
diungkap oleh para penulis sebelumnya, yaitu pendekatan hukum Islam untuk melihat akar
konflik tanah kawasan hutan dan paradigma resolusi konflik yang ditawarkan. Konflik bermula
dari pajak yang diterapkan oleh pemerintah penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah
(petani). Selang dua tahun kemudian, seorang petani dari Blora mengawali perlawanan
berhadapan dengan pemerintah Belanda yang bernama Samin Surosentiko, yang akhirnya
membentuk gerakan Samin. Gerakan Samin merupakan gerakan anti-kolonial yang cenderung
menggunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang dilakukan dengan tidak langsung.
Beberapa penyebab pemberontakan antara lain, yaitu berbagai macam pajak diimplementasikan
di daerah Blora, perubahan pola pemakaian tanah komunal, dan pengawasan oleh Belanda
mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk. Dalam ajaran politiknya, Samin Surosentiko
mengajak para pengikutnya untuk melawan penjajah Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap,
misalnya penolakan untuk membayar pajak, tidak mau memperbaiki jalan, mangkir jaga malam
(ronda), dan penolakan kerja paksa/ rodi. Dalam perspektif Islam, hak milik sangat dilindungi.
Oleh karena itu, mengambil milik orang lain dengan maksud memiliki (mencuri) dalam berbagai
bentuk dilarang dalam Islam dengan ancaman hukuman potong tangan (QS, 5: 38). Berdasarkan
ayat ini, mengambil milik orang lain dengan maksud hanya memanfaatkan sekalipun juga tidak
diperbolehkan bila tanpa izin pemiliknya.

11. Petani vs penguasa

Artikel ini membahas tentang hubungan petani dengan pengusaha dan penguasa yang diwarnai
dengan perampasan, eksploitasi, dan resistensi. Permasalahan muncul pada masa Orde Baru saat
pemerintah mulai melakukan ekonomi di bidang perkebunan, terutama kelapa sawit. Dalam
pengembangan perkebunan kelapa sawit terjadi masalah di lapangan, antara lain: pengambil
alihan lahan petani, ganti rugi yang tidak memadai, dan luas lahan yang digunakan melebihi
ganti rugi. Perilaku penguasa dan pengusaha melakukan perampasan tanah milik petani
menimbulkan perlawanan meski belum terorganisir ataupun perlawanan dengan cara sembunyi-
sembunyi. erlawanan terorganisir baru terjadi sejak era Reformasi. Perlawanan ini ditandai
dengan masuknya kelompok luar ke dalam organisasi petani seperti LSM sehingga perlawanan
petani sejak itu mulai diperhitungkan.

Era Reformasi menjadi titik tolak perlawanan petani terhadap ketidakadilan ini. Perlawanan di
Jambi dan Riau yang cukup longgar status kepemilikan tanahnya agak berbeda dengan Sumatera
Barat tanah berstatus tanah ulayat.

Perilaku penguasa dan pengusaha melakukan perampasan tanah milik petani menimbulkan
perlawanan meski belum terorganisir ataupun perlawanan dengan cara sembunyi-sembunyi yang
menurut James R Scott merupakan bentuk perlawanan orang kalah. (James. R. Scott, 2001)
Perlawanan terorganisir baru terjadi sejak era Reformasi. Perlawanan ini ditandai dengan
masuknya kelompok luar ke dalam organisasi petani seperti LSM sehingga perlawanan petani
sejak itu mulai diperhitungkan.

Dimulai dari masa Orde Baru, upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit sudah mendapat
perhatian serius pemerintah. Hal itu diwujudkannya melalui recana pembangunan atau repelita.
Pada Repelita I, II dan III rancangan pengembangan sawit baru sebatas perusahaan negara seperti
di bawah bendera Perseroan Terbatas Perkebunan Negara (PTPN). Semenjak itu, PTPN ini mulai
mengembangkan perkebunan sawit di Indonesia

Untuk pengembangan usahanya, tanah petani dirampas (Lucas, Anton and Carol Warren, 2013).
Setelah tanah mereka dirampas, mereka kemudian dijadikan buruh di atas tanah mereka
(Zaiyardam Zubir, 2002). Ketidakadilan yang dialami petani itu membuat mereka melawan.
Perlawanan yang dilakukan dengan berbagai cara seperti perlawanan tertutup, perlawanan
terbuka dan perlawanan dalam bentuk perlawanan sepanjang waktu dan dilakukan sehari-hari
dalam berbagai kesempatan yang ada (James C. Scott, 2000). Dalam perlawanan tertutup, sebuah
fenomena historis tidak selalu berpatokan pada event yang meletus atau peristiwa sejarah, tetapi
juga gerakan sosial laten. Sebuah gerakan sosial laten biasanya bersifat invisible. Dalam
ungkapan dikatakan Ibarat api dalam sekam, yang dari luar tidak kelihatan, namun mengandung
bara api yang besar dan setiap waktu bisa saja berkobar. Kobaran itu menjadi tidak dapat
dihindari, manakala penguasa yang seharusnya melindungi rakyat dari eksploitasi kapitalis justru
mereka bekerja sama dengan pengusaha untuk menekan, sehingga terjadi perlawanan di
kalangan petani (Suhartono W. Pranoto (2010).

Corak perlawanan diatas menjadi bagian tak terpisahakandari masyarakat, sehingga


menimbulkan gejolak terus menerus. Jika pada masa Orde Baru lebih banyak perlawanan
tertutup dan perlawanan sehari-hari, maka pada masa reformasi terjadi perlawanan terbuka
seperti demosntrasi, pembakaran kebun, pengambilan hasil sawit dan pewngaduan ke DPRD.
Bahkan, untuk kasus Riau, terjadi gerakan Riau Merdeka, sebuah tuntutan untuk melepaskan diri
dari NKRI (Herry Suryadi, 2008). Pada kasus Sumatera Barat dapat dikatakan kapitalisme telah
memudarkan ikatan persaudaraan dan melemahkan adat istiadat. Belajar dari kasus yang terjadi
dapat menjadi bahan renungan inilah jalan terjal yang harus dilalui dalam pembentukan karakter
bangsa.

12. Probolinggo

Artikel ini membahas konflik petani dengan KPH Probolinggo di Desa Ranugedang yang
berawal dari klaim pihak Perhutani atas tanah petak 58c milik warga. Tanah menjadi sangat
penting bagi kelangsungan hidup para petani. Ketika alternatif profesi lainnya tidak memberikan
kesempatan bagi para petani, maka mengolah tanah menjadi satu-satunya jalan bagi mereka
untuk mencukupi kebutuhan subsisten ekonomi keluarga. Dalam proses memperebutkan tanah
garapannya, petani Desa Ranugedang menggunakan dua model perlawanan. Pertama,
perlawanan diam-diam yang dijalankan dengan cara melakukan penculikan dan memberikan
informasi palsu kepada pihak Perhutani. Kedua, perlawanan terbuka dengan cara berkolaborasi
dengan partai-partai pendukung, melakukan demonstrasi di kantor KPH, dan mendatangi
Pengadilan Negeri Kraksaan untuk mendukung setiap ada sidang sengketa tanah. Keluarnya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 yang mengatur tentang permasalahan tanah
di seluruh wilayah Indonesia menjadi awal bagi partai-partai politik untuk mencari dukungan
massa di desa-desa pelosok. Hal ini yang menjadi salah satu alasan bagi partai-partai politik
untuk membantu dan mengawal perlawanan petani Desa Ranugedang dalam memperebutkan
tanah petak 58c dalam pengadilan Kraksan hingga dapat memperebutkan kembali tanah
garapannya. Pada akhirnya, konflik ini dimenangkan oleh petani Desa Ranugedang.

13. Strategi

Artikel ini membahas tentang upaya petani di Desa Cisarua dalam mendapatkan lahan garapan
secara legal. Perjuangan petani Desa Cisarua termasuk ke dalam perjuangan kultivasi, artinya
secara faktual tanah ditanami oleh petani, namun di sisi lain juga tanah masih diklaim dan
dikelola oleh pihak perkebunan. Model gerakan strategi perjuangan petani dalam artikel ini
mengacu pada teori James Scott dalam perlawanan bentuk kecil yang dilakukan setiap hari
dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian. Petani Desa Cisarua melakukan kompromi dengan
mandor secara individual sebagai bentuk perlawanan kecil. Kompromi dianggap lebih
menguntungkan bagi masyarakat dibanding dengan melakukan tindakan kekerasan. Setelah
melakukan kompromi, petani kemudian diharuskan membayar sewa setahun sekali yang dihitung
sesuai dengan banyaknya patok yang digarap. Setelah melakukan upaya untuk mendapatkan
lahan, masyarakat Desa Cisarua akhirnya dapat menggarap lahan dengan status sewa dan bagi
hasil dengan pihak perkebunan. Sistem sewa terbagi lagi ke dalam sistem sewa tidak dengan
perjanjian serta sistem sewa dengan perjanjian. Masalah yang dihadapi petani antara lain :
administrasi yang memakan waktu lama untuk mendapatkan lahan garapan secara legal di tanah
lamping milik perkebunan, terbatasnya lahan strategis, keberpihakan pemerintah pada petani
besar, solidaritas petani yang rendah, kecemburuan sosial, kecurigaan yang terjadi antar petani
dan pemerintah desa, serta ketidakmampuan masyarakat untuk melawan penguasa.

You might also like